Anda di halaman 1dari 25

BAB I PENDAHULUAN Kematian maternal adalah kematian wanita saat hamil, melahirkan atau dalam 6 minggu setelah berakhirnya

kehamilan. Tingkat kematian maternal (maternal mortality rate) atau Angka Kematian Ibu (AKI) didefinisikan sebagai jumlah kematian maternal selama satu tahun dalam 100.000 kelahiran hidup. Kematian sebagai konsekuensi dari kehamilan masih merupakan penyebab kematian premature di dunia. Menurut data estimasi WHO, 287.000 wanita meninggal karena kejadian yang bisa dicegah ini setiap tahunnya dengan satu perempat dari kejadian ini disebabkan oleh perdarahan postpartum (Knight et al,2009) Insidensi perdarahan postpartum paling banyak terjadi di negara-negara berpendapatan rendah, namun demikian berdasarkan penelitian Knight et al didapatkan bahwa adanya peningkatan trend kejadian perdarahan postpartum di negara-negara maju (Australia, Kanda, Inggris dan Amerika). Pada tahun 2000, PBB mencanangkan target pembangunan milenium 2015 yang mana salah satu targetnya adalah penurunan mortalitas ibu ditahun 2015. Guna mencapai hal ini, kematian ibu akibat perdarahan postpartum juga harus dicegah dan diturunkan secara bermakna. Maka dari itu pemahaman aspek klinis perdarahan postpartum dirasa sangat krusial (WHO,2009)

BAB II PEERDARAHAN POSTPARTUM 2.1 Perdarahan Postpartum 2.1.1 Definisi Definisi perdarahan post partum (pasca persalinan) saat ini belum dapat ditentukan secara pasti. Secara tradisional, perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml atau lebih darah setelah persalinan kala III selesai (Cunningham et al,2010). Perdarahan postpartum primer adalah perdarahan postpartum yang terjadi dalam 24 jam pertama sedangkan perdarahan postpartum sekunder adalah perdarahan postpartum yang terjadi sesudah 24 jam pertama, biasanya anatara hari ke 5 sampai hari ke 15 postpartum (Wiknjosastro,2007) Pritchard et al mengemukakan bahwa estimasi jumlah volume perdarahan sebanarnya hanyalah setengah dari volume perdarahan yang sebenarnya. Maka dari itu, kehilangan darah 500 mL merupakan indikasi dari perdarahan berlebih pada seorang ibu. WHO mendefinisikan perdarhan postpartum berat sebagai kehilangan darah lebih dari atau sama dengan 1000ml dalam 24 jam pertama pasca persalinan. 2.1.2 Epidemiologi Perdarahan postpartum merupakan penyebab terjadinya kematian pada ibu; dari kematian yang disebabkan oleh perdarahan Bandung,2011) Menurut laporan WHO (2008), kematian ibu di dunia yang disebabkan oleh perdarahan 25%, penyebab tidak langsung 20%, infeksi 15%, aborsi yang tidak aman 13%, eklampsia 12%, penyulit persalinan 8% dan penyebab lainnya 7%. Estimasi kematian ibu di Asia Tenggara pada tahun 2010 adalah sebesar 17000 kematian dengan angka kematian ibu sebesar 150, menempati peringkat ke 5 kematian ibu tertinggi. Angka kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 menurut 2 disebabkan oleh perdarahan postpartum (Bagian Obstetri&Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran

WHO adalah sebanyak 220 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan menempati urutan ke lima tertinggi di dunia (WHO,2009) 2.1.3 Etiologi Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum dan berbagai literatur menyampaikan penggolongan etiologi dengan berbagai pendekatan yang berbeda, namun secara umum dapat dikatakan bahwa faktor-faktor penyebab perdarahan post parum adalah Tonus, Tissue, Trauma dan Trombin: Tabel 1. Etiologi Perdarahan Postpartum

1. Tonus (penyebab utama) Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. 3

Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan (Faisal, 2008). Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kirakira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan pasca persalinan (Faisal, 2008).

Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :

1. Partus lama 2. Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil kembar, hidramnion atau janin besar 3. Multiparitas 4. Anestesi yang dalam 5. Anestesi lumbal

Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus (Wiknjosastro, 2007).

2. Tissue Faktor jaringan juga sangat berperan dalam terjadinya perdarahan post partum. Retensio plasenta, yaitu plaseta belum lahir setengah jam setelah janin lahir (Wiknjosastro,2002) , bersama denga sisa plasenta dan plasenta akreta dan variasinya merupakan faktor peyebab perdarahan postpartum yang memungkinkan. Jika plasenta belum lepas sama sekali maka tidak terjadi perdarahan. Plaseta belum lepas dari dinding uterus karena (Wiknjosastro,2007): Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plaseta (plasenta adhesive) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili khorialis menembus desidua sampai miometrium sampai dibawah peritoneum. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi: 1. Plasenta adhesive: plasenta yang menempel pada desidua endometrium 2. Plasenta akreta: plasenta yang vili-vilinya menembus desidua basalis sampai ke miometrium sedikit dibawah desidua. 3. Plasenta inkreta: plasenta yang vili-vilinya menembus sampai ke miometrium uterus. 4. Plasenta perkreta: plasenta yang mencapai lapisan serosa dinding uterus atau peritoneum. 5. Plasenta inkarserata: tertahannya plasenta dalam cavum uteri karena atonia uteri.

Gambar 1. Plasenta Perkreta-Akreta-Inkreta

3. Trauma Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina (Saifuddin, 2002). Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan. Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat arteril atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi (Manuaba, 1998). Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir: Robekan perineum Dibagi atas 3 tingkat (Wiknjosastro,2007), yaitu: 6

Tingkat I Tingkat II

: Robekan pada kulit perineum dan mukosa vagina : Robekan mengenai dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-otot diafragma urogenitalis pada garis tengah luka

Tingkat III

: Robekan total. Muskulus sfingter ani eksternum ikut terputus dan kadang-kadang dinding depan rectum ikut robek.

Ruptur uterus Ruptur spontan uterus jarang terjadi (Smith J.R, Brerman B.G,2004), faktor resiko: a. Grande multipara b. Malpresentasi c. Riwayat operasi uterus sebelumnya d. Persalinan dengan induksi oksitosin

Inversio uterus Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Inversio uteri dapat dibagi (Wiknjosastro,2007): a. Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang tersebut. b. Kopus uteru yang terbalik sudah masuk kedalam vagina. c. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar 7

terletak diluar vagina.

Laserasi jalan lahir Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vakum atau ekstraksi forcep (Smith J.R, Brerman B.G,2004). Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan akan tidak terdeteksi dan dapat menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bias menyebabkan terjadinya syok.

Vaginal hematom

4. Thrombin / kelainan pembekuan darah Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bias berupa penyakit keturunan ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bias berupa: Hipofibrinogenemia, kelainan pembuluh darah yang disebabkan karena defisiensi fibrinogen dapat dijumpai pada: solusio plasenta, kematian hasil konsepsi yang tertahan lama dalam uterus, embolismus air ketuban, sepsis dan eklampsia.(Wiknjosastro,2007) Trombositopeni, kurangnya jumlah trombosit pada darah atau rombositopenia merupkan salah satu faktor penyebab terjadinya perdarahan post partum. a. Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) b. Sindroma HELLP c. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) 8

Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfuse darah lebih dari 8 unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan trombosit sudah rusak.

2.1.4 Klasifikasi Penggolongan perdarahan postpartum merupakan hal yang bermanfaat dalam dua aspek; sebagai penilaian urgensi intervensi yang bergantung pada perburukan kondisi pasien dan penentuan prognosis(Coker A, Oliver A, 2006).

Terdapat beberapa penggolongan perdarahan postpartum yang berbeda: a. Klasifikasi Konvensional Temporal Jenis klasifikasi ini berdasarkan onset waktu terjadinya perdarahan dengan acuan persalinan. Perdarahan pada 24 jam persalinan pervainam dikatakan sebagai perdarahan postpartum primer. Sedangkan perdarahan postpartum sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama namun masih dalam waktu 12 minggu pascapersalinan.

b. Klasifikasi Berdasarkan Kuantitas Darah yang Hilang Kuantitas darah yang hilang dalam hal ini dapat dinilai dari: - Jumlah darah yang hilang ICD-10-AM (standar klasifikasi internasional, modifikasi australia)

menggolongkan suatu perdarahan kedalam perdarahan postpartum jika terjadi perdarahan lebih dari atau sama dengan 500ml pada persalinan pervaginam dan 750ml untuk persalinan sectio caesarea. - Perubahan kadar hematokrit American College of Obstetricians and Gynecologist mendefiniskan perdarahan postpartum sebagai perubahan kadar hematokrit pre-postpartum 9

sebanyak 10% atau kebutuhan transfusi darah. - Kecepatan hilangnya darah Perdarahan postpartum berat didefinisikan sebagai perdarahan dengan laju lebih dari 150ml/menit (dalam 20 menit menyebabkan kehilangan darah lebih dari 50% volume) atau perdarahan mendadak lebih dari 1500-2000 ml. - Defisit volume Benedetti mengelompokkan perdarahan postpartum dalam empat kelas: Tabel 2. Klasifikasi Perdarahan oleh Benedetti

c. Klasifikasi Modifikasi, Adaptasi Benedetti Tabel 3. Klasifikasi Termodifikasi: Hasil Adaptasi Klasifikasi Benedetti

2.1.5 Gejala Klinis Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada 10

kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2005).

Tabel 4. Gejala Klinis Berdasarkan Jumlah Darah yang Hilang dalam Perdarahan Postpartum

Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabakan retensio plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta atau traua jalan lahir. Pada pemeriksaan obstetric kontraksi uterus akan lembek dan membersar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta aau laserasi jalan lahir.

2.1.6 Diagnosis Umumnya diagnosis tidak sulit terutama bila perdarahan banyak dalam waktu pendek. Nadi serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Jika perdarahan terus berlangsung dapat timbul syok. Diagnosis akan dipermudah dengan mengukur pengeluaran darah secara rutin dalam kala III dan satu jam sesudahnya. 11

Pada perdarahan karena atonia, uterus membesar dan lembak pada palpasi, sedangkan perdarahan karena perlukaan, uterus berkontraksi dengan baik dan jika hal ini yang terjadi perlu dilakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari di mana letak perlukaan dalam jalan lahir (Wiknjosastro,2007) Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes, perdarahan yang deras biasanya akan segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan perdarahan yang merembes karena kurang nampak sering kali tidak mendapat perhatian. Perdarahan yang bersifat merembes bila berlangsung lama akan mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan maka darah yag keluar setelah plasenta lahir ditampung dan dicatat (Wiknjosastro,2007)

Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan postpartum: 1. palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri 2. memeriksa plasenta dan ketuban: lengkap atau tidak 3. lakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari: d. sisa plasenta dan ketuban e. robekan rahim f. plasenta seksenturiata: plasenta yang mempunyai satu kotiledon tambahan yang timbul jauh dari struktur plasenta utama. 4. Inspekulo: Untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah. 5. Pemeriksaan laboratorium: peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen: masa tromboplastin partial (APT/PTT), masa protombin memanjang. 6. Ultrasonografi: menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan. Tabel 5. Diagnosis Kerja Perdarahan Postpartum berdasarkan Gejala 12

2.2 Penanganan Perdarahan Postpartum 2.2.1 Pencegahan Penanganan terbaik perdarahan postpartum adalah pencegahan. Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak wanita hamil dengan antenatal care yang baik. Pengawasan antenatal memberikan manfaat dengan ditemukannya berbagai kelainan secara dini, sehingga dapat diperhitungkan dan dipersiapkan langkah-langkah dalam pertolongan persalinannya. Kunjungan pelayanan antenatal bagi ibu hamil paling sedikit 4 kali kunjungan dengan distribusi sekali pada trimester I, sekali trimester II, dan dua kali pada trimester III.

13

Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah anemia. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan yang banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta. Apabila sebelumnya penderita sudah mengalami perdarahan postpartum, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim (uterus tonikum). Setelah ketuban pecah kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan ampul methergin atau kombinasi 5 satuan sintosinon (sintometrin intravena) (Mochtar, 1995). Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan postpartum. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskulus segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin intramuskulus. Kadang-kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir dengan tekanan pada fundus uteri plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir adalah kemungkinan terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gemelli yang tidak diketahui sebelumnya (Wiknjosastro, 2007). Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir, dua hal harus dilakukan, yakni menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Setelah plasenta lahir perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Jika plasenta belum lahir (retensio plasenta), segera dilakukan tindakan untuk mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2007).

Berikut ini merupakan langkah-langkah pencegahan perdarahan postpartum: 14

(Prawiryohardjo,2002) Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk) Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan) Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung). Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi Atasi syok Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukam pijatan uterus, berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit. Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir. Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah. Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan Cari penyebab perdarahan dan lakukan penangan spesifik.

2.2.2. Penanganan A. Penanganan atonia uteri Perdarahan akibat atonia uteri akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bias masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila 15

pasien syok) hal hal sebagai berikut - sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen - sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara: o masase fundus uteri dan merangsang putting susu o pemberian ergometrin 0,3 mg IV o kompresi bimanual eksternal dan atau internal kompresi bimanual internal Tangan kiri dimasukkan ke dalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakkan pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut penderita dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jarijari lain di belakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang antara 2 tangan; tangan kanan melaksanakan massase pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan kiri.

Gambar 2. Kompresi Bimanual Interna

Kompresi bimanual eksterna Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. pantau aliran darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan. Pertahankan hingga uterus 16

dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal kembali.

Gambar 3. Kompresi Bimanual Eksterna

o Kompresi aorta abdominalis Lakukan perabaan arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut, genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilkus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi. o Pemasangan tampon kondom, kondom dalam kavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif o Bila semua tindakan gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi. Alternatifnya berupa: 17

ligasi arteria uterine atau ateria ovarika melalui laparotomi operasi ransel B lynch histerektomi supravaginal histerektomi total abdominal

B. Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh faktor jaringan Perlu dibedakan antara retensio plasenta dan sisa plasenta (rest placenta). Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh sisa plasenta (Wiknjosastro,2007): o menemukan adanya sisa plasenta secara dini dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan. (winko kebdianan merah) o berikan antibiotika, ampisilin dosis awal Ig IV dilanjutkan dengan 3x 1g oral dikombinasikan dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x 500mg oral. o Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AMV atau dilatasi dan kuretase. o Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfuse darah. Bila kadar Hb>8 gr% berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.

Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh retensio plasenta:

18

o Jika terjadi perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan uterontonika dan masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir dapat dilakukan manual plasenta (Wiknjosastro,2010) dengan cara (WHO,2007): Penderita disiapkan pada posisi litotomi dan keadaan umum diberpaiki sebesar mungkin (infuse dengan NaCl atau Ringer Laktat) Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan tangan kiri meregang tali pusat dan tangan kanan dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut.

Gambar 4. Meregang Tali Pusat dengan Jari-Jari membentuk Kerucut

Ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika waktu melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constriction ring) dapat diatasi dengan mengembagkan secara perlahan jari tangan yang membentuk kerucut tadi.

Tangan kiri diletakkan di ats fundus uteri dari luar dinding perut ibu sambil mendorong fundus itu ke bawah.

Setelah mencapai plasenta, telusuri permukaan fetal ke arah 19

pinggir plasenta untuk mencari bagian pinggir plasenta yang telah terlepas Gambar 5. Ujung Jari Menelusuri Tali Pusat, Tangan kiri Diletakkan di atas fundus.

Selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas. Seperti mengikis air, plasenta dapat dilepaskan seluruhnya dengan tangan diluar tetap menahan fundus uteri.

Gambar 6. Mengeluarkan Plasenta

Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi untuk menilai apakah ada sisa plasenta.

Berikan uterotonik satu ampul intramuscular, dan lakukan masase uterus. 20

Inspekulo untuk mengetahui ada tidaknya laserasi pada vagina atau serviks.

C.

Penanganan Laserasi Jalan Lahir Pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti unuk mencari kemungkinan adanya robekan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai speculum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena ruptura uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti. Khusus pada rupture perineum komplit (hingga anus dan sebagian rectum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rectum (Wiknjosastro,2007)

D. Penanganan Kelainan Pembekuan Darah. Tes koagulasi wajib dilakukan untuk pasien yang diduga mengalami kelainan pembekuan darah. Jika tes menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya perdarahan post partum, perlu dipikirkan penyebab yang menjadi dasar terjadinya perdarahan. Penanganan DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati delusional. Restorasi dan penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk darah bersifat sangat esensial. Perlu konsultasi ke ahli hematologi pada kasus transfuse massif dan koagulopati.

21

22

KESIMPULAN Kematian maternal adalah kematian wanita saat hamil, melahirkan atau dalam 6 minggu setelah berakhirnya kehamilan. Tingkat kematian maternal (maternal mortality rate) atau Angka Kematian Ibu (AKI) didefinisikan sebagai jumlah kematian maternal selama satu tahun dalam 100.000 kelahiran hidup Insidensi perdarahan postpartum paling banyak terjadi di negara-negara berpendapatan rendah, namun demikian berdasarkan penelitian knight,et al didapatkan bahwa adanya peningkatan tren kejadian perdarahan postpartum di negara-negara maju (Australia, Kanda, Inggris dan Amerika) Perdarahan post partum (pasca persalinan) adalah perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir yang dapat terjadi secara cepat dan massif atau secara perlahan. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan ini dan dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar: tonus, tissue, trauma, dan trombositopenia. Umumnya perdarahan postpartum terjadi karena faktor tonus yaitu atonia uteri. . Dalam setiap partus, harus dilakukan pengamatan seksama mengenai kontraksi uterus postpartum dan juga perdarahan yang terjadi salama 2 jam postpartum. Dengan pengawasan yang adekuat, perdarahan postpartum dapat tertangani dengan baik. Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani berdasarkan penyebabnya, secara umum mekanisme penanganannya adalah resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri dan kemungkinan syok hipovolemik, kemudian identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan.

23

DAFTAR PUSTAKA Bagian Obstetri&Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran

Bandung,2011. Obstetri Patologi. Elstar Offset:Bandung. Coker A, Oliver R. 2006. A Comprehensive Textbook of Postpartum Hemorrhage: an Essential Clinical Reference for Effective Management, Chapter 02- Definitions and Classifications. Sapiens Publishing:London. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom KD.2010. Williams Obstetric 23rd Edition. McGraw Hill:USA. Faisal, 2008. Perdarahan Pasca Persalinan. http://www.scribd.com/doc/8649214 diakses 25 Mei 2012. Knight,Marian.2009.Trends in postpartum hemorrhage in high resource countries a review and recommendations from the International Postpartum Hemorrhage Collaborative Group. BMC Pregnancy and Childbirth,9:55 Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Mochtar, R. 1995. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri patologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Smith, J.R., Brerman, B.G. 2004.Postpartum Hemorrhage. http://www.emedicine.com Prawirohardjo S. Perdarahan Paca Persalinan. Dalam : Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP. 2002 WHO. 2007. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth : Manual Removal of Placenta. http://whqlibdoc.who.int/publications/2007/9241545879_eng.pdf 24

WHO.2009. WHO Guidelines for The Management of Postpartum Haemorrhage and Retained Placenta. WHO Press:Geneva Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T.2007. Ilmu Kebidanan: Edisi Ketiga.YBP-SP:Jakarta. Wiknjosastro H, Saifuddin A.B, Rachimhadi T. 2010. Tindakan Operatif Dalam Kala Uri Dalam: Ilmu Bedah Kebidanan Edisi I Cetakan Kesembilan. YBP-SP:Jakarta

25

Anda mungkin juga menyukai