Anda di halaman 1dari 8

Kasus Ukiran Jepara: Sebuah Pelajaran Berharga

Agus Sardjono ---------------------------------------------------------------------------------Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar kasus ukiran Jepara yang melibatkan orang-orang asing? Kasus itu merupakan warning bagi kita semua, betapa perlindungan HKI masih disalahpahami oleh banyak pihak, bahkan termasuk para penegak hukum sendiri. Kasusnya dimulai dari adanya pendaftaran katalog (buku) yang berisi gambar-gambar desain ukiran Jepara berikut harganya di Kantor HKI di luar negeri dan di Indonesia. Pendaftarnya adalah sebuah perusahaan yang dimiliki oleh orang asing (Inggris). Apa yang dapat dipahami adalah bahwa dengan melakukan pendaftaran katalog, perusahaan pendaftar berniat untuk menikmati perlindungan Hak Cipta. Walaupun pendaftaran itu sendiri tidak melahirkan perlindungan Hak Cipta, namun melalui pendaftaran akan mempermudah bagi orang yang mendaftar untuk membuktikan bahwa dirinyalah pemegang Hak Cipta atas buku katalog itu. Apa yang terjadi kemudian? Pendaftaran buku itu telah digunakan oleh pendaftar untuk mengklaim bahwa desain yang terdapat di dalamnya juga merupakan miliknya. Hal ini terbukti ketika perusahaan ini menuntut orang asing
Agus Sardjono adalah Doktor Ilmu Hukum. Saat ini bekerja sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Berbagai tulisan telah diterbitkannya di berbagai media, baik dalam negeri maupun luar negeri. Bidang kajian utamanya adalah Intellectual Property Rights dan Commercial Law. Dalam aktivitasnya di bidang tersebut antara lain pernah menjadi pembicara pada berbagai seminar, symposium, workshop baik di dalam negeri maupun di luar negeri, termasuk menjadi konsultan atau tim ahli di Badan Legislasi DPR, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Pekerjaan Umum, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Kamar Dagang dan Industri (KADIN), dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat. Kegiatan yang terkait dengan pengabdian masyarakat antara lain dilakukannya dengan memberikan penyuluhan tentang pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat lokal atas kearifan tradisional mereka, memberikan penyuluhan kepada para petani di Jawa Timur tentang hak-hak atas benih tanaman. Aktivitas di bidang pendidikan dan penelitian telah dilakukannya tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di berbagai negara, antara lain: Jepang, Italia, Swiss, Belanda, Prancis, Amerika Serikat, Thailand, China, dan Australia.

lainnya (Belanda) yang menggunakan gambar-gambar (desain) yang terdapat di dalam buku katalog tersebut dalam websitenya. Tuntutan itu telah diakomodasi oleh aparat penegak hukum dengan mengadili orang asing yang dituduh melanggar hak cipta atas desain yang terdapat di dalam katalog. Apa yang salah? Kesalahan utamanya adalah bahwa dalam kasus ini telah terjadi kesalahan penerapan hukum HKI. Sistem perlindungan Hak Cipta telah digunakan untuk menuduh dan mengadili orang yang melakukan pelanggaran desain. Padahal antara sistem perlindungan Hak Cipta dengan sistem perlindungan Desain Industri memiliki lingkup yang berbeda. Kesalahan kedua adalah bahwa desain ukiran yang secara tradisional dimiliki oleh masyarakat Jepara, kini telah diklaim sebagai miliknya orang Inggris hanya karena sebuah pendaftaran katalog, yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan sistem perlindungan desain. Dengan pendaftaran dan klaim ini boleh jadi para pengukir Jepara nantinya akan terancam tuduhan melakukan pelanggaran desain jika mereka mengukir dan mengeksport ke luar negeri, khususnya ke Eropa, hasil ukiran Jepara yang terdapat di dalam buku katalog tersebut. Ini akan menjadi sebuah ironi yang menyedihkan ketika para pengukir tradisional justru terancam haknya untuk menggunakan desain tradisional milik mereka sendiri. Jika perusahaan atau orang Inggris itu berminat memperoleh perlindungan desain, ia seharusnya bukan mendaftarkan katalog dalam rezim hak cipta, melainkan mendaftarkan desain-desain yang akan diklaim sebagai miliknya dalam rezim desain industri. Sistem pendaftaran desain industri sangat berbeda dengan sistem pendaftaran hak cipta. Demikian juga akibat dari pendaftaran desain juga berbeda dengan akibat dari adanya pendaftaran hak cipta. Pelanggaran hak atas desain juga berbeda dengan pelanggaran hak cipta. Mungkin orang Inggris itu tahu bahwa mereka tidak akan mungkin memperoleh perlindungan hak atas desain bila mereka mendaftarkan desain-desain ukiran Jepara yang dimaksud. Mereka mengetahui bahwa desain itu adalah haknya orang-orang Jepara, karena merupakan bagian dari kearifan tradisional masyarakat Jepara yang secara turun-temurun telah menggunakan teknik dan desain ukir-ukiran khas Jepara tersebut. Oleh karena itu, perusahaan itu mencoba menggunakan jalur lain dari sistem perlindungan HKI, yaitu hak cipta. Dalam sistem perlindungan hak cipta, yang dilindungi dari katalog yang didaftarkan itu bukanlah desain-desain yang terdapat di dalamnya, melainkan buku katalog itu sendiri. Pelanggaran hak cipta atas katalog terjadi apabila buku itu diperbanyak oleh pihak lain tanpa ijin, kemudian menjualnya untuk keuntungan sendiri. Namun siapa orangnya yang akan begitu bodoh memperbanyak katalog yang di dalamnya juga terdapat daftar harga dari tiap-tiap item desain dan alamat ke mana pemesanan
2

harus dilakukan, kecuali jika pihak yang memperbanyak itu adalah juga pedagang furniture. Itupun ia harus terlebih dahulu mengubah nama dan alamat kepada siapa pemesanan harus dilakukan. Jika tidak demikian, maka ia adalah pedagang furniture yang cukup bodoh karena dia tidak akan memperoleh manfaat apapun dari penggandaan katalog itu. Sebaliknya ia malah membantu pemilik katalog untuk memasarkan produknya. Kiranya klaim pendaftar katalog bahwa desain-desain yang terdapat di dalamnya adalah juga miliknya merupakan kekeliruan yang sangat transparan. Entah disengaja atau tidak, klaim itu merupakan upaya penyesatan terhadap masyarakat yang tidak mengetahui seluk beluk hak cipta dan hak desain. Celakanya, penyesatan itu tidak dipahami juga oleh aparat penegak hukum. Dengan melayani pengaduan terjadinya pelanggaran desain melalui sistem perlindungan hak cipta, sejatinya hal itu merupakan bentuk penyesatan publik. Apabila kemudian penyesatan ini berakibat bahwa masyarakat Jepara menjadi ketakutan untuk membuat ukiran yang sama dan bahkan kehilangan kesempatan untuk mengeksport produk-produk ukiran yang terdapat di dalam katalog tanpa melalui perusahaan pendaftar katalog, maka penyesatan itu berubah menjadi penganiayaan hukum terhadap masyarakat Jepara yang tidak memahami seluk beluk HKI. Yang lebih ironis lagi adalah ketika Kantor HKI menerima pendaftaran buku katalog tersebut. Padahal berdasarkan Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya disingkat UU Hak Cipta atau UUHC), apabila ada orang asing yang berkeinginan untuk menggunakan folklore Indonesia, ia atau mereka harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari Negara karena Negara adalah pemegang hak cipta atas folklore Indonesia. Ukiran Jepara adalah salah satu bentuk ekspresi kebudayaan (folklore) masyarakat Jepara. Oleh karenanya jika orang asing pendaftar katalog itu hendak menggunakannya dalam suatu katalog, seharusnya ia mendapatkan ijin terlebih dahulu dari Negara. Untuk kasus ini, tampaknya ijin itu belum ada. Namun yang terjadi adalah bahwa meskipun pendaftar katalog itu adalah perusahaan atau orang asing, dan ia belum mendapatkan ijin untuk menggunakan folklore Jepara itu, namun ternyata pendaftarannya diterima juga. Bukankah ini sebuah ironi? Bagaimana semua itu bisa terjadi di Indonesia? Jawabnya mungkin cukup sederhana. Walapun sistem HKI sudah ada di bumi Nusantara sejak masa penjajahan Belanda, namun sistem itu sesungguhnya merupakan sistem yang masih asing bagi kebanyakan warga masyarakat Indonesia. Pada jaman Belanda pun sistem itu diberlakukan hanya bagi golongan Eropa (Pasal 131 Indische Staatsregeling). Pemberlakuan perundang-undangan HKI Nasional baru dimulai pada tahun 1961. Pada tahun itu Indonesia mengundangkan UU Merek Nasional yang pertama. Kemudian diikuti pengundangan UU Hak Cipta pada tahun 1982. Pada tahun 1989 menyusul pengundangan UU Paten. Dan hingga hari ini,
3

sudah terjadi perubahan beberapa kali terhadap perundang-undangan tersebut. Undang-undang Desain Industri sendiri merupakan salah satu UU HKI Indonesia yang paling bungsu. Ia lahir pada tahun 2000 dengan diundangkannya UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Hingga hari ini, masih banyak anggota masyarakat yang belum memahami seluk beluk perlindungan HKI, bahkan termasuk kalangan birokrasi dan aparatur penegak hukum itu sendiri. Sehingga menjadi wajar ketika pelaksanaan perundang-undangan HKI masih menimbulkan masalah di sana-sini. Kasus Jepara merupakan salah satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana pelaksanaan UU HKI di Indonesia. Bagaimana perlindungan UU Hak Cipta masih rancu dengan perlindungan Desain Industri. Buku katalog yang seharusnya masuk dalam kapling perlindungan Hak Cipta, digunakan untuk mengajukan klaim desain yang berada pada kapling yang lain lagi. Sertifikat atau Surat Keterangan Pendaftaran katalog yang bahkan bukan bukti pemberian hak cipta telah digunakan untuk kasus desain dengan mengesampingkan kenyataan bahwa ukiran Jepara yang seharusnya menjadi haknya orang Jepara, namun nyatanya dapat diklaim sebagai milik suatu perusahaan. Ini adalah kasus misappropriation folklore Jepara oleh perusahaan asing yang sungguh sangat transparan. Bagaimana seharusnya masyarakat awam bersikap? Bagaimana pelaku bisnis berbasis desain menyikapi hal ini? Mau tidak mau, masyarakat harus mulai memahami apa sesungguhnya HKI itu. Mau tidak mau masyarakat industri harus mengapresiasi sistem perlindungan HKI yang sudah diberlakukan di Indonesia. Terlepas apakah konsep HKI itu konsep yang asing atau tidak, konsep itu sudah menjadi bagian dari Hukum Nasional yang berlaku bagi semua anggota masyarakat, siapapun dia. Dengan memahami sistem tersebut, setiap anggota masyarakat justru dapat memperoleh manfaat dari keberadaan sistem HKI. Sekiranya anggota masyarakat belum dapat memanfaatkan HKI untuk melindungi hasil kreasinya sendiri, sekurang-kurangnya anggota masyarakat dapat ikut serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan sistem HKI yang menyimpang. Anggota masyarakat juga dapat mempertahankan hakhaknya yang dilanggar oleh pihak lain, sebagaimana dalam kasus ukiran Jepara tersebut. Untuk lebih memahami duduk perkara kasus ukiran Jepara, ada baiknya disajikan beberapa konsep hak cipta dan desain melalui uraian singkat tentang sistem perlindungan hak cipta dan desain sebagai berikut: Sistem perlindungan hak cipta Hak cipta adalah suatu rezim hukum yang dimaksudkan untuk melindungi para pencipta agar mereka dapat memperoleh manfaat ekonomi atas hasil karya ciptanya. Manfaat ekonomi itu dapat diperoleh dari hak khusus seorang pencipta untuk mengumumkan dan memperbanyak karya cipta. Termasuk tindakan mengumumkan antara
4

lain: menyiarkan, mementaskan, mempertunjukkan, mendistribusikan, menjual, atau tindakan apapun yang membuat karya cipta seseorang dapat dilihat, didengar, atau dibaca oleh orang lain dengan menggunakan alat, media, atau sarana apapun. Bagaimana bentuk tindakan pengumuman itu tentunya sangat bergantung pada bentuk karya cipta itu sendiri. Mengumumkan lukisan tentu berbeda dengan mengumumkan puisi. Mengumumkan musik tentu berbeda dengan mengumumkan buku. Mengumumkan patung tentu berbeda dengan mengumumkan program komputer, demikian seterusnya. Namun yang terpenting adalah dari semua tindakan mengumumkan tersebut, seorang pencipta seharusnya mendapatkan manfaat ekonomis daripadanya. Seorang pencipta lagu seharusnya mendapat royalty atau honorarium bila lagunya diperdengarkan kepada orang lain oleh hotel atau pub atau karaoke. Sekecil apapun bagian prosentase royalty, ia selayaknya mendapatkan bagian tersebut. Seorang koreografer sudah selayaknya mendapatkan honorarium ketika karya tarinya dipentaskan oleh siapapun juga di hadapan audience. Seorang pencipta juga sudah selayaknya mendapatkan bagian dari perbanyakan suatu karya cipta. Tindakan memperbanyak ciptaan adalah tindakan menambah jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian yang substansial dengan menggunakan bahan yang sama atau tidak sama, termasuk tindakan mengalih wujudkan. Penerbit buku yang mendapatkan ijin dari penulis untuk memperbanyak dan menjual buku yang ditulisnya sudah sepatutnya membayar royalty kepada penulisnya. Seorang produser film yang mengangkat novel menjadi sebuah film sudah seharusnya membayar royalty kepada penulis novel yang bersangkutan. Tindakan perbanyakan itu bentuknya juga bergantung pada bentuk karya cipta yang bersangkutan. Memperbanyak buku tentu berbeda dengan memperbanyak program komputer. Memperbanyak lukisan tentu berbeda dengan memperbanyak karya musik atau lagu. Memperbanyak patung tentu berbeda dengan memperbanyak novel, demikian seterusnya. Pelanggaran terhadap hak-hak pencipta terjadi jika ada perbuatan mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tanpa persetujuan pencipta. Dalam konteks buku katalog ukiran Jepara yang menjadi fokus tulisan ini, pelanggaran yang mungkin terjadi adalah: memperbanyak jumlah buku katalog dan kemudian menjualnya tanpa persetujuan dari pencipta katalog tersebut. Dengan demikian tidak ada hubungannya dengan penggunaan desain-desain yang terdapat di dalamnya. Sama halnya dengan buku yang berisi resep memasak. Pelanggaran hak cipta terjadi jika buku resep tersebut digandakan dan hasilnya dijual tanpa persetujuan pencipta buku tersebut. Menggunakan resep yang terdapat di dalamnya untuk diterapkan dalam masak-memasak sama sekali bukan pelanggaran hak cipta.
5

Hak cipta lahir secara otomatis sejak saat suatu ciptaan selesai dibuat. Perlindungan hak cipta diberikan kepada pencipta secara otomatis sejak saat ciptaan itu selesai dibuat dalam bentuk tertentu, entah berupa naskah buku, rekaman suara, lukisan, program komputer, dan sebagainya. Pendaftaran hak cipta tidak melahirkan hak cipta, melainkan hanya membantu pencipta dalam upaya membuktikan kepada pihak lain bahwa ciptaan itu adalah hasil karyanya. Dalam konteks pendaftaran buku katalog ukiran Jepara, maka pendafatarn itu hanya berfungsi untuk membantu penyusun katalog dalam membuktikan bahwa buku itu adalah ciptaannya, sedangkan desain-desain ukiran yang terdapat di dalamnya jelas bukan ciptaan penyusun katalog tersebut. Surat bukti pendaftaran itu sama sekali tidak membuktikan bahwa desain-desain yang terdapat di dalam buku itu adalah milik si pendaftar buku. Desain-desain ukiran tradisional itu adalah bentuk ekspresi kebudayaan dan menjadi milik masyarakat Jepara, walaupun masyarakat Jepara tidak pernah mendaftarkan desain itu ke Kantor HKI. Dalam sistem UU Hak Cipta, hak masyarakat Jepara atas desain ukir-ukiran itu harus dipertahankan oleh Negara atas nama masyarakat Jepara (Pasal 10). Jika ada orang asing yang berniat menggunakan desain itu untuk dimasukkan dalam buku katalog untuk dikomersialkan, maka orang asing itu harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari Negara atas nama masyarakat Jepara. Bila pada kenyataannya aparat birokrasi di Indonesia yang seharusnya memahami hal ini ternyata justru menerima pendaftaran dan menerbitkan sertifikat atau surat keterangan pendaftaran tanpa memperhatikan ada tidaknya ijin tersebut, maka ini adalah sebuah kekeliruan yang lumayan serius. Apalagi jika kemudian surat itu digunakan oleh pendaftar buku katalog untuk mengklaim kepemilikan atas desain-desain ukiran yang terdapat di dalamnya. Sistem perlindungan desain industri Perlindungan hak atas desain industri memiliki sistem yang berbeda dengan perlindungan hak cipta. Hak atas desain industri diberikan oleh Negara kepada pemohon hak. Ia tidak lahir secara otomatis sebagaimana halnya hak cipta. Tidak akan ada hak atas desain tanpa adanya permohonan dan pendaftaran. Dalam UU Desain Industri disebutkan bahwa desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis dan/atau warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk dua atau tiga dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola dua atau tiga dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk barang atau kerajinan tangan. Misalnya desain mobil, handphone, dompet, tas, sabuk atau ikat pinggang, dan sebagainya. Desain ukiran termasuk ke dalam kategori desain yang dapat dilindungi dengan desain industri. Konsisten dengan sistem ini, para desainer industri ukiran Jepara baru akan mendapatkan perlindungan jika desainer itu mendaftarkan
6

desainnya ke Kantor HKI untuk mendapatkan hak perlindungan. Dengan kata lain, jika desainer tidak mengajukan permohonan perlindungan hak atas desainnya, maka selamanya ia tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Sistem ini mempersyaratkan tindakan aktif dari para desainer untuk mengajukan permohonan perlindungan. Oleh karenanya, sistem ini disebut sebagai active atau positive protection system. Persyaratan untuk mendapatkan perlindungan adalah bila desain itu baru (new). Untuk desain-desain lama atau desain tradisional seperti halnya desain ukiran Jepara itu tidak akan memenuhi syarat jika hendak dilindungi dengan UU Desain Industri. Dengan demikian, apakah berarti masyarakat Jepara tidak akan mendapatkan perlindungan hukum atas hak-hak mereka terhadap seni ukir tradisional mereka? Tentu saja mereka dapat memperoleh perlindungan hukum atas desain-desain mereka yang baru. Untuk mendapatkan perlindungan itu mereka harus mengajukan permohonan hak melalui pendaftaran ke Kantor HKI. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan antara lain dengan melampirkan contoh fisik atau gambar atau foto dan uraian atas desain industri yang dimohonkan, dan surat pernyataan bahwa desain itu adalah milik pemohon atau pendesain.1 Selanjutnya, sebelum Kantor HKI memberikan hak desain, dilakukan terlebih dahulu beberapa pemeriksaan, baik administratif maupun substantif. Namun pemeriksaan substantif ini baru akan dilakukan jika ada keberatan dari pihak lain atas permohonan hak desain yang bersangkutan. Intinya, tanpa memenuhi persyaratan dan melalui proses tersebut, masyarakat Jepara tidak akan pernah menikmati perlindungan desain industri. Pertanyaannya jika demikian, bukankah para pengrajin ukiran Jepara sangat rentan untuk dilanggar hak-haknya oleh pihak manapun, baik pengusaha dalam negeri maupun luar negeri? Bagaimana melindungi mereka? Sebuah pemikiran Bagaimana melindungi mereka, itulah pekerjaan rumah dari Pemerintah Indonesia yang mendapatkan mandat dari Konstitusi untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Jika UU Hak Cipta tidak dapat digunakan untuk melindungi desain industri, sementara rezim desain industri juga tidak dapat melindungi masyarakat Jepara atas kearifan tradisional mereka, maka sistem perlindungan seperti apa yang dapat diberikan kepada masyarakat Jepara? Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan untuk menciptakan sistem perlindungan bagi hak-hak masyarakat lokal atas
1Persyaratan yang lebih lengkap dapat dibaca dalam UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

kearifan tradisional mereka, termasuk masyarakat Jepara. Namun sayang bahwa upaya tersebut terkesan masih sektoral dan belum serius. Beberapa rancangan undang-undang juga sudah dibuat. Sayangnya tidak didahului dengan pembuatan naskah akademik yang komprehensif, yang disusun dengan standard yang tinggi. Kiranya sudah tiba saatnya setiap komponen bangsa menggabungkan segenap energi yang ada dan secara bersama-sama mengelola energi tersebut menjadi produk hukum dan produk manajemen pengelolaan kearifan tradisional yang baik. Jauhkan kesombongan sektoral dan fokuskan pada kepentingan untuk melindungi masyarakat lokal yang selalu diam dan diam. Komunitas masyarakat lokal adalah kelompok yang sangat rentan terhadap pelanggaran hak-hak mereka. Mereka adalah silent community yang tak pernah menyuarakan jeritannya atas ketidakadilan yang menimpa mereka. Bagi para pengusaha, mulailah bekerja sama, bersinergi dengan para seniman, baik tradisional maupun kontemporer, untuk mengangkat produk-produk budaya menjadi produk unggulan bangsa yang mempunyai daya saing tinggi karena keunikannya. Jadikanlah kasus ukiran Jepara sebagai pelajaran untuk mulai memperhatikan betapa pentingnya memahami hukum kekayaan intelektual secara benar. Semoga bermanfaat.*** Jakarta, 9 Januari 2008

Anda mungkin juga menyukai