Anda di halaman 1dari 9

Infrastruktur keras fisik dan infrastruktur non keras fisik

A. Arti penting infrastruktur Infrastruktur masih menjadi masalah yang perlu dibenahi oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan pembagiannya, infrastruktur dibagi menjadi tiga bagian : 1. Infrastruktur keras fisik (physical hard infrastructure) meliputi jalan raya, rel kereta api, bandara, dermaga, pelabuhan, bendungan, dan saluran irigasi. 2. Infrastruktur keras non fisik (nonphysical hard infrastructure) yang berkaitan dengan fungsi utilitas umum, seperti ketersediaan air bersih berikut dengan pengelolaan air dan jaringan pipa penyaluran; pasokan air ; jaringan telkomunikasi (telepon, internet) ; dan pasokan energy mulai dari minyak bumi, biodiesel, dan gas berupa jaringan pipa distribusinya 3. Infrastrukturlunak (soft infrastruktur) meliputiberbagainilai (etoskerja), norma (khususnya yang telah dikembangkan dan dikodifikasikan menjadi peraturan hokum dan perundang undangan), serta kualitas pelayanan umum yang telah disediakan oleh pemerintah. Infrastruktur merupakan penentu kelancaran dana keselerasian pembangunan. Semakin cepat dan besar pembangunan ekonomi hendaknya dibarengi dengan banyaknya infrastruktur yang diperlukan. Pengadaan infrastruktur akan sangat memengaruhi secara positif perkembangan berbagai sector ekonomi lainnya. Jika infrastruktur terbatas maka akan membawa dampak negative karena pemanfaatan potensi dan sumberdaya ekonomi menjadi tidak optimal. Infrastruktur yang ada di Indonesia saat ini masih dalam taraf minimal, sementara in frastruktur yang ada perawatannya tidak memadai dan dapat dibilang kurang layak. Jika kita lihat infrastruk fisik yang ada di Indonesia seperti jalan raya saja itu sudah kurang layak.Sebab jalan raya yang ada di Indonesia sekarang ini telah dipenuhi dengan berbagai macam kendaraan yang jumlahnya semakin banyak. Akan tetapi infrastruktur tersebut tidak di kembangkan sehingga melebihi kapasitas jalan raya yang sebenarnya dan akhirnya mengakibatkan kemacetan. Selain jalan yang masih kurang optimal infrastrukturnya kita juga bisa melihat infrastruktur penyediaan air bersihdanlistrik.Yang mana keduanya sangat penting dalam kehidupan global saat ini. Misalnya saja kita melihat pasokan listrik yang tebatas, ini akan menghambat kinerja produksi dari suatu industri. Jenis infrastruktur yang paling terabaikan adalah infrastruktur lunak, yang mana dalam hal ini adalah dalam menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan bagi banyak penduduk. Pasar tidak akan dapat berfungsi seperti diharapkan kalau tidak didukung oleh kerang kain stitusional yang memadai. C. Infrastruktur Keras Non Fisik 1. Gambaran Umum Tabel III 19 Data dan Peringkat Regional Indonesia dalam Infrastruktur Keras Nonfisik, 2005 Elemen Elemen Infrastruktur Keras Nonfisik Indonesia Peringkat

Rasio penduduk yang menikmati listrik (%) Rasio penduduk yang memiliki sanitasi (%) Rasio penduduk yang memiliki akses ke sumber air bersih (%)

55 55 14

regional 11 dari 12 7 dari 11 7 dari 11

2. Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Satu catatan yang perlu terlebih dahulu diberikan disini, yakni bahwa data tentang persentase penduduk indonesia yang menikmati air bersih versi lembaga internasional (IMF, Bank Dunia) jauh berbeda dari data yang dirilis BPS dan sumber statistik dalam negeri lainnya. Penyebabnya adalah perbedaan kriteria dari air bersih itu sendiri. Di negara-negara maju, air bersih berarti air yang sudah layak minum (tanpa harus direbus lebih dahulu) dan bisa digunakan untuk keperluan apa saja. Karena air minum seperti itu masih merupakan kemewahan di negara-negara berkembang, maka lembaga-lembaga internasional kemudian menetapkan standar air bersih yang lebih rendah, meskipun ternyata tetap terlalu tinggi bagi negara-negara berkembang itu sendiri. Misalnya saja data dari UNDP dan Bank Dunia tentang rasio penduduk yang punya akses terhadap air bersih ternyata sangat jauh berlainan. Definisi air bersih di indonesia didasarkan pada UU no.7/2004 tentang Sumber Daya Air yang menyebut bahwa kualitas terbaik air adalah air layak minum (sebelumnya istilahnya adalah air bersih), namun lagi-lagi kualitasnya juga masih di bawah standar internasional karena air layak minum adalah air yang aman di minum setelah melalui proses perebusan atau pengolahan tertentu terlebih dahulu. Air bersih yang bisa langsung diminum dari keran PDAM sama sekali tidak disinggung karena memang sama sekali tidak tersedia di tanah air tercinta ini. Karena itu, data persentase penduduk indonesia yang memperoleh akses terhadap air bersih menurut lembaga internasional sangat berbeda (jauh lebih rendah) daripada data serupa yang dikeluarkan instansi dalam negeri seperti BPS. Pada tabel III-19 di bawah disebutkan bahwa sampai pada tahun 2005 hanya 14 persen penduduk indonesia yang punya akses terhadap air bersih. Sedangkan menurut data BPS (bekerjasama dengan UNDP), pada tahun 2000 sudah 78 persen penduduk indonesia yang punya akses terhadap air bersih. Tabel III-20:
Rasio Penduduk yang Memiliki Akses Terhadap Air Bersih dan Sanitasi

Indikator Rasio Penduduk Indonesia yang Memiliki Akses ke Sanitasi Rasio Penduduk Indonesia yang Memiliki Akses ke Air Bersih

1990 47 71

2000 55 78

2002 63,5 78

Terlepas dari definisi data air bersih mana yang hendak digunakan, yang pasti rasio penduduk di indonesia yang memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi alias kesehatan lingkungan

(sistem limbah cair dan kering, kebersihan, dll) yang juga mengandalkan pada ketersediaan air bersih, masih sangat dan terlampau rendah dibandingkan dengan standar manusiawi yang mana pun. Harus diingat bahwa air bersih merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling mendasar, lebih mendasar dibandingkan dengan listrik atau BBM sekalipun. Fakta betapa kebutuhan mendasar air bersih bagi penduduk indonesia masih jauh dari harapan. Yang lebih memprihatinkan lagi, dari waktu ke waktu PDAM kian tidak mampu menjalankan tugas pokoknya dalam menyediakan air bersih kepada masyarakat seiring dengan meningkatnya kebutuhan sehubungan dengan pertambahan penduduk. Ini dibuktikan oleh fakta bahwa DKI Jakarta, gugusan hutan beton yang kian tidak punya tempat menampung air alam, justru mencatat rasio penduduk pemilik akses air bersih PDAM tertinggi, yakni 46 persen. Sedangkan provinsi lain yang sumber daya airnya melimpah justru memiliki rasio penduduk pemilik akses air bersih PDAM yang sangat rendah. Lagi-lagi dana menjadi masalah utama dalam infrastruktur air bersih ini. Yang tak kalah pentingnya adalah kesadaran pengelola air bersih itusendiri yang wewenangnya ada ditangan Pemda. Kemungkinan besar terbatasnya akses air bersih bagi penduduk ini akan berlanjut cukup lama. Indikasinya dapat dilihat pada begitu besarnya perbedaan antara target instansi-instansi terkait dengan target MDGs (Millenium Development Goals) yang mencoba memperkirakan targettarget yang harus dipenuhi jika Indonesia ingin lebih maju diberbagai bidang. Tabel III-22 menunjukkan betapa kecilnya target-target instansi teknis dalam penyediaan air bersihmelalui perpipaan, instansi teknis hanya mematok target 17,96 persen untuk tahun 2004, dan 31,61 persen untuk tahun 2009 (ini sudah jauh lebih rendah dari target yang ditetapkan pemerintah sendiri melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah/RKPMN yang mematok target 40 persen). Itu berarti, untuk jangka waktu yang lama, penduduk Indonesia masih terbilang sulit memenuhi kebutuhan air bersihnya. Keterbatasan air bersih mengakibatkan pula rendahnya akses masyarakat terhadap sanitasi atau kesehatan lingkungan. Yang disebut dengan sanitasi adalah tersedianya berbagai fasilitas pembuangan dan kebersihan di tingkat rumah tangga sampai pada lingkungan pemukiman (bertahap dari tingkat RT, kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi hingga nasional). Datanya dari sumber dalam dan luar negeri lagi-lagi berbeda, karena standar sanitasi yang dianut juga berlainan. Pada tabel III-19 disebutkan sampai pada tahun 2005 baru sekitar 55 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap sanitasi, namun BPS menyebutkan sampai pada tahun 2002 secara nasional sudah 80 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses sanitasi. Kalau di Singapura sudah ada pengolahan canggih limbah cair menjadi cadangan air siap minum (meskipun secara komersial air bersih ini tidak diminati karena kendala psikologis penduduk meminum air hasil olahan air seni orang lain), maka di Indonesia semuanya dibuang begitu saja ke sungai atau ke dalam tanah. Tabel III-23 Persentase Penduduk yang Terlayani Jasa Pembuangan Sampah Wilayah Jumlah Jiwa %Cakupan Sumatera 8.218.197 23,39

Jawa Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur Lainnya INDONESIA 3.

21.294.350 1.806.718 2.228.856 1.582.065 35.130.186

60,62 5,14 6,34 4,50 32,11

Situasi Kelistrikan Perbandingan angka konsumsi listrik di Malaysia hampir mencapai 3.000 kwh/kapita/tahun, di Thailand sekitar 1.500 kwh/kapita/tahun, dan di Cina hamper 1.000 kwh/tahun. Menurud survei yang dilakukan bank Dunia (2004), kerugian dunia usaha dari butuknya kualitas pasokan listrik (electricity outage) di Indonesia telah mencapai di atas 6 persen dari total penjualan. Tingkat kerugian serupa yang dialami pengusaha di Malaysia serta Cina, dan bahkan Kambija, ternyata lebih rendah dari Indonsia. Filipina yang tercatat mengalami kerugian lebih besar dari Indonesia. Yang sangat menyesakkan , ditengah keterbatasan kuantitas dan buruknya kualitas pasokan listrik, pengusaha sektor industry di Indonesia harus membayar tariff listrik yang lebih mahal dibandingkan dengan rata-rata Negara tetangga. Konsumen listrik industri dibuat tak berkutik oleh perilaku PT PLN sebagai satu-satunya pemegang hak pengusaha listrik di Indonesia (monopoli) yang menerapkan tariff listrik sesuka hati. Praktik yang paling membebani kalangan industry ialah penerapan tarif multiguna yang mencapai sekitar dua sampai tiga kali lipat dari tariff rata-rata industry. Memasuki tahun 2008, PLN kian tidak berdaya mencukupi kebutuhan listrik penduduk akibat lonjakan harga-harga energy mulai dari minyak hingga batu bara. Semua kalangan diminta bersabar karena pemadaman bergilir benar-benar harus dilakukan. Pusat-pusat pertokoan, hotel, dan pabrik-pabrik bahkan diminta menyiapkan genset sendiri karena masalah listrik. Padahal, sebagaimana diperlihatkan pada table III-24 dan Peraga III-21, biaya listrik dari pengguna genset sendiri (berbahan bakar diesel) jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya listrik PLN. Tabel III-24 : Konsumsi Listrik Rata-rata Penduduk NEGARA 1998 2000 Cina 722 827 Indonesia 525 584 Malaysia 2.554 2.628 Filipina 466 477 Thailand 1.345 1.448 Vietnam 232 286 Kegagalan PLN dalam menyediakan pasokan listrik secara memadai itu adalah kesalahan strategi periode krisis di mana PLN menghentikan semua pembangunan infrastruktur kelistrikan karena begitu terpaku pada kondisi keuangan jangka pendek. Para petinggi PLN tampaknya tidak mau dianggap tidak becus kalu rapor PLN merah dengan angka kerugian.

Pada periode 1968-1993 kapasitas pembangkitan listrik nasional meroket 24 kali lebih, dari 542 megawatt (MW) menjadi 13.569 MW. Investasi infrastruktur dipacu, khususnya pada periode 1993-1996, sejak berlakunya UU No. 15/1985 tentang Ketenagalistrikan. PLN membangun kapasitas pembangkit listrik baru sebesar 7.996 MW dengan jaringan trasmisi sepanjang 6.350 kilometer, gardu-gardu induk berkapasitas 16.816 MVA, serta berbagai jaringan trasmisi penyalur dan distribusi penunjang. Program listrik masuk desa dipacu sehingga pada periode itu jumlah desa yang menikmati listrik melonjak dari 36.243 menjadi 45.941 desa di seluruh wilayah Indonesia. Selama periode 1999-2001 kapasitas listrik terpasang hanya naik 1,13 persen, dan tentu saja pada akhirnya PLN tidak mampu lagi menutupi kebutuhan listrik yang terus meningkat, khususnya setelah perekonomian Indonesia mulai aktif menggeliat dan lepas dari jebakan pertumbuhan ekonomi rendah pada pertengahan dasawarsa pertama abad ke-21, sehingga pertumbuhan tahunan kebutuhan listrik mencapai 8,85 persen per tahun. Ketika harga minyak dunia terus meroket sejak pertengahan 2004, maka PLN lagi-lagi mengalami pukulan telak, terutama akibat kesalahannya sendiri. Untuk kesekian kalinya pertimbangan ekonomis jangka pendek yang dikedepankan oleh manajemen PLN. Pembangunan pusat pembangkit tenaga listrik non-energi fosil seperti PLTA, PLTG, atau bahkan PLTS (tenaga surya) memang jauh lebih mahal (juga perlu pengolahan kapasitas sendiri karena kinerja pembangkit tenaga listrik ini dipengaruhi oleh cuaca dan kondisi alam), akan tetapi jelas dalam jangka panjang akan jauh lebih menguntungkan; selain lebih murah, pembangkitan listrik demikian akan lebih tahan terhadap gejolak harga energi yang kian sering terjadi di dunia. Tabel III-25 : Perbandingan Bianya Listrik dari Diesel dan PLN Rp USS Tahun DIESEL PLN DIESEL PLN Harga/Liter Harga/Kwh Harga/Kwh Harga/LTR Harga/kwh Harga kwh 2000 Rp 550 Rp 164,5 Rp 260 $ 0.07 $ 0.02 $ 0.03 2001 Rp 1.050 Rp 314,0 Rp 260 $ 0.13 $ 0.03 $ 0.02 2002 Rp 1.050 Rp 314,0 Rp 440 $ 0.13 $ 0.04 $ 0.05 2003 Rp 1.650 Rp 493,4 Rp 460 $ 0.20 $ 0.06 $ 0.06 2004 Rp 1.650 Rp 493,4 Rp 510 $ 0.20 $ 0.06 $ 0.06 2005 Rp 5.350 Rp1.599,7 Rp 620 $ 0.64 $ 0.17 $ 0.07 2006 Rp6.285 Rp 1.879 Rp 620 $ 0.70 $ 0.21 $ 0.07

Tabel III-26 : Potensi Pengambangan Pusat dengan Energi Pembangkit Listrik Tergantikan Jenis Energi Potensi Kapasitas Persentasi Terpasang Pemanfaatan (%) Hidro 75,67 GW 4.200 MW 5,55 Geothermal 27 GW 802 MW 2,97

Mini/mikro hidro Biomass Surya Angin

712 MW 49,81 GW 4,8 kwh/m2/hari 3-6 m/dt

206 MW 302,4 MW 5 MW 0.5 MW

28,93 0,61 -

Kesalahan fatal terbesar yang dilakukan PLN adalah yang lantas dipilih sebagai solusi bukannya pengadaan kembali pembangunan infrastruktur kelistrikan, melainkan justru reaksi sementara gampangan berupa pemadaman bergilir dan kampanye penurunan konsumsi listrik yang yang secara ekonomis bersifat kontraproduktif. Untuk menciptakan pasokan listrik secara mencukupi dan berkesinambungan dalam berjangka panjang, patut dipertimbangkan pembangunan pusat-pusat pembangkitan listrik dengan energi tergantikan, dan sudah waktunya pemakaian energi tak tergantikan (minyak, batu bara, dan gas) diakhiri karena selain harganya kian mahal, pasokan nya juga terbatas. 4. Infrastruktur distribusi energi ( gas ) Terkait dengan soal kelistrikan, Indonesia kini tengah mengalami krisis energi. Masih juga banyak diantara kita yang memahami bahwa Indonesia secara neto sudah bukan merupakan negara produsen, melainkan konsumen alias pengimpor minyak. Karena itu, pula Indonesia merasa sudah waktunya keluar dari OPEC, dikarenakan status Indonesia bukan sebagai eksportir utama lagi. Untuk memenuhi kebutuhan nasional saja Indonesia sudah sangat kesulitan meskipun Indonesia memiliki cadangan gas terbesar diASEAN dan didunia. Berikut tabel Sumber Daya Energi di Indonesia,sebagai gambaran keadaan Energi di Indonesia : Tabel 111-27 Potensi Sumber Daya Energi Indonesia No Sumber Potensi Potensi Cadangan Produksi Keterangan Energi dunia terbukti ( Tahun ) 1 Minyak Bumi 321 miliar 1.2% 5 miliar 500 juta Habis dalam 10 barel barel tahun ekspor 2 Gas Bumi 507 TSCF 3,3% 90 TSCF 3 TCF Habis dalam 30 tahun untuk ekspor 3 Batubara 50 miliar 3% 5 miliar 100 juta Habis dalam 50 ton ton ton tahun untuk ekspor 4 Tenaga Air 75 ribu 0,02% 75 ribu 4200 Sulit untuk MW MW MW pengembangan skala besar,domestik 5 Panas Bumi 27 ribu 405 2,305 807 MW Sebagai energi MW MW terbarukan, dapat dikonsumsikan dalam jangka waktu yang cukup lama

Namun baik minyak, batu bara, dan gas lambat launpasti akan habis. Sementara kehidupan yang memerlukan energi akan terus berjalan. Cepat atau lambat harus dicari sumber-sumber energi baru untuk menghadapi tuntutan kehidupan masa depan yang takkan terlepas dari persoalan pasokan energi. Sebenarnya bukan hanya Indonesia, tetapi dunia kini tengah terancam serius oleh kelangkaan energi ( atau minimal krisis lonjakan harga energi ) karena sumber daya energi fosil yang selama ini diandalkan kian terbatas cadangannya. Bagi Indonesia,kemungkinan habisnya sumber energi fosil itu bagaikan sudah dipelupuk mata ( lihat Tabel 111-27 ). Minyak, meskipun harganya kian mahal dan pasokannya kian terbatas, paling tidak dalam jangka pendek akan tetap daindalkan sebagai sumber energi utama. Khusunya untuk bahan bakar dalam berbagai kegiatan transportasi serta untuk ekspor. Oleh sebab itu, dalam jangka menengah dan panjang, tampaknya gas akan sebagai sumber energi utama didalam negeri. Hal ini terbukti dengan adanya program pemerintah untuk mengonversikan pemakaian minyak tanah dikalangan masyarakat segala lapisan dengan pemakaian gas. Terkait dengan kian diutamakannya gas sebagai energi nasional utama, maka efisiensi pengadaan dan pemnyaluran gas kian penting, dan sejalan dengan itukian penting pula infrastruktur distribusi gas. Sisitem distribusi yang efisien akan banyak menghemat biayasehingga dapat menekan harga dipasaran. Sejauh ini, jaringan transmisi gas di Indonesia sepanjang 1300 km dan jaringan distribusi gas 2600 km, namun hanya untuk keperluan ekspor. Jaringan transmisi dan distribusi yang tak sampai 4000 km akan sangat minim dengan potensi dan kebutuhan nasional akan gas. Padahal Indonesia memiliki ladang-;ladang gas dan fasilitas pengelolaan memungkinkan Indonesia menjadi produsen LNG terbesar didunia. Seandainya saja bisa dibangun infrastruktur distribusi gas berskala nasional, sehingga tiap rumah tangga, restoran, dan pemakai lainnya terhubung dengan jaringan pipa gas nasional itu, maka harga gas yang tersedia akan begitu murahnya, dan besarnya kontribusi ketersediaan energi murah itu bagi produktivitas nasional. Selama ini, urusan gas lebih dipusingkan oleh penyediaan tabung gas, pengangkutan dari depot pengisian ketituk-titik distribusi, dan biaya transportasinya kalau dihitung-hitung pada daerah terpencil akan lebih mahal daripada kandungan gasnya sendiri. 5. Infrastruktur ICT Keterbatasan infrastruktur informasi telekomunikasi (ICT) atau bias pula disebut sebagai infrastruktur telematika, menjadi kendala structural berikutnya. Ketersediaan sarana komunikasi per kapita penduduk di Indonesia masih sangat rendah, sehingga akses informasi untuk tiap warga masyarakat juga relative rendah. Sebagai contoh, kalau rata-rata hamper separuh penduduk di tiap Negara berkembang di seluruh dunia sesudah membaca Koran, maka di Indonesia baru sampai seperempat penduduk yang menikmati surat kabar setiap hari. Dengan kondisi demikian, maka segala upaya diseminasi (penyebaran) informasi apa saja secara missal di Indonesia akan berdampak terbatas. Media televisi banyak membantu, namun jangkauannya juga masih terbatas sehingga penyediaan berbagai sarana komunikasi itu tetap penting. Menurut Badan Telekomonukasi Internasianal (ITU), keterbelakangan infrastruktur telematika (ICT) mengakibatkan tidak akan optimnalnya berbagai program pembangunan ekonomi maupun social-budaya. Hal ini sudah terjadi di Indonesia, karena lemahnya infrastruktur telematika (ICT)

kita dibandingkan dengan ASEAN sekalipun. Tetapi kondisi saudara kita yang berada di pedalaman Kalimantan, papua dan di ribuan pulau kecil yang jauh dari mana pun. Tanpa pengembangan sarana komunikasi, maka masyarakat di berbagai wilayah terpencil akan terus hidup dalam keterasingan dan isolasi karena begitu terbatasnya sentuhan informasi dari luar. Program pembangunan akan sulit menjangkau penduduk di wilayah demikian. Rasio dasar ketersediaan infrastruktur di Indonesia (formula DAI ITU) baru mencapai 0,34 (menduduki peringkat 63 dunia). Dalam hal ini, Indonesia jauh tertinggal dari Singapura yang mencapai rasio 0,75 (peringkat ke-3), Malaysia dengan 0,57 (peringkat ke-32) dan Thailand dengan rasio 0,48 (peringkat ke-41). Indonesia memang bukan Negara pemilik infrastruktur terburuk di dunia, namun masak iya kita betah berada dalam kategori yang sama dengan Negara-negara terbelakang. Baru sekitar 3,8 persen penduduk Indonesia yang memiliki telepon sambungan permanen (telepon rumah). Itu pun untuk penduduk perkotaan, karena untuk penduduk di kawasan terpencil, rasianya bahkan jauh lebih rendah lagi, yakni hanya 0,1 persen. Rasia serendah ini hamper sama dengan rasio pada zazman penjajahan Belanda. Sekitar 40 persen kota kecamatan di Indonesia sama sekali tidak punya sambungan telepon tetap, dan lebih dari 60 persen desa di Indonesia tidak punya sambungan tetap sama sekali. Keterbatasan infrastruktur juga mengakibatkan struktur biaya yang tidak efisien sehingga biaya telekomunikasi di Indonesia juga relative mahal. Selama berbagai keterbatan itu tidak dibatasi, maka selama itu pula struktur biaya sulit diefisienkan. Namun dewasa ini, biaya di Malaysia sudah jauh lebih murah dari pada di Indonesia. Jumlah para pahlawan devisa asal Indonesia yang tersebar dimancanegara saat ini sudah mencapai 4 juta jiwa. Data terbaru yang disajikan oleh International Telecommunication Union di Tahun 2007 yang dikutip oleh laporan riset Bank Indonesia edisi Januari 2008 menunjukkan bahwa sampai tahun itu, infrastruktur telematika/ICT di Indonesia masih sangat terpuruk, dan di lingkungan 10 negara ASEAN menduduki papan bawah bersama sejumlah Negara yang memang dikenal masih terbelakang. Untuk sumbangan telepon tetap, baru 57 orang per 1000 penduduk Indonesia yang memilikinya. Hal ini menjadikan Indonesia hanya menduduki peringkat ke-6 dari 10 negara ASEAN dalam infrastruktur sambungan telepon tetap. Sampai pada tahun 2007 baru 211 orang per 1000 penduduk yang menggunakan internet (baru 72 orang per 1000 penduduk). Di sisi penyedia jasa, perkembangan pembangunan jaringan telepon tetap dan system telekomunikasi bergerak (STB) juga mengalami perlambatan gara-gara krisis dam sampai pada tahun 2005 tingkatnya belum dapat menytamai yang sudah pernah di capai sebelum krisis. Dewasa ini, masyarakat dunia kian gandrung dengan internet. Jumlah pengguna internet di Indonesia pun berkembang dan cukup pesat, tetapi tidak sepesat seperti Negara-negara lainnya. Biaya bandwidth di Indonesia ternyata luar biasa mahalnya, nahkan jauh lebih mahal ketimbang harga di Hong Kong dan jerman yang dikenal sebagai wilayah wilayah di dunia dengan biaya hidup termahal, juga lebih mahal ketimbang Negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan singapura. Biaya pulsa telepon (untuk sambungan berbasis sambungan telepon regular) dan biaya abonemen untuk ISP (Internet service Provider) di Indonesia jauh lebih mahal dari pada di banyak Negara

lain, bahkan sumbangan telepon di Negara-negara maju yang indeks biaya hidupnya tinggi dari pada di Indonesia. Informasi membuka gerbang informasi, dan informasi merupakan kunci kemajuan. Sebaliknya, keterbatasan infrastruktur ICT/telematika mengakibatkan kesenjangan digital (digital divide) yang kian tajam antara Indonesia dengan Negara-negara lain yang sedah lebih maju, yang pada akhirnya kian menyulitkan kita mengejar berbagai ketertinggalan yang sudah ada selama ini, bahkan ada kemungkinan kita akan makin tercecer. Dengan kondisi infrastruktur ICT yang serba terbatas, maka E-readiness Indonesia pun berada di papan bawah. E-readiness adalah indicator yang mengukur sejauh mana kuantitas dan kualitas infrastruktur ICT disuatu Negara, serta sejauh mana pemerintah, kalangan bisnis, dan warga masyarakat luas dapat memanfaatkannya dalam kegiatan pekerjaan atau minatnya masingmasing. Pada pemeringkatan E-readiness yang dilakukan oleh Economist Intelligent Unit (EIU) ada enam criteria yang digunakan yakni (1) adopsi perangkat teknologi ICT itu sendiri oleh masyarakat luas, termasuk kalangan bisnis dengan bobot skor 25 persen, (2) tingkat konektivitas dan infrastruktur teknologi yang tersedia dengan bobot 20 persen, (3) lingkungan bisnis ICT yang berbovot 15 persen, (4) lingkungan social dan cultural di masyarakat yang turut menentukan dengan bobot 15 persen, (5) factor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan ICT atau telematika dengan bobot 10 persen, (6) isi dan program pengembangan ICT oleh pemerintah dengan bobot 15 persen. Dalam dua kali penelitian untuk pemeringkatan terakhir (tahun 2008 dan tahun 2007) Indonesia sama-sama memperoleh skor 3,59 dan 3,39 yang terbilang sangat rendah. Namun dalam urutan Indonesia justru merosot . Dari 69 negara yang disurvei pada tahun 2007, Indonesia menempati urutan ke-67 atau ketiga dari bawah, sedangkan dari 70 negara yang disurvei pada tahun 2006 indonesia menempati urutan ke-68 dari 70 negara yang di survey, atau tetap peringkat ketiga dari bawah. Indonesia juga kalah dari Filipina, india dan Sri Lanka. Padahal, kebanyakan computer yang digunakan diberbagai instansi pemerintah di Sri Lanka masih berkelas Pentium I, dan umumnya masih memakai printer dot matriks.

Anda mungkin juga menyukai