Anda di halaman 1dari 6

Refleksi Pendidikan Nasional 2 Mei merupakan tanggal yang bersejarah bagi Negara Indonesia.

Pasalnya, 2 mei merupakan tanggal diperingatinya hari pendidikan nasional. Sejarahnya, 2 mei merupakan tanggal kelahiran ki hajar dewantara yang dinobatkan sebagai Bapak Pendidkan Nasional Indonesia tahun 1959, karena atas jasanya dalam merintis pendidikan umum di Indonesia. Namun, peringatan hari pendidikan nasional hanya tanggal merah belaka. Kita masih belum bisa berbangga ketika 2 Mei tiba setiap tahunnya. Refleksi pendidikan nasional yang seharusnya mampu mencetak generasi berkualitas penerus bangsa tidak tercium sampai saat ini. Potret buram dunia pendidikan di Indonesia semakin terpampang jelas. Segala macam problematika di belantika pendidikan negeri ini setiap tahunnya tidak pernah surut. Pendidikan tidak harus melulu didapati di lembaga pendidikan. Pendidikan sejatinya memiliki tiga pilar utama, yaitu: 1. Keluarga 2. Lembaga pendidikan 3. Masyarakat Akan tetapi, akibat era kapitalis-liberal-sekuler yang mencengkram Indonesia serta tidak diterapkannya syariat Islam di muka bumi, membuat tiga pilar pendidikan tersebut tidak mampu memproduksi anak didik yang berkualitas. Berikut fakta-fakta pendidikan di tanah air saat ini: 1. Keluarga Peran keluarga merupakan dasar penentu keberhasilan pendidikan. Dimana keluarga menjadi tempat pertama bagi anak untuk mendapatkan pendidikan. Masalahnya, sebagian keluarga di Indonesia tidak lagi bertanggung jawab sepenuhnya atas pendidikan sang anak. Karena saat ini, keluarga lebih menitikberatkan pendidikan sang anak pada lembaga pendidikan. Orang tua yang seharusnya menjadi suri tauladan bagi anaknya, memberikan pengajaran anaknya sejak dini, hanya menjadi pencetak uang untuk membiayai sekolah anak dan menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya pada lembaga pendidikan. Itu semua tidak lepas dari sistem kapitalis yang membuat keluarga hanya menjadi faktor ekonomi saja, sedangkan faktor pendidikan diabaikan. 2. Lembaga pendidikan Lembaga pendidikan terutama yang di olah oleh Negara seharusnya menjadi tempat kedua bagi anak untuk dapat mengenyam pendidikan. Namun, lagi-lagi hal itu terjadi masalah juga. Mahalnya biaya pendidikan di tanah air membuat sebagian

masyarakat Indonesia tidak dapat menikmati manisnya ilmu pengetahuan. Pendidikan bermutu itu mahal! Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah! Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Hal itu merupakan akibat dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003 yamg mengatakan bahwa pembiayaan pendidikan dipikul tiga pihak, yakni individu (peserta didik), masyarakat, dan Negara. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas juga dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, sesuai keputusan Komite Sekolah. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit. Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005). Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi

melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin. Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi. Selain karena mahalnya biaya pendidikan, orang yang dapat bersekolah pun belum tentu dapat merasakan pendidikan yang selayaknya karena buruknya fasilitas pendidikan. Banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya. Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama. Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,

melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta). Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi sebagai cermin kualitas. Tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Selain kelayakan pengajar dinilai dari tingkat pendidikan yang telah dikecamnya. Perilaku sang pengajar pun tidak mencerminkan layaknya seorang guru. Belakangan masyarakat semakin resah oleh banyaknya kasus asusila yang dilakukan oleh guru terhadap anak didiknya dan terjadi di dalam lingkungan sekolah. Sebagian kasus yang cukup mengagetkan, pada bulan April lalu dilaporkan bahwa seorang kepala sekolah di Batam melakukan pencabulan terhadap 15 siswi SMP yang dipimpinnya. Juga kasus perbuatan asusila yang dilakukan guru terhadap siswi sebuah SMAN di Jakarta, dan Maret lalu lima siswa sekolah negeri melaporkan tindakan cabul gurunya yang menjanjikan imbalan nilai pelajaran. Kapitalisme, ideologi yang diadopsi negara ini telah melahirkan kebebasan berkeyakinan, berperilaku, berpendapat dan memiliki harta. Inilah yang mendasari penerapan konsep hak asasi manusia (HAM). Akibatnya semua orang termasuk guru sekalipun berhak berbuat apapun. Perbuatan-perbuatan asusila pun sudah dianggap biasa, karena yang lain juga melakukannya. Inilah yang menjadi sumber lahirnya berbagai tindak asusila baik oleh guru maupun anak didiknya. Demokrasi, sistem politik yang dipilih negara ini telah menghasilkan manusiamanusia yang miskin rasa tanggung jawab. Tak terkecuali para guru yang rendah tanggung jawabnya untuk mendidik dan memberikan keteladanan pada anak didiknya. Alih-alih melindungi dari kekerasan seksual dan mencontohkan akhlak mulia, justru guru melakukan perbuatan asusila bahkan melindungi perbuatan bejatnya dengan menyalahgunakan profesinya. Sementara sistem demokrasi menjadikan Negara meregulasi pendidikan rakyat sekadar agar bisa tercetak tenaga- kerja yang mampu menghasilkan materi dan membayar pajak. Karenanya negara demokrasi mengabaikan

aspek kepribadian dan kualitas guru dan membiarkan masyarakat termasuk di dalamnya para guru terpapar pemikiran dan perilaku porno. Sistem kapitalisme demokrasi tidak akan mampu mencetak guru ideal karena ukuran profesionalitas yang menjadi dasar seleksi pendidik sangatlah dangkal, yakni berdasarkan ukuran kemampuan akademisnya semata. Kepribadian mulia dan kemampuan mendidik yang semestinya menjadi landasan justru tidak menjadi penentu. Rangkaian kasus mengenai UN yang marak terjadi di tanah air menjadi masalah juga. Persoal kisruh UN yang setiap tahunnya muncul tidak pernah habis dikupas media. Berbagai bentuk kecurangan terjadi selama pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Komunitas Air Mata Guru (KAMG) di Sumatera Utara misalnya menunjukkan beberapa bukti kecurangan berupa kunci jawaban yang ditulis atau diketik pada selembar kertas. KAMG juga menemukan siswa di Kota Medan mengumpulkan dana secara kolektif untuk diberikan pada orang yang akan memberikan kunci jawaban mulai dari Rp 10 ribu sampai dengan Rp 75 ribu. Kejadian seperti ini juga ditemukan di Balige. Di tempat ini siswa bahkan dipungut Rp 150 ribu per orang (tribunnews.com, 18/4). Pada penyelenggaraan UN SMK, SMA, dan madrasah aliah tahun ini, Kemendikbud menerima 585 pengaduan, kebanyakan tentang kecurangan dan kebocoran (mediaindonesia.com, 23/4). Kasus-kasus di atas hanya segelintir persoalan UN. Semua itu hanya demi nilai akademis, tak peduli cara-cara curang yang di emban. Sayangnya semua itu selalu terjadi di dunia pendidikan yang mendidik generasi negeri ini. Bila kita terawang, pendidikan saat ini tidak mampu membentuk karakter siswa. Pendidikan nasional menggadaikan pola pikir, perilaku dan kepribadian siswa. Hasil survei Political and Economic Risk Consultant (PERC) pernah menyatakan, kualitas pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia. Indonesia menduduki urutan ke-12 atau urutan terakhir di bawah Vietnam. Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga dapat dilihat dari berbagai macam kejahatan dan kemungkaran yang terjadi di negeri ini; mulai dari tawuran pelajar, seks bebas, pornoaksi, aborsi, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Selanjutnya masalah terjadi pada kurikulum pendidikan yang acap kali berganti tanpa arah yang pasti. Kurikulum 2013 yang dijadikan solusi oleh Pemerintah dalam mengatasi kerusakan generasi saat ini. Tematic Integratic adalah ciri khasnya. Kurikulum ini dimaksudkan agar kinerja guru menjadi lebih sederhana karena dibatasi materinya sedangkan siswa dituntut mampu menghasilkan karya yang riil . Untuk pelaksanannya, kurikulum ini akan diuji cobakan pada tahun ajaran 2013/2014. Jika kemudian tidak berhasil, maka akan diganti lagi. Apalagi gonta-ganti kurikulum setiap 6 tahun sekali sudah jadi rutinitas pendidikan kita. Nah, buat siswa kok cobacoba? Kurikulum pendidikan segera dirombak. Dalam kurikulum baru, siswa tidak perlu lagi membawa banyak buku karena kurikulum menggunakan konsep tematik integratif. Direktur Pembinaan Sekolah Dasar (SD) Ditjen Dikdas Kemendikbud

mengatakan, perubahan ini melihat kondisi yang ada selama beberapa tahun ini. KTSP yang memberikan keleluasaan kepada guru untuk membuat kurikulum secara mandiri di masing-masing sekolah ternyata tak berjalan mulus. Tidak semua guru memiliki dan dibekali profesionalisme untuk membuat kurikulum. Yang terjadi, jadinya hanya mengadopsi saja. (Kompas.com, 29 Nov 2012). Beratnya beban kurikulum pendidikan sudah lama dikeluhkan. Kurikulum yang berat ini karena adanya pemaksaan berbagai ilmu yang belum dibutuhkan, antara lain dengan alasan mengikuti perkembangan dunia internasional. Sudah tentu jika alasannya seperti ini akan banyak tsaqafah asing yang akan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di negeri ini. Lebih parahnya, pelajaran agama tidak menjadi sentral dalam pelajaran. Jangan dipikir bahwa dengan mempelajari Islam atau pendidikan sesuai syariah Islam akan membuat kita bodoh teknologi. Sejarah membuktikan, bahwa kaum Muslim adalah orang-orang yang pertama pandai atau melek teknologi/sains. Sebelum orang-orang kafir Barat, banyak ilmuwan Islam yang menjadi penemu dalam hal sains dan teknologi. Pergantian kurikulum sebenarnya hanya untuk peluang bisnis besar untuk berbagai pihak terutama sekolah sebab dana untuk anggaran kurikulum 2013 sudah turun sejak 2011 padahal masih mau diuji cobakan tahun 2013. Merubah kurikulum merupakan perubahan cabang yang tidak membawa perubahan yang signifikan jika mau mengatasi kerusakan generasi. Akar yang rusak tidak bisa mengalirkan air ke seluruh bagian tumbuhan, daun-daun menjadi rusak. Begitupun dengan wajah buruk pendidikan saat ini. Tuntutan hidup semakin banyak, pelajar jadi PSK, belajar agama sejak kecil saat dewasa jadi PSK, kepribadian baik tapi tidak siap menghadapi tuntutan kehidupan. Akar masalahnya adalah visi pendidikan yang sejalan dengan kapitalisme. 3. Masyarakat Masyarakat merupakan eksteren yang juga berpengaruh terhadap pelajar. Pengaruh itu terjadi karena keberadaan pelajar dalam masyarakat yang mencakup kegiatan pelajar dalam masyarakat, mass media, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, masyarakat merupakan faktor ketiga dalam pilar pendidikan. Namun, hal ini terjadi masalah juga di mana telah terjadi pergeseran paradigma dalam ruang lingkup masyarakat. Hal ini tidak lepas dari sistem kehidupan kapitalisme yang dianut oleh masyarakat. Contohnya saja kasus contek massal yang terjadi di salah satu SD negeri di Surabaya di mana pelapornya malah dimusuhi oleh masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran sistem nilai di masyarakat bahwa perbuat menyontek yang buruk dianggap sesuatu yang legal dan biasa.

Anda mungkin juga menyukai