Anda di halaman 1dari 12

Ahmad Muhammad Haddad Assyarkhan, Writer, Trainer & Public Speaker, Mengajak Sahabat untuk Meruncingkan Pena untuk

mulai menulis apapun dengan Kritis, Tajam, Inspiratif, Bermanfaat dan Mencerahkan. Kunjungi Website resmi Saya - www.assyarkhan.com - Pesan Saya Kali Ini Daripada Anda mengeluhkan dan Bertanya Mengapa Mawar Itu Berduri Lebih Baik Anda Syukuri ternyata Bunga yang Berduri Itu Adalah Mawar. Call/SMS : 0856-231-9776, Email : adikalbar@gmail.com , YM /GoogleTalk : adikalbar . Follow Me : @assyarkhan , PIN BB : 287A77A2 , Gabung Di Group dan Komunitas Berbagi Sehat Di FRESH Commu...

KPK VS POLRI Hanya Demi Menyelamatkan Sang Presiden


OPINI | 07 October 2012 | 06:00 Dibaca: 5034 Komentar: 24 15 aktual KPK VS POLRI Hanya Demi Menyelamatkan Sang Presiden (merdeka.com) Follow Me : @assyarkhan Sebuah pertanyaan besar yang sampai hari ini buat Saya tidak atau belum terjawab Mengapa Bangsa Ini Begitu Mudah Terjebak, Buat Penulis, kisah KPK Vs POLRI ini hanyalah sebuah jebakan, drama tingkat tinggi yang dimainkan Intelijen untuk menyalamatkan Sang Jendral atau Sang Presiden Republik Indonesia. Kok Bisa? Mari kita lihat Hampir semua orang di Republik ini tidak ada yang tidak tahu dengan Skandal Century dimana kasus ini jika ditelusuri maka akan ditemukan orang yang paling bertanggungjawab adalah Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Saat Inisiator Pengusutan Kasus Bank Century dari Kader PKS Misbakhun bersama rekanrekanya berhasil membentuk Pansus, tak lama kemudian Misbakhunpun difitnah dan dikriminalisasi, kasus yang tidak jelas dan pada akhirnya dibebaskan dari tututan dan dinyatakan tidak bersalah oleh Hukum. Oleh kaki tangan Presiden baik Partai Demokrat beserta Sekutunya, Intelijen tidak berhasil menjerat Misbakun untuk dihukum, Ketika kriminalisasi terhadap Misbakhun dalam proses, kader-kader Partai Demokrat salah satunya Ruhut Sitompul membangun Opini bahwa Kasus Century Itu Tidak Ada, Kebijakan itu terjadi demi menyelamatkan Ekonomi Bangsa sebagaimana yang Penulis Lihat secara Live di TV One, Bahkan Ruhut Sitompul beserta rekan-rekanya membangun Opini Tuh Lihat, Srikandi Indonesia Sri Mulyani yang dituduh sebagai pelaku Century malah dipercaya International untuk menjadi Pejabat Tinggi Di Bank Dunia Lanjut Ruhut. (ILC, Tv One) Opini ini sering dilakukan oleh Politisi Partai Demokrat dan sekutunya hanya demi satu hal, yaitu menyeelamatkan Sang Presiden dari tuntutan turun dari jabatanya jika

terbukti bersalah dalam Skandal Century, paling tidak 3 aktor penting dalam Skandal tersebut adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono dan Sri Mulyani. Kini, Misbakun bebas dan dinyatakan tidak bersalah, kader PKS tersebut kembali bernyanyi di media dalam hal ini MetroTV yang saat ini memang memposisikan sebagai media Opisisi, mengangkat kembali Kasus Century ke permukaan, ILC Tv One kembali mengangkat Misbakhun Vs Istana, KPK pun kembali diingatkan dengan Skandal Century setelaah lama disibukan atau dibuat sibuk dengan kasus Korupsi Wisma Atlet, Hambalang dan Kongress Demokrat, Nazarudin, Anggelina Sondakh pun sudah ditangkap dan dihukum, kemudian kasus Cek Pelawat ada Miranda Gultom dan Nunun Nurbaeti pun sudah terjerat hukum. KPK Sibuk sekali sehingga lupa dengan KISAH CENTURY, KPK Memang dibuat lupa oleh orangorang yang berkaitan langsung dengan skandal Century Dan ketika KPK kembali serius mengurusi Skandal Century , KPK pun kembali dibuat sibuk, maka begitu banyak orang terjebak dengan kisah KPK Vs POLRI, Perseteruan antara KPK Vs POLRI berlarut-larut, dimulai dari kisah Korupsi Simulator SIM, kemudian kini usaha kriminalisasi Novel Baswedan. Saya melihat inipun akan terus dibuat berlarut-larut hingga mendekati Akhir Tahun. Padahal semua orang lupa berdasarakan hasil keputusan persidangan DPR RI, KPK dibatasi sampai akhir tahun ini untuk menuntaskan pengusutan Skandal Century, jika batas akhir tahun ini KPK tidak menetapkan adanya tersangka, dan sebagainya maka Skandal Century dianggap tidak ada. Saya berkeyakinan Drama KPK VS POLRI ini tidak terlepas untuk membuat semua orang lupa pada satu kisah besar yang mana jika terungkap maka Sang Presiden akan diturunkan sebelum waktunya. Partai Demokrat dan sekutunya membuat banyak kisah melalui peran Intelijen untuk menyalamatkan Sang Presiden dan Wakil Presiden yang juga paling bertanggungjawab terhadap Kasus Century. Tahun 2012 tinggal 3 bulan lagi dan KPK dibuat sibuk oleh orang-orang Istana baik Politisi Partai Demokrat dan sekutunya beserta Intelijen yang membantu. KPK dibuat sibuk dengan pergesekan baru dengan POLRI, Beginilah cara menghabiskan batas waktu pengusutan Kasus Skandal Cneutry, dan episode berikutnya adalah Di Bulan Desember KPK dan POLRI Berdamai dan Skandal Cntury pun tak bisa dilanjutkan karena batas waktu yang telah ditentukan untuk proses pengusutanya telah selesai, Sang Presiden Selamat, Politisi Demokrat dan Sekutunya pun bisa tertawa karena bisa menyelamatkan Sang Presiden hingga ke akhir masa jabatanya. Hebat Bukan? Sama halnya Prijanto pun kini berdamai dengan FOKE karena paling tidak tugas Prijanto membantu Prabowo telah selesai, Prabowo telah memenangkan pertandingan Pilkada DKI dan Prijanto berperan membentuk Opini bahwa Foke Korupsi dengan akting mundur dari jabatanya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, hingga saat ini Foke tak terbukti Korupsi, tetapi paling tidak Prijanto telah berhasil membangun Opini di media bahwa Foke adalah Pelaku Korupsi agar dinilai cacat moral oleh warga Jakarta demi memuluskan langkah Prabowo untuk memenangkan Jagoanya. Tugas Prijanto telah selesai dan kini sudah berdamai dengan Foke. Inilah gambaran Republik Indonesia yang kita cintai ini, kisah-kisah konspirasi seperti ini mirip dengan kisah G/30 S PKI Puluhan tahun lalu, yang sukses saat itu adalah Konspirasi Soeharto dan hampir semua kisah itu dari dulu hingga saat ini BINTANG UTAMAnya adalah : JENDRAL!

Mari Kita Buktikan Saja! Indonesia dipenuhi Politik Penuh Konspirasi. Sumber : TV One MetroTV Kompas Merdeka Bandung, 7 Okober 2012 ADI SUPRIADI (Assyarkhan) Writer, Trainer & Public Speaker, Mengajak Sahabat untuk Meruncingkan Pena untuk mulai menulis tentang apapun. Mengkritisi Hal-hal yang perlu dikritisi, Menulis dengan Tajam, Kritis, Menginspirasi, Bermanfaat dan Mencerahkan. Kunjungi Website resmi Saya - www.assyarkhan.com - Pena Runcing Adi Supriadi Katakanlah yang Benar Itu Walaupun Pahit Call/SMS : 0856-231-9776, Email : adikalbar@gmail.com , YM /GoogleTalk : adikalbar . Follow Me : @assyarkhan , Pin BB : 287A77A2 Baca Artikel Saya lainnya : I Am Actor, Not Reactor

Opini: Kemiskinan di Indonesia dan jalan keluarnya March 30, 2008


Posted by qnoyzone in humanis, politikitikin. Tags: opini, sinar harapan, A. Umar Said, Kemiskinan di Indonesia dan jalan keluarnya trackback Paris, 30 Maret 2008 (A. Umar Said) Di tengah-tengah terus mengalirnya berbagai berita tentang buntut yang panjang dari kasus BLBI, yang menyebabkan dirugikannya rakyat sampai ratusan triliun Rupiah dan persidangan di pengadilan tentang dana Yayasan Supersemar, maka berita tentang parahnya kemiskinan yang menimpa penduduk di banyak daerah di Indonesia merupakan peringatan keras kepada kita semua bahwa negara dan bangsa kita dewasa ini memang sedang menghadapi situasi yang memerlukan perbaikan atau perubahan secara besar-besaran. Kasus suapan 6 miliar Rupiah kepada jaksa Urip dan orang-orang lainnya dari Kejaksaan Agung oleh Artalyta Suryani (orang dekat Syamsul Nursalim) menunjukkan hanya sebagian kecil sekali dari banyaknya pejabat penting negara dan tokoh-tokoh utama masyarakat Indonesia yang sudah tumbang imannya atau bejat moralnya. Keruntuhan iman atau pembusukan moral ini tercermin dalam banyaknya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan untuk menumpuk kekayaan dengan cara-cara haram, atas kerugian negara dan rakyat. Contoh-contohnya dapat selalu kita baca dalam pers Indonesia, yang sebagian di antaranya juga sering disiarkan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm dalam rubrik Korupsi memalukan Islam dan bangsa . Kalau kita baca berita-berita soal korupsi di kalangan atasan , yang jumlahnya sering bisa sampai bermiliar-miliar Rupiah, dan kemudian kita banding-bandingkan dengan berita tentang banyaknya orang miskin dan anak-anak balita yang kurang gizi dan busung lapar, maka bisa mengertilah kita bahwa ada orang-orang yang sudah keterlaluan marahnya sehingga sampai mengatakan bahwa negara kita memerlukan revolusi sosial. Memang, adalah hal yang benar atau hal yang sah (artinya, baik sekali !) bahwa hati dan fikiran banyak orang brontak terhadap situasi yang membikin puluhan juta bahkan mungkin lebih dari seratus juta penduduk Indonesia menderita kesengsaraan yang parah dan berkepanjangan terus. Berikut di bawah ini disajikan beberapa kutipan pers dan juga tulisan yang bisa dijadikan bahan untuk renungan kita bersama tentang kemiskinan yang parah di kalangan rakyat kita. Apa yang diungkapkan di sini dimaksudkan sekadar sebagai dorongan kepada kita semuanya untuk bersama-sama ikut memikirkan tentang sebabsebab kemiskinan ini dan kemungkinan- kemungkinan untuk mencari jalan mengatasinya. Di Banten, Jatim, Sulsel dan Jateng Menurut harian Sinar Harapan (25 Maret 2008) : Jumlah penduduk miskin di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun sebagai akibat dari kondisi perekonomian yang tidak stabil. Kenaikan harga-harga akhir-akhir ini termasuk

sembako dikhawatirkan akan semakin meningkatkan angka kemiskinan. Fakta tersebut dirangkum Sinar Harapan dari beberapa daerah termasuk Banten, Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Cilacap (Jawa Tengah). Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten mencatat jumlah kemiskinan mengalami kenaikan. Jika tahun 2006 tercatat 786.700 keluarga miskin, tetapi pada awal tahun 2008 menjadi 886.000 keluarga. Jika satu keluarga terdiri dari suami, istri, dan satu anak, maka jumlah orang miskin di Banten mencapai 2.685.000 orang, dari 9,5 juta penduduk Banten. Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten mengakui terdapat 11.244 bayi di bawah umur lima tahun (balita) yang menderita gizi buruk, di antaranya 15 balita meninggal. Di Jawa Timur, dari sekitar 38 juta jiwa penduduknya, 7,1 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan ini dipicu oleh jaminan kehidupan yang sangat rendah, mulai dari pendapatan rendah, pendidikan rendah, jumlah tanggungan banyak, atau karena musibah. Fakta lain bisa dilihat dari angka balita gizi buruk yang cukup tinggi. Pada Januari 2008, di Surabaya tercatat pasien gizi buruk sebelas anak dan balita. Pada Februari 2008, sembilan pasien gizi buruk dirawat. Hingga pertengahan Maret lalu, sudah delapan pasien dirawat karena kasus yang sama. Data gizi buruk tersebut hanya yang tercatat di RS Dr Soewandie Surabaya, belum termasuk di RS lainnya. Jumlah warga miskin makin bertambah Dari data Dinkes Surabaya, pada tahun 2006, prevalensi balita gizi kurang sebesar 8,32 persen dan pada 2007 turun menjadi 6,86 persen. Tahun 2006 sebesar 2,09 persen, dan tahun 2007 menjadi 1,96 persen. Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya dr Esti Martiana mengatakan tingginya kasus gizi buruk karena perilaku hidup sehat masyarakat yang memang rendah, ditunjang dengan rendahnya daya beli. Semburan lumpur Sidoarjo yang telah berlangsung hampir dua tahun ini memiliki kontribusi munculnya kemiskinan baru. Ribuan warga kehilangan pekerjaan. Demikian juga bencana banjir yang melanda lebih dari 15 daerah di Jatim semakin menambah keterpurukan petani, apalagi harga kebutuhan pokok semakin melambung. Di Kota Makassar, jumlah warga miskin sekitar 350.780 jiwa (70.156 keluarga) atau sekitar 30 persen dari total penduduk 1,2 juta jiwa lebih. Sementara itu tahun 2005 jumlahnya masih sekitar 60.000 keluarga yang tersebar di 14 kecamatan. Berdasarkan data sensus daerah (Susda) Provinsi Sulsel dua tahun lalu, jumlah penduduk miskin masih 201.487 juta keluarga (sekitar 820.000 jiwa) atau sekitar 10,85 persen dari sekitar 8 juta jiwa penduduk di daerah ini. Jumlah tersebut terus berkembang hingga saat ini. Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Sulsel mencatat, dari 23 kabupaten/kota di Sulsel, masih terdapat tujuh kabupaten dalam kondisi rawan pangan, diantaranya Kota Makassar, Kabupaten Jeneponto, Takalar, dan Selayar. Begitu pula di Cilacap, Jawa Tengah, 635.000 jiwa atau sekitar 163.000 keluarga berstatus warga miskin. Hal itu disampaikan secara resmi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) pada pekan lalu. Jumlah warga miskin tersebut merupakan 37 persen dari jumlah total penduduk Cilacap yang mencapai 1,7 juta jiwa. Sementara itu, berdasarkan jatah beras untuk warga miskin (raskin) di wilayah Bulog Subdivisi Regional IV Banyumas, di Cilacap yang mendapat bantuan raskin

sekitar 170.000 keluarga, di Banyumas 173.479 keluarga, Kabupaten Purbalingga 105.690 keluarga dan Banjarnegara 112.979 keluarga. (Kutipan dari Sinar Harapan, 25 Maret 2008, disingkat) Bisa makin bertambah parah lagi Apa yang tercantum di atas adalah baru satu berita dari satu koran pada satu hari saja, tetapi toh sudah cukup kiranya bagi seseorang untuk membayangkan betapa besarnya kemiskinan yang juga melanda berbagai daerah lainnya di negeri kita, umpamanya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Tengah, Maluku, Indonesia Timur, Nusa Tenggara, termasuk di pulau Jawa. Penderitaan rakyat yang diakibatkan oleh kemiskinan yang luas ini sekarang makin bertambah lagi, dengan adanya kenaikan yang tinggi sekali harga-harga pangan (beras, jagung, kedelai, cabe, daging sapi, ayam, minyak goreng dll) dan bahan bakar. Kenaikan harga pangan ini masih akan bisa lebih parah lagi kalau krisis pangan di skala internasional sudah mulai juga memasuki negeri kita. Maka, betul-betul cilakalah sebagian besar rakyat Indonesia !!! Adalah sangat menarik untuk diperhatikan bersama bahwa soal krisis pangan ini rupanya mendorong presiden SBY mengirim surat kepada Sekjen PBB , Ban Ki Moon, karena harga-harga pangan di skala internasional sudah melambung tinggi dengan kenaikan 40 %. Ini masih ditambah gejolak keuangan global yang sampai sekarang belum rampung dan kita belum tahu tentang kerusakan atau dampak yang terjadi. Pernyataan presiden SBY ini dikuatkan oleh pernyataan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom, yang mengatakan bahwa harga komoditas pangan dunia saat ini mencapai puncak tertinggi. (Sinar Harapan, 27 Maret 2008) Kalau harga-harga makin memuncak dan krisis pangan mulai menyerang, maka akan makin banyak jugalah anak-anak balita yang mengalami gizi buruk atau busung lapar. Artinya, kalau menurut Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Departemen Pertanian (Deptan) RI Tjuk Eko Hari Basuki, 27 persen bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia mengalami gizi buruk, maka angka 27 persen itu akan bertambah, entah dengan berapa persen. Gizi buruk itu tidak terjadi mendadak, tapi sudah lama. Hasilnya, kami memberikan Rp25 juta kepada setiap dari 300 kabupaten/kota yang tergolong miskin. Di Jatim sendiri tercatat delapan daerah miskin, terutama di Madura dan kawasan `tapal kuda`, katanya, menurut berita Antara 13 Maret 2008. Anak-anak balita yang kurang gizi Para pembaca yang budiman, mohon direnungkan dalam-dalam isi beberapa berita tersebut di atas. Mengapa di negeri kita, yang terkenal sebagai negeri yang kaya dengan sumber alam dan beraneka-ragam tumbuh-tumbuhan, dan sebagian besar tanahnya juga subur, bisa menghadapi kemiskinan yang demikian parah ? Siapakah yang salah, dan apanya sajakah yang salah ? Atau, siapa yang harus bertanggungjawab atas keadaan yang sudah membikin kesengsaraan puluhan juta, bahkan ratusan juta penduduk ini ? Dan lagi, mohon juga ikut difikirkan akibat yang menyedihkan bagi generasi kita yang akan datang, kalau 27 persen dari anak-anak balita di seluruh Indonesia menderia kurang gizi dan busung lapar. Karena, anak-anak

balita yang kurang gizi ini akan kurang normal pertumbuhannya, sehingga akan merusak mutu generasi kita di kemudian hari. Untuk menambah gambaran lainnya tentang akibat kemiskinan yang meluas di Indonesia adalah angka-angka yang juga cukup mengerikan yang bersumber dari UNICEF dan disiarkan oleh harian Kompas (28 Maret 2008). Di situ dijelaskan bahwa 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar dan 55 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sumber air yang aman. Menurut sumber tersebut, keadaan yang demikian ini menyebabkan setiap tahun 100.000 anak berusia dibawah 3 tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Ditambahkan juga bahwa setiap harinya ada sekitar 5.000 anak dibawah umur 5 tahun yang meninggal karena diare itu. Kiranya, jelaslah bahwa sebagian besar kemiskinan yang begitu parah di berbagai daerah negeri kita ini sama sekali bukanlah kesalahan puluhan juta penduduk itu sendiri. Dan, jelaslah juga bahwa 27% dari anak-anak balita di seluruh Indonesia yang kurang gizi atau busung lapar adalah bukan pula dosa anak-anak itu atau orang tua mereka masing-masing. Dan kiranya perlu pula diyakini oleh kita semua bahwa kemiskinan yang menimpa begitu banyak orang itu sama sekali bukanlah kehendak Tuhan atau takdir semata-mata. Atau, juga sama sekali bukanlah hukuman Tuhan atau cobaan terhadap jutaan manusia yang tidak bersalah apa-apa. Artinya, kemiskinan yang luas itu bukanlah nasib semata-mata, yang harus diterima dengan sabar dan tawakal saja. Kemiskinan itu adalah akibat perbuatan manusia-manusia juga, yang juga bisa dirubah atau dilawan bersama-sama. Sebab, walaupun banjir sering melanda berbagai daerah, atau gempa menggoncang banyak tempat, atau bahaya kekeringan menimpa banyak lahan, atau lumpur Lapindo sudah menenggelamkan banyak rumah penduduk, namun penderitaan banyak orang bisa ditanggulangi, dan kemiskinan bisa juga dikurangi, asal saja ada pengelolaan negara yang beres. Negara dan pemerintahan ini adalah bikinan manusia. Negara dan pemerintahan bisa baik, kalau dikelola oleh orang-orang yang baik dan dengan sistem yang baik pula. Dan orang-orang beserta sistem inilah merupakan unsur utama dari suatu kekuasaan politik. Kemiskinan yang meluas adalah produk kekuasaan politik Kemiskinan yang sekarang ini melanda Indonesia secara luas, pengangguran yang membengkak sampai puluhan juta orang, anak-anak balita yang kurang gizi yang begitu banyak (27% dari seluruh balita di Indonesia), korupsi yang terus merajalela, kerusakan moral dan kebejatan iman yang telah membusukkan kehidupan elite bangsa, kasus BLBI yang berbuntut panyang, kasus KKN-nya Suharto beserta anakanaknya, bobroknya sistem hukum dan peradilan, berbagai pelanggaran HAM, adalah semuanya produk satu kekuasaan politik. Yaitu produk kekuasaan politik yang mulamula dibangun oleh Suharto dengan Orde Barunya, dan diteruskan oleh berbagai pemerintahan, sampai pemerintahan SBY-JK yang sekarang ini. Dengan naiknya harga-harga yang makin menyulitkan kehidupan sehari-hari bagi rakyat, maka banyak golongan dalam masyarakat akhir-akhir ini menggelar berbagai kegiatan atau aksi-aksi di banyak daerah, untuk memanifestasikan kemarahan mereka dan aspirasi mereka akan adanya perubahan untuk perbaikan hidup mereka.

Banyaknya aksi-aksi dan beraneka-ragamnya tuntutan yang mereka lancarkan adalah tanda yang penting (dan menggembirakan sekali) yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat berani bangkit dan mengeluarkan suara-suara mereka, untuk mengkritik penyelenggaraan pemerintahan yang tidak beres, untuk menghujat korupsi dan penyelewengan kekuasaan, dan untuk melawan segala ketidakadilan. Banyaknya aksi-aksi atau beraneka-ragamnya kegiatan yang dilakukan oleh berbagai golongan ini (antara lain : pemuda, mahasiswa, buruh, tani, pegawai negeri, perempuan, pedagang kecil, korban Lapindo, korban gempa dan banjir, pekerja perkebunan) juga menunjukkan makin bertambahnya kesadaran banyak orang untuk berorganisasi dan melakukan kegiatan atau perjuangan secara kolektif dan terkoordinasi. Walaupun sebagian dari aksi-aksi ini untuk sementara masih berjalan sendiri-sendiri atau terpencar-pencar, namun tetap merupakan bagian dari perkembangan yang penting. Sebab, perkembangan perjuangan berbagai golongan ini akhirnya akan melahirkan kekuatan-kekuatan baru dan pemimpin-pemimpin baru, setelah melalui seleksi jangka panjang oleh rakyat yang mendambakan demokrasi dan keadilan. Dalam situasi yang begini ini, peran kaum muda dari berbagai kalangan adalah sangat penting, sebagai bagian dari agen-agen perubahan. Sekali lagi, patut diulangi, bahwa bangkitnya berbagai kalangan atau golongan masyarakat melalui aksi-aksi atau kegiatan yang beraneka-ragam adalah mahapenting untuk perjuangan memperbaiki kehidupan sehari-hari dan melawan politik pemerintah yang merugikan kepentingan rakyat. Bangkitnya berbagai golongan melalui aksi-aksi yang terkoordinasi juga akan merupakan sumbangan penting kepada usaha untuk mengadakan perubahan-perubahan besar, termasuk perubahan dalam kekuasaan politik. Karena, makin jelaslah sudah sekarang ini, bahwa banyak lembaga negara dan pemerintahan (umpamanya DPR) makin kehilangan kepercayaan rakyat. Karena itu, maka aksi-aksi atau kegiatan extra-parlementer akan memegang peran yang makin penting dan utama dalam mengusahakan adanya perubahan-perubahan yang besar dan mendasar. Mengikuti jejak Amerika Latin Perlulah kiranya diulangi, untuk kesekian kalinya, bahwa pengalaman di banyak negeri Amerika Latin (terutama Venezuela dan Bolivia) menunjukkan betapa pentingnya berbagai aksi-aksi massa luas sebagai sumbangan yang menentukan! kepada berhasilnya perjuangan parlementer untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan kaum reaksioner. Akan datanglah saatnya nanti, bagi kekuatan demokratis di Indonesia, untuk mengikuti jejak serta pengalaman negeri-negeri Amerika Latin, tetapi dengan menemukan cara dan jalannya sendiri, yang sesuai dengan kondisi kongkrit negeri kita. Jadi, singkatnya, kemiskinan, pengangguran, anak balita yang kurang gizi, dibarengi dengan korupsi dan kebobrokan moral yang bisa kita saksikan bersama-sama dengan jelas dewasa ini adalah semuanya merupakan penyakit kronis yang ditimbulkan oleh kekuasaan politik yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Kekuasaan politik ini (yang didominasi oleh Golkar serta para simpatisan Orde Baru) namanya yang sekarang adalah pemerintahan SBY-JK.

Dan, sudah bisalah kita ramalkan, bahwa berbagai penyakit kronis yang demikian parah itu tidak akan bisa diberantas dengan adanya pemerintahan baru yang dihasilkan Pemilu tahun 2009. Sebab, sudah jelas bahwa Pemilu 2009 tidak akan melahirkan kekuasaan politik yang pro-rakyat, yang anti-dominasi ekonomi asing, dan yang tegas-tegas berorientasi masyarakat adil dan makmur, seperti yang dicitacitakan sejak lama oleh rakyat bersama Bung Karno. Sumber: http://kontak.club.fr/index.htm

Kemiskinan, Salah Siapa? Opini Ramadhani Pratama Guna | Jumat, 21 Okt 2011 - 08:07:58 WIB | 1 komentar More Sharing ServicesShare | Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print Sumber Foto : redaksi

Permasalahan kemiskinan menjadi salah satu hal besar yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Negara ini sudah 66 tahun merdeka, namun kemiskinan masih saja tinggi. Berbagai program pengentasan kemiskinan dari dulu hingga sekarang terusmenerus dilakukan. Demikian pula dengan dana yang digelontorkan untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas perekonomian, jumlahnya sekitar Rp 95 triliun pada APBN 2011. Namun, tetap saja hal ini dinilai belum efektif. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir bahwa pada 2010 sekitar 31 juta jiwa penduduk masih dalam keadaan miskin (13.33 persen). Hal baiknya adalah jumlah ini menurun dibandingkan 2009 yang mencapai 32,5 juta jiwa (14,15 persen). Namun, hal buruknya justru terletak pada aspek fundamental, yaitu perbedaan indikator kemiskinan. World Bank melansir bahwa seseorang dikatakan miskin ketika tidak sanggup memenuhi kebutuhan kalori standar untuk tubuhnya (2.000-2.500 kalori per hari), di mana jika dikonversi ke dalam dolar, dibutuhkan minimal satu dolar AS per hari atau 30 dolar AS per bulan (sekitar Rp 270 ribu). Namun, BPS menggunakan indikator lebih rendah, yaitu Rp 211.726 per kapita per bulan. Belum lagi masalah perhitungan lain, di mana seseorang yang telah bekerja sudah tidak dianggap miskin. Padahal, bekerja bukan jaminan semua kebutuhannya terpenuhi. Walaupun pemerintah sudah menentukan batas-batas Upah Minimum Regional (UMR), namun nyatanya masih banyak pelanggaran yang terjadi sehingga cacat indikator terjadi apabila semua orang yang bekerja dianggap bebas dari kemiskinan. Kesimpulan yang dapat kita tarik adalah bahwa jumlah penduduk miskin jauh lebih besar dari data-data tersebut. Tidak hanya itu masalahnya. Menurut teori ekonomi, indikator 30 dolar AS per hari nilainya semakin hari semakin turun untuk mendapatkan 2.000-2.500 kalori disebabkan faktor inflasi. Sehingga, kita tidak bisa serta-merta menggunakan indikator 30 dolar AS per hari ini sepanjang waktu. Harus ada evaluasi dan perubahan terhadap indikator kemiskinan. Inilah permasalahan awal dalam memahami kemiskinan. Bahwa indikator yang cacat sengaja diterapkan untuk mendapatkan citra bahwa kemiskinan menurun tiap tahunnya. Padahal, ini semua hanyalah indikator semu. Seharusnya indikator yang hakiki dari kemiskinan adalah kemampuan tiap individu dalam sebuah negara untuk

mengonsumsi makanan bergizi dan layak tiap harinya. Negara dinyatakan gagal apabila masih ada penduduknya, sedikit apa pun jumlahnya, yang tidak mengonsumsi makanan bergizi dan layak meskipun pertumbuhan ekonominya dua digit. Tidak berhubungan Pemerintah berulang kali mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bagus dengan tingkat kestabilan perekonomian yang juga baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6,5 persen, dengan inflasi lima sampai enam persen tiap tahun. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 6.300 triliun pada 2010 dan diprediksi akan menembus Rp 7.000 triliun di 2011. Pendapatan per kapita Rp 2.252.308,87 per bulan, jumlah yang cukup untuk membeli 20 ribu kalori setiap hari. Sehingga, dari indikator ini seharusnya kita mendapat kesimpulan bahwa penduduk Indonesia mendapat kalori yang cukup, tidak ada lagi masalah-masalah kelaparan dan kekurangan gizi yang terjadi. Namun, indikator hanyalah sekadar indikator makro yang lagi-lagi cacat. Angkaangka yang menggambarkan 'kehebatan' ekonomi anggota G-20 ini tidak bisa menjadi kebanggaan. Pasalnya, masih ada lebih dari 32 juta masyarakat Indonesia yang tidak mendapatkan kalori 2000-2500 per hari. Kita bahkan tidak tahu berapa di antara mereka yang tidak makan dalam satu hari. Sehingga, wajar jika kita menjustifikasi bahwa negara ini dan pemerintahnya gagal. Walaupun banyak keberhasilankeberhasilan lain, namun nyatanya kebutuhan dasar manusia menurut Teori Hierarchy Needs karya Abraham Maslow ini belum terpenuhi. Dari kondisi yang ada kita belajar bahwa tidak ada hubungan langsung antara indikator-indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, PDB, dan inflasi dengan indikator kemiskinan. Apalagi, dengan kondisi kekayaan 14 orang terkaya di Indonesia 2011 menurut majalah Forbes yang jika dijumlahkan, nilainya mencapai Rp 290,7 triliun atau setara dengan 22 persen APBN 2011 dan 4,5 persen PDB 2010. Sehingga, seakan-akan pertumbuhan ekonomi berjalan ke tempat yang tinggi, sementara kemiskinan terus saja semakin parah. Dengan hitungan matematis, 32 juta rakyat miskin negara ini membutuhkan uang senilai Rp 100,5 triliun untuk menjamin mereka semua makan dalam satu tahun. Bandingkan dengan harta 14 orang terkaya tadi, jumlah ini mampu menjamin makan rakyat miskin hampir tiga tahun. Sehingga, dalam tiga tahun ke depan kemiskinan di Indonesia nol persen. Namun, nyatanya itulah yang terjadi bahwa kesenjangan juga semakin memperparah kondisi kemiskinan di negeri ini. Hak-hak mereka terabaikan dan lagi-lagi pemerintah gagal menjamin hak mereka. Kegagalan program Jika melihat postur APBN kita yang senilai Rp 1.300 triliun, kita dapat melihat sejauh mana efektivitas program pengentasan kemiskinan yang sudah dilakukan pemerintah. Setidaknya, pos-pos anggaran yang besar dari APBN antara lain berfungsi untuk peningkatan kualitas dan kuantitas perekonomian sebesar Rp 95,6 triliun, pendidikan Rp 81,98 triliun, dan subsidi energi sebesar Rp 133,806 triliun. Kita juga melihat program pengentasan kemiskinan yang saat ini popularitasnya sedang naik, yaitu PNPM Mandiri dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Setiap tahunnya, untuk PNPM Mandiri sekitar Rp 9 triliun dialokasikan dari APBN kepada seluruh

desa dan kota di Indonesia yang dinilai layak untuk program pengentasan kemiskinan. Untuk KUR, setiap tahunnya dialokasikan sekitar Rp 20 triliun dengan kerja sama dari perbankan untuk menjangkau debitur di daerah-daerah. Kita juga mengenal Program Keluarga Harapan (PKH) untuk mengentaskan kemiskinan yang menyedot uang negara Rp 1,6 triliun per tahunnya. Juga kita mengenal dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang besarnya sekitar Rp 16,8 triliun tiap tahunnya. Ada juga program Beras Untuk Rakyat Miskin (Raskin) yang menyedot anggaran sekitar Rp 15 triliun per tahun dan beragam program lainnya, seperti Jamkesmas yang menyedot dana Rp 5,6 triliun per tahun. Lagi-lagi, mari kita menggunakan pendekatan matematis. Jika kesemua program pengentasan kemiskinan itu dijumlahkan, besarnya mencapai Rp 68 triliun per tahun. Nilai ini seharusnya bisa memangkas penduduk miskin Indonesia sekitar 21 juta jiwa per tahun, yaitu dengan terjaminnya makan mereka sebanyak 2000-2500 kalori per hari. Namun, sudah sekitar dua tahun program-program tersebut berjalan, pengurangan kemiskinan tiap tahunnya hanya sekitar 1,5 juta orang saja. Artinya, program-program yang dirancang sedemikian rupa gagal untuk mengentaskan kemiskinan. Tidak hanya itu, dari segi kualitasnya, program tersebut juga sangat tidak efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Kita dapat mengambil contoh seperti PNPM yang kebanyakan alokasi anggarannya digunakan untuk perbaikan atau pembangunan infrastruktur pedesaan dan kota. Sehingga, wajar jika penduduk yang terbebas dari jerat kemiskinan sangatlah sedikit. Masih banyak evaluasi yang harus dilakukan terkait dengan pengelolaan negara ini. Bagaimanapun, tanggal 20 Oktober 2011 nanti kita semua harus bersuara, menyampaikan fakta dan opini, serta tekanan agar pemerintah lebih baik lagi dalam mengelola negara ini. Sebab, mengatakan yang benar adalah kesetiaan yang tulus. sumber tulisan : Harian Republika, Rabu, 12 Oktober 2011

Anda mungkin juga menyukai