Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

Di negara berkembang insidensi penyakit degeneratif terus meningkat sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup. Dengan bertambah usia harapan hidup ini, maka penyakit degeneratif dan metabolik juga meningkat, seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, dislipidemia, dan termasuk osteoporosis. Saat ini osteoporosis menjadi permasalahan di seluruh negara dan menjadi isu global di bidang kesehatan. 1 Osteoporosis adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan penurunan massa dan densitas tulang serta gangguan arsitektur tulang normal. Berkurangnya kekuatan tulang, maka risiko terjadinya fraktur akan meningkat . World Health Organization (WHO) memasukkan osteoporosis dalam daftar 10 penyakit degeneratif utama di dunia. 1 Tercatat bahwa terdapat kurang lebih 200 juta pasien di seluruh dunia yang menderita osteoporosis. 2

Para ahli tulang di Indonesia sepakat bahwa dengan meningkatnya harapan hidup rakyat Indonesia maka penyakit kerapuhan tulang akan sering dijumpai. Sejak tahun 1990 sampai 2025 akan terjadi kenaikan jumlah penduduk Indonesia sampai 41,1% dan osteoporosis selalu menyertai usia lanjut baik perempuan maupun laki-laki. Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki dan merupakan problema pada wanita pasca menopause. Osteoporosis di klinik menjadi penting karena problema fraktur tulang, baik fraktur yang disertai trauma yang jelas maupun fraktur yang terjadi tanpa disertai trauma yang jelas. Pada studi epidemiologi, kejadian osteoporosis terbanyak terjadi pada tulang belakang diikuti tulang paha kemudian tulang pergelangan, tulang dada, tulang humerus dan tulang panggul. Faktor risiko tinggi untuk terjadinya osteoporosis yaitu : riwayat keluarga, ras kulit putih / Asia, perokok, peminum alkohol dan kopi. Semua faktor risiko ini akan menyebabkan penurunan kadar massa tulang dan mempercepat proses normal kehilangan tulang pada periode postmenopause. Apabila pengukuran kepadatan tulang menunjukkan massa tulang yang rendah, maka individu ini akan mengalami risiko tinggi untuk terjadinya patah tulang di masa yang akan datang. Perbedaan kepadatan tulang ini penting sebagai petunjuk mulainya pengobatan.2
1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tulang 2.1.1. Susunan Tulang


Tulang adalah jaringan hidup dengan matriks protein kolagen yang telah diresapi oleh garam-garam mineral, khususnya fosfat dan kalsium. Tulang menyokong tubuh dan memegang peranan penting pada homeostatis mineral, khususnya fosfat dan kalsium. Protein dalam serabut-serabut kolagen yang membentuk matriks tulang adalah kompleks. Jumlah yang adekuat dari protein dan mineral keduanya harus tersedia untuk mempertahankan struktur tulang yang normal. Mineral dalam tulang sebagian besar dalam bentuk hidroksiapatit. Garam ini membentuk kristal yang ukurannya 20 per 3 7 mm. Natrium dan sejumlah kecil magnesium dan karbonat juga terdapat dalam tulang.6
Secara histologis terdapat 3 jenis tulang. Tulang kompakta ditemukan pada badan tulang-tulang panjang dan permukaan luar tulang-tulang pipih. Ia tersusun dalam gabungan silinder-silinder tulang sekitar pembuluh darah sentral yang dinamakan osteon atau sistem havers. Cancellous bone yang membentuk trabekula yang membatasi rongga sumsum. Woven bone merupakan bentuk tulang imatur yag juga ditemukan pada tempat-tempat fraktur. 6 Tulang adalah selluler dan mendapat vaskularisasi yang baik, aliran darah total tulang pada manusia diperkirakan kira-kira 200 400 ml / menit. Selama hidup, mineral dalam rangka secara aktif diadakan pertukaran, dan tulang secara konstan diresorpsi dan dibentuk kembali. Turnover kalsium dalam tulang kecepatannya 100 % pertahun pada bayi dan 18 % pertahun pada orang dewasa. 6,7 Sel-sel dalam tulang yang terutama berhubungan dengan pembentukan dan resorpsi tulang adalah osteoblast, osteosit, dan osteoklas. Osteoblast adalah sel pembentuk tulang yang mengsekresi kolagen, membentuk matriks sekitar mereka sendiri yang kemudian mengalami kalsifikasi. Osteosit adalah sel-sel tulang yang dikelilingi oleh matriks yang telah mengalami kalsifikasi. Mereka mengirimkan tonjolan-tonjolannya kedalam kanalikuli yang bercabang-cabang diseluruh tulang. Osteoklas adalah sel multinuklear yang mengerosi dan meresorpsi tulang yang sebelumnya terbentuk. Osteoklas sekarang dianggap berasal dari stem sel hemopoitik
2

melalui monosit. Mereka tampak memfagositosis tulang, mencernakannya dalam sitoplasmanya; itulah sebabnya mengapa tulang sekitar osteoklas aktif mempunyai sifat berkerut atau pinggir yang seperti terkunyah. Osteoblas sebaliknya berasal dari sel osteoprogenitor yang berasal dari mesenkim. Osteoblas membentuk matriks tulang dan, bila mereka dikelilingi tulang baru, menjadi osteosit. Akan tetapi osteosit akan tetap berhubungan satu dengan lainnya dan dengan osteoblas melalui tonjolantonjolan sitoplasma yang panjang yang berjalan melalui saluran-saluran pada tulang. Osteoblas, osteoklas dan osteosit semuanya dipengaruhi oleh hormon-hormon yang mengatur struktur tulang.6,7 Tulang menjadi keras dan kuat oleh karena terdiri dari serat-serat struktur protein yang bergabung dengan kristal kalsium fosfat yang keras. Tulang menunjang badan, melindungi organ-organ vital, tempat perlekatan otot-otot dan tempat simpanan mineral aktif (antara lain kalsium). Bentuk tulang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya, 80% berbentuk padat dan 20% berbentuk karang ( bunga karang, trabekular ).6 Tulang mempunyai beberapa stimulator sel-sel tulang dan bermacam-macam protein yang segera membentuk perbaikan apabila terjadi kerusakan tulang maupun proses rutin perubahan-perubahan tulang. Semua tulang akan melalui siklus perubahan tulang yang sesuai dengan siklus kehidupan. Perubahan ini diatur oleh sistem hormonal dan faktor-faktor lokal yang dimulai dengan tulang, mekanisme pelepasan kalsium bersirkulasi dan terjadinya perbaikan tulang. Perubahan tulang (remodeling) ini melalui beberapa fase yaitu : fase istirahat, fase aktivasi, fase osteoklas, fase resorpsi, fase perbaikan dan fase osteoblas. 8 Osteoklas, seperti telah dijelaskan diatas, adalah giant cell yang berinti banyak, derivat dari monosit-makrofag dengan ukuran diameter 20 100 mikron. Ditemukan pada permukaan tulang yang menimbulkan proses erosi atau resorpsi, dimana osteoklas ini akan membentuk lubang-lubang disebut lakuna. Osteoklas akan meningkat dalam hal jumlah dan aktifitas yang dipengaruhi oleh hormon paratiroid dan 1,25 vitamin D, dan akan menurun di bawah pengaruh kalsitonin. Sitoplasmanya mengandung enzim lisosom yang disekresikan ke permukaan tulang dan menimbulkan proses resorpsi. Satu sel osteoklas dapat menghancurkan 100 150 sel osteoblas dari sejumlah tulang. Sedangkan osteoblas merupakan derivat dari sel
3

mesenkim, ditemukan pada permukaan tulang yang mengalami proses pertumbuhan dan perubahan (remodeling).8

2.1.2. Kepadatan Tulang (Densitas Tulang)


Kepadatan tulang erat hubungannya dengan kekuatan tulang dan perubahan-perubahan tulang yang terjadi selama kehidupan. Kepadatan tulang meningkat selama periode pertumbuhan wanita, dan tetap berlangsung walaupun pertumbuhan tulang telah berhenti. Pada wanita usia 35 40 tahun dengan menstruasi yang teratur, kepadatan tulang tidak meningkat atau menurun. Pertumbuhan tulang mencapai puncaknya pada usia 25 35 tahun untuk tulangtulang trabekular ( antara lain tulang belakang ) dan pada usia 35 40 tahun untuk tulang-tulang kortikal. Setelah pematangan tulang selesai, kehilangan tulang dimulai dan berlangsung terus sampai usia 85 90 tahun.3
Pada periode menopause, kepadatan tulang trabekular akan menurun pada tulang belakang yaitu 1 8 % pertahun dan pada leher tulang paha terjadi penurunan tulang kortikal sebesar 0,5 5 % pertahun. Kehilangan tulang pada 5 10 tahun setelah mengalami menopause sebesar 0,5 % pertahun (tabel 1). 1,6 Seorang wanita selama kehidupannya akan kehilangan 40 50 % jumlah tulang secara keseluruhan. Sedangkan pada pria hanya sebesar 20 30 %. 3 --------------------------------------------------------------------------------------------------1. Tulang trabekular ( tulang belakang, leher tulang paha, tulang radius bagian bawah) - Bertambah sampai usia 35 40 tahun - Berkurang mulai usia 40 45 tahun: 45 50 tahun : pengurangan rata-rata 0,5 1,0% 50 60 tahun : pengurangan rata-rata 3,0 5,0% > 60 tahun : pengurangan rata-rata 0,5 1,0% 2. Tulang kortikal ( tulang-tulang panjang pada lengan dan tungkai ) - Bertambah sampai usia 35 40 tahun - Berkurang mulai usia 40 50 tahun : rata-rata 0,5% -------------------------------------------------------------------------------------------------------Tabel 1: Perubahan massa tulang berhubungan dengan umur
Dikutip dari Osteoporosis, Jones DL.7

Banyaknya kehilangan massa tulang pada wanita, selain disebabkan kenaikan / tuanya usia dihubungkan juga dengan penurunan kadar estrogen dalam darah karena penurunan fungsi dan terhentinya fungsi ovarium dan diduga penurunan hormon
4

progesteron ikut berperan. Pada wanita postmenopause jumlah kehilangan tulang trabekular melebihi tulang kortikal.2 Pada wanita usia menopause sampai usia 70 tahun, kejadian patah tulang oleh karena osteoporosis sering terjadi pada tulang belakang dan pergelangan tangan, dan setelah usia 70 tahun patah tulang collum femur akan meningkat. Patah tulang belakang menyebabkan back pain sebesar 5 10 % pada wanita usia 70 tahun. Fraktur Colleys pada pergelangan tangan sebesar 4 9 % pada wanita usia kurang dari 70 tahun. 3 Insiden patah tulang paha akan meningkat secara dramatis pada usia 70 tahun, terjadi 300 per 10.000 pada wanita usia 80 tahun dan 500 per 10.000 pada wanita usia 90 tahun.3

2.2 Osteoporosis 2.2.1. Definisi


Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan mineral yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, sehingga terjadi penurunan kekuatan tulang.5 World Health Organization (WHO) secara operasional mendefinisikan osteoporosis berdasarkan Bone Mineral Density (BMD), yaitu jika BMD mengalami penurunan lebih dari -2,5 SD dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat (Bone Mineral Density T-score < -2,5 SD). Osteopenia adalah nilai BMD -1 sampai -2,5 SD dari orang dewasa muda sehat.5

2.2.2.

Etiologi
Ada 2 penyebab utama osteoporosis, yaitu tergganggunya pembentukan masa puncak tulang selama masa pertumbuhan dan meningkatnya pengurangan masa tulang setelah menopause.

2.2.3.

Klasifikasi
Menurut pembagiannya, osteoporosis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Osteoporosis Primer
5

Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya. Pada tahun 1983, Riggs dan Melton membagi osteoporosis primer menjadi 2 tipe, yaitu Osteoporosis tipe I dan osteoporosis tipe II. Osteoporosis tipe I disebut juga osteoporosis pasca menopause. Osteoporosis tipe ini disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Namun pada sekitar tahun 1990, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat berperan pada osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis. 8 2. Osteoporosis Sekunder Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya, yaitu terjadi karena adanya penyakit lain yang mendasari, defisiensi atau konsumsi obat yang dapat menyebabkan osteoporosis.8

1) Penyebab genetik (kongenital): Kistik fibrosis Ehlers Danlos syndrome Penyakit penyimpanan glikogen Penyakit Gaucher Hemokromatosis Homosistinuria Hiperkalsiuria idiopatik Sindroma marfan Osteogenesis imperfekta 2) Keadaan hipogonad Insensitifitas androgen Anoreksia nervosa / bulimia nervosa Hiperprolaktinemia Menopause prematur 3) Gangguan endokrin: Akromegali Insufisiensi adrenal
6

Sindroma Cushing Diabetes Melitus Hiperparatiroidism Hipertiroidisme Hipogonadism Kehamilan Prolaktinoma 4) Gangguan yang diinduksi obat Glukokortikoid Heparin Antikonvulsan Barbiturat Antipsikotik

2.2.4.

Faktor Resiko
1. Usia Semua bagian tubuh berubah seiring dengan bertambahnya usia, begitu juga dengan rangka tubuh. Mulai dari lahir sampai kira-kira usia 30 tahun, jaringan tulang yang dibuat lebih banyak daripada yang hilang. Tetapi setelah usia 30 tahun situasi berbalik, yaitu jaringan tulang yang hilang lebih banyak daripada yang dibuat. Tulang mempunyai 3 permukaan, atau bisa disebut juga dengan envelope, dan setiap permukaan memiliki bentuk anatomi yang berbeda. Permukaan tulang yang menghadap lubang sumsum tulang disebut dengan endosteal envelope, permukaan luarnya disebut periosteal envelope, dan diantara keduanya terdapat intracortical envelope. Ketika masa kanak-kanak, tulang baru terbentuk pada periosteal envelope. Anak- anak tumbuh karena jumlah yang terbentuk dalam periosteum melebihi apa yang dipisahkan pada permukaan endosteal dari tulang kortikal. Pada anak remaja, pertumbuhan menjadi semakin cepat karena meningkatnya produksi hormon seks. Seiring
dengan meningkatnya usia, pertumbuhan tulang akan semakin berkurang.
7

Proporsi osteoporosis lebih rendah pada kelompok lansia dini (usia 55-65 tahun) daripada lansia lanjut (usia 65-85 tahun). Peningkatan usia memiliki hubungan dengan kejadian osteoporosis. Jadi terdapat hubungan antara osteoporosis dengan peningkatan usia. Begitu juga dengan fraktur osteoporotik akan meningkat dengan bertambahnya usia. Insiden fraktur pergelangan tangan meningkat secara bermakna setelah umur 50, fraktur vertebra meningkat setelah umur 60, dan fraktur panggul sekitar umur 70 .4

2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis. Wanita secara signifikan memilki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40-60%, karena akibat dari hipogonadisme, konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan. 25 Secara keseluruhan perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1. 4

3. Ras
Pada umumnya ras Afrika-Amerika memiliki massa tulang tertinggi, sedangkan ras kulit putih terutama Eropa Utara, memiliki massa tulang terendah. Massa tulang pada ras campuran Asia-Amerika berada di antara keduanya.(24) Penelitian menunjukkan bahwa, bahkan pada usia muda terdapat perbedaan antara anak Afrika-Amerika dan anak kulit putih. Wanita Afrika-Amerika umumnya memiliki massa otot yang lebih tinggi. Massa tulang dan massa otot memiliki kaitan yang sangat erat, dimana semakin berat otot, tekanan pada tulang semakin tinggi sehingga tulang semakin besar. Penurunan massa tulang pada wanita Afrika-Amerika yang semua cenderung lebih lambat daripada wanita berkulit putih. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan hormon di antara kedua ras tersebut.4

4. Riwayat Keluarga
Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa tulang. Penelitian terhadap pasangan kembar menunjukkan bahwa puncak massa tulang di bagian pinggul dan tulang punggung sangat bergantung pada genetika. Anak perempuan
8

dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki massa tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka (kira-kira 3-7 % lebih rendah). Riwayat adanya osteoporosis dalam keluarga sangat bermanfaat dalam menentukan risiko seseorang mengalami patah tulang. 4

5. Indeks masa tubuh


Berat badan yang ringan,indeks massa tubuh yang rendah, dan kekuatan tulang yang menurun memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap berkurangnya massa tulang pada semua bagian tubuh wanita. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa efek berat badan terhadap massa tulang lebih besar pada bagian tubuh yang menopang berat badan,misalnya pada tulang femur atau tibia. 9 Estrogen tidak hanya dihasilkan oleh ovarium, namun juga bisa dihasilkan oleh kelenar adrenal dan dari jaringan lemak. Jaringan lemak atau adiposa dapat mengubah hormon androgen menjadi estrogen. Semakin banyak jaringan lemak yang dimiliki oleh wanita, semakin banyak hormon estrogen yang dapat diproduksi. Penurunan massa tulang pada wanita yang kelebihan berat badan dan memiliki kadar lemak yang tinggi, pada umumnya akan lebih kecil. Adanya penumpukan jaringan lunak dapat melindungi rangka tubuh dari trauma dan patah tulang. 4

6. Aktifitas Fisik
Latihan beban akan memberikan penekanan pada rangka tulang dan menyebabkan tulang berkontraksi sehingga merangsang pembentukan tulang. Kurang aktifitas karena istirahat di tempat tidur yang berkepanjangan dapat mengurangi massa tulang. Hidup dengan aktifitas fisik yang cukup dapat menghasilkan massa tulang yang lebih besar. Itulah sebabnya seorang atlet memiliki massa tulang yang lebih besar dibandingkan yang non-atlet. Proporsi osteoporosis seseorang yang memiliki tingkat aktivitas fisik dan beban pekerjaan harian tinggi saat berusia 25 sampai 55 tahun cenderung sedikit lebih rendah daripada yang memiliki aktifitas fisik tingkat sedang dan rendah. 4

7. Penggunaan Kortikosteroid
Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit autoimun, namun kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis sekunder dan fraktur
9

osteoporotik. Kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya osteoporosis bila dikonsumsi lebih dari 7,5 mg per hari selama lebih dari 3 bulan. 4 Kortikosteroid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus, dan peningkatan ekskresi kalsium pada ginjal, sehingga akan terjadi hipokalsemia. 24 Selain berdampak pada absorbsi kalsium dan ekskresi kalsium , kortikosteroid juga akan menyebabkan penekanan terhadap hormon gonadotropin, sehingga produksi estrogen akan menurun dan akhirnya akan terjadi peningkatan kerja osteoklas. Kortikosteroid juga akan menghambat kerja osteoblas, sehingga penurunan formasi tulang akan terjadi. Dengan terjadinya peningkatan kerja osteoklas dan penurunan kerja dari osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. 4

8. Menopause
Wanita yang memasuki masa menopause akan terjadi fungsi ovarium yang menurun sehingga produksi hormon estrogen dan progesteron juga menurun. Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang akan dimulai. 4 Salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Tingkat resorpsi tulang akan menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang, yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Sangat berpengaruh terhadap kondisi ini adalah tulang trabekular karena tingkat turnover yang tinggi dan tulang ini sangat rentan terhadap defisiensi estrogen. Tulang trabekular akan menjadi tipis dan akhirnya berlubang atau terlepas dari jaringan sekitarnya. Ketika cukup banyak tulang yang terlepas, tulang trabekular akan melemah. 4

9. Merokok
Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen, sehingga kadar estrogen pada orang yang merokok akan cenderung lebih rendah daripada yang tidak merokok. Wanita pasca menopause yang merokok dan mendapatkan tambahan estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat badan perokok juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini ( kira-kira 5 tahun lebih awal ), daripada non-perokok. Dapat diartikan bahwa wanita yang merokok memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis dibandingkan wanita yang tidak merokok. 4
10

10. Riwayat fraktur


Beberapa penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa, riwayat fraktur merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis. 4

2.2.5.

Patogenesis
Massa tulang pada orang dewasa yang lebih tua setara dengan puncak massa tulang puncak yang dicapai pada usia 18-25 tahun dikurangi jumlah tulang yang hilang. Puncak massa tulang sebagian besar ditentukan oleh faktor genetik,
dengan kontribusi dari gizi, status endokrin, aktivitas fisik dan kesehatan selama pertumbuhan.9

Proses remodeling tulang yang terjadi bertujuan untuk mempertahankan tulang yang sehat dapat dianggap sebagai program pemeliharaan, yaitu dengan menghilangkan tulang tua dan menggantikannya dengan tulang baru. Kehilangan tulang terjadi ketika keseimbangan ini berubah, sehingga pemindahan tulang berjumlah lebih besar daripada penggantian tulang. Ketidakseimbangan ini dapat terjadi karena adanya menopause dan bertambahnya usia.9 Pemahaman patogenesis osteoporosis primer sebagian besar masih deskriptif. Penurunan massa tulang dan kerapuhan meningkat dapat terjadi karena kegagalan untuk mencapai puncak massa tulang yang optimal, kehilangan tulang yang diakibatkan oleh resoprsi tulang meningkat, atau penggantian kehilangan tulang yang tidak adekuat sebagai akibat menurunnya pembentukan tulang. Selain itu, analisis patogenesis osteoporosis harus mempertimbangkan heterogenitas ekspresi klinis.9

2.2.6.

Pendekatan Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis mempunyai peranan penting dalam evaluasi penderita osteoporosis. Keluhan-keluhan utama yang dapat mengarah kepada diagnosis, seperti misalnya bowing leg dapat mengarah pada diagnosis riket, kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari yang terjadi pada hipokalsemia. Pada
11

anak-anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek, nyeri tulang, dan kelemahan otot, waddling gait, dan kalsifikasi ekstraskeletal dapat mengarah pada penyakit tulang metabolik. Selain dengan anamnesis keluhan utama, pendekatan menuju diagnosis juga dapat dibantu dengan adanya riwayat fraktur yang terjadi karena trauma minimal, adanya faktor imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, dan faktor-faktor risiko lainnya. Obat-obatan yang dikonsumsi dalam jangka panjang juga dapat digunakan untuk menunjang anamnesis, yaitu misalnya konsumsi kortikosteroid, hormon tiroid, antikonvulsan, heparin. Selain konsumsi obat- obatan, juga konsumsi alkohol jangka panjang dan merokok. Tidak kalah pentingnya, yaitu adanya riwayat keluarga yang pernah menderita osteoporosis. 17

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang harus diukur adalah tinggi badan dan berat badan, demikian juga dengan gaya jalan penderita, deformitas tulang, leg-lenght inequality , dan nyeri spinal. Hipokalsemia yang terjadi dapat ditandai oleh adanya iritasi muskuloskeletal, yaitu berupa tetani. Adduksi jempol tangan juga dapat dijumpai, fleksi sendi metacarpophalangeal, dan ekstensi sendi interphalang. Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus (Dowagers hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral, dan kulit yang tipis (tanda McConkey).17

c. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah adanya penipisan korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak jelas pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra. Pada pemeriksaan radiologik tulang vertebra sangat baik untuk menemukan adanya fraktur kompresi, fraktur baji atau fraktur bikonkaf. Pada anak-anak, fraktur kompresi dapat timbul spontan dan berhubungan dengan osteoporosis yang berat,
12

misalnya pada osteogenesis imperfekta, riketsia, artritis rheumatoid juvenil, penyakit Crohn atau penggunaan steroid jangka panjang. Bowing deformity pada tulang panjang sering didapatkan pada anak-anak dengan osteogenesis imperfekta, riketsia, dan displasia fibrosa. Selain dengan memeriksa foto polos, dapat dilakukan juga skintigrafi tulang dengan menggunakan Technetium-99m yang dilabel pada metilen difosfonat atau hidroksi metilen difosfonat. Diagnosis ditegakkan dengan mencari uptake yang meningkat, baik secara umum maupun fokal.

d. Pemeriksaan Densitas Tulang


Massa tulang yang rendah merupakan faktor utama terjadinya osteoporosis. Terdapat hubungan berkebalikan antara BMD dengan kecenderungan patah tulang. BMD merupakan indikator utama risiko patah tulang pada pasien tanpa riwayat patah tulang sebelumnya.11 Terdapat berbagai cara pemeriksaan densitas tulang, yaitu : Foto rontgen tulang absorpsiometri foton tunggal (SPA), absorpsi foton Ganda (DPA), tomografi komputer kuantitatif (CT SCAN) DPA dengan energi sinar X ganda (DEXA) atau dengan ultrasound. Saat ini yang terbanyak dipakai, walaupun harganya cukup mahal adalah DPA dan DEXA, (DEXA merupakan gold standard sesuai rekomendasi WHO). Kekurangan cara pemeriksaan ini adalah tidak dapat menggambarkan keadaan dinamik tulang, walaupun dapat diatasi dengan mengadakan pemeriksaan serial. 11 Ukuran dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA) dari tulang pinggul dan tulang belakang merupakan teknologi yang dipakai untuk menetapkan atau mengkonfirmasi diagnosis osteoporosis, prediksi risiko fraktur yang akan datang dan monitoring pasien yang untuk menilai performa serial. Hasil pengukuran DEXA berupa densitas mineral tulang yang dinilai satuan bentuk gram per cm 2 , kandungan mineral dalam satuan gram, perbandingan densitas tulang dengan nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa muda yang dinyatakan dalam persentase, atau perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa muda yang dinyatakan dalam skor standar deviasi ( Z-score atau T-score).

13

Pengukuran BMD sering dilakukan dengan T-score yaitu angka deviasi antara BMD pasien dengan puncak BMD rata-rata pada subjek yang normal dengan jenis kelamin sama. Ukuran BMD lain yaitu Z-score, dimana ukuran standar deviasi pada BMD pasien dengan BMD pada usia yang sama. 10 Perbedaaan antara skor pasien dan normal menunjukkan standar deviasi (SD) dibawah atau diatas rata-rata. Biasanya, 1 standar deviasi antara dengan 10 - 15% ukuran BMD dalam g/cm2. Tergantung pada bagian tulang, penurunan BMD dalam massa absolut tulang atau standar deviasi (T-score atau Z-score) yang berlangsung selama dewasa muda, mempercepat pada wanita menopause dan berlanjut secara progresif pada wanita pasca menopause atau pria usia 50 tahun atau lebih. Diagnosis BMD normal, massa tulang rendah, osteoporosis dan osteoporosis berat didasarkan berdasarkan klasifikasi diagnostik WHO. 11

e. Biopsi Tulang
Cara ini dapat menunjukkan adanya osteoporosis serta proses dinamik tulang, akan tetapi karena bersifat invasif sehingga tidak dapat dipakai sebagai prosedur rutin, baik untuk uji saring (penentuan risiko) atau untuk pemantauan pengobatan. Biopsi tulang dapat digunakan untuk menilai kelainan metabolik tulang. Biopsi biasanya dilakukan di transiliakal. 11
14

2.2.7.

Pengobatan
Kesadaran dan menghindari faktor-faktor risiko, disertai diet cukup dan olahraga sangat penting. Jauh lebih mudah mencegah daripada mengobati osteoporosis, oleh karena itu lebih baik memulai pengobatan sedini mungkin pada wanita yang mempunyai risiko untuk menghindari agar tidak terjadi osteoporosis.12 Pemberian estrogen merupakan dasar pencegahan dan pengobatan kehilangan tulang postmenopause. Studd dkk. telah membuktikan bahwa terdapat korelasi bermakna antara kadar estradiol dengan persentasi kenaikan densitas tulang belakang 1 tahun setelah pemberian implan 75 mg estradiol dan 100 mg testosteron.12 Pemberian estrogen oral, transdermal atau implan kesemuanya dapat meningkatkan densitas tulang secara bermakna dan secara epidemiologik dibuktikan bahwa terapi ini menurunkan angka kejadian patah tulang oleh karena osteoporosis pada panggul dan tulang punggung.12 Belum ada kesepakatan, bagaimana estrogen dapat mencegah kehilangan tulang dan masih merupakan teori. Kemungkinan estrogen mencegah osteoporosis dengan cara sebagai berikut : 12 i. Estrogen menempati reseptor osteoklas yang akan mempengaruhi fungsi osteoklas dalam menurunkan kehilangan tulang. ii. Estrogen menurunkan kecepatan perubahan tulang normal yang menyebabkan efek positif terhadap keseimbangan kalsium. iii. Estrogen akan memperbaiki absorpsi kalsium. iv. Estrogen mengatur produksi interleukin 1 dan 6 yang merupakan bone resorbing. Estrogen juga mengatur bahan-bahan yang merangsang pembentukan tulang seperti Insulin like growth factor I dan II, serta Growth factor beta. v. Estrogen merangsang sintesa kalsitonin yang dapat menghambat resorpsi tulang. vi. Estrogen meningkatkan reseptor vitamin D di osteoblas.
15

2.2.8.

Pencegahan
Pencegahan osteoposoris meliputi : 1. Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dengan mengonsumsi kalsium yang tinggi. Mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup sangat efektif, terutama sebelum tercapainya kepadatan tulang maksimal (sekitar umur 30 tahun). Minum 2 gelas susu dan tambahan vitamin D setiap hari, bisa meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah baya yang sebelumnya tidak mendapatkan cukup kalsium. 2. Melakukan olahraga dengan beban Olahraga beban (misalnya berjalan dan menaiki tangga) akan meningkatkan kepadatan tulang. Berenang tidak dapat meningkatkan kepadatan tulang. 3. Mengkonsumsi obat ( untuk beberapa orang tertentu ) Estrogen membantu mempertahankan kepadatan tulang pada wanita dan sering diminum bersama dengan progesteron. Terapi sulih esterogen paling efektif dimulai dalam 4-6 tahun setelah menopause

BAB 3 KESIMPULAN Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan mineral yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, sehingga terjadi penurunan kekuatan tulang.

16

Ada 2 penyebab utama osteoporosis, yaitu pembentukan masa puncak tulang yang selama masa pertumbuhan dan meningkatnya pengurangan masa tulang setelah menopause. Kejadian osteoporosis terbanyak terjadi pada tulang belakang diikuti tulang paha kemudian tulang pergelangan, tulang dada, tulang humerus dan tulang panggul.
Keluhan-keluhan utama yang dapat mengarah kepada diagnosis, seperti misalnya bowing leg dapat mengarah pada diagnosis riket, kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari yang terjadi pada hipokalsemia. Pada anak-anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek, nyeri tulang, dan kelemahan otot, waddling gait, dan kalsifikasi ekstraskeletal dapat mengarah pada penyakit tulang metabolik. Pada pemeriksaan fisik yang harus diukur adalah tinggi badan dan berat badan, demikian juga dengan gaya jalan penderita, deformitas tulang, leg-lenght inequality , dan nyeri spinal. Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus (Dowagers hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral, dan kulit yang tipis (tanda McConkey).

Pengobatan pada osteoporosis yaitu menghindari faktor-faktor risiko, disertai diet cukup dan olahraga sangat penting. Jauh lebih mudah mencegah daripada mengobati osteoporosis, oleh karena itu lebih baik memulai pengobatan sedini mungkin pada wanita yang mempunyai risiko untuk menghindari agar tidak terjadi osteoporosis

DAFTAR PUSTAKA

1. Macdonald HM NS, Campbell MK, Reid DM. Influence of weight and weight change on bone loss in perimenopausal and early postmenopausal Scottish women. 2005:16371.

17

2. Haussler B GH, Gol D, Glaeske G, Pientka L, Felsenberg D. Epidemiology, treatment and costs of osteoporosis in Germany-the BoneEVA Study. 2007:7784. 3. T.V. Nguyen DS, P.N. Sambrook and J.A. Eisman. Mortality after all major types of osteoporotic fracture in men andwomen: An observational study. 1999:878-82. 4. Fatmah. Osteoporosis dan Faktor Risikonya pada Lansia Etnis Jawa. 2008;43(2):57-67. 5. Macdonald HM NS, Golden MH, Campbell MK, Reid DM. Nutritional associations with bone loss during the menopausal transition: evidence of a beneficial effect of calcium, alcohol, and fruit and vegetable nutrients and of a detrimental effect of fatty acids. 2004:15565. 6. Journal CM. Prevalence rate of osteoporosis in the mid- aged and elderly in selected parts of China. 2002; 115: 773-5. 7. H M. Osteoporosis pada usia lanjut tinjauan dari segi geriatri. Rachmatullah P GM, Hirlan, Soemanto, Hadi S, Tobing ML, editor. Semarang (Indonesia): Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2007. p. 126. 8. Setiyohadi B. Osteoporosis. In: Aru W. Sudoyo BS, Idrus Alwi, Marcellinus Simadibrata, Siti Setiati, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010. p. 2650-76. 9. Ethel S. Clinicians Guide to Prevention and Treatment of Osteoporosis: National Osteoporosis Foundation; 2008. P. 4-5 10. Kutikat A GR, Chakravarty K. Management of Osteoporosis. 2004;12:104-18. 11. Lindsay R CFOIFA, Braunwald e, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Osteoporosis. In: Fauci AS Be, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al., editor. Harrisons principle of internal medicine 17 ed: Mc Grow-Hill USA; 2008. p. 2397-408. 12. Prabowo RP. Osteoporosis pada wanita posmenopause. Maj Obstet dan Gynekol 1997; 6: 1-9.

18

Anda mungkin juga menyukai