Anda di halaman 1dari 47

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Hidrologi dan Daerah Aliran Sungai
2.1.1. Siklus Hidrologi
Dalam pendefinisian DAS pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat
diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya
didistribusikan melalui beberapa cara seperti diperlihatkan pada Gambar 2.1.















Gambar 2.1. Siklus Hidrologi
Sumber : www.lablink.or.id
Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke
bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi.
Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi
tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai
presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan
gerimis atau kabut.
Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali
ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai
tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga
cara yang berbeda :
1. Evaporasi/transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb.
kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan.
Pada keadaan jenuh, uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang
selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.

2. Infiltrasi/Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-
celah dan pori-pori tanah serta batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak
akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah
permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
3. Air Permukaan - Air bergerak di atas permukaan tanah dekat dengan aliran utama
dan danau, makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran
permukaan semakin besar. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk
sungai utama yang membawa seluruh air permukaan di sekitar daerah aliran sungai
menuju laut.
Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk,
rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk
sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam
komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai
(DAS).
2.1.2. Definisi Daerah Aliran Sungai
Konsep dasar aliran sungai atau sering disingkat dengan DAS merupakan dasar
dari semua perencanaan hidrologi, mengingat DAS yang besar pada dasarnya tersusun
dari DAS-DAS kecil, dan DAS kecil ini juga tersusun dari DAS-DAS yang lebih kecil
lagi. Menurut UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, definisi daerah aliran
sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air
yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang
masih terpengaruh aktivitas daratan. Sedangkan menurut Suripin (2002:183) DAS dapat
didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung
bukit-bukit atau gunung, maupun batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air
hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (Suripin,
2002:183). Pada Gambar 2.2 berikut ini diperlihatkan sebuah Daerah Aliran Sungai
(DAS) pada umumnya.















Gambar 2.2. Gambaran sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sumber : Suripin, 2002:185
Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem,
dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara
dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan
energi.
2.1.3. Ekosistem Daerah Aliran Sungai
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen
yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Daerah aliran sungai
dapatlah dipandang sebagai suatu ekosistem dimana terdapat keterkaitan baik secara
langsung ataupun tidak langsung antara komponen-komponen penyusun DAS.
Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses
yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran
(output) dari ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah
curah hujan, sedangkan keluarannya terdiri dari debit air dan muatan sedimen.
Komponen-komponen DAS yang berupa vegetasi, tanah dan saluran/sungai dalam hal
ini bertindak sebagai prosessor. Pada Gambar 2.3 menunjukkan proses yang
berlangsung dalam suatu ekosistem DAS. Curah hujan, jenis tanah, kemiringan lereng,
vegetasi, dan aktivitas manusia mempunyai peranan penting untuk berlangsungnya
proses erosi-sedimentasi.

INPUT = CURAH HUJAN
VEGETASI TANAH SUNGAI
MANUSIA
IPTEK
OUTPUT = DEBIT, MUATAN SEDIMEN
DAS = Prosesor

Gambar 2.3. Fungsi ekosistem DAS
Sumber : Asdak, 2002:18
Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu,
tengah dan hilir. Dengan perkataan lain ekosistem DAS bagian hulu mempunyai fungsi
perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Secara umum fungsi ketiga bagian tersebut
akan dijelaskan sebagai berikut :
a) DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain
dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air,
kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Setiap terjadinya kegiatan di
DAS bagian hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk
perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem
aliran airnya. Oleh sebab itu DAS bagian hulu seringkali menjadi fokus perhatian
dalam pengelolaan suatu DAS.
b) DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola
untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara
lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air,
dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti
pengelolaan sungai, waduk, dan danau.
c) DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola
untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang
diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air,
ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta
pengelolaan air limbah.



2.2. Analisa Hidrologi
2.2.1. Uji Homogenitas Data
Sebelum dilakukan perhitungan dan analisis perlu dipastikan tentang keandalan
data. Untuk itu dilakukan pengujian-pengujian secara statistik untuk memastikan
ketepatannya agar hasil perhitungan itu dapat digunakan untuk proses lebih lanjut.
Pengujian statistik lebih ditujukan untuk menguji parameter-parameternya,
antara lain dapat dilakukan dengan membandingkan rerata, variansi, kovariansi, korelasi
dan sebagainya. Sedangkan pada pengujian suatu fungsi, diuji keandalan parameter-
parameter yang membentuk fungsi tersebut.
Hipotesa yang dirumuskan dengan harapan untuk ditolak disebut hipotesa nol
atau dinyatakan dengan Ho. Penolakan Ho mengakibatkan penerimaan hipotesa
alternatif yaitu H
1
. Salah satu uji homogenitas data yang biasa digunakan antara lain
adalah uji T.
Uji T
Uji T termasuk jenis uji untuk sampel kecil. Sampel kecil adalah dimana ukuran
sampel n < 30. Untuk mengetaui apakah 2 sampel x
1
dan x
2
berasal dari populasi yang
sama, maka dihitung t
score
dengan rumus :
(2-1)

(2-2)

dengan :
= rerata dari sampel x
1

= rerata dari sampel x
2

s
1
= simpangan baku dari sampel x
1

s
2
= simpangan baku dari sampel x
2

N
1
= ukuran dari sampel x
1

N
2
= ukuran dari sampel x
2

Hipotesa :
H
0
: sampel x
1
dan x
2
berasal dari populasi yang sama
H
1
: sampel x
1
dan x
2
tidak berasal dari populasi yang sama
2 1
2 1
1 1
.
] [
N N
x x
t
+

=
o
2
). 1 ( ).. 1 (
2 1
2
2 2
2
1 1
+
+
=
N N
s N s N
o
1
x
2
x

Harga t
tabel
dicari pada tabel distribusi student's untuk derajat bebas =N
1
+N
2
-
2 dan = (Level of Significance) misal 5%. Apabila t
score
< t
tabel
, maka H
0
diterima, dan
jika sebaliknya maka H
0
ditolak.
2.2.2. Curah Hujan Rerata Daerah
Untuk mendapatkan gambaran mengenai penyebaran hujan di seluruh daerah, di
beberapa tempat tersebar pada DAS dipasang alat penakar hujan. Pada daerah aliran
yang kecil kemungkinan hujan terjadi merata diseluruh daerah, tetapi tidak pada daerah
aliran yang besar. Hujan yang terjadi pada daerah aliran yang besar tidak sama,
sedangkan pos-pos penakar hujan hanya mencatat hujan di suatu titik tertentu sehingga
akan sulit untuk menentukan berapa hujan yang turun di seluruh areal.
Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan
air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah
yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut
curah hujan wilayah atau curah hujan daerah yang dinyatakan dalam satuan millimeter
(Sosrodarsono, 2003:27).
Terdapat tiga macam cara yang berbeda dalam menentukan tinggi curah hujan
rata-rata pada daerah tertentu di beberapa titik pos penakar atau pencatat hujan, yaitu :
1. Metode rata-rata aljabar
Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai nilai rata-rata
hitung (arithmetic mean) pengukuran hujan di pos penakar-penakar hujan di daerah
tersebut. Curah hujan rerata daerah metode rata-rata aljabar dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut (Soemarto, 1999:10) :

=
=
+ + + +
=
n
i
i n
n
d
n
d d d d
d
1
3 2 1
...
(2-3)
dengan :
d = tinggi curah hujan rata-rata daerah
d
1
,d
2
,d
n
= tinggi curah hujan pada pos penakar 1,2,n
n = banyaknya pos penakar
2. Metode poligon Thiessen
Cara ini digunakan jika titik-titik pengamatan di dalam daerah tersebut tidak
tersebar merata. Cara ini berdasarkan rata-rata timbang (weighted average). Masing-
masing penakar mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan
garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung di antara dua buah pos
penakar.
v
o

Curah hujan rerata daerah metode poligon Thiessen dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut (Soemarto, 1999:11) :

= =
= =
+ + +
+ + +
=
n
l i
i i
n
l i i
i i
n
n n
A
d A
A
d A
A A A
d A d A d A
d
...
...
2 1
2 2 1 1
(2-4)
dengan :
A = luas areal
d = tinggi curah hujan rata-rata areal
d
1
,d
2
,d
n
= tinggi curah hujan di pos 1,2,n
A
1
, A
2
, A
3
,A
n
= luas daerah pengaruh pos 1, 2, 3, , n









Gambar 2.4. Metode Poligon Thiessen
Sumber : Soemarto, 1999:10
3. Metode garis isohyet
Dengan cara ini, maka harus digambar dulu kontur dengan tinggi hujan yang
sama (isohyet), seperti pada gambar 2.5 berikut.









Gambar 2.5. Metode garis Isohyet
Sumber : Soemarto, 1999:11
Kemudian luas bagian di antara isohyet-isohyet yang berdekatan diukur, dan
nilai rata-ratanya dihitung sebagai nilai rata-rata timbang hitung nilai kontur, sebagai
berikut :
n
n
n n
A A A
A
d d
A
d d
A
d d
d
+ + +
+
+ +
+
+
+
=

...
2
...
2 2
2 1
1
2
2 1
1
1 0
(2-5)

dengan :
A = luas areal total
d = tinggi hujan rata-rata areal
d
0
, d
1
, d
n
= curah hujan pada isohyet 0,1,2, ,n
A
1
, A
2
, A
3
,A
n
= luas bagian areal yang dibatasi oleh isohyet-isohyet yang
bersangkutan
Menurut Suyono Sosrodarsono (2003:51), pada umumnya untuk menentukan
metode curah hujan daerah yang sesuai adalah dengan menggunakan standar luas
daerah, sebagai berikut :
1. Daerah tinjauan dengan luas 250 ha dengan variasi topografi kecil, dapat diwakili
oleh sebuah alat ukur curah hujan.
2. Untuk daerah tinjauan dengan luas 250-50.000 ha yang memiliki dua atau tiga titik
pengamatan dapat menggunakan metode rata-rata aljabar.
3. Untuk daerah tinjauan dengan luas 120.000-500.000 ha yang mempunyai titik-titik
pengamatan tersebar cukup merata dan di mana curah hujannya tidak terlalu
dipengaruhi oleh kondisi topografi, dapat digunakan cara rata-rata aljabar. Jika titik-
titik pengamatan itu tidak tersebar merata maka digunakan cara poligon Thiessen.
4. Untuk daerah tinjauan dengan luas lebih dari 500.000 ha dapat digunakan cara
isohyet atau metode potongan antara (inter-section method).

2.3. Erosi
Erosi tanah adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan
tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Suripin, 2002:11).
Sedangkan menurut Arsyad (2000:30) erosi adalah peristiwa pindahnya atau
terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh
media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat
terkikis dan terangkut kemudian diendapkan pada suatu tempat lain.
2.3.1. Proses Terjadinya Erosi dan Penyebabnya
Menurut Utomo (1994:19), proses erosi bermula dengan terjadinya
penghancuran agregat-agregat tanah sebagai akibat pukulan air hujan yang mempunyai
energi lebih besar daripada daya tahan tanah. Hancuran tanah ini akan menyumbat pori-
pori tanah, maka kapasitas infiltrasi tanah akan menurun dan mengakibatkan air
mengalir di permukaan tanah dan disebut sebagai limpasan permukaan. Limpasan
permukaan mempunyai energi untuk mengikis dan mengangkut partikel-partikel tanah

yang telah dihancurkan. Selanjutnya jika tenaga limpasan permukaan sudah tidak
mampu lagi mengangkut bahan-bahan hancuran tersebut, maka bahan-bahan ini akan
diendapkan. Dengan demikian ada tiga proses yang bekerja secara berurutan dalam
proses erosi yaitu diawali dengan penghancuran agregat-agregat, pengangkutan dan
diakhiri dengan pengendapan.
Erosi terjadi melalui proses penghancuran atau pengikisan, pengangkutan dan
pengendapan. Dengan demikian intensitas erosi ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi ketiga proses tersebut. Secara garis besar faktor-faktor yang
mempengaruhi besarnya laju erosi adalah :
a. Iklim
Pengaruh iklim terhadap erosi dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Pengaruh
langsung adalah melalui tenaga kinetis air hujan, terutama intensitas dan diameter
butiran air hujan. Pada hujan yang intensif dan berlangsung dalam waktu pendek,
erosi yang terjadi biasanya lebih besar daripada hujan dengan intensitas lebih kecil
dengan waktu berlangsungnya hujan lebih lama. Pengaruh iklim tidak langsung
ditentukan melalui pengaruhnya terhadap pertumbuhan vegetasi. Dengan kondisi
iklim yang sesuai (fluktuasi suhu kecil dengan curah hujan merata), vegetasi dapat
tumbuh secara optimal (Asdak, 2002:351). Di daerah yang beriklim basah faktor
iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Besar, intensitas, dan distribusi hujan
menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah, dan kecepatan aliran
permukaan dan kerusakan erosi. Hujan memainkan peranan dalam erosi tanah
melalui tenaga pengelepasan dari pukulan butir-butir hujan pada permukaan tanah
dan sebagian melalui kontribusinya terhadap aliran (Arsyad, 2000:72).
b. Tanah
Dalam menentukan laju erosi, ketahanan tanah memainkan fungsi ganda, meliputi
ketahanan tanah terhadap daya rusak dari luar (baik oleh pukulan air hujan maupun
limpasan permukaan), dan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan (Rahim,
2003:33). Menurut Asdak (2002:351), empat sifat tanah yang penting dalam
menentukan erodibilitas tanah (mudah-tidaknya tanah tererosi) adalah :
Tekstur tanah berkaitan dengan ukuran dan porsi partikel-partikel tanah dan
akan membentuk tipe tanah tertentu. Tiga unsur utama tanah adalah pasir (sand),
debu (silt), dan liat (clay). Tanah dengan unsur dominan liat, ikatan antar
partikel tanah tergolong kuat dan dengan demikian tidak mudah tererosi. Untuk
tanah dengan unsur dominan pasir (tanah dengan tekstur kasar), kemungkinan

untuk terjadinya erosi pada jenis tanah ini adalah rendah karena laju infiltrasi di
tempat ini besar sehingga menurunkan laju air larian. Pada tanah dengan unsur
utama debu dan pasir lembut serta sedikit unsur organik, memberikan
kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya erosi.
Unsur organik, terdiri atas limbah tanaman dan hewan sebagai hasil proses
dekomposisi. Unsur organik cenderung memperbaiki struktur tanah dan bersifat
meningkatkan permeabilitas tanah, kapasitas tampung air tanah, kesuburan
tanah. Kumpulan unsur organik di atas permukaan tanah dapat menghambat
kecepatan air larian, dan dengan demikian menurunkan potensi terjadinya erosi.
Struktur tanah, adalah susunan partikel-partikel tanah yang membentuk agregat.
Struktur tanah mempengaruhi kemampuan tanah dalam menyerap air tanah.
Misalnya, struktur tanah granuler dan lepas mempunyai kemampuan besar
dalam meloloskan air larian, sehingga menurunkan laju air larian dan memacu
pertumbuhan tanaman.
Permeabilitas tanah, menunjukkan kemampuan tanah dalam meloloskan air.
Struktur dan tekstur tanah serta unsur organik lainnya ikut ambil bagian dalam
menentukan permeabilitas tanah. Tanah dengan permabilitas tinggi menaikkan
laju infiltrasi, sehingga menurunkan laju air larian.
c. Topografi
Faktor topografi umumnya dinyatakan dalam kemiringan dan panjang lereng. Secara
umum erosi akan meningkat dengan meningkatnya kemiringan dan panjang lereng.
Kombinasi kedua variabel lereng ini menyebabkan laju erosi tanah tidak sekedar
proporsional dengan kemiringan lereng tetapi meningkat secara drastis dengan
meningkatnya panjang lereng. Kecepatan air larian yang besar, umumnya ditentukan
oleh kemiringan lereng yang tidak terputus dan panjang, serta terkonsentrasi pada
saluran-saluran sempit yang mempunyai potensi besar untuk terjadinya erosi alur
dan erosi parit. Kedudukan lereng juga menentukan besar kecilnya erosi. Lereng
bagian bawah lebih mudah tererosi daripada lereng bagian atas karena momentum
air larian lebih besar dan kecepatan air larian, lebih terkonsentrasi ketika mencapai
lereng bagian bawah.
d. Vegetasi
Vegetasi mempunyai pengaruh yang bersifat melawan terhadap faktor-faktor lain
yang erosif seperti hujan, topografi, dan karakteristik tanah. Vegetasi atau tanaman
memiliki pengaruh terhadap erosi antara lain :

Melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan kecepatan
terminal tanah dan memperkecil diameter air hujan)
Menurunkan kecepatan dan volume air larian
Menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem penakaran dan
seresah yang dihasilkan
Mempertahankan kemantapan kapsitas tanah dalam menyerap air.
Efektifitas tanaman penutup dalam mengurangi erosi tergantung pada ketinggian
dan kontinuitas penutupan, kerapatan penutup tanah dan kerapatan perakaran
(Suripin, 2002:59).
e. Kegiatan manusia
Kegiatan manusia dikenal sebagai salah satu faktor paling penting terhadap
terjadinya erosi tanah yang cepat dan intensif. Kegiatan tersebut kebanyakan
berkaitan dengan perubahan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi,
misalnya perubahan penutup tanah akibat penggundulan hutan untuk pemukiman,
lahan pertanian, atau gembalaan. Kegiatan-kegiatan manusia di muka bumi sering
mengganggu keseimbangan antara regenerasi (pembentukan) tanah dan laju erosi
tanah. Oleh karena itu, faktor kegiatan manusia memegang peranan penting
terutama dalam usaha-usaha pencegahan erosi, sebab manusia dapat mempengaruhi
faktor-faktor penyebab erosi lainnya, kecuali iklim.
2.3.2. Bentuk-bentuk Erosi
Erosi berdasarkan proses terjadinya dibedakan menjadi erosi normal dan erosi
dipercepat (Arsyad, 2000:30). Erosi normal disebut juga erosi geologi atau erosi alami
merupakan proses pengikisan kulit bumi yang terjadi secara alamiah. Erosi ini tidak
berbahaya karena kecepatan kehilangan tanahnya lebih kecil atau sama dengan proses
pembentukan tanah. Erosi dipercepat adalah proses pengikisan kulit bumi yang
kecepatan kehilangan tanahnya sudah melebihi kecepatan proses pembentukan tanah.
Hal ini terutama disebabkan oleh kesalahan dalam pengolahan tanah.
Beberapa bentuk erosi yang sering dijumpai antara lain :
a) Erosi lembar (sheet erosion)
Erosi lembar (sheet erosion) atau biasa juga disebut erosi antar alur adalah
pengangkutan lapisan tanah yang merata tebalnya dari suatu permukaan bidang
tanah. Kekuatan jatuh butir-butir hujan dan aliran air di permukaan tanah merupakan
penyebab utama erosi ini.


b) Erosi Percikan (splash erosion)
Erosi percikan (splash erosion) adalah proses terkelupasnya partikel-partikel tanah
bagian atas oleh tenaga kinetik air hujan bebas atau sebagai air lolos. Tenaga kinetik
tersebut ditentukan oleh dua hal, yaitu massa dan kecepatan jatuhan air. Tenaga
kinetik bertambah besar dengan bertambah besarnya diameter air hujan dan jarak
antara ujung daun penetes (driptips) dan permukaan tanah (pada proses erosi
dibawah tegakan vegetasi). Oleh karena itu air lolos dari vegetasi dengan ujung
penetes lebar memberikan tenaga kinetik yang besar dan dengan demikian,
meningkatkan kecepatan air lolos sampai ke permukaan tanah. Arah dan jarak
terkelupasnya partikel-partikel tanah ditentukan oleh kemiringan lereng, kecepatan,
arah angin, keadaan kekasaran permukaan tanah, dan penutup tanah. Pada tanah
berlereng, loncatan partikel tanah tersebut lebih banyak ke arah tempat yang lebih
rendah, hal ini disebabkan karena sudut datang energi kinetik air hujan akan
mendorong partikel-partikel tanah tersebut ke tempat yang lebih rendah. Apabila air
hujan jatuh di atas tumbuhan bawah, energi kinetik air hujan tersebut akan tertahan
oleh penutup tanah, dan dengan demikian, menurunkan jumlah pertikel tanah yang
terkelupas.
c) Erosi Permukaan
Tebal aliran air pada permukaan tanah tidak pernah merata. Oleh karena itu
kemampuan untuk mengikis tanah juga tidak sama pada semua tempat. Daya rusak
limpasan permukaan terutama dipengaruhi oleh kecepatan aliran. Pada kecepatan
yang rendah dan aliran tenang, limpasan permukaan tidak menyebabkan erosi.
Setelah mencapai nilai kecepatan tertentu, limpasan permukaan mampu mengerosi
tanah yakni apabila energi limpasan permukaan lebih besar dari ketahanan tanah.
Nilai kecepatan ini disebut ambang kecepatan (threshold velocity). Nilai ambang
kecepatan dipengaruhi oleh ukuran partikel tanah. Pada partikel tanah berukuran
besar, nilai ambang kecepatan bertambah besar dengan meningkatnya ukuran
partikel, tetapi pada partikel yang berukuran < 0,5 mm, nilai ambang kecepatan
meningkat dengan makin kecilnya ukuran partikel tanah. Hal ini disebabkan karena
adanya daya kohesi dari partikel tanah.
d) Erosi Alur (riil erosion)
Erosi alur (rill erosion) adalah pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan
partikel-partikel tanah oleh aliran air larian yang terkonsentrasi di dalam saluran-
saluran air. Hal ini terjadi ketika air larian masuk ke dalam cekungan permukaan

tanah, kecepatan air larian meningkat, dan akhirnya terjadilah transpor sedimen.
Tipe erosi alur dapat umumnya dijumpai pada lahan-lahan garapan dan dibedakan
dari erosi kulit (gully erosion) dalam hal erosi alur dapat diatasi dengan cara
pengerjaan atau pencangkulan tanah. Menurut Rose (1988) dalam Asdak (2002:341)
menegaskan bahwa tipe erosi ini terbentuk oleh tanah yang kehilangan daya
pertikel-partikel tanah sejalan dengan meningkatnya kelembaban tanah di tempat
tersebut. Kelembaban tanah yang berlebih pada gilirannya akan menyebabkan tanah
longsor. Bersamaan dengan longsornya tanah, kecepatan air larian meningkat dan
terkonsentrasi di tempat tersebut. Air larian ini mengangkut sedimen hasil erosi, dan
dari sini, menandai awal dari pembentukan erosi parit.
e) Erosi Selokan atau Erosi Parit (gully erosion).
Erosi parit (gully erosion) membentuk jajaran parit yang lebih dalam dan lebar dan
merupakan tingkat lanjutan dari erosi alur. Pada kondisi tertentu, terutama oleh
perubahan-perubahan geologis atau karena pengaruh aktivitas manusia, proses
pembentukan erosi parit tidak pernah sampai pada tahap lanjutan.
f) Tanah longsor (land slide)
Longsor (land slide) adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan
tanahnya terjadi pada suatu saat dalam volume yang besar. Berbeda dengan erosi
lainnya, pada longsor pengangkutan tanah terjadi sekaligus. Longsor akan terjadi
jika memenuhi tiga keadaan yaitu :
Lereng yang cukup curam sehingga volume tanah dapat bergerak atau meluncur
ke bawah.
Terdapat lapisan dibawah permukaan tanah yang agak kedap air dan lunak yang
akan merupakan bidang luncur.
Terdapat cukup air dalam tanah sehingga lapisan tanah tepat diatas lapisan
kedap air tadi menjadi jenuh.
g) Erosi massa (Mass Wasting)
Proses ini terjadi dengan cara sejumlah tanah secara bersama-sama berpindah
terangkut oleh air yang terkumpul. Erosi terjadi karena adanya pengumpulan air
pada lapisan tanah atas, yang berada di atas lapisan tidak tembus air. Karena lapisan
tanah atas telah jenuh air, sedang lapisan di bawahnya tidak dapat menyerap air,
maka gaya geser melebihi kekuatan geser tanah sehingga massa tanah lapisan atas
tersebut secara bersama-sama bergerak. Proses erosi massa terutama terjadi pada
lahan miring yang kedalaman efektifnya dangkal.

h) Erosi tebing sungai (streambank erosion)
Merupakan pengikisan tanah pada tebing-tebing sungai dan penggerusan dasar
sungai oleh aliran air sungai. Dua proses berlangsungnya erosi tebing sungai adalah
oleh adanya gerusan aliran sungai dan oleh adanya longsoran tanah pada tebing
sungai. Proses yang pertama berkolerasi dengan kecepatan aliran sungai. Semakin
cepat laju aliran sungai (debit puncak atau debit banjir) semakin besar kemungkinan
terjadinya erosi tebing. Erosi tebing sungai dalam bentuk gerusan dapat berubah
menjadi tanah longsor ketika permukaan sungai surut (meningkatkan gaya tarik ke
bawah) sementara pada saat bersamaan tanah tebing sungai telah jenuh. Dengan
demikian, longsoran tebing sungai terjadi setelah debit aliran besar berakhir atau
surut. Erosi tebing sungai dipengaruhi, antara lain oleh kecepatan aliran, kondisi
vegetasi di sepanjang tebing sungai, kegiatan bercocok tanam di pinggir sungai,
kedalaman dan lebar sungai, bentuk alur sungai, dan tekstur tanah.
2.3.3. Dampak Umum Terjadinya Erosi
Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk
pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan
menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan diendapkan di dalam sungai, waduk,
danau, saluran irigasi, diatas tanah pertanian, dan sebagainya. Secara rinci dampak erosi
disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Dampak Erosi Tanah
Bentuk Dampak Dampak di Tempat
Kejadian Erosi
Dampak di Luar
Tempat Kejadian
Langsung Kehilangan lapisan tanah yang baik
bagi berjangkarnya akar tanaman
Kehilangan unsur hara dan kerusakan
struktur tanah
Peningkatan penggunaan energi
untuk produksi
Kemerosotan produktivitas tanah atau
bahkan menjadi tidak dapat
dipergunakan untuk berproduksi
Kerusakan bangunan konservasi dan
bangunan lainnya
Pemiskinan petani penggarap/pemilik
tanah
Pelumpuran dan pendangkalan
waduk, sungai, saluran, dan
badan air lainnya
Timbulnya lahan pertanian, jalan
dan bangunan lainnya
Menghilangnya mata air dan
memburuknya kualitas air
Kerusakan ekosistem perairan
(tempat bertelur ikan, terumbu
karang, dsb)
Kehilangan nyawa dan harta oleh
banjir
Meningkatnya frekuensi dan
masa kekeringan
Tidak Langsung Timbulnya dorongan/tekanan untuk
membuka lahan baru
Timbulnya dorongan/tekanan untuk
membuka lahan baru
Timbulnya keperluan akan perbaikan
lahan dan bangunan yang rusak
Kerugian oleh memendeknya
umur waduk
Meningkatnya frekuensi dan
besarnya banjir
Sumber : Arsyad, 2000:4

2.3.4. Pendugaan Laju Erosi
Untuk memperkirakan besarnya laju erosi dalam studi ini menggunakan metode
USLE (Universal Soil Loss Equation) atau PUKT (Persamaan umum Kehilangan
Tanah). USLE memungkinkan prediksi laju erosi rata-rata lahan tertentu pada suatu
kemiringan dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam jenis tanah dan penerapan
pengelolaan lahan. USLE dirancang untuk memprediksi erosi jangka panjang dari erosi
lembar (sheet erosion) dan erosi alur dibawah kondisi tertentu. Persamaan tersebut
dapat juga untuk memprediksi erosi pada lahan-lahan non pertanian tetapi tidak dapat
untuk memprediksi pengendapan dan tidak memperhitungkan hasil sedimen dari erosi
parit, tebing sungai dan dasar sungai (Suripin, 2002:69).
Persamaan USLE adalah sebagai berikut :
A = R x K x L x S x C x P (2-6)
dengan :
A = Banyaknya tanah tererosi per satuan luas per satuan waktu, yang dinyatakan
sesuai dengan satuan K dan periode R yang dipilih, dalam praktek dipakai
satuan ton/ha/thn.
R = Faktor erosivitas hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks
erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dan
intensitas hujan maksimum 30 menit (I
30
), satuan dalam KJ/ha.
K = Faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk
suatu tanah yang diperoleh dari petak percobaan yang panjangnya 22,13 m
dengan kemiringan seragam sebesar 9% tanpa tanaman, satuan ton/KJ.
LS = Faktor panjang dan kemiringan lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi per
indeks erosi dari suatu lahan dengan panjang dan kemiringan lahan tertentu
terhadap besarnya erosi dari plot lahan dengan panjang 22,13 m dan
kemiringan 9%, dibawah keadaan yang identik, tidak berdimensi.
C = Faktor tanaman penutup laha dan manajemen tanaman, yaitu nisbah antara
besarnya erosi dari suatu lahan dengan penutup tanaman dan manajemen
tanaman tertentu terhadap lahan yang identik dengan tanaman, tidak
berdimensi.
P = Faktor tindakan konservasi praktis, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari
suatu lahan dengan tindakan konservasi praktis dengan besarnya erosi dari
tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan yang identik, tidak
berdimensi.

Hasil akhir laju erosi (A) dalam studi ini selain dalam satuan ton/ha/thn, juga
akan ditampilkan dalam mm per tahun, dengan catatan:
mm/tahun
10 x tanah me berat volu
ton/ha/th
=
Berat volume tanah berkisar antara 0,8 sampai 1,6 gr/cc akan tetapi pada
umumnya tanah-tanah berkadar liat tinggi mempunyai berat volume antara 1,0 sampai
1,2 gr/cc (diambil berat volume tanah 1,2 gr/cc).
2.3.4.1. Indeks Erosivitas (R)
Erosivitas merupakan kemampuan hujan dalam mengikis lapisan permukaan
tanah sehingga menimbulkan erosi. Menurut Asdak (2002:357), erosivitas hujan adalah
tenaga pendorong yang menyebabkan terkelupasnya dan terangkutnya partikel-partikel
tanah ke tempat yang lebih rendah. Erosivitas hujan sebagian terjadi karena pengaruh
jatuhan butir-butir hujan langsung di atas tanah dan sebagian lagi karena aliran air di
atas permukaan tanah. Kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi adalah
bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan, dimana keduanya mempengaruhi
besarnya energi kinetik hujan. Sehingga dapat dikatakan bahwa erosivitas hujan sangat
berkaitan dengan energi kinetis dan momentum, yaitu parameter yang berasosiasi
dengan laju curah hujan atau volume hujan. Untuk menghitung indeks erosivitas
membutuhkan data curah hujan yang diperoleh dari stasiun pencatatan hujan.
Indeks erosivitas hujan (R) didefinisikan sebagai jumlah satuan indeks erosi
hujan dalam setahun. Nilai R yang merupakan daya rusak hujan, dapat ditentukan
dengan persamaan sebagai berikut :

=
=
n
i
EI R
1
30
(2-7)
Sedangkan Bols (1978) dalam Suripin (2002:72) berdasarkan penelitiannya di Pulau
Jawa dan Madura mendapatkan persamaan sebagai berikut :
526 , 0
max
474 . 0 211 , 1
30
. . 119 , 6 P N P EI
b

= (2-8)
dengan :
EI
30
= Indeks erosi hujan bulanan (KJ/ha)
P
b
= Curah hujan bulanan (cm)
N = Jumlah hari hujan per bulan
P
max
= Hujan maksimum harian (24 jam) dalam bulan yang bersangkutan (cm)
EI
30
tahunan adalah jumlah EI
30
bulanan sesuai dengan Persamaan 2-7.


2.3.4.2. Indeks Erodibilitas (K)
Erodibilitas adalah kepekaan suatu tanah untuk mengalami peristiwa erosi.
Suatu hujan dengan intensitas tertentu terjadi pada beberapa jenis tanah akan
mendapatkan indeks erodibilitas tanah yang tertentu pula. Apabila suatu jenis tanah
mempunyai nilai K (faktor erodibilitas) yang tinggi maka semakin tinggi pula
kemungkinan untuk tererosi.
Faktor erodibilitas tanah (K) menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap
pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh adanya energi kinetik
air hujan. Besarnya erodibilitas atau resistensi tanah juga ditentukan oleh karakteristik
tanah seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah, kapasitas infiltrasi, serta kandungan
organik dan kimia tanah. Karakteristik tanah tersebut bersifat dinamis, selalu berubah
oleh karena itu karakteristik tanah dapat berubah seiring dengan perubahan waktu dan
tata guna lahan atau sistem pertanaman. Perubahan erodibilitas tanah yang signifikan
berlangsung ketika terjadi hujan karena pada waktu tersebut partikel-partikel tanah
mengalami perubahan orientasi dan karakteristik bahan kimia dan fisik tanah. Peranan
tekstur tanah terhadap besar-kecilnya erodibilitas tanah adalah besar. Tanah dengan
partikel agregat besar resistensinya terhadap daya angkut air larian juga besar karena
diperlukan energi cukup besar untuk mengangkut partikel-partikel tanah tersebut.
Sedangkan tanah dengan partikel agregat halus resisten terhadap pengelupasan karena
sifat kohesi tanah tersebut juga besar (Asdak, 2002:360).
Penentuan besarnya indeks erodibilitas dapat menggunakan metode :
1. Wishmeir et al, 1971 (Utomo, 1994 : 50) mengembangkan nomograf erodibilitas
nilai K berdasarkan atas kepekaan tanah terhadap erosi dipengaruhi oleh tekstur
tanah (terutama kadar debu + pasir halus), bahan organik, struktur dan permeabilitas
tanah. Struktur tanah yang diamati di lapangan berdasarkan bentuk dan ukurannya,
selanjutnya dibedakan menjadi 4 kelas (Tabel 2.10). Sifat tanah yang lain, dalam hal
ini prosentase debu, prosentase pasir halus, prosentase (%) pasir kasar, kandungan
bahan-bahan organik dan permeabilitas ditentukan di laboratorium. Selanjutnya,
permeabilitas digolongkan menjadi 6 kelas seperti pada Tabel 2.11. Maka
pendugaan besarnya nilai indeks erodibilitas tanah dapat menggunakan data-data
tersebut dengan nomograf Wishmeir seperti pada Gambar 2.6.
2. Metode lainnya adalah dengan menggunakan pendugaan nilai erodibilitas dengan
tabel nilai erodibilitas berdasarkan jenis tanah. Nilai erodibilitas yang diperoleh

pada tabel berdasarkan penelitian terhadap berbagai jenis tanah di daerah Jawa
seperti tertera pada Tabel 2.12.
















Gambar 2.6. Nomograf untuk menentukan nilai erodibilitas (K)
Sumber : Asdak, 2002 : 363
Tabel 2.2. Klasifikasi struktur yang menggunakan Nomograf
Kelas Keterangan
1
2
3
4
Granuler sangat halus
Granuler halus
Granuler sedang kasar
Masif kubus, lempeng
Sumber : Utomo, 1994 : 50

Tabel 2.3. Klasifikasi permeabilitas untuk menggunakan Nomograf
Kelas Keterangan Permeabilitas (cm/jam)
1
2
3
4
5
6
Cepat
Agak cepat
Sedang
Agak lambat
Lambat
Sangat lambat
>12.5
6.25 12.5
2.00 6.25
0.50 2.00
0.125 0.50
< 0.125
Sumber : Utomo, 1994 : 51
Tabel 2.4. Perkiraan besarnya nilai K pada beberapa tanah di Jawa
Tanah Nilai K Sumber
Regosol, Jatiluhur 0.23 0.31 Ambar
Litosol, Jatiluhur 0.16 0.29 Dan Syarifudin, 1979
Latosol Merah, Jatiluhur 0.12
Latosol Merah Kuning 0.26 0.31
Latosol Coklat 0.31
Grumosol, Jatiluhur 0.21
Glay Humic, Jatiluhur 0.2
Hiromorf Kelabu 0.2
Mediteran, Yogyakarta 0.26 Kurnia dan Suwarjo

Litosol, Yogyakarta 0.19 1977
Grumosol, Yogyakarta 0.24 0.31
Mediteran, Caruban 0.21 0.32 Bols, 1979
Grumosol, Caruban 0.26 PSLH Unibraw, 1984
Andosol, Batu 0.08 0.10
Andosol, Pujon 0.04 0.10
Kambisol, Pujon 0.12 0.16
Mediteran, Ngantang 0.20 0.30
Litosol, Malang Selatan 0.26 0.30
Regosol, Malang Selatan 0.16 0.28
Kambisol, Malang Selatan 0.17 0.30
Mediteran, Dampit 0.21 0.30
Latosol, Malang Selatan 0.14 0.20
Sumber : Utomo, 1994 : 54
2.3.4.3. Faktor Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S)
Kemiringan suatu lereng dapat dinyatakan dalam satuan derajat atau persen (%),
lereng dinyatakan mempunyai kemiringan 10 % jika perbandingan panjang kaki dan
tinggi adalah 10 : 100. Jadi suatu lereng dengan kemiringan 100 % (panjang kaki dan
tinggi berarti sama) berarti sama dengan kemiringan 45 derajat.
Kemiringan mempengaruhi kecepatan dan volume limpasan permukaan. Pada
dasarnya makin curam suatu lereng, jadi persentase kemiringan makin tinggi, makin
cepat laju limpasan permukaan. Lebih lanjut dengan semakin singkatnya waktu untuk
infiltrasi, volume limpasan permukaan juga semakin besar. Jadi dengan meningkatnya
persentase kemiringan, erosi akan semakin besar (Utomo, 1994:53).
Panjang lereng mempengaruhi energi untuk erosi, terutama karena panjang
lereng mempengaruhi volume limpasan permukaan yang lebih besar sehingga
kemampuan untuk mengerosi tanah juga lebih besar.
Dalam pendugaan erosi faktor lereng dihitung berdasarkan persamaan sebagai
berikut (Utomo, 1994:147) :
) ) . 0139 , 0 ( ) . 0975 , 0 ( 136 , 0 ).( 100 / (
2
S S L LS + + = (2-9)
dimana:
LS = faktor panjang dan kemiringan lereng
L = panjang lereng (m)
S = kemiringan lereng (%)
Perhitungan nilai faktor panjang dan kemiringan lereng juga dapat menggunakan
cara Eyles dimana jika besarnya panjang dan kemiringan lereng telah diketahui, maka
nilai faktor panjang lereng dan nilai faktor kemiringan lereng dapat diestimasi dengan
menggunakan tabel berikut (Anonim, 1998:49) :

Tabel 2.5. Nilai faktor panjang lereng dan klas drainase
Klas Drainase Rata-rata Panjang Lereng (m) Nilai L
A
B
C
D
50
75
150
300
1,5
1,8
2,7
3,7
Sumber : Anonim, 1998 : 49
Tabel 2.6. Nilai faktor kemiringan lereng (S)
Klas Lereng Kemiringan (%) Rata-rata Nilai S
I
II
III
IV
V
VI
0 3
3 8
8 15
15 25
25 40
40 - 65
0,1
0,5
1,4
3,1
6,1
11,9
Sumber : Anonim, 1998 : 50
2.3.4.4 Faktor Tanaman (C)
Faktor tanaman (C) ialah perbandingan antara besarnya erosi dari lahan yang
ditanami suatu jenis tanaman terhadap besarnya erosi tanah yang tidak ditanami dan
diolah bersih (Arsyad, 2000:254). Kemampuan tanaman untuk menutup tanah, sehingga
menghambat laju erosi, akan mempengaruhi besar kecilnya nilai C.
Dari berbagai hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah, Bogor terhadap beberapa
daerah di Jawa, nilai faktor C untuk berbagai tanaman dan pengelolaan tanaman dapat
dilihat pada Tabel 2.7 sebagai perkiraan. Pada penelitian ini, pengelolaan tanaman,
pemilihan bibit, pengolahan tanah, waktu tanam, dan pemeliharaan semuanya sesuai
anjuran Dinas Pertanian.
Tabel 2.7. Nilai faktor C untuk berbagai jenis tanaman dan pengelolaan tanaman
Jenis tanaman/tataguna lahan Nilai C
Tanaman rumput (Brachiaria sp.)
Tanaman kacang jogo
Tanaman Gandum
Tanaman ubi kayu
Tanaman kedelai
Tanaman serai wangi
Tanaman padi lahan kering
Tanaman padi lahan basah
Tanaman jagung
Tanaman jahe, cabe
Tanaman kentang ditanam searah lereng
Tanaman kentang ditanam searah kontur
Pola tanam tumpang gilir (jagung+padi+ubi kayu setelah panen ditanami kacang
tanah) + mulsa jerami (6ton/ha/th)
Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman
Pola tanam berurutan (padi-jagung-kacang tanah)
Pola tanam tumpang gilir + mulsa sisa tanaman
Kebun campuran
Ladang berpindah
0,290
0,161
0,242
0,363
0,399
0,434
0,560
0,010
0,637
0,900
1,000
0,350

0,079
0,347
0,398
0,357
0,200
0,400

Tanah kosong diolah
Tanah kosong tidak diolah
Hutan tidak terganggu
Semak tidak terganggu
Alang-alang permanen
Alang-alang dibakar
Sengon disertai semak
Sengon tidak disertai semak dan tanpa seresah
Pohon tanpa semak
Tegalan tidak dispesifikasi
Kacang tanah
Tebu
Pisang
Rumput bede (tahun pertama)
Rumput bede (tahun kedua)
Kopi dengan penutup tanah buruk
Talas
Kebun campuran : - kerapatan tinggi
- keraatan sedang
- kerapatan rendah
Hutan alam serasah kurang
Hutan produksi : - tebang habis
- tebang pilih
Semak belukar/padang rumput
Ubi kayu + kedelai
Ubi kayu + kacang tanah
Padi sorghum
Padi kedelai
Kacang tanah + gude
Kacang tanah + kacang tunggak
Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha
Padi + mulsa jerami 4 ton/ha
Kacang tanah + mulsa jagung 4 ton/ha
Kacang tanah + mulsa Crotalaria 3 ton/ha
1,000
0,950
0,001
0,010
0,020
0,700
0,012
1,000
0,320
0,700
0,200
0,200
0,600
0,287
0,002
0,200
0,850
0,100
0,200
0,500
0,005
0,500
0,200
0,300
0,181
0,195
0,345
0,417
0,495
0,571
0,049
0,096
0,128
0,136
Sumber : Asdak, 2002 : 373 dan Arsyad, 2000:258
2.3.4.5 Faktor Pengolahan Tanah (P)
Faktor P ialah perbandingan antara besarnya erosi dari lahan dengan suatu
tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi pada lahan yang diolah tanpa
tindakan konservasi, dengan catatan faktor-faktor penyebab erosi yang lain diasumsikan
tidak berubah. Tingkat erosi yang terjadi sebagai akibat pengaruh aktivitas pengelolaan
dan konservasi tanah (P) bervariasi, terutama tergantung pada kemiringan lereng
(Asdak, 2002:374).
Praktek bercocok tanam yang kondusif terhadap penurunan kecepatan limpasan
permukaan dan yang memberikan kecenderungan bagi limpasan permukaan untuk
mengalir langsung ke tempat yang lebih rendah dapat memperkecil nilai P. Di ladang
pertanian, besarnya harga faktor P menunjukkan jenis aktivitas pengolahan tanah
(pencangkulan dan persiapan tanah lainnya). Beberapa nilai P untuk berbagai tindakan
konservasi disajikan dalam Tabel 2.8 berikut ini :


Tabel 2.8. Nilai faktor P pada berbagai aktivitas konservasi tanah di Jawa
(Abdurachman dkk., 1984)
Teknik Konservasi Tanah Nilai P
1. Teras bangku :
a. Konstruksi baik
b. Konstruksi sedang
c. Konstruksi kurang baik
d. Teras Tradisional
2. Strip tanaman rumput Bahia
3. Pengolahan tanah dan penanaman menurut garis kontur :
a. kemiringan 0-8 %
b. kemiringan 9-20 %
c. kemiringan >20 %
4. Tanpa tindakan konservasi

0,04
0,15
0,35
0,40
0,40

0,50
0,75
0,90
1,00
Sumber : Arsyad, 2000 : 259
Penilaian faktor P di lapangan lebih mudah digabungkan dengan faktor C karena
dalam kenyataannya, kedua faktor tersebut berkaitan erat. Beberapa nilai faktor CP
yang telah berhasil ditentukan berdasarkan penelitian di Pulau Jawa adalah seperti
tersebut pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9. Perkiraan nilai faktor CP berbagai jenis penggunaan lahan di Jawa
No. Konservasi dan Pengelolaan Tanaman Nilai CP
1. Lahan tanpa tanaman
1,000
2. Hutan :
a. Tak terganggu
b. Tanpa tanaman bawah
c. Tanpa tanaman bawah dan serasah

0,001
0,030
0,500
3. Semak :
a. Tak terganggu
b. Sebagian berumput

0,010
0,100
4. Kebun :
a. Campuran asli
b. Kebun
c. Pekarangan

0,020
0,070
0,200
5. Perkebunan :
a. Penutupan tanah sempurna
b. Penutupan tanah sebagian

0,010
0,070
6. Perumputan :
a. Penutupan tanah sebagian, ditumbuhi alang-alang
b. Pembakaran alang-alang setahun sekali
c. Serai wangi (Citronella grass)
d. Savanna dan padangrumput
e. Rumput Brochioria

0,020
0,060
0,650
0,010
0,002
7. Perladangan :
a. 1 tahun tanam, 1 tahun bero
b. 1 tahun tanam, 2 tahun bero

0,280
0,190
8. Tanaman pertanian :
a. umbi-umbian
b. bebijian
c. kacang-kacangan
d. tembakau
e. kapas, tembakau
f. campuran
g. padi irigasi


0,630
0,510
0,360
0,580
0,500
0,430
0,020


9. Pertanian dengan konservasi :
a. Mulsa jerami
b. Mulsa kacang tanah
c. Strip
d. Strip Crotalaria
e. Teras bangku
f. Teras guludan (contour cropping)

0,06 0,20
0,20 0,40
0,10 0,30
0,64
0,040
0,140
Sumber : Utomo, 1994:151 dan Asdak, 2002:376
2.3.5. Tingkat Bahaya Erosi
Evaluasi potensi erosi dapat dilakukan pada semua tingkat pengamatan yaitu
makro, meso, dan mikro. Pengamatan tingkat makro adalah evaluasi potensi erosi
regional, pengamatan tingkat meso adalah evaluasi potensi erosi lokal, dan pengamatan
tingkat mikro merupakan evaluasi lapangan setempat. Dari berbagai penelitian dapat
disimpulkan bahwa potensi erosi di tingkat makro (nasional) terutama disebabkan oleh
iklim, sedangkan di tingkat meso (DAS, sub DAS, propinsi, kabupaten, kecamatan)
potensi erosi disebabkan oleh faktor manifestasi iklim, topografi dan tanah (Arsyad,
2000:274).
Perkiraan erosi tahunan rata-rata dan solum (kedalaman) tanah dipertimbangkan
untuk menentukan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) untuk setiap satuan lahan. Kelas
Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dapat ditentukan dari tabel berikut :
Tabel 2.10. Kelas Tingkat Bahaya Erosi
Solum Tanah
Kelas Erosi
I II III IV V
Erosi (ton/ha/tahun)
< 15 15 60 60 180 180 480 > 480
Dalam
( > 90 )
SR
0
R
I
S
II
B
III
SB
IV
Sedang
( 60 90 )
R
I
S
II
B
III
SB
IV
SB
IV
Dangkal
( 30 60 )
S
II
B
III
SB
IV
SB
IV
SB
IV
Sangat Dangkal
( < 30 )
B
III
SB
IV
SB
IV
SB
IV
SB
IV
Sumber : Anonim, 1998:58
Keterangan : 0 - SR = Sangat Ringan
I R = Ringan
II S = Sedang
III B = Berat
IV SB = Sangat Berat
2.3.6. Tingkat Kekritisan Lahan
Dalam menentukan tingkat kekritisan lahan, dapat dilihat dari Tingkat Bahaya
Erosi (TBE) yang terjadi. Dalam studi ini kekritisan lahan dikelompokkan menjadi 4
(empat) dengan kriteria sebagai berikut :
1. Potensial Kritis

Tanah yang bebas dari erosi (masih tertutup vegetasi), atau erosi ringan, tetapi
apabila kegiatan konservasi tidak dilaksanakan dan tanah dibiarkan terbuka maka
erosi dapat terjadi. Tanah umumnya mempunyai solum yang tebal dengan ktebalan
horizon A > 15 cm. Persentase tutupan tanah (vegetasi permanen) cukup rapat
(>75%), lereng dan kesuburan tanah bervariasi. Ciri-ciri lain adalah :
a. Tanah masih mempunyai fungsi produksi, hidrologi, hidroorologi cukup baik,
tetapi bahaya untuk menjadi kitis sangat besar bila tanah tersebut dibuka atau
tidak dikelola dengan usaha konservasi.
b. Tanah masih tertutup vegetasi, tetapi karena kondisi topografi atau keadaan
lereng yang curam (>45%), sangat tertoreh dan kondisi tanah yang mudah
longsor, maka bila vegetasi dibuka akan terjadi erosi berat.
c. Tanah karena keadaan topografi dan bahan induknya, bila terbuka atau
vegetasinya rusak akan cepat menjadi rusak karena erosi atau longsor, misalnya
tanah berbahan induk batuan sedimen, bahan vulkanik atau bahan kapur lunak.
d. Tanah yang produktivitasnya masih baik, tetapi penggunaannya tidak sesuai
dengan kemampuannya dan belum dilakukan usaha konservai, misalnya hutan
yang baru dibuka.
2. Semi Kritis
Tanah semi kritis mempunyai ciri-ciri antara lain :
a. Tanah telah mengalami erosi ringan sampai sedang, antara lain erosi permukaan
(sheet erosion) dan erosi alur (riil erosion), tetapi produktivitasnya rendah,
karena tingkat kesuburannya rendah.
b. Tanah masih subur tetapi tingkat bahaya erosi tinggi sehingga fungsi hidrologi
telah menurun. Bila tidak ada usaha perbaikan maka dalam waktu relatif singkat
akan menjadi kritis.
c. Tebal solum sedang (60-90 cm) dengan ketebalan horizon A umumnya < 15 cm.
d. Persentase vegetasi permanen (penutup lahan) 50-75 %, vegetasi dominan
biasanya alang-alang, rumput, semak belukar dan hutan jarang.
3. Kritis
Tanah kritis mempunyai ciri-ciri antara lain :
a. Tanah telah mengalami erosi berat, tingkat erosi umumnya adalah erosi parit
(gully erosion).
b. Tebal solum sedang-dangkal (< 60 cm) dengan ketebalan horizon A < 5 cm.
c. Persentase vegetasi permanen (penutup lahan) 25-50 %.

d. Kemiringan lereng 15 sampai > 30 %
e. Kesuburan tanah rendah.
4. Sangat Kritis
Tanah sangat kritis mempunyai ciri-ciri antara lain :
a. Tanah telah mengalami erosi berat, selain erosi parit (gully erosion) juga banyak
dijumpai tanah longsor (landslide/slumping), tanah merayap (land creeping)
dengan dinding longsoran sangat terjal.
b. Solum tanah sangat dangkal (< 30 cm) atau tanpa horizon A, dan/atau tinggal
bahan induk, sebagian horizon B telah tererosi.
c. Persentase vegetasi permanen (penutup lahan) sangat rendah (<25 %) bahkan
beberapa tempat tertentu gundul/tandus.
d. Kemiringan lereng umumnya > 45 %,tetapi banyak juga tanah kritis yang
mempunyai kemiringan lereng < 30 %.

2.4. Konservasi Tanah
Konservasi tanah adalah upaya mempertahankan, merehabilitasi dan
meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan peruntukkannya (Anonim, 1998:5).
Dalam hal ini bahwa konservasi tanah tidak berarti penundaan pemanfaatan tanah, tetapi
menyesuaikan macam penggunaanya dengan sifat-sifat atau kemampuan tanah dan
memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan.
Dalam melakukan konservasi tanah dapat dilakukan salah satu strategi
pendekatan konservasi tanah yang diterapkan oleh Departemen Kehutanan (dalam hal
ini Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai). Kegiatan konservasi tanah ini merupakan
bagian dari program yang lebih luas yaitu program penyelamatan hutan, tanah, dan air
yang mempunyai sasaran antara lain : memperbaiki fungsi hidrologi DAS,
meningkatkan produktivitas sumber daya alam, meningkatkan kesadaran masyarakat
pemakai lahan terhadap prinsip-prinsip konservasi tanah dan air, serta meningkatkan
kualitas lingkungan hidup.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, kegiatan konservasi tersebut dijabarkan
menjadi Rencana Teknik Lapangan (RTL) Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
(RLKT) DAS atau Sub DAS. Pola RLKT merupakan suatu rencana jangka panjang (25
tahun) yang memuat arahan umum tentang (Asdak, 2002:414) :
1. Penggunaan pemanfaatan lahan sesuai kemampuannya.
2. Metode atau teknik RLKT untuk setiap kawasan penggunaan lahan.

3. Urutan prioritas penanganan DAS atau Sub DAS sesuai dengan tingkat
kekritisannya.
2.4.1. Klasifikasi Kemampuan Lahan
Langkah pertama yang harus ditempuh dalam perencanaan konservasi tanah
adalah melakukan inventarisasi dan klasifikasi lahan untuk pemanfaatan lahan yang
paling optimal. Klasifikasi kemampuan lahan atau kesesuaian lahan ditujukan untuk
mengetahui kemampuan tanah berdasarkan sifat-sifat dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Faktor-faktor lingkungan
yang berpengaruh misalnya lereng, erosi, iklim, banjir dan sebagainya. Salah satu
sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan adalah sistem Kemampuan
Penggunaan Lahan (KPL) yang bersumber dari Klingebiel and Montgomery, 1961
(Anonim, 1998:98).
Sistem Kemampuan Penggunaan Lahan (KPL) merupakan sistem evaluasi lahan
yang digunakan untuk tujuan konservasi tanah dan pengelolaan DAS. Sistem ini
mempertimbangkan kesesuaian lahan dalam menunjang pemanfaatan pertanian secara
luas (misalnya budidaya tanaman pertanian, padang rumput, wanatani, hutan produksi,
hutan lindung).
Pada dasarnya sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan pada banyak
negara dewasa ini adalah dikembangkan dari sistem USDA. USDA telah
mengembangkan sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan di
negara-negara agraris, termasuk Indonesia, yaitu (Utomo, 1994:75):
a. Divisi
Pembagian lahan menjadi divisi berdasarkan pada mampu tidaknya suatu lahan
untuk diusahakan menjadi lahan pertanian. Ada 2 divisi lahan, yaitu divisi (1) untuk
lahan yang dapat diusahakan menjadi lahan pertanian dan divisi (2) untuk lahan yang
tidak dapat dijadikan sebagai lahan pertanian.
b. Kelas
Kelas merupakan klasifikasi kemampuan tanah yang lebih detail dari pada
divisi. Penggolongan dalam kelas berdasarkan pada intensitas faktor pembatas yang
tidak dapat diubah, yaitu kelerengan lahan, tekstur tanah, kedalaman efektif, kondisi
drainase tanah, dan tingkat erosi yang terjadi.
Lahan dikelompokkan ke dalam kelas I sampai VIII. Ancaman kerusakan dan
besarnya faktor penghambat meningkat seiring dengan bertambahnya kelas kemampuan
lahan. Tanah kelas I-IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan

kelas V-VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian. Walaupun dipaksakan untuk usaha
pertanian, dikhawatirkan akan mendapatkan hasil yang tidak optimal, membutuhkan
biaya yang sangat tinggi, maupun dapat merusak kondisi lahan.
Tabel 2.11. Deskripsi Kelas Kemampuan Lahan
Kelas Deskripsi
Lahan yang cocok untuk pertanian dan pemakaian lainnya
Kelas I Lahan kelas ini merupakan lahan serbaguna (biasanya berupa sawah irigasi dengan
tanaman padi sedikitnya 2 kali panen setahun), tanahnya dalam (>90 cm), drainase baik,
tidak terpengaruh kekeringan, hara cukup tersedia, dan responsif terhadap pemakaian
pupuk. Lereng kurang dari 4% serta tidak terancam banjir dan erosi.
Kelas II Lahan kelas ini mempunyai pembatas fisik ringan jika digarap untuk tanaman pertanian
tanpa teras dan biasanya berupa sawah irigasi dimana ketersediaan air secara normal
memungkinkan sedikitnya 2 kali panen setahun, rentan terhadap pengendapan dan erosi,
kedalaman tanah sedang (60-90 cm), dan bertekstur halus sampai agak kasar. Iklim yang
kurang menguntungkan bersifat ringan; bulan kering sampai dengan 5 bulan berturut-
turut dengan curah hujan < 100 mm/bln, dan 7-9 bulan basah dengan curah hujan > 200
mm/bln.
Kelas III Lahan yang tergolong kelas III memiliki keterbatasan yang agak banyak dibanding kelas
II, rentan terhadap pengendapan dan erosi, kesuburan alami rendah, kedalaman tanah
dangkal sampai sedang (30-60 cm). Iklim yang kurang menguntungkan bersifat sedang;
bulan kering sampai dengan 6 bulan berturut-turut dengan curah hujan < 100 mm/bln,
dan 5-6 bulan basah dengan curah hujan > 200 mm/bln. Sesuai untuk segala bentuk
usaha tani, agroforestry, dan padang rumput serta hutan produksi.
Kelas IV Lahan pada kelas ini mempunyai pembatas fisik berat dengan kesuburan alami rendah,
kedalaman tanah sangat dangkal sampai dangkal (15-30 cm). Iklim yang kurang
menguntungkan tinggi; bulan kering sampai dengan 5 bulan berturut-turut dengan curah
hujan < 100 mm/bln, dan 3-4 bulan basah dengan curah hujan > 200 mm/bln. Sering
terjadi pada ketinggian 750 m dpl. Sesuai untuk budidaya tanaman pertanian umum,
agroforestry, dan padang rumput serta hutan produksi.
Lahan yang penggunaannya terbatas biasanya tidak cocok untuk usaha pertanian
Kelas V Lahan kelas V memiliki kedalaman tanah sangat dangkal (< 15 cm) dan atau terdapat
banyak batu pada seluruh profil. Pembatas iklim ringan untuk padang rumput dan hutan
produksi dengan 6-7 bulan kering berturut-turut (curah hujan < 100 mm/bln) dan 3-5
bulan basah (curah hujan > 200 mm/bln). Lahan ini sesuai untuk padang rumput,
agroforestry, hutan, dan juga sesuai untuk budidaya tanaman pertanian umum jika teras
bangku dapat dibuat.
Kelas VI Lahan kelas VI adalah lahan dengan kemiringan lereng duram sampai sangat curam (35-
65%), kedalaman tanah sangat dangkal (10-15 cm) pada lahan datar atau sedikit miring,
banyak batu-batu terdapat di seluruh profil, kesuburan alami rendah. Pembatas iklim
sedang dimana bulan kering berlangsung selama 3 bulan berturut-turut dengan curah
hujan < 100 mm/bln dan bulan basah 2 bulan berturut-turut (curah hujan > 200 mm/bln).
Paling sesuai untuk agroforestry, hutan produksi, atau padang rumput.
Kelas VII Lahan kelas VII biasanya terletak pada kemiringan yang sangat curam sampai terjal (45-
85%), kedalaman tanah amat sangat dangkal (<10 cm) dan batu-batu banyak sekali,
kesuburan alami sangat rendah, pembatas iklim berat untuk padang rumput dan hutan
produksi dengan bulan kering 4-7 bulan berturut-turut dengan curah hujan < 100 mm/bln
serta bulan basah sampai dengan 2 bulan (curah hujan >200 mm/bln). Lebih sesuai untuk
hutan, padang rumput, dan agroforestry pola kayu/rumput.
Kelas VIII Lahan kelas VIII mempunyai pembatas fisik yang sangat berat seperti lereng yang terjal
(lebih 85%), kondisi tanah amat sangat buruk, sering mengalami banjir yang
merusakkan, drainase sangat jelek sehingga rumput tidak bisa tumbuh. Kelas ini lebih
sesuai untuk dijadikan hutan lindung atau suaka alam (perlindungan DAS).
Sumber : Fletcher & Gibb, 1990:44



KELAS
KEMAMPUAN
LAHAN

INTENSITAS DAN MACAM PENGGUNAAN MENINGKAT
C
A
G
A
R

A
L
A
M

H
U
T
A
N

P
R
O
D
U
K
S
I

T
E
R
B
A
T
A
S

P
E
N
G
G
E
M
B
A
L
A
A
N

T
E
R
B
A
T
A
S

P
E
N
G
G
E
M
B
A
L
A
A
N

S
E
D
A
N
G

P
E
N
G
G
E
M
B
A
L
A
A
N

I
N
T
E
N
S
I
F

P
E
R
T
A
N
I
A
N

T
E
R
B
A
T
A
S

P
E
R
T
A
N
I
A
N

S
E
D
A
N
G

P
E
R
T
A
N
I
A
N

I
N
T
E
N
S
I
F

P
E
R
T
A
N
I
A
N

S
A
N
G
A
T

I
N
T
E
N
S
I
F


H
A
M
B
A
T
A
N
/
A
N
C
A
M
A
N

M
E
N
I
N
G
K
A
T
I

II

III

IV


P
I
L
I
H
A
N

P
E
N
G
G
U
N
A
A
N

B
E
R
K
U
R
A
N
G
V

VI

VII

VIII

Gambar 2.7. Skema Hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan
Intensitas dan Macam Penggunaan Tanah (Hardjowigeno, 1995)
c. Subkelas
Subkelas adalah pembagian lebih lanjut dari kelas berdasarkan jenis faktor
penghambat dominan, yaitu bahaya erosi (e), genangan air (w), penghambat terhadap
perakaran tanaman (s) dan iklim (c). Jenis-jenis faktor penghambat ditulis di belakang
angka kelas, misalnya IIIe artinya lahan kelas III yang mempunyai tingkat erosi tinggi.
Subkelas erosi terdapat pada lahan yang masalah utama yaitu terjadinya erosi. Ancaman
erosi dapat berasal dari kecuraman lereng dan kepekaan erosi tanah.
d. Satuan Pengelolaan
Kemampuan lahan dalam tingkat satuan pengelolaan memberi keterangan yang
lebih spesifik tentang cara pengelolaan lahan tersebut. Dalam klasifikasi kemampuan
satuan pengelolaan lahan diberi simbol dengan menambahkan angka-angka Arab di
belakang simbol subkelas, yang menunjukkan besarnya tingkat faktor penghambat.
Misalnya IIIe
3
menunjukkan lahan kelas III dengan faktor penghambat erosi sedang
.

Faktor-faktor klasifikasi pada tingkat kelas adalah faktor pembatas yang bersifat
permanen dan digolongkan berdasarkan besarnya intensitas faktor penghambat sebagai
berikut (Utomo, 1994:76) :
1. Lereng
Di Indonesia, pengelompokan kemiringan dijadikan 7 kelas (sesuai dengan
sistem USDA), yaitu:
l
o
: Datar (0 3%)

Sumber : Utomo WH, 1994:77
l
1
: landai / berombak (3 8%)
l
2
: agak miring/bergelombang (8 15%)
l
3
: miring berbukit (15 30%)
l
4
: agak curam (30 45%)
l
5
: curam (45 65%)
l
6
: sangat curam (> 65%)
2. Tekstur
Yang dimaksud dengan tekstur disini adalah tekstur tanah atas. Kelas tekstur
yang digunakan adalah 12 kelas tekstur USDA yang dikelompokkan menjadi 5
kelompok, yaitu:
t
1
: Halus; termasuk dalam kelompok ini adalah liat dan liat berdebu.
t
2
: Agak Halus; yaitu liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung
liat berpasir.
t
3
: Sedang; yaitu debu, lempung berdebu, lempung.
t
4
: Agak kasar; yaitu lempung berpasir.
t
5
: Kasar; yaitu pasir berlempung dan pasir
Tekstur tanah dapat diketahui berdasarkan jenis tanah seperti pada Tabel 2.12.
Tabel 2.12. Tekstur tanah berdasarkan jenis tanah
No Jenis Tanah Tekstur Tanah
1.
2.
3.
4.
5.
Latosol
Andosol
Regosol (Grumusol)
Aluvial
Glei humus
Halus (kandungan liat >60%)
Sedang
Halus (kandungan liat>30%)
Halus kasar
Halus
Sumber: Hardjowigeno, 1993
3. Permeabilitas
Permeabilitas adalah kemampuan tanah untuk melakukan air dan udara. Secara
kuantitatif yang dimaksud permeabilitas adalah aliran air pada tanah jenuh per satuan
waktu pada gradien hidraulik tertentu. Pada umumnya kelas permeabilitas yang dipakai
adalah sistem USDA, dengan sedikit modifikasi untuk masing-masing negara.
Tabel 2.13. Kelas Permeabilitas menurut sistem USDA, Indonesia dan Philipina
Tingkat Permeabilitas (cm
per jam)
USDA Filipina Indonesia
< 0.125
0.125 0.5
0.5 2.0
2.0 6.25
6.25 12.5
12.5 25.0
> 25.0
Sangat lambat
Lambat
Agak Lambat
Sedang
Agak cepat
Cepat
Sangat cepat
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

1

2

3
4

Lambat (p
1
)
Agak lambat (p
2
)
Sedang (p
3
)
Agak cepat (p
4
)
Cepat (p
5
)

Catatan: Untuk Indonesia, P
1
(<0.5), dan P
5
(>12.5)

4. Kedalaman Efektif
Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah sampai sejauh mana tanah dapat
ditumbuhi akar, menyimpan cukup air dan hara. Jadi pada umumnya kedalaman efektif
dibatasi adanya kerikil dan bahan induk atau lapisan keras yang lain sehingga tidak lagi
dapat ditembus akar tanaman.
Dalam sistem USDA, dikenal 4 kelas kedalaman efektif (yang juga dipakai di
Indonesia), yaitu (Utomo, 1994:78):
k
o
(1) : Dalam, > 90 cm (93 cm)
k
1
(2) : Sedang, 50 90 cm (50 93 cm)
k
2
(3) : Dangkal, 25 50 cm (25 50 cm)
k
3
(4) : Sangat Dangkal (< 25 cm)
5. Drainase
Drainase menggambarkan tata air pada suatu daerah. Keadaan drainase dilihat
dari warna profil tanah, ada 5 kelas drainase, yaitu:
d
o
: Baik ; tanah mempunyai peredaran udara yang baik. Seluruh profil tanah dari atas
sampai lapisan bawah berwarna terang seragam, tidak terdapat bercak-bercak.
d
1
: Agak baik; tanah mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak
berwarna kuning, coklat atau kelabu pada lapisan atas dan bagian lapisan bawah.
d
2
: Agak buruk; lapisan tanah atas mempunyai peredaran udara baik, jadi pada lapisan
ini tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, kelabu atau coklat. Pada seluruh
lapisan tanah bawah terdapat bercak-bercak kuning kelabu atau coklat.
d
3
: Buruk; Pada tanah atas bagian bawah dan seluruh lapisan tanah terdapat bercak-
bercak kuning dan kelabu atau coklat.
d
4
: Sangat buruk; seluruh lapisan permukaan tanah berwarna kelabu atau terdapat
bercak-bercak kelabu, coklat atau kekuningan.
Selain melalui pengamatan langsung di lapangan, drainase tanah dapat diketahui
melalui jenis tanahnya seperti yang terlihat pada tabel berikut.
Tabel 2.14. Drainase Tanah Berdasarkan Jenis Tanah
No Jenis Tanah Drainase Tanah
1.
2.
3.
4.
5.
Latosol
Andosol
Regosol (grumusol)
Aluvial
Glei humus
Baik
Agak baik
Jelek
Baik-Jelek
Jelek-Sangat jelek
Sumber: Hardjowigeno, 1993


6. Erosi
Penilaian erosi didasarkan pada gejala erosi yang sudah terjadi. Kerusakan
karena erosi dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu :
e
o
: Tidak ada erosi
e
1
: Ringan, jika 25% lapisan tanah atas hilang
e
2
: Sedang, jika 25 75% lapisan tanah atas hilang
e
3
: Berat, jika 75% lapisan tanah atas hilang dan 25% lapisan tanah bawah hilang
e
4
: Sangat berat, jika lebih dari 25% lapisan bawah hilang.
7. Faktor Khusus
Disamping faktor pembatas yang umum, dalam arti mungkin ada pada semua
daerah, untuk menentukan penggunaan lahan perlu juga diperhatikan faktor penghambat
lain yang sifatnya khusus. Termasuk dalam faktor ini adalah batuan-batuan (baik batuan
lepas maupun batuan terungkap), serta adanya ancaman banjir/genangan.
Tabel 2.15. Kelas Kemampuan Lahan
Faktor Pembatas
Kelas Kemampuan
I II III IV V VI VII VIII
1. Tekstur tanah
a. Lapisan atas (40 cm) t
2
/t
3
t
1
/t
4
t
1
/t
4
* * * * t
5

b. lapisan bawah t
2
/t
3
t
1
/t
4
t
1
/t
4
* * * * t
5

2. Lereng (%) l
0
l
1
l
2
l
3
* l
4
l
5
l
6

3. Drainase d
0
/d
1
d
2
d
3
d
4
** * * *
4. Kedalaman Efektif k
0
k
0
k
1
k
2
* k
3
* *
5. Tingkat Erosi e
0
e
1
e
1
e
2
* e
3
e
4
*
6. Batu / Kerikil b
0
b
0
b
0
b
1
b
2
* * b
3

7. Bahaya Banjir 0
0
0
1
0
2
0
3
0
4
* * *
*) Dapat mempunyai nilai faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah.
**) Permukaan tanah selalu selalu tergenang.
Sumber : Utomo, WH, 1994:80
2.4.2. Arahan Penggunaan Lahan
Arahan penggunaan lahan lebih ditekankan pada fungsi masing-masing
kawasan, yaitu kawasan lindung, kawasan penyangga, dan kawasan budidaya yang
ditetapkan berdasarkan kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan hutan
produksi yang berkaitan dengan karakteristik fisik DAS berikut ini :
1. Kemiringan lereng
2. Jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi
3. Curah hujan harian rata-rata

Untuk karakteristik DAS yang terdiri dari kemiringan lereng, jenis tanah dan
curah hujan harian rata-rata pada setiap satuan lahan perlu diklasifikasikan dan diberi
bobot (skor) sebagai berikut (Asdak, 2002 : 415) :
Tabel 2.16. Skor Kemiringan Lereng Arahan RLKT
Kelas Kemiringan Lereng Nilai Skor
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Kelas 5
0 8 %
8 15 %
15 25 %
25 45 %
> 45 %
20
40
60
80
100
Sumber : Asdak, 2002 : 415
Tabel 2.17. Skor Tanah menurut Kepekaannya Terhadap Erosi Arahan RLKT
Kelas Tanah menurut kepekaannya terhadap erosi Nilai Skor
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Kelas 5
Aluvial, Planosol, Hidromorf Kelabu, Laterik (tidak peka)
Latosol (agak peka)
Tanah hutan coklat, tanah medeteran (kepekaan sedang)
Andosol, Laterik, Grumosol, Podsol, Podsolic (peka)
Regosol, Litosol, Organosol, Renzina (sangat peka)
15
30
45
60
75
Sumber : Asdak, 2002 : 416
Tabel 2.18. Skor Intensitas Hujan Harian Rata-rata Arahan RLKT
Kelas Intensitas Hujan Harian Rata-rata Nilai Skor
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Kelas 5
s 13.6 mm/hr (sangat rendah)
13.6 20.7 mm/hr (rendah)
20.7 27.7 mm/hr (sedang)
27.7 34.8 mm/hr (tinggi)
> 34.8 mm/hr (sangat tinggi)
10
20
30
40
50
Sumber : Asdak, 2002 : 416
Penetapan penggunaan lahan setiap satuan lahan kedalam suatu kawasan
fungsional dilakukan dengan menjumlahkan nilai skor ketiga faktor di atas dengan
mempertimbangkan keadaan setempat. Dengan cara demikian, dapat dihasilkan
kawasan lindung, kawasan penyangga, dan kawasan budidaya. Berikut ini adalah
kriteria yang digunakan oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah :
1). Kawasan lindung
Satuan lahan dengan jumlah skor ketiga faktor fisiknya sama dengan atau lebih
besar dari 175 dan memenuhi salah satu atau beberapa syarat di bawah ini :
a) Mempunyai kemiringan lereng > 45%.
b) Tanah dengan klasifikasi sangat peka terhadap erosi (Regosol, Litosol,
Organosol, Renzina) dan mempunyai kemiringan lereng > 15%.
c) Merupakan jalur pengaman aliran sungai, sekurang-kurangnya 100 m di kiri-
kanan alur sungai.
d) Merupakan pelindung mata air, yaitu 200 m dari pusat mata air.

e) Berada pada ketinggian > 2000 m dpl.
f) Guna kepentingan khusus dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan
lindung.
2). Kawasan penyangga
Satuan lahan dengan jumlah skor ketiga faktor fisiknya antara 125 - 174 dan
memenuhi kriteria umum sebagai berikut :
a) Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya pertanian secara
ekonomis.
b) Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga.
c) Tidak merugikan dari segi ekologi/lingkungan hidup.
3). Kawasan budidaya tanaman tahunan
Satuan lahan dengan jumlah skor ketiga faktor fisik s 124 serta sesuai untuk
dikembangkan usaha tani tanaman tahunan (tanaman pekebunan, tanaman industri).
Selain itu areal tersebut harus memenuhi kriteria umum untuk kawasan penyangga.
4). Kawasan budidaya tanaman semusim
Satuan lahan dengan kriteria seperti dalam penetapan kawasan budidaya tanaman
tahunan dengan kondisi tata guna lahan sawah dan tegalan, serta terletak di tanah
milik, tanah adat, dan tanah negara yang seharusnya dikembangkan usaha tani
tanaman semusim.
2.4.3. Usaha-usaha Konservasi
Masalah konservasi tanah adalah masalah menjaga agar struktur tanah tidak
terdispersi, dan mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan. Berdasarkan hal
tersebut, ada tiga cara pendekatan dalam konservasi tanah yaitu (Arsyad, 1989:113) :
1. Menutup tanah dengan tumbuh-tumbuhan dan tanaman atau sisa-sisa tanaman atau
tumbuhan agar terlindung dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh
2. Memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar resisten terhadap penghancuran
agregat dan terhadap pengangkutan, dan lebih besar dayanya untuk menyerap air di
permukaan tanah
3. Mengatur air aliran permukaan agar mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak
dan memperbesar jumlah air terinfiltrasi kedalam tanah.
Metode konservasi tanah yang umum digunakan, antara lain :
1. Metode Vegetatif
Metode vegetatif memanfaatkan bagian-bagian dari tanaman untuk menahan air
hujan agar tidak langsung mengenai tanah misalnya daun, batang dan ranting. Selain itu

akar tanaman juga berfungsi untuk memperbesar kapasitas infiltrasi tanah. Metode
vegetatif dalam pelaksanaannya meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Reboisasi dan penghijauan
Reboisasi adalah penghutanan kembali tanah-tanah hutan milik negara yang gundul
dengan tanamantanaman keras, misalnya pohon pinus, jati, mahoni. Sedangkan
penghijauan adalah penanaman kembali tanah-tanah selain tanah hutan negara
antara lain tanah rakyat dan tanah desa. Tanaman-tanaman yang digunakan antara
lain cengkeh, jambu, durian, nangka.
2. Penanaman secara kontur
Penanaman secara kontur adalah penanaman tanaman yang searah garis kontur atau
tegak lurus lereng. Semua tindakan pengolahan tanah juga harus searah kontur.
Metode ini sangat cocok untuk tanah yang memiliki lereng dengan kemiringan 3
8%.
3. Penanaman tanaman dalam Larikan (Strip Cropping System)
Metode ini menggunakan beberapa tanaman yang ditanam dalam strip yang
berselang-seling dan searah garis kontur. Cara yang efektif adalah dengan membuat
larikan-larikan secukupnya. Larikan pertama ditanami tanaman penutup tanah,
misalnya rumput-rumputan, sedangkan larikan kedua ditanami palawija, begitu
seterusnya. Hal ini dimaksudkan untuk memperlambat lajunya aliran permukaan.
Biasanya terdiri dari tanaman pangan atau tanaman semusim, dan digunakan untuk
lereng dengan kemiringan antara 6 15% dengan lebar strip 20 50 m.
4. Pergiliran tanaman (Crop Rotation)
Pergiliran tanaman adalah suatu sistem bercocok tanam pada sebidang tanah, terdiri
dari beberapa macam tanaman yang ditanam secara berturut-turut pada waktu
tertentu kemudian setelah masa panennya kembali lagi pada tanaman semula. Hal
ini bertujuan untuk mencegah erosi, meningkatkan produksi pertanian, memberantas
tumbuhan pengganggu, serta memperbaiki sifat-sifat fisik tanah dan kesuburan
tanah.
5. Tumpang Gilir (Relay Cropping)
Tumpang gilir adalah sistem bercocok tanam dengan menggunakan dua atau lebih
jenis tanaman di sebidang tanah, dimana tanaman kedua, ditanam setelah tanaman
pertama berbunga. Selain untuk mencegah erosi, tumpang gilir juga bermanfaat
untuk mempertinggi intensitas penggunaan tanah.
6. Tanaman Lorong (Alley Cropping)

Tanaman lorong adalah sistem bercocok tanam dengan menggunakan dua atau lebih
jenis tanaman dalam satu bidang tanah, dimana, salah satu jenis tanaman yang
ditanam adalah tanaman legume non pangan.
7. Pemulsaan.
Pemulsaan adalah menutupi permukaan tanah dengan sisa-sisa tanaman. Pemulsaan
berfungsi untuk melindungi tanah permukaan dari daya pukul butir-butir hujan dari
daya kikis aliran permukaan.
2. Metode Mekanik
Usaha konservasi dengan mekanik bertujuan untuk memperkecil laju limpasan
permukaan, sehingga daya rusaknya berkurang untuk menampung limpasan permukaan
kemudian mengalirkannya melalui bangunan atau saluran yang telah dipersiapkan. Ada
beberapa metode yang dapat digunakan (Utomo, 1994:85) :
1. Pembuatan Saluran Pemisah. Saluran ini berfungsi agar limpasan permukaan dari
lahan atas tidak masuk ke lahan, kemudian limpasan tersebut dialirkan melalui jalan
air (Utomo,1989:85).
2. Saluran Pembuang Air (SPA). Saluran pembuang air adalah saluran pembuang
untuk menampung dan mengalirkan limpasan permukaan. Saluran ini dibangun
searah lereng. Agar dasar saluran tidak terkikis, maka dasar saluran dilengkapi
dengan pasangan batu-batuan atau dengan vegetatif linning (Utomo, 1989: 89).
3. Pembuatan teras. Pembuatan teras dimaksudkan untuk mengurangi panjang dan
kemiringan lereng, sehingga dapat memperkecil limpasan permukaan. Berdasarkan
bentuk dan fungsinya ada beberapa macam teras, yaitu (Utomo, 1989: 86):
(1) Teras Saluran (channel terrace).
Teras saluran dibangun untuk mengumpulkan air aliran permukaan pada saluran
yang telah dipersiapkan, kemudian dialirkan ke jalan air. Teras ini dibuat searah
lereng dengan membuat tanggul dengan saluran diatasnya. Tanah untuk tanggul
diambil dari sisi atas atau dari kedua sisi tanggul. Ada tiga macam teras saluran :
(a) Teras Datar
Teras datar digunakan untuk tanah dengan kemiringan kurang dari 3% dan
untuk tanah dengan permeabilitas tinggi dan jenis tanah yang kering.
(b) Teras Kredit
Teras ini digunakan untuk tanah dengan kemiringan 3-10 % dengan jarak
antar guludan bervariasi 5-12 m.
(c) Teras Gulud

Teras gulud digunakan untuk tanah dengan kemiringan 10-40%.
(2) Teras Bangku atau Tangga (Bench Terrace)
Teras bangku dimaksudkan untuk mengurangi panjang lereng, dengan jalan
memotong lereng dan meratakan tanah di bawahnya, sehingga terbentuk deretan
bangku atau tangga. Teras bangku dibangun pada tanah dengan kemiringan
antara 20-30% dan mempunyai solum tanah yang cukup dalam. Ada berbagai
macam teras bangku yang dapat ditemukan di lapangan:
(a) Teras Bangku Datar (Level Terrace)
(b) Teras Bangku Miring (Slope Terrace)
(c) Teras Bangku Berlawanan Lereng atau Teras Tajam (Steep Terrace)
(d) Teras Pengairan (Irrigation Terrace). Dibangun dengan cara membuat
tanggul di ujung teras agar air dapat tersimpan di teras tersebut.
3. Metode Kimia
Cara kimia yang digunakan adalah dengan polimer pemantap tanah untuk
memperbaiki struktur tanah sehingga tanah tahan terhadap erosi, antara lain larutan
PVA (Poly Vind Alkohol), PAM (Polacryamide). Beberapa cara pemakaian bahan-
bahan pemantap tanah adalah :
1. Pemakaian di permukaan tanah.
Larutan bahan pemantap tanah disemprot langsung ke atas permukaan tanah dengan
alat sprayer.
2. Pemakaian secara dicampur
Emulsi zat kimia disemprotkan ke dalam tanah, kemudian tanah tersebut dicampur
dengan bahan kimia sampai merata, biasanya sampai kedalaman 0 25 cm.
3. Pemakaian lubang
Disemprotkan secara lokal di tanahtanah atau di lubanglubang tanaman saja.

2.5. Sistem Informasi Geografi
2.5.1 Definisi Sistem Informasi Geografi
Sistem Informasi Geografi adalah suatu sistem berbasis komputer yang memberi
4 (empat) kemampuan untuk menangani data bereferensi geografi, yaitu meliputi
pemasukan, pengolahan atau manajemen data (penyimpanan atau pemanggilan
kembali), manipulasi dan analisis serta keluaran. Di dalam SIG data tersimpan dalam
format digital, jumlah data yang besar dapat tersimpan dan diambil kembali secara cepat
dan efisien. Keunggulan SIG lainnya adalah kemampuan memanipulasi data dan

analisis data spasial dengan mengaitkan data atau informasi atribut untuk menyatukan
tipe data yang berbeda kedalam suatu analisis tunggal.
2.5.2 Subsistem-Subsistem Sistem Informasi Geografi
Mengacu kepada definisi-definisi diatas maka SIG dapat diuraikan menjadi 4
(empat) subsistem yaitu (Prahasta, 1989:59) :
1. Pemasukan data (data input)
Subsistem pemasukan data (data input) berfungsi untuk mengumpulkan dan
memasukan data spasial dan atribut dari berbagai sumber yang relevan untuk
kepentingan analisa. Subsistem ini mengkonversi atau mentransformasikan dari
format data aslinya kedalam bentuk digital sesuai format SIG.
2. Manajemen data
Subsistem manajemen data (data management) berfungsi sebagai pengorganisiran
data yang meliputi semua operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan kembali
dan pencetakan semua data yang diperoleh dari pemasukan data. Basis data adalah
himpunan dari beberapa berkas data atau tabel yang disimpan dengan suatu struktur
tertentu, sehingga saling keterkaitan yang ada di antara anggota-anggota himpunan
tersebut dapat diketahui, dimunculkan dan dimanipulasi oleh perangkat lunak
manajemen basis data untuk keperluan tertentu.
3. Manipulasi dan analisis data
Fungsi analisis dan manipulasi yang merupakan bagian dari subsistem data
manipulasi (manipulation and data analysis) ini berfungsi untuk menentukan
informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu subsistem ini
melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk keperluan informasi yang
diharapkan.
4. Keluaran data (data output)
Keluaran data dari SIG adalah seperangkat prosedur yang digunakan untuk
menampilkan informasi dari SIG dalam bentuk yang disesuaikan dengan keinginan
pengguna (Aronoff, 1989). Keluaran data dapat berbentuk softcopy maupun
berbentuk hardcopy seperti tabel, grafik, peta.


















Gambar 2.8. Subsistem-subsistem SIG
Sumber : Prahasta, 2001 : 59
Apabila subsistem-subsistem di atas diperinci dengan berdasarkan uraian jenis
masukan, proses, dan jenis keluaran yang ada didalamnya maka subsistem SIG dapat
digambarkan sebagai berikut :











Gambar 2.9. Uraian subsistem-subsistem SIG
2.5.3. Jenis data dalam SIG
Data geografi merupakan sekumpulan data yang bisa mempresentasikan
permukaan bumi dalam format digital yang bisa dimasukkan dalam SIG. Secara garis
besar data geografi dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Data Spasial
Data spasial merupakan informasi tentang lokasi dan bentuk dari unsur geografi
yang disimpan dalam bentuk kordinat. Point, garis dan luasan digunakan untuk
merepresentasikan unsur geografi misalnya sungai, waduk dan hutan. Komponen
dari data spasial dibedakan menjadi dua yaitu :
Manipulasi
data
& analisis
Data
Input
Data
Output
Managemen
data
SIG
Tabel
Citra Satelit
Peta
Tematik
Data Digital
Pengukuran
Lapangan
Laporan
Data
Lainnya
Informasi
Digital
Laporan
Tabel
Peta
Output
processing
Storage
(database)
Retrieval Input
Data Input
Data
management &
Manipulation
Output

a. Vektor, dalam model data vektor obyek atau kondisi dari bumi ditampilkan
dengan point garis dan luasan.
b. Raster, yaitu struktur data dalam bentuk sel yang terbentuk atas baris dan
kolom, setiap sel mempunyai satu nilai dan terisi sebuah informasi.
Untuk lebih jelasnya tentang perbedaan antara data raster dan vektor ditunjukkan
dalam gambar berikut.

















Gambar 2.10. Model Data Raster dan Vektor
Sumber : Stan Aronoff
2. Data Non Spasial (data atribut)
Data atribut menyediakan deskripsi informasi tentang data spasial misalnya nama
dari sungai, kapasitas tampungan waduk, komposisi penggunaan lahan dan
sebagainya.
2.5.4 Komponen Sistem Informasi Geografi
Komponen SIG terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat
keras yang digunakan terdiri atas seperangkat komputer yang berfungsi untuk
menyimpan, menampilkan teks dan interaksi dengan pengguna serta meja digitizer yang
berfungsi untuk merubah data analog kedalam data digital. Plotter dan printer
digunakan untuk menayangkan hasil pemrosesan data yang berupa peta.






Sumber : Prahasta, 2001: 61










Gambar 2.11. Komponen-komponen SIG

Perangkat lunak yang digunakan dalam studi ini adalah PC Arc/Info versi 3.5
dan Arc/View GIS versi 3.3 yang dikeluarkan oleh Environmental System Research
Institute (ESRI).
2.5.5. Pengolahan Data dengan SIG
2.5.5.1. Pemasukan Data
Pemasukan data dapat dilakukan dengan digitasi, digitasi adalah proses
pengubahan data grafis analog menjadi data grafis digital, dalam struktur vektor. Hasil
suatu proses digitasi adalah himpunan segmen maupun polygon. Pada peta garis setiap
segmen sejenis diberi kode atau identitas yang sama. Manfaat utama penyimpanan
informasi dalam bentuk kode dan ID ini adalah untuk pengaktifan kembali data secara
selektif, untuk keperluan tertentu. Pada saat digitasi secara otomatis akan terbentuk
suatu basis data pendamping yang berupa tabel yang menyertai peta digital tersebut.
Tabel ini berisi informasi tentang urutan nama dan kode segmen dan poligon, berikut
dengan ukuran matriknya (luas, keliling). Hal ini dimungkinkan karena sebelum
memulai digitasi telah diberi informasi mengenai titik-titik kontrol peta tersebut.
2.5.5.2. Model Permukaan Digital (Digital Terrain Model/DTM)
Topografi berperan penting dalam respon hidrologi pada suatu DAS, agar
mendapatkan prediksi yang akurat mengenai proses hidrologi pada suatu DAS maka
perlu ketepatan dalam analisa keruangan pada DPS tersebut. Digital Terrain Model
(DTM) atau juga biasa disebut sebagai Digital Elevation Model (DEM) adalah salah
satu perkembangan SIG sebagai metode pendekatan yang dipakai untuk memodelkan
topografi atau relief permukaan bumi dalam bentuk 3 (tiga) dimensi. Dari pemodelan 3

dimensi ini bisa digunakan untuk memodelkan suatu daerah aliran sungai sehingga akan
membantu ketelitian dalam menentukan luas daerah tangkapan air, kemiringan lereng,
panjang aliran sungai, atau menentukan jaringan sungai sintetik yang selanjutnya bisa
digunakan untuk menganalisa respon hidrologi pada DAS tersebut, misal besarnya
limpasan permukaan dan sedimentasi.
Terdapat beberapa metode untuk menggambarkan bentuk permukaan bumi
dalam model permukaan digital, antara lain model grid, TIN (Triangulated Irregular
Network), Cellular automata (CA). Model data grid/raster menyajikan menyajikan
permukaan bumi dalam matriks atau piksel-piksel kecil berbentuk bujur sangkar yang
yang mewakili luasan yang sebenarnya pada permukaan bumi. Setiap piksel dalam
model ini memiliki atribut ketinggian (elevasi) masing-masing. TIN menyajikan model
permukaan sebagai sekumpulan bidang-bidang kecil (facet) berbentuk segi tiga yang
saling berhubungan dari titik-titik yang memiliki atribut kordinat horizontal (x,y) dan
kordinat vertikal (elevasi). Sedangkan Cellular automata (CA) menyajikan dalam
bentuk segitiga, segiempat atau segienam beraturan.











Gambar 2.12. Tipe model Digital Elevation Model (DEM)
Sumber : Tarboton, 2000
Dari berbagai metode tersebut yang paling sering digunakan adalah DEM
dengan model data grid, karena dianggap mudah dalam penggunaan dalam
penggunaannya. Model data grid memiliki sel-sel yang bentuknya beraturan dan luasan
yang sama, sehingga memudahkan dalam penerapan rumus atau perhitungan serta
analisa lebih lanjut.
2.5.5.3. Pemodelan Daerah Aliran Sungai
Model permukaan digital dengan format grid yang dikenal dengan bentuk sel
yang beraturan (bujur sangkar), memungkinkan untuk dianalisa lebih lanjut diantaranya
untuk mendapatkan skema dan parameter topografi suatu Daerah Aliran Sungai.
Pemodelan DAS dari suatu grid adalah dengan memanfaatkan kemampuan analisa dan
TIN GRID

manipulasi dalam Sistem Informasi Geografi (SIG), yaitu melalui penerapan algoritma
tertentu untuk memanipulasi hubungan suatu cell dengan cell-cell tetangganya.
Untuk mendapatkan model DAS dari suatu DEM, maka terlebih dahulu
ditentukan arah aliran dan akumulasi aliran pada sel-sel DEM tersebut.
a). Penentuan arah aliran (Flow direction)
Zat cair secara alami akan mengalir dari elevasi yang lebih tinggi ke daerah
yang elevasinya lebih rendah. Untuk menentukan arah aliran suatu sel dari DEM
ditentukan dengan membandingkan elevasi sel tersebut dengan elevasi 8 (delapan)
tetangganya yang bersebelahan. Maka aliran dari sel ini akan mengalir ke arah sel yang
memiliki kemiringan relatif paling curam terhadap sel yang akan ditentukan arah
alirannya. Dalam SIG, 8 (delapan) arah aliran yang mungkin akan dilewati oleh suatu
sel dikodekan dengan angka-angka. Timur (E) = 1, Tenggara (SE) = 2, Selatan (S) = 4,
Barat daya (SW) = 8, Barat (W) = 16, Barat laut (NW) = 32, Utara (N) = 64, dan Timur
laut (NE) =128. Sebagai contoh, jika arah aliran dari dari suatu sel setelah kemiringan
relatif dari 8 sel sebelahnya dibandingkan adalah ke arah kiri (barat), maka arah aliran
pada sel tersebut dikodekan dengan angka 16.












Gambar 2.13. Penentuan arah aliran pada grid DEM
Sumber : Tarboton, 2000
Namun pada kenyataannya terdapat beberapa sel yang tidak dapat didefinisikan
arah alirannya karena elevasi delapan sel tetangganya lebih tinggi. Walupun hal ini bisa
saja terjadi secara alami pada permukaan bumi, namun dalam pengolahan DEM dapat
dianggap sebagai suatu kesalahan yang disebut sink atau daerah yang mengalami

depresi aliran. Air yang mengalir ke arah sel yang mengalami depresi aliran tidak akan
bisa mengalir ke sel berikutnya sehingga menyebabkan jaringan aliran akan terputus
dan menyebabkan genangan. Untuk mendapatkan suatu perhitungan yang akurat
mengenai arah aliran dan akumulasi aliran, maka terlebih dahulu harus memperbaiki
sel-sel yang mengalami depresi aliran dengan menaikan elevasi sel tersebut sehingga
terjadi kemiringan ke arah sel tetangganya. Besarnya kenaikan elevasi ini tergantung
dari karakteristik permukaan yang terjadi. Untuk daerah yang bergelombang dengan
resolusi 1 meter dapat dinaikan setinggi 0,1 m.
b). Akumulasi aliran (Flow accumulation)
Akumulasi aliran didefinisikan sebagai banyaknya sel yang memberikan
kontribusi aliran pada suatu sel berdasarkan grid arah aliran yang telah ditentukan
sebelumnya. Penjumlahan akumulasi aliran ini dimulai dari daerah hulu, lalu
menelusuri tiap sel satu per satu kearah hilir berdasarkan grid arah aliran. Sel-sel dengan
akumulasi aliran lebih besar Sel dengan akumulasi aliran 0 (tidak ada sel lain yang
memberikan konstribusi aliran) merupakan daerah yang topografinya tinggi. Biasanya
berupa punggung-punggung bukit yang selanjutnya diidentifikasikan sebagai batas
DPS. Sedangkan sel-sel dengan jumlah akumulasi aliran tinggi, biasanya
mengidentifikasikan saluran sungai.













Gambar 2.14. Penentuan akumulasi aliran (flow accumulation)
Sumber : Tarboton, 2000
c). Pembangkitan jaringan sungai sintetik
Jaringan sungai sungai sintetik diperoleh dengan menentukan batas minimum
jumlah konstribusi aliran yang diterima oleh suatu sel yang bisa dianggap sebagai awal
dari saluran sungai. Selanjutnya jaringan sungai sintetik ini ditentukan dengan
mengikuti grid arah aliran menuju sel yang memiliki akumulasi aliran yang paling
tinggi, dengan memberikan memberikan valeu = 1 (true) unutk sel-sel dengan nilai

akumulasi aliran lebih dari batas minimum dan value NODATA (false), untuk sel-sel
yang nilai akumulasi alirannya kurang dari batas minimum. Sel-sel yang yang memiliki
value = 1 akan diekstrak dan dikonvert ke model data vektor berupa garis yang
merepresentasikan sungai sintetik. Penentuan batas minimum akumulasi aliran akan
mempengaruhi jaringan sungai sintentik yang dihasilkan, jika batas minimumnya kecil
maka akan terdapat banyak sungai-sungai kecil. Sebaliknya jika batas minimumnya
besar, sungai-sungai kecil akan tereliminasi dan menjadi satu dengan sungai yang lebih
besar daerah tangkapan airnya.
















Gambar 2.15. Penentuan jaringan sungai
Sumber : Tarboton, 2000
d). Parameter Daerah Aliran Sungai
Daerah pengaliran sungai atau juga dikenal sebagai daerah tangkapan air
merupakan daerah mana saja yang apabila terjadi hujan, akan memberikan konstribusi
aliran pada titik outlet yang sama. Pada suatu DEM daerah tangkapan air dengan
menentukan sel-sel mana saja yang memberikan konstribusi aliran pada suatu sel outlet
yang ditentukan sebelumnya berdasarkan gid arah aliran. Sel-sel ini akan diidentifikasi
dengan value yang sama, kemudian dipisahkan dan dikonvert dalam data vektor sebagai
poligon luasan. Sel outlet ditentukan tergantung daerah mana yang menjadi objek studi
atau juga dengan menambahkan outlet pada anak sungai berdasarkan jaringan sungai
yang selanjutnya akan menjadi sub DAS dari DAS utama. Setelah mendapatkan skema
DAS/Sub-DAS, maka parameter tiap Sub DAS bisa dikalkulasi menggunakan GIS
interface. Adapun parameter-parameter yang bisa diperoleh dalam pemodelan ini adalah
luasan DAS/Sub DAS, aliran terpanjang, panjang sungai, kemiringan rata-rata sungai,
kemiringan lereng, dan kordinat pusat DAS.



Outlet









Gambar 2.16. Contoh model DAS
Sumber : Tarboton, 2000
2.5.5.4. Analisa dan manipulasi data
Kemampuan SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat
dilakukannya. Secara umum terdapat dua jenis fungsi analisis dalam SIG yang meliputi
fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut.
Fungsi analisis data atribut terdiri dari operasi dasar sistim pengelolaan basis
data/database management system (DBMS) dan perluasannya yang meliputi :
1. Operasi dasar basis data yang mencakup :
- Membuat basis data baru (create database)
- Menghapus basis data (drop database)
- Membuat tabel data (create table)
- Menghapus tabel data (drop table)
- Mengisi (record) dan menyisipkan data (insert)
- Membaca dan mencari data (field atau record) dari tabel data (seek, find, search,
retrieve)
- Mengubah dan mengedit data yang terrdapat tabel data (update, edit)
- Membuat indeks untuk setiap tabel data
2. Perluasan operasi basis data :
- Membaca dan menulis basis data kedalam basis data yang lain (export/import)
- Dapat berkomunikasi dengan sistim basis data yang lain (misalkan dengan
menggunakan driver ODBC.
- Dapat menggunakan bahasa basis data standart SQL (structure query language)
Fungsi analisis spasial dari SIG terdiri dari :
1. Klasifikasi (reclassificasy) : fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasikan
kembali suatu data spasial atau atribut menjadi data yang baru dengan menggunakan

kriterian tertentu. Misalnya, dengan menggunakan data spasial ketinggian bumi
dapat diturunkan kemiringan permukaan bumi.
2. Jaringan (network) : fungsi ini merujuk kepada data spasial yang berupatitik atau
garis sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan. Fungsi ini sering digunakan
dalam bidang transportasi dan utility misalnya : aplikasi jaringan kabel, jaringan
listrik, telepon, pipa air, saluran pembuangan.
3. Tumpang susun (overlay) : fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal
dua data spasial yang menjadi masukkannya. Overlay suatu data grafis adalah untuk
menggabungkan, memotong dua atau lebih data grafis yang hasilnya merupakan
gabungan antara dua atau lebih data grafis tersebut. Terdapat 5 cara melakukan
tumpang susun data grafis yang dapat dilakukan pada perangkat lunak Arc/Info dan
ArcView yaitu :
Identity adalah tumpang susun antara dua data grafis dengan menggunakan data
grafis pertama sebagai acuan batas luarnya. Jadi apabila batas luar antara dua
data grafis yang akan ditumpangsusunkan tidak sama, maka batas luar yang
akan digunakan adalah batas luar data grafis pertama.
Union adalah tumpang susun yang berupa penggabungan antara dua data grafis.
Jadi apabila batas luar antara dua data grafis yang akan ditumpangsusunkan
tidak sama, maka batas luar yang baru adalah gabungan antara batas luar data
grafis pertama dan atau kedua (batas gabungan paling luar).
Intersection adalah tumpang susun antara dua data grafis; tetapi apabila batas
luar dua data grafis tersebut tidak sama, maka yang dilakukan pemrosesan hanya
pada daerah yang bertampalan.
Update merupakan salah satu fasilitas untuk menumpangsusunkan dua data
grafis, dengan menghapus informasi grafis pada coverage input dan diganti
dengan informasi dari informasi coverage update.
Clipping adalah perintah untuk memotong data grafis dengan memasukkan data
grafis yang akan disadap informasinya pada data grafis yang akan
memotongnya.
4. Buffering : Fungsi ini akan menhasilkan data spasial baru yang berbentuk polygon
dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukkannya.
5. 3D analisys : funngsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan
presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Fungsi analisis spasial ini banyak

menggunakan fungsi interpolasi, sebagai contoh untuk menampilkan data spasial
ketinggian, jaringan jalan dan lainnya dalam bentuk 3 dimensi.
6. Digital Image Processing : fungsi ini dimiliki oleh SIG yang berbasiskan raster,
karena data spasial permukaan bumi citra digital banyak didapat dari perekaman
data satelit maupun foto udara yang berformat raster. Perangkat SIG yang
dilengkapi dengan fungsi ini memiliki banyak sub fungsi analisa citra digital.
Misalkan fungsi untuk koreksi radiometrik, filtering, clustering dan sebagainya.
2.5.5.5. Keluaran Data
Keluaran data dari SIG adalah seperangkat prosedur yang digunakan untuk
menampilkan informasi dari SIG dalam bentuk yang disesuaikan dengan pengguna.
Keluaran data terdiri dari tiga bentuk, yaitu cetakan, tayangan dan data digital.
Bentuk cetakan dapat berupa peta maupun tabel yang dicetak dengan media
kertas, film atau media lain. Bentuk tayangan berupa tampilan gambar di monitor
komputer. Keluaran data dalam bentuk data digital berupa file yang dapat dibaca oleh
komputer. Bentuk data digital digunakan untuk memindahkan data ke sistem komputer
yang lain ataupun untuk menghasilkan cetakan di lain tempat.

Anda mungkin juga menyukai