Anda di halaman 1dari 6

Artikel Penelitian

Deteksi Dini Kanker Serviks pada Pusat Pelayanan Primer di Lima Wilayah DKI Jakarta

Rathi Manjari Fauziah, Jimmy Panji Wirawan, Rossalina Lorianto, Amanda Pitarini Utari, Rahmat Cahyanur, Setyawati Budiningsih
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak: Deteksi dini kanker serviks bermanfaat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Metode penapisan kanker serviks yang dapat dikerjakan di pelayanan primer adalah pap smear dan IVA. Upaya menjadikan deteksi dini kanker serviks sebagai program nasional memerlukan kesiapan petugas kesehatan di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengetahuan, sikap dan perilaku petugas kesehatan di puskesmas dalam menjalankan penapisan kanker serviks. Penelitian ini adalah studi potong lintang pada November 2007 - Maret 2008dengan menggunakan kuesioner yang terdiri atas 15 pertanyaan mengenai pengetahuan, 11 pertanyaan menyangkut sikap, dan 15 pertanyaan tentang perilaku. Responden adalah masing-masing 1 dokter dan 1 bidan, yang bekerja di 100 Puskesmas di lima wilayah Jakarta yang dipilih secara acak. Terdapat 198 responden, yang terdiri atas 99 dokter dan 99 bidan, dari 20 puskesmas kecamatan dan 80 puskesmas kelurahan di lima wilayah DKI Jakarta. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang kurang mengenai kanker serviks dan penapisan kanker serviks yaitu 52,8%. Sikap responden terhadap penapisan kanker serviks cukup yaitu 94,1%. Responden dokter dan bidan memiliki perilaku kurang yaitu 83,8% dan 69,7%. Terdapat korelasi lemah antara pengetahuan dan perilaku pada kelompok bidan (r= 0,241, p<0,05). Sebagian besar responden telah mengetahui IVA dan kegunaannya. Bidan merupakan petugas kesehatan yang sering mengerjakan pap smear maupun IVA dibandingkan dokter. J Indon Med Assoc.2011;61:447-452.. Kata Kunci: kanker serviks, deteksi dini, pap smear, IVA

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

447

Deteksi Dini Kanker Serviks pada Pusat Pelayanan Primer

Early Detection of Cervical Cancer in Primary Health Care in Five Areas of Jakarta Rathi Manjari Fauziah, Jimmy Panji Wirawan, Rossalina Lorianto, Amanda Pitarini Utari, Rahmat Cahyanur, Setyawati Budiningsih
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstract: Early detection of cervical cancer is beneficial in reducing morbidity and mortality rate. Screening methods that could be conducted in primary health care are pap-smear and VIA. In order to make cervical cancer screening a national program, the preparedness of the health care personnels is necessary. This study assessed the knowledge, attitude, and behavior of health care personnels in primary health care in performing cervical cancer screening. This was a cross sectional study that was conducted in November 2007-March 2008 using a 3-sections questionnaire. Subjects were doctors and housewives in 100 primary health care centers that distributed in five districts in Jakarta. The 198 respondents that participated in our study were distributed among 20 district primary health care and 80 local primary health care facilities. Majority of respondents were lack in knowledge about cervical cancer and cervical cancer screening (52.8%). Most of respondents had adequate attitude toward cervical cancer screening program (94.1%). Doctors and midwives were lack in behavior toward cervical cancer screening (83.8% and 69.7%). There was weak correlation between midwives knowledge and behavior (r=0.241, p<0.05). Most of respondents had already acknowledged VIA and its purpose. Midwives performed pap smear or VIA more frequently than doctors. J Indon Med Assoc.2011;61:447-452. Key words: Cervical cancer, screening, pap smear, VIA

Pendahuluan Kanker serviks merupakan kanker dengan insiden cukup tinggi pada wanita di Indonesia.1 Hal tersebut menjadikan alasan mengapa deteksi dini atau penapisan terhadap kanker leher rahim penting. Saat ini, penapisan merupakan upaya terbaik dalam menangani kanker serviks, mengingat tidak sedikit beban kesehatan yang dikeluarkan untuk menangani kanker ini.2 Program penapisan nasional diperlukan untuk menurunkan insiden kanker serviks dan memperluas cakupan penapisan ke seluruh daerah di Indonesia.3 Dalam menyusun suatu program yang akan terintegrasi dalam program kesehatan negara, banyak hal yang perlu menjadi pertimbangan. Salah satu aspek tersebut adalah kesiapan tenaga kesehatan yang akan berkecimpung dalam program penapisan ini nantinya.4 Saat ini, memang sudah terdapat program penapisan kanker serviks di beberapa puskesmas. Kegiatan yang dilakukan adalah pap smear, akan tetapi masih terkendala dengan kurang tersedianya peralatannya. Metode penapisan lain yang dapat dikerjakan adalah IVA (Inspeksi Visual dengan Asam asetat), dengan biaya yang lebih murah dan metode
448

yang lebih sederhana dibandingkan pap smear.5,6 Namun, sensitivitas dan spesifisitasnya tidak jauh berbeda.7-9 Penelitian ini tidak akan membandingkan pap smear dan IVA, tetapi bertujuan untuk menilai kesiapan petugas kesehatan di puskesmas dalam menjalankan program penapisan kanker serviks terutama IVA. Hal ini dipilih karena peneliti melihat IVA telah menjadi alternatif baru dalam deteksi dini kanker serviks sesuai kebijakan Depkes yang dicanangkan oleh Ibu Negara, Ani Yudhoyono, pada tanggal 21 April 2008.10 Dalam penilaian kesiapan pelaksanaan program deteksi dini kanker serviks ini dibutuhkan data tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku dari tenaga kesehatan yang akan menjalankan program tersebut. Data ini sangat bermanfaat sebagai data dasar dalam merancang program pelatihan deteksi dini kanker serviks bagi tenaga pelayanan kesehatan primer, terutama dokter dan bidan. Metode Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang dikerjakan pada pada November 2007 - Maret 2008. Setiap responden diberikan kuesioner yang diisi sendiri oleh responden setelah mendapat penjelasan dari peneliti.
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

Deteksi Dini Kanker Serviks pada Pusat Pelayanan Primer Kuesioner berisi 15 pertanyaan mengenai pengetahuan, 11 pertanyaan menyangkut sikap, dan 15 pertanyaan tentang perilaku. Responden adalah masing-masing 1 dokter dan 1 bidan, yang bekerja di 100 Puskesmas di lima wilayah Jakarta yang dipilih secara acak. Data yang dikumpulkan kemudian diolah melalui proses editing, verifikasi dan coding, untuk selanjutnya dimasukkan dan diolah dengan menggunakan program SPSS 12.0. Terhadap data yang telah diperoleh dilakukan analisis dengan uji statistik non parametrik Chi square dan korelasi dengan Pearson correlation. Hasil Terdapat 198 responden yang berpartisipasi pada penelitian ini, yang terdiri atas 99 dokter dan 99 bidan, dari 20 puskesmas kecamatan dan 80 puskesmas kelurahan di lima wilayah DKI Jakarta. Terdapat 1 puskesmas yang tidak memiliki dokter dan 1 puskesmas lain yang tidak memiliki bidan. Jumlah ini didapatkan dari 20 puskesmas kecamatan dan 80 puskesmas kelurahan. Tabel 1 memperlihatkan hasil penelitian berdasarkan sebaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku responden.
Tabel 1. Distribusi Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Responden Parameter Skor Pengetahuan* Baik Cukup Kurang Skor Sikap* Baik Cukup Kurang Skor Perilaku* Baik Cukup Kurang *nilai dalam persentase (%) Dokter Bidan Total

20,4 30,6 49,0 26,3 67,6 6,1 2,0 14,2 83,8

8,1 35,4 35,4 30,3 65,6 4,1 4,0 26,3 69,7

14,2 33,0 52,8 28,3 66,6 5,1 3,0 20,2 76,8

Secara umum, responden sudah mengetahui bahwa human papilloma virus (HPV) adalah penyebab kanker serviks.9 Meski demikian, sebanyak 58,6% bidan tidak mengetahui mengenai hal ini. Mengenai gejala-gejala yang terjadi pada kanker serviks, perdarahan pascakoitus, keputihan berbau (malodorous vaginal discharge), perdarahan vagina terus-menerus (menometrorrhagia) telah diketahui secara umum oleh para responden. Tetapi yang mengetahui ketiga hal tersebut hanya 43,4% responden. Terdapat 25,4% dari responden yang masih menganggap adanya gejala nyeri pada kemaluan sebagai gejala awal kanker serviks. Sebagian besar responden telah mengetahui bahwa pernikahan usia muda, pasangan seksual lebih dari satu, dan mempunyai banyak anak merupakan faktor risiko kanker serviks. Namun, faktor risiko lain seperti merokok dan pemakaian KB hormon hanya diketahui oleh 39,1% responden dokter dan 26,4% responden bidan. Mengenai metode penapisan kanker serviks, diharapkan responden mengetahui bahwa pap smear, IVA, atau inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI) merupakan metode yang dapat dipakai untuk deteksi dini. Sebanyak 99% responden mengetahui tentang pap smear, 68,2% mengetahui tentang IVA, akan tetapi hanya 6,6% yang mengetahui tentang VILI. Jumlah responden yang mengetahui tentang pap smear dan IVA sebanyak 62,9%. Sementara itu, ketika responden ditanyakan mengenai kegunaan IVA, hanya 61,6% responden yang menjawab dengan benar. Sebanyak19,3% responden menjawab biopsi sebagai salah satu metode deteksi dini. Sebanyak 50,8% responden mengatakan bahwa pap smear masih menjadi pilihan paling tepat untuk puskesmas. Baru sekitar 42,4% responden yang mengetahui hasil IVA yang tepat dan hanya 27,9% responden yang mengetahui mengenai krioterapi. Sikap Responden yang memiliki sikap cukup baik berjumlah 66,7%. Secara umum mereka menyetujui adanya program deteksi dini kanker serviks dan yakin bahwa hal tersebut dapat menurunkan angka kejadian kanker serviks. Meski sebagian besar respoden menyetujui dilakukannya pemeriksaan pada wanita usia reproduksi dengan faktor risiko, bahkan untuk pasien asimptomatik sekalipun, tetapi hanya dua pertiga dari mereka yang menyarankan pasiennya untuk melakukan deteksi dini. Dalam penelitian ini, 45,1% responden menyatakan setuju untuk langsung merujuk pasien-pasien yang meminta penapisan kanker serviks ke dokter spesialis obstetri dan ginekologi meskipun sebagian besar mereka merasa mampu untuk melakukan deteksi dini kanker serviks ini sendiri di puskesmas. Sebagian besar responden menyatakan siap melaksanakan IVA di puskesmas apabila mereka diberi pelatihan terlebih dahulu
449

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup bermakna antara tingkat pengetahuan yang diperoleh dokter dan bidan. Selanjutnya masing-masing hasil tersebut akan dijabarkan lebih dalam. Pengetahuan Sebanyak 52,8% responden memiliki pengetahuan yang kurang mengenai kanker serviks, yaitu 49% dokter dan 56,6% bidan. Secara umum responden sudah mengetahui bahwa kanker serviks termasuk dalam lima besar kanker yang menyerang wanita Indonesia. 10,11 Mereka juga sudah mengetahui bahwa kanker serviks umumnya terjadi di usia 30-50 tahun.12
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

Deteksi Dini Kanker Serviks pada Pusat Pelayanan Primer Perilaku Sebanyak 76,8% responden memiliki perilaku yang kurang, Beberapa keadaan yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagian besar responden menyatakan tidak pernah melakukan pemeriksaan genitalia interna dan eksterna. Sebanyak 38,1% responden langsung merujuk pasien dengan keluhan yang mengarah pada kanker leher rahim tanpa melakukan pemeriksaan apapun dan sebagian besar dari mereka belum pernah melakukan deteksi dini kanker leher rahim baik pap smear maupun IVA. Berdasarkan data, 55,6% puskesmas kecamatan telah melakukan deteksi dini kanker leher rahim dengan metode pap smear dan atau IVA. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan puskesmas kelurahan yang hanya berjumlah 27%. Di antara para petugas kesehatan yang sudah pernah melakukan pap smear maupun IVA diketahui bahwa bidan lebih banyak melakukan kedua hal tersebut dibandingkan dokter. Analisis terhadap hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku, memperlihatkan adanya korelasi lemah antara pengetahuan dan perilaku bidan (r=0.241, p< 0.05). Diskusi Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa respons dokter dan bidan terhadap penelitian ini cukup baik, yaitu jumlah responden yang berhasil dikumpulkan sebanyak 198 individu. Secara umum, mereka menunjukkan masih kurangnya pengetahuan dalam konteks kanker serviks serta upaya pencegahannya. Sikap mayoritas responden cukup baik, namun perilaku yang mereka cantumkan kurang menyatakan dukungan mereka terhadap pencegahan kanker serviks. Pengetahuan yang dimiliki para responden masih kurang, hanya setengah dari responden yang menjawab benar pada pertanyaan mengenai insidens kanker serviks. Lebih dari dua pertiga responden memang mengetahui tentang gejala awal yang umum terjadi pada kanker serviks seperti perdarahan pasca koitus, metro-menorrhagi, dan foul discharge.13 Tetapi, kurang dari sepertiga responden menganggap gejala berupa nyeri di daerah kemaluan merupakan manifestasi dari gejala awal pada kanker serviks. Padahal, keadaan seperti itu sudah merupakan gejala lanjut kanker serviks.13 Faktor-faktor risiko kanker serviks penting untuk diketahui oleh setiap dokter dan bidan untuk mengidentifikasi individu dengan perilaku berisiko tinggi kanker serviks. Hanya 11,7% yang menjawab bahwa semua faktor yaitu merokok,14 pernikahan usia muda, promiskuitas, banyak anak,15 serta kontrasepsi hormonal merupakan faktor risiko.16 Temuan kami didukung oleh penelitian serupa oleh Ruffin MT17 dan Baay et al18 yang menemukan promiskuitas dan pernikahan usia muda sebagai dua risiko kanker serviks yang diketahui oleh mayoritas dokter di Amerika.17,18 Kondisi
450

tersebut menjadi perhatian karena kelima faktor risiko itu merupakan hal umum yang seharusnya diketahui petugas kesehatan terutama yang bekerja di bidang kesehatan wanita. Untuk Indonesia, khususnya wilayah DKI Jakarta, masalah kesehatan wanita (Keluarga Berencana dan Kesehatan ibu dan Anak) umumnya ditangani oleh bidan. Tentu saja informasi di atas tidak boleh dilewatkan oleh mereka. Meskipun dokter umum di puskesmas bukan pelaksana kegiatan dalam masalah KIA ataupun KB, melainkan sebagai penanggung jawab atau pembuat kebijakan, mereka juga sebaiknya mengetahui informasi-informasi dasar kanker serviks. Metode IVA adalah alternatif pap smear yang dapat digunakan untuk negara dengan fasilitas terbatas. Beberapa penelitian yang membandingkan IVA dan pap smear memperlihatkan hasil yang cukup memadai antara keduanya.7-9 Sejumlah responden masih belum mengetahui peranan IVA sebagai metode deteksi dini, karena mayoritas responden masih menjawab pap smear sebagai metode deteksi dini kanker serviks. Mayoritas responden setuju melakukan IVA di puskesmas, akan tetapi mereka memerlukan pelatihan sebelumnya. Hal itu menunjukkan kurangnya sosialisasi kepada petugas puskesmas mengenai metode IVA. Padahal, IVA saat ini sedang digalakkan di berbagai negara berkembang seperti India dan Thailand3 untuk mengatasi berbagai kendala yang terjadi pada pendayagunaan pap smear.3 Dalam beberapa tahun belakangan mulai dilakukan suatu program yang dinamakan see and treat19 atau singlevisit approach3, yaitu seorang pasien yang diskrining dengan IVA akan diterapi dengan krioterapi pada hari yang sama, bilamana ditemukan kelainan dini serviks dari IVA tersebut. Kurangnya pengetahuan mengenai IVA maupun krioterapi disebabkan oleh fakta bahwa belum adanya sosialisasi perihal kedua metode tersebut secara nasional. Sikap para responden terkait kanker serviks cukup baik, yaitu mayoritas responden menyatakan perlunya diadakan suatu skrining massal kanker serviks. Lebih dari dua pertiga responden menyatakan perlunya deteksi dini kanker serviks pada semua pasien yang pernah berhubungan seksual, walaupun dia asiptomatik. Responden juga secara umum menyetujui agar dokter umum dan bidan sama-sama dilatih untuk melakukan pemeriksaan IVA, sehingga dapat melakukan deteksi dini kanker serviks. Responden juga menyetujui apabila penapisan kanker serviks dilakukan di puskesmas, dan dikerjakan terhadap wanita yang memiliki faktor risiko. Akan tetapi, hampir setengah dari responden tetap merasa penapisan kanker serviks lebih tepat dilakukan oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi. Para responden sepertinya tidak percaya diri untuk melakukan skrining kanker serviks sendiri. Hal tersebut disebabkan berbagai pelatihan penapisan kanker serviks yang ada hanya dikerjakan sesekali saja. Keadaan itu hampir serupa dengan pernyataan Idestro M et al 20 yaitu bidan-bidan yang sudah dilatih masih
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

Deteksi Dini Kanker Serviks pada Pusat Pelayanan Primer mengharapkan pelatihan lanjutan.20 Sebaiknya dilakukan pelatihan deteksi dini kanker serviks pap smear ataupun IVA secara berkala. Upaya lain adalah memasukkan kemampuan melakukan medote penapisan kanker serviks dalam persyaratan kompetensi sehingga seorang dokter umum maupun bidan dapat dinyatakan mahir dan kompeten. Sebagian besar responden yang pernah melakukan penapisan bertugas di puskesmas kecamatan. Banyak responden dokter yang menyatakan tidak pernah melakukan pemeriksaan fisik vagina pada pasien, karena hal tersebut bukan tugas mereka. Padahal, seorang dokter dituntut menjadi seorang five star doctor, dan sebagai seorang care provider dokter harus dapat memberikan penatalaksanaan secara total. Apalagi, dokter dituntut juga menjadi seorang manager, sehingga meski terdapat kegiatan yang bukan tugas utamanya, setidaknya dia melakukan koordinasi dan supervisi dengan tenaga kesehatan lain akan berbagai tindakan. Dalam hal ini adalah skrining kanker serviks . Hal itu dapat disebabkan faktor rasa malu, baik dari pihak dokter maupun pasien, atau penolakan dari pasien. Beberapa studi potong lintang lainnya juga mendapatkan hal serupa. Dokter perempuan melakukan pemeriksaan vaginal, pap smear lebih banyak dari dokter laki-laki. Dokter laki-laki melaporkan adanya keengganan sosial dan kurangnya latihan sebagai halangan yang cukup berarti.22-24 Survei yang dilakukan pada bidan di Swedia menunjukkan bahwa meskipun pap smear sudah terintergrasi dalam program kesehatan nasional, tingkat pengetahuan maupun dukungan para bidan dalam program tersbeut masih kurang.20 Pada penelitian ini berhasil dibuktikan adanya korelasi lemah antara pengetahuan dan perilaku yang dimiliki oleh bidan. Hal serupa tidak dijumpai pada responden dokter. Sebagian besar alasan yang diungkapkan atas tidak terlaksananya kegiatan skrining di puskesmas adalah belum adanya pelatihan menyeluruh untuk para tenaga kesehatan, belum terintegrasi dalam program kesehatan rutin puskesmas, serta kurangnya sumber daya manusia maupun fasilitas memadai untuk melakukan penapisan dini tersebut. Kesimpulan Hasil penelitian ini membuktikan bahwa perlu persiapan matang dalam segala aspek terkait upaya pencegahan kanker serviks. Untuk membuat suatu kebijakan pencegahan kanker serviks nasional, banyak hal harus diperhatikan dalam memperhitungkan semua kebutuhan yang diperlukan (needs assessment).25 Penelitian ini mungkin dapat sedikit membantu dari segi pelayanan kesehatan, informasi, dan edukasi karena menggambarkan secara kasar mengenai sumber daya manusia pada pusat kesehatan primer di Jakarta dan kapasitas mereka mengenai kanker leher rahim. Pengetahuan responden dapat menjadi acuan dalam menetapkan strategi penyebaran informasi dan edukasi dengan puskesmas sebagai pusatnya. Inspeksi Visual Asam asetat (IVA) menjadi salah satu alternatif metode penapisan kanker serviks, akan tetapi masih perlu
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

persiapan agar cara ini bisa dilaksanakan secara optimal. Salah satu yang terpenting adalah sosialisasi program IVA disertai dengan pelatihan, baik untuk pembuat kebijakan maupun pelaksana kegiatan di Puskesmas, serta perlu dipersiapkan segala sarana dan prasarana yang sesuai untuk mewujudkannya. Pernyataan Penelitian ini dibiayai oleh Asialink-Female Cancer Program. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh dinas kesehatan DKI Jakarta, suku dinas kesehatan di lima wilayah DKI Jakarta, serta seluruh dokter dan bidan yang telah bersedia membantu terlaksananya penelitian ini. Daftar Pustaka
1. 2. Tjindarbumi D, Mangunkusumo R. Cancer in Indonesia, Present and Future. Japan J Clin Oncol 2002; 32 (suppl.1): S17-S21. Sankaranarayanan R, Budukh AM, Rajkumar R. Effective screening programmes for cervical cancer in low- and middle-income developing countries. Bulletin World Health Organization. 2001;79(10):954-62. Broekhuizen FF. Overview of Cervical Precancer Treatment in Low Resource Settings dalam Preventing Cervical Cancer in Low Resource Settings: from Research to Practice, JHPIEGO, Conference Report, Bangkok, Thailand, 4-7 December 2005. Blumenthal PD. Testing for Cervical Cancer Prevention in Preventing Cancer in Low Resource Settings: From Research to Practice. JHPIEGO Conference Report, Bangkok, Thailand, 4-7 December 2005. Nooy LS, Sjahjeny, Schad E. Adequate Help For Patients with Cervical Cancer? The Referral System in Indonesia. A descriptive Comparison Study in Four Provinces. Folia Medica Indonesiana. 2005; 41(1). Goldie SJ, Gaffkin L, Goldhaber-Fiebert JD, Gordillo-Tobar A, Mah C, Wright TC; Alliance for Cervical Cancer Prevention Cost Working Group. Cost-effectiveness of Cervical Cancer Screening in Five Developing Countries. New Engl Med J. 2005;353(20):2158-68. Nurrana L. Penanggulangan Kanker Serviks yang Sahih dan Andal dengan Model Proaktif-VO (Proaktif, Koordinatif dengan penapisan IVA dan terapi Krio) [disertasi]. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. Tayyeb R, Khawaja NP, Malik N. Comparison of Visual Inspection of Cervix and Papsmear for Cervical Cancer Screening. Journal of College of Physicians and Surgeons Pakistan. 2003:13(4):201-3. Goel A, Gandhi G, Batra S, Bhambhani S, Zutshi V, Sachdeva P. Visual Inspection of The Cervix with Acetic Acid for Cervical Intraepithelial Lesions. Int J Gynae Obstet.2005:88(1):25-30. Deteksi Kanker Leher Rahim & Kanker Payudara. [ Cited: 3 Agustus 2008, Last update: 21 April 2008], www.depkes.go.id/ index.php?option=news&task=viewarticle&sid=3081. Prayitno A. Cervical Cancer with Human Papilloma Virus and Eipstein Barr Virus Positive. Journal of Carcinogenesis.2006; 5:13. Deganus S. Preventing Cervical Cancer: The Single Visit Approach. from Research to Practice, JHPIEGO, Conference Report, Bangkok, Thailand, 4-7 December 2005 Holschneider CH. Premalignant and Malignat Disorder of the Uterine Cervix. In Current Obstetric and Gynecologic. Diagnosis & Treatment, 9th edition. McGraw-Hill Companies;.2003. Syrjnen K, Shabalova I, Petrovichev N, Kozachenko V, Zakharova T, Pajanidi J, et al. Smoking is and Independent Risk

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

451

Deteksi Dini Kanker Serviks pada Pusat Pelayanan Primer


Factor Oncogenic Human Papillomavirus (HPV) infections but not for High-grade CIN. European Journal of Epidemiology. 2007;22:723-35. Krivak TC, McBroom JW, Elkas JC. Cervical and Vaginal Cancer. In: Berek JS, editor. Novaks Gynecology 13th ed. New York: Lippincott Williams and Wilkins; 2002.p. 1405-54. Sasieni P. Cervical Cancer and Hormonal Contraception. Lancet. 2007; 370: 1609-1621. Ruffin MT. Family physicians knowledge of risk factors for cervical cancer. Journal of Womens Health. 2003;12(6):561-7. Baay MFD, Verhoeven V, Peremans L, Avonts D, Vermorken JB. General practitioners perception of risk factors for cervical cancer development: consequences for patient education. Patient Educ Couns. 2006;62(2):277-81. Sriamporn S, Khuhaprema T, Parkin M.Cervical Cancer Screening in Thailand: an Overview.J Med Screening. 2006;13 (Suppl 1):S39-43. Idestro M, Milsom I, Ellstro AA. the cervical cancer screening program. Obstetricia et Gynecologica. 2007;86:742-8. 21. Boelen C. The Five Star Doctor: An Asset to Health care Reform. Human Resources Development Journal [serial on the Internet]. 1997 [Cited: 4 Agustus 2008];1(1):[about 13 p.]. Available from: www.who.int/hrh/en/HRDJ_1_1_02.pdf. 22. Dickinson JA,Chan CSY. Opinion survey of Hong Kong private primary care doctors about cervical screening. HKMJ. 2001;7(3):284-90. 23. Ganry O, Boche T. prevention practices and cancer screening among general practitioners in picardy, france. Public Health. 2005;119:1023-30. 24. Ahmad F, Stewart DE, Cameron JI, Hyman I. rural physicians perspectives on cervical and breast cancer screening: a genderbased analysis. Journal of Womens Health & Gender-based Medicine. 2001;10(2):201-8. 25. Alliance for Cervical Cancer Prevention (ACCP). Planning and Implementing Cervical Cancer Prevention and Control Programs: A manual for Managers. Seattle: ACCP; 2004. MS

15.

16. 17. 18.

19.

20.

452

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011

Anda mungkin juga menyukai