Anda di halaman 1dari 9

Penentuan Radius Bulir Materi Antar Bintang dari Data Kurva Ekstingsi dan Model Berbasis Teori Mie1

Nur Hasanah,2 Sri Wahyu Cahya Ningsih,3 dan Tri Laksmana4 Departemen Astronomi, FMIPA, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 Abstrak Ekstingsi cahaya bintang yang melewati materi antar bintang (MAB) dapat dijelaskan sebagai fenomena hamburan cahaya oleh partikel kecil. Radius bulir MAB dapat ditentukan dengan bertumpu pada dua teori yaitu pertama adalah teori hantaran radiasi yang memberikan hubungan antara absorpsi total A dengan radius r dan faktor efisiensi Qext, dan yang kedua adalah Teori Mie yang merupakan solusi persamaan Maxwell bagi permukaan bulir dengan radius r dan indeks bias m. Solusi bagi Teori Mie memberikan penentuan formula Qext untuk harga m dan r tertentu, dan penggabungan kedua teori ini memungkinkan kita menentukan radius bulir MAB yang dapat mereproduksi kurva ekstingsi teoritis yang paling cocok dengan kurva ekstingsi pengamatan. Pada pekerjaan ini akan ditentukan radius bulir es (indeks bias m = 1.33) pada MAB yang bertanggungjawab terhadap ekstingsi cahaya bintang pada daerah panjang gelombang > 3600 melalui trial and error. Dari komputasi numerik diperoleh radius bulir r = 0.31 m memberikan 2 yang paling kecil dan cocok dengan data pengamatan. Walaupun demikian partikel es murni ini tidak dapat dikatakan sebagai material tunggal penyusun MAB karena partikel ini gagal mereproduksi ekstingsi masif pada daerah ultraviolet ( 2200 ), dan juga partikel lain seperti besi, grafit dan silikat juga dapat memberikan fitting yang sama baiknya. Kata Kunci : materi antar bintang, ukuran bulir, ekstingsi, Teori Mie 1. Pendahuluan Apabila cahaya yang dipancarkan oleh bintang melewati materi antar bintang, maka sebagian cahaya bintang tersebut akan mengalami pelemahan atau ekstingsi yang besarnya bergantung pada panjang gelombang. Dari fakta observasi kita mengetahui bahwa konstituen penyusun materi antar bintang adalah gas dan debu. Gas tidak dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena ekstingsi karena sifatnya yang tipis optis (optically thin). Opasitas gas bersumber dari transisi elektron bebasterikat, transisi elektron bebas-bebas, dan hamburan oleh elektron bebas. Opasitas
1 2 3 4

yang disebabkan oleh transisi elektron sangat rendah karena kerapatan gas dalam materi antar bintang sangat kecil dan konsekuensinya tekanan elektron yang bertanggung jawab terhadap besarnya opasitas juga sangat kecil. Hamburan oleh elektron bebas juga tidak mungkin karena besarnya konstan pada seluruh panjang gelombang (Hidayat, 1980). Oleh karena itu debulah yang paling berperan dalam ekstingsi oleh materi antar bintang, walaupun massanya lebih kecil dari massa gas. Penetapan debu sebagai pelaku ekstingsi antar bintang mengharuskan kita memandang fenomena ekstingsi sebagai hamburan cahaya oleh partikel padat berukuran kecil (small solid

Disampaikan dalam presentasi Ujian Akhir Semester mata kuliah AS-5100 Hantaran Radiasi dalam Astrofisika NIM 103 01 005 NIM 103 01 009 NIM 103 99 007

particle). Teori hamburan cahaya oleh partikel seperti demikian memandang fenomena hamburan sebagai difraksi gelombang elektromagnetik oleh benda padat kecil yang berbentuk bulir (grain) sferis dengan radius r. Hal ini dilakukan dengan menyelesaikan Persamaan Maxwell dengan syarat batas bagi permukaan sferis dari bulir tersebut. Untuk bola homogen persoalan ini dipecahkan oleh Gustav Mie pada tahun 1908 dan secara terpisah pula oleh Peter Debye pada tahun 1909. Solusi ini dideskripsikan secara lengkap oleh van de Hulst (1981). Ekstingsi antar bintang itu sendiri adalah pelemahan intensitas radiasi karena adanya penyerapan (absorpsi) dan hamburan (scattering) cahaya oleh bulir-bulir materi antar bintang. Intensitas peredaman yang dialami cahaya bintang bergantung pada bentuk dan distribusi partikel materi antar bintang. Dalam pekerjaan ini akan dibatasi bentuk partikel berbentuk bola (sferis) dengan radius r dan partikel bersifat homogen dan isotropis. Unsur yang ditinjau adalah es murni dengan indeks bias m = 1.33. Unsur ini memiliki konduktivitas nol sehingga merupakan partikel non-absorpsi. 2. Persamaan Hantaran Radiasi Apabila kita misalkan materi antar bintang tersebut memiliki koefisien absorpsi sebesar (cm-1), yang mewakili jumlah energi yang hilang dari berkas cahaya dengan intensitas I yang melewati materi antar bintang sepanjang jarak ds, maka jumlah energi yang hilang adalah dI = I ds (1) Solusi dari persamaan diferensial (1) adalah
s I (s ) = I (s o ) exp (s )ds . (2) s 0 Persamaan (2) dapat kita sederhanakan bila kita menggunakan variabel , yang didefinisikan sebagai tebal optis, melalui d = ds , (3)

= (s )ds .
s s0

(4)

Tebal optis yang didefinisikan seperti di atas diukur sepanjang jalur berkas cahaya. Dengan bantuan Persamaan (4) maka Persamaan (2) menjadi I (s ) = I (s o ) exp( ) . (5) Di mana I(s) dan I(so) masing-masing adalah intensitas yang diterima pengamat dan intensitas tanpa mengalami serapan. Koefisien absorpsi pada Persamaan (3) bergantung pada luas penampang silang , faktor efisiensi ekstingsi Qext, dan jumlah partikel n, sehingga Persamaan(3) dapat ditulis menjadi d = Qext n( s )ds (6)

= Qext n(s )ds = NQext , (7)


s s0

Di mana N adalah rapat kolom dari bulir penyerap sepanjang garis pandang pengamatan. Adapun besarnya Qext berbeda-beda untuk setiap panjang gelombang dan bergantung pula terhadap indeks bias bulir. Penampang silang bulir sendiri merupakan luas lingkaran tengah bulir dengan radius a:

= r 2

(8)

3. Absorpsi oleh Materi Antar Bintang Adanya hubungan antara persamaan hantaran radiasi dengan besarnya absorpsi oleh materi antar bintang dapat ditunjukkan melalui Hukum Pogson. Kita mengetahui bahwa ekstingsi antar bintang merupakan selisih antara magnitudo bintang yang mengalami ekstingsi dengan magnitudo bintang tanpa ekstingsi:

I (s ) 0 = 2.5 log A m m I (s ) (9) o Dengan bantuan Persamaan (5) maka Persamaan (9) menjadi

atau 2

A = 2.5 log e = 2.5 log e = 1.086

( )
(10)

Dengan definisi pada Persamaan (7), maka Persamaan (10) menjadi (Spitzer, 1978) A = 1.086 N Qext (11) Persaman (11) ini mengasumsikan ukuran bulir yang identik satu sama lain. 4. Faktor Efisiensi Ekstingsi Dalam banyak kasus telah banyak digunakan Teori Mie tentang hamburan dan absorpsi oleh bulir berbentuk bola dengan indeks bias m berbentuk kompleks maupun riil (van de Hulst, 1981) untuk menentukan faktor efisiensi ekstingsi Qext pada berbagai panjang gelombang. Kita andaikan cahaya bintang berupa gelombang elektromagnetik bidang yang merambat sepanjang sumbu z. Kita asumsikan pula gelombang terpolarisasi linear. Titik awal koordinat berada di pusat bulir dan sumbu-z positif adalah arah penjalaran gelombang dan sumbu-x adalah arah osilasi medan listrik. Persamaan gelombang kemudian dideskripsikan sebagai
E ( z , t ) = a x exp ( ikz + it ) H ( z , t ) = a y exp ( ikz + it )

1 D c t 1 H (13) D = c t D = 4 H = 0 Sedangkan syarat batas yang dimaksud adalah batas tegas antara dua media homogen. Dianggap medium memiliki indeks bias m1 dan m2 yang diasumsikan besarnya berhingga. Misalkan n adalah vektor normal terhadap permukaan batas dan mengarah ke medium 2. Dua bagian pertama Persamaan (13) kemudian memberikan syarat batas bagi komponen tangensial: H =
n ( H 2 H1 ) = 0 n ( E 2 E1 ) = 0

(14)

sementara dua bagian terakhir memberikan syarat batas bagi komponen normal:
2 n ( m2 E2 m12 E1 ) = 0

n ( H 2 H1 ) = 0

(15)

(12)

Bila indeks bias m mengandung unsur kompleks maka gelombang akan teredam. Bila m riil maka gelombang tak teredam. Bila kasus yang kedua terjadi maka panjang gelombang dalam medium adalah /m. Energi gelombang akan hilang melalui (a) absorpsi yaitu konversi energi pancaran menjadi energi internal bulir, dan (b) melalui hamburan. Kombinasi keduanya, dalam kasus partikel dengan radius sembarang, menghasilkan fenomena yang kompleks Teori Mie sendiri adalah solusi bagi persamaan Maxwell dengan syarat batas yang cukup. Persamaan Maxwell, dalam notasi Gauss, memiliki empat wujud: 3

Sebagai penyederhanaan notasi kita asumsikan medium di luar bulir adalah vakum (m2 = 1) dan material bulir adalah isotropik dengan indeks bias sembarang m. Langkah-langkah penyelesaian bagi syarat batas ini sangatlah rumit. Namun hubungan-hubungan berikut ini dapat diturunkan: Qext = Qsca Qext 2 (2n + 1) Re(an + bn ) x 2 n =1 2 2 2 (16) = 2 (2n + 1) a n + bn x n =1 = Qsca + Qabs

di mana x adalah parameter tak berdimensi yang terkait dengan radius r dan panjang gelombang melalui hubungan 2r , (17) x= sementara an dan bn adalah

Gambar 1 Kurva Qext terhadap x, dihitung melalui Persamaan (19) dan (20)

(mx) n ( x) m n (mx) n ( x) n (mx ) n ( x ) m n (mx) n ( x) n (mx) n ( x) n (mx) n ( x) m n bn = (mx) n ( x) n (mx) n ( x) m n an =

yang memiliki hubungan dengan fungsi Bessel sferis, jn(z) dan hn(2)(z): n ( z ) = zjn ( z )
= ( z / 2)1/ 2 J n +1/ 2 ( z )
(2) ( z) n ( z ) = zhn

n(z), n(x) adalah fungsi Riccati-Bessel

solusi Mie. Dalam pekerjaan ini partikel yang ditinjau adalah es yang merupakan dielektrik sempurna dan memiliki indeks bias riil m = 1.33. Karena indeks bias es riil maka es merupakan isolator dan tidak ada energi yang diserap oleh bulir. Ekstingsi hanya melibatkan hamburan sehingga berlaku Qext = Qsca (18) Perhitungan Qext untuk batasan-batasan ini diadopsi dari van de Hulst (1981), yang memberikan pendekatan perhitungan Qext bagi bola non-absorpsi dengan indeks bias mendekati 1. Pada kasus ini formula untuk Qext menjadi 4 4 Qext = 2 sin + 2 (1 cos ) (19)

= ( z / 2)1/ 2 [ J n +1/ 2 ( z ) + i (1) n J n 1/ 2 ( z )] Untuk setiap indeks bias m dan parameter x yang diberikan, problem komputasi dalam teori Mie adalah mencari nilai an dan bn. Untuk kasus dielektrik sempurna, konduktivitas material adalah nol dan bulir akan menjadi bola non-absorpsi. Indeks bias m akan berupa konstanta riil dan solusi bagi persamaan an dan bn hanya akan melibatkan fungsi Bessel dalam argumen riil. Sementara untuk kasus konduktor, indeks bias m akan memiliki argumen kompleks dalam bentuk m = n ik dan fungsi Bessel akan melibatkan argumen kompleks. Pendekatan untuk berbagai kasus m dan x dapat dilakukan untuk menyederhanakan

dengan

= 2x m 1

(20)

Ini adalah salah satu formula terpenting dalam teori Mie karena fitur penting dalam kurva ekstingsi dapat direproduksi tidak hanya untuk m yang mendekati 1 tetapi bahkan untuk m yang mencapai 2 (van de Hulst, 1981). Wujud Kurva Qext terhadap x yang telah dihitung ditampilkan pada Gambar 1. 4

(m )
250 100 60 35 25 20 18 15 12 10 9.7 9.0 7.0 5.0 3.4 2.2 1.65 1.25 0.90 0.70 0.55 0.44 0.365 0.33 0.28 0.26 0.24 0.218 0.2 0.18 0.15 0.13 0.12 0.091 0.073

1
0.004 0.010 0.017 0.029 0.040 0.050 0.056 0.067 0.083 0.100 0.103 0.111 0.143 0.200 0.294 0.455 0.606 0.800 1.111 1.429 1.818 2.273 2.740 3.030 3.571 3.846 4.167 4.587 5.000 5.556 6.667 7.692 8.333 10.989 13.699

A AV
4.2(-4) 1.2(-3) 2.0(-3) 3.7(-3) 0.014 0.021 0.023 0.015 0.028 0.054 0.059 0.042 0.020 0.027 0.051 0.108 0.176 0.282 0.479 0.749 1.000 1.310 1.560 1.650 1.940 2.150 2.540 3.180 2.840 2.520 2.660 3.120 3.580 4.850 5.380

E
0.000 0.003 0.005 0.011 0.044 0.066 0.073 0.047 0.089 0.173 0.189 0.134 0.063 0.086 0.163 0.347 0.566 0.908 1.544 2.415 3.224 4.224 5.031 5.321 6.257 6.934 8.192 10.257 9.160 8.128 8.579 10.063 11.547 15.644 17.353

H J I R V B U

Gambar 2 Kurva ekstingsi ternormalisasi berdasarkan data pada Tabel 1.

Tabel 1 Data ekstingsi yang diadopsi dari Allens Astrophysical Quantities. Pada kolom keempat dihitung ekstingsi yang dinormalisasi terhadap = 250 m.

Gambar 3 Pemetaan log 2 terhadap radius r. Pada grafik ini tampak jelas bahwa r = 0.315 m memberikan 2 yang paling kecil.

5. Data dan Proses Perhitungan Data observasi yang digunakan pada pekerjaan ini diambil dari data ekstingsi pada Allens Astrophysical Quantities yang tercantum pada Tabel 1. Data yang diambil dari sumber meliputi panjang gelombang (dalam satuan m) dan Absorpsi total relatif terhadap AV. Dari data ini kemudian dihitung ekstingsi ternomalisasi observasi 5

E()obs untuk setiap panjang gelombang melalui persamaan A( ) A(V ) (21). E ( )obs = A(B ) A(V ) Hasil plot E()obs terhadap resiprok panjang gelombang (disebut juga bilangan gelombang) -1, diberikan pada Gambar 2. Pada kurva ekstingsi nampak terdapat bagian yang hampir linear pada rentang 0.0<-1<3.0. Bentuk ini juga menyerupai

Gambar 4 Bagan alir dari penentuan radius bulir r dan 2. Radius bulir yang kemudian diadopsi adalah radius yang memberikan harga 2 yang paling kecil. Adapun 2 sendiri merupakan rata-rata dari kuadrat selisih ekstingsi obervasi dengan ekstingsi teoritis.

kurva Qext(x) pada Gambar 1. Secara intuitif dapat kita katakan bahwa kurva ekstingsi pada rentang tersebut dipengaruhi oleh besarnya Qext pada rentang yang sama. Oleh karena itu untuk selanjutnya hanya data pada daerah ini yang digunakan dalam pemodelan. Ekstingsi ternormalisasi teoritis ditentukan dengan mensubstitusikan Persamaan (11) ke dalam Persamaan (21), sehingga faktor 1.086N menghilang dan Ekstingsi teoritis hanya bergantung pada faktor efisiensi ekstingsi Qext: Q ( ) Qext (V ) E ( )teori = ext . (22) Qext (B ) Qext (V ) Qeks sendiri merupakan fungsi yang 6

bergantung pada radius bulir r dan panjang gelombang. Formula untuk Qeks pada Persamaan (19) mengharuskan kita untuk memasukkan r, sementara yang kita cari justru r itu sendiri. Masalah ini diselesaikan dengan mengambil nilai r tertentu secara trial and error dan r yang paling tepat ditentukan dengan meninjau best fit antara ekstingsi teramati dengan ekstingsi teoritis. Ini diwakili oleh variansi yang diberikan oleh parameter 2:

2 =

1 N [E ( )obs E ( )teori ]2 (23) N 2 i =1

Proses ini diulangi untuk berbagai harga r. Pada proses iterasi ini dihitung 2 antara r = 0.001 hingga 3.000 m dengan selang

Gambar 5 Perbandingan antara data ekstingsi teramati (titik), kurva ekstingsi best fit (garis merah), dan beberapa contoh kurva ektingsi pada radius r sembarang, dalam hal ini diambil contoh r = 0.1 m dan r = 0.5 m

perhitungan 0.001 m. Keseluruhan algoritma program yang telah dijelaskan di atas ditunjukkan dalam bagan alir pada Gambar 4. Hasil yang diperoleh, yaitu pemetaan log 2 terhadap radius r, ditunjukkan pada Gambar 3. Dari grafik ini tampak jelas bahwa radius r = 0.31 m memberikan variansi 2 yang secara signifikan paling kecil di antara rentang r lainnya. 6. Diskusi dan Kesimpulan Radius partikel yang diperoleh, r = 0.31 m, berhasil mereproduksi kurva ekstingsi yang sangat cocok dengan kurva ekstingsi teramati pada daerah bilangan gelombang 0.00<-1<3.00, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Radius yang diperoleh ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Oort dan van de Hulst (1946). Dengan menggunakan fungsi distribusi bulir terhadap radius dalam bentuk eksponensial, mereka menemukan radius bulir sebesar 0.31 m memberikan kontribusi maksimal terhadap Qext pada panjang gelombang fotografi (0.45 m), dan bahwa radius efektif ini juga berlaku untuk seluruh panjang gelombang. Wickramasinghe et.al (1966) juga menggunakan metode yang sama dan menemukan bahwa kontribusi 7

maksimal pada Qext diberikan oleh partikel dengan radius bulir antara 0.25 hingga 0.3 m, suatu harga yang juga cocok dengan pekerjaan ini. Namun hasil yang baik dan cocok satu sama lain ini bukannya tanpa masalah. Pada daerah yang sama, partikel grafit dan silikat juga memberikan fitting dengan hasil yang baik dan demikian pula dengan bulir besi dengan radius 0.02 m (Scheffler dan Elssser, 1988). Bulir es juga gagal dalam dua hal, yaitu pertama mereproduksi kurva ekstingsi pada -1>3.00 sebagaimana terlihat pada Gambar 5, dan kedua tidak dapat menjelaskan punuk ekstingsi masif pada daerah ultraviolet ( 2200, -1 4.59). Berdasarkan karakteristik kurva ekstingsi seperti yang telah ditampilkan pada Gambar 2, maka unsur yang dapat memenuhi syarat adalah material yang menjadi pengabsorbsi pada titik tersebut dan di bawah 2000 menjadi reflektor kembali. Karakteristik ini tak dapat direproduksi oleh bulir es. Reproduksi oleh bulir Grafit sendiri menghasilkan maksimum pada titik puncak tersebut namun dibutuhkan radius yang sangat kecil, yaitu r 0.02 m sementara pada daerah visual justru radius partikel grafit ini jauh lebih besar (r 0.05 m) dan malah akan menghasilkan deviasi pada kurva ekstingsi di daerah UV. Dengan demikian asumsi grafit sebagai satu-satunya partikel juga tak dapat didukung (Scheffler dan Elssser, 1988). Partikel lain seperti bulir silikat juga dapat menjelaskan keberadaan punuk pada daerah UV tersebut. Oleh karena itu perhitungan kurva ekstingsi teoritis harus mengikutkan berbagai campuran bulir: es kotor, grafit, silikat, oksida metal, dan seterusnya. Paling tidak telah dipastikan bahwa paling sedikit dibutuhkan dua atau tiga komponen: bulir dielektrik besar untuk daerah optik dan inframerah dengan radius dalam orde 0.1 m, dan bulir kecil pengabsorpsi untuk daerah ultraviolet dengan radius 1/10 kali radius bulir besar sebelumnya.

7. Ucapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Hakim L. Malasan yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi tentang berbagai metode dalam makalah ini. Tanpa bantuan beliau pekerjaan ini tak akan dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada rekan Pujiatmaji dari Departemen Teknik Sipil yang telah meminjamkan komputer untuk melakukan seluruh proses komputasi dalam makalah ini. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Aprillia, M.Si yang telah memberikan tugas ini dan membolehkan kami memilih topik ini. 8. Daftar Pustaka Cox, A.N. (ed.) 2003, Allens Astrophysical Quantities (New York: Athlone Press).

Hidayat, B. 1980, Materi Antar Bintang (Bandung: Penerbit ITB). Oort, J.H. dan van de Hulst, H.C. 1946, Gas and smoke in interstellar space, BAN 10: 187-204. Scheffler, H. & Elssser, H. 1988, Physics of the Galaxy and Interstellar Matter (Heidelberg: Springer-Verlag). Spitzer, L. 1978, Physical Processes in the Interstellar Medium (New York: Wiley). van de Hulst, H.C. 1981, Light Scattering by Small Particles (New York: Dover Publications). Wickramasinghe, N.C. 1967, Interstellar Grains (London: Chapman & Hall). Wickramasinghe, N.C., Ray, W.D., dan Wyld, C. 1966, On the frequency distribution of ice grain sizes, MNRAS 132: 137-142.

Lampiran I. Listing Program


program qext3; uses math; type DoubArray = array [1..50] of double; const m = 1.33; var A, lambda, lambda_1 : DoubArr x, E_obs, E_comp, Q_ext : DoubArr; r, step, r_end, x : double; p, sin_p, cos_p : double; chi2, norm_factor : double; n, i : integer; Input_File : String[15]; Output_file : String[15]; Output_file2 : String[15]; InFile : text; OutFile : text; Outfile2 : text; begin n:= 35; //Ambil Data dari File Input_File:= 'data.txt'; assign (InFile, Input_File); reset(InFile); for i:=1 to n do read (infile, lambda[i], A[i]); close (InFile); //Hitung Ekstingsi ternormalisasi Teramati norm_factor:= (A[1] - A[21])/(A[22] - A[21]); for i:= 1 to n do E_obs[i]:= (A[i] - A[21])/(A[22] - A[21]) - norm_factor;

writeln ('Pembacaan File Sukses '); writeln (' A lambda 1/lambda E'); writeln ('-------------------------------------------------------'); for i:=1 to n do begin write (i:5); lambda_1[i]:= 1/lambda[i]; write (A[i]:10:2, lambda[i]:10:2, lambda_1[i]:10:2, E_obs[i]:10:3); writeln; end; writeln (' A lambda 1/lambda E'); writeln ('--------------------------------------------------'); //Siapkan file1 Output_File:= 'chi_square.txt'; assign (OutFile, Output_File); rewrite(OutFile); writeln (Outfile, 'H A S I L :'); writeln (Outfile, ' radius chi_square'); writeln (Outfile, '--------------------------'); //Inisiasi Nilai Awal r:= 0.01; step:= 0.01; r_end:= 5.00; //Siapkan File2 Output_File2:= 'Q_ext.txt'; assign (OutFile2, Output_File2); rewrite (Outfile2); writeln (Outfile2, 'm = ', m:0:2); writeln (Outfile2, ' lambda x Q_ext E_theor'); writeln (Outfile2, '----------------------------------------------'); //Hitung Q_ext dan Ekstingsi Ternormalisasi untuk r tertentu repeat writeln (Outfile2, 'r = ',r:0:3); //Perhitungan Q_ext dengan Persamaan 17 for i:=1 to n do begin x[i]:= 2*pi*r/lambda[i]; p:= 2*x[i]*abs(m-1); sin_p := sin(p); cos_p := cos(p); Q_ext[i]:= 2 - 4*sin_p/p + 4*(1 - cos_p)/p/p; end; //Perhitungan Ekstingsi Ternormalisasi Komputasi norm_factor:= (Q_ext[1] - Q_ext[21])/(Q_ext[22] - Q_ext[21]); for i:=1 to n do E_comp[i]:= (Q_ext[i] - Q_ext[21])/(Q_ext[22] - Q_ext[21]) - norm_factor; //Tulis Hasil pada file for i:=1 to n do writeln (Outfile2, lambda[i]:10:2,x[i]:12:6,Q_ext[i]:10:6, E_comp[i]:10:6); writeln (Outfile2); //Hitung Goodness of fit chi2:=0; for i:= 1 to n do chi2:= chi2 + sqr(E_obs[i] - E_comp[i]); chi2:= chi2/(n-2); //Menuliskan Hasil Akhir di file writeln (Outfile, r:10:3, chi2:12:6); r:= r + step; {penambahan r dengan step} until r > r_end; close (OutFile); writeln; writeln; writeln ('Perhitungan Sukses. Hasil ada pada file ',Output_File); end.

Anda mungkin juga menyukai