Anda di halaman 1dari 17

BAB.

I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Pembangunan Kota Banda Aceh yang sangat pesat setelah gempa bumi dan tsunami tidak saja membawa pengaruh positif, tetapi juga membawa efek negatif terhadap lingkungan hidup. Bertambahnya bangunan dengan segala bentuk dan peruntukan diantaranya seperti rumah sakit, klinik bersalin, laboratorium, industri, bengkel, dan pelabuhan telah

menghasilkan limbah yang dapat merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3). Di Banda Aceh persoalan Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) merupakan masalah serius yang sampai saat ini masih saja menjadi pembicaraan dikalangan aktivis lingkungan, akademisi, maupun masyarakat luas. Limbah B3 merupakan fenomena yang sangat akrab dengan sisi kehidupan antara lain aktivitas perbengkelan, rumah sakit dan pelabuhan. Kawasan-kawasan ini merupakan sumber dari pada limbah B3. Dari kegiatan ini limbah yang dominan berupa oli bekas, sampah medis, dan pembuangan oli kapal. Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan manusia.Yang termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus. Bahan-bahan ini termasuk limbah B3 bila memiliki salah satu atau lebih karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji dengan toksikologi dapat diketahui termasuk limbah B3. Hasil pengamatan dilapangan, menunjukkah bahwa tidak semua rumah sakit dan klinik bersalin yang ada di Kota Banda Aceh memiliki dan mengikuti standar pengolahan limbah medis sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin misalnya, sudah terdapat pemisahan antara sampah medis dengan nonmedis, akan tetapi dalam praktek
1

masih terdapat tempat sampah medis yang terbuka, sehingga jika ada limbah B3 akan sangat membahayakan. Direktur Rumah Sakit Permata Hati menyebutkan bahwa walaupun mereka telah berusaha untuk menangani limbah sebaik mungkin, namun menurut beliau masih belum memenuhi standar. Di Pelabuhan Ulhee Lheu dan Tempat Pendaratan Ikan Lam Pulo, dapat kita terlihat masih adanya pencemaran yang diakibatkan oleh minyak dan oli pembuangan kapal. Dipemukiman penduduk masih sering kita temukan baterei basah dan kering, kaleng bekas pestisida, yang dibuang disemberang tempat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan persoalan B3 di kota Banda Aceh tidak dapat dituntaskan. Faktor utama adalah perilaku masyarakat yang tidak baik dalam mengelola limbah B3. Hal ini diantaranya diakibatkan oleh kurangnya tingkat kesadaran dan pemahaman terhadap akibat yang ditimbulkan dari adanya perilaku tersebut. Selain faktor masyarakat ada faktor lain yang mempunyai andil terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah B3 di Kota Banda Aceh, diantaranya masalah pengawasan yang belum maksimal, perizinan yang tidak jelas, penegakan hukum yang belum baik, koordinasi antar lembaga terkait tidak berjalan, serta masih kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Pengawasan dan perizinan pengelolaan B3 secara nasional telah mendelegasikan masalah ini untuk diatur dengan peraturan daerah kaupaten Kota. Akan tetapi di Kota Banda Aceh, pengaturan ini secara khusus belum ada. Akibat lebih jauh berhubungan dengan sanksi dan kewenangan untuk melakukan penegakan hukum. Sehingga prilaku yang salah dalam menangani limbah B3 ini bukan saja tidak dapat diberi sanksi, tidak ada yang mengawasi, malah pelaku tidak menganggap ini sebagai sebuah kesalahan. Misalnya menyangkut kewenangan dalam menindak pelaku usaha/kegiatan yang tidak punya izin dalam menyimpan limbah B3. Selain itu juga dalam pelaksanaan pengelolaan limbah B3 pada umumnya didominasi oleh pemerintah pusat, sehingga membuat kecilnya kewenangan pemerintah daerah (Pemerintah Kota Banda Aceh). Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota penting untuk dikaji kembali untuk melihat sejauhmana kewenangan Pemerintah

Daerah Kota Banda Aceh dalam melakukan pengelolaan limbah B3 ini. Dengan diketahuinya batas kewenangan tersebut pemerintah daerah dapat membuat kebijakan untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan pencemaran atau perusakan yang diakibatkan oleh Limbah B3. Adapun bentuk kebijakan yang dimaksud adalah membuat Qanun Kota Kanda
2

Aceh tentang Pengelolaan Limbah B3. Hal ini penting untuk segera dipikirkan, jika tidak maka secara perlahan dampak limbah B3 akan mengancam lingkungan, kesehatan bahkan kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Kota Banda Aceh. Dalam rangka pelaksanaan urusan wajib bidang lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan dalam pasal 2 ayat (4) huruf f dan Pasal 7 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Nomor

660.2/2176/SJ t perihal Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di daerah yang pada intinya memerintahkan Gubernur dan Bupati/Walikota untuk segera menyusun

Peraturan Daerah dan melakukan Koordinasi dan konsultasi dengan kementerian yang mempunyai tugas, kewenangan dan tanggung jawab terhadap urusan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Atas dasar hal-hal yang disebutkan di atas kiranya Pememerintahan Kota Banda Aceh perlu untuk menyusun Qanun Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Hal ini dimaksudkan supaya peningkatan kegiatan pembangunan di berbagai bidang terutama bidang industri dan perdagangan, yang mengakibatkan peningkatan jenis, karakteristik dan kategori limbah baan berbahaya dan beracun, tidak memberikan dampaknegatif terhadap lingkungan hidup dan penduduk yang ada di Kota Banda Aceh.

B. MAKSUD DAN TUJUAN 1. Maksud Naskah akademik ini dimasudkan untuk menjadi dasar penyusunan Rancangan Qanun Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Kota Banda Aceh dalam rangka mewujudkan Kota Banda Aceh menjadi yang bebas dari bahaya limbah B3, sehingga lingkungan yang baik dan sehat yang merupakan hak masyarakat dapat terpenuhi. 2. Tujuan. Naskah akademik ini ditujukan untuk menemukan basis argumentasi dan justifikasi penyusunan draft Qanun Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Kota Banda Aceh, yang pada intinya untuk : a. Untuk mencegah dan atau mengurangi risiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. b. Adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan Pengelolaan limbah berbahaya dan Beracun bagi masyarakat di Kota Banda Aceh.

C. SISTEMATIKA PENULISAN Naskah akademik ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN, berisi uraian tentang latar belakang, maksud dan tujuan, landasan penyusunan, metode, dan sistematika penulisan;

BAB II PROBLEMATIKA LIMBAH BAHAN BERRACUN BERBAHAYA DI KOTA BANDA ACEH, berisikan permasalahan-permasalahan yang menjadi isu limbah Bahan dan Beracun di Kota Banda Aceh yang membutuhkan pengaturan dalam qanun

BAB III ANALISIS PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGENDALIAN LIMBAH BERBAHAYA DAN BERACUN, berisikan uraian tentang analisis peraturan perundangundangan limbah bahan beracun berbahaya untuk dijadikan kerangka teoritis dalam penyusunan qanun ini.

BAB IV MATERI RANCANGAN QANUN, berisikan uraian tentang materi qanun dan susunan Rancangan Qanun Pengendalian Limbah bahan Berbahaya dan Beracun.

BAB V PENUTUP, pada bagian ini berisikan kesimpulan dan rekomendasi.

D. LANDASAN PENYUSUNAN 1. Landasan Islamis Manfaat dari alam merupakan nikmat yang diberikan Allah Subhanahu wa Taala bagi makhluknya dan kewajiban bagi setiap manusia untuk menjaga dan memeliharanya. Oleh karena itu barangsiapa yang hendak mensyukuri nikmat Allah, maka dia harus selalu menjaganya dari pencemaran dan perusakan. Berkaitan dengan ini Allah Subhanahu wa Taala dalam Surat Al- A.raf ayat 56 mengingatkan manusia untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi. Perusakan di muka bumi bentuknya dapat berupa penghancuran tatanan lingkungan dan menghilangkan berbagai manfaat yang terkandung didalamnya. Pengelolaan limbah B3 yang tidak sesuai dengan aturan merupakan bagian dari perusakan dalam kategori ini. Dampak dari adanya perusakan terhadap alam sudah diperingatkan oleh Allah Subhanahu wa Taala dalam surat Ar Ruum: 41 yang artinya telah nampaak kerusakan
4

di darat dan dilaut yang disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allalh merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang benar Peringatan Allah dalam petikan ayat diatas cukup tegas dan keras. Allah akan menurunkan bencana (azab) di bumi bila mana yang telah diberi amanah tidak mampu menjalankan amanah sesuai dengan ketentuannya atau malah dengan sombong melakukan perusakan dimuka bumi dengan dalih pembangunan.

2. Landasan Filosofis Adanya berbagai kegiatan dan usaha khususnya industri akan menghasilkan suatu limbah. Salah satu limbah yang dapat berbahaya bagi lingkungan, kesehatan dan kehidupan mabnusia adalah limbah B3. Karena limbah B3 ini sangat berbahaya maka pengelolaanya perlu dilakukan dengan baik. Sehingga limbah tersebut tidak memberikan malapeta, tetaspi justru diharapkan memberikan manfaat bagi bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Pengelolaan Limbah B3 akan berdapak pada masyarakat berupa terlindinginya hak-hak masyarakat dalam mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu dengan pengelolaan limbah B3 yang baik akan menjamin tercapainya

kelestarian fungsi lingkungan bagi kepentingan generasi yang akan datang.

3. Landasan sosiologis Penyusunan Rancangan Qanun Pengelolaan Limbah B3 harus mempunyai kaitan erat dengan kebiasaan, kebutuhan, keinginan, pandangan, harapan, dan kemampuan masyarakat. Hal ini dimaksudkan sebagai dasar untuk sejumlah penyesuaian guna menghindari penyeragaman kebijakan, aturan, dan hukum yang berlaku. Ini bermakna bahwa produk hukum yang akan dihasilkan dalam Raqan ini adalah sebuah interaksi yang memadai antara realitas tentang persoalan limbah B3 dengan nilai nilai sosial budaya yang berkembang dan hidup dalam masyarakat. 4. Landasan Yuridis Dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota disebutkan; salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/Kota adalah berkaitan dengan urusan pemerintahan bidang linkungan hidup. Dalam Lampiran peraturan pemerintah dimaksud Pada Sub bidang pengendalian dampak lingkungan, Pengelolaan
5

Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PL-B3) merupakan salah satu kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah kabupaten/Kota. Adapun kewenangan dalam pengelolaan limbah B3 bagi pemerintah Pemerintah kabupaten/Kota meliputi; Izin lokasi Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PL-B3), izin penyimpanan sementara Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah-B3) di industri atau usaha suatu kegiatan, izin pengumpulan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah-B3) pada skala Kabupaten /Kota (sumber limbah di Kabupaten /Kota tersebut), pengawasan pelaksanaan pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota, Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala kabupaten/kota, Pengawasan penanggulangan kecelakaan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PL-B3) kabupaten /kota, pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah-B3) pada kabupaten /kota. Dalam rangka pelaksanaan urusan wajib bidang lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan dalam pasal 2 ayat (4) huruf f dan Pasal 7 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Nomor 660.2/2176/SJ perihal Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Daerah memerintahkan Gubernur dan Bupati/Walikota untuk segera menyusun Peraturan Daerah dan melakukan Koordinasi dan konsultasi dengan kementerian yang mempunyai tugas, kewenangan dan tanggung jawab terhadap urusan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Dengan landasan yuridis ini, menjadi argumentasi betapa pentingnya kehadiran Qanun Kota Banda Aceh tentang Pengelolaan Limbah B 3. skala

E. METODE Suatu rancangan qanun harus disertai dengan naskah akademik sebagaimana disyaratkan dalam Qanun Nomor 3 tahun 2007 tentang tata Cara Pembuatan Qanun. Untuk memenuhi syarat ini maka naskah akademik menjadi keharusan untuk setiap pembuatan Qanun. Untuk membuat naskah akademik menjadi layak dan sesuai dengan Qanun Nomor 3 Tahun 2007, maka proses penyusunannya melalui beberapa tahapan dengan menggunakan metode sebagai berikut: 1. Kajian literatur yang ada kaitannya dengan masalah Pengelolaan limbah berbahaya dan Beracun. 2. Melakukan penelitian lapangan

3. Melakukan penjaringan aspirasi masyarakat terhadap pengelolaan limbah berbahaya dan beracun. yang sedang dipersiapkan. Penjaringan aspirasi masyarakat ini dilakukan dengan Focus Group Discition (FGD). 4. Menyusun naskah akademik 5. Penyusunan Rancangan draft qanun Pengelolaan limbah berbahaya dan Beracun. 6. Melakukan Konsultasi publik. 7. Finalisasi rancangan darft Qanun Pengelolaan limbah berbahaya dan Beracun. 8. Penyerahan Draft Qanun kepada DPR Kota Banda Aceh. Metode yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik untuk rancangan qanun Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun adalah Metode Pemecahan Masalah (MPM). MPM ini berangkat dari analisis mengenai institusi bermasalah yang akan dipecahkan. Oleh karena itu membutuhkan suatu penelitian. Perancang selain melihat pada kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah Nomo 38 Tahun 2007, juga akan menentukan pilihan isi peraturan berdasarkan penelitian yang dilakukan.

BAB II PROBLEMATIKA PENGELOLAAN LIMBAH BERBAHAYA DAN BERACUN DI KOTA BANDA ACEH

Adanya pertentangan sikap masyarakat dalam menyikapi permasalahan pembuangan limbah B3. di satu sisi masyarakat menghendaki kualitas lingkungannya baik dan sehat, namun di lain pihak tidak mau berkompromi apabila lokasi tempat tinggalnya berdekatan dengan lahan pengolahan limbah. Hingga saat ini di Kota Banda Aceh tidak ada data mengenai usaha dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan limbah B3. Dari beberapa kegiatan atau usaha yang dilakukan di Kota Banda Aceh belum diketahui berapa besar limbah B3 yang dihasilkan. Apalagi data yang memilah antara limbah B3 dengan yang bukan limbah B3. Di Kota Banda Aceh dari Studi Lapangan diketahui Limbah B3nya tidak dikelola secara teratur. Limbah B3nya dibuang sembarangan, ada yang dibuang kepermukaan tanah, aliran air dan badan air. Sehinggah limbah B3 tersebut menjadi berbahaya bagi lingkungan hidup dan kesehatan Manusia. Tetapi Pada Rumah Sakit Umum zainal Abidin dan Rumah sakit Meuraxa pengelolaan terhadap limbahnya sudah tergolong baik. Limbah medik dan non medik yang dihasilkan dipisahkan dan diolah dengan alat pengolah limbah, sehingga saat dibuang kemedia air atau tanh tidak berbahaya bagi l,ingkungan dan kesehatan manusia. Bahkan di Rumah Sakit Meuraxa sisa hasil pembakaran dari limbah Medis ditanam dalam Pot-Pot bunga tanpa menyentuh media tanah. Dari Hasi FGD dengan instansi terkait dan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan Hidup diketahui ada beberapa masalah yang berkaitan dengan pengelolaan Limbah B3: 1. Pengelolaan limbah medis belum tertangani dengan baik pada beberapa rumah sakit dan klinik 2. Air Limbah Industri Tahu, Oli, dan limbah pembuatan Batik belum dikelola dengan baik. 3. Limbah B3 hasil buangan labolatorium belum tertangani dengan baik (khusus untuk puskesmas langsung dialirkan kedalam selokan) 4. Kewenangan pengelolaan limbah B3 yang tidak ada pada pemerintah Kota 5. Izin Limbah B3 perlu dibuat berdasarkan rekomendasi dari Bappedal Kota 6. Tidak ada kejelasan wewenang pengawasan 7. Tidak adanya tim terpadu untuk melakukan koordinasi dan pengawasan yag berkaitan dengan isu limbah B3

8. Terdapatnya limbah B3 di Tempat Pembuangan Akhir baik sampah medis maupun non medis 9. Pembuangan sisa ikan, ayam dan sebagainya langsung ke sungai 10. Pengawasan di wilayah hilir khususnya tempat labuh kapal 11. Perlibatan Tidak adanya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan limbah B3 12. Pembuangan Tinja oleh perusaahan tinja 13. Penggunaan pestisida Bagi pelaku usaha dan atau kegiatan pengelolaan limbah khususnya limbah B3 merupakan suatu beban, hal ini dikarenakan dengan mengolah limbah sedemikian rupa akan menyebabkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan, Misalnnya harus menyediakan biaya tambahan. Kondisi ini menbuat mereka membuang limbah B3 kesembarang tempat. Misalnya di Kota Banda Aceh Ada beberapa Klinik dan Rumah Sakit Swasta yang tidak jelas bagaimana pengelolaan limbah yang mereka hasilkan. Bahkan ada pelaku usaha

pembuangan tinja yang membuang tinjanya ke badan tanah secara terbuka, padahal kondisi ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Selain itu masih banyak limbah-limmbah B3 yang dihasilkan, disimpan, diangkut tanpa melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Meskipun Berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut dengan aspek pengelolaan Limbah B3 ini sudah ada, tetapi di Kota Banda Aceh terlihat masih belum berjalan secara efektif. Dari hasil penelitian yang dilakukan hal ini disebabkan oleh bebarapa hal diantaranya Peran pemerintah pusat dalam pengelolaan limbah B3 yang masih sangat dominan, Sehingga pejabat pengawas di daerah khususnya di Kota Banda Aceh kurang dapat berperan, sehingga efektivitas dalam mengawasi/mengendalikan masalah pencemaran limbah B3 menjadi kurang baik. Selain itu kurang baiknya pengelolaan limbah B3 juga disebabkan tingkat kesadaran pelaku usaha dan atau kegiatan yang masih kurang terhadap dampak yang ditimbulkan oleh limbah B3 bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Disamping dua hal diatas kurang baiknya pengelolaan limbah B3 di Kota banda Aceh juga disebabkan proses izin dari pengelolaan Limbah B3 yang tidak jelas, sehingga pelaku usaha atau kegiatan tidak mengetahui proses perizinan yang berkaitan dengan pengelolaan limbah B3. Bahkan bagi aparatur pemerintahan sendiri tidak adanya kejelasan tentang siapa yang berwenang mengeluarkan izin menyangkut dengan pengelolaan limbah B3 yang begitu banyak ragamnaya. Untuk mengatasi persoalana pengelolaan limbah di Kota banda perlu adanya suatu solusi untuk itu. Sehingga nantinya dengan solusi ini pengelolaan limbah B3 di Kota Banda
9

Aceh dapat terlaksana secara baik. Adapun solusi yang ditawarkan terhadap persoalan pengelolaan limbah di Kota Banda Aceh Adalah: 1. mengiventaris kewenangan-kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan limbah B3. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui sejauhmana pemerintah Kabupaten/kota Dapat berperan dalam pengelolaan limbah B3; 2. memberikan kewenangan koordinasi kepada suatu lembaga untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolan limbah B3. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kejelasan lembaga apa menagwasai apa. 3. memberikan kejelasan tentang lembaga-lembaga yang berwenang memberikan izin atau rekomendasi berkaitan dengan pengelolaan limbah B3 4. melakukan pengklasifikasian limbah B3 5. Menyadarkan masyarakat, khususnya pelaku usah atau pelaku kegiatan akan besarnya dampak terhadap pengelolaan limbah B3 yang tidak baik. 6. Perlu melibatkan para ahli lingkungan dalam proses diseminasi (baik aspek teknis maupun aspek non-teknis, seperti peraturan/regulasi). Hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi ketimpangan interpretasi, oleh para pelaku yang langsung terlibat dalam pengelolaan limbah B3, baik masyarakat, pemerintah maupun pengusaha. 7. Perlunya peningkatan tingkat kesadaran lingkungan masyarakat khususnya pelaku kegiatan/usaha dalam menyikapi masalah pencemaran khususnya pencemaran lingkungan yang diakibatkan opleh limbah B3. Ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal , non formal maupun pendidikan informal. 8. membangun fasilitas pengolah limbah B3 sesuai kepentinganya, supaya dalam jangka panjang lingkungan dan masyarakat Kota Banda Aceh dapat diselamatkan dari ancaman bencana akibat limbah B3. 9. meningkatkan peran dan keterlibatan masyarakat, para pelaku usaha/kegiatan dalam mengatasi limbah B3nya. 10. peran daerah sebagai pengawas, transparan. 11. Memberikan Sanksi Kepada Masyarakat, Pelaku kegiatan/usaha yang tidak melakukan pengelolaan Limbah B3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 12. Melibatkan peran serta masyarakat dalam mengawasi pengelolaan limbah B3 Secara konseptual dan operasional, pengelolaan B3 dan limbahnya sangat signifikan dengan pengendalian pencemaran. Selain itu secara operasional terdapat program-program yang sifatnya intersection antara pengendalian pencemaran dengan pengelolaan B3. Oleh
10

harus dijabarkan dalam bentuk yang lebih nyata dan

karena itu, maka kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan B3 dan limbahnya masih dalam ruang lingkup program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan. Tersedianya kebijakan di bidang pengelolaan limbah B3, penerapan instrumen

perizinan dan penanganan media yang tercemar B3 melalui sistem tanggap darurat, dan pengawasan merupakan indikator dari kegiatan pengelolaan B3 dan limbahnya. Disamping itu untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, dilakukan penguatan kapasitas daerah, kerja sama antar lembaga, koordinasi antar lembaga dalam pengelolaan B3 dan limbahnya harus semakin ditingkatkan. Semua solusi yang ditawarkan di atas perlu dimuat dalam suatu Qanun Kota Banda Aceh. Hal ini dimaksudkan supaya ada ketentuan yang khusus bagi masyarakat Kota Banda Aceh dalam pengelolaan limbah B3.

11

BAB III ANALISIS PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BERBAHAYA DAN BERACUN.

Dilihat dari aturan yang ada, sebenarnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mengatur tentang pengelolaan limbah B3. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 17. Dalam ayat (1) disebutkan Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Ayat (2) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan,mengangkut,

mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang. Selanjutnya untuk lebih detilnya pengaturan tentang Pengelolaan Limbah B3 ayat (3) menyebutkan ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian dalam pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup. Mengenai kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut ayat (3) berada pada menteri. Menindak lanjuti Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 yang menyebutkan ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pada tahun 1999 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 mengatur tentang Pengelolaan Limbah B3. Tidak lama setelah lahirnya Peraturan Pemerintah ini guna penyesuaian, pada tahun yang sama dikeluarkannya peraturan pemerintah Nomor 85 tahun 1999. Meningkatnya kegiatan pembangunan di berbagai bidang terutama bidang industri dan perdagangan, cendrung penggunaan bahan berbahaya dan beracun juga bertambah, sementara beberapa peraturan perundang- undangan yang mengatur pengelolaan bahan berbahaya dan beracun sampai saat masih belum cukup memadai terutama untuk mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya dampak yang dapat merusak lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya diperlukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun secara terpadu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Atas beberapa alasan di atas pada tahun 2001 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan beracun menggantikan peraturan pemerintah Nomor 85 Tahun 1999.

12

Adapun Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 diantaranya meliputi: kewajiban para pelaku pengelolaan limbah B3, baik itu penghasil, pengumpul, pengangkut, maupun pengolah/penimbun, klasifikasi limbah B3, Pembentukan Komisi B3, keselamatan dan kesehatan kerja, penanggulangan kecelakaan dan keadaan darurat, pengawasan dan pelaporan, peningkatan kesadaran masyarakat, keterbukaan informasi dan peran masyarakat. Selain itu juga memuat sanksi administratif, ganti rugi dan ketentuan pidana. Dalam rangka pembagian kewenangan pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota. Dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah ini Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/Kota adalah berkaitan dengan urusan pemerintahan bidang linkungan hidup. Dalam Lampiran peraturan pemerintah dimaksud Pada Sub bidang pengendalian dampak lingkungan, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PL-B3) merupakan salah satu kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah kabupaten/Kota. Adapun kewenangan dalam pengelolaan limbah B3 bagi pemerintah Pemerintah kabupaten/Kota meliputi: 1. Izin lokasi Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PL-B3). 2. Izin penyimpanan sementara Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah-B3) di industri atau usaha suatu kegiatan. 3. Izin pengumpulan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah-B3) pada skala Kabupaten /Kota (sumber limbah di Kabupaten /Kota tersebut). 4. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota; 5. Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala kabupaten/kota; 6. Pengawasan penanggulangan kecelakaan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PL-B3) kabupaten /kota; 7. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah-B3) pada skala kabupaten /kota. Dalam rangka pelaksanaan urusan wajib bidang lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan dalam pasal 2 ayat (4) huruf f dan Pasal 7 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Nomor

660.2/2176/SJ perihal Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Daerah memerintahkan Gubernur dan Bupati/Walikota untuk segera menyusun Peraturan Daerah dan
13

melakukan Koordinasi dan konsultasi dengan kementerian yang mempunyai tugas, kewenangan dan tanggung jawab terhadap urusan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Atas dasar hal-hal yang disebutkan di atas kiranya Pememerintahan Kota Banda Aceh perlu untuk menyusun Qanun Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Hal ini dimaksudkan supaya peningkatan kegiatan pembangunan di berbagai bidang terutama bidang industri dan perdagangan, yang mengakibatkan peningkatan jenis, karakteristik dan kategori limbah baan berbahaya dan beracun, tidak memberikan dampaknegatif terhadap lingkungan hidup dan penduduk yang ada di Kota banda Aceh.

14

BAB IV MATERI YANG AKAN DIATUR DALAM QANUN Berdasarkan hasil penelitian, telaahan pustaka, proses diskusi, dan kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan

pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka materi yang perlu diatur dalam Qanun Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Kota Banda Aceh meliputi: Menimbang : dasar Islamis, filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan qanun. Mengingat : peraturan perundang-undangan yang relevan yang menjadi acuan dari pengaturan materi Rancangan Qanun. BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB IV BAB V BAB VII : KETENTUAN UMUM : TUJUAN DAN RUANG LINGKUP : KLASIFIKASI LIMBAH B3 : KEGIATAN PENGELOLAAN : PERIZINAN : PENGAWASAN : PENINGKATAN KESADARAN DAN PERAN SERTA MASYARAKAT BAB VIII BAB IX BAB X BAB XI : KETENTUAN ADMINISTRASI : PENGGANTIAN KERUGIAN : KETENTUAN PIDANA : KETENTUAN PENUTUP

Secara rinci materi yang akan diatur tersebut adalah sebagai berikut: a. Pada bagian ketentuan umum akan diatur tentang defenisi dari berbagai hal yang terdapat dalam substansi qanun pengelolaan limbah B3. b. Pada bagian tujuan dan ruang lingkup akan diatur tentang tujuan dari pengelolaan limbah B3 dan ruang lingkup yang diatur dalam qanun. Ruang lingkup yang akan diatur dalam qanun pengelolaan limbah B3 adalah sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota.

15

c. Pada bagian klasifikasi limbah B3 akan diatur tentang pembagian berbagai sifat limbah B3 dan klasifikasi dari limbah B3 yang dapat atau tidak dapat digunakan. d. Pada bagian kegiatan pengelolaan akan diatur tentang kewajiban dan tanggung jawab Penanggungjawab usaha dan atau kegiatan dalam pengelolaan limbah B3 e. Pada bagian perizinan akan diatur tentang kewajiban bagi penanggungjawab kegiatan dan atau usaha limbah B3 untuk memiliki izin, lembaga yang berwenang mengeluarkan izin, syarat izin, dan jangka waktu izin dikeluarkan. f. Pada bagian pengawasan akan diatur tentang lembaga yang melakukan pengawasan, kegiatan limbah B3 yang perlu diawasi, kewenangan dan kewajiban pengawas, g. Pada bagian peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat akan diatur tentang lembaga yang bertanggungjawab untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, bentuk peningkatan kesadaran masyarakat, hak untuk berperan serta dalam pengelolaan limbah B3 dan cara peran serta masyarakat. h. Pada bagian sanksi administrasi akan diatur tentang mekanisme dan bentuk sanksi yang diberikan kepada penggungjawab usaha dan atau kegiatan yang tidak mematuhi ketentuan yang ada dalam Qanun Pengelolaan limbah B3. i. Pada bagian penggantian kerugian akan diatur tentang kewajiban penanggungjawab usaha dan atau kegiatan limbah B3, untuk memberikan penggantian kerugian kepada masyarakat. yang mengalami kerugian. j. Pada bagian sanksi pidana akan diatur tentang berbagai sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada penggungjawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan tindak pidana bidang pengelolaan limbah B3. k. Pada bagian peralihan akan diatur tentang mulai berlakunya qanun limbah B3 dan perintah penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Banda Aceh.

16

BAB V PENUTUP

Pembuangan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) ke media terbuka di Kota Banda Aceh Penanganan masih belum begitu baik, hal ini ditandai dari adanya tindakantindakan dari pelaku kegiatan atau usaha yang masih melakukan pengelolaan limbah yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila limbah B3 ini tidak ditangani secara serius sejak dini, secara perlahan dampak limbahnya akan mengancam lingkungan, kesehatan bahkan kehidupan penduduk Kota Banda Aceh. Adanya tindakan pengelolaan limbah yang masih kurang baik ini salah satu penyebabnya adalah tidak terkoordinirnya pengawasan dalam pengelolaan limbah B3. Atas dasar hal ini kiranya di Kota Banda Aceh perlu dibentuk suatu Qanun tentang Pengelolaan limbah B3. Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun; pemrakarsa dalam menyusun persiapan pra rancangan qanun terlebih dahulu dapat menyusun naskah akademik/kajianakademik. Bedasarkan ketentuan ini maka Naskah akademik merupakan bagian penting dalam proses pembuatan qanun. Naskah akademik ini berfungsi memberikan gambaran dan penjelasan tentang maksud, tujuan serta hal-hal substansi yang akan diatur dalam draf qanun tersebut. Oleh karena itu, Naskah

akademik ini kiranya dapat menjadi acuan dan landasan bagi penyusunan draft qanun Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun.

17

Anda mungkin juga menyukai