Anda di halaman 1dari 3

Menelisik Hubungan Agama dan Politik dalam Islam Oleh Irsa Wafiatul Qisthi (12820092)

Judul Buku

: Islam dan Politik

Nama Pengarang : John L. Esposito Alih Bahasa Kota, Penerbit Tahun Terbit Halaman : M. Joesoef Souyb : Jakarta, PT Bulan Bintang : 1990 : 346+xxii

Agama dan politik adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini disebabkan adanya sikap dan keyakinan bahwa setiap aktivitas manusia, termasuk politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama. Selain itu, terdapat alasan yang lebih riil jika dilihat dari realitas yang ada, yaitu bahwa siapapun yang berkecimpung dalam dunia politik membutuhkan legitimasi dan agama diyakini sebagai sumber legitimasi yang paling meyakinkan dikarenakan sifat dan sumbernya yang trasendental. Hubungan erat antara agama dan politik juga terbukti dengan fakta bahwa sejumlah pemerintahan di dunia menggunakan agama, tidak terkecuali Islam, untuk memberi legitimasi pada kekuasaan politik. Relasi antara agama, khususnya Islam, dan politik inilah yang menjadi fokus kajian John L. Esposito dalam buku Islam dan Politik. Lewat buku ini, Esposito, seorang akademisi yang khusus meneliti interaksi agama dan politik di Timur Tengah memaparkan sejarah perkembangan Islam dan perluasan kekuasaannya yang dimulai pada abad ketujuh masehi. Selain itu, dia juga membahas pengaruh Islam terhadap keadaan sosio-politik di masa silam, yakni sejak masa kepemimpinan Rasulullah saw hingga kekuasaan khilafah, serta menjelaskan tentang peran Islam masa kini di berbagai negeri (hal. xiv-xv). Tinjauan Esposito mengenai peranan agama pada masa-masa permulaan perkembangan Islam membuktikan bahwa dengan kedudukannya sebagai agama, Islam dapat mempengaruhi dan mengendalikan kekuasaan politik. Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, Islam menjadi motivasi yang kuat bagi kesatuan suku-suku Arab dan memberikan ilham serta pengarahan dalam penaklukan daerah-daerah lain. Pada masa kekhilafahan, yakni masa Khulafaur Rasyidin, dinasti Umayyah, maupun dinasti Abbasiyah, Islam juga menjadi dasar ideologi masyarakat dan negara. Legitimasi dan otoritas penguasa, lembaga-lembaga peradilan, pendidikan, serta sosial, kesemuanya berkaitan dengan syariah dan berakar pada Islam (hal. 41-42).
1

Sementara itu, pemaparan Esposito tentang peran Islam di masa kini mengemukakan peristiwa-peristiwa di akhir abad ke-19 dan menganalisis peran Islam di Timur Tengah pada awal abad ke-20 hingga pertengahan 1980-an. Perlu dicatat bahwa buku Islam dan Politik pertama kali diterbitkan pada tahun 1984 sehingga konteks masa kini dalam buku ini adalah akhir 1970-an sampai pertengahan 1980-an. Rangkaian sejarah yang diuraikan Esposito tersebut, antara lain gerakan pembaharuan Islam, gerakan nasionalisme Islam, serta terbentuknya negara-negara Islam modern dan persoalan-persoalan yang dihadapi para pemuka Islam di masa itu. Dalam pembahasan mengenai gerakan pembaharuan Islam, Esposito membahas kontroversi antara kaum revivalis dengan kaum modernis yang menyebabkan cendekiawan muslim terbagi dua. Gerakan revivalisme menginginkan dan menuntut pelaksanaan ajaran-ajaran al-Quran dan as-Sunnah seperti pada masa Nabi saw (hal. 56). Berbeda dengan pendahulunya itu, gerakan modernisme atau reformasi mempertahankan penyelarasan Islam dengan kondisi masyarakat modern yang telah jauh berubah (hal. 78). Meskipun terdapat perbedaan tujuan maupun ciri-ciri tertentu (hal. 55), kedua gerakan ini sama-sama memberikan pendekatan baru bagi kalangan muslim untuk bangkit dari kondisi mereka yang lemah dan pasrah (hal. 81)pada akhir abad 19 hingga awal abad 20 banyak dari mereka berada di bawah penjajahan Barat. Warisan para pembaharu ini kemudian dikaitkan dengan perkembangan nasionalisme di Arab Timur, Arab Barat, dan anak benua India. Gerakan sekaligus evolusi nasionalisme dalam dunia Islam ini, menurut Esposito, memperlihatkan kekuatan peranan Islam dalam mobilisasi massa dan perubahan sosio-politis. Setelah menderita akibat kekuasaan kolonial yang begitu lama, umat Islam mulai berusaha untuk melawan dominasi politik dan kultural Barat (hal. 130). Usaha-usaha itu diwujudkan dengan melakukan gerakan perlawanan yang kemudian memberikan sumbangan besar bagi gerakan nasionalisme muslim dan kemerdekaannya. Lewat perjuangan dan perjalanan panjang, kemerdekaan nasional akhirnya datang dan dirasakan negara-negara Islam, seperti Mesir, Aljazair, Maroko, Tunisia, dan Pakistan. Setelah memperoleh kemerdekaan, kebanyakan dari negara-negara Islam yang baru muncul masih mengikuti dominasi politik dan militer Barat. Hal ini diperparah dengan keterikatan dan ketergantungan mereka terhadap negara-negara penjajah, utamanya dalam bidang ekonomi. Di sisi lain, kalangan elit modern menganggap Islam tidak lagi relevan dengan kebutuhan-kebutuhan dan tuntutantuntutan politik masyarakat modern (hal. 210). Dari analisis tersebut, Esposito menaksir alasan negara Islam seperti Turki akhirnya memilih untuk mengadopsi sekularisme Barat dalam proses pembentukannya sebagai negara modern. Sementara kebanyakan wilayah Islam lainnya, seperti Mesir, Suriah, Lybia, dan Pakistan memilih untuk melanjutkan sistem yang dibawa kolonial dengan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan penguasa dan rujukan atau sumber legitimasinya, yakni agama Islam itu sendiri (hal. 211).

Kondisi ini jelas-jelas ditentang dan dicemooh pihak-pihak yang menginginkan Islam sebagai dasar asas-asas negara, di antaranya Ikhwan-ulMuslimin dan Jamat-i-Islami. Mereka mengutuk kegagalan negara-negara modern Islam karena berkiblat pada Barat dan tidak menyadari akar identitas dan perkembangan sosio-politiknya yang sesungguhnya berasal dari Islam (hal. 210). Kekecewaan pihak oposisi dan golongan-golongan tertentu akan pemerintah yang mengekor Barat pun dilampiaskan dengan melancarkan aksi kudeta, seperti yang terjadi di Mesir dan Lybia. Kemudian muncul pemimpin-pemimpin yang menggunakan Islam untuk mengukuhkan keabsahan politiknya (hal. 293), seperti Qaddafi di Libya dan Zia Ul-Haq di Pakistan. Sekalipun Islam dijadikan sumber pengesahan kekuasaan dan dasar suatu pemerintahan, namun jika kepemimpinannya sendiri korup dan otoriter tentu ajaran Islam tidak akan terefleksi dengan baik dalam dunia politik. Melalui buku ini, John L. Esposito memberikan simpulan bahwa meskipun telah menjadi negara-negara merdeka, legitimasi politik dari kebanyakan pemerintah Muslim masih jauh dari mantap. Menurutnya, pemerintahan yang dikuasai para ulama gagal memberikan kepuasan politik dan ekonomi bagi masyarakat. Posisi politis ulama cenderung tak tentu dan stabilitas lebih didasarkan pada kekuasaan otoriter dan pasukan, seperti yang terjadi pada rezim pemerintahan Qaddafi dan Zia UlHaq yang telah disebutkan di atas. Selain mengemukakan persoalan yang dihadapi para pemuka Islam di masa itu, Esposito juga menyodorkan rekomendasi bagi pemerintahan Muslim. Dia menyarankan pihak pemerintah untuk terbuka dengan berbagai paham, baik konservatif, fundamentalis, maupun reformis dalam usahanya untuk mencapai keseimbangan antara tuntutan modernisasi dan tradisi Islam (hal. 334). Secara keseluruhan, John L. Esposito menyampaikan paparan, deskripsi, dan analisisnya dengan baik dalam buku Islam dan Politik. Sayangnya, kecemerlangan gagasan penulis tidak ditunjang dengan alih bahasa yang mumpuni oleh penerjemah buku ini. Banyak kalimat yang terkesan diterjemahkan secara parsial sehingga tata bahasanya ganjil dan memunculkan kerancuan dalam menginterpretasikan maksud penulis. Terlepas dari itu, buku ini pantas untuk dijadikan rujukan oleh mereka yang tertarik dengan isu Islam dan politik.

Anda mungkin juga menyukai