Anda di halaman 1dari 34

1

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit kronik berulang yang sering terjadi pada usia bayi dan anak-anak, dengan abnormalitas fungsi dari barrier kulit dan sensitasi allergen, dengan karakteristik seperti kekeringan, eritema, dan gatal yang hebat (Leung et al., 2008). Prevalensi dermatitis atopik meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di negara industri selama tiga dekade terakhir; 15 sampai 30% anak dan 2 sampai 10% orang dewasa yang menderita dermatitis atopik. Gangguan ini seringkali merupakan awal dari diatesis atopik yang meliputi asma dan penyakit alergi lainnya. Dermatitis atopik sering dimulai pada masa bayi awal (yang disebut awal-awal dermatitis atopik). Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopik dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% mulai pada tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum usia 5 tahun. Lebih dari 50% anak yang menderita dermatitis atopik dalam 2 tahun pertama kehidupan tidak memiliki tanda sensitisasi IgE, tetapi sensitisasi IgE tetap akan terjadi selama menderita dermatitis atopik. Sampai dengan 70% dari anak-anak ini memiliki remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat terjadi pertama kali pada orang dewasa (akhir-onset dermatitis atopik), dan dalam sejumlah besar pasien ini tidak ada tanda sensitisasi IgE-mediated. Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan menunjukkan adanya hubungan ke "hygene hypothesis," yang mendalilkan bahwa tidak adanya paparan anak usia dini terhadap agen infeksi meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi. Konsep ini baru-baru ini dipertanyakan berkaitan dengan dermatitis atopik (Bieber, 2008).

Sekitar 60 persen pasien dengan riwayat dermatitis atopik saat masa kanakkanak tidak menunjukkan gejala pada masa remaja, meskipun 19 hingga 50 persen mungkin kambuh di masa dewasa. Awal-awal penyakit, penyakit dini berat, asma bersamaan dan demam, dan riwayat keluarga dermatitis atopik dapat memprediksi perjalanan penyakit. Satu penelitian kohort terbaru kepada 1314 anak-anak Jerman menunjukkan bahwa prognosis terkait dengan keparahan penyakit dan sensitisasi atopik, terbukti dengan meningkatnya serum antibodi IgE terhadap alergen makanan dan inhalan pada anak umur dua tahun (Williams, 2005). Istilah atopi diperoleh dari kata Yunani yang berarti tidak terbatas pada satu tempat, dan diperkenalkan tahun 1923 oleh Coca dan Cooke untuk menggambarkan status hipersensitivitas pada manusia yang ditandai dengan peningkatan kapasitas sampai bentuk reagin (sekarang diketahui sebagai IgE) yang berespon terhadap beberapa antigen (Cohen, 2005, James et al., 2006, Krafchik et al., 2003). Dermatitis atopik dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan berkaitan erat dengan penyakit atopik pada organ lain seperti rinitis alergika, asma pada penderita sendiri ataupun keluarganya (Abramovits, 2005). Frekuensi insiden penyakit ini semakin bertambah dan data terakhir tentang imunopatogenesis penyakit ini mengarahkan kita pada model perawatan baru yang efektif. Etiologi dan patogenesis DA sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Banyak faktor yang mempengaruhi, baik eksogen atau endogen, maupun keduanya. Faktor-faktor yang berperan antara lain faktor genetik, disfungsi sawar kulit, imunologis, lingkungan, dan psikologis (Leung and Soter, 2001, Leung et al., 2008, Friedmann and Holden, 2004). Gambaran klinis DA dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Walaupun DA telah banyak dipelajari dan dikatakan berhubungan dengan sistem imun, belum ada pengobatan yang pasti untuk DA. Hasil pengobatan DA pada beberapa pasien masih belum memuaskan.

Data mengenai penderita dermatitis atopik di Indonesia belum diketahui secara pasti. Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di RS di Indonesia, dermatitis atopik berada pada urutan pertama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-anak. Di klinik Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan Februari 2005 sampai Desember 2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi (Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data di Unit Rawat Jalan Penyakit kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien DA mengalami peningkatan sebesar 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 sebesar 148 pasien (11.05%) sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11.65%) (Zulkarnain I., 2009). Prevalensi pada anak laki-laki sekitar 20 %, 12 persen pada tahun-tahun sebelum studi, dan 19% anak perempuan (11% pada tahun sebelum tahun 2000) (Tada J., 2002). Penyakit ini belum banyak dibahas di Indonesia. Angka kejadian di Medan pun hingga kini belum bisa dipastikan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan untuk mampu memberikan gambaran penyakit kulit pada pasien dermatitis atopik dengan mengambil sampel di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011 sebagai objek penelitian sehingga penelitian ini bisa membuka wawasan yang lebih luas mengenai kelainan kulit dermatitis atopik. Penelitian ini dilakukan di poliklinik kulit dan kelamin RSUD dr. Pirngadi Medan karena peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai DA di poliklinik kulit dan kelamin RSUD dr. Pirngadi Medan di samping jumlah penderita DA di poliklinik kulit dan kelamin RSUD dr. Pirngadi Medan mencukupi untuk dilakukannya penelitian ini.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti yaitu: Bagaimana gambaran kelainan kulit pada pasien dermatitis atopik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD dr. Pirngadi Medan tahun 2011?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum


Memberikan informasi mengenai gambaran penyakit kulit pada pasien dermatitis atopik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui gambaran kelainan kulit pada pasien dermatitis atopik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Pirngadi Medan 2011 berdasarkan ada tidaknya riwayat atopik pada keluarga pasien. 2. Untuk mengetahui gambaran kelainan kulit yang paling sering dijumpai pada pasien dermatitis atopik.

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain: 1. Sebagai sumber data bagi RSUD Dr. Pirngadi, mengenai bagaimana gambaran penyakit kulit pada pasien dermatitis atopik. 2. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan mengenai dermatitis atopik dan bagaimana kelainan kulit yang terjadi pada pasien dermatitis atopik. 3. Bagi peneliti lain, yaitu sebagai referensi untuk melakukan penelitian yang sama atau yang terkait.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Definisi Dermatitis Atopik


Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis dan residitif yang sering disertai oleh kelainan atopik lain, seperti rhinitis alergika dan asma, manifestasi klinis dermatitis atopik bervariasi menurut usia (Bieber, 2008).

2. 2. Gambaran Epidemiologi Dermatitis Atopik


2. 2. 1. Prevalensi dan insidensi Membuat perbandingan prevalensi DA dari beberapa negara sangat sulit dilakukan karena begitu banyak perbedaan periode waktu dan cara dilakukan studi DA sehingga perolehan hasil yang salah sering terjadi. Pada sebagian besar studi epidemiologi, para peneliti merekomendasikan penggunaan pengukuran prevalensi periode satu tahun agar merefleksikan sifat timbul yang berselang-seling DA dan untuk mengatasi efek musiman DA (Harper dkk, 2006). Prevalensi dermatitis atopik meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di negara industri selama tiga dekade terakhir; 15 sampai 30% anak dan 2 sampai 10% orang dewasa yang menderita dermatitis atopik. Gangguan ini seringkali merupakan awal dari diatesis atopik yang meliputi asma dan penyakit alergi lainnya. Dermatitis atopik sering dimulai pada masa bayi awal (yang disebut awal-awal dermatitis atopik). Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopik dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% mulai pada tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum usia 5

tahun. Lebih dari 50% anak yang menderita dermatitis atopik dalam 2 tahun pertama kehidupan tidak memiliki tanda sensitisasi IgE, tetapi sensitisasi IgE tetap akan terjadi selama selama menderita dermatitis atopik. Sampai dengan 70% dari anakanak ini memiliki remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat terjadi pertama kali pada orang dewasa (akhir-onset dermatitis atopik), dan dalam sejumlah besar pasien ini tidak ada tanda IgE-mediated sensitisasi. Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan menunjukkan adanya hubungan ke "hygene hypothesis," yang mendalilkan bahwa tidak adanya paparan anak usia dini terhadap agen infeksi meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi. Konsep ini baru-baru ini dipertanyakan berkaitan dengan dermatitis atopik (Bieber, 2008). Data mengenai penderita dermatitis atopik di Indonesia belum diketahui secara pasti. Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di RS di Indonesia, dermatitis atopik berada pada urutan perama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-anak. Di klinik Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan Februari 2005 sampai Desember 2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi (Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data di Unit Rawat Jalan Penyakit kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien DA mengalami peningkatan sebesar 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 sebesar 148 pasien (11.05%) sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11.65%) (Zulkarnain I., 2009). Prevalensi pada anak laki-laki sekitar 20 %, 12 persen pada tahun-tahun sebelum studi, dan 19% anak perempuan (11% pada tahun sebelum tahun 2000) (Tada J., 2002).

2. 2. 2. Keparahan Dalam hal kesehatan masyarakat, distribusi keparahan DA lebih signifikan daripada prevalensi total DA (yang dapat mencakup banyak kasus tanpa gejala yang ringan), karena keparahan memungkinkan untuk menentukan orang-orang yang

menggunakan atau perlu menggunakan layanan kesehatan yang tersedia. Beberapa studi telah memeriksa secara ketat distribusi keparahan DA dalam masyarakat. Beberapa studi telah mengukur morbiditas DA, tapi kasus-kasus DA sering mencapai skor morbiditas tertinggi pada ukuran kecacatan genetik ketika dibandingkan dengan penyakit kulit lainnya pada studi di rumah sakit. Selain itu, penurunan kualitas hidup sangat terkait secara langsung dengan keparahan dermatitis atopik. Morbiditas secara psikologis diasosiasikan dengan menggaruk terus-menerus, tidur terganggu, dan bekas yang terlihat pada kulit juga dapat mempengaruhi pasien.

2. 2. 3. Umur dan Jenis Kelamin Dermatitis atopik merupakan penyakit yang predominan terhadap anak-anak, dan hanya beberapa studi yang telah meneliti DA pada populasi pasien dewasa. Perbedaan jenis kelamin yang sedikit pada DA, dengan prevalensi sedikit lebih tinggi pada perempuan, telah dicatat sebelumnya, tapi tetap saja hal ini bukanlah penemuan yang konsisten.

2. 2. 4. Kelas Sosial dan Banyaknya Anggota Keluarga Dermatitis atopik yang telah dilaporkan menunjukkan gradien kelas sosial yang sangat positif (DA lebih sering terjadi pada pasien dari kelompok sosial ekonomi yang tinggi). Kurangnya risiko terjadinya DA juga telah diperlihatkan dari anak-anak yang berasal dari keluarga yang memiliki banyak anggota keluarga (Harper dkk, 2006).

2. 3. Faktor Risiko dan Faktor Pencetus


DA merupakan proses multifaktor, yaitu sebagai hasil peran kerjasama faktor genetik, lingkungan berupa paparan alergen, iritan atau perubahan cuaca, stress psikologis, disfungsi sawar kulit dan abnormalitas imunologi. Faktor resiko terjadinya DA antara lain : (Kang et al., 2003, Leung et al., 2008, Simpson and Hanifin, 2005, Mutius, 2002) 2. 3. 1. Genetik Pada suatu penelitian yang dilakukan pada 372 penderita DA, ditemukan insiden alergi pernapasan perseorangan sebesar 95% dan riwayat atopi dalam keluarga sebesar 73%. Dalam kohort tersebut, insiden asma alergik dan rinitis alergi pada anggota keluarga penderita yang tidak mengalami alergi pernapasan perseorangan cukup tinggi, masing-masing sebesar 73% dan 32%. Namun insiden DA dalam keluarga penderita DA yang mengalami alergi pernafasan atau tidak, masing-masing adalah 34% dan 27%. Hal ini menunjukkan bahwa pewarisan DA tidak berhubungan dengan DA itu sendiri namun sangat dipengaruhi oleh fase atopik terutama alergi pernapasan. Dari penyakit atopik, karakteristik status atopik oleh respon uji tusuk kulit positif pada alergen yang umum. Sekitar 80% dari bayi dengan DA memperlihatkan peningkatan level serum total IgE (fenotip yang kira-kira 47% diturunkan). Riwayat orangtua diperkirakan mempunyai peranan penting pada penyebab DA (dan kondisi atopik lainnya) karena risiko penyakit pada bayi biasanya sering meskipun tidak selalu ditemukan hubungan yang dekat pada status pihak ibu daripada ayah.(Morar et al., 2006)

2. 3. 2. Laktasi Terjadi perbedaan bayi yang mendapat air susu ibu (ASI) dengan yang non ASI. Makin panjang waktu mendapat ASI makin kecil kemungkinan untuk

mendapat DA. Menyusui lebih baik daripada minuman/makanan formula untuk nutrisi bayi oleh karena keuntungan nutrisial, imunologi dan psikologik. Yang dkk, meneliti hubungan antara menyusui dan terjadinya DA yang menunjukkan hasil yang tidak menentu, dimana hasilnya tidak ada pembuktian yang kuat dari efek proteksi dari menyusui secara eksklusif paling tidak 3 bulan terhadap DA, meskipun diantara anak-anak dengan riwayat keluarga yang positif DA (Yang et al., 2009).

2. 3. 3. Sosioekonomi DA lebih banyak ditemukan pada status sosial yang tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Laporan prevalensi eksema meningkat 1.5-2 kali lebih tinggi pada sosial kelas atas I dan II. Beberapa studi

membandingkan prevalensi sosial ekonomi pada penyakit yang fatal dan tidak fatal, hasilnya paling banyak penyakit menunjukkan prevalensi yang meningkat diantara kelompok berpendidikan rendah. Alergi lebih sering pada kelompok

berpendidikan tinggi (Dalstra et al., 2005).

2. 3. 4. Polusi Lingkungan Antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada

10

kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang tidak dibilas dengan sempurna.

2. 3. 5. Jumlah Anggota Keluarga Kejadian DA berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah anggota

keluarga. Beberapa hipotesis yang telah ada untuk menjelaskan efek keluarga. Hal in tampaknya tidak memungkinkan bahwa usia ibu merupakan faktor penyebab yang mendasari. Suatu penelitian mengemukakan bahwa infeksi pada anak-anak di tularkan oleh kerena kontak yang tidak sehat dengan keluarga lainnya atau dapatan dari ibu yang terinfeksi dengan anak lainnya, dapat mencegah terjadinya penyakit alergi. Faktor pencetus terjadinya dermatitis atopik antara lain: (Boediarja, 2000) 2. 3. 5. 1. Alergen Berbagai alergen setelah bereaksi dengan IgE mampu menimbulkan reaksi hipersensitivitas fase I di kulit, reaksi ini disebut IgE mediated reaction. - Alergen makanan: molekul protein yang berasal dari makanan yang ditelan pada umumnya merupakan antigen pencetus reaksi alergi pada DA. Pada penderita DA diduga secretory IgA di usus menurun disertai permeabilitas usus meningkat. Reaksi di kulit dapat timbul dalam waktu relatif cepat, 1 jam atau 2 jam setalah menelan makanan yang

mengandung antigen tersebut. - Alergen hirup: telah diketahui bahwa debu rumah, tungau debu rumah (TDR), serta bubuk sari merupakan alergen hirup yang 14 berkaitan erat dengan asma bronkial pada atopi dan dapat menjadi faktor pencetus DA.

11

2. 3. 5. 2. Bahan Iritan Pada penderita DA lebih sering ditemukan dermatitis kontak iritan daripada dermatitis kontak alergik, hal ini mudah terjadi oleh karena kerusakan sawar kulit. Bahan iritan meskipun yang bersifat iritan lemah, dapat menyebabkan DA

2. 3. 5. 3. Infeksi Infeksi yang terjadi baik di kulit maupun organ lain terutama saluran napas atas, oleh virus mononukleosis dapat menjadi faktor pencetus DA. Staphylococcus aureus tidak hanya menimbulkan infeksi tetapi dapat bertindak sebagai superantigen. Protein A pada kapsul Staphylococcus aureus dapat berikatan langsung dengan IgE sehingga memicu pelepasa histamin oleh sel mas dan basofil. Kolonisasi Staphylococcus aureus di kulit DA lebih banyak daripada kulit orang normal demikian pula kolonisasi pada lesi DA lebih banyak daripada kulit nonlesi.

2. 3. 5. 4. Faktor Psikis Hubungan psikis dengan penyakit dapat timbal balik, demikian pula pada DA. Akibat perjalanan penyakit yang kronik residif, pada umumnya penderita DA mengalami gangguan emosi. Stres merangsang pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang menimbulkan rasa gatal (Boediarja, 2000). Faktor psikologik memperngaruhi beberapa kondisi dermatologi termasuk dermatitis atopik, psoriasis, alopecia areata, urtikaria dan angioedema, and acne vulgaris. Pasien atopic dengan masalah

emosional dapat terjadi anxiety/depresi dan gejala dermatologi yang

12

hebat.gatal yang hebat menyebabkan insomnia dan tidur yang kurang, keadaan jiwa yang labil.(Levenson, 2008)

2. 4. Patogenesis Dermatitis Atopik


Konstituen selular utama dari sistem kekebalan kulit (SKS) adalah sebagai berikut: sel mast, limfosit T, LC yang mengekspresikan E-kaderin, keratinosit, high endotelial venules (HEV), dan beberapa molekul adesi. Sel-sel tersebut bersama-sama dengan eosinofil secara ketat bertautan untuk mengatur sensitisasi alergi. Berlawanan dengan temuan umum yang menekankan bahwa kulit normal mengandung 8,000 sel mast/mm3, Irani et al telah menunjukkan bahwa pada pasien DA terdapat 20.00040.000/mm3, and 94% adalah TC (triptase dan kimase). Sel mas berpartisipasi dalam IgE-mediated reaksi hipersensitivitas, dan telah diidentifikasi pada epidermis pasienpasien DA. Sel mas pada kulit manusia, telah ditemukan dapat memerintahkan respons sekresi (histamin dan mediator lain) untuk sejumlah rangsangan imunologi host, seperti neuropeptida, termasuk zat P (SP), vasoactive intestinal peptide (VIP), somatostatin, tetapi tidak untuk protein eosinofil granula, dua di antaranya, MBP (protein dasar utama) dan EPO (Eosinofil peroksidase), menghambat SP akibat pelepasan histamin dari sel mast kulit manusia. Sel mas kulit mengandung dan melepaskan IL, di antaranya TNF- (tumor necrosis factor-) yang menginduksi endothelial leukocyte adhesion molecule 1 (CD62E) karena bersilangan dengan reseptor afinitas tinggi untuk IgE (FcRI). Aktivasi langsung dari sel mast oleh IgE dan interaksi juga tidak tergantung pada CD40, dan CD40L, yang diekspresikan oleh sel-sel metakromatis, menjadi jelas dengan induksi potensi IL4, penjelasan yang jelas dari amplifikasi dan propagasi Th2-respons. Temuan ini menunjukkan bahwa IgE sensitisasi adalah realitas yang jelas.

13

Pewarnaan imunohistokimia penyakit kulit akut dan kronis pada pasien DA mengungkapkan jumlah yang langka dari infiltrasi limfosit yang terdiri terutama sel T (CD3, CD4, CD45RO) dan antigen permukaan HLA-DR dengan hanya sesekali CD8 + limfosit. Hal ini memicu peneliti untuk berspekulasi bahwa beberapa imunologi dan mungkin kesamaan fungsional antara epitel timus dan epidermis dapat menjelaskan peran potensial kulit dalam pematangan sub-populasi tertentu limfosit: bahkan jika limfosit SKS mengungkapkan dua fenotipe, B dan T, sebagian besar sel secara lokal saat ini adalah limfosit T dan mungkin tidak ada pengaruh tambahan dikaitkan dengan infiltrasi eksklusif sel T. Sebaliknya, sel B hampir tidak ada. Selain itu, ada sirkulasi sel memori (CD45RO +), semua dengan CLA (kutaneus limfosit terkait antigen), diekspresikan oleh 45% dari sel T kulit. CD45 diaktifkan dengan demikian menunjukkan kontak sebelumnya dengan alergen, karena sel T virgin melokalisasi buruk di kulit. Penelitian lain memberikan data penting tentang sel endotel vaskular yang mengekspresikan konsentrasi tinggi sel memori skin-homing seperti CD62E, CD54 (ICAM-1), dan CD106 (VCAM-1), dengan HEV yang juga mengekspresikan CD62E. CD62E berfungsi sebagai skin-specific addressin utama di tempat yang terkena peradangan kronis dan berinteraksi dengan CLA. Kontrareseptor tambahan pada limfosit adalah 4fl1 = CD49d/CD29 untuk CD106 dan CD11a = LFA-1 untuk CD5416. MCP-1 (monosit chemotactic protein-1) adalah kemoatraktan tambahan yang penting untuk sel T, dan dalam kasus khusus ini adalah reseptor yang terkait untuk Ga1 protein, sedangkan CD49d/CD29 dan CD11a/CD18 masing-masing bertautan dengan CD106 dan CD54/102 (ICAM-2). Oleh karena molekul adesi spesifik untuk kompartemen kulit mengikat secara istimewa dengan sel-sel T CLA + (atau MCP-1 +), sehingga mendukung terjadinya akumulasi sel-sel tersebut di lesi kulit yang kronis, sedangkan kelenjar getah bening regional yang mengeluarkan jaringan limfoid sekunder menghubungkan kompartemen kulit dengan darah melalui jalur aferen dan eferen. Secara khusus, TNF- memiliki kapasitas untuk bertindak pada sub-populasi selektif sirkulasi sel T, terutama CD4+CD45RO+ yang mengekspresikan CLA atau MCP-1 yang mendukung sel T yang menempati kulit,

14

dan perlekatan pada endotelium. Kesimpulannya adalah bahwa semua molekul mendukung lokalisasi CLA khususnya di bagian yang terkena pada kulit, sementara CLA negatif direpresentasikan dalam jaringan paru-paru, sehingga subset T limfosit adalah pemicu dari disregulasi atopik pertama di jaringan kulit, dan kedua di paruparu, sehingga paralel dengan tidak adanya LC di paru-paru pada bulan-bulan pertama kehidupan. Sel-sel epidermis kulit terdiri dari 95% keratinosit, dan merupakan sel-sel kulit utama yang melepaskan ILS. Keratinosit dapat bertindak sebagai transduser sinyal, mampu mengubah rangsangan eksogen, seperti cedera lokal, iritasi mekanis, radiasi UV, ikut serta dalam produksi ILs proinflamasi epidermis, integrin dan faktor kemotaktik, serta LCs, dan sebagai konsekuensinya dapat memulai dan memperburuk peradangan kutan. Sel-sel pertama yang menghadapi alergen, sekarang diyakini memainkan peran aktif dalam memulai, dan mungkin, mengarahkan respon imun mukosa dengan dikeluarkannya berbagai ILs. Keratinosit mengerahkan peran pengaturan imun yang aktif dengan infiltrasi sel mononuklear darah perifer (PBMC), sel-sel ini mengekspresikan HLA-DR kelas II dan antigen CD54, berkorelasi dengan infiltrasi limfosit, antigen CD36, dan platelet-derived growth factor (PDGF) pada kulit, selain itu melepaskan molekul adesi. Keratinosit kulit biasanya tidak mengekspresikan antigen HLA-DR, tetapi dapat diinduksi untuk melakukannya pada keberadaan limfosit T yang aktif dalam korespondensi sensitisasi primer. Namun, kurangnya pengeluaran HLA-DR oleh keratinosit mungkin memainkan peran dalam induksi stimulasi sel T yang menyebabkan diferensiasi allergen spesifik tertentu limfosit Th2 dan perkembangan alergi. Penelitian lebih lanjut akan menjelaskan apakah diferensiasi Th2 mendahului kurangnya induksi HLA-DR, atau secara alternatif, kurangnya HLA-DR adalah faktor utama yang menyebabkan aktivasi Th2. Sebaliknya, pada keratinosit epidermis yang mengekspresikan CD80 secara konstitutif bisa diubah menjadi APC (antigen presenting cells), dan memainkan peran penting dalam resolusi reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit

15

berdasarkan kemampuan mereka untuk menginduksi anergi klonal sel T-helper. Pengaturan yang berubah pada ekspresi gen CD80 oleh sel epidermis dapat menjelaskan "hiperresponsif" kulit yang ditemukan pada penderita DA kronis. Studi terbaru menunjukkan peran gangguan dan degranulasi eosinofil dalam memodulasi kerusakan jaringan. CD40 ligan (CD154) secara fungsional

diekspresikan pada eosinofil manusia sehingga mendorong perubahan limfosit B menjadi fenotip IgE. Eosinofil tidak hanya aktif dalam mediasi peradangan alergi, tetapi juga campur tangan dalam jaringan selular dengan APC, sel mast, dan limfosit T. Beberapa protein kationik yang berpengaruh dan bersifat toksik, telah diamati dalam butiran eosinofil, termasuk MBP, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil cationic protein (ECP), dan EPO. Ditemukan bahwa protein ini terlibat dalam kerusakan jaringan yang terkait dengan peradangan kulit namun peran mereka dalam patofisiologi DA masih belum jelas. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa protein ini meningkat dalam sirkulasi perifer pasien DA. Biasanya, jumlah serum MBP meningkat pada pasien yang terkena berbagai gangguan yang terkait dengan eosinofilia dan berkorelasi secara signifikan dengan jumlah eosinofil darah tepi. Jumlah ECP dan MBP rendah dalam serum dan/atau pada kulit orang sehat, dan tinggi pada pasien DA (MBP 454 90 vs 687 299 ng / ml). Namun, kedua peningkatan tingkat MBP dalam darah perifer dan aktivasi perangkat eosinofil telah dibuktikan. Meskipun eosinofilia darah tepi adalah karakteristik umum DA, akumulasi eosinofil jaringan tidak menonjol. Beberapa studi telah menunjukkan gangguan eosinofil dan hilangnya ciri khas morfologi pada kulit pasien DA. Baru-baru ini, telah dipelajari degranulasi eosinofil pada jaringan kulit manusia. Pewarnaan imunofluoresensi dari lokasi kulit yang terkena menunjukkan deposisi luas MBC tanpa adanya eosinofil jaringan banyak menunjukkan bahwa selsel tersebut mengalami degranulasi di kulit. Dari sebagian besar spesimen DA yang diperiksa, Leiferman dkk. juga menemukan deposisi MBP dalam pola butiran lebih dalam pada dermis. Deposisi MBP Ekstraseluler jauh lebih menyebar di lokasi kulit

16

yang terlibat dibandingkan di lokasi kulit yang tidak terlibat. Menariknya, MBP deposisi yang luas di kulit ditunjukkan pada 2 anak yang mengalami lesi ekzim setelah DBPCFC (double-blind, placebo-controlled food challenge), hal ini lagi-lagi mengindikasikan peran alergi makanan (FA) dan eosinofil pada DA. Deposisi EDN dipelajari oleh Leiferman pada pasien DA. Spesimen kulit pasien DA menunjukkan deposisi EDN ekstraseluler granular yang luas pada bagian atas dermis sehingga menghasilkan bukti lebih lanjut untuk peran EDN di DA. Pemeriksaan mikroskop elektron menunjukkan degenerasi dan gangguan eosinofil dengan banyaknya granul-granul eosinofil yang bebas di dermis, hal ini menguatkan bukti degranulasi eosinofil di DA. Selain itu, penelitian ini tampaknya menunjukkan bahwa EDN darah tepi dapat menjadi penanda yang lebih sensitif dari degranulasi eosinofil daripada MBP darah tepi. Menurut penulis lain, jumlah serum dari ECP pada anak-anak yang mengalami DA ditemukan meningkat. Jumlah serum ECP adalah 12,2 mg / l 9,6 pada anak yang mengalami DA, dan 6,6 mg / l 3,7 pada anak normal (p <0,001). Meskipun tidak adanya korelasi antara tingkat serum ECP dan IgE total, dan juga antara jumlah mutlak eosinofil darah tepi dan jumlah serum ECP, ada kemungkinan bahwa

peningkatan konsentrasi serum ECP pada pasien DA mungkin mencerminkan aktivasi eosinofil di kulit. Namun telah dilaporkan bahwa ECP in vitro dapat merangsang peningkatan pelepasan histamin dan dapat menekan fungsi limfosit-T melalui mekanisme nontoksik. Oleh karena itu, hal tersebut memicu untuk berspekulasi bahwa protein kationik eosinofil, selain efek berbahaya bagi kulit, dapat menyebabkan kelainan imunologi yang mendalam yang digambarkan pada pasien DA. Deteksi tingkat ECP yang meningkat dalam serum pasien DA dan berkorelasi dengan keparahan penyakit hanya mewakili ukuran tidak langsung dari proses patologis yang terjadi di kulit. Oleh karena itu pengukuran ECP mungkin merupakan alat non invasif untuk menilai aktivitas klinis DA dalam kaitannya dengan keterlibatan eosinofil di DA.

17

LC dan Makrofag LC = CD1a + (3-4%), merupakan kontingen epidermis milik famili sel aksesori yang ampuh disebut DC, bertindak sebagai APC, mengekspresikan antigen HLA kelas II, beserta antigen CD1a dan CD4. Fungsi dari butiran sitoplasma Birbeck ini belum begitu diketahui. LC yang terletak di lapisan suprabasal dari epidermidis mengekspresikan E-kaderin, molekul adhesi homofilik yang memodulasi perlekatan ke keratinosit secara in vitro. LC juga mengekspresikan CD11a, CD11b, CD36 dan HLA-DR pada lesi kronis, berbeda dengan kulit normal, selain itu LC juga mengekspresikan CD54, CD80 dan CD8645. Sebuah terobosan besar dalam pemahaman mengenai patogenesis DA diketahui dengan ditunjukkannya IgE yang berikatan dengan membran pada LC epidermis. Studi dengan CD1 + telah menunjukkan bahwa LC di DA mengikat kedua FceRI dan FceRII = CD2346, dalam proporsi yang berbeda: 6,63 1,92 vs 0,67 1,12 sel, masing-masing, up regulation FceRI tidak hadir dalam eksim kontak alergi . Namun peran fungsional untuk CD23 tidak boleh dikesampingkan, karena ekspresi CD23 diregulasi oleh IL4. Lagi pula, antigen terfasilitasi yang prosesnya melalui CD23 telah ditemukan. Respons sel T spesifik dapat dideteksi dengan menggunakan kadar serum alergen yang dikompleksikan dengan IgE yang 1000 kali lipat lebih rendah. Mudde dkk. telah menunjukkan bahwa IgE + LC mampu menyajikan alergen Der p untuk sel T sehingga menunjukkan bahwa IgE yang terikat pada sel di LC dapat memfasilitasi pengikatan alergen untuk LCs sebelum pengolahan dan presentasi dari LC. Akibatnya, ekspresi IgE-bearing LC di DA mungkin memiliki hasil patogenetik serius. Makrofag yang menyusup ke dalam lesi kulit DA telah menunjukkan adanya kandungan CD23 pada permukaan sel mereka yang diekspresikan sebagai respons dari IL4 atau GM-CSF, dan direkrut oleh monocyte chemotactic protein-3 (MCP-3) dan RANTES (regulated on activation normal T expressed and secreted) di kulit penderita atopik. Hal ini juga telah menunjukkan bahwa alergen mengaktifkan IgE-

18

bearing makrofag secara IgE-dependent, dengan pembentukan leukotrien, PAF (platelet activating factor), IL1, dan TNF. IgE-bearing makrofag juga dapat diaktifkan oleh autoantibodi untuk IgE, yang hadir pada pasien DA. Secara keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa meskipun IgE-bearing LC dan makrofag dapat ditemukan di kondisi kulit inflamasi lain, seperti psoriasis, penyakit kulit tersebut tidak berhubungan dengan produksi IgE spesifik alergen tertentu.

LC APC dan limfosit T LC adalah sel-sel yang paling ampuh dalam epidermis sehubungan dengan penyajian alergen. Penyajian alergen inhalan pada pasien dengan DA dapat difasilitasi oleh pengikatan alergen ke LC-bound IgE. Setelah kontak dengan alergen, beberapa LC menjadi aktif, keluar dari epidermis sehingga alergen LC-bound ditransfer ke dermis, akhirnya LC bermigrasi ke regio sel T-dependan dari getah bening regional yang merupakan lokalisasi pematangan LC. LC memproses antigen protein, banyak mengekspresikan HLA kelas I dan II dan menyajikan alergen Der p untuk sel T naif, menginduksi aktivasi sel-sel tersebut, dan untuk sel mast, merangsang pelepasan mediator. Seperti pada patogenesis DA, aktivasi limfosit harus dilihat sebagai reaksi-urutan yang paling signifikan. Tanpa ragu alergen spesifik sel T yang diaktifkan oleh alergen-IgE + LC mengeluarkan IL4 dan IL5, akibatnya limfosit B dalam kelenjar getah bening aferen mensintesis IgE dan sumsum tulang membentuk eosinofil. Oleh karena itu, kadar serum IgE yang tinggi dan eosinofilia darah tepi adalah fenomena penting dalam DA yang berkaitan dengan rangsangan sel T oleh IgE-bearing LC setelah pengikatan alergen. Karena tidak ada sel B ditemukan pada pasien DA, aktivasi limfosit T harus diterjemahkan secara sistemik bukan secara lokal, sehingga menjelaskan serum sangat peningkatan kadar serum IgE yang sangat tinggi dan eosinofilia darah tepi sebagai subyek. IgE yang terbentuk akan menyediakan LC dengan IgE sel-terikat: sebagai hasilnya, LC akan merangsang

19

alergen spesifik limfosit Th2 secara bebas bukan sel mast. Ada kemungkinan bahwa usaha-usaha yang mendorong diferensiasi ke dalam sel Th2 pada pasien AD terkait dengan kelainan dalam APC, seperti yang baru-baru ini dikonfirmasi oleh penelitian tentang TAP. Amplifikasi Th2 mendukung penurunan IFN- dan hasil produksi IL4 yang tinggi pada DA menaikkan sintesis IgE.

Sitokin dan AD Menyimpulkan data yang belum terakhir pada peran ILs dilepaskan oleh sel epidermal pada patogenesis DA, kami menunjukkan asal-usul ILs kulit pada Tabel I. TGF- dan IL10 telah diidentifikasi sebagai inhibitor dari beberapa ILs. Selain itu TNF- diekspresikan oleh sel mast yang mengatur CD62E pada keratinosit, memfasilitasi interaksi mereka dengan sel-sel CD11a/CD18-T. Produksi IL oleh klon limfosit-T di DA diringkas dalam Tabel II (Cantani, 2001). Tabel 2.1. Sel-sel yang Memproduksi Sitokin Kulit. LC: IL1, IL6, IL8, IL10, G-CSF, GM-CSF, M-CSF, TNF-; Keratinosit: IL1, IL3, IL6-IL8, IL10, G-CSF, GM-CSF, M-CSF, PDGF, TGF- dan-, TNF-; Melanosit: IL1, IL6, IL8, G-CSF, GM-CSF, M-CSF, PDGF, TGF- dan-, TNF-

Tabel 2.2. Produksi Sitokin oleh Klon Limfosit T pada DA. Sitokin Spesifik dpt CD4+ Penyumbang Atopik IL2 IL4 + +++ Klon Limfosit T Pendonor non-Atopik +++ -

20

IL5 IL6 GM-CSF IFN- TNF-

+++ +++ +++ + +++

+ ++ +++ +++ +++

2. 5. Gejala Klinis
Manifestasi klinis Gejala utama dari DA adalah pruritus yang intens, biasanya tanpa demam atau gejala konstitusional lainnya. Pruritis bisa begitu parah hingga dapat menyebabkan gangguan tidur, lekas marah dan stres umum untuk pasien yang terkena dan keluarga. Salah satu presentasi yang paling umum adalah ruam persisten pada bayi usia kurang dari 6 bulan. Hal ini biasanya dilaporkan bahwa ada kulit kering sejak lahir dan ruam yang hilang timbul untuk beberapa bulan (Jamal, 2007). Papula dapat terasa sangat gatal (prurigo papula) bersamaan dengan timbulnya vesikel (papulovesikel) dan eritema, merupakan gambaran lesi eksematous. Prurigo papules, lesi eksematous dan likenifikasi dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basah (weeping) dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut (Kariosentono, 2007). Temuan kulit bergantung pada stadium penyakit: Akut - Erosi dengan eksudat serosa atau ruam papular yang sangat gatal dan vesikel pada dasar eritematosa. Subakut - Lesi ditandai dengan skala atau plakat di atas kulit eritematosa. Kronis - Lesi dikenali oleh kehadiran likenifikasi dan perubahan pigmen dengan ekskoriasi papula dan nodul. Lesi sekunder mungkin terinfeksi akibat

21

garukan. Lesi yang terinfeksi hadir dengan krusta berwarna kuning atau impetigo atau sekeliling karakteristik eritema selulitis.

Dermatitis atopik dapat hadir dalam manifestasi lain seperti: 1. Iktiosis vulgaris, yang muncul sebagai telapak tangan dan telapak hiperlinear dengan skala fishlike poligonal, terutama pada kaki bagian bawah; 2. Keratosis pilaris, papula folikuler tanpa gejala terangsang pada permukaan ekstensor dari, pantat lengan atas dan paha anterior; 3. Xerosis atau kulit kering, yang mengarah pada kecenderungan untuk retak dan fissuring dengan rincian penghalang kulit resultan meningkatkan kerentanan terhadap iritasi dan infeksi; 4. Keratoconus (kornea berbentuk kerucut) pada kasus berat, yang memerlukan transplantasi kornea selanjutnya; 5. Temuan periokular, yang meliputi hiperpigmentasi periorbital, lipatan infraorbital yang menonjol (Dennie-Morgan fold), katarak subkapsuler anterior (dalam 4 sampai 12% pasien dengan DA, sementara katarak posterior biasanya merupakan efek samping dari kortikosteroid oral atau steroid topikal digunakan dalam daerah periorbital).

Karakteristik terkait lainnya termasuk eritem wajah, pucat perioral, dan pitriasis alba. Gambaran klinis dermatitis atopik: Karakteristik mayor Pruritis Kronis atau kambuh dermatitis Wajah dan ekstensor keterlibatan pada bayi dan anak Lentur dan likenifikasi pada anak yang lebih tua dan orang dewasa Pribadi atau riwayat keluarga atopi

22

Karakteristik minor Usia onset setelah usia 2 bulan Xerosis Iktiosis, telapak tangan hyperlinear, keratosis Palmaris Anaerobik - Lipatan Dennie-Morgan infraorbital - Katarak Subkapsuler Anterior - Keratoconus Puting eksim Wajah pucat atau eritema Dermatitis nonspesifik di tangan dan kaki Infeksi kutaneus

DISTRIBUSI Awitan timbulnya DA berdasarkan usia dapat terjadi pada masa bayi, anak, dan dewasa. Pada bayi (3 bulan sampai 2 tahun), pipi, dahi, kulit kepala, pergelangan tangan dan aspek ekstensor dari lengan dan kaki sering terlibat. Di bagian lampin siku biasanya terhindar. Keterlibatan kulit kepala mungkin cukup parah untuk menyebabkan alopesia. Gejala pada bayi biasanya mulai pada wajah kemudian menyebar terutama ke daerah ekstensor dan lesi biasanya basah, eksudativ, berkrustae, dan sering terjadi infeksi sekunder. Lesi DA pada anak berjalan kronis akan berlanjut sampai usia sekolah dan predileksi biasanya terdapat pada lipat siku, lipat lutut, leher, dan pergelangan tangan. Jari-jari tangan sering terkena dengan lesi eksudativ dan kadang-kadang terjadi kelainan kuku. Pada umumnya kelainan pada kulit DA akan tampak kering, dibanding usia bayi dan sering terjadi likenifikasi. Perubahan pigmen kulit bisa terjadi dengan berlanjutnya lesi, menjadi

hiperpigmentasi atau kadang hipopigmentasi bahkan depigmentasi. Pada anak-anak usia 2 - 12 tahun pada permukaan fleksor, leher, pergelangan tangan dan pergelangan kaki adalah tempat yang sering terkena. Lesi pada remaja dan dewasa muda adalah

23

ruam pada daerah fleksor lengan (antecubital dan poplitea), kaki, wajah (terutama daerah periorbital) dan leher. DA bentuk dewasa lesi mirip dengan lesi pada anakanak usia lanjut (8-12 tahun) dengan didapatkan likenifikasi terutama pada daerah lipatan-lipatan dan tangan. Selain gejala utama yang telah diterangkan, juga ada gejala lain yang tidak selalu terdapat, yang dikenal dengan kriteria minor seperti pada criteria diagnosis dari Hanifin-Rajka. Kehadiran distribusi ekstensor pada anak yang lebih tua dan orang dewasa menunjukkan prognosis buruk pada pengobatan utama. Ketiak, keterlibatan selangkangan dan intergluteal jarang terjadi dan harus meningkatkan kecurigaan dari beberapa faktor penyebab lainnya (Jamal, 2007; Kariosentono, 2007).

2. 6. Diagnosis
Kriteria diagnosis dermatitis atopik Menetapkan kriteria diagnostik yang kuat dan bermanfaat untuk semua bentuk DA adalah tugas yang sulit karena heterogenitas klinis dan patofisiologi (morfologi, distribusi, usia, peran, iritasi atau alergi, dll). Adapun fenotipe imunologi, Wuthrich mengusulkan dua tipe: 1. DA yang diasosiasikan dengan hipersensitivitas IgE-mediated (dengan atau tanpa penyakit respiratori atopik), tipe ekstrinsik (eDA); 2. DA tanpa penaikan serum total IgE, hasil skrining IgE negatif untuk aeroallergen dan allergen makanan in vitro dan oleh skin prick test, dan hasil anamnesis negatif untuk penyakit atopik lain tapi dengan disregulasi nonspesifik, tipe instrinsik (iDA). Secara total, 20-40% pasien dengan pure DA (tanpa penyakit respiratori) dilaporkan termasuk ke tipe iDA. Masalah definisi ini adalah perubahan yang berhubungan dengan usia dari abnormalitas imunologi, tidak memungkinkan

24

klasifikasi yang pasti pada anak-anak seperti yang ditunjukkan oleh studi follow-up oleh Novembre et al. Penulis mengusulkan istilah berikut: Early atopic: hasil skin prick test positif pada evaluasi awal (umur 2 tahun) (64% pada serinya); Late-onset atopic: hasil skin prick test negatif pada evaluasi pertama (umur 2 tahun), tapi positif pada follow-up (umur 11 tahun)(21%); Non-atopic(iDA): hasil skin prick test negatif pada evaluasi pertama dan follow-up (15%). Masih belum ada penanda khusus untuk DA. Dengan tidak adanya petunjuk sederhana untuk diagnosis, itu harus disusun dari konstelasi ciri karakteristik. Hanifin dan Rajka yang pertama kali mengupayakan pendekatan sistematis terhadap standardisasi diagnosis DA pada tahun 1980 (Harper et al, 2006). Dari criteria mayor, pruritus dan kronik atau DA yang mengalami remisi dengan distribusi dan morfologi yang khas merupakan hal-hal yang penting untuk diagnosis DA (Leung et al, 2008). Diagnosis DA dapat ditegakkan jika terdapat masing-masing minimal tiga dari kriteria mayor dan minor. Kriteria-kriteria ini berdasarkan pengalaman klinis dan masih disebut sebagai 'gold standard' dalam penelitian dan pengajaran akademis (Harper et al, 2006). Kriteria mayor Pruritus Distribusi dan morfologi khas: - Wajah dan ekstensor - Terjadi selama masa bayi dan awal masa kanak-kanak Kronik dan kekambuhan kronis dermatitis Riwayat atopik keluarga (asma, rinokonjungtivitis alergi, dermatitis atopik)

25

Kriteria minor Xerosis Ichthyosis/hiperlinearitas palmar/pilaris keratosis Reaktivitas IgE (IgE meningkat, hasil skin prick test positif) Dermatitis pada tangan dan kaki Keilitis Dermatitis pada kulit kepala Kerentanan terhadap infeksi kutaneus (khususnya Staphylococcus aureus dan virus herpes simpleks) Aksentuasi perifolikular (khususnya pada ras yang berpigmen)

2. 7. Diferensial Diagnosis
Karena lesi kulit dermatitis atopik di dapat memiliki banyak bentuk (papula, vesikula, plak, nodul dan ekskoriasi), diagnosis banding dermatitis atopik sangat luas. Kondisi yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan pruritus meliputi dermatitis seboroik, psoriasis dan neurodermatitis. Karakteristik yang membedakan kondisi ini dan lainnya dari dermatitis atopik tercantum dalam Tabel 2 (Correale et al, 1999).

Tabel 2.3. Diferensial Diagnosis Dermatitis Atopik Penyakit Dermatitis seboroik Karakter pembeda Berminyak, lesi bersisik, tidak adanya

26

riwayat atopik pada keluarga Psoriasis Patch terlokalisasi di ekstensor,

permukaan kulit kepala, pantat; kuku berbintik-bintik Neurodermatitis Biasanya, petak satu di tempat yang gatal-gatal, tidak terdapat riwayat atopik pada keluarga

Dermatitis kontak

Riwayat terpapar positif, ruam di daerah paparan, tidak terdapat riwayat atopik pada keluarga

Skabies

Papula, keterlibatan finger web, scraping klulit positif

Penyakit sistemik

Penemuan

riwayat

penyakit

yang

lengkap dan pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan penyakit Dermatitis herpetiformis Vesikel di daerah ekstensor dan

enteropati yang terkait Infeksi dermatofit Plak serpiginous dengan bagian tengah yang bersih, positif pada pemeriksaan kalium hidroksida Gangguan imunodefisiensi Riwayat infeksi berulang

27

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Operasional


Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

- Jenis kelamin - Usia - Lokasi ruam - Jenis ruam - Riwayat atopik Dermatitis Atopik

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

3.2. Variabel dan Defenisi Operasional


a. Dermatitis atopik ialah kelainan kulit yang sudah didiagnosis oleh dokter sebagai dermatitis atopik dan tercatat pada rekam medik di RSUD Dr.Pirngadi Medan b. Jenis kelamin yang akan diteliti adalah jenis kelamin sesuai dengan yang tercatat pada rekam medik di RSUD Dr. Pirngadi Medan.

28

c. Usia yang akan diteliti adalah umur saat pertama kali didiagnosis menderita dermatitis atopik sesuai dengan yang tercatat pada rekam medik di RSUD Dr. Pirngadi Medan. d. Lokasi ruam yang akan diteliti ialah lokasi ruam saat didiagnosis menderita dermatitis atopik sesuai dengan yang tercatat pada rekam medik di RSUD Dr. Pirngadi Medan. e. Jenis ruam yang akan diteliti ialah jenis ruam saat didiagnosis menderita dermatitis atopik sesuai dengan yang tercatat pada rekam medik di RSUD Dr. Pirngadi Medan. f. Riwayat atopik akan dilihat positif atau tidak yang tercatat pada rekam medik di RSUD DR. Pirngadi Medan saat didiagnosis menderita dermatitis atopik.

Tabel 3.1. Definisi Operasional No Variabel Penelitian Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur 1. Dermatitis Atopik Data sekunder dari Menderita rekam medik 2. Jenis Kelamin atopik atau Nominal dermatitis Nominal

Data sekunder dari Laki-laki rekam medik perempuan

3.

Usia

Data sekunder dari 1. >12 tahun rekam medik 2. 12 40 tahun 3. >40 tahun

Ordinal

4.

Lokasi Ruam

Data sekunder dari 1. Muka (dahi, pipi, Nominal rekam medik sekitar mata) 2. Skalp 3. Leher

29

4.

Ekstremitas

atas

(Pergelangan lipat siku)

tangan,

5. Ekstremitas bawah (lutut, lipat lutut) 6. Badan 7. Dan lain-lain 5. Jenis Ruam Data sekunder dari 1. Eritema rekam medik 2. Papulo-vesikel 3. Krusta 4. Likenifikasi 5. Papul 6. Skuama 7. Erosi 8. Ekskoriasi 9. Dan lain-lain 6. Riwayat Atopik Data sekunder dari Positif atau tidak rekam medik Nominal Nominal

30

BAB 4 METODE PENELITIAN

4. 1. Jenis Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan ialah penelitian deskriptif dengan desain potong-melintang (cross sectional) untuk melihat gambaran kelainan kulit pada pasien DA di RSUD dr.Pirngadi Medan pada tahun 2011.

4. 2. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Kulit Kelamin RSUD dr. Pirngadi Medan. Penelitian telah dilakukan selama kurang lebih satu bulan, yaitu September 2012 sampai Oktober 2012.

4. 3. Populasi dan Sampel 4. 3. 1. Populasi


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang menderita dermatitis atopik yang berkunjung di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011.

4. 3. 2. Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling. Seluruh pasien

dermatitis atopik yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Pirngadi Medan sejak Januari 2011-Desember 2011 dijadikan sampel.

31

4. 4. Teknik Pengumpulan Data


Data diperoleh melalui data sekunder yaitu rekam medik pasien. Awal

pengumpulan data dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin untuk mencatat nomor registrasi, usia, jenis kelamin dan keterangan (Umum Baru, Umum lama, Askes Lama, Askes Baru, Kartu Sehat Baru dan Kartu Sehat Baru) seluruh pasien penderita dermatitis atopik. Selanjutnya data yang telah dikumpulkan ditabulasi dalam bentuk tabel untuk kemudian diserahkan pada bagian rekam medis untuk dilakukan pencarian rekam medis yang sesuai. Setelah rekam medis didapatkan, dilakukan pencatatan variabel yang dibutuhkan yaitu usia, jenis kelamin, lokasi ruam, jenis ruam, dan ada tidaknya riwayat atopi.

4. 5. Pengolahan dan Analisis Data


Semua data yang terkumpul dicatat dan dilakukan editing dan coding, kemudian dimasukkan ke dalam program komputer SPSS (Statistical Package for Social Science) untuk dianalisis lebih lanjut. Jenis analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif dengan menggunakan distribusi frekuensi.

32

Daftar Pustaka

Abramovits, W. (2005) Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 53, S86-93. Bieber, T. (2008) Mechanisms of Disease Atopic Dermatitis. N Engl J Med 358, 1483. Boediarja, S. A. (2000) Beberapa Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus Dermatitis Atopik. Dalam Bodiarja, S. A., Sugito, T. L., Wisesa, T. W., Soebaryo, R. W. & Siregar, S. P. (Eds.) Dermatitis Atopik pada Bayi dan Anak: Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta, Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia. Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007. Exclusive breastfeeding and risk of atopic dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran,Volume 39, No. 4, Hal. 192-198. Cantani, A. (2001). Pathogenesis of Atopic Dermatitis (AD) and the role of allergic factors. European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 95-98. Cohen, B. A. (2005) Pediatric Dermatology, Maryland, Elsevier Mosby. Correale, Christine E., Walker, Colleen., Murphy, Lydia. & Craig, Timothy J. (1999). Atopic Dermatitis: A Review of Diagnosis and Treatment. Am Fam Physician 15;60(4):1191-1198. Dalstra, J., Kunst, A., Borrell, C., Breeze, E., Cambois, E., Costa, G., Geurts, J., Lahelma, E., Oyen, H. V., Rasmussen, N., Regidor, E., Spadea, T. & Mackenbach, J. (2005) Socioeconomic differences in the prevalence of common chronic diseases: an overview of eight European countries. International Journal of Epidemiology 34, 316326.

33

Friedmann, P. S. & Holden, C. A. (2004) Atopic Dermatitis. Dalam Burns, T., Breathnach, S., Cox, N. & Griffiths, C. (Eds.) Rook's Textbook of

Dermatology. 7th ed. London, Blackwell Science. Harper, John., Oranje, Arnold., Prose, Neil. (2006) Textbook of Pediatric Dermatology. Volume 1 2nd ed. Blackwell Publishing. Jamal, Sawsan Talib. (2007). Atopic dermatitis: an update review of clinical manifestations and management strategies in general practice. BULLETIN OF THE KUWAIT INSTITUTE FOR MEDICAL SPECIALIZATION, 56-57. James, W. D., Berger, T. G. & Elston, D. M. (2006) Andrews' Disease of The Skin Clinical Dermatology, Pennsylvania, Saunders Elsevier. Kang, K., Poster, A. M., Nedorost, S. T., Stevens, S. R. & Cooper, K. D. (2003) Atopic Dermatitis. Dalam Bolognia, J. L., Jorizzo, J. L. & Rapini, R. P. (Eds.) Dermatology. London, Mosby. Kariosentono, Harijono. (2007). Dermatitis Atopik (Eksema). Lembaga

Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press), Surakarta. Krafchik, B. R., Halbert, A., Yamamoto, K. & Sasaki, R. (2003) Eczematous

Dermatitis. Dalam Schachner, L. A. & Hansen, R. C. (Eds.) Pediatric Dermatology. 3rd ed. London, Mosby. Leung, D. Y. M., Eichenfield, L. F. & Boguniewicz, M. (2008) Atopic Dermatitis. Dalam Wolff, K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S. & Leffell, D. J. (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York, Mc Graw-Hill. Leung, D. Y. M. & Soter, N. A. (2001) Cellular and immunologic mechanism in atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol, 44, S1-12.

34

Levenson, J. L. (2008) Psychiatric Issues in Dermatology, Part 1: Atopic Dermatitis and Psoriasis. Primary Psychiatry, 15, 35-38. Morar, N., Willis-Owen, S. A. G., Moffatt, M. F. & Cookson, W. O. C. M. (2006) The genetics of atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol, 118. Mutius, E. V. (2002) Risk Factor for Atopic Dermatitis. Dalam Bieber, T. & Leung, D. (Eds.) Atopic Dermatitis. New York, Marcel Dekker, Inc. Simpson, E. L. & Hanifin, J. M. (2005) Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 53, 115-28. Tada J., 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45, No. 11.460-65. Williams, H. C. (2005) Atopic Dermatitis. N Eng J Med 352, 2315. Yang, Y. W., Tsai, C. L. & LU, C. Y. (2009) Exclusive Breastfeeding and Incident Atopic Dermatitis in Childhood: A Systematic Review and Metaanalysis of Prospective Cohort Studies. British Journal of Dermatology, 161, 373-383. Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51.

Anda mungkin juga menyukai