Anda di halaman 1dari 34

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Ilmu kedokteran terus berkembang, salah satu perkembangan yang terjadi adalah terbentuknya percabangan ilmu kedokteran. Jika ilmu kedokteran sebelumnya merupakan seni menyembuhkan penyakit yang dilakukan oleh dokter yang mampu melayani pasien yang menderita berbagai penyakit maka kemudian sesuai kebutuhan. Kesehatan mempunyai peranan penting dalam memingkatkan derajat hidup masyarakat maka semua negara berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya. Oleh sebab itu sebagai mahasiswa/I Fakultas Kedokteran harus memahami tentang kelainan kongenital dan neoplasma tulang agar kami mengerti dan mempunyai pemahaman tentang hal tersebut, yang pada dasarnya akan membantu kami dalam memhami bermacam-macam gangguan metabolisme. Disamping itu didalam perkembangan ilmu kedoteran yang sangat dinamis sehingga menuntut mahasiswa terus belajar dan menggali ilmu tanpa mengenal waktu. Jadi dengan konsep keilmuan yang baik maka lahirlah seorang dokter yang kompeten dan dipercaya oleh masyarakat, itulah yang merupakan salah satu latar belakang kami dalam menyusun makalah ini.

1.2 RUMUSAN MASALAH Adapaun rumusan masalah yang kami dapatkan adalah : 1. Apa tanda dan gejala kelainan kongenital dan neoplasma tulang? 2. Bagaimana cara mendiagnosa kasus tersebut?

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN Dalam menyusun makalah ini tentunya memilki tujuan yang diharapkan berguna bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini sebagai berikut: 1) Mengetahui definisi, klasifikasi dan etiologi kelainan kongenital dan neoplasma tulang 2) Mengetahui tanda dan gejala kelainan kongenital dan neoplasma tulang 3) Mengetahui diagnosa kelainan kongenital dan neoplasma tulang 4) Mengatahui penatalaksanaan kelainan kongenital dan neoplasma tulang 5) Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis 6) Melengkapi tugas small group discussion

1.4 MANFAAT Manfaat yang diperoleh dari makalah ini adalah: 1) Mengetahui definisi, klasifikasi dan etiologi kelainan kongenital dan neoplasma tulang 2) Mengetahui tanda dan gejala kelainan kongenital dan neoplasma tulang 3) Mengetahui diagnosa kelainan kongenital dan neoplasma tulang 4) Mengatahui penatalaksanaan kelainan kongenital dan neoplasma tulang

1.5 METODE DAN TEKNIK Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering digunakan dalam pembahsan makalah sederhana, dimana kami menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehingga diperoleh informasi tentang masalah yang akan dibahas.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 SKENARIO MODUL XIX (GERAK DAN MUSKULO SKELETAL) SKENARIO 5

DISKUSI MAHASISWA

Dalam suatu percakapan dan diskusi antara dua mahasiswa yang sedang melakukan kepaniteraan klinik di bagian bedah suatu rumah sakit. Mahasiswa masing-masing menceritakan pengalamannya: Mahasiswa A :Saya mendapatkan kasus seorang anak laki-laki berusia 6 bulan, pada kaki kanannya tampak deformitas berupa adduksi dan inversi pada sendi subtalar, midtarsal dan sendi-sendi talar depan. Terdapat ekuinus atau fleksi plantar pada kulit Mahasiswa B : Saya mendapatkan kasus seorang anak perempuan berusia 12 tahun mengalami pembesaran / massa pada regio femur kiri bagian distal yang mengalami sejak 1 bulan. Tampak adanya dilatasi pembuluh vena di sekitarnya. Pada saat dilakukan palpasi terkesan konsistensi

massa padat, immobil dan batasnya tidak tegas. Kondisi penderita kelihatan lemah serta tungkai kirinya sulit digerakkan.

2.2 LEARNING OBJECTIVE Mengetahui definisi, klasifikasi dan etiologi kelainan kongenital dan neoplasma tulang Mengetahui tanda dan gejala kelainan kongenital dan neoplasma tulang Mengetahui diagnosa kelainan kongenital dan neoplasma tulang Mengatahui penatalaksanaan kelainan kongenital dan neoplasma tulang

2.3 KELAINAN KONGENITAL CTEV (Congenital Talipes Equino Varus) Definisi Istilah Congenital Talipes Equino Varus (CTEV), berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata-kata: Talus : ankle Pes : kaki Equines : tumit lebih tinggi Varus : deviasi ke medial, dimana bagian lateral kaki sebagai alas

Jadi dapat disimpulkan bahwa CTEV adalah suatu penyakit bawaan (congenital) yang mengenai bagian ankle kaki yang membuat tumit lebih tinggi dan terjadi deviasi ke medial.

Klasifikasi EASY CASE / FLEKSIBEL : o Dimana tes belum terjadi kekakua pada sendi o Akan banyak berhasil denga terapi konservatif (manipulasi, strapping, plastering) RESISTANT CASE/RIGID : o Pada dorsofleksi tes poluz tidak dapat ditekuk pada crista tibia o Sulit dikoreksi secar konservatif o Masih terdapat deformitas walaupun koreksi telah dilakukan berbulan bulan.

Epidemiologi Merupakan hampir 95% dari penyakit talipes/ clubfoot Mudah didiagnosa Kejadian saat lahir, dengan perbandingan 2:1000 kelahiran hidup, dapat bersifat local maupun general, dimana laki laki lebih sering terkena, dan kejadian bilateral sebanyak 50% kasus

Etiologi Penyebab pasti belum banyak diketahui, namun beberapa teori menyatakan bahwa : o Faktor genetic = sebanyak 10% didapatkan familial

o Faktor mekanik = Diajukan oleh denis brown dengan memeriksa bayi dengan talipes langsung setelah lahir. Ternyata bahwa posisi kaki dalam uterus sesuai dengan posisi kaki sesaat setelah lahir. Kelaianan ini mungkin juga karena adanya tekanan intra uteri, henti tumbuhnya janin, dysplasia dari otot sehingga terjadi ketidak seimbangan otot, insertion dari tendo tibialis anterior yang abnormal. o Obat-obatan seperti thalidomide yang dikonsumsi oleh ibu saat organogenesis janin (trimester 1).

Patologi SOFT TISSUE : Otot akan tampak lebih kecil Tendo Achilles memendek dengan arah mediokaudal dan hal ini yang akan mempertahankan posisi varus. Tendo tibialis anterior dan posterior memendek sehingga kaki bagaian depan (forefoot) dalam posisi adduksi dan inversi. Ligamentum antara talus, calcaneus, dan naviculare menebal dan mengkerut. Fascia plantaris menebal dan memendek bersamaan dengan otot otot plantaris sehingga terjadi arcus yang meninggi (cavus), sehingga kaki bagian depan (forefoot) menjadi equines. TULANG : Pada kaki belakang (Hind foot) terdapat : o Equines o Adduksi o Inverse Pada kaki belakang (forefoot) terdapat : o Adduksi o Inverse

Gambaran Klinis Kelainan ini dapat bersifat bilateral dan unilateral. Kelainan yang ditemukan berupa: Inversi pada kaki depan Adduksi atau deviasi interna dari kaki depan terhadap kaki belakang Ekuinus atau plantar fleksi Pengecilan daro otot-otot betis dan peroneal Kaki tidak dapat digerakkan secara pasif pada batas eversi dan dorsofleksi normal

Diagnosis Anamnesis : Digali pertanyaan mengenai kemungkinan kelainan yang didapatkan dari keturunan, apakah terdapat rasa nyeri akibat komplikasi (calosites) Inspeksi : o Betis tampak kecil o Kadang berotasi kedalam o Equines pada pergelangan kaki o Varus pada subtalar o Adduksi pada midtarsal Palpasi : tak begitu berarti, hanya menunjukan keadaan patologis tulang Pergerakan : Fixed deformitas yang tak dapat digerakkan dengan menggunakan tes dorsofleksi pada bayi usia kurang dari 24 jam. Dengan menekuk pollux bayi, yang normalnya dapat mencapai Krista tibia Radiologi : o Posisi AP : Sumbu talus terletak di metatarsal I dan sudut antara sumbu talus dan calcaneus mengecil (<30)

o Posisi lateral : sumbu talus membuat sudut dengan calcaneus kurang dari 20 dan sumbu talus membuat sudut tumpul dengan metatarsal I, naviculare bergeser ke medial dibawah talus.

Diagnosis Banding Post Polimyelitis paralyse Spina Bifida : Ada gangguan sensasi di kaki dan gangguan tropis. Punggung (sacral) harus selalu diperiksa pada penderita CTEV Artrogryposisi multiple congenital : Kelainan meliputi beberapa sendi karena pertumbuhan otot yang tak sempurna. Gerakan sendi pasif dan nampak lipatan kulit (creasaes) Lymphatic stenosis Abscent bony structure of tibia

Terapi 1. KONSERVATIF Adalah reparasi dari deformitas secara bertahap dengan dipertahankan alat(pleister, adhesive strapping,gyps) yang dapat dilakukan sejak 24 jam pertama Tujuan terapi adalah untuk meregangkan jaringan yang mengkerut Tindakan ini dilakukan tanpa pembiusan, karena tak dapat dilakukan dengan kasar Teknik dilakukan secara sistemaik dan terarah mulai dari kaki depan dengan adduksinya dan kemudian barulah kaki belakang dari equines dan varusnya. Adhesive plester ukuran 2,5 cm dan atau circular gyps setinggi lutut yang dipasang pada kaki flexi 90

Koreksi dan observasi diperlukan untuk tindakan setelah pemasangan alat untuk mengetahui keberhasilan terapi

2. OBSERVASI Pada neonatus, plester diganti tiap minggu , lalu 2 minggu sekali, hingga 3 minggu sekali Biasanya koreksi penuh dapat dilakukan 6-10 minggu dan

keberhasilannya dapat dilihat dengan menggunakan foto xray 3. OPERATIF Hanya dilakukan apabila pengobatan konservatif pasca opearsi tidak berhasil, atau penderita datang sat sendi sendiya sudah ketat. Pengobatan ini terdiri dari 3 kategori : o Memotong ligament, kapsul sendi yang ketat, dan memanjangkan tendon. o Operasi untuk mengoreksi deformitas tulang o Pemindahan tendon(tendon transfer) Kategori 1 : Dimulai pada usia 4-5 bulan, dengan memotong ligament, kapsul sendi dan pemanjangan tendon dengan Z plasty Kategori 2 : Dimulai pada usia 3-4 tahun. Operais pada tulang, contohnya DWYER OSTEOTOMI yaitu operasi pada calcaneus untuk mengoreksi varusnya. Kategori 3 : Tendon transfer dilakukan pada kekambuhan (reccurent), dengan syarat diadakan perbaikan deformitas terlebih dahulu. Indikasi operasi menurut apley : gambaran klinis betis yang kecil, tumit kecil, dan tinggi dimana telah dilakukan koreksi selama 3 6 minggu tanpa ada kemajuan.

Komplikasi Tekanan di bagian distal metatarsal joint mengakibatkan tulang tarsalia yang kecil berpindah ke dorsal Rock bottom foot (kaki seperti sepatu aladin, dimana gaya terlalu dorsal terjadi lebih hebat di bagian forefoot)

10

Apabila deformitas tiadak dikorekais, akan terjadi callosities, dimana terjadi hipertrofi, ulkus dan nyeri.

Prognosis baik, terlebih pada flexible type, dimana terapi konservatif 95% dapat dilakukan dengan baik.

OSTEOGENESIS IMPERFECTA Definisi Osteogenesis imperfekta atau brittle bone disease adalah suatu kelainan jaringan ikat dan tulang yang bersifat herediter yang ditandai dengan pembentukan abnormal kolagen tipe 1 (terdapat di berbagai jaringan termasuk tulang, kulit, sendi, mata, telinga) dengan manifestasi klinis berupa : 1. Kerapuhaan tulang 2. Kelemahan persendian 3. Kerapuhan pembuluh darah 4. Sklera biru 5. Serta gangguan kulit

Epidemiologi Insidensinya antara 1 dari 20.000-60.000 kelahiran.

Klasifikasi

11

Berdasarkan klinis, genetika, dan biokomia, osteogenesis imperfekta dapat dibagi dalam 4 tipe : Tipe I (autosomal dominant) Tipe II (new dominant mutations) Tipe III (some gene mutations, some recessive) Tipe IV (autosomal recessive)

Etiologi Penyakit ini merupakan kelainan yang diturunkan secara resesif dimana faktor-faktor pasca natal seperti trauma mempunyai peranan yang dominan. Tipe kongenital merupakan tipe berat dan fraktur terjadi semasa kandungan atau sebelum dilahirkan. Bersifat fatal karena disertai perdarahan intrakranial. Kelainan dasarnya terletak pada gangguan maturitas kolagen berupa ketidak mampuan osteoblas untuk berdiferensiasi desebabkan oleh kerusakan sel-sel osteoblas akibatnya terjadi gangguan skeletal.

Patogenesis Prokolagen tipe I adalah struktur protein utama yang menyusun matriks tulang dan jaringan fibrous lainnya, seperti kapsul organ, fasia, kornea, sklera, tendon, selaput otak dan dermis. Secara struktural, molekul prokolagen tipe I berbentuk triple helix, terdiri dari 2 rantai pro1(I) (disebut COL1A1, dikode pada kromosom 17) dan 1 rantai pro2(I) (disebut COL1A2, dikode pada kromosom 7). Masing-masing rantai triple helix itu dibentuk oleh rangkaian 388 asam amino GlyX-Y yang berulang. Prolin sering berada di posisi X, sedangkan hidroksiprolin atau hidroksilisin sering berada di posisi Y. Glisin (Gly) merupakan asam amino terkecil yang mempunyai struktur cukup padat dan berperan penting sebagai poros dari helix sehingga bila terjadi mutasi akan sangat mengganggu struktur dan produksi helix. Prokolagen yang abnormal akan membentuk cetakan yang tak normal

12

sehingga matriks pelekat tulang pun tak normal dan tersusun tak beraturan. Beberapa protein bukan kolagen dari matriks tulang juga berkurang. Hal ini menyebabkan adanya penurunan pembentukan tulang, osteopenia, dan terjadi kerapuhan sehingga meningkatkan angka kepatahan (fraktur). Lebih dari 200 mutasi yang berbeda mempengaruhi sintesis atau struktur prokolagen tipe I ditemukan pada penderita OI. Jika mutasi tersebut menurunkan produksi/ sintesis prokolagen tipe I, maka terjadi OI fenotip ringan (osteogenesis imperfecta tipe I), namun jika mutasi menyebabkan gangguan struktur prokolagen tipe I maka akan terjadi OI fenotip yang lebih berat (tipe II, III, dan IV). Kelainan struktur itu pada dasarnya terbagi menjadi dua macam, yaitu 85% karena point mutation akibat glisin digantikan oleh asam amino lain dan sisanya karena kelainan single exon splicing. Masing-masing rantai kolagen sebagai triple helix prokolagen, disekresikan ke ruang ekstraseluler. Domain amino- dan carboxyl-terminal dipecah di ruang ekstraseluler, mengalami maturitas, kemudian dirangkai, di tulang akan mengalami mineralisasi.

Manifestasi Klinis 1. Tipe I (Ringan) Bentuk OI paling ringan dan paling sering ditemukan, bahkan sering ditemukan dalam suatu pedigree keluarga yang besar. Diturunkan secara autosomal dominan dan disebabkan oleh menurunnya produksi/ sintesis prokolagen tipe I (functional null alleles). Kebanyakan penderita tipe I: mempunyai sklera berwarna biru, fraktur berulang pada masa anak-anak tapi tidak sering Fraktur terjadi karena trauma ringan sedang dan menurun setelah pubertas. Terdapat dua subtipe yaitu subtipe A bila tidak disertai dentinogenesis imperfecta dan subtipe B bila disertai dentinogenesis imperfecta. ketulian (30-60% pada usia 20-30 tahun). mudah memar,

13

kelemahan sendi dan otot, kifoskoliosis, dan perawakan pendek ringan dibanding anggota keluarga lainnya.

2. Tipe II (Sangat berat/ perinatal lethal) Penderita sering lahir mati atau meninggal pada tahun pertama kehidupan dengan berat lahir dan panjang badan kecil untuk masa kehamilan. Kematian terutama disebabkan karena distres pernafasan, juga karena malformasi atau perdarahan sistem saraf pusat. Terjadi karena mutasi baru yang diturunkan secara autosomal dominan (jarang resesif) akibat penggantian posisi glisin pada triple helix prokolagen tipe I dengan asam amino lain. Pada penderita tipe II ini: Tulang rangka dan jaringan ikat lainnya sangat rapuh. Terdapat fraktur multipel tulang panjang intrauterin yang terlihat sebagai crumpled appearance pada radiografi. Tulang tengkorak tampak lebih besar dibanding ukuran tubuh dengan pembesaran fontanela anterior dan posterior. Fraktur multipel tulang iga membentuk gambaran manik-manik (beaded appearance), thoraks yang sempit ikut berperan dalam terjadinya distres pernafasan. Penderita mungkin mempunyai hidung yang kecil dan/ mikrognatia. Sklera berwarna biru gelap-keabuan.

3. Tipe III (Berat/Progresif) Merupakan tipe dengan manifestasi klinis paling berat namun tidak mematikan yang menghasilkan gangguan fisik signifikan: berupa sendi yang sangat lentur, kelemahan otot, nyeri tulang kronis berulang, dan deformitas tengkorak. Berat badan dan panjang lahir sering rendah.
14

Fraktur sering terjadi dalam uterus. Setelah lahir, fraktur sering terjadi tanpa sebab dan sembuh dengan deformitas. Kebanyakan penderita mengalami perawakan pendek. Bentuk wajah relatif triangular dan makrosefali. Sklera bervariasi dari putih hingga biru. Sering dijumpai dentinogenesis imperfecta (80% pada anak usia < 10 tahun). Disorganisasi matriks tulang menyebabkan gambaran popcorn pada metafisis, dilihat dari gambaran radiologi.

4. Tipe IV (Tak terdefinisi/ Moderately severe) Terjadi karena point mutation atau delesi kecil pada prokolagen tipe I yaitu pada rantai COL1A2, kadang pada COL1A1. Merupakan tipe OI yang paling heterogen karena memasukkan temuan-temuan pada penderita yang tidak tergolong dalam 3 tipe sebelumnya, yaitu: Fraktur dapat terjadi dalam uterus dengan tulang panjang bawah bengkok yang tampak sejak lahir. Sering terjadi fraktur berulang, kebanyakan penderita mempunyai tulang yang bengkok walau tidak sering mengalami fraktur. Frekuensi fraktur berkurang setelah masa pubertas. Penderita tipe ini memerlukan intervensi ortopedik dan rehabilitasi tetapi biasanya mereka dapat melakukan ambulasi sehari-hari. Penderita mengalami perawakan pendek moderate. Warna sklera biasanya putih. Dapat dijumpai dentinogenesis imperfecta, sehingga beberapa penulis membedakan tipe ini menjadi 2 subtipe yaitu subtipe A bila tidak disertai dentinogenesis imperfecta dan subtipe B bila disertai dentinogenesis imperfecta.

15

Gambaran radiologi dapat menunjukkan osteoporotik dan kompresi vertebraAdanya penelitian mikroskopik terhadap tulang penderita OI membawa penemuan tipe-tipe baru OI. Para peneliti menemukan beberapa penderita yang secara klinis termasuk tipe IV mempunyai pola yang berbeda pada tulangnya. Mereka menamakan sebagai OI tipe V dan tipe VI. Penyebab mutasi pada kedua tipe ini belum dapat diidentifikasi, namun diketahui penderita kedua tipe ini tidak mengalami mutasi pada gen prokolagen tipe I. Pada tahun 2006 ditemukan 2 tipe baru OI yang diturunkan secara resesif. Kedua tipe ini disebabkan oleh kelainan gen yang mempengaruhi pembentukan kolagen tapi bukan mutasi kolagen secara primer.

Diagnosis Pemeriksaan Fisik : Sklera biru Kelainan pada gigi (gigi transparan) Mudah terjadi fraktur

Pemeriksaan Penunjang : 1. Laboratorium biokimia dan molekular Analisa sintesa kolagen didapat melalui kultur fibroblas dari biopsi kulit, terutama untuk mendeteksi osteogenesis imperfecta tipe I,III dan IV. Analisa mutasi DNA prenatal dilakukan pada kehamilan dengan resiko OI, melalui kultur villus korion. Pemeriksaan kombinasi antara analisa DNA dan biopsi kolagen akan mendeteksi hampir 90% dari semua tipe mutasi gen pengkode prokolagen tipe I.

2. Pencitraan a. Radiografi tulang skeletal setelah lahir (bone survey)

16

Bentuk ringan (tipe I) tampak korteks tulang panjang yang menipis, tidak tampak deformitas tulang panjang. Bisa menunjukkan gambaran Wormian (Wormian bones) pada cranium. Bentuk sangat berat (tipe II) tampak gambaran manik-manik (beaded appearance) pada tulang iga, tulang melebar, fraktur multipel dengan deformitas tulang panjang. Bentuk sedang dan berat (tipe III dan IV) tampak metafisis kistik atau gambaran popcorn pada kartilago, tulang dapat normal atau melebar pada awalnya kemudian menipis, dapat ditemukan fraktur yang menyebabkan deformitas tulang panjang, sering disertai fraktur vertebra. b. Densitas mineral tulang (bone densitometry) diukur dengan Dual-Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA) yang menghasilkan nilai rendah pada penderita. c. Ultrasonografi prenatal pada minggu 15-18 kehamilan untuk mendeteksi kelainan panjang tulang anggota badan. Yang tampak dapat berupa gambaran normal (tipe ringan) sampai dengan gambaran isi intrakranial yang sangat jelas karena berkurangnya mineralisasi tulang kalvaria atau kompresi kalvaria. Selain itu dapat juga ditemukan tulang panjang yang bengkok, panjang tulang berkurang (terutama tulang femur), dan fraktur iga multipel. USG prenatal ini terutama untuk mendeteksi OI tipe II.

Diagnosis Banding 1. Perlakuan salah dan penelantaran pada anak (child abuse & neglect) Pada OI tipe ringan paling sulit dibedakan dengan kasus penelantaran anak. Usia fraktur tulang yang berbeda-beda pada neonatus

17

dan anak harus dicurigai karena kasus penelantaran anak. Selain itu pada penelantaran anak juga terdapat manifestasi klinis non skeletal, misalnya perdarahan retina, hematoma organ visera, perdarahan intrakranial, pankreatitis dan trauma limpa. Tipe fraktur pada penelantaran anak biasanya adalah fraktur sudut metafiseal yang jarang ditemukan pada OI. Densitas mineral tulang pada penelantaran anak juga normal, sedangkan pada OI rendah.

2. Osteoporosis juvenil idiopati (OJI) Keadaan ini ditemukan pada anak yang lebih tua, terutama antara 8 11 tahun, yang mengalami fraktur dan tanda osteoporosis tanpa didasari penyakit lainnya. Gejala biasanya nyeri tulang belakang, paha, kaki, dan kesulitan berjalan. Fraktur khasnya berupa fraktur metafiseal, meski dapat juga terjadi pada tulang panjang. Sering terjadi fraktur vertebra yang menyebabkan deformitas dan perawakan pendek ringan. Tulang tengkorak dan wajah normal. OJI akan membaik spontan dalam 3-5 tahun, namun deformitas vertebra dan gangguan fungsi dapat menetap. Jika didapat riwayat keluarga dengan keluhan yang sama maka harus dipikirkan suatu OI tipe ringan.

3. Achondroplasia Merupakan penyakit yang diturunkan secara autosomal dominan akibat mutasi pada gen FGFR3. Gen ini bertanggung jawab pada pembentukan protein yang berperan dalam pertumbuhan, perkembangan dan pemeliharaan tulang (osifikasi) dan jaringan otak. Klinis didapat sejak lahir berupa perawakan pendek, termasuk tulang belakang, lengan dan tungkai terutama lengan dan tungkai atas, pergerakan siku terbatas, makrosefali dengan dahi yang menonjol. Kejadian fraktur berulang tak pernah terjadi. 4. Riketsia Merupakan gangguan kalsifikasi dari osteoid akibat defisiensi metabolit vitamin D. Walau jarang terjadi, riketsia juga bisa karena

18

kekurangan kalsium dan fosfor dalam diet. Klinis yang ditemukan antara lain hipotoni otot, penebalan tulang tengkorak yang menyebabkan dahi menonjol, knobby deformity pada metafisis dan dada (rachitic rosary), bisa terjadi fraktur terutama tipe greenstick fracture. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan kadar 25-hidroksi-vitamin D serum, kalsium dan fosfor yang rendah, serta alkalin fosfatase meningkat. Beberapa penyakit malabsorpsi intestinal berat, penyakit hati atau ginjal menimbulkan gambaran klinis dan biokimia sekunder riketsia nutrisional. Pada OI kalsium serum dan alkalin fosfatase normal. Kadar 25-hidroksi-vitamin D serum penderita OI sering rendah menunjukkan defisiensi vitamin D sekunder akibat kurangnya paparan terhadap sinar matahari yang sering dialami penderita OI.

Terapi Pada prinsipnya tidak ada pengobatan khusus, pengobatan hanya bertujuan untuk: 1. Merawat bayi secara seksama sehingga komplikasi fraktur yang lebih lanjut dapat dicegah. 2. Mencegah deformitas yang tidak perlu terjadi melalui peenggunaan bidai yg tidak baik 3. Mobilisasi untuk mencegah terjadinya osteoporosis 4. Koreksi deformitas jika perlu dilakukan osteotomi dan fikasasi interna

Komplikasi Terjadinya patah tulang patologis hingga kematian (type congenital meninggal saat lahir.)

Prognosis

19

Prognosis penderita OI bervariasi tergantung klinis dan keparahan yang dideritanya. Penyebab kematian tersering adalah gagal nafas. Bayi dengan OI tipe II biasanya meninggal dalam usia bulanan - 1 tahun kehidupan. Sangat jarang seorang anak dengan gambaran radiografi tipe II dan defisiensi pertumbuhan berat dapat hidup sampai usia remaja. Penderita OI tipe III biasanya meninggal karena penyebab pulmonal pada masa anak-anak dini, remaja atau usia 40 tahun-an sedangkan penderita tipe I dan IV dapat hidup dengan usia yang lebih panjang/ lama hidup penuh. Penderita OI tipe III biasanya sangat tergantung dengan kursi roda. Dengan rehabilitasi medis yang agresif mereka dapat memiliki ketrampilan transfer dan melakukan ambulasi sehari-hari di rumah. Penderita OI tipe IV biasanya dapat memiliki ketrampilan ambulasi di masyarakat juga tak tergantung dengan sekitarnya.

2.4 TUMOR TULANG TUMOR JINAK OSTEOKONDROMA Osteokondroma atau eksostosis osteokartilagenus adalah pertumbuhan tulang dan tulang rawan yang membentuk tonjolan di daerah metafisis. Tonjolan ini menimbulkan pembengkakan atau gumpalan. Kelainan ini selalu muncul di daerah metafisis dan tulang yang sering terkena adalah ujung distal femur, ujung proksimal tibia, dan humerus. Osteokondroma ini perlu dibedakan dengan osteokondroma bawaan yang predileksinya di daerah diafisis dan bersifat multipel. Osteokondroma terdiri atas dua tipe, yaitu tipe bertangkai dan tipe sesil yang mempunyai dasar lebar.

20

Perubahan ke arah ganas hanya satu persen. Eksisi dilakukan bila kelainan cukup besar sehingga tampak di bawah kulit atau, bila mengganggu.

ENKONDROMA Enkondroma merupakan tumor jinak pada kartilago displastik yang biasanya berupa lesi soliter pada bagian intramedullar tulang dan metafisis tulang tubular. Hal yang penting pada penyakit ini adalah komplikasi, terutama fraktur patologis atau perubahan bentuk ke arah keganasan yang disertai fraktur patologis. Pada foto konvensional enkondroma memberikan gambaran berupa radiolusen yang berbatas tegas di daerah medulla. Tampak pula kalsifikasi seperti cincin dan pancaran (ring and arcs) yang berbatas tegas, membesar dan menipis, khususnya pada daerah tangan dan kaki. Pada tulang panjang, bentuk kalsifikasinya mungkin sulit dibedakan dengan kalsifikasi distropik pada infark tulang.

TUMOR GANAS KONDROSARKOMA Kondrosarkoma ialah tumor ganas dengan ciri khas pembentukan jaringan tulang rawan oleh sel-sel tumor dan merupakan tumor ganas tulang primer terbanyak kedua setelah osteosarkoma. Kondrosarkoma merupakan tumor tulang yang terdiri dari sel-sel kartilago (tulang rawan) anaplastik yang berkembang menjadi ganas. Kondrosarkoma biasanya ditemukan pada daerah tulang femur, humerus, kosta dan bagian permukaan pelvis. Tumor ini memiliki banyak ciri dan bentuk perkembangan. Dari pertumbuhan yang lambat hingga pertumbuhan metastasis yang agresif. Kondrosarkoma dapat dibagi menjadi kondrosarkoma primer dan sekunder. Untuk keganasan yang berasal dari kartilago itu sendiri disebut kondrosarkoma primer.

21

Sedangkan apabila merupakan bentuk degenerasi keganasan dari penyakit lain seperti enkondroma, osteokondroma dan kondroblastoma disebut kondrosarkoma sekunder. Kondrosarkoma sekunder kurang ganas dibandingkan kondrosarkoma primer. Kondrosarkoma dapat diklasifikasi menjadi tumor sentral atau perifer berdasarkan lokasinya di tulang.

ETIOLOGI Etiologi kondrosarkoma masih belum diketahui secara pasti. Informasi etiologi kondrosarkoma masih sangat minimal. Namun berdasarkan penelitian yang terus berkembang didapatkan bahwa kondrosarkoma berhubungan dengan tumor-tumor tulang jinak seperti enkondroma atau osteokondroma sangat besar kemungkinannya untuk berkembang menjadi kondrosarkoma. Tumor ini dapat juga terjadi akibat efek samping dari terapi radiasi untuk terapi kanker selain bentuk kanker primer. Selain itu, pasien dengan sindrom enkondromatosis seperti Ollier disease dan Maffucci syndrome, beresiko tinggi untuk terkena kondrosarkoma.

PATOFISIOLOGI Patofisiologi kondrosarkoma primer maupun sekunder adalah terbentuknya kartilago oleh sel-sel tumor tanpa disertai osteogenesis. Sel tumor hanya memproduksi kartilago hialin yang mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan tulang dan kartilago. Secara fisiologis, kondrosit yang mati dibersihkan oleh osteoklas kemudian dareah yang kosong itu, diinvasi oleh osteoblas-osteoblas yang melakukan proses osifikasi. Proses osifikasi ini menyebabkan diafisis bertambah panjang dan lempeng epifisis kembali ke ketebalan semula. Seharusnya kartilago yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng memiliki ketebalan yang setara dengan pertumbuhan kartilago baru di ujung epifisis lempeng. Namun pada kondrosarkoma proses osteogenesis tidak terjadi, sel-sel kartilago menjadi ganas dan menyebabkan abnormalitas penonjolan tulang, dengan berbagai variasi ukuran dan lokasi.
22

Proses keganasan kondrosit dapat berasal dari perifer atau sentral. Apabila lesi awal dari kanalis intramedular, di dalam tulang itu sendiri dinamakan kondrosarkoma sentral sedangkan kondrosarkoma perifer apabila lesi dari permukaan tulang seperti kortikal dan periosteal. Tumor kemudian tumbuh membesar dan mengikis korteks sehingga menimbulkan reaksi periosteal pada formasi tulang baru dan soft tissue.

DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi.

Diagnosis Klinis Manifestasi klinis kondrosarkoma ini sangat beragam. Pada umumnya penyakit ini memiliki perkembangan yang lambat, kecuali saat menjadi agresif. Gejala Kondrosarkoma Berikut adalah gejala yang bisa ditemukan pada kondrosarkoma: 1. Nyeri 2. Pembengkakan 3. Massa yang teraba 4. Frekuensi miksi meningkat Namun semua manifestasi klinis ini tidak selalu ada di setiap kondrosarkoma. Gejala yang ditimbulkan tergantung dari gradenya. Pada grade tinggi, selain pertumbuhan tumor cepat juga disertai nyeri yang hebat. Sedangkan pada grade

23

rendah, pertumbuhan tumor lambat dan biasanya disertai keluhan orang tua seperti nyeri pinggul dan pembengkakan. Penentuan Grade dan Stage dari Kondrosarkoma Grade(G) dilihat dari agresif tidaknya tumor tersebut. Disebut grade rendah (G1) apabila jinak dan grade tinggi (G2) bila agresif. Penilaian grade kondrosarkoma dapat juga melalui pemeriksaan mikroskopis Pada grade rendah biasanya sel tumor masih mirip dengan sel normal dan pertumbuhannya lambat serta kemungkinan metastase sangat kecil. Pada grade tinggi, sel tumor tampak abnormal dengan pertumbuhan dan kemampuan metastase yang sangat cepat. Kebanyakan kondrosarkoma itu berada pada grade rendah. Grade tinggi kondrosarkoma lebih sering akibat rekurensi dan metastase ke bagian tubuh yang lain. Yang termasuk grade rendah adalah kondrosarkoma sekunder sedangkan yang termasuk grade tinggi adalah kondrosarkoma primer. Tujuan penentuan stage ialah mendeskripsikan ukuran dan mengetahui apakah sel tumor ini telah bermetastase di luar lokasi aslinya. Untuk lokasi anatomi, dituliskan (T1) jika tumor tersebut berada di dalam tulang dan (T2) jika diluar tulang. Berikut ini adalah penentuan stage kondrosarkoma: Stage 1A merupakan tumor grade rendah di dalam tulang Stage 1B merupakan tumor grade rendah di luar tulang yang meliputi soft tissue spaces, nervus dan pembuluh darah. Stage 2A merupakan tumor grade tinggi di lapisan keras tulang. Stage 2B merupakan tumor grade tinggi di luar tulang yang meliputi soft tissue spaces, nervus dan pembuluh darah. Stage 3 merupakan tumor grade rendah-tinggi, bisa di dalam atau di luar tulang namun telah mengalami metastase.

24

Apabila didapatkan keterlibatan kelenjar limfa regional maka disebut N1 sedangkan N0 apabila tidak didapatkan keterlibatan kelenjar limfe regional. Jika didapatkan metastase disebut sebagai M1 dan jika tidak didapatkan metastase disebut M0. Kondrosarkoma biasa bermetastase pada paru-paru, namun dapat juga bermetastase pada tulang, liver, ginjal, payudara atau otak.

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting dalam usaha penegakan diagnosis tumor. Pada kondrosarkoma, pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan meliputi foto konvensional, CT scan, dan MRI. Selain itu, kondrosarkoma juga dapat diperiksa dengan USG dan Nuklear Medicine. Foto konvensional Foto konvensional merupakan pemeriksaan penting yang dilakukan untuk diagnosis awal kondrosarkoma. Baik kondrosarkoma primer atau sentral memberikan gambaran radiolusen pada area dekstruksi korteks. Bentuk destruksi biasanya berupa pengikisan dan reaksi eksternal periosteal pada formasi tulang baru. Karena ekspansi tumor, terjadi penipisan korteks di sekitar tumor yang dapat mengakibatkan fraktur patologis. Scallop erosion pada endosteal cortex terjadi akibat pertumbuhan tumor yang lambat dan permukaan tumor yang licin. Pada kondrosarkoma, endosteal scalloping kedalamannya lebih dari 2/3 korteks, maka hal ini dapat membedakan kondrosarkoma dengan enkondroma. Gambaran kondrosarkoma lebih agresif disertai destruksi tulang, erosi korteks dan reaksi periosteal, jika dibandingkan dengan enkondroma. Tidak ada kriteria absolut untuk penentuan malignansi. Pada lesi malignan, penetrasi korteks tampak jelas dan tampak massa soft tissue dengan kalsifikasi. Namun derajat bentuk kalsifikasi matriks ini dapat dijadikan patokan grade tumor. Pada tumor yang agresif, dapat dilihat gambaran kalsifikasi matriks iregular. Bahkan sering pula tampak area yang luas tanpa kalsifikasi sama sekali. Destruksi

25

korteks dan soft tissue di sekitarnya juga menunjukkan tanda malignansi tumor. Jika terjadi destruksi dari kalsifikasi matriks yang sebelumnya terlihat sebagai enkondroma, hal tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan ke arah keganasan menjadi kondrosarkoma. CT scan Dari 90% kasus ditemukan gambaran radiolusen yang berisi kalsifikasi matriks kartilago. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan hasil lebih sensitif untuk penilaian distribusi kalsifikasi matriks dan integritas korteks. Endosteal cortical scalloping pada tumor intramedullar juga terlihat lebih jelas pada CT scan dibandingkan dengan foto konvensional. CT scan ini juga dapat digunakan untuk memandu biopsi perkutan dan menyelidiki adanya proses metastase di paru-paru.

Pemeriksaan Patologi Anatomi Gambaran makroskopis pada kebanyakan tumor memperlihatkan sifat

kartilaginosa; besar dengan penampilan berkilau dan berwarna kebiru-biruan. Secara mikroskopis, beberapa tumor berdiferensiasi baik dan sulit dibedakan dengan enkondroma bila hanya berdasakan pada gambaran histologis saja. Kecurigaan kearah keganasan apabila sel berinti besar, inti multipel dalam suatu sel tunggal atau adanya beberapa kondroblas dalam satu lakuna. Diantara sel tersebut terdapat matriks kartilaginosa yang mungkin disertai dengan kalsifikasi atau osifikasi. Konfirmasi patologi anatomi diperlukan untuk diagnosis dan optimalisasi manajemen terapi. Biopsi sering dilakukan sebagai langkah awal penanganan. Biopsi perkutaneus dengan tuntunan imaging akan sangat membantu pada beberapa kasus tertentu. USG dilakukan sebagai penuntun biopsi jarum halus pada soft tissue, sedangkan CT scan digunakan sebagai penuntun untuk biopsi jarum halus pada tulang. Perubahan patologis antara tumor jinak dan tumor ganas grade rendah

26

sangat sulit dinilai. Biopsi jarum halus kurang baik untuk memastikan diagnostik patologis dan biasanya sering dikonfirmasi dengan biopsi bedah terbuka. Klasifikasi kondrosarkoma berdasarkan patologi anatomi: 1. Clear cell chondrosarcoma: Clear cell chondrosarcoma termasuk grade rendah dengan pertumbuhan yang lambat dan secara khas terdapat di epifisis tulang-tulang tubular terutama pada femur dan humerus. Sesuai dengan namanya, biopsi dari tumor ini akan menunjukkan clear cell dengan banyak vakuola besar. Akan tampak pula lobular cartilaginous di dalam clear cells, multinucleated giant cells, mitosis sedikit, dan susunan matriks menjadi sedikit disertai kalsifikasi fokal. 2. Mesenchymal chondrosarcoma Di bawah mikroskop, selnya berbentuk lingkaran kecil/oval dari spindled neoplastic cells dengan gumpalan ireguler kromatin dan nukleoli. Terjadi peningkatan perubahan mitosis dan penipisan kartilago. 3. Dedifferentiated chondrosarcoma Dediffentiated chondrosarcoma sekitar 10% dari seluruh tipe kondrosarkoma. Sifat khasnya adalah gabungan antara grade rendah kondrosarkoma dan proses keganasan degeneratif, di mana terjadi keganasan soft tissue yang utuh sehingga tidak dapat diidentifikasi lagi sebagai keganasan kartilago. Biasanya pada pasien berusia 60 tahun ke atas. Pada gambaran patologi anatomi tampak ikatan antara sel kartilago dan nonkartilago, stroma kondroid, sel kondrosit mengecil dan nukleus padat dengan disertai beberapa pembesaran. 4. Juxtacortical chondrosarcoma

27

Juxtacortical chondrosarcoma merupakan 2% dari seluruh kondrosarkoma. Lesi umumnya terletak pada bagian metafisis femur, jarang pada diafisis. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan kondrosarkoma merupakan bentuk kerja tim antara dokter dengan profesional kesehatan lainnya. Para radiologist, diperlukan untuk melihat faktorfaktor untuk evaluasi kecepatan perkembangan tumor, diagnosis spesifik, dan pembesaran tumor. Perawat dan ahli gizi, terlibat menjelaskan kepada pasien efek samping dari penanganan kondrosarkoma dan memberikan dorongan kesehatan makanan untuk membantu melawan efek samping tersebut. Jenis terapi yang diberikan kepada pasien tergantung pada beberapa hal seperti: 1. Ukuran dan lokasi dari kanker 2. Menyebar tidaknya sel kanker tersebut. 3. Grade dari sel kanker tersebut. 4. Keadaan kesehatan umum pasien Pasien dengan kondrosarkoma memerlukan terapi kombinasi pembedahan (surgery), kemoterapi dan radioterapi. Surgery Langkah utama penatalaksanaan kondrosarkoma pembedahan karena

kondrosarkoma kurang berespon terhadap terapi radiasi dan kemoterapi. Variasi penatalaksanaan bedah dapat dilakukan dengan kuret intralesi untuk lesi grade rendah, eksisi radikal, bedah beku hingga amputasi radikal untuk lesi agresif grade tinggi. Lesi besar yang rekuren penatalaksanaan paling tepat adalah amputasi. Kemoterapi Kemoterapi, meskipun bukan yang paling utama, namun ini diperlukan jika kanker telah menyebar ke area tubuh lainnya. Terapi ini menggunakan obat anti kanker
28

(cytotoxic) untuk menghancurkan sel-sel kanker. Namun kemoterapi dapat memberikan efek samping yang tidak menyenangkan bagi tubuh. Efek samping ini dapat dikontrol dengan pemberian obat. Radioterapi Prinsip radioterapi adalah membunuh sel kanker menggunakan sinar berenergi tinggi. Radioterapi diberikan apabila masih ada residu tumor, baik makro maupun mikroskopik. Radiasi diberikan dengan dosis per fraksi 2,5 Gy per hari dan total 5055 Gy memberikan hasil bebas tumor sebanyak 25% 15 tahun setelah pengobatan. Pada kasus-kasus yang hanya menjalani operasi saja menunjukkan kekambuhan pada 85%. Efek samping general radioterapi adalah nausea dan malasea. Efek samping ini dapat diminimalkan dengan mengatur jarak dan dosis radioterapi.

PROGNOSIS Prognosis untuk kondrosarkoma ini tergantung pada ukuran, lokasi dan grade dari tumor tersebut. Usia pasien juga sangat menentukan survival rate dan prognosis dari penyakit ini. Pasien anak-anak memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dewasa. Penanganan pada saat pembedahan sangat menentukan prognosis kondrosarkoma karena jika pengangkatan tumor tidak utuh maka rekurensi lokal bisa terjadi. Sebaliknya apabila seluruh tumor diangkat, lebih dari 75% penderita dapat bertahan hidup. Rekurensi kondrosarkoma biasa terjadi 510 tahun setelah operasi dan tumor rekuren bersifat lebih agresif serta bergrade lebih tinggi dibanding tumor awalnya. Walaupun bermetastasis, prognosis kondrosarkoma lebih baik dibandingkan osteosarkoma.

OSTEOSARKOMA

29

Osteosarcoma

adalah

tumor

ganas

primer

dari tulang

yang ditandai

denganpembentukan tulang yang immatur atau jaringan osteoid oleh sel-sel tumor.

Epidemiologi Di Amerika Serikat insiden pada usia kurang dari 20 tahun adalah 4.8 kasus per satu juta populasi Insiden dari osteosarkoma konvensional paling tinggi pada usia 10-20 tahun Insiden osteosarkoma sekunder yang rendah pada usia 60 tahun, yang biasanya berhubungan dengan penyakit paget.

Faktor Resiko Faktor resiko untuk terjadinya osteosarkoma yaitu: Pertumbuhan tulang yang cepat Faktor Lingkungan Predisposisi Genetik

Klasifikasi 75% dari osteosarkoma masuk ke dalam kategori klasik atau konvensional, yang termasuk osteosarkoma osteoblastic, chondroblastic, dan fibroblastic. Sedangkan sisanya sebesar 25% diklasifikasikan sebagai varian berdasarkan: (1) karakteristik klinik seperti pada kasus osteosarkoma rahang, osteosarkoma postradiasi, atau osteosarkoma paget; (2) karakteristik morfologi, seperti pada osteosarkoma telangiectatic, osteosarkoma small-cell, atau osteosarkoma epithelioid; dan (3) lokasi, seperti pada osteosarkoma parosteal dan periosteal.

Staging

30

Gejala Klinis Gejala biasanya telah ada selama beberapa minggu atau bulan sebelum pasien didiagnosa. Gejala yang paling sering terdapat adalah nyeri, terutama nyeri pada saat aktifitas dan massa atau pembengkakan. Fraktur patologis sangat jarang terjadi, terkecuali pada osteosarkoma telangiectatic yang lebih sering terjadi fraktur patologis. Nyeri pada ekstremitas dapat menyebabkan kekakuan. Riwayat pembengkakan dapat ada atau tidak, tergantung dari lokasi dan besar dari lesi. Gejala sistemik, seperti demam atau keringat malam sangat jarang. Penyebaran tumor pada paru-paru sangat jarang menyebabkan gejala respiratorik dan biasanya menandakan keterlibatan paru yang luas.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis osteosarcoma antara lain: Laboratorium X-Ray CT-Scan MRI Bone Scan
31

Angiografi Biopsi

Penatalaksanaan Preoperatif kemoterapi (Induction/Neoadjuvant Chemotherapy) diikuti dengan pembedahan limb-sparing (dapat dilakukan pada 80% pasien) dan diikuti dengan postoperatif kemoterapi (Adjuvant Chemotherapy) merupakan standar manajemen. Osteosarkoma merupakan tumor yang radioresisten, sehingga radioterapi tidak mempunyai peranan dalam manajemen rutin. Obat-obat kemoterapi yang mempunyai hasil cukup efektif untuk osteosarkoma adalah: doxorubicin (Adriamycin), cisplatin (Platinol), ifosfamide (Ifex), mesna (Mesnex), dan methotrexate dosis tinggi (Rheumatrex). Semua pasien dengan osteosarkoma harus menjalani pembedahan jika memungkinkan reseksi dari tumor prmer. Tipe dari pembedahan yang diperlukan tergantung dari beberapa faktor yang harus dievaluasi dari pasien secara individual. Tipe pembedahan pada penatalaksanaan osteosarcoma antara lain: Limb Salvage Rotation plasty Amputation

Prognosis Prognosis osteosarcoma berbeda-beda berdasarkan: Lokasi Tumor Ukuran Tumor Metastase Reseksi Tumor Respon Tumor pada Kemoterapi

32

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN Keganasan tulang dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu tumor benigna dan maligna. Klasifikasi yang banyak digunakan untuk kedua jenis tumor ini adalah sebagai berikut : 1. Tumor Tulang Benigna Kondrogenik : Osteokondroma, Kondroma Osteogenik : Osteoid osteoma, Osteobalstoma, Tumor sel Giant

2. Tumor Tulang Maligna Kondrogenik : Kondrosarkoma Osteogenik : Osteosarkoma Fibrogenik : Fibrosarkoma Tidak jelas asalnya : Sarcoma Ewing

3.2 SARAN Kami sebagai penyusun makalah ini, sangat mengharap atas segala saran saran dan kritikan bagi para pembaca yang kami hormati guna untuk membangun pada masa yang akan datang untuk menjadi yang lebih baik dalam membenarkan alur-alur yang semestinya kurang memuaskan bagi tugas yang kami laksanakan.

33

DAFTAR PUSTAKA 1. Jong, Syamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta. 2. Listiono, Djoko, dr., 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III, PT. Gramedia, Jakarta. 3. Sabiston, D.C., 1994, Buku Ajar Bedah Sabiston Bagian 2, EGC, Jakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai