Anda di halaman 1dari 67

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dewasa ini ternak unggas mengalami perkembangan yang sangat pesat, salah satunya adalah ternak ayam petelur. Produk utama ayam petelur adalah telur. Telur merupakan salah satu produk peternakan unggas yang memiliki kandungan gizi lengkap dan mudah dicerna. Telur merupakan salah satu sumber protein hewani disamping daging, ikan dan susu (Sudaryani dan Santoso, 2003). Kondisi cuaca yang tidak menentu seringkali dijadikan sebagai indikator awal munculnya berbagai jenis penyakit. Suhu yang terlalu panas akan menimbulkan kelembaban yang tinggi dan sebaliknya. Kejadian penyakit pada unggas berawal dari interaksi antara mikroorganisme penyebab penyakit/patogen dengan unggas itu sendiri (Medion,2011). penyakit infectious coryza adalah penyakit pada unggas yang disebabkan oleh bakteri Haemophillus gallinarum. Penyakit coryza dapat menyerang pada berbagai umur unggas. Penyakit ini muncul pada saat terjadi Pancaroba atau peralihan musim dan banyak ditemukan di daerah tropis. Pada saat terjadi pancaroba terjadi cuaca yang tidak menentu yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan ayam (Khonsa,2012). Penyakit coryza mempunyai angka morbiditas yaitu antara 1-30%, sedangkan angka mortalitas yang ditimbulkan oleh penyakit ini mencapai 30% dalam kawanan unggas (Khonsa,2012). Fase Layer merupakan fase bertelur.Fase ini merupakan fase yang ditunggu-tunggu oleh para peternak ayam petelur.Pada fase ini ayam sudah mulai meghasilkan telur. Ayam dipelihara pada fase ini hingga ayam tidak lagi produktif yaitu sekitar umur 66 minggu,setelah itu dilakukan pengafkiran dan memulai rencana untuk pemeliharaan ayam yang baru. Pada ayam fase layer lebih mudah terserang berbagai penyakit, jika tidak dilakukan

manejemen pemeliharaan yang baik, karena sistem kekebalan ayam telah mengalami penurunan (Medion , 2011). Sebagai dokter hewan, kita perlu mengetahui diagnosa dari suatu penyakit secara tepat, sehingga memudahkan untuk menentukan pengobatan yang digunakan. Obat dengan kualitas yang bagus tidak akan bisa bekerja secara optimal jika ada kesalahan pada teknik aplikasinya. Akibatnya sasarannya tidak tepat atau cara kerja obat tidak optimal sehingga penyakit tidak bisa diatasi. Ada hal yang perlu kita ketahui, cara pemberian obat sangat berpengaruh pada stabilitas obat, kadar obat yang diserap tubuh, kecepatan menghasilkan efek dan lama pengobatan yang menjadi faktor penting yang diperlukan oleh obat untuk melepaskan khasiatnya. Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh banyak faktor (Medion,2009) . Program PKL akan dilaksanakan UD.JATINOM INDAH FARM, di Daerah daerah Jatinom, Blitar, Jawa Timur, karena di UD.JATINOM INDAH FARM telah menerapkan program pengobatan yang hampir sama dengan standar parameter yang digunakan dalam program PKL ini, selain itu jumlah ayam petelur pada Peternakan UD.JATINOM INDAH Farm Blitar memiliki ayam yang berjumlah 52.000 ayam petelur serta pelaksanaan PKL yang dilakukan pada bulan november-desember dan merupakan musim pancaroba, yang memungkinkan banyak terjadinya kasus penyakit respiratory disease terutama penyakit infekius coryza. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan diatas, serta untuk mengetahui pengobatan penyakit infeksius coryza terutama pada ayam petelur maka program PKL ini dilaksanakan.

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana pengobatan penyakit infeksius coryza pada fase layer di UD.JATINOM INDAH FARM, Daerah Jatinom, Blitar,dalam upaya menjaga kesehatan ayam petelur fase layer ?

1.3 Tujuan Mengetahui tata laksana pengobatan penyakit infeksius coryza pada ayam petelur fase layer di UD.JATINOM INDAH FARM, Daerah Jatinom, Blitar ,Jawa Timur.

1.4 Manfaat 1. Menambah pengetahuan, kemampuan dan keterampilan mahasiswa melalui pengalaman kerja di lapang dalam upaya pengobatan penyakit infeksius coryza pada ayam petelur fase layer. 2. Sebagai bahan informasi tentang upaya pengobatan penyakit infeksius coryza pada ayam petelur fase layer di peternakan UD.JATINOM INDAH , Daerah Jatinom, Blitar, Jawa Timur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Petelur Ayam layer atau ayam petelur adalah ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula ayam petelur adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak karena ayam hutan dapat diambil telur dan dagingnya sehingga arah produksi dalam seleksi tersebut mulai spesifik. Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur sehingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini (Cahyono,1995). Ayam yang dipelihara pada saat ini adalah termasuk dalam spesies Gallus domesticus. Sekarang ini banyak para breeder ayam mempertahankan kemampuan untuk menghasilkan telur dalam jumlah yang tinggi dan dapat menetas dengan baik sehingga ayam yang betina tetap memiliki produktivitas yang tinggi dengan kualitas kerabang dan kualitas dalam telur yang baik serta daya tetasnya tinggi. Menurut Primasetra (2010), pemeliharaan ayam petelur pada umumnya dibagi tiga fase pemeliharaan berdasarkan umur, yaitu fase permulaan (starter), kedua (grower) dan ketiga (layer). Fase permulaan berawal dari umur 0-8 minggu, dimana bentuk ukuran dan keseragaman sebagai tujuan bagi peternakan ayam. Fase kedua berawal dari umur 8-20 minggu, ayam perlu di pelihara di bawah manajemen pakan yang terkontrol dengan sangat teliti, untuk menghindari peternakan ayam dari berat badan yang tidak sesuai. Fase ketiga berawal setelah ayam berumur 20 minggu, dalam fase ini ayam di tuntut untuk mempercepat pertumbuhan untuk persediaan bagi perkembangan seksual dan untuk mencapai keseragaman berat badan yang optimal.

Menurut Rusianto (2008), jenis ayam petelur dibagi menjadi dua tipe : 1) Tipe Ayam Petelur Ringan. Tipe ayam ini disebut dengan ayam petelur putih. Ayam petelur ringan ini mempunyai badan yang ramping dan mata bersinar. Bulunya berwarna putih bersih dan berjengger merah. Ayam ini berasal dari galur murni white leghorn. Ayam ini mampu bertelur lebih dari 260 telur per tahun produksi hen house. Ayam tipe ini dikembangkan khusus untuk bertelur saja sehingga semua kemampuan diarahkan pada kemampuan bertelur, sehingga dagingnya hanya sedikit. Ayam petelur ringan ini sensitif terhadapa cuaca panas dan keributan 2) Tipe Ayam Petelur Medium. Bobot tubuh ayam ini cukup berat. Meskipun demikian, beratnya masih berada diantara berat ayam petelur ringan dan ayam broiler. Oleh karena itu, ayam ini disebut tipe ayam petelur medium. Telur dan daging yang dihasilkan cukup banyak. Ayam ini disebut juga dengan ayam tipe dwiguna dan karena warnanya yang cokelat, sehingga ayam ini disebut dengan ayam petelur cokelat. Tabel 2.1 Strain ayam petelur yang dikembangkan di Indonesia
Strain Lohmann Brown MF 402 Hisex Brown Bovans White Hubbard Golden Comet Dekalb Warren Bovans Goldline Brown Nick Bovans Nera Bovans Brown Umur Awal Produksi (minggu) 19-20 20-22 20-22 19-20 20-21 20-21 19-20 21-22 21-22 Umur pada Produksi 50% (minggu) 22 22 21-22 23-24 22,5-24 21,5-22 21,5-23 21,5-22 21-23
Sumber : Rasyaf, 1995

Puncak Produksi (%) 92-93 91-92 93-94 90-94 90-95 93-95 92-94 92-94 93-95

FCR

Kematian (%) 2-6 0,4-3 5-6 2-4 2-4 6-7 4-7 2-5 2-7

2,3-2,4 2,36 2,2 2,2-2,5 2,2-2,4 1,9 2,2-2,3 2,3-2,45 2,25-2,35

2.2 Chronic Respiratory Disease 2.2.1 Etiologi Chronic Respiratory Disease (CRD) adalah penyakit pernafasan pada unggas yang disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum ini merupakan salah satu penyakit bakterial yang sering dijumpai di peternakan peternakan, namun karena serangannya yang berjalan lama atau kronis serta angka kematian yang ditimbulkan sangat rendah , maka penyakit ini sering dianggap remeh oleh para peternak (Smith,1998). Mortalitas penyakit ini Meningkat bila infeksi bakteri ini disertai penyakit ND (Newcastle Disease) dan IB (Infectious Bronchitis) (Suprijatna,2008). Penyakit ini cukup populer terutama pada pergantian musim, disaat banyak hujan dan suasana dalam kandang lembab serta didukung dengan cara pemeliharaan yang tidak intensif (Rasyaf, 1983) .Infeksi Mycoplasma gallisepticum sering timbul sebagai infeksi saluran pernafasan bagian atas dalam bentuk subklinis, namun dapat menyebabkan airsacculitis bila terjadi gabungan dengan Newcastle disease (ND) atau infectious bronchitis (IB) atau keduanya (Kleven et al , 1991). 2.2.2 Karakteristik Agen Mycoplasma termasuk kedalam kelas mollicutes, ordo

mycoplasmatales dan famili Mycoplasmataceae . Bakteri ini memiliki ukuran 300-800 nm. Mycoplasma tidak memiliki dinding sel namun ribosom dan DNA-nya terikat pada membran sitoplasma yang mengandung sterol, phospholipid dan protein. Ketiadaan dinding sel menyebabkan strukturnya begitu lentur dan memudahkan untuk melewati filter pada pori yang berukuran 450 NM (Walker ,2004) . Mycoplasma memiliki ciliostatic yang merupakan faktor virulensi yang menyebabkan lemahnya aktifitas silia. Salah satu dari strain Mycoplasma yaitu strain S66 mampu memproduksi neurotoksik yang menyebabkan meningitis pada otak unggas meskipun gejalanya jarang

terlihat pada infeksi alam (Jordan, 2006) . Pertumbuhan bakteri ini berjalan sangat lambat ,dengan waktu satu generasi berkisar antara satu sampai enam jam (Songer, 2005). Terdapat 17 spesies dari genus Mycoplasma yang dapat diisolasi dari unggas, tetapi hanya empat spesies yang bersifat patogen terhadap unggas domestik. Keempat spesies tersebut adalah Mycoplasma gallisepticum (MG), Mycoplasma synoviae (MS) pada ayam dan kalkun Mycoplasma meleagridis

(MM), dan Mycoplasma iowae (MI) pada ayam kalkun. 2.2.3 Host Unggas yang didomestikasi seperti ayam, bebek, burung, kalkun, dan jenis unggas lainnya merupakan inang yang dapat terineksi Mycoplsma sp. Terutama ayam dan kalkun yang dipelihara secara intensif. Bakteri ini juga menyerang pada semua tingatan umur (Suprijatna, 2008). Organisme ini juga dapat diisolasi dari bebek domestik dan sering dijumpai pada burung, baik yang di kandangkan atau burung yang terbang bebas. Ayam dan kalkun adalah spesies yang paling rentan terhadap Infeksi Mycoplasma gallisepticum dapat terjadi pada berbagai tingkatan umur. Gejala klinis lebih jelas terlihat pada unggas muda ataupun unggas yang mengalami stress (Ensminger,1992) . 2.2.4 Patogenesis M.Gallisepticum masuk ke traktus respiratorius melalui proses inhalasi konjungtiva. Penempelan pada glycoprotein permukaan pada sel mukosa tubuh unggas merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh bakteri tersebut. Mycoplasma gallisepticum merupkan salah satu dari beberapa Mycoplasma yang mensekresikan hidrogen peroxide, yang dapat menyebabkan tekanan oksidasi pada membran sel inang,meskipun dipandang sebagai patogen permukaan mukosa, Mycoplasma gallisepticum seperti Mycoplasma lainnya memiliki kemampuan untuk

menyerang sel dan mengganggu mekanisme transport sel

menyebabkan mereka mampu mengelabui antibodi dan bahan antimikroba. Rute utama keluarnya Mycoplsma gallisepticum dari inang adalah yang melalui traktus resiratorius dan infeksi dari traktus genitalia yang dapat menyebabkan kontaminasi pada telur atau semen (Jordan, 2006). 2.2.5 Penyebaran infeksi Mycoplasma gallisepticum (MG) Penyebaran penyakit dapat melalui telur ayam dan kalkun yang terinfeksi Mycoplasma gallisepticum yang diisolasi dari oviduct unggas maupun penyebaran dari unggas satu ke unggas yang lainnya melalui kotoran dan peralatan dalam kandang (fomites). Penyebaran melalui fomites terjadi pada tingkatan yang terbatas disaat hewan sedang stress akibat kondisi sanitasi kandang yang buruk. Pada kelompok yang rentan akan penyakit ini bila dikandangkan dalam satu ruangan akan menyebar dari satu unggas ke unggas yang lainnya, biasanya cukup cepat namun adanya dinding ruangan akan membentuk barier yang efektif dann dapat mencegah penyebaran organisme ini. Kandang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri ini bila digunakan dalam produksi berkelanjutan (multiple-agesites) akan menjadi media penyebaran penyakit sehingga infeksi sulit dikontrol (Ensminger, 1992). Unggas yang terinfeksi dapat menjadi sumber penyebaran penyakit dalam suatu kelompok melalui kontak langsung,hasil dari exhalasi, batuk, atau bersin,hal ini dapat terjadi selama fase akut penyakit mikoplasmosis. Unggas dengan epitel saluran pernafasan yang rusak merupakan target yang baik untuk kolonisasi mikroorganisme ini (Adler, 1970). Kepadatan kandang, jumlah mikroba, dan kepekaan individu terhadap strain Mycoplasma merupakan faktor predesposisi yang menentukan tingkat

penyebaran. Bakteri ini mampu bertahan pada beberapa benda selama setengah hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Jordan (2006) Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan pada bulu unggas , rambut , manusia , dan pakaian berbahan katun. 2.2.6 Faktor Predisposisi Faktor predisposisi CRD diantaranya sistem pemeliharaan dengan suhu terlalu panas atau dingin, kelembaban tinggi, kurangnya ventilasi, litter terlalu lembab, kadar amonia tinggi, kepadatan ternak terlalu tinggi dan cara pemeliharaan dengan berbagai umur dalam satu lokasi peternakan. Faktor-faktor tersebut sebagian akan

mempengaruhi kualitas udara di dalam kandang. Banyaknya partikel debu di udara akan mengganggu kerja saluran pernapasan. Ditambah dengan konsentrasi amonia yang meningkat dan akhirnya terhirup akan mengiritasi saluran pernapasan ayam dan merusak silia pada jaringan mukosa. Sel-sel yang ada dipermukaan saluran pernapasan menjadi rusak, sehingga mekanisme awal pertahanan tubuh menjadi terganggu dan agen penyakit seperti M. gallisepticum yang terbawa udara akan mudah sekali menempel dan akhirnya menimbulkan infeksi dan kerusakan yang lebih parah.Stres juga merupakan salah satu faktor predisposisi dari CRD. Ayam yang sebelumnya telah terserang CRD, saat daya tahan tubuhnya menurun ketika stres maka infeksi lain seperti colibacillosis akan mudah menyerang sehingga status penyakit meningkat menjadi CRD kompleks. Hal-hal yang dapat menyebabkan stres pada ayam diantaranya pelaksanaan potong paruh, vaksinasi, kedinginan, heat stress, pengangkutan dan ventilasi yang buruk ( Medion,2011).

2.2.7

Gejala Klinis Jika M. gallisepticum menginfeksi ayam tanpa komplikasi, maka gejala klinis tidak akan terlihat,namun karena ada faktor lain seperti E. coli akan menyebabkan saluran pernapasan akan lebih teriritasi dan gejala klinis pun akan mulai terlihat. Gejala klinis dari CRD kompleks pada ayam umur muda (DOC dan pullet) sering terlihat gejala sakit

pernapasan, menggigil, kehilangan nafsu makan, penurunan bobot badan dan peningkatan rasio konversi ransum. Anak ayam lebih sering terlihat bergerombol di dekat pemanas brooder. Pada ayam dewasa kadang-kadang terlihat ingus keluar dari hidung dan air mata, sulit bernapas, ngorok, dan bersin. Pada ayam petelur bisa terjadi penurunan telur hingga 20-30%. Perubahan pada bedah bangkai ditemukan peradangan pada saluran pernapasan bagian atas (laring, trakea, bronkus), paru-paru berwarna kecoklatan, kantung udara tampak adanya lesi yang khas (keruh dan menebal) serta pembentukan jaringan fibrin pada selaput hati (perihepatitis) dan selaput jantung (pericarditis) dan perkejuan di organ dalam (komplikasi colibacillosis). Diagnosa penyakit ini wajib dilakuakan untuk menghindari diagnosa banding dari penyakit ini. Beberapa uji laboratorium untuk mendiagnosa Mycoplasma adalah isolasi dan identifikasi organisme, uji serologis dan deteksi DNA. Probe DNA yang baru-baru ini dikembangkan untuk identifikasi cara cepat Mycoplasma

gallisepticum pada jaringan . Infeksi juga dapat dikenali dengan menunjukan keberadaan antibodi spesifik melalui uji serologis. Uji serologis tersebut berupa uji seru aglutinasi secara cepat (RSA), uji aglutinasi tuba (TA), uji inhibisi hemaglutinasi (HI) dan ELISA (Enzyme linked immunosorbent assays) ( Ensminger, 1992).

2.2.8

Manajemen Pemeliharaan Penyebab Timbulnya CRD M. gallisepticum sangat mudah mati, terutama oleh temperatur lingkungan yang tinggi, kadar O2 tinggi, kelembaban relatif rendah dan juga beberapa desinfektan maupun antiseptik. Namun, pada kandang dengan ventilasi dan sanitasi jelek, kondisi ini justru dapat membuat Mycoplasma dapat bertahan lama hidup di udara. M. gallisepticum ketika berada dalam saluran pernapasan akan

berkembangbiak dengan cepat, tetapi memiliki pola serangan yang

10

lambat. Sisa metabolisme dan bangkai M. gallisepticum yang mati akibat terjadi perebutan tempat hidup dan makanan mengakibatkan kerusakan pada sel-sel permukaan saluran pernapasan. Kerusakan ini akan mempermudah terjadinya infeksi sekunder, sehingga muncul CRD kompleks. Penyakit yang bersifat kompleks memang lebih sulit untuk ditangani. Hal ini kemungkinan karena kondisi lingkungan peternakan mulai jenuh, artinya konsentrasi bibit penyakit lebih tinggi dari periode sebelumnya. Diperparah dengan kondisi peternak yang belum menyadari sepenuhnya arti upaya penerapan biosecurity secara tepat dan menyeluruh di lokasi usaha peternakannya. Penerapan manajemen pemeliharaan dan biosecurity yang tidak tepat dan menyeluruh tersebut adalah : 1. Pelaksanaan masa istirahat kandang yang seharusnya minimal 14 hari tidak dilaksanakan. Beberapa kasus di lapangan, masa istirahat kandang lebih cepat, hanya 7 hari atau kurang dari 14 hari. Padahal kondisi ini tidak baik karena akan menyebabkan bibit penyakit seperti Mycoplasma selalu berada di

lingkungan peternakan tersebut, akibatnya serangan penyakit akan selalu berulang. Tujuan dari istirahat kandang agar siklus bibit penyakit dapat dienyahkan dari lokasi peternakan. 2. Sanitasi kandang tidak dilakukan secara sempurna, misalnya masih ada sisa-sisa feses di sela-sela lantai kandang. Sisa-sisa feses di sela-sela lantai kandang merupakan tempat yang nyaman bagi bibit penyakit untuk bertahan hidup. Sebaiknya peternak menggunakan air bertekanan tinggi untuk

melenyapkan sisa-sisa feses tersebut. Contoh lain tidak dilakukannya desinfeksi secara rutin . 3. Sistem pemeliharaan tidak diterapkan secara all in all out juga akan membawa dampak serangan penyakit yang selalu berulang.

11

Program pemberian obat yang dilakukan secara tidak tepat juga turut ikut bagian dalam menyebabkan bandelnya kasus penyakit. Pemberian obat yang secara terus menerus dengan dosis yang kurang tepat dapat mempercepat terjadinya resistensi terhadap obat tertentu (Medion,2011). 2.2.10 Pencegahan Prinsip pencegahan dan pengendalian penyakit CRD terdiri dari 3 aspek yang harus diterapkan, dimana aspek tersebut antara lain : 1. Menciptakan lingkungan kandang yang nyaman Tindakan yang dilakukan seperti memperbaiki sirkulasi udara di dalam kandang dengan manajemen buka tutup tirai, menjaga agar populasi ayam di kandang tidak terlalu padat, beri pemanas yang cukup pada DOC selama masa brooder, membersihkan litter dari feses dan mencegah litter basah untuk meminimalkan produksi ammonia yang berlebihan. Litter yang basah akan memacu timbulnya penyakit gangguan saluran pernapasan dan pencernaan, karena di litter banyak berkembang bakteri, virus dan parasit. 2. Mempertahankan kondisi Ayam Agar Tetap Sehat Hal utama yang diusahakan dalam menjaga kondisi ayam tetap sehat adalah menghindari faktor stres. Faktor penyebab stres antara lain agen penyakit, lingkungan yang tidak nyaman dan tata laksana pemeliharaan yang tidak baik. Berikan mulvitamin untuk meningkatkan stamina tubuh ayam. 3. Melaksanakan Biosecurity Yang Ketat

12

Penerapan

biosecurity

tersebut

antara

lain

dengan

memperbaiki tata laksana kandang, melakukan sanitasi dan desinfeksi di areal lingkungan kandang menggunakan Formades atau Sporades, melakukan sanitasi air minum yang baik menggunakan Antisep, Neo Antisep atau Desinsep untuk membunuh E. coli yang terdapat dalam air minum, melakukan pengafkiran pada ayam yang terinfeksi dan kondisinya sudah parah, kosongkan kandang minimal 14 hari setelah kandang dibersihkan dan pengontrolan lalu lintas dengan mengontrol kendaraan yang keluar masuk lokasi peternakan

(Medion,2011). 2.3 Penyakit Newcastle Disease (ND) Newcastle Disease (ND) adalah penyakit yang sangat menular, dengan angka kematian yang tinggi, disebabkan oleh virus genus paramyxovirus dengan famili paramyxoviridae. Nama lain untuk ND adalah tetelo,

pseudovogolpest, sampar ayam, Rhaniket, Pneumoencephalitis dan Tontaor furrens. Newcastle Disease dipandang sebagai salah satu penyakit penting di bidang perunggasan. Kejadian wabah penyakit ND seringkali terjadi pada kelompok ayam yang tidak memiliki kekebalan atau pada kelompok yang memiliki kekebalan rendah akibat terlambat divaksinasi atau karena kegagalan program vaksinasi. Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ND antara lain berupa kematian ayam, penurunan produksi telur pada ayam petelur, gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan pada ayam pedaging. Terdapat tiga katagori ND yang secara rinci dibahas di bawah ini : 1) Velogenik. Virus golongan ini bersifat akut dan sangat mematikan serta dikategorikan sangat tinggi patogenitasnya ( sangat ganas). Wabah ND di Indonesia umumnya disebabkan oleh velogenik tipe Asia yang lebih banyak menimbulkan kematian daripada tipe Amerika. Velogenik tipe Asia disebut juga Velogenik Visceritropik. Sedangkan Velogenik tipe

13

Amerika disebut juga Velogenik pneumoencephalitis. Contoh virus galur velogenik, antara lain Milano, Herts, Texas. 2) Mesogenik. Virus galur ini bersifat akut, cukup mematikan dan

dikategorikan sedang patogenitasnya. Contoh galur mesogenik, antara lain Mukteswar, Kumarov, Hardfordhire dan Roakin 3) Lentogenik. Virus galur lentogenik merupakan bentuk respirasi sedang yang sangat rendah patogenitasnya. Contoh virus galur lentogenik, antara lain B1, F dan La Sota. 2.3.1 Sifat-sifat Virus ND Sifat-sifat virus ND penting untuk diketahui guna menentukan model atau cara-cara pencegahan dan penanganan vaksin. Sifat virus ND antara lain menggumpalkan butir darah merah, di bawah sinar ultra violet akan mati dalam dua detik, mudah mati dalam keadaan sekitar yang tidak stabil dan rentan terhadap zat-zat kimia, seperti : kaporit, besi, klor dan lain-lain. Desinfektan yang peka untuk ND, antara lain NaOH 2%, Formalin (1 2%), Phenol-lisol 3%, alkohol 95 dan 70%, fumigasi dengan Kalium permanganat (PK) 1 : 5000. Aktivitas ND akan hilang pada suhu 100oC selama satu menit, pada suhu 56oC akan mati selama lima menit sampai lima jam, pada suhu 37oC selama berbulan-bulan. Virus ND stabil pada pH 3 sampai dengan 11. Masa inkubasi penyakit ND adalah 2 15 hari, dengan rata-rata 6 hari. Ayam yang tertul;ar virus ND akan mulai mengeluarkan virus melalui alat pernapasan antara 1 sampai dengan 2 hari setelah infeksi. Infeksi oleh virus ND di alam yang tidak menyebabkan kematian akan menimbulkan kekebalan selama 6 12 bulan, demikian juga halnya kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi. 2.3.2 Ternak Rentan Hampir semua jenis unggas, baik unggas darat maupun unggas air rentan terhadap virus ND, termasuk ayam, kalkun, itik, angsa, merpati dan unggas liar.

14

2.3.3 Cara Penularan Penularan virus ND dari satu tempat ke tempat lain terjadi melalui alat transportasi, pekerja kandang, litter dan peralatan kandang, burung dan hewan lain. Debu kandang, angin, serangga, makanan dan karung makanan yang tercemar, dapat pula melalui telur terinfeksi yang pecah dalam inkubator dan mengkontaminasi kerabang telur lain. Penyebaran virus ND oleh angin bisa mencapai radius 5 km. Burung-burung pengganggu, ayam kampung dan burung peliharaan lain merupakan reservoir ND. Penularan ND terutama melaui udara,melalui batuk, virus mudah terlepas dari saluran pernapasan penderita ke udara dan mencemari pakan, air minum, sepatu, pakaian dan alat-alat sekitarnya. Virus dengan capat menyebar dari ayam ke ayam lain, dari satu kandang ke kandang lain. Sekresi, ekskresi dan bangkai penderita merupakan sumber penularan penting bagi ND. Virus yang tercampur lendir atau dalam feses dan urine mampu bertahan dua bulan, bahkan dalam keadaan kering tahan labih lama lagi. 2.3.4 Gejala Klinis Gejala klinis yang terlihat pada penderita sangat bervariasi, dari yang sangat ringan sampai yang terberat. Berikut ini dijelaskan

kemungkinan gejala-gejala klinis pada ungggas penderita penyakit ND. Bentuk Velogenik-viscerotropik : bersifat akut, menimbulkan kematian yang tinggi, mencapai 80 100%. Pada permulaan sakit nafsu makan hilang, mencret yang kadang-kadang disertai darah, lesu, sesak napas, megap-megap, ngorok, bersin, batuk, paralisis parsial atau komplit, kadang-kadang terlihat gejala torticalis. 1) Bentuk Velogenik pneumoencephalitis : gejala pernapasan dan syaraf, seperti torticalis lebih menonjol terjadi daripada velogenikviscerotropik. Mortalitas bisa mencapai 60 80 %.

15

2) Bentuk Mesogenik : pada bentuk ini terlihat gejala klinis berupa gejala respirasi, seperti : batuk, bersin, sesak napas, megap-megap. Pada anak ayam menyebabkan kematian sampai 10%, sedangkan pada ayam dewasa hanya berupa penurunan produksi telur dan hambatan pertumbuhan, tidak menimbulkan kematian. 3) Bentuk Lentogenik : terlihat gejala respirasi ringan saja, tidak terlihat gejala syaraf. Bentuk ini tidak menimbulkan kematian, baik pada anak ayam maupun ayam dewasa. 4) Bentuk asymptomatik : pada galur lentogenik juga sering tidak memperlihatkan gejala klinis. Gejala klinis anak ayam dan ayam fase bertelur penderita ND dijelaskan sebagai berikut : (a) Pada anak ayam, ditemukan penderita mati tiba-tiba tanpa gejala penyakit. Pernapasan sesak, batuk, lemah, napsu makan menurun, mencret dan berkerumun. Terlihat gejala syarafi berupa paralisis total atau parsial. Penderita mengalami tremor atau kejang otot, bergerak melingkar dan jatuh. Sayap terkulai dan leher terputar (torticolis). Mortalitas pada penderita bervariasi. (b) pada ayam fase produksi, umur 2 sampai dengan 3 minggu terlihat gejala gangguan pernapasan, depresi dan napsu makan menurun, namun gejala syaraf jarang terlihat. Produksi telur menurun secara mendadak. Morbiditas dapat mencapai 100%, sedangkan mortalitas bisa mencapai 15%. 2.3.5 Kelainan Pasca Mati Perubahan pasca mati pada unggas penderita antara lain, meliputi ptechiae, berupa bintik-bintik perdarahan pada proventrikulus dan seca tonsil, eksudat dan peradangan pada saluran pernapasan serta nekrosis pada usus.

16

2.3.6 Pencegahan Tindakan vaksinasi merupakan langkah yang tepat sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit ND. Program vaksinasi yang secara umum diterapkan, yaitu: 1) pada infeksi lentogenik ayam pedaging, dicegah dengan pemberian vaksin aerosol atau tetes mata pada anak ayam umur sehari dengan menggunakan vaksin Hitchner B1 dan dilanjutkan dengan booster melalui air minum atau secara aerosol. 2) Pada infeksi lentogenik ayam pembibit dapat dicegah dengan pemberian vaksin Hitchner B1 secara aerosol atau tetes mata pada hari ke-10. Vaksinasi berikutnya dilakukan pada umur 24 hari dan 8 minggu dengan vaksin Hitchner B1 atau vaksin LaSota dalam air, diikuti dengan pemberian vaksin emulsi multivalen yang diinaktivasi dengan minyak pada umur 18 20 minggu. Vaksin multivalen ini dapat diberikan lagi pada umur 45 minggu, tergantung kepada titer antibodi kawanan ayam, resiko terjangkitnya penyakit dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan

pemeliharaan.Tindakan pencegahan selain vaksinasi adalah sanitasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain : (1) sebelum kandang dipakai, kandang dibersihkan

kemudian dilabur dengan kapur yang dibubuhi NaOH 2%. Desinfeksi kandang dilakukan secara fumigasi dengan menggunakan fumigant berupa formalin 1 2% dan KMnO4, dengan perbandingan 1 : 5000. (2) liter diupayakan tetap kering, bersih dengan ventilasi yang baik. Bebaskan kandang dari hewan-hewan vektor yang bisa memindahkan virus ND. Kandang diusahakan mendapat cukup sinar matahari. (3) Hindari penggunaan karung bekas

17

(4) DOC harus berasal dari perusahaan pembibit yang bebas dari ND (5) Pintu-pintu masuk disediakan tempat penghapus hamaan, baik untuk alat transportasi maupun orang. (6) Memberikan pakan yang cukup kuantitas maupun kualitas. 2.3.7 Pengendalian Tindakan pengendalian untuk menekan penularan penyakit ND sangat diperlukan. Tindakan-tindakan tersebut, antara lain meliputi : 1) ayam yang mati karena ND harus dibakar atau dikubur 2) ayam penderita yang masih hidup harus disingkirkan, disembelih dan daging bisa diperjualbelikan dengan syarat harus dimasak terlebih dahulu dan sisa pemotongan harus dibakar atau dikubur. 3) larangan mengeluarkan ayam, baik dalam keadaan mati atau hidup bagi peternakan yang terkena wabah ND, kecuali untuk kepentingan diagnosis 4) Larangan menetaskan telur dari ayam penderita ND dan izin menetaskan telur harus dicabut selama masih ada wabah ND pada perusahaan pembibit. 5) Penyakit ND dianggap lenyap dari peternakan setelah 2 bulan dari kasus terahir atau 1 bulan dari kasus terakhir yang disertai tindakan penghapus hamaan. 2.3.8 Pengobatan

Penyakit ND disebabkan oleh virus maka sampai saat ini belum ada satu jenis obat yang efektif dapat menyembuhkan penyakit ini. Penanggulangan penyakit ND hanya dapat dilakukan dengan dengan tindakan pencegahan (preventif) melalui program vaksinasi yang baik. Ada dua jenis vaksin yang dapat diberikan yaitu vaksin aktif dan vaksin 18

inaktif. Vaksin aktif berupa vaksin hidup yang telah dilemahkan, diantaranya yang banyak digunakan adalah strain Lentogenic terutama vaksin Hitchner B-1 dan Lasota. Vaksin aktif ini dapat menimbulkan kekebalan dalam kurun waktu yang lama sehingga penggunaan vaksin aktif lebih dianjurkan dibanding vaksin inaktif. Program vaksinasi harus dilakukan dengan seksama dan diperhatikan masa kekebalan yang ditimbulkan. Vaksinasi pertama sebaiknya diberikan pada hari ke-empat umur ayam. Vaksinasi lanjutan pada umur empat minggu, dan selanjutnya tiap empat bulan sesuai kebutuhan.Pemberian vaksin dapat dilakukan dengan : 1. cara semprot 2. tetes (mata, hidung, mulut), 3. campur air minum 4. suntikan.

Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam melaksanakan vaksinasi diantaranya : 1. Vaksinasi hanya dilakukan pada ternak yang benar-benar sehat 2. Vaksin segera diberikan setelah dilarutkan 3. 4. Hindari vaksin dari sinar matahari langsung Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan stress berat pada ternak

5. Cuci tangan dengan detergen sebelum dan sesudah melakukan vaksinasi. 2.4 ILT (Infectious laryngotracheitis 2.4.1 Kejadian Penyakit ILT Penyakit ILT pertama kali ditemukan tahun 1924 di Amerika. Di Indonesia sendiri, sampai sekarang penyakit ini sudah ditemukan pada beberapa peternakan ayam, khususnya ayam petelur seperti di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Kejadian ILT lebih sering ditemukan pada ayam petelur dibandingkan dengan ayam pedaging,karena terkait dengan umur pemeliharaan ayam pedaging yang relatif pendek. Hospes primer virus ILT adalah ayam dari segala umur namun ayam umur

19

7-22 minggu lebih sensitif. Dari data yang diperoleh tim Technical Service Medion dilaporkan bahwa ILT sering meyerang ayam petelur pada umur <22 minggu.
Tabel 2. Umur Serangan ILT pada Ayam Petelur

Sumber : Data Technical Service Medion, 2010

Defisiensi vitamin A, kondisi stres dan kadar amonia yang tinggi dalam kandang bisa mendukung timbulnya kasus ILT yang lebih berat. Faktor lain seperti masuknya bibit pullet yang sebelumnya pernah divaksin ILT ke wilayah peternakan bebas ILT dan status carrier dari ayam yang pernah terserang ILT dalam waktu lama, bisa menjadi sumber infeksi ILT. Penyakit ILT bisa berkomplikasi dengan agen penyakit lain, misalnya CRD dan korisa (data Technical Service Medion, 2010). 2.4.2 Karakteristik Virus ILT ILT disebabkan oleh Herpes virus, yang termasuk ke dalam famili Herpes viridae dan subfamili Alphaherpesvirinae. Virus ILT memiliki persistensi (daya tahan) yang cukup kuat dibanding virus lain seperti virus ND. Ketahanan virus ILT dalam tubuh ayam akan membuat ayam

tersebut sebagai carrier dan menjadi penyebab mengapa kasus ILT dapat ditularkan secara periodik dalam suatu peternakan atau daerah. Virus ILT dapat bertahan hidup di dalam lendir trakea selama 10-100 hari dengan suhu antara 13-230C (Jordan, 1966). Meskipun demikian, virus ILT ternyata sensitif terhadap agen lipolitik, panas dan berbagai jenis desinfektan. Virus ILT sangat peka dengan desinfektan yang mengandung senyawa pelarut lemak seperti Neo Antisep, Formades dan Sporades (Bagus, 2000). Virus ILT dapat bertahan hingga 100 hari jika terlindung 20

oleh bahan organik seperti feses atau hasil sekresi saluran pernapasan. Virus ini akan inaktif dalam waktu 10-15 menit pada suhu 550C dan akan mati dalam waktu 48 jam pada suhu 350C. Virus ILT lebih suka tinggal pada sel epitelium batang trakea, Itulah sebabnya mengapa virus ini mempunyai konsentrasi yang sangat tinggi pada permukaan trakea ayam yang terinfeksi secara alamiah atau pada ayam yang pernah divaksinasi dengan vaksin ILT (Bagus, 2000). 2.4.3 Penularan ILT Virus ILT ditemukan dalam eksudat yang berasal dari hidung, trakea dan conjunctiva. Pintu masuk virus ILT yang alami yaitu melalui saluran pernapasan bagian atas dan mata . Infeksi melalui oral dapat pula terjadi, namun rute ini tetap membutuhkan kontak antara virus ILT dengan trakea atau conjunctiva agar virus bisa menginfeksi. ILT tidak ditularkan secara vertikal. Penularan hanya terjadi secara horizontal, yaitu secara kontak langsung maupun tidak langsung dengan ayam yang terinfeksi atau melalui peralatan peternakan seperti peti telur, egg tray, alat vaksinasi, tempat ransum/minum yang terkontaminasi virus ILT. Hewan liar seperti burung dan tikus juga bisa bertindak sebagai vektor dari penyakit ini. Penularan yang paling umum berasal dari eksudat kental saluran pernapasan atas atau selaput lendir mata. Penularan virus melalui angin belum pernah dilaporkan terjadi. Itulah sebabnya mengapa kasus ILT tidak pernah dilaporkan dalam bentuk wabah, kejadiannya pun hanyalah bersifat sporadik pada suatu lokasi atau area tertentu saja. Jika terjadi ledakan kasus ILT dalam suatu populasi ayam, maka sebagian besar ayam yang masih bertahan hidup akan bertindak sebagai carrier. Ayam sakit yang bertahan hidup akan mengeluarkan virus ILT dalam jumlah yang banyak dan merupakan sumber penularan penyakit yang sangat penting, terutama pada stadium awal dari infeksi ketika tingkat replikasi virus masih tinggi sekali. Jika ayam-ayam tersebut dicampur dengan ayam yang belum

21

terinfeksi maka penularan penyakit akan terjadi dengan mudah (Medion, 2011). 2.4.4 Manifestasi Penyakit ILT Pada infeksi alami, gejala klinis ILT biasanya baru terlihat dalam rentang waktu 6-12 hari. Menurut Lister (1997), ada dua bentuk manifestasi serangan ILT pada ayam, yaitu : 1. Bentuk akut Ayam yang mengalami infeksi akut akan menunjukkan kesulitan bernapas (dyspnea) disertai suara ngorok dan batuk. Sumbatan trakea akibat adanya eksudat kental akan menyebabkan ayam bernapas dengan mulut terbuka sambil menjulurkan lehernya. Pada sejumlah ayam dapat pula ditemukan adanya leleran kental bercampur darah dari hidung atau mulut dan adanya cairan berbusa pada mata. Lama proses penyakit ILT menjadi bentuk akut biasanya 7-14 hari. Angka kematian mencapai 5-70%, biasanya berkisar 10-20% dengan angka kesakitan 90-100%. Kematian dapat disebabkan oleh asphyxia (kekurangan O2) akibat sumbatan pada trakea. Pada ayam petelur yang dipelihara pada flok dengan berbagai macam umur, saat awal infeksi, virus ILT hanya akan menginfeksi beberapa ayam saja sedangkan sisanya akan terinfeksi dalam waktu 10-12 hari kemudian. Ayam yang sembuh akan langsung bertindak sebagai carrier. 2. Bentuk kronis Bentuk kronis adalah bentuk serangan ILT yang berjalan lambat, ditandai oleh gejala ayam lesu, mata berair, gangguan pernapasan yang ringan (batuk ringan), conjunctiva kemerahan, kebengkakan sinus infraorbitalis, leleran dari hidung yang terusmenerus serta penurunan produksi telur. Bentuk ini juga ditandai dengan adanya material seperti keju pada permukaan trakea dan

22

laryng. Tingkat kematian ayam biasanya tidak terlalu tinggi, namun kondisi ayam yang tidak optimal sangat berpotensi menyebarkan virus ILT ke lingkungannya (Medion, 2011). 2.4. 5 Diagnosa Banding Dalam melakukan diagnosa penyakit, tidak dapat hanya dilihat dari satu gejala klinis atau satu perubahan patologi anatomi saja,karena terdapat beberapa penyakit yang memiliki gejala klinis yang hampir mirip. Mendiagnosa ILT diperlukan beberapa kumpulan sejarah penyakit, gejala klinis dan perubahan patologi anatomi,dan diagnosa didukung dengan pemeriksaan uji laboratorium. Perdarahan pada trakea merupakan gejala yang mirip dengan penyakit ND, AI maupun IB. Gangguan pada pernapasan sering dikelirukan dengan kejadian CRD maupun korisa. Pada kasus ILT, perdarahan trakea yang lebih spesifik disertai pula dengan adanya lendir merah kental yang berasal dari sel-sel trakea yang mengelupas (Medion, 2011). 2.4.5 Pencegahan Penyakit Pencegahan Penyakit ini bisa dilakukan dengan pemberian vaksin , jika area peternakan sudah terjangkit ILT vaksinasi harus dilakukan dari kelompok unggas yang belum terinfeks, dan letak kandangnya jauh dari kandang yang terinfeksi. Dalam kelompok yang sama antara ayam yang di vaksin dengan ayam yang sehat tanpa di vaksin. Di area yang endemik ILT, vaksinasi wajib dilakukan karena hasilnya akan lebih efektif. Pencegahan dapat dilakuka dengan cara menghindari karyawan, peralatan, dan tidak menukar pakan ayam yang telah terinfeksi dengan ILT dengan yang masih sehat.( Polana dan Fadilah, 1997) . 2.4.6 Pengobatan Pengobatan belum ada yang dapat menyembuhkan ILT, diagnosa terhadap ILT sebaiknya dilakuka sejak dini, vaksinasi kepada ayam yang belum

23

terinfeksi merupakan cara paling efektif untuk mencegah ILT ( Polana dan Fadilah, 1997). 2.5 Penyakit Infectious Coryza 2.5.1 Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh Haemophilus Paragallinarum, yang merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang pendek atau cocobacil,non motil, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.

Haemophilus paragallinarum merupakan organisme yang muah mati atau mengalami inaktivasi secara cepat diluar tubuh hospes. Eksudat infeksius yang dicampur dengan air ledeng akan mengalami inaktivasi dalam waktu 4 jam pada temperatur yang berfluktuatif. Eksudat atau jaringan yang mengandung kuman ini akan tetap infeksius selama 24 jam pda temperatur 40C eksudat infeksius dapat bertahan selama beberapa hari pada temperatur 45-55 0C, kultur Haemophilus paragallinarum dapat di inaktivasi dalam waktu 2-10 menit. Haemophilus paragallinarum terdiri atas sejumlah strain dengan antigenitas yang berbeda dan paling sedikit 3 sterotipe yaitu A,B,C telah dikarakterisasi secara terperinci ,walaupun serotipe A dan C sangat virulen. 2.5.2 Cara Penularan Penularan penyakit choryza terjadi secara horizontal, ayam menderita infeksi kronis atau carrier merupakan sumber utama penularan utama penularan penyakit. Infectious coryza ditemukan pada saat pergantian musim atau berhubungan dengan adanya berbagai jenis stres, misalnya akibat cuaca,lingkungan kandang,nutrisi,perlakuan vaksinasi dan penyakit imunosupresif. Penyakit ini dapat menular secara cepat dari ayam satu ke ayam lainnya dalam satu flock atau dari flock satu ke flock lainnya. Penularan dapat tejadi secara tidak langsung melalui kontak dengan pakan atau berbagai bahan lain, alat/ perlengkapan peternakan atau

24

pekerja yang tercemar bakteri penyebab infectious coryza. Penularan melalui udara dapat terjadi, jika kandang ayam terletak berdekatan sehingga udara yang tercemar debu/kotoran yang mengandung bakteri Haemopilus paragallinarum dihirup oleh ayam yang peka.

2.5.3 Gejala Klinik Infeksius coryza dapat ditemukan semua umur, sejak umur 3 minggu sampai masa produksi. Ayam dewasa cenderug lebih ganas dibandingkan dengan ayam muda. Penyakit inimemiliki masa inkunbasi yang pendek antara 16-21 jam, kadang-kadang sampai 72 jam dengan proses penyakit yag berlangsung 6-14 hari, tetapi dapat juga berlangsung beberapa bulan 2-3 bula. Pada ayam dewasa masa inkubasi biasanya lebih pendek,tetapi proses penyakinya cenderung lebih lama. Pada kondisi di lapangan snot ditemukan secara bersama-sama dengan penyakit lainnya, misalnya CRD, swollen head syndrome (SHS), infectious bronchitis (IB), infectious laryngotracheitis (ILT), kolibasilosis dan fowl pox. Keadaan tersebut mortalilitasnya lebih tinggi dan prosesnya juga lebih lama. Gejala yang paling awal adalah ayam bersin, yag diikuti oleh adanya eksudat sereus sampai mukoid dari rongga hidung ataupun mata, jika proses berlanjut maka eksudal yang bening dan encer tersebut akan menjadi mukopurulen sampai purulen dan berbau busuk bercampur kotoran atau sisa pakan, Kumpulan eksudat tersebut akan menyebabkan pembengkakan di daerah fasial dan sekitar mata. Jika daerah yang membengkak ditekan dengan jari , maka akan terasa empuk. Pada sejumlah kasus, dapat

dijumpai adanya pembengkakan pada pial. Kelopak mata biasanya terlihat kemerahan yang menyebabkan mata menjadi tertutup. Jika saluran pernafsan bagian bawah terkena, maka akan terdengar pada malam hari. Ayam yang tersesrang snot akan mengalami gangguan nafsu makan dan minum yang dapat mengakibatkan mengakibatkan gangguan

25

pertumbuhan, peningkatan jumlah ayam yang diafkir atau penurunan produksi telur. Ayam yang terserang penyakit ini akan mengalami diare, jika prosesnya berlangsung kronis maka dapat terjadi komplikasi dengan bakteri lain ataupun virus. Infeksius coryza biasanya menyebabkan morbiditas tinggi, tetapi mortalitas rendah. Faktor lain misalnya sistem perkandangan yang kurang memadai, infestasi parasit dan keadaan nutrisi yang kurang baikakan mempunyai satu derajat kekebalan tertentu terhadap infeksi ulang dengan Haemophilus paragallinarum. Pullet yang telah terinfeksi dengan bakteri tersebut selama periode grower akan memliki antibodi terhadap Haemophilus paragallinarum yang dapat melindungi terhadap penurunan produksi. Kekebalan terhadap infeksi ulangan dapat terjadi sejak 2 minggu setelah infeksi awal secara buatan melalui sinus. Kekebalan pasif terhadap Haemophilus paragallinarum belum diketahui secara pasti.
2.5.4 Perubahan Patologik 1. Perubahan Makroskopik

Penyakit ini akan menyebabkan peradangan kataralis akut pada membran mukosa cavum nasal dan sinus. Terdapat konjungtivitis kataralis dan edema subkutan pada daerah facialis dan pial. Pada penyakit ini jarang terjadi adanya peradangan pada paru dan kantong udara.

2. Perubahan Mikroskopik

Perubahan

histopathologik

pada

cavum

nasal

dan

sinus

infraorbitalis dan trachea mengalami deskuamasi, desintegrasi dan hiperplasia lapisan mukosa dan glandularis edema, hiperemia, infiltrasi heterofil, mast cell dan makorfag dan di daerah tunika propia. Jika infeksi meluas ke saluran pernafasan bagian bawah, maka akan diemukan aanya bronkopneumonia akut,yang ditandai oleh adanya infiltrasi heterofil diantara dindin parabronki.

26

2.5.5

Diagnosis Diagnosis dugaan dapat didasarkan atas gejala klinik dan perubahan pathologik yang ditimbulkan oleh snot. Diagnosis secara pasti dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri dari kasus snot pada stadium akut 1-7 ghari pasca infeksi. Diagnosis snot dapat dilakukan secara in vivo dengan cara inokulasi pada ayam yang sensitif menggunakan eksudat dari sinus ayam sakit atau suspensi kultur bakteri Haemophilus paragallinarum. Metode lain untuk mendiagnosis penyakit ini adalah dengn cara serologik dengan uji gel agar presipitation (AGP), Uji hemaglutinasi (HA) tidak langsung dengan uji fluorescent antibody (FA) langsung.

2.5.6

Pengobatan Pemeberian obat dalam bentuk kombinasi yang bersifat sinergik atau golongan flumekuin maupun kuinolon banyak digunakan. Rehabilitasi pada jaringan yang rusak dengan pemberian multivitamin ataupun peningkatan nilai nutrien dari pakan, menghilangkan faktor pendukung terjadinya snot.

2.5.7

Pencegahan Pengurangan jumlah kelompuk umur yang sama dalam suatu lokasi peternakan sebaiknya dikurangi untuk mengindari penularan ke ayam lain. Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian vaksin inaktif sekitar umur 8-11 minggu dan 3-4 minggu sebelum prosuksi. Pemberian vaksin inaktif sebelum perkiraan timbulnya kasus dan sebelum produksi telur didukung dengan manejemen kesahatan yang tepat.

27

2.6

2.2.11.1 Rute Pemberian Obat Obat dapat diberikan pada ayam melalui 3 rute, yaitu oral (melalui saluran pencernaan), parenteral/suntikan atau secara topikal (dioles). Pemilihan rute pemberian obat ini disesuaikan dengan jenis obat yang digunakan, jenis penyakit yang diobati, jumlah ayam, tingkat keparahan penyakit dan lama waktu obat tersebut diberikan.
1.

Oral Rute pemberian obat secara oral dilakukan melalui mulut (saluran pencernaan) baik secara cekok, campur ransum atau air minum. Contoh sediaan obat yang diberikan secara oral ialah serbuk larut air atau campur ransum, kaplet atau kapsul. Obat yang diberikan secara oral akan bekerja dengan cara langsung membunuh agen penyakit di saluran pencernaan atau diserap melalui usus untuk kemudian didistribusikan ke organ tubuh yang terinfeksi.

2.

Air minum Pada peternakan unggas 95% obat diberikan melalui oral, via air minum dan selebihnya, yaitu 5% obat diberikan secara 28

parenteral atau suntikan (Technical Service Medion, 2006). Hal ini karena aplikasi obat via air minum relatif mudah, cepat dan bisa diberikan secara masal (jumlah banyak). Agar pencampuran obat melalui air minum mampu

memberikan efek pengobatan yang optimal perlu sekiranya kita memperhatikan beberapa hal berikut : 1. Air sadah dan adanya kandungan logam berat seperti besi, dapat mengurangi efektivitas antibiotik golongan fluorokinolon dan tetrasiklin 2. Derajat keasaman (pH) terlalu ekstrem (pH < 6 atau pH > 8). Obat sulfa akan mengendap bila dilarutkan ke dalam air dengan pH terlalu rendah (pH < 5) 3. Sinar matahari langsung dapat mengurangi stabilitas obat di dalam larutan. Oleh karena itu larutan obat hendaknya dibuat segar dan diletakkan pada tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung 4. Konsumsi air minum setiap ayam berbeda-beda sehingga jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh setiap ayam tidak sama. Hal ini dapat diminimalisasi dengan penyediaan tempat air minum yang sesuai dengan jumlah ayam. Praktek pemberian obat melalui air minum seringkali berbeda-beda antar peternak. Idealnya obat diberikan selama 24 jam atau minimal 12 jam dengan maksimal obat dikonsumsi habis selama 4-6 jam setelah obat dilarutkan. Contoh pola pemberian obat yang ideal yaitu 2 kali sehari, pelarutan obat ke-1 untuk dikonsumsi pagi-siang hari (misalnya pukul 07:00-12:00) dan pelarutan obat ke-2 untuk dikonsumsi siang-malam hari (misalnya 12:00-17:00) sedangkan pada malam-pagi diberi air minum biasa.
3.

Ransum

29

Pemberian obat melalui ransum relatif jarang dilakukan. Biasanya obat yang diberikan melalui ransum merupakan obat yang tidak larut dalam air minum, contohnya ialah Levamid yang diberikan melalui ransum.
4.

Cekok Aplikasi cekok merupakan teknik pengobatan secara

individual. Jenis sediaan obat yang diberikan secara cekok antara lain bentuk kapsul atau kaplet dan larutan. Teknik aplikasi ini kurang sesuai jika diterapkan pada populasi yang banyak, lebih cocok diaplikasikan pada kasus penyakit yang individual. Meskipun kelebihan teknik aplikasi ini ialah dosis obat lebih terjamin.
5.

Parental Pada unggas (ayam), teknik pemberian obat ini seringkali dilakukan secara suntikan subkutan di bawah kulit (leher bagian bawah) atau suntikan intramuskuler (tembus daging atau otot) pada paha atau dada. Selain kedua teknik tersebut, pemberian obat injeksi juga bisa diaplikasikan dengan cara suntikan intravena atau langsung pada pembuluh darah. Namun, teknik aplikasi ini relatif jarang bahkan tidak pernah diterapkan pada unggas (ayam). Teknik ini akan menghasilkan efek pengobatan yang relatif cepat karena tidak melalui proses absorpsi di saluran pencernaan yang relatif lama. Keuntungan lainnya ialah dosis lebih terjamin, tepat dan efeknya cepat. Namun, aplikasi teknik ini menyebabkan tingkat stres ayam relatif tinggi dan membutuhkan waktu lebih lama dalam pengobatan. Selain itu, alat suntik yang digunakan haruslah steril dan jarum suntik hendaknya diganti setiap penyuntikan 300-500 ekor agar tetap tajam.

6.

Topikal

30

Topikal atau pemberian obat secara lokal adalah pengobatan obat yang diaplikasikan dengan cara dioleskan atau cara lain secara langsung pada kulit, mata, hidung atau bagian tubuh eksternal lainnya. Contoh obat topikal adalah serbuk antibiotik atau salep yang digunakan untuk mencegah infeksi pada luka serta sediaan cair yang digunakan pada mata.

Suatu jenis obat ada yang dapat diberikan melalui berbagai teknik pemberian obat, namun ada juga yang hanya khusus diberikan melalui satu macam cara saja. Contohnya vitamin dapat diberikan melalui air minum, ransum dan injeksi intramuskuler, namun gentamisin (antibiotik) hanya dapat diberikan melalui injeksi baik intramuskuler maupun subkutan karena tidak dapat diserap di saluran pencernaan. Untuk memastikan cara pemberian peternak dapat memeriksa jenis sediaan dan aturan pakai yang tercantum pada etiket atau leaflet.

2.2.11.3 Perlu Dihindari

31

Pemberian obat, terutama melalui air minum hendaknya tidak dicampur dengan desinfektan. Hal ini disebabkan pencampuran tersebut akan menurunkan bahkan merusakan obat. Contohnya ialah iodin (Antisep, Neo Antisep) atau klorin akan mengoksidasi antibiotik atau vitamin, sedangkan quats (Medisep, Mediklin) bisa mengendapkan obat dengan kandungan sulfonamida. Kualitas air yang tidak sesuai standar jika digunakan untuk melarutkan obat akan mengakibatkan penurunan potensi obat. Oleh karena itu, pastikan kualitas air melalui pengujian laboratorium sebelum digunakan untuk melarutkan obat. Pencampuran atau kombinasi obat sebaiknya juga dihindarkan, terlebih lagi pencampuran antibiotik yang tidak tepat akan mengakibatkan rusaknya obat tersebut. Alangkah lebih baiknya jika kita menggunakan produk obat jadi yang dihasilkan dari perusahaan obat hewan. Sebagai contohnya Amoxitin dengan kandungan penisilin tidak boleh dicampur dengan Tyfural yang mengandung antibiotik golongan makrolida. Hal ini disebabkan kedua golongan antibiotik tersebut memiliki sifat yang berbeda. Penisilin bersifat bakterisidal (menghambat) dan makrolida bersifat bakterisid (membunuh). Kombinasi kedua golongan antibiotik ini akan mengakibatkan penurunan potensi obat, kecuali jika target kerja antibiotik tersebut berbeda. 2.2.11.4 Pendukung Keberhasilan Pengobatan Setelah kita memperhatikan dan menerapkan ke-4 prinsip pengobatan tersebut, agar efek pengobatan menjadi lebih optimal perlu didukung dengan pelaksanaan manajemen pemeliharan secara baik dan penerapan biosecurity secara ketat. Pemberian multivitamin

32

maupun elektrolit setelah aplikasi obat juga dapat membantu mempercepat kesembuhan ayam. Saat efek pengobatan mengalami kegagalan atau tidak optimal maka kita bisa mengevaluasi beberapa hal berikut :
1) 2)

Ketepatan diagnosa penyakit Jenis obat yang dipilih sesuai dengan penyakit yang menyerang

3) 4)

Tepatnya dosis obat yang diberikan Rute pemberian obat haruslah sesuai dengan jenis obat

maupun lokasi kerja (organ target)


5) 6) 7) 8)

Hindari kombinasi obat yang bersifat antagonis Kompleksitas penyakit Tingkat keparahan penyakit Resistensi antibiotik dan perlunya dilakukan rolling

pemakaian antibiotik
9)

Penerapan

manajemen

pemeliharaan

dan

program

biosecurity yang kurang tepat

33

BAB III METODE KEGIATAN

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan Praktek Kerja Lapang ini telah dilaksanakan pada tanggal 15 November 2012 sampai 23 Desember 2012 di UD.JATINOM INDAH

FARM, Daerah Jatinom, Kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar, RT 03 RW 02, Blitar, Jawa Timur. .Kegiatan yang akan dilaksanakan pada praktek kerja lapang ini adalah mengenai tatalaksana pengobatan penyakit CRD pada ayam fase layer .

3.2 Sasaran Sasaran dari PKL ini adalah ayam petelur pada fase layer di peternakan Hidayaturrhaman, Daerah Jatinom ,Blitar, Jawa Timur.

3.3 Metode Kegiatan Praktek Kerja Lapang Kegiatan ini dilakukan dengan cara ikut aktif dalam tata laksana pemeliharaan ayam petelur fase layer Metode kegiatan yang dipakai dalam praktek kerja lapang ini adalah metode survei dengan pengambilan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer yang akan digunakan dalam kegiatan ini yaitu melalui : a. Observasi Partisipatori Kegiatan observasi ini dilakukan secara langsung di lapangan. Halhal yang akan diobservasi antara lain meliputi: prosedur pemeliharaan ayam petelur fase layer, diagnosa penyakit CRD, nekropsi, tatalaksana pemilihan obat, cara pemberian obat. b. Wawancara Wawancara langsung dan diskusi dengan pemilik, pekerja dan dokter hewan pada peternakan tersebut.

34

3.4 Parameter Kegiatan 1. Prosedur Pemeliharaan Ayam Petelur Fase layer 2. Tata Laksana Perkandangan 3. Diagnosa CRD 4. Patogenesa Penyakit 5. Diagnosa Banding 6. Pemilihan Obat 7. Rute Pemberian Obat 8. Ketepatan Dosis Obat Yang Digunakan 9. Penggunaan Kombinasi Obat 10. Nekropsi

3.5 Peserta Kegiatan Peserta yang akan mengikuti Praktek Kerja Lapang di Peternakan ayam Hidayaturrahman, yaitu: Nama Mahasiswa : Rizka Asrini Jurusan Universitas NIM Nomor Telepon Email : Pendidikan Dokter Hewan : Brawijaya : 09110059 : 085 750 000 290 : rizkaasrini@yahoo.com

35

3.6 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan

NO

KEGIATAN

Minggu Ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Penulisan bimbingan Lapang

proposal pembuatan

Praktek Kerja Lapang dan proposal Praktek Kerja 2 Pengesahan Praktek oleh 3 4 5 6 Kerja proposal Lapang

pembimbing dan

pimpinan instansi Pelaksanaan PKL Penyusunan laporan PKL Revisi Laporan PKL Presentasi hasil PKL

36

BAB IV PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1 Aktifitas Praktek Kerja Lapang Tabel 4.1 Aktifitas PKL di peternakan ayam Soetjipto Munandar
No 1. Waktu Minggu ke-1 Aktifitas 1. Penyerahan proposal kepada pemilik peternakan Soetjipto Munandar 2. Pengenalan dan pengarahan tempat PKL 2. Minggu ke- 2 1. Aktifitas kandang meliputi : a. Membersihkan tempat pakan dan minum b. Pemberian pakan dan minum pada ayam layer c. Vaksinasi IBD, ND, dan EDS pada ayam usia 15 minggu d. Pemindahan ayam grower ke kandang layer e. Pencucian tempat pakan dan minum dari ayam layer 2. Diskusi dengan pembimbing lapangan 3. Pengumpulan data dan referensi 3 Minggu ke-3 1. Aktifitas kandang meliputi a. Membersihkan tempat pakan dan minum b. Pemberian pakan dan minum pada ayam layer c. Disinfeksi kandang dengan semprot d. Membersihkan kandang dan mengangkat litter 2. Pengumpulan data meliputi data pencahayaan, temperatur, dan jadwal vaksin 3. Diskusi dengan pembimbing lapangan 4 Minggu ke-4 1. Aktifitas kandang meliputi a. Membersihkan tempat pakan dan minum b. Pemberian pakan dan minum pada ayam starter c. Vaksinasi NDIB Plus dan Fowl Pox d. Membersihkan kandang dan mengangkat litter e. Mencuci kandang dan pengapuran kandang untuk

37

fase grower 2. Pengumpulan data meliputi pakan dan pemberian pakan untuk fase starter 3. Diskusi dengan pembimbing lapangan 5 Minggu ke-5 1. Aktifitas kandang meliputi a. Membersihkan tempat pakan dan minum b. Pemberian pakan dan minum pada ayam starter c. Mencuci kandang dan pengapuran kandang untuk fase grower d. Vaksin AI e. Memindahkan ayam ke kandang grower 2. Diskusi dengan pembimbing lapangan 3. Pengumpulan data meliputi pakan dan pemberian pakan untuk fase starter 6 Minggu ke-6 1. Diskusi dengan pemilik perusahaan 2. Kujungan ke kandang Karang Ploso 3. Diskusi dengan pembimbing lapangan

BAB V

38

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Profil Perusahaan Perusahaan peternakan ayam Soetjipto Munandar ini bertempat di daerah Batu, Jawa Timur. Peternakan ini berada di dua tempat yang berbeda, yaitu pada peternakan pertama khusus untuk pemeliharaan starter-grower dan peternakan kedua khusus untuk pemeliharan layer. Kandang yang pertama beralamat di jl. Abdul Gani Atas No. 41 dan kandang yang kedua beralamat di Karang Ploso. Total luas peternakan ayam Soetjipto Munandar + 8 ha yang terbagi menjadi 2, yaitu peternakan pertama luas + 3 ha khusus starter-grower dan peternakan kedua + 5 ha khusus layer. Pada peternakan pertama terdiri dari 13 kandang yang terbagi menjadi 5 kandang starter berkapasitas 3000-3500 ekor dan 8 kandang grower yang terbagi menjai 39 flock yang berkapasitas 250-350 ekor, sedangkan pada peternakan kedua terdiri dari 30 kandang yang berkapasitas 3000-3500 ekor. Populasi pada peternakan pertama sekitar 22.000 ekor terbagi menjadi dua generasi. Generasi dengan umur starter antara 0-8 minggu dan generasi umur grower antara 8-14 minggu. Kemudian untuk umur grower dipindah ke peternakan kedua setelah umur berkisar 10-14 minggu. Setelah itu bisa di datangkan DOC generasi berikutnya. Populasi pada peternakan kedua sekitar 65.000 ekor, terbagi menjadi menjadi 3 kelas, yaitu kelas usia pra produksi, kelas usia produksi, dan kelas usia afkir. Kelas usia produksi memiliki jumlah yang paling besar, yaitu 50.000 ekor.

5.2 Tata Laksana Pemeliharaan Fase Starter di Peternakan Ayam Soetjipto Munandar 5.2.1 Perlakuan DOC Menurut Rasyaf (2009), seleksi pada ayam bibit harus mempertimbangkan berbagai faktor, karena apabila diabaikan akan

39

menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan antara lain keterlambatan pada pertumbuhan, resistensi terhadap penyakit yang rendah dan angka mortalitas yang tinggi. Pada saat DOC datang, pertama kali DOC diseleksi, dihitung dan dibagi ke dalam chick guard dengan jumlah yang sama. Setelah itu, kegiatan yang dilakukan adalah mengontrol suhu di daerah chick guard selama 24 jam, pemberian dan pengecekan pakan serta air minum. Pemberian air minum dan pengecekan pakan dilakukan dua kali sehari. Populasi untuk satu generasi adalah 11.000 ekor yang dibagi menjadi 5 kandang starter. Populasi dalam satu kandang adalah 25003000 ekor yang mana dalam satu kandang terdiri dari dua chick guard dan dan gasolec serta 10 tempat pakan dan 14 tempat minum. Strain ayam yang digunakan di peternakan ayam Soetjipto Munandar adalah strain Hy-sex. Pertimbangan pemilihan Hy-sex menurut pengelola adalah ukurannya yang kecil yang mengakibatkan konsumsi pakan yang lebih kecil dibandingkan strain yang lain sehingga nilai feed conversion ratio (FCR) dari produksi bisa tinggi. Menurut Rasyaf (1985), Hy-sex Brown memliki ciri-ciri : awal produksi mulai usia 20 minggu, kemudian mencapai produksi 50% pada usia 22 minggu, nilai FCR adalah 2,36, dan angka kematian 0,33%. Berat badan DOC rata-rata adalah 41 gram dan rata-rata konsumsi adalah 20-30 gram perhari selama usia 4 hari. Sebelum dimasukkan ke dalam kandang, dilakukan pemberian vaksin Coxy dan Newcastle disease-Infectious bronchitis (ND-IB) dengan cara spray pada kepala DOC. Vaksin ini diberikan secara bergantian, pertama yang diberikan adalah vaksin Coxy, kemudian ditunggu kurang lebih satu jam, selanjutnya diberikan vaksin NDIB. Setelah kedua vaksin selesai diberikan, DOC siap disebar ke dalam kandang chick guard. Karena kebiasaan dari DOC suka mematuk kepala lainnya jadi pemberian vaksin ini dianggap efektif.

40

Menurut Sudarmono (2003), sebelum usia 10 minggu anak ayam sangat peka terhadap penyakit coccidiosis yang disebabkan oleh cocidia. Untuk mengantisipasi penyakit tersebut, maka dalam pakan maupun minum ditambahkan coccidiostat. Vaksin ND dan IB diberikan untuk meningkatkan kekebalan anak ayam terhadap penyakit newcastle disease dan infecsius bronchitis. Perlakuan yang dilakukkan pada saat DOC datang antara lain, penimbangan DOC per box, penyeleksian DOC untuk memisahkan DOC yang mati, pemberian vaksin spray, penghitungan DOC sebelum dimasukkan ke chick guard, dan memasukkan DOC ke chick guard. Semua perlakuan yang diterapkan pada saat DOC datang sudah sesuai dengan standar.

5.2.2

Perkandangan Kandang fase starter-grower pada peternakan Soetjipto

Munandar terdiri dari 13 kandang yang terbagi menjadi 5 kandang starter berkapasitas 3000-3500 ekor dan 8 kandang grower yang terbagi menjai 39 flock yang berkapasitas 250-350 ekor. Persiapan kandang membutuhkan waktu yang relatif lama karena kandang dibersihkan dan diistirahatkan. Hal ini dilakukan agar siklus penyakit terputus sebelum pemeliharaan ayam dimulai. Tahapan persiapan kandang yang dilakukan antara lain: mengangkat litter, pencucian kandang dan perlengkapan kandang, disinfeksi kandang dengan larutan kapur (batu gamping) dan disinfektan; pemasangan sekam, pemasangan tempat makan dan minum, serta penyemprotan kandang dengan disinfektan. Peralatan yang digunakan pada fase starter yaitu tempat pakan, tempat minum, sekam dan koran sebagai alas, serta alat pemanas (gasolec) dan lingkar pembatas (chick guard). Litter fase starter dirancang khusus untuk memaksimalkan pemeliharaan pada tahap

41

awal. Litter yang digunakan adalah sekam dan diatasnya di tambahkan koran (selama 7 hari). Gasolec dipasang dalam chick guard (lingkar pembatas) pada ketinggian 1,0-1,2 meter dengan kemiringan 45. Kapasitas chick guard dengan diameter 3 m adalah 500-750 ekor. Empat jam sebelum DOC datang, pemanas sudah dinyalakan sehingga pada saat DOC datang suhu sudah stabil yaitu 35C (Sudaryani dan Santoso, 2004).

Gambar 5.1

Ayam dalam kandang chick guard, peternakan ayam Soetjipto Muandar

Pada peternakan ini ukuran chick guard yang digunakan adalah 6x3 meter dengan kapasitas 3000-3500 ekor ayam untuk 1-3 hari. Kemudian pada hari keempat luas chick guard ditambah 1 meter, pada hari ketujuh ditambah 1 meter, pada hari ke 10 ditambah 1 meter dan dipertahankan sampai usia 14 hari. Persiapan kandang yang dilaksanakan di peternakan ini antara lain, pemasangan brooder, pemasangan chick guard, penataan tempat pakan dan minum telah terlaksana sesuai prosedur. Jumlah DOC dalam chick guard yang berukuran 6x3 m adalah 3000-3500 ekor, kondisi ini terlalu padat, seharusnya jumlah DOC yang dimasukkan dalam chick guard ukuran tersebut adalah 1000-1500 ekor (Sudaryani dan Santoso, 2004).

42

5.2.3

Pencahayaan Pemberian pencahayaan pada fase starter bertujuan agar ayam dapat mengenal lingkungannya dengan baik untuk memacu

pertumbuhan. Adanya pencahayaan akan menstimulasi ayam untuk selalu mengkonsumsi ransum. Pada ayam periode starter dan grower, penyinaran lampu pijar pada malam hari dapat meningkatkan konsumsi pakan dan berdampak pada pertambahan berat badan (Abidin, 2003). Program pencahayaan untuk ayam fase starter disajikan dalam tabel dibawah ini :

Tabel 5.1 Kebutuhan pencahayaan ayam petelur fase starter, peternakan ayam Soetjipto Munandar
Umur (minggu) Hari 1-2 Hari 3-6 2 3 4 5 6 7 8 Lama Pencahayaan (jam) 24 22 20 19 18 17 16 15 14 Intensitas Cahaya Watt/m2 Lux 3 40 2,5 30 1 20 1 10-20 1 10-20 1 10-20 1 10-20 1 10-20 1 10-20

Tujuan

dari

pencahayaan

adalah

untuk

mengatur

dan

mengoptimalkan aktifitas ayam pada malam hari. Sehingga dengan pemberian pencahayaan yang baik, porsi pakan yang disediakan akan optimal. Selain itu, faktor pencahayaan juga mempengaruhi perkembangan organ tubuh dari ayam selama fase starter. Program pencahayaan yang dilakukan pada peternakan ini telah memenuhi standar yang diberikan oleh perusahaan breeder.

Berdasarkan Lohman Manual Guide (2001), untuk umur 1-2 hari lama pencahayaan adalah 24 jam/hari, 3-4 hari lama pencahayaan adalah 22 jam/hari, 5-7 hari lama pencahayaan adalah 22 jam/hari, dan 8-14 hari lama pencahayaan adalah 20 jam/hari.

43

5.2.4

Pengaturan Temperatur Ayam adalah hewan homeothermik yang berarti dalam waktu yang terbatas dapat mengatur temperatur tubuhnya sendiri seperti kebanyakan mamalia umumnya. Akan tetapi mereka tidak dilahirkan seperti itu. Pada fase embrio, anak ayam adalah poikilothermik yang berarti temperatur tubuhnya mengikuti lingkungannya, seperti halnya reptile (Info Medion, 2011). Oleh karena itu, ayam memerlukan temperatur yang sesuai. Ayam umur sehari atau DOC belum dapat mengatur temperatur tubuhnya dengan baik. Mekanisme pengaturan temperatur tubuh yang dilakukan oleh sistem termoregulator baru terjadi secara optimal ketika ayam berumur 7-21 hari. Sehingga selama waktu tersebut ayam membutuhkan pemanas buatan atau indukan buatan. Anak ayam memerlukan alat pemanas tambahan (brooder) untuk memberikan kehangatan. Anak ayam yang baru menetas tidak bisa mengatur suhu tubuhnya secara sempurna. Ayam tidak dapat mempertahankan suhu tubuh yang konstan sampai umur 1-2 minggu (Mulyantini, 2010). Masa indukan pada anak ayam atau lebih dikenal sebagai masa brooding adalah masa dimana anak ayam butuh penghangat tubuh buatan sampai umur tertentu sampai anak ayam bisa menyesuaikan sendiri dengan suhu lingkungannya. Masa brooding sangat

menentukan sebagai pondasi dikemudian hari agar anak ayam bisa tumbuh secara optimal. Pengondisian temperatur dimulai sejak sebelum DOC datang. Pengondisian temperatur ini biasanya dilakukan 4 jam sebelum DOC datang dengan harapan ketika DOC akan dimasukkan ke kandang kondisi temperatur sudah siap (Sudaryani dan Santoso, 2004). Di peternakan ayam Soetjipto Munandar pengondisian temperatur dilakukan 6 jam sebelum DOC datang.

44

Gambar 5.2 Termometer dan Gasolec di peternakan ayam Soetjipto Munandar Brooder yang digunakan dipeternakan ayam Soetjipto

Munandar adalah gasolec. Pertimbangan pemilihan gasolec menurut pengelola adalah mudah dalam pengawasan dan cepat dalam persiapan, selain itu juga relatif terjangkau. Gasolec ini diperuntukkan untuk sekitar 1500 ekor anak ayam dengan dilengkapi 1 termometer di setiap chick guard. Kondisi temperatur yang diharapkan disekeliling chik guard sekitar 290C dan dibawah brooder 320C. Ketinggian dari gasolec yang dipasang dalam chick guard adalah 1,2 meter dengan kemiringan + 450. Menurut Sudaryani dan Santoso (2004), Gasolec dipasang pada ketinggian 1-1,2 meter dengan kemiringan 450, dengan kapasitas 500750 ekor untuk setiap gasolec. Gasolec dinyalakan empat jam sebelum DOC datang, sehingga pada saat DOC datang suhu sudah stabil yaitu 35C.

Tabel 5.2 Kebutuhan temperatur ayam petelur peternakan ayam Soetjipto Munandar
Umur (hari) 1-2 3-4 Suhu (0C) 33-34 32

fase

starter,

45

5-7 8-14

30 28-29

Di peternakan ini yang perlu diperbaiki adalah perbandingan gasolec dengan populasi ayam. Pengaturan temperatur yang baik dan benar akan berpengaruh terhadap jumlah pakan yang diberikan. Perbandingan gasolec dan jumlah populasi yang tepat diharapakan dapat meningkatkan pertumbuhan ayam pada fase starter.

5.2.5

Ventilasi Ventilasi adalah pergerakan udara masuk dan keluar dari ruangan. Ventilasi digunakan sebagai salah satu tata laksana pemeliharan yang perlu diperhatikan. Hal ini penting digunakan untuk mempertahankan kadar oksigen dalam kandang. Menurut Rasyaf (2001), ventilasi ruangan ada dua jenis yaitu, ventilasi negatif dan ventilasi positif. Ventilasi negatif adalah tipe ventilasi dengan menyedot udara keluar, sedangkan ventilasi positif adalah dengan mendorong udara keluar. Kualitas udara yang baik ditunjukkan dari tingginya kadar oksigen (O2) dan rendahnya kadar karbon dioksida (CO2) maupun zat lainnya, seperti ammonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S). Kualitas udara yang baik ini harus tetap terjaga untuk mengoptimalkan pertumbuhan ayam fase starter. Kualitas udara yang baik ini mampu merangsang nafsu makan dan menjaga metabolisme tubuh ayam agar tetap stabil (Info Medion, 2011). Peternakan ayam milik bapak Soetjipto Munandar menerapkan sistem ventilasi alami, yakni menggunakan pergerakan arah angin dengan desain kandang yang disesuaikan dengan model bangunan dan dinding kandang yang bisa mendukung arah pergerakan angin. Selain itu, atap kandang juga dikondisikan agar pergerakan udara bisa maksimal, sehingga kadar amoniak dalam kandang dapat dikurangi.

46

Gambar 5.3 Bentuk atap kandang desain atap monitor, peternakan ayam Soetjipto Munandar Desain dinding kandang dibuat dengan sistem tirai buka tutup, sehingga bisa disesuaikan dengan keadaan udara sekitar kandang. Penutupan tirai dilakukan apabila udara sekitar dingin atau sudah menjelang sore. Biasanya penutupan tirai dilakukan pukul 15.00 WIB. Pembukan tirai dilakukan pada pukul 07.00 WIB untuk segera mendapatkan udara pagi dan sinar matahari pagi.

Gambar 5.4 Sistem tirai buka tutup, peternakan ayam Soetjipto Munandar Pengaturan ventilasi menggunakan sistem tirai buka tutup ini membantu untuk menstabilkan kondisi udara dalam kandang. Penerapan desain atap monitor juga membantu untuk pergerakan udara keluar. Sehingga kondisi udara dalam kandang dapat mencukupi kebutuhan ayam terhadap O2.

47

5.2.6

Pakan dan Minum Pemberian pakan pada fase starter dilakukan ad libitum hingga ayam berumur tiga minggu. Hal ini bertujuan untuk memacu ayam mengkonsumsi pakan untuk menunjang perkembangan organ-organ tubuhnya. Menurut Rasyaf (1995), pada masa ini bagian-bagian tubuh unggas tumbuh pesat, terutama bagian-bagian tubuh utama, jaringan daging, organ tubuh, bulu dan tulang. Pemberian minum untuk fase starter dilakukan ad libitum dengan penambahan vitamin dan antibiotik (Sudaryani dan Santosa, 2003), pemberian obat anti stress melalui air minum bertujuan untuk meringankan cekaman pada anak ayam. Tempat minum yang digunakan berbentuk toples terbalik. Di peternakan ayam Soetjipto Munandar, ayam usia diatas 3 minggu tempat minum diganti dengan tempat minum dengan sistem otomatis. Hal ini dilakukan karena kebutuhan air minum dari ayam usia diatas 3 minggu tinggi, sehingga untuk mengefisiensikan waktu digunakan tempat minum otomatis.

(a) (b) Gambar 5.5 Tempat air minum ayam fase starter di Peternakan Ayam Soetjipto Munandar, (a) tempat minum manual, (b) tempat minum otomatis. Pemberian pakan untuk fase starter dilakukan dua kali dalam sehari. Tempat pakan untuk fase starter di peternakan ini ada tiga macam, untuk jenis pertama digunakan sampai ayam umur 1 minggu, jenis kedua digunakan sampai ayam umur 3 minggu, dan jenis ketiga digunakan sampai ayam usia 8 minggu. Perbedaan tiga macam tempat

48

pakan tersebut didasarkan pada jumlah pakan yang diberikan dan waktu pemberian pakan.

(a)

(b)

(c)

Gambar 5.6 Tempat pakan ayam fase starter di Peternakan Ayam Soetjipto Munandar, (a) umur 1-7 hari, (b) umur 1-3 minggu, (c) > 3 minggu Fase starter merupakan fase yang sangat menentukan untuk perkembangan organ tubuh dan organ reproduksi. Oleh karena itu, pakan yang diberikan harus mendukung untuk perkembangan kedua organ tersebut. Jenis pakan untuk fase starter di peternakan ayam Soetjipto Munandar ada tiga jenis, yaitu pakan prestarter, pakan starter 1 dan pakan starter 2. Pakan prestarter diberikan pada ayam usia 0-2 minggu, pakan starter 1 diberikan pada ayam usia 2-5 minggu dan pakan Starter 2 diberikan pada ayam usia 5-8 minggu. Pakan prestarter yang dipakai adalah pakan jadi pabrikan yang komposisinya sudah diatur oleh pabrik. Pakan ini disesuaikan dengan kondisi sistem pencernaan anak ayam yang belum berkembang. Pakan prestarter bertujuan untuk memicu perkembangan sistem digesti yang akan berhubungan dengan feed intake sehingga ayam memiliki feed intake yang baik untuk mempercepat proses pertumbuhan. Pakan starter 1 dan starter 2 adalah pakan yang disusun dan dicampur mandiri oleh peternakan Soetjipto Munandar. Standar protein yang digunakan dalam ransum pakan starter 1 adalah 21% dan starter 2 adalah 20% dari total ransum pakan yang diformulakan.

49

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), ransum pakan starter petelur umur 1 hari sampai dengan 6 minggu adalah 18-20 %. Jadi pada peternakan ini sudah memenuhi standar yang disyaratkan. Untuk komposisi kedua jenis pakan tersebut dapat dilihat pada tabel 5.3

Tabel 5.3 Komposisi pakan ayam petelur fase starter, peternakan ayam Soetjipto Munandar
Material Jagung BKK (bungkil kacang kedelai) PMM (poultry meat meal) Grit 3262/Premik Katul Starter 1* 630 256 88 14 12,5 Starter 2* 625 248 38 18 10 55

*) per satu ton Tata laksana pemberian pakan pada fase starter sudah sesuai prosedur yang ditetapkan. Penggunaan tempat pakan dan minum yang sesuai aturan, pemberian pakan yang ad libitum, serta ransum pakan yang tepat akan menghasilkan FCR yang tinggi pada peternakan ini. FCR di peternakan ini mencapai 97%. 5.2.7 Potong Paruh Potong paruh atau debeaking adalah perlakuan pemotongan paruh unggas untuk tujuan tertentu. Penerapan program potong paruh ini hanya untuk unggas darat saja sedang untuk unggas air tidak perlu karena pada unggas air jarang terjadi sifat kanibal. Selain itu, debeaking juga bertujuan untuk mengoptimalkan pakan agar tidak tumpah ke litter. Alat potong paruh disebut dengan debeaker. Debeaker dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan cara kerjanya yaitu elektrik dan non elektrik. Potong paruh secara elektrik akan menyebabkan arteri bagian yang terpotong menjadi mati sehingga tidak perlu mengulanginya, sedangkan potong paruh secara non elektrikperlu mengulanginya karena arteri bagian yang terpotong

50

tidak mati dan kemungkinan arteri itu akan mengalir kembali. Potong paruh secara elektrik bisa memakai hot debeaker dan cold debeaker dimana yang paling baik adalah hot debeaker karena arteri tidak mengalir kembali. Di peternakan ayam Soetjipto Munandar, proses debeaking dilakukan pada saat ayam usia 10 hari. Untuk tata laksana potong paruh pada peternakan ini sudah menerapkan tata cara yang standar sesuai dengan teori. Proses debeaking dilakukan dengan alat otomatik hot debeaker. Menurut pengelola peternakan, proses potong paruh dilakukan kurang lebih selama 2 hari, karena jumlah populasi yang mencapai 11.000 ekor. Menurut Johari (2004), pemotongan paruh dilakukan pada umur 7-10 hari, alasannya pada umur tersebut paruh ayam sudah kuat. Sudaryani dan Santoso (2004) menyatakan bahwa keuntungan pemotongan paruh pada ayam umur muda adalah ayam mudah dipegang, dapat mengurangi pendarahan dan cekaman serta daya hidup anak ayam lebih baik. Tujuan potong paruh adalah menghilangkan pertumbuhan. Prosedur yang diterapkan untuk proses potong paruh telah memenuhi standar dan sesuai dengan teori. Pertimbangan potong paruh dilakukan pada usia 10 hari adalah mempermudah dalam handling, kemungkinan pengeluaran darah kecil, dan sedikit mengalami stres. 5.2.8 Pengendalian Kesehatan Pengendalian atau pengobatan penyakit adalah suatu tindakan untuk melindungi individu terhadap serangan penyakit atau sifat kanibal, efisiensi pakan dan memacu

menurunkan keganasannya. Pengendalian atau pengobatan penyakit pada pemeliharaan ayam petelur sangat penting sehingga dapat mengatasi atau mencegah terjadinya penularan penyakit ataupun timbulnya penyakit. Pemeliharaan kesehatan unggas merupakan

51

bagian integral dari usaha peningkatan produksi ternak. Produktivitas dan reproduktivitas ternak hanya dapat dicapai secara optimal apabila ternak dalam keadaan sehat. Oleh sebab itu, pemeliharaan kesehatan ternak merupakan salah satu syarat tercapainya target produksi yang optimal. Program pengendalian kesehatan yang dilakukan di peternakan ayam milik bapak Soetjipto antara lain, melakukan biosekuriti yang ketat, sanitasi dan vaksinasi a) Biosekuriti dan Sanitasi Program biosekuriti dan sanitasi merupakan upaya untuk menjadikan suatu kawasan peternakan terbebas dari bibit penyakit (mikroorganisme pembawanya. Biosekuriti dan sanitasi yang dilakukan di peternakan ayam Soetjipto Munandar meliputi : tempat cuci kaki sebelum masuk kandang, pencucian kandang, penyemprotan kandang, patogen) dari reservoir atau vektor

pengangkatan litter, pencucian tempat pakan dan minum, serta penyemprotan lingkungan sekitar kandang. Tempat cuci kaki sebelum memasuki kandang hanya diperuntukkan selama usia 0-3 minggu. Pencucian kandang dilakukan setelah ayam pindah ke kandang grower. Penyemprotan kandang dilakukan rutin satu minggu sekali atau jika terjadi outbreak dilakukan setiap dua hari. Kemudian penyemprotan sekitar lingkungan kandang dilakukan bersamaan dengan penyemprotan kandang.

52

Gambar 5.7 Biosekuriti kaki sebelum memasuki kandang (thowing) Pencucian kandang dilakukan setelah fase istirahat kandang. Pencucian kandang hanya mengunakan air bersih saja, tetapi bisa ditambahkan disinfektan apabila sebelumnya terjadi outbreak. Kemudian dilanjutkan dengan pengkapuran kandang ditambah disinfektan. Kapur yang digunakan dalam pengkapuran kandang adalah kapur hidup dan disinfektan yang digunakan bersifat long life. Alat-alat yang digunakan dalam pencucian kandang dan sanitasi kandang sebagai berikut:

(a)

(b)

(c)

Gambar 5.8 Peralatan dan proses pencucian kandang, peternakan ayam Soetjipto Munandar. (a) Kompresor, (b) Penyemprotan dinding kandang, (c) penyemprotan lantai kandang.

53

Gambar 5.9 Peralatan pengapuran dan disinfeksi kandang pasca pencucian, peternakan ayam Soetjipto Munandar Penyemprotan kandang dilakukan untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya penyebaran penyakit dan membunuh bibit penyakit. Penyemprotan kandang idealnya dilakukan secara rutin 2-3 hari sekali mengunakan desinfektan, yang bertujuan untuk menekan perkembangbiakan mikoorganisme yang ada di sekitarn kandang atau di dalam kandang (Fadilah, 2008). Penyemprotan kandang yang dilakukan di peternakan ayam bapak Soetjipto minimal sekali dalam seminggu dengan sifat disinfektan long life. Apabila terjadi outbreak penyemprotan kandang dan sekitar kandang bisa dilakukan setiap hari atau dua hari sekali, tergantung angka morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan penyakit tertentu.

Gambar 5.10 Penyemprotan kandang dengan disinfektan long acting, peternakan ayam Soetjipto Munandar Pencucian tempat minum dan makan dilakukan setelah ayam pindah ke kandang grower. Pencucian ini bertujuan untuk membersihkan dari sisa-sisa kotoran dan debu yang menempel pada tempat pakan dan minum. Pencucian tempat pakan minum menggunakan air bersih saja tanpa tambahan disinfektan dengan pertimbangan bahwa nanti pada saat persiapan kandang, juga

54

akan dilakukan penyemprotan kandang berserta material-material yang ada dalam kandang, termasuk tempat pakan dan minum. Hal lain yang dilakukan adalah menjaga kebersihan kandang, peralatan dan daerah sekitarnya, menjaga litter dalam kandang agar tetap kering, menjaga ventilasi dan aliran udara dalam kandang agar selalu dalam keadaan baik. Sanitasi kandang yang dilakukan dipeternakan ini adalah penyemprotan kandang, penyemprotan lingkungan kandang, dan pencucian kandang serta pencucian tempat pakan dan minum. Tujuan dari sanitasi ini adalah menghindari kejadian penyakit yang mungkin disebabkan oleh ayam sebelumnya. Selain sanitasi, tindakan yang dilakukan untuk pengendalian penyakit adalah biosekuriti. Salah satu tindakan biosekuriti yang diterapkan adalah pencucian kaki bagi karyawan yang akan masuk ke kandang starter usia 0-3 minggu. Tindakan ini sebaiknya diberlakukan di semua kandang untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit yang berasal dari luar kandang.

b) Vaksinasi Program ini adalah program yang paling sering digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit di suatu kawasan peternakan. Program vaksinasi dalam suatu peternakan tidak selalu bersifat statis tapi dinamis. Artinya, tidak baku antara satu perternakan dengan peternakan lainnya, tidak hanya jenis vaksin yang digunakan tetapi program vaksinasinya pun beragam. Biasanya program vaksinasi ini disesuaikan dengan kasus penyakit yang pernah terjadi. Menurut Wiharto (1986), bahwa vaksinasi merupakan salah satu diantara berbagai cara yang efektif untuk melindungi individu terhadap serangan berbagai macam jenis penyakit tertentu.

55

Manajemen vaksin yang diterapkan di peternakan ayam Soetjipto Munandar merupakan perbaikan dari manajemen vaksin selama perusahaan ini berdiri. Menurut pengelola peternakan, perubahan manejemen vaksin sudah beberapa kali mengalami perubahan sampai dirumuskan metode dan jenis vaksin yang diterapkan sampai saat ini. Untuk manejemen vaksin fase starter adalah sebagai berikut:

Gambar 5.4 Manajemen vaksin ayam petelur fase starter, peternakan ayam Soetjipto Munandar
Umur (Hari) 1 7 18 23 35 42 49 56 Jenis Vaksin Coxy, NDIB Gumboro B NDIB Polibron Gumboro A NDIB Kill, Pox AI 1 Koriza 1 ILT Cara Pemberian Spray Mulut Mulut SC (sub kutan) SC + Tusuk sayap SC SC Mata Sifat Vaksin Aktif Aktif Aktif Aktif Inaktif+Aktif Inaktif Inaktif Aktif

Pada peternakan ini, sebelum dan sesudah vaksinasi diberikan vitamin untuk menjaga agar kondisi ayam tidak tertekan akibat dari porses vaksinasi. Pemberian vitamin ini diberikan 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi selama 2-3 hari. Ada beberapa teknik atau cara yang umum dilakukan untuk melakukan vaksinasi, antara lain vaksinasi melalui air minum, tetes mata, tetes hidung atau mulut, spray, suntikan dam tusuk sayap. Untuk menghindari ayam yang divaksin mengalami stress, maka ayam perlu mendapat suplai vitamin khususnya vitamin anti stres sebelum dan sesudah pelaksanaan vaksinasi. Vitamin antistres diberikan terutama pada saat pergantian musim, sebelum vaksinasi, sesudah vaksin, pelebaran kandang, penggantian sekam, dan setelah ayam sembuh dari penyakit (Nuroso, 2010). Pemberian vaksin fowl pox dengan cara tusuk sayap atau dengan metode wing wab. Pemberian vaksinasi ini melalui 56

perkutan pada sayap dengan jarum khusus. Tata cara vaksin adalah jarum sebelumnya dicelupkan ke dalam vaksin fowl pox kemudian ditusukkan melalui perkutan pada sayap pada area yang sedikit pembuluh darah. Pengendalian penyakit yang diterapkan di peternakan ini sudah sesuai, hal ini terbukti dengan angka kejadian penyakit yang rendah. Pengendalian kesehatan dalam hal vaksinasi didukung oleh pemberian vitamin sebelum dan sesudah vaksinasi, sehingga kondisi ayam tidak stres. Selain itu, biosekuriti dan sanitasi juga mendukung pengendalian penyakit ini.

57

BAB VI PENUTUP

6.1

Kesimpulan 1. Perlakuan yang dilakukkan pada saat DOC datang antara lain,

penimbangan DOC per box, penyeleksian DOC untuk memisahkan DOC yang mati, pemberian vaksin spray, penghitungan DOC sebelum dimasukkan ke chick guard, dan memasukkan DOC ke chick guard. 2. Persiapan kandang yang dilaksanakan di peternakan ini antara lain, pemasangan brooder, pemasangan chick guard, penataan tempat pakan dan minum telah terlaksana sesuai prosedur. Jumlah DOC dalam chick guard yang berukuran 6x3 m adalah 3000-3500 ekor, kondisi ini terlalu padat, seharusnya jumlah DOC yang dimasukkan dalam chick guard ukuran tersebut adalah 1000-1500 ekor. 3. Program pencahayaan yang dilakukan, telah memenuhi standar yang diberikan oleh perusahaan breeder dan sesuai dengan petunjuk yang ada. 4. Pengaturan temperatur belum menunjukkan perbandingan yang sesuai antara gasolec dengan populasi ayam. 5. Pengaturan ventilasi menggunakan sistem tirai buka tutup ini membantu untuk menstabilkan kondisi udara dalam kandang. Penerapan desain atap monitor juga membantu untuk pergerakan udara keluar. Sehingga kondisi udara dalam kandang dapat mencukupi kebutuhan ayam terhadap O2. 6. Pemberian pakan pada fase starter sudah sesuai prosedur yang ditetapkan. Penggunaan tempat pakan dan minum yang sesuai aturan, pemberian pakan yang ad libitum, serta ransum pakan yang tepat akan menghasilkan FCR yang tinggi pada peternakan ini. FCR di peternakan ini mencapai 97%. 7. Prosedur yang diterapkan untuk proses potong paruh telah memenuhi standar dan sesuai dengan teori. Pertimbangan potong paruh dilakukan

58

pada usia 10 hari adalah mempermudah dalam handling, kemungkinan pengeluaran darah kecil, dan sedikit mengalami stres 8. Sanitasi kandang yang dilakukan dipeternakan ini adalah penyemprotan kandang, penyemprotan lingkungan kandang, dan pencucian kandang serta pencucian tempat pakan dan minum. Selain sanitasi, tindakan yang dilakukan untuk pengendalian penyakit adalah biosekuriti. Salah satu tindakan biosekuriti yang diterapkan adalah pencucian kaki bagi karyawan yang akan masuk ke kandang starter usia 0-3 minggu. 9. Pengendalian penyakit yang diterapkan di peternakan ini sudah sesuai, hal ini terbukti dengan angka kejadian penyakit yang rendah. Pengendalian kesehatan dalam hal vaksinasi didukung oleh pemberian vitamin sebelum dan sesudah vaksinasi, sehingga kondisi ayam tidak stres.

6.2

Saran 1. Pembuatan sistem pencatatan yang lebih rapi mengenai tata laksana pemeliharaan fase starter di peternakan ayam Soetjipto Munandar yang meliputi pencatatan jumlah populasi setiap kandang, jumlah kematian setiap kandang, jumlah pakan yang diberikan, penyemprotan kandang untuk sanitasi dan biosekuriti, serta pemberian vaksin dan pengobatan dengan tujuan untuk menekan angka kejadian penyakit. 2. Jumlah DOC dalam chick guard dengan ukuran 6x3 m sebaiknya terisi dengan jumlah populasi 1000-1500 ekor. 3. Sebaiknya satu gasolec untuk 500-750 ekor ayam 4. Biosekuriti untuk pencucian kaki sebelum memasuki kandang, sebaiknya tidak hanya selama usia 0-3 minggu, tetapi selama ayam berada dalam kandang.

59

DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 2003. Meningkatkan Produktivitas Ayam Ras Petelur. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. Bakely, James dan Bade, D.H. 1991. Ilmu Peternakan, terjemahan Bambang Srigandono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. BAPPENAS. 2011. Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. http//:www.disnak.jabarprov.go.id Cahyono, B.1995. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging (Broiler). Yogyakarta: Pustaka Nusatama. Fadilah, R. 2004. Kunci Sukses Beternak Ayam Broiler di Daerah Tropis. Jakarta: Agromedia Pustaka Fadilah, R.I dan Polana, A. 2008. Beternak Unggas Bebas Flu Burung. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Info Medion. 2011. Saat Awal Menjadi Penentu. http//:www.Info.medion.co.id [2 November 2011] Johari, S., 2004. Sukses Beternak Ayam Ras Petelur. Jakarta: Agromedia Pustaka. Lohman. 2011. Layer Manajement Guide. Germany. Lohmann Tierzucht Gmbh Mulyantini, N.G.A. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nuroso. 2010. Pembesaran Ayam Kampung Pedaging Hari Per Hari. Jakarta: Penebar Swadaya Pramudyati, Y.S dan Effendy, J. 2009. Beternak Ayam Ras Pedaging (Broiler). Sumatera Selatan: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Primasetra, A. 2010. Peluang Usaha Untuk Ibu Rumah Tangga Modal 1 Juta. Yogyakarta. Pustaka Grhatama. Priyatno, A.M. 2002. Membuat Kandang Ayam. Jakarta: Penebar Swadaya. Rasyaf, M. 1995. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging. Bogor: Gramedia Pustaka Utama. Rasyaf, M. 2003. Beternak Ayam Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.

60

Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Petelur. Jakarta: Penebar Swadaya. Rusianto, N. 2008. Management Beternak ayam Petelur. Surabaya: Privo Sakurazy Medtecindo Standar Nasional Indonesia. 2011. Pakan Anak Ayam Ras Petelur (Layer Starter). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Soegjianto. 1999. Bangunan di Indonesia Dengan Iklim Tropis Lembab Ditinjau dari Aspek Fisika Bangunan. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Sudarisman. 2004. Biosekuritas dan Program Vaksinasi. ASA Poultry Refresher Course. 25-27 April 2000. Sudarmono, A.S. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI). Sudaryani, T. dan Santosa, H. 2003. Pembibitan Ayam Ras. Jakarta: Penebar Swadaya. Sudaryani, T. dan Santoso, H. 2004. Pembibitan Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya. Suprijatna E.U, Atmomarsono, dan Kartasudjana, R.. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya. Wiharto. 1986. Petunjuk Beternak Ayam. Malang. Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya. Williamson, G dan W. J. A, Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Troipis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Winkel, P.T. 1997. Biosecurity in Poultry Production: Where are we and where do we go? Prosiding 11th International Congress of the World Poultry Association.

61

LAMPIRAN

62

Lampiran 1. Kuisioner 1. Apa saja sarana produksi selama fase layer di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 2. Bagaimana persiapan kandang dan peralatan pada fase layer ? 3. Bagaimana mekanisme penyeleksian DOC yang datang di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 4. Bagaimana perlakuan terhadap DOC setelah dilakukan seleksi di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 5. Bagaimana sistem kandang DOC di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 6. Bagaimana pola pemberian minum DOC di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 7. Bagaimana sistem perkandangan selama fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 8. Apa saja peralatan yang digunakan pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 9. Bagaimana pola pemberian pakan dan minum pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 10. Bagiamana mekanisme pengaturan suhu pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 11. Bagaimana mekanisme pengaturan pencahayaan pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 12. Bagaimana pengaturan ventilasi pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 13. Bagiamana sistem biosekutiri pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 14. Bagaimana prosedur sanitasi pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 15. Kapan saja dilakukan penimbangan pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 16. Kapan dilakukan pemotongan paruh pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 17. Bagaimana prosedur pengendalian kesehatan pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 18. Bagaimana program vaksinasi pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto? 19. Bagaimana program pengobatan pada fase starter di peternakan ayam milik bapak Soetjipto?

63

Lampiran 2. Aktivitas Praktek Kerja Lapang Harian

Penimbangan DOC

Vaksin coxy dan ND-IB (spray)

Persiapan kandang DOC

Perhitungan dan pemindahan ayam ke chick guard

64

Aktivitas memberi pakan fase starter

Vaksinasi SC

Pengapuran kandang

Pemindahan ke kandang flock

65

Pengangkatan litter

Ayam dalam brooder

Paruh DOC setelah dipotong

Saklar otomatis untuk pencahayaan

66

Pencucian tempat pakan dan minum

Pencampuran pakan

67

Anda mungkin juga menyukai