Anda di halaman 1dari 8

SINDROM STEVENS-JOHNSON

I. DEFINISI
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.1 Penyakit ini terjadi paling sering pada anak-anak dan dewasa muda. 2

II.

ETIOLOGI
Sindrom Steven Johnson disebabkan oleh berbagai etiologi, namun obatobatan merupakan faktor penyebab utama (lebih dari 50%), dan hanya sebagian kecil kasus yang menunjukkan hubungan dengan vaksinasi, infeksi, neoplasma, radiasi, dan autoimun.3 Daftar obat-obatan penyebab penyakit ini bervariasi di setiap negara karena penggunaan obat yang berbeda, namun terdapat tiga kelompok yang paling sering mencetuskan yaitu: antibakteri sulfonamide, antikonvulsan, dan OAINS. Antimalaria, allopurinol dan khlormezanon kelompok kedua terbanyak3 Faktor predisposisi individual yang mendorong terjadinya SSJ masih belum jelas. Kejadian familial jarang terjadi, namun terdapat kerentanan genetik yang berhubungan dengan HLA tertentu. Efek sinergik dan interaksi obat berperan penting pada banyak kasus. 3

III.

PATOGENESIS
Patogenesis SSJ belum jelas. Penyakit ini terutama disebabkan oleh reaksi imunologis(rooks), yaitu reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut klasifiaksi Coomb dan Gel. Gambaran klinik atau gejala reaksi tersebut bergantung pada sel sasaran (target cell).1 Pada SSJ tedapat reaksi imun sitotoksik, keratinosit yang dianggap sebagai ekspresi antigen asing dihancurkan. Karakteristik yang lambat antara paparan dan 1

onset penyakit (1-45 hari, rata-rata 14 hari) dan cenderung lebih singkat pada paparan berulang, menunjukkan suatu mekanisme imunologis. 3 Beberapa sel sitotoksik terdapat di epidermis yang dapat menginduksi cedera epidermis. Pada sel inflamasi banyak terdapat makrofag dan faktor XIII+. Selain itu terdapat banyak TNF- di epidermis. TNF- berperan penting dalam destruksi epidermis dengan menginduksi apoptosis langsung ataupun dengan menarik sel efektor sitotoksik ataupun keduanya. Sumber TNF- ialah makrofag dan keratinosit. Faktor fisik yang memprepitasi induksi obat pada SSJ juga diketahui dapat menstimulasi ekspresi TNF- di keratinosit (cahaya UV dan sinar X). 2 Sitokin tertentu dari golongan TNF, dengan melekat pada permukaan reseptor (death receptors), dapat memicu apoptosis. Sebagaimana fungsinya, permukaan reseptor sel mengenali adanya tanda kematian ekstraseluler yang spesifik dan cepat memicu destruksi seluler melalui apoptosis. Salah satu reseptor seluler dan pemicu apoptosis adalah Fas (CD 95, Apo1) dan Fas Ligand (FasL, CD 95L). Kulit adalah bagian pertama yang mengalami kerusakan jaringan pada SSJ dan Fas dan FasL diketahui diekspresikan pada keratinosit epidermal. 1

IV.

DIAGNOSIS
a. Gambaran Klinik Pada umumnya gejala SSJ dimulai dengan infeksi saluran napas atas non-spesifik. Ini merupakan bagian dari gejala-gejala prodromal, termasuk demam, radang tenggorokan, menggigil, sakit kepala, dan lemas. Gejala prodromal lain misalnya muntah dan diare. 3 Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa: kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.1 1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.1 Nikolsky sign ,atau lepasnya epidermis oleh karena tekanan dari arah lateral, positif pada zona-zona eritematosa.5

Gambar 1. Fase eksematosa awal dengan Nikolsky sign.5 2. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jaring, (masing-masing 6% dan 4%).1

Gambar 2. Sindroma stevens-johnson pada anak yang terjadi akibat terapi cotrimoxazole.6 Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.1 3

3. Kelainan mata Kelainan mata, merupakan 80% di antara semua kasus; yang tersering ialah konjungtivitis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.1

Gambar 3. Keterlibatan mucosa pada sindrom stevens-johnson. Erosi dan eksudat konjungtiva.6

b. Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial. Kalau terdapat eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebanya karena infeksi, dapat dilakukan kultur darah.1 2) Histopatologi Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyuluruh. Kelainan berupa: 1 1) Infiltrat sel mononuklear disekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superficial. 2) Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar 3) Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal 4) Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa 5) Spongiosis dan edema intrasel di epidermis

Gambar 4.. Epidermal nekrosis. (Dikutip dari kepustakaan 1)

V.

DIAGNOSIS BANDING
A.Eritema Multiforme Gejala khas adalah bentuk iris (lesion target) yang terdiri atas 3 bagian yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keunguan, dikelilingi oleh lingkaran kosentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah. Sedang pada tipe vesikobulosa, lesi mula-mula berupa makula, papul dan urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa ditengahnya. Bentuk ini dapat juga mengenai selaput lendir Eritema Multiforme umumnya disebabkan oleh HSV, peradangan oleh bakteri dan virus tertentu. 5

B. Nekrolisis Epidermal Toksik Perbedaan antara SSJ dan NET adalah pada SSJ tidak terdapat epidermolisis seperti pada NET. Keadaan umum pada NET lebih buruk dari SSJ. Pada NET, pelepasan kulit >30% dari luas permukaan badan.5

VI.

PENATALAKSANAAN
a. Pengobatan Sistemik

Pada penelitian didapatkan bahwa beberapa pengobatan, seperti siklosporin (3-4mg/kgbb/hari), siklofosfamid (100-300mg/kgbb/hari),

plasmaforesis, dan N-asetilsistein (2gr/6jam) menunjukkan hasil yang 5

menjanjikan. Kostikosteroid sistemik merupakan terapi utama selama berpuluh-puluh tahun, namun penggunaan obat trsebut masih kontroversial, walaupun ada penelitian yg memperlihatkan efektivitas dengan cara terapi pulsasi. Penelitian terakhir menunjukkan talidomid tidak digunakan lagi karena mortalitas yang lebih tinggi dibanding kelompok placebo. 3 Pada kasus ringan pasien tidak perlu mendapatkan pengobatan. Namun demikian, pada pasien yang mengalami lesi berat dapat diberikan prednison 40-80mg per hari hingga pasien mengalami perbaikan dan di-tapering off secara cepat selama 1 minggu. Pada kebanyakan kasus, pasien akan berespon terhadap kortikosteroid dalam waktu 1-3 minggu. 2 Keluhan gatal dapat dikontrol dengan antihistamin. Diet yang diberikan sebaiknya makanan cair atau lunak. Lesi pada mata akan ditangani oleh oftalmologis. Hiposekresi lakrimal dapat dibantu dengan penggunaan vitamin A. 2 Infeksi sekunder bakteri dapat ditangani dengan antibiotik, sedangkan infeksi virus dapat ditangani dengan acyclovir dan prednisone.2 b. Pengobatan topikal Daerah yang terkelupas,khususnya daerah punggung dan daerah yang mendapat tekanan akibat tempat tidur, diolesi vaselin hingga reepitelisasi terjadi. Untuk daerah wajah,krusta serosa/darah dapat dibersihkan setiap hari dengan larutan garam fisiologis steril. Salep antibiotik (misalnya mupirocin) digunakan pada daerah sekitar orificum, dan kompres silikon dapat dipakaikan pada daerah erosif. Kompres silikon tidak perlu diganti dan dapat digunakan terus hingga penyembuhan terjadi,namun permukaannya tetap dibersihkan dengan larutan garam steril setiap harinya. 3 Untuk daerah mata, dianjurkan pemeriksaan rutin oleh ahli mata. Daerah alis sebaiknya dibersihkan dengan larutan garam steril sekali setiap hari. Sebagai tambahan, tetes mata antibiotik digunakan pada kornea 3 kali sehari untuk menekan pertumbuhan bakteri,yang dapat menyebabkan ulkus kornea. Lubang hidung dibersihkan dengan kapas steril sekali sehari, dilembutkan dengan larutan garam steril, lalu ditambahkan salep antibiotik (misal mupirocin). 3 6

Mulut dikumur beberapa kali sehari dengan menyiramkan larutan garam steril dengan spoit,lalu aspirasi jika penderita tidak sadar. Daerah anogenital dan daerah lipatan kulit dirawat dengan larutan nitrat 0,5% jika terdapat maserasi, atau cukup dengan larutan garam fisiologis steril jika tidak terdapat maserasi.3 c. Resusitasi Cairan Resusitasi cairan juga perlu diperhatikan dengan mengatur

keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorakan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya dextrose 5% NaCl 9& dan laktat ringar berbanding 1:1:1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali

VII.

Prognosis
SSJ merupakan penyakit akut dengan morbiditas yang tinggi dan berpotensial mengancam jiwa. Prognosis SSJ tergantung beratnya penyakit dan kualitas penanganan medis. 5

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M. Sindrom Stevens-Johnson. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. hal. 163-5. 2. Habif Thomas F.Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy 4th ed. USA: Mosby; 2003. p.632-33 3. Foster Stephen C. Steven-Johnson Syndrome Clinical Presentation. Available from: http://emedicine.medscape.com. Updated: Sep 23, 2011. 4. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,editors. Rooks Textbook of Dermatology 7th ed. USA: Blackwell; 2004. 5. Fritsch PO, Maldonado RR. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome, and Toxic Epidermal Necrolysis. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI,editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p.343-54. 6. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP. Dermatology, Second Edition. British: Elsevier; 2008.

Anda mungkin juga menyukai