Anda di halaman 1dari 8

Mengenal Bells Palsy Banyak yang belum mengenal bells palsy, padahal bells palsy dapat menyerang mulai

dari usia muda hingga tua. Beberapa waktu yang lalu penulis terserang bells palsy dan pada kesempatan ini penulis bermaksud membuat tulisan ini agar siapapun dapat mencegah ataupun dapat mengenali penyakit ini agar pengobatannya lebih maksimal. Konten dari tulisan berikut adalah ilmiah tetapi disajikan dengan bahasa yang sederhana agar lebih mudah untuk dipahami. Semoga tulisan ini bermanfaat. Seputar Bells Palsy Secara ilmiah Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis (saraf diwajah) akibat paralisis nervus fasial perifer (kelumpuhan saraf diwajah) yang terjadi secara akut (cepat) dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat (diluar otak dan saraf ditulang belakang) tanpa disertai adanya penyakit neurologis (saraf) lainnya. Bells palsy ditemukan oleh Sir Charles Bell, seorang dokter berkebangsaan Skotlandia pada abad ke 19. Gejala paling nyata wajah terlihat miring. Ketika senyum setengah wajah penderita Bells palsy tetap diam (tidak bisa tersenyum lebar). Orang-orang tua dulu menyebutnya sebagai penyakit akibat kena angin malam atau karena habis bertabrakan dengan makhluk halus. Bells palsy berbeda dengan stroke walau gejala kelumpuhannya mirip. Epidemologi (penyebaran penyakit) Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut (kelumpuhan otot wajah yang proses munculnya gejala berlangsung cepat). Bells palsy dapay menyerang umur berapapun tapi lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Wanita dan laki-laki memiliki kemungkinan yang sama untuk terserang Bells palsy. Akan tetapi wanita muda yang berumur (10-19 tahun) lebih rentan terserang daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. 63% menyerang wajah sebelah kanan. Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati (kelumpuhan saraf) dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan. Etiology (penyebab penyakit) Bells palsy adalah penyakit autoimun, yaitu suatu keadaan dimana system imun menyerang tubuh kita sendiri. dalam hal ini, system imun menyerang nervus fasialis (saraf diwajah) sehingga menyebabkan kelumpuhan. Penyebab pasti autoimun tersebut masih belum diketahui

(idiopatik). Akantetapi, ada beberapa hal yang diduga sebagai factor pencetus timbulnya Bells palsy. Virus Herpes simplex. 60-70% kasus Bells palsy juga diikuti dengan hadirnya virus herpes simplex (studied by Dr. Shingo Murakami and others). Diduga virus ini sudah menyerang sejak anak-anak. Tetapi bisa juga menyebar lewat penggunaan handuk atau peralatan secara bersama dengang orang lain yang terlebih dahulu diserang. Beberapa virus lain juga diduga sebagai penyebabnya seperti cytomegalovirus, Epstein-Barr, rubella and mumps. Kongenital. Bells palsy juga biasa nya terjadi karena bawaan lahir. Hal ini bi sa disebabkan oleh karena sindroma moebius atau karena trauma lahir (seperti perdarahan intracranial/perdarahan didalam kepala atau fraktur tengkorak/patah tulang tengkorak). Keduanya terjadi pada saat proses kelahiran anak. Riwayat terpapar udara dingin secara terus menerus. Kebanyakan penderita Bells palsy memiliki kesamaan riwayat, yaitu pernah terpapar udara dingin secara terus menerus. Misalnya karena terpapar udara dingin karena setiap malam naik motor atau terkena angin AC secara langsung secara terus menerus.

Gejala Klinik Awalnya biasanya terjadi kehilangan sensasi rasa pada lidah. Lidah terasa seperti ada yang menyelimuti. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmos). Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign \ Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat. Selanjutanya, gejala bells palsy tergantung dari lokasi lesi (tempat kerusakan sarafnya). a. Lesi di luar foramen stilomastoideus. Gejala yang muncul adalah mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.

b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani). Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi (produksi air liur) di sisi yang terkena berkurang. c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius).

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis (sangat sensitif terhadap suara). d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum).

Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Biasanya penderita merasa nyeri dan tidak tahan mendengar suara yang keras. e. Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

Diagnosis DIAGNOSA (4) A. Anamnesa (hasil wawancara dengan pasien) - Rasa nyeri - Gangguan atau kehilangan pengecapan. - Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan. - Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain. B. Pemeriksaan Fisik Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal : 1. Mengerutkan dahi 2. Memejamkan mata 3. Mengembangkan cuping hidung 4. Tersenyum 5. Bersiul 6. Mengencangkan kedua bibir

C. Pemeriksaan Laboratorium. (pengambilan darah) Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bells palsy. D. Pemeriksaan Radiologi. (foto, seperti x-ray, ct-scan, MRI) Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT -Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

Pengobatan Istirahat yang cukup. Seperti dikemukakan sebelumnya, 60-70% pencetus adalah virus, sementara virus bersifat self limiting disease (penyakit yang dapat sembuh sendiri jika kita memiliki system pertahanan tubuh yang baik). Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis (saraf wajah) di dalam kanal fasialis (jalurnya) yang sempit. Kortikostiroid juga bersifat immunosupresan sehingga bisa menekan kinerja system imun. Mekanisme ini sesuai dengan penyebab utama bells palsy yaitu autoimun. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi viru (penggandaan virus). Untuk perawatan mata dapat menggunakan air mata buatan atau menggunakan pelindung mata, seperti kacamata. Fisioterapi sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot (kekuatan) yang

lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi. Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan operatif dilakukan apabila tidak terdapat penyembuhan spontan atau tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison. Penulis menyarankan agar pasien melakukan kompres air hangat disertai pemijatan pada bagian yang lumpuh pagi dan malam. Walaupun belum ada penilitian ilmiah terkait ini, tetapi pemberian paparan air hangat merupakan negasi (kebalikan) dari paparan udara dingin yang sering memapari penderita. Pemijatan juga berfungsi melatih gerakangerakan pada otot wajah. Penulis juga menyarakan agar setiap saat pasien melakukan menggerak-gerakkan wajahnya, seperti berlatih tersenyum, mengangkat alis ataupun menarik pipi ataupun alis.

Pencegahan Hindari mandi di malam hari. Hindari kebiasaan langsung mandi atau mencuci muka sehabis berolahraga . Hindari terpaan angin langsung ke wajah, utamanya angin dingin. Perbaiki system pertahanan tubuh (system imunitas).

KOMPLIKASI Crocodile tear phenomenon. Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum. Synkinesis Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme

Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. PROGNOSIS Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bells palsy cenderung memiliki prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bells palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Sepertiga dari penderita Bells palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup. Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah: 1. Usia di atas 60 tahun 2. Paralisis komplit 3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh, 4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan 5. Berkurangnya air mata. Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain. Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial. Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang

mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis. KESIMPULAN (1) Bells palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat menyebabkan gangguan pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior lidah.Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi

DAFTAR PUSTAKA 1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300 2. Dr P Nara, Dr Sukardi, Bells Palsy, http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/ sPalsy.html (diakses tanggal 11 desember 2011) 3. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy, http://emedicine.medscape.com/article/1146903overview#a0156 (diakses tanggal 22 Desember 2011). 4. Annsilva, 2010, Bells Palsy, http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bells-palsy-casereport/ (diakses tanggal 11 desember 2011) 5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.

6. Irga, 2009, Bells Palsy, http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html, (diakses tanggal


12 Desember 2011)

7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174 8. Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy, http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bellpalsy.html (diakses tanggal 12 desember 2011) 9. Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2

10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, 1985 : 311-17

Anda mungkin juga menyukai