Anda di halaman 1dari 12

PERALIHAN DARI ORDE LAMA KE ORDE BARU

A. Perkembangan Kekuatan Politik PKI di Jaman Orde Lama Pada pemilihan tahun 1955 PKI memperoleh kemenangan yang cukup berarti. Di bidang ideologi PKI berusaha mengganti sila Pertama dari Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dengan rumusan kemerdekaan beragama, yang jelas tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia dan penanaman faham komunis di kalangan ABRI. Presiden Soekarno melontarkan sebuah konsepsi yang disampaikannya pada tanggal 21 Pebruari 1957 dalam pidato menyelamatkan Republik Indonesia. Dalam pidato tanggal 17 Agustus 1960, pidato yang berjudul Jalannya Revolusi Kita (Jarek), Presiden Soekarno mempertegas lagi pelaksanaan manipol, maka dalam bulan Januari 1961 DPA memperinci pelaksanaan Manipol sebagai berikut : 1. Gotong royong, yang diartikan sebagai mempraktikkan somebundeling van alle

revolutionaire krachten. 2. angsur. Tahun 1964 dicatat sejumlah aksi yang dilakukan PKI, antara lain adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Gerakan riset di kecamatan-kecamatan. Aksi pensitaan milik Inggris dan Amerika Serikat. Aksi rituling, tuntutan penggantian pejabat yang anti PKI, aksi tunjuk hidung. Pengindonesiaan Marxisme. Aksi-aksi sepihak. Tanah tani, artinya diadakan landreform, mengakhiri pengisapan feodal secara berangsur-

B. TNI-AD sebagai Penghalang Utama bagi PKI Berbagai cara PKI berusaha menguasai dan mempengaruhi Angkatan Perang, tetapi usaha mereka gagal karena TNI. Sesudah Perang Kemerdekaan berakhir TNI sudah memiliki sebuah kode etik yang disebut Saptmarga, berlaku tanggal 5 Oktober 1951. Usaha PKI untuk menguasai INI tetap dilanjutkan. PKI mendekati prajurit-prajurit TNI agar berpihak kepada PKI. Tahun 1957 Pemerintah memberlakukan Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB), UUKB itu ditentang oleh PKI dengan alasan bahwa UUKB merusak kehidupan demokrasi. Kecemburuan PKI terhadap TNI semakin lama semakin meruncing. Presiden melakukan reorganisasi dan integrasi dalam tubuh ABRI. Tiap-tiap Angkatan berlomba-lomba menjadi yang paling paling setia kepada Presiden. Secara sistematis PKI melakukan politik adudomba antarAngkatan. Dalam tubuh Angkatan Laut dan Kepolisian timbul kericuhan yang sangat menguntungkan PKI Angkatan Darat menyusun doktrin peruangan ialah Tri Ubaya Sakti, tanggal 2-9 April 1965. Untuk memantapkan TNI-AD dalam menghadapi berbagai rongrongan. Sampai dengan bulan Mei 1965, PKI memperkirakan yang dilakukan telah mencapai satu tahapan perebutan kekuasaan. Para pemimpin PKI mulai merasa menang, pada awal masa Demokrasi Terpimpin PKI merasa ditekan oleh Penetapan Presiden No. 7/1959 tentang syaratsyarat dan penyederhanaan kepartaian. Berdasarkan keputusan Presiden No. 128/1961, bersamasama partai lainnya PKI diakui sebagai partai yang syah.

C. G 30 S/ PKI Melenyapkan Obstakel Utama Terakhir PKI melancarkan pemberontakan yang dikenal dengan nama Gerakan Tiga puluh September (G.30. S/ PKI). Pemberontakan itu dapat ditumpas oleh ABRI bersama-sama rakyat. Gagallah rencana PKI untuk merebut kekuasaan negara dan mengganti Pancasila dengan Komunisme. Pada tanggal 28 Agustus 1965 dimulailah persiapan-persiapan untuk melancarkan

pemberontakan. Oleh Politbiro CC-PKI dan I)ewan harian CCPKI diambil beberapa keputusan.

1. LAHIRNYA ORDE BARU. Peristiwa G 30 S membawa bencana pada pemerintahan Orde Lama, sebab ketidak tegasan pemerintah terhadap para pemberontak membawa dampak negatif pada pemerintah. Ketidak puasan rakyat makin meningkat karena ekonomi makin terpuruk, keamanan rakyat juga tidak terjamin. Akibatnya dengan dipelopori oleh mahasiswa terjadi berbagai demonstrasi. Untuk lebih mengkoordinasi demonstrasinya para mahasiswa membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), sedangkan para pelajar membentuk KAPPI (Kersatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia ). Pada 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI menggelar demonstrasi di depan gedung DPR-GR, dengan tuntutan (TRITURA) : 1.Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya. 2. Bersihkan kabinet Dwi Kora dari unsur-unsur PKI. 3. Turunkan harga barang. Ternyata pemerintah tidak menuruti tuntutan para demonstran, sebab pemerintah tidak membubarkan kabinet tetapi hanya mereshufle Kabinet Dwi Kora menjadi Kabinet Dwi Kora Yang Disempurnakan atau yang lebih dikenal sebagai kabinet seratus menteri. Pembentukan kabinet ini membuat rakyat semakin tidak puas sebab masih banyak tokoh yang diduga terlibat peristiwa G 30 S masih dilibatkan dalam kabinet seratus menteri. Untuk menggagalkan pelantikan kabinet, pada 24 Februari 1966 para mahasiswa memblokir jalan yang akan dilalui para menteri. Karena tindakan mahasiswa itu terjadi bentrokan dengan fihak keamanan, akibatnya seorang mahasiswa yang bernama ARIEF RAHMAN HAKIM gugur terkena tembakan pasukan keamanan. Sehari setelah insiden itu, pada 25 Februari 1966 KAMI dibubarkan. Pembubaran KAMI tidak menyurutkan tekat para mahasiswa, bahkan mahasiswa membentuk LASKAR ARIEF RAHMAN HAKIM yang bersama dengan kesatuan aksi lainnya pada 8 9 Maret 1966 menggelar aksi besar-besaran di depan kantor Waperdam I / MENLU,

Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dan Kedutaan Besar CINA, sebab ketiga tempat itu dianggap sebagai sumber dukungan yang utama terhadap PKI. Untuk mengatasi krisis politik yang tak kunjung reda, pada 10 Maret 1966 Presiden Soekarno mengadakan pertemuan dengan para utusan partai politik. Dalam pertemuan itu presiden meminta agar partai politik turut mengecam tindakan para demonstran, tetapi ditolak oleh para utusan partai yang tergabung dalam FRONT PANCASILA, sebab partai politik yang tergabung dalam front itu juga menuntut pembubaran PKI. Dalam menyikapi keadaan negara yang semakin gawat, pada 11 Maret 1966 di Istana Negara diadakan sidang Pleno Kabinet Dwi Kora Yang Disempurnakan. Para menteri yang akan menghadiri sidang ini mengalami kesulitan karena mereka dihadang oleh para demonstran. Untuk menjaga keamanan sidang maka prajurit RPKAD ditugaskan menjaga istana negara secara kamuflase, tetapi oleh Ajudan Presiden yaitu Brigjend Sabur pasukan itu

dianggap akan menyerbu istana negara. Akibatnya bersama dengan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Soebandrio dan Waperdam III Chairul Saleh, presiden mengungsi ke Istana Bogor. Setelah pimpinan sidang diserahkan kepada Waperdam II Dr. J. Leimena. Karena situasi negara yang semakin gawat dan kewibawaan pemerintah yang semakin merosot, dan didorong oleh rasa tanggung jawab yang tinggi untuk memulihkan situasi negara maka tiga perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu Mayjend Basuki Rahmat, Brigjen M.Yusuf, dan Brigjen Amir Mahmud berinisiatif menemui presiden di Istana Bogor setelah sebelumnya meminta ijin kepada Letjen Soeharto. Pertemuan itu menghasilkan suatu konsep surat perintah kepada MEN / PANGAD LETJEN SOEHARTO, untuk atas nama presiden mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memulihkan keamanan dan kewibawaan pemerintah. Surat itulah yang pada akhirnya dikenal sebagai SUPER SEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret). Berdasar surat perintah itu, Letjen Soeharto mengambil beberapa langkah, yaitu: 1. Terhitung mulai tanggal 12 Maret 1966, PKI dan ormas-ormasnya dibubarkan dan di nyatakan sebagi partai terlarang. Dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX / MPRS / 1966 yang intinya melarang penyebaran ajaran komunis dan sejenisnya di Indonesia.

2.

Mengamankan 15 orang menteri Kabinet Dwi Kora Yang Disempurnakan yang

diduga terlibat dalam peristiwa G 30 S / PKI. 3. Membersihkan MPRS dan lembaga negara yang lain dari unsur-unsur S / PKI dan menempatkan peranan lembaga-lembaga itu sesuai dengan UUD 1945 G 30

Dengan mengacu pada Ketetapan MPRS

No. XIII /MPRS/1966, Presiden Soekarno

membubarkan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dan kemudian menyerahkan wewenang kepada Letjen Soeharto untuk membentuk kabinet AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat). Tugas pokok kabinet Ampera tertuang dalam Dwidarma Kabinet Ampera, yang intinya mewujudkan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. Ternyata Kabinet Ampera belumdapat menjalankan fungsinya dengan baik karena terganjal persoalan DUALISME KEPEMIMPINAN NASIONAL, yaitu Presiden Soekarno selaku pemimpin negara / pemerintahan dan Letjen Soeharto selaku pelaksana pemerintahan. Konflik itu berakhir setelah timbul tekanan dan desakan agar presiden Soekarno segera mengundurkan diri dari jabatannya. Oleh karena itu MPRS mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/ 1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilu. Akhirnya pada sidang umum MPRS V tanggal 21 30 Maret 1967 Jendral Soeharto diangkat sebagai Presiden RI untuk masa jabatan 1968 1973.

2. POLITIK LUAR NEGERI SEMASA ORDE BARU A. Kembali menjadi Anggota PBB.

Pada 28 September 1950, Indonesia tercatat sebagai anggota PBB dengan nomor urut 60. Banyak sekali manfaat yang diperoleh ketika Indonesia menjadi anggota PBB, baik semasa perang kemerdekaan, penyeleseian sengketa Irian Barat maupun bantuan dari lembaga-lembaga khusus PBB seperti UNESCO, WHO, IMF, IBRD dan sebagainya. Namun hubungan yang

harmonis itu terganggu ketika Indonesia pada 7 Januari 1965 keluar dari PBB. Akibatnya

Indonesia terkucil dari pergaulan internasional, kenyamanan dan kebersamaan hidup dengan bangsa lain tidak dirasakan lagi, yang lebih parah pembangunan negara menjadi terhambat imbasnya muncul kesengsaraan rakyat. Tindakan Indonesia untuk kembali menjadi anggota PBB, berawal dari desakan Komisi C DPRGR. Pada 3 Juni 1966, panitia musyawarah DPR-GR membahas usulan Komisi C tersebut. Akhirnya disepakati Indonesia harus kembali menjadi anggota PBB dan badan organisasi yang bernaung dibawahnya dalam rangka menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak Akhirnya pada 28 Desember 1966, Indonesia kembali menjadi anggota PBB. Tindakan itu mendapat sambutan baik dari anggota PBB yang lain, dengan bukti terpilihnya ADAM MALIK sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.

B.

Menghentikan Konfrontasi Dengan Malaysia.

Konfrontasi dengan Malaysia, dianggap sebagi tindakan yang kuarang sesuai dengan politik luar negri yang Bebas dan Aktif, tindakan ini sangat merugikan kedua belah fihak sebab hubungan sebagai negara tetangga terputus. Upaya m erintis normalisasi hubungandimulai dengan diselenggarakannya perundingan Bangkok pada 29 Mei 1 Juni 1966. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negri Adam Malik, delegasi Malaysia dipimpin oleh Perdana Menteri Tun Abdul Razak. Pertemuan ini menghasilkan tiga hal pokok, yaitu : 1. Rakyat Sabah dan Serawak, diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah

mereka ambil mengenai kedudukannya dalam Federasi Malaysia. 2. 3. Indonesia Malaysia menyetujui pemulihan hubungan diplomatik. Tindakan-tindakan permusuhan harus dihentikan.

Peresmian normalisasi hubungan diplomatik Indonesia Malaysia di tandatangani di Jakarta, pada 11 Agustus 1966 dengan ditandatanganinya perundingan Bangkok oleh

Menlu Adam Malik dan Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak.

3. KEHIDUPAN POLITIK SEMASA PEMERINTAHAN ORDE BARU A. Pemilu dan Pemerintahan. Pemerintah Orde Baru berkehendak menyusun sistem ketatanegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru bertekat menegakkan demokrasi Pancasila. Salah satu wujud demokrasi adalah Pemilu. Melalui pemilu rakyat diharapkan dapat merasakan hak demokrasinya, yaitu memilih atau dipilih sebagi wakil-wakil yang di percaya untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan. Wakil-wakil itu senantiasa harus membawa suara hati nurani rakyat yang telah memilihnya agar keinginan mereka terpenuhi.

( Semula asas pemilu di Indonesia adalah LUBER artinya LANGSUNG,UMUM, BEBAS DAN RAHASIA. Tetapi semasa Reformasi asas pemilu ditambah dengan istilah JURDIL artinya JUJUR dan ADIL ). Secara berturut-turut, pemilu yang telah diselenggarakan di Indonesia semasa Orde Baru adalah : 1. 3 JULI 1971, dengan diikuti oleh 10 kontestan yaitu : GOLKAR mendapat 236 kursi,

NU mendapat 58 kursi, PARMUSI mendapat 24 kursi, PNI mendapat 20 kursi, PSII mendapat 10 kursi, PARKINDO (Partai Kristen Indonesia) mendapat 7 kursi, PARTAI KATOLIK mendapat 3 kursi, PERTI mendapat 2 kursi, sedangkan Partai MURBA dan IPKIA TIDAK MEMPEROLEH KURSI.

2.

2 MEI 1977, diikuti oleh tiga partai sebab partai yang programnya sama digabung

Menjadi satu partai. Partai tersebut adalah : GOLKAR MENDAPAT 232 KURSI, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) fusi dari NU, PSII, PARMUSI dan PERTI mendapat 99 kursi dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) fusi dari PNI, PARKINDO, PARTAI KATOLIK, MURBA dan IPKI mendapat 29 kursi. 3. 4 MEI 1982, PPP mendapat 94 kursi, GOLKAR mendapat 246 kursi, PDI mendapat

24 kuirsi. 4. 23 APRIL 1987, PPP mendapat 61 kursi, GOLKAR mendapat 292 kursi, PDI mendapat 40 kursi. 5 6 9 JULI 1992, PPP mendapat 62 kursi, Golkar mendapat 281 kursi, PDI mendapat 57. 9 MEI 1997, PPP mendapat 89 kursi, Golkar mendapat 325 kursi, PDI mendapat 11.

B.

RUNTUHNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU (PERISTIWA REFORMASI).

Pemerintahan Orde Baru memang dapat membawa bangsa Indonesia kearah yang lebih baik, tetapi sayang semua itu di bangun di atas pondasi yang keropos yaitu hutang luar negri. Selama pemerintahan Orde Baru, rakyat terpedaya dengan gambaran fisik yang menampakkan seolaholah bangsa Indonesia berhasil dalam pembangunan nasional. Keroposnya perekonomian semakin diperparah dengan tindakan para konglomerat yang menyalah gunakan posisi mereka sebagai aktor pembangunan ekonomi. Mereka banyak mengeruk utang tanpa ada kontrol dari pemerintah dan masyarakat. Semua ini dapat terjadi karena adanya KOLUSI, KORUPSI dan NEPOTISME (KKN) yang luar biasa. Semua kemajuan yang ada di Indonesia akhirnya menjadi titik balik pada tahun 1997, hal ini bermula dari adanya krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan mempengaruhi segala sendi kehidupan masyarakat. Tatanan ekonomi rusak, pengangguran meningkat dan kemiskinan meraja lela. Dampak dari krisis adalah makin pudarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah Orde Baru.

Dalam kondisi seperti itu muncullah gerakan REFORMASI yang berawal dari rasa keprihatinan moral yang mendalam atas berbagai krisis yang terjadi. Gerakan reformasi dipelopori oleh para mahasiswa dan cendekiawan serta didukung oleh masyarakat luas yang sadar akan arti perubahan. Peralihan Era Orde Baru Ke Era Reformasi Latar Belakang Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 , seluruh lapisan masyarakat Indonesia berduka dan marah. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibukota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13 14 Mei 1998 , yang menimbulkan banyak korban baik jiwa maupun material. Semua peristiwa tersebut makin meyakinkan mahasiswa untuk menguatkan tuntutan pengunduran Soeharto dari kursi kepresidenan. Pilihan aksi yang kemudian dipilih oleh kebanyakan kelompok massa mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto mengerucut pada aksi pendudukan gedung DPR/MPR. Senin, 18 Mei 1998 Proses pendudukan gedung DPR/MPR RI dimulai dengan komitmen dari kontingen para ketua lembaga formal kemahasiswaan Jakarta yang tergabung di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ ) untuk bermalam di gedung DPR/MPR RI sampai pimpinan dewan memastikan pengunduran diri Soeharto dari kursi kepresidenan RI. Terdiri dari lebih kurang 50 orang ketua lembaga kemahasiswaan, kontingen ini menunjuk Henri Basel (Ketua Senat Mahasiswa IKIP Jakarta) sebagai koordinator aksi dan Heru Cokro (Sekretaris Jenderal Badan Perwakilan Mahasiwa UI) sebagai koordinator lapangan. Pada sore hari tanggal 18 Mei 1998 , kontingen berhasil menemui pimpinan dewan bersama komponen-komponen aksi lain, dan mendapatkan pernyataan dari ketua DPR/MPR RI saat itu, Harmoko, yang menyerukan pengunduran diri Soeharto . Pernyataan ini disambut positif oleh para anggota kontingen tapi bagaimanapun, ketika komponen-komponen aksi lain memutuskan untuk sementara pulang, kontigen memutuskan untuk bermalam sampai Soeharto benar-benar mundur dari kepresidenan sekaligus mempersiapkan kedatangan massa mahasiswa dari kampus masing-masing keesokan harinya. Menduga proses aksi dan tuntutan akan berjalan lancar setelah seruan dari Harmoko, malah terjadi sedikit kepanikan pada para anggota kontingen ketika pada malam harinya Jenderal Wiranto (Menhankam dan Pangab saat itu) menyatakan bahwa seruan Harmoko tidak konstitusional. Kepanikan ini makin menjadi-jadi ketika di saat-saat berikutnya kontingen terus menerus mendapat informasi bahwa gedung DPR/MPR RI akan diserbu dan dikosongkan tentara. Sempat terjadi perbedaan pendapat di antara anggota kontingen, antara memutuskan pulang atau tetap bermalam, walau kemudian komitmen akhir seluruh kontingen adalah tetap bermalam, apapun yang terjadi. Selasa, 19 Mei 1998 Mulai pagi, secara bergelombang, berdatangan ribuan massa mahasiswa dari kampus-kampus yang para ketuanya telah terlebih dahulu bermalam di gedung DPR/MPR RI di hari sebelumnya. Sampai saat itu, sebagai koordinator lapangan yang ditunjuk, Heru Cokro bertugas untuk mengkoordinir seluruh massa yang hadir dari masing-masing kampus agar sesuai arahan kolektif dari kontingenFKSMJ dan koordinator aksi (Henri Basel).

Tapi dalam prosesnya, ternyata banyak massa mahasiswa yang berdatangan bukan merupakan konstituen dari FKSMJ . Massa ini juga menolak beraksi di bawah bendera dan arahan kolektif FKSMJ , yang akhirnya berujung pada kecurigaan antar kelompok massa, kekacauan koordinasi dan praktis tidak adanya kerjasama aksi antara satu kelompok dengan kelompok massa lainnya di lapangan. Kekacauan pun bertambah parah bersamaan dengan kedatangan massa dari Pemuda Pancasila (PP) yang dipimpin oleh Yapto dan Yorrys Raweyai, yang diasumsikan akan menolak usaha penuntutan pengunduran diri Soeharto . Tidak adanya koordinasi di antara kelompok massa mahasiswa dan besarnya kecurigaan antar kelompok, nyaris saja mengakibatkan bentrokan tidak perlu di antara kedua kelompok massa tersebut. Dalam usaha menghindari konflik, Heru berhasil menemui Yapto dan kemudian melakukan rapat darurat dengan koordinator lapangan massa PP, yang akhirnya menyepakati garis batas massa kelompok PP serta sebuah komitmen untuk menghindari bentrokan. Massa PP tetap pada garis batas yang ditentukan sampai kepulangan mereka. Kekacauan luar biasa yang terjadi di lapangan coba dikelola dengan rapat koordinasi lapangan secara rally (semua koordinator massa yang teridentifikasi harus hadir setiap 1 jam di tempat yang ditentukan), sampai akhirnya bisa diselesaikan dengan penyusunan mekanisme aksi yang unik dimana seluruh kelompok massa (FKSMJ ataupun non FKSMJ ) dikelola dalam struktur operasi aksi tanpa berafiliasi pada kelompok tertentu, dimana struktur ini kemudian menunjuk Heru Cokro sebagai Koordinator Jenderal. Di lain sisi, arahan dan kebijakan kolektif para ketua lembaga diFKSMJ tetap akan diakomodasi lewat Heru , tapi tetap dengan persetujuan anggota struktur operasi aksi yang baru (yang berasal dari koordinator-koordinator aksi dari masing-masing kelompok massa). Menjelang Maghrib, setelah struktur aksi yang baru berhasil mengontrol instalasi Car Call (satusatunya alat komunikasi yang mampu mencapai semua orang di gedung DPR/MPR RI) yang sebelumnya dikuasai bergantian oleh kelompok-kelompok massa yang ada, Heru berhasil memimpin massa dari semua kelompok massa untuk bersama-sama melakukan Yell Reformasi, dimana untuk pertama kalinya seluruh kelompok massa akhirnya terikat dalam sebuah aksi secara bersama-sama, yang berlanjut sampai akhir aksi. Malam harinya, dalam rapat koordinasi struktur, terdengar kabar bahwa besok akan ada demonstrasi akbar di Lapangan Monas yang dipimpin oleh Amien Rais . Rapat pun memanas dengan desakan agar seluruh massa segera menggabungkan diri dengan demonstrasi tersebut. Tapi perdebatan pun berhasil diakhiri dengan komitmen untuk tetap di gedung DPR/MPR RI dengan argumen bila terjadi apa-apa dengan rencana demonstrasi yang relatif riskan tersebut, akumulasi massa di gedung DPR/MPR RI bisa menjadi pertahanan terakhir dalam menjaga momentum reformasi ini. Rapat koordinasi ini pun berhasil menyepakati mekanisme dan kontribusi masing-masing kelompok massa dalam langkah pengamanan aksi dan prosedur pengungsian massa bila terjadi penyerbuan. Rapat pun menyepakati sebuah langkah keras untuk melakukan prosesi sidang rakyat yang diformat seolah-olah sebagai parlemen alternatif, dengan menggunakan ruang sidang paripurna DPR/MPR RI sebagai tempat sidang. Mulanya, ruang sidang paripurna diusulkan untuk didobrak tanpa persetujuan sekretariat atau pimpinan DPR/MPR RI. Tapi kemudian, dengan niat menghindarkan aksi dari citra anarkis, rapat koordinasi menyepakati bahwa usaha penggunaan ruang sidang paripurna akan dimulai dengan koordinasi damai antara koordinator jenderal dengan sekretariat DPR/MPR RI. Dan bila ditolak, baru kemudian dilakukan usaha pendobrakan secara paksa terhadap ruang sidang.

Bagaimanapun, malam tanggal 19 Mei 1998 berakhir tenang, walau sempat terjadi sedikit kekacauan ketika mendadak ada teriakan penyerbuan (menandakan tentara menyerbu) yang sempat menggegerkan seluruh massa yang ada di gedung DPR/MPR RI (massa sempat berlari tunggang-langgang kesana kemari), sebelum akhirnya ditenangkan dengan penjelasan bahwa teriakan tersebut merupakan informasi yang salah. Rabu, 20 Mei 1998 Sebagaimana amanat rapat di malam sebelumnya, Heru bersama Ahmad (salah satu tim aksi) pun menemui personil sekretariat DPR/MPR RI. Tidak berani memutuskan untuk memberi ijin penggunaan ruang sidang paripurna, personil sekretariat ini pun mengantarkan Heru dan tim untuk menemui Syarwan Hamid , Wakil Ketua DPR/MPR RI saat itu. Ketika mendengar rencana prosesi itu, Syarwan Hamid hanya berkomentar bahwa sebaiknya prosesi itu ditunda karena hari itu (20 Mei 1998 ), Soeharto akan segera mengumumkan pengunduran dirinya. Kaget mendengar berita tersebut, akhirnya diputuskan bahwa untuk sementara waktu prosesi ditunda sambil menunggu kebenaran informasi tersebut. Pada tanggal 20 Mei tersebut, aksi berjalan meriah. Banyak tokoh nasional yang hadir di gedung DPR/MPR RI dan bergiliran memberikan orasi ke massa. Kesemarakan ini pun makin besar, apalagi setelah dipastikan, demonstrasi di lapangan Monas dibatalkan. Di saat yang sama, koordinasi kembali kacau. Sebagai contoh, sekelompok mahasiswa tanpa koordinasi merobek-robek kertas (disinyalemen kertas tersebut arsip sekretariat DPR/MPR RI) dan melemparkannya ke arah massa. Sementara, di lain sisi, ratusan mahasiswa mulai dudukduduk dan berdiri di atas kubah gedung paripurna DPR/MPR RI. Beberapa wartawan sempat memperingatkan stuktur kubah yang rapuh, dan rapat koordinasi pun sebetulnya sempat memutuskan untuk melarang mahasiswa menaiki kubah tersebut. Tapi, setelah mencoba memperingatkan mahasiswa-mahasiswa yang ada di atas kubah tanpa hasil, akhirnya diputuskan membiarkan penggunaan kubah dengan menunjuk penanggung jawab yang menjaga kemungkinan terburuk. Puncak kekacauan, adalah perebutan diri koordinator jenderal di antara kelompok-kelompok massa yang hadir kemudian. Di lain sisi, sampai sore tetap tidak ada tanda-tanda bahwaSoeharto akan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Akibatnya, rapat koordinasi mempertanyakan kebenaran informasi yang diterima oleh Heru , apalagi untuk alasan itu rencana prosesi sidang rakyat ditunda. Akhirnya diputuskan untuk menunggu sampai besok, bila belum ada tanda-tanda pengunduran diri Soeharto , maka prosesi sidang rakyat dan penggunaan ruang sidang paripurna akan dilaksanakan, dengan cara damai atau paksa. Malam harinya, suasana kembali tenang. Selain sempat diidentifikasi sekelompok prajurit nontentara jaga DPR/MPR RI mengendap-endap dan seorang perwira di kawal 2 prajurit membangunkan para tentara jaga (termasuk komandan pengamanan gedung DPR/MPR RI yang tampak tergopoh-gopoh segera melapor pada perwira ini), pada umumnya malam bisa berjalan tenang. Kamis, 21 Mei 1998 Pagi itu, kelihatannya beberapa kelompok massa ada yang sudah pulang, sehingga massa di gedung DPR/MPR RI relatif lebih sedikit. Penanggung jawab yang ditunjuk untuk mempersiapkan prosesi sidang rakyat tampak mulai mengumpulkan orang untuk persiapan, sebelum kemudian beberapa wartawan tergopoh-gopoh mengabarkan bahwa akan ada pengumuman penting dari istana negara. Akhirnya, pagi itu Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Sesuai komitmen awal FKSMJ saat memulai aksi, maka pengunduran diri Soeharto adalah tanda berakhirnya

aksi. Oleh karenanya, beberapa saat setelah pengumuman pengunduran diriSoeharto , Heru pun mengumumkan berakhirnya aksi pendudukan gedung DPR/MPR RI sekaligus mengumumkan bahwa aksi pendudukan berubah menjadi pesta rakyat. Setelah pengumuman pengakhiran aksi, terjadi perdebatan di antara struktur operasi yang dibuat untuk mengawal proses pendudukan ini. Umumnya anggota struktur merasa bahwa aksi seharusnya belum berakhir, dengan argumen Habibie pengganti Soeharto belum jelas komitmen reformasinya. Di ujung perdebatan, Heru menegaskan tidak akan bergabung dalam aksi lanjutan dan mempersilahkan rapat memilih koordinator jenderal baru. Akhirnya, rapat memilih Ahmad dari Universitas Padjadjaran (Unpad) untuk menjadi koordinator jenderal dan mengubah struktur operasi menjadi sebuah kelompok massa resmi. Malamnya, massa yang tergabung dengan FKSMJ sebagian besar memutuskan pulang.

Kronologi Lahirnya Reformasi 1. Keberanian Amin Rais membongkar kebobrokan sistem pengelolaan PT Freeport

2. Peristiwa 27 Juli 1996 (KUDATULI) yaitu penyerbuan kantor PDI yang ditempati Megawati oleh PDI pro-Suryadi 3. Terpilihnya kembali Bpk Soeharto sebagai presiden pada bulan Maret 1998

4. Terjadinya demonstrasi besar-besaran mahasiswa di Tri Sakti pada 12 Mei 1998 5. Terjadinya Kerusuhan di Jakarta pada 13 dan 14 Mei 1998 yang berakibat makin

Terpuruknya perekonomian Indonesia. 6. 7. Didudukinya gedung DPR / MPR oleh para mahasiswa pada 19 Mei 1998 Pada 20 Mei 1998 Presiden Soeharto memanggil para tokoh nasional, guna membentuk

kabinet reformasi tetapi ditolak 8. Presiden Soeharto meletakkan jabatannya pada 21 Mei 1998 di Istana Negara dan

digantikan oleh B.J Habiebie

Anda mungkin juga menyukai