Anda di halaman 1dari 4

A.

Diare Akut Akibat Infeksi Pembagian diare akut berdasarkan proses patofisiologi enteric infection, yaitu membagi diare akut atas mekanisme inflamatory, non inflammatory, dan penetrating. Berdasarkan mekanismenya, diare dibedakan menjadi dua, yaitu diare akibat gangguan absorbsi dan diare akibat gangguan sekresi. Menurut lamanya, diare dibedakan menjadi diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari, diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari, dan diare kronik berlangsung lebih dari 14 hari dan berlangsung intermitten (Soebagyo, 2008) Diare akut disebabkan 90% oleh infeksi bakteri dan parasit sedangkan yang lain dapat disebabkan oleh obat-obatan dan bahan-bahan toksik. Diare ditularkan fekal oral. Faktor penentu terjadinya diare akut sangat dipengaruhi oleh faktor pejamu (host), yaitu faktor yang berkaitan dengan kemampuan pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme dan faktor penyebab (agent), yang berkaitan dengan kemampuan mikroorganisme dalam menyerang sistem pertahanan tubuh host. Patogenesis diare yang disebabkan oleh bakteri adalah : Bakteri masuk melalui makanan atau minuman ke lambung sebagian ada yang mati karena asam lambung dan sebagian lolos bakteri yang lolos masuk ke duodenum bakteri berkembang biak (di duodenum) memproduksi enzim mucinase sehingga berhasil mencairkan lapisan lendir dengan menutupi permukaan sel epitel usus bakteri masuk ke dalam membrane bakteri mengeluarkan toksin mengeluarkan CAMP (meningkatkannya), yang berfungsi untuk merangsang sekresi cairan usus dibagian kripta villi & menghambat cairan usus dibagian apikal villi terjadi rangsangan cairan yang berlebihan, volume cairan didalam lumen usus meningkat dinding usus berkontraksi terjadi hiperperistaltik cairan keluar (diare).

Inflamatory diarrhea akibat proses invasi dan cytotoxin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis umumnya adalah keluhan abdominal seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin, secara makroskopis ditemukan lendir dan/ atau darah, secara mikroskopis didapati leukosit polimorfonuklear. Non inflamatory diarrhea kelainan yang ditemukan di usus halus bagian proksimal. Proses diare adalah akibat adanya enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah, yang disebut dengan Watery diarrhea. Keluhan abdominal biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak segera mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit. Mikroorganisme penyebab seperti, V.cholerae, Enterotoxigenic E.coli (ETEC), Salmonella. Penetrating diarrhea lokasi pada bagian distal usus halus. Penyakit ini disebut juga Enteric fever, Chronic Septicemia, dengan gejala klinis demam disertai diare. Pada pemeriksaan tinja secara rutin didapati leukosit mononuclear. Mikroorganisme penyebab biasanya S. thypi, S. parathypi A, B, S. enteritidis, S. cholerasuis, Y. enterocolitidea, dan C. fetus. (Zein, 2004).

Untuk diare akut, patogenesis diare yang disebabkan oleh bakteri dibedakan menjadi dua: bakteri non invasif, yaitu bakteri yang memproduksi toksin yang nantinya toksin tersebut hanya melekat pada mukosa usus halus & tidak merusak mukosa. Bakteri non invasif, memberikan keluhan diare seperti air cucian beras dan disebabkan oleh bakteri enteroinvasif, yaitu diare yang menyebabkan kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi, secara klinis berupa diare bercampur lendir dan darah. Patogenesis diare yang disebabkan oleh virus adalah : Virus masuk melalui makanan & minuman ke tubuh masuk ke sel epitel usus halus terjadi infeksi sel-sel epitel yang rusak digantikan oleh enterosit (tapi belum matang sehingga belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik) villi mengalami atrofi & tidak dapat mengabsorbsi cairan & makanan dengan baik meningkatkan tekanan koloid osmotik usus hiperperistaltik usus cairan& makanan yang tidak terserap terdorong keluar. Manifestasi klinis diare yang disebabkan oleh virus diantaranya adalah : diare akut, demam, nyeri perut, dehidrasi (Setiawan, 2007; Hiswani, 2003)

B. Diagnosis Banding

Diare akut akibat infeksi dapat ditegakkan diagnosis etiologi bila anamnesis, manifetasi klinis, dan pemeriksaan penunjang menyokongnya. Beberapa petunjuk anamnesis yang mungkin dapat membantu diagnosis: 1) bentuk feses; 2) makanan dan minuman 6-24 jam terakhir yang dikonsumsi penderita; 3) adakah orang disekitarnya yang menderita hal serupa; 4) dimana tempat tinggal penderita; serta 5) siapa penderita tersebut (Setiawan, 2007). Beberapa agen infeksi yang dapat menyebabkan diare inflamasi antara lain dari golongan protozoa adalah Entamoeba hystolitica dan dari golongan cacing adalah cacing cambuk.

Entamoeba hystolitica Infeksi terjadi karena tertelannya kista dalam makanan dan minuman yang terkontaminasi tinja. Kista yang tertelan mengeluarkan trofozoit dalam usus besar dan memasuki submukosa (Chandrasoma dan Taylor, 2006).

Penatalaksanaan. Dengan menggunakan mebendazol, albendazol dan oksantel pamoat, infeksi cacing Trichuris dapat diobati dengan hasil yang cukup baik (Margono, 1998)

C. Patogenesis dan Patofisiologi Patogenesis dan patologi. Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa bulan. Amebiasis dapat berlangsung tanpa gejala (asimptomatik). Gejala bervariasi, mulai rasa tidak enak di perut hingga diare. Gejala yang khas adalah sindroma disentri, yakni kumpulan gejala gangguan pencernaan yang meliputi diare berlendir dan berdarah disertai tenesmus.

Diagnosis. Selain menilai gejala dan tanda, diagnosis amebiasis yang akurat membutuhkan pemeriksaan tinja untuk mengidentifikasi bentuk trofozoit dan kista. Metode yang paling disukai adalah teknik konsentrasi dan pembuatan sediaan permanen dengan trichom stain. Untuk screening cukup menggunakan sediaan basah dengan bahan saline dan diwarnai lugol agar terlihat lebih jelas. Selain tinja, spesimen yang dapt diperiksa berasal dari enema, aspirat, dan biopsi (Hemma, 2006).

Reseptor nyeri merupakan ujung saraf bebas, yang terdapat di kulit dan jaringan lain. Rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan, yaitu rangsang nyeri mekanis, suhu, dan kimiawi. Pada umumnya, nyeri cepat diperoleh melalui rangsangan jenis mekanis atau suhu, sedangkan nyeri lambat dapat diperoleh dari ketiganya. Beberapa zat kimia yang merangsang jenis nyeri kimiawi adalah bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam asetilkolin, dan enzim proteolitik. Selain itu, prostaglandin dan substansi P meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut nyeri tetapi tidak secara langsung merangsangnya. Satu zat kimia yang terlihat mengakibatkan rasa nyeri lebih hebat daripada yang lain adalah bradikinin. Intensitas rasa nyeri juga berhubungan erat dengan kecepatan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh pengaruh lain selain panas (diatas 45C), seperti infeksi bakteri, iskemia jaringan, kontusio jaringan, dan lain sebagainya (Guyton dan Hall, 2007).

Penatalaksanaan. Sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan hasil pengobatan. Walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, sebaiknya diobati, karena amoeba yang hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar, sewaktu-waktu dapat menjadi patogen.

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Tinja.

Trichuris trichiura Disebut juga cacing cambuk dan menimbulkan penyakit trikuriasis. Patogenesis dan patologi. terutama hidup di sekum. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum, kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada saat defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu, ternyata cacing ini menghisap darah, sehingga menyebabkan anemia. Pemeriksaan penting dalam tinja ialah terhadap parasit dan telur cacing. Sama pentingnya dalam keadaan tertentu adalah tes terhadap darah samar. Secara makroskopik, warna tinja dapat dipengaruhi oleh jenis makanan, kelainan dalam saluran usus dan oleh obat-obatan yang diberikan. Adanya lendir berarti rangsangan atau radang dinding usus. Jika lendir tersebut berada di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin usus besar; jika bercampur baur dengan tinja mungkin sekali usus kecil. Adanya darah dapat menjadi petunjuk lokasi perdarahan. Makin proksimal terjadinya perdarahan, darah bercampur dengan tinja sehingga makin hitam warnanya. Merah muda biasanya oleh perdarahan yang segar di bagian distal. Pada pemeriksaan mikroskopik, usaha mencari protozoa dan cacing merupakan maksud terpenting (Gandasoebrata, 2007).

Diagnosis. Dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja.

E. Pencegahan dan Penatalaksanaan

menekan pusat makan, sehingga nafsu makan akan berkurang. Sebagai konsekuensi kurangnya asupan nutrisi, maka kondisi pasien lemah.

Penatalaksanaan diare akut karena infeksi terdiri atas: 1) rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan, 2) memberikan terapi simtomatik, dan 3) memberikan terapi definitif. Hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan akurat adalah jenis cairan yang akan digunakan, jumlah, jalan masuknya cairan, serta jadwal pemberian cairan. Pada infeksi saluran cerna pencegahan sangat penting. Hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, dan imunitas melalui vaksinasi memegang peran. Pada pengobatan amebiasis digunakan Metronidazol, Tinidazol, Secnidazole, atau Tetrasiklin (Setiawan, 2007). PEMBAHASAN

Pasien sudah makan obat diapet tetapi belum sembuh. Mekanisme obat antidiare sendiri dibagi menjadi 2, yaitu 1) menghambat peristaltik usus (contohnya obat Imodium) dan 2) absorbent, yaitu menyerap cairan dan toksin (contohnya obat new diatab, diapet). Penggunaan obat jenis absorbent ini malah dapat menghambat ekskresi kuman, sehingga agen infeksius penyebab diare masih tetap berada dalam traktus GIT, sehingga infeksi dapat terus berlangsung.

Pasien BAB sejak 4 hari yang lalu dengan tinja lembek disertai lendir dan darah lebih dari 5x/hari. Frekuensi, rentang waktu, dan konsistensi dari feses telah menunjukkan bahwa pasien tersebut mengalami diare akut. Adanya lendir dan darah menunjukkan adanya peradangan pada traktus gastrointestinal (GIT), terutama usus halus. Diare dengan lendir dan darah ini dapat terjadi pada infeksi E. hystolitica, T. trichiura, cacing tambang, dan A. lumbricoides. Mekanisme peradangan sebagai efek dari infeksi ini dapat menjadi rujukan terjadinya infeksi, karena hal ini juga diperkuat oleh terjadinya keluhan panas. Seperti mekanisme infeksi pada umumnya, panas atau demam ini terjadi akibat adanya rangsangan terhadap metabolisme asam arachidonat, yang berakibat peningkatan PGE2 sehingga bekerja di hipotalamus. Rangsangan terhadap metabolisme asam arachidonat ini dilakukan oleh pirogen endogen (IL-1) sebagai akibat rangsangan oleh pirogen eksogen yang ada pada agen infeksius. Selanjutnya, set point suhu pada hipotalamus menjadi kacau, sehingga tubuh berusaha untuk mencapai set point palsu tersebut dengan mekanisme demam sebagai salah satu usaha termogenesis.

Dari anamnesa, didapatkan pasien adalah keluarga buruh bangunan dan anak tersebut suka bermain tanah dan kadang minum air mentah. Dari keterangan ini, kemungkinan besar keluarga pasien tidak mendapatkan edukasi tentang sanitasi yang baik, sehingga anak tersebut tidak dilarang minum air mentah. Padahal, kebiasaan meminum air mentah mengandung risiko besar tertular penyakit amebiasis dan trichuriasis. Sementara dari kebiasaan anak tersebut bermain tanah, dapat dicurigai anak tersebut menderita askariasis atau ancylostomiasis.

Hasil pemeriksaan fisik. Hipotensi (T=110/90 mmHg) hal ini terjadi karena pasien mungkin mengalami syok akibat dehidrasi. Takikardi (N=120x/menit) terjadi akibat kompensasi tubuh untuk mengatasi keadaan syok. Takipneu (R=24x/menit) juga terjadi akibat mekanisme kompensasi tubuh seperti halnya takikardi. Suhu tubuh meningkat (39,2C), hal ini terjadi akibat mekanisme demam yang sudah dijelaskan sebelumnya. Hiperperistaltik terjadi akibat adanya gangguan motilitas usus. Nyeri tekan regio kanan bawah menjadi salah satu dasar diagnosis banding dengan apendisitis akut. Namun, karena nyeri tekan lepas titik McBurney (-), maka hal ini dapat menggugurkan dugaan adanya apendisitis. Infeksi Ascaris lumbricoides juga mempunyai manifestasi klinis apendisitis, karena itu hasil tersebut dapat menggugurkan diagnosis ascariasis.

Sakit perut yang dialami pasien adalah salah satu manifestasi akibat adanya iritasi mukosa GIT. Adanya infeksi mengakibatkan rilis mediator proinflamasi, diantaranya bradikinin, serotonin, dan histamin (terutama bradikinin) yang kemudian merangsang ujung bebas dari reseptor nyeri dan menimbulkan rasa nyeri perut. Mual muntah juga menjadi indikasi adanya peradangan mukosa GIT, yang akibat impuls iritatif berupa mual yang disampaikan ke pusat muntah di batang otak ini kemudian terjadi respon berupa gerakan muntah yang kemudian disampaikan ke diafragma dan otot abdomen. Penderita tidak mau makan dan minum, hal ini mungkin dapat disebabkan karena rilis serotonin yang menekan pusat lapar di area hipotalamus lateral, tepatnya di nukleus dorsomedial dan arkuata di bagian posterior. Sebab lain yang mungkin adalah traktus GIT yang teregang akibat kontriksi sebagai akibat rilis mediator proinflamasi. Sinyal inhibisi yang teregang akan dihantarkan, terutama melalui nervus vagus untuk

Dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium darah dan tinja untuk melihat kemungkinan agent penyebabnya. Pada diagnosis berbagai jenis infeksi parasit, gold standard dari pemeriksaan penyakit tersebut adalah menemukan parasit atau telurnya dalam pemeriksaan tinja atau darah. Apabila telah didapatkan hasil pemeriksaan darah dan tinja, maka baru dapat ditarik diagnosis pasti dari penyakit infeksi parasit tersebut.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan sementara yang telah dilakukan, pasien menderita infeksi ameba (amebiasis). Namun diagnosis pasti belum dapat ditegakkan selama belum ditemukannya parasit dalam tinja atau darah (dalam hal ini tinja) sebagai Gold Standard pemeriksaan infeksi parasit. B. SARAN

Sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan darah dan tinja agar dapat ditemukan adanya telur atau parasit dalam stadium tertentu sebagai gold standard pemeriksaan parasit. Sebaiknya tingkat sanitasi dari keluarga pasien lebih ditingkatkan, hal ini dapat dibantu oleh petugas kesehatan setempat dalam mengingatkan pentingnya kebersihan lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai