Anda di halaman 1dari 4

Demokrasi akan bisa lebih kokoh dan berkembang di Indonesia karena dia juga diletakkan didalam konteks budaya

dan tradisi Indonesia. Ini sebenarnya sebagaimana yang disampaikan oleh Abdurahman Wahid, bahwa Islam dapat berkembang di Indonesia karena mengalami proses pribumisasi. Jadi bukan masalah syariah, sholat, dan zakatnya yang diperdulikan, tetapi adalah bagaimana pemahamannya dalam konteks tradisi dan budaya Indonesia. Mohammad Roem merupakan salah satu tokoh demokrasi di Indonesia yang sekaligus juga sebagai kampiun Islam moderat.Ketika Indonesia merdeka padatahun 1945, para pendiri RI,termasuk Mohammad memilikisikap dan perilaku politik yang demokratis. Sehingga pada tahun 1946, para tokoh nasional saat itu telahbersepakat untuk menjadwalkan pemilihan umum, yang merupakan pertanda dari demokrasi. Walaupun pelaksanaan pemilu itu tertunda-tunda dan baru bisa diselenggarakan pada tahun 1955. Pemilu itu sendiri terselenggara pada masa pemerintahan yang di pimpin oleh orang-orang Masyumi, yaitu di era Burhanudin Harahap. Kalau dibandingkan dengan partai-partai lainnya, Masyumi adalah partai yang paling memperjuangkan demokrasi, bukan PNI. Masyumi memperjuangkan pemilihan secara langsung sebagaimana pemilu yang kita laksanakan sekarang. Dan orang-orang Islam ketika itu, terutama para pemimpin Masyumi, NU, Muhammadiyah dan lainnya, tidak pernah mempersoalkan secara teologis apakah Islam sesuai dengan demokrasi atau tidak. Jadi kalau sekarang ditanyakan apakah Islam itu sesuai atau tidak dengan demokrasi, itu sudah ketinggalan jaman. Karena pada tahun 40-an awal dan tahun 50- an, ketika undang-undang pemilu dibicarakan kembali dan selesai pada tahun 1954, kemudian diselenggarakan pemilu pada tahun 1955, tidak pernah ada pertanyaan dari kaum muslim, apakah demokrasi ini sesuai dengan Islam atau tidak. Saat itu tidak ada pertanyaan sedikitpun secara teologis mengenai demokrasi, jadi kalau sekarang ada pertanyaan tentang apakah Islam sesuai tidak dengandemokrasi, itu memang agakketinggalan. Walaupun saya tidaktahu persis

apakah para tokoh Masyumi memang sungguhsungguh menerima demokrasi. Karena jika dikalkulasi, pada saat itu partai Islam akan menang kalau pemilu dilakukan secara demokratis. Jadi demokrasi dianggap sebagai sebuah cara yang menguntungkan bagi pemimpinpemimpin partai Islam. Hal ini seperti yang diramalkan oleh Sutan Syahrir, dimana beliau mengatakan bahwa kalau pemilu jadi dilaksanakan pada 1946, maka yang menjadi pemenangnya adalah Masyumi, karena pada waktu itu partai-partai Islam belum terpecah. Dan saya tidak bisa membayangkan Masyumi akan menjadi partai demokratis, kalau disitu tidak ada orang-orang seperti Mohammad Roem, M. Natsir, Syafrudin Prawiranegara, dan lainnya, walaupun disisi lain juga ada M.Asaad. Jadi memang bermacam-macam, tetapi warna dasarnya adalah sangat demokratis. Jadi sebetulnya bagi saya sendiri tidak terlalu relevan untuk mencari-cari akar sandaran-sandaran teologis dari Islam, apakah sesuai dengan demokrasi atau tidak, walaupun pada tahun-tahun terakhir ini sering muncul pertanyaan yang mencoba mengaitkan antara Islam dan demokrasi, hal ini muncul, mungkin karena kenyataan sejarah. Sebenarnya tidak penting mempersoalkan Islam itu sesuai atau tidak sesuai dengan demokrasi, karena sebenarnya Islam dan demokrasi itu sangat kompatibel, bahkan dasar-dasar pluralisme, toleransi, dan sebagainya itu sudah dikembangkan sejak periode Madinah. Tetapi ada satu penelitian dari Freedom House pada 2002 yang mengatakan bahwa hampir semua negara Islam di dunia tidak ada yang demokratis, yang tentunya berdasarkan ukuranukuran demokrasi sebagaimana yang kita baca dalam teksbook-teksbook, dimana yang paling utama adalah diselenggarakannya pemilu secara jujur, adil, terbuka, dan sebagainya. Saya sendiri meragukan hasil dari penelitian itu, karena dia mengatakan bahwa negara seperti Korea Utara itu mempunyai kesempatan 3 kali lebih besar daripada Negara-negara Islam di Timur tengah. Saya meragukan apakah hal itu benar, dan saya tidak tahu metodologi penelitian yang digunakan sehingga muncul narasi seperti itu. Tetapi memang harus kita akui, bahwa kalau kita berbicara mengenai Saudi Arabia, Mesir, Tunisia, Aljazair, Yaman,

Maroko atau Libanon, memang tidak satupun yang bisa kita jadikan sebagai model dari kehidupan yang demokratis. Mungkin dengan pengecualian Libanon, yang pada tahun 70-an mulai mempraktekkan apa yang disebut demokrasi membagi-bagi kekuasaan, dimana kalau presidennya dari Katolik, maka perdana menterinya dari Islam, dan ketua parlemennya dari Drust. Jika sekarang masih ada yang mencari relevansi Islam dalam demokrasi, sebetulnya Islam telah mempengaruhi dan membentuk perilaku umatnya, pertama-tama dalam melakukan hubungan dengan orang lain didalam menyikapi perbedaan dan sebagainya, tetapi tidak dilihat dari akar-akar teologinya. Karena sebetulnya kalau dicari akar-akar teologisnya, itu hanyalah prinsip-prinsip mengenai keadilan, musyawarah, persamaan, dan kemerdekaan. Prinsip-prinsip itulah yang kiranya bersesuaian dengan demokrasi, dan saya yakin Islam tidak hanya terdiri dari prinsip-prinsip itu, tetapi juga prinsip-prinsip lainnya yang menurut orang Muslim yang tidak moderat, terjemahannya bias menjadi berbeda. Jadi saya cenderung melihat ini dari dimensi penguatan modal-modal sosial budaya dan umat Islam daripada melihat kesesuaian Islam dengan demokrasi itu sendiri. Karena dalam prakteknya, Saudi Arabia tidak menunjukkan praktek-praktek kehidupan yang demokratis, demikian juga dengan negara-negara Islam yang lain. Tetapi justru Indonesia yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, sejak awal kemerdekaanya bersedia mempraktekkan demokrasi tanpa bertanya dan mempersoalkan apa-apa. Pertimbangan dan kalkulasinya memang sangat politis dan tidak ada pertimbanganpertimbangan keagamaan. Bahwa kemudian didalam perjalanan sejarah ada penolakan-penolakan terhadap demokrasi, saya kira itu tidak tepat kalau dikaitkan dengan Islam. Karena penolakanpenolakan terhadap demokrasi yang ditandai dengan the breakdown democracy rezim pada tahun 70-an di Amerika Latin, negara-negara baru di Afrika dan Asia, hampir tidak satupun yang menggunakan pertimbanganpertimbangan keagamaan. Apalagi di Amerika Latin, tidak pernah digunakan pertimbangan-pertimbangan apakah demokrasi itu bias bekerja ditengah-tengah system keagamaan dan

kepercayaan yang berbeda-beda. Pertimbangannya sangat logis, yaitu apakah demokrasi mampu mewujudkan dua tujuan utamanya, stabilitas politik, stabilitas keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Jadi kalau Hillary Clinton mengatakan bahwa kalau anda mau melihat persesuaian antara Islam dengan demokrasi datanglah ke Indonesia, saya kira itu bukanlah pernyataan yang mengada-ada atau ingin menyenangkan Indonesia, itu memang kenyataan, yang tumbuh dari pengalaman dan praktek dari pemerintahan sekian tahun. Saya kira Obama akan kesulitan mencari negara lain yang penduduknya mayoritas beragama Islam tetapi demokrasi bias berjalan, hampir tidak ada kecuali Indonesia. Jadi sepertinya kita sia-sia mencari pembenaran bahwa Islam dan demokrasi itu cocok, karena sepertinya orang-orang AS tidak melihat Islam disini, dan lebih condong melihat Islam disana. Di Indonesia saya bisa memperoleh kehidupan yang relatif nyaman, dimana Islam, agama lainnya dan demokrasi bisa berjalan, dan bias saya katakan bahwa ini tidak ada duanya. Inilah kiranya yang dilihat oleh Deplu, yaitu sebagai modal yang bisa dijual sebagai agenda diplomasi kita. Ini memang penting untuk memberikan pengetahuan dan penyadaran kepada dunia luar bahwa ketika orang membicarakan orientasi Islam, mereka tidak hanya mengarah pada negara-negara di Timur tengah sana, karena ada Islam yang lain, yang bahkan dianut oleh 240 juta orang yang berada disini. Kita harus akui bahwa demokrasi memang bukan berasal dari kita, apalagi demokrasi modern. Tetapi modalnya mungkin kita punya, modal sosial dan nilai-nilai kehidupan demokrasi mungkin kita ada, apalagi modal sosial budaya yang tumbuh dan berkembang, seperti misalnya di Jawa yang memiliki budaya tidak enakan yang mungkin cocokdengan demokrasi. Demokrasi akan bias lebih kokoh dan berkembang di Indonesia karena dia juga diletakkan didalam konteks budaya dan tradisi Indonesia. Ini sebenarnya sebagaimana yang disampaikan oleh Abdurahman Wahid, bahwa Islam dapat berkembang di Indonesia karena mengalami proses pribumisasi. Jadi bukan masalah syariah, sholat, dan zakatnya yang diperdulikan, tetapi adalah bagaimana pemahamannya dalam konteks tradisi dan budaya Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai