Anda di halaman 1dari 12

4

TINJAUAN PUSTAKA
Es Krim Es krim merupakan makanan hasil olahan produk susu yang terdiri atas lemak, susu, gula, perasa, pewarna, penstabil, serta menggunakan tambahan lain seperti telur, buah, atau kacang yang diolah menjadi lembut karena proses penghancuran dan pengadukan sampai dengan proses pembekuan (Marshall dan Arbuckle 2000). Menurut standar SNI 01-3713-1995 es krim adalah makanan semi padat yang proses pembuatannya meliputi pembekuan campuran susu, lemak hewan maupun nabati, gula, dengan atau tanpa bahan makanan lain dan bahan makanan lain yang diijinkan. Es krim yang dihasilkan harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan, baik dalam persyaratan mutu fisik, kimia, dan mikrobiologinya (Tabel 1).
Tabel 1 Syarat kesesuaian mutu es krim No. 1. Kriteria Uji Keadaan - Penampakan - Bau - Rasa Lemak Gula (sakarosa) Protein Total padatan Bahan tambahan makanan - Pewarna tambahan* - Pemanis buatan - Pemantap dan pengemulsi* Cemaran Logam - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba - Angka lempeng total - MPN Coliform - Salmonella - Listeria spp Satuan % b/b % b/b % b/b % b/b Persyaratan Normal Normal Normal Minimum Minimum Minimum Minimum 5.0 8.0 2.7 3.4

2. 3. 4. 5. 6

Negatif

7.

mg/kg mg/kg mg/kg koloni/g APM/g koloni/25 g koloni/25 g

Maks 1.0 Maks 20.0 Maks 0.5 Maks 2.0 x 105 <3 Negatif Negatif

8. 9.

Sumber : SNI 01-3713-1995)

Macy et al. (1999) menyebutkan bahwa es krim merupakan salah satu produk komersial yang mutunya dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik rasa, warna, tekstur, dan komposisi bahan penyusunnya. Jenis-jenis es krim dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu es krim keras yang menggunakan krim

dan lemak tumbuhan, es krim lunak yang hanya menggunakan lemak nabati, dan sorbet (Muaris 2006). Tahapan analisa pencicipan karakteristik bentuk atau tekstur, rasa, dan aroma es krim berbeda dengan produk olahan susu lainnya. Menurut Clark et al (2009) fokus utama ketika pertama kali es krim masuk ke dalam mulut adalah tekstur kelembutan maupun ketegasan es krim. Ketika berada di dalam mulut, es krim mulai mencair namun memiliki karakteristik berpasir yang tetap bertahan, terutama pada kristal laktosanya. Setelah itu terdapat sensasi licin berminyak pada permukaan mulut terutama pada bagian gigi setelah sebagian es krim mulai mencair. Setelah mencair secara keseluruhan, fokus selanjutnya adalah pada rasa yang ditimbulkan es krim, yaitu; manis, asin, pahit, asam dan sebagainya. Ketika proses tersebut berlangsung, mulut berada pada kondisi tertutup. Proses pernafasan yang terjadi melalui hidung. Proses pernafasan tersebut

memungkinkan uap dari produk es krim keluar sehingga memberikan rangsangan kepada kontak persepsi aroma di dalam hidung. Oleh karena itu, fokus terakhir identifikasi adalah aroma produk es krim. Bahan Baku Es Krim dan Fungsinya Setiap bahan utama dalam es krim berpengaruh terhadap mutu akhir produk es krim. Bahan-bahan yang umum digunakan dalam pembuatan es krim antara lain susu, lemak susu, gula, bahan penstabil, bahan pengemulsi, bahan pencita rasa, dan pewarna. Komposisi bahan baku yang umumnya digunakan adalah 8-20% lemak, 8-15% padatan susu tanpa lemak (PSTL), 13-20% gula, serta 0-0.7% stabilizer dan pengemulsi (Marshall dan Arbuckle 2000) Susu dan produk olahannya merupakan komponen utama dalam proses pembuatan es krim. Jumlah susu dan susu tanpa lemak yang terdapat di dalam es krim mencapat 60% dari total padatan es krim (Marshall dan Arbuckle 2000). Lemak pada susu berfungsi untuk melembutkan tekstur es krim, memberikan karakteristik pelumeran yang baik dan memberikan kontribusi energi terbesar pada es krim. Lemak juga memberikan efek sinergis pada penambahan flavor yang digunakan, sehingga dapat meningkatkan mutu dan cita rasa es krim (Macy et al. 1999). Produk susu yang digunakan pada es krim adalah krim, susu skim, susu kental manis, susu bubuk, mentega, dan butter (Macy et al. 1999). Berdasarkan Khongjeamsiri et al. (2009) lemak susu dapat diganti dengan santan. Produk es krim yang menggunakan santan dapat menghasilkan es krim dengan jumlah

karbohidrat yang tinggi, namun rendah protein dan lemak (Marshall dan Arbuckle 2000). Es krim yang dipasarkan kepada konsumen dibagi menjadi beberapa kelas menurut komposisi lemaknya. Semakin tinggi lemak susu pada es krim, maka semakin tinggi harga es krim tersebut. Golongan es krim dari harga termurah hingga termahal adalah economy, good average, dan deluxe (Marshall dan Arbuckle 2000). Komposisi ketiga kelompok es krim tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi es krim menurut jenisnya Jenis Es krim Economy Lemak Susu Susu tanpa lemak Gula 15 13-16 15 13-16 13-16 16-17 14-17 Stabilizer & Emulsifier 0.3 0.2-0.4 0.3 0.2-0.4 0.2-0.4 0.0-0.2 0.25 Total Padatan 35-37 37.5-39 40-41 42-45 46

10 10-11 12 9-10 Good Average 12 11 14 8-9 Deluxe 16 7-8 18-20 6-7.5 20 5-6 Sumber: Marshall dan Arbuckle (2000)

Pengemulsi merupakan campuran yang dapat menyatukan air dan lemak atau minyak (Marshall dan Arbuckle 2000). Fungsi pengemulsi menurut Buckle et al (1987) adalah untuk menurunkan waktu pembekuan, memperbaiki waktu whipping dan produksi es krim sehingga membentuk tekstur yang kaku dan pelelehannya seragam. Jika tidak ada emulsifier, maka air dan lemak dapat terpisah selama penyimpanan. Bahan-bahan yang biasanya digunakan sebagai emulsifier adalah kuning telur, lesitin, monogliserida dan digliserida asam lemak, serta polysorbate 80 (polyoxyethylene (20) sorbitan mono-oleate), dan polysorbate 65

(polyoxyethylene (20) sorbitan tristearate). Bahan-bahan ini membantu kelarutan ingredient dalam es krim (Buckle et al 1987). Konsentrasi pengemulsi yang digunakan sebesar 0.03-0.2% (Clark et al 2009). Monogliserida dan digliserida atau keduanya pada pengemulsi berasal dari glycerolysis lemak nabati yang jumlahnya tidak boleh lebih dari dua persen (Marshall dan Arbuckle 2000). Penstabil atau stabilizer berfungsi untuk menjaga air di dalam es krim agar tidak membeku secara utuh dan mengurangi kristalisasi es dan laktosa ketika suhu penyimpanan berfluktuasi, sehingga kekentalan dan kelembutan tekstur es krim tetap terjaga. Level standar penstabil yang digunakan pada susu

dan produk olahannya adalah 0.15-0.5%. Penstabil yang digunakan untuk es krim sebesar 0.5% (Clark et al 2009). Stabilizer bersifat mengentalkan adonan sehingga tekstur lebih stabil. Bahan penstabil yang digunakan dibagi menjadi dua jenis berdasarkan sumbernya. Terdapat stabilizer jenis gelatin yang berasal dari sumber hewani seperti kulit sapi dan kulit atau tulang babi, serta stabilizer yang berasal dari sayuran seperti sodium alginate, irish moss, dan CMC (Sodium

Carboxymethylcellulose) (Marshall dan Arbuckle 2000). Penstabil yang umumnya digunakan dalam pembuatan es krim adalah alginat, karagenan, guar, locust bean, dan carboxymethyl cellulose (CMC) (Clark et al. 2009). Karagenan menurut penelitian Spagnuolo et al. (2004) dapat digunakan untuk menghambat pemisahan fase lemak dan air. Stabilizer berdasarkan Clark et al. (2009) dapat membentuk emulsi seperti selaput yang berukuran mikro dan mengikat molekul lemak, air, dan udara. Dengan demikian, air tidak akan mengkristal dan lemak tidak akan mengeras Pemanis es krim yang digunakan umumnya sebesar 13-15% (Clark et al 2009). Gula dapat memberikan rasa manis dan menurunkan titik beku adonan, sehingga tidak terlalu cepat membeku saat diproses (Marshall dan Arbuckle 2000). Pengaturan titik beku penting agar udara yang masuk ke dalam adonan dapat lebih banyak sehingga tekstur menjadi lebih lembut (Potter and Hotchkiss 1997). Jika penggunaan pemanis lebih dari 16%, maka titik beku campuran menjadi lebih rendah dan produk akhir es krim akan cepat lumer (Clark et al 2009). Rasa pedas pada es krim dapat diberikan dengan memberikan kayu manis, jahe, cengkeh, pala, dan rempah lainnya. Rempah yang digunakan sebagai campuran es krim berbentuk ekstrak. Rempah tersebut memiliki rasa pedas yang kuat, sehingga hanya digunakan sebagai bahan tambahan es krim dalam jumlah yang sedikit (Marshall dan Arbuckle 2000). Proses Pengolahan Es Krim Proses pembuatan es krim terdiri atas proses pencampuran adonan, pasteurisasi, homogenisasi, proses penuaan ( ageing), pembekuan (freezing), dan proses pengerasan (hardening) (Marshall dan Arbuckle 2000). Pencampuran adonan dilakukan dengan mencampur dan memanaskan bahan-bahan yang cair hingga suhu 43.4 oC. Setelah itu gula dan bahan kering lainnya dimasukkan ketika campuran sudah mulai memanas agar mempermudah

pelarutan yang lebih mudah. Bahan-bahan segar seperti buah segar dan kacang ditambahkan ketika proses pembekuan (freezing) (Potter and Hotchkiss 1997). Pasteurisasi merupakan proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu untuk membunuh mikroba patogen yang terdapat di dalam bahan baku es krim. Umumnya, proses pasteurisasi dengan steam bath dilakukan pada suhu 70oC selama 30 menit, sedangkan pasteurisasi dengan High Temperature Short Time (HTST) dilakukan selama 25 detik pada suhu 82 oC (Potter and Hotchkiss 1997). Selain membebaskan adonan dari bakteri patogen, proses ini juga membantu melarutkan bahan, memperbaiki cita rasa dan mutu simpan, mencegah globula lemak bersatu, dan mengurangi waktu yang diperlukan bagi proses ageing pada adonan sehingga kekentalan tekstur es krim lebih baik (Marshall dan Arbuckle 2000). Homogenisasi dilakukan pada suhu 63 o-77oC dengan tujuan untuk memperkecil ukuran globula lemak sehingga permukaan menjadi lebih luas, meningkatkan kemampuan pembuihan (whipping quality), mengurangi Proses ini

kekentalan dan membentuk keseragaman tekstur pada es krim.

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat viskositas, komposisi, stabilitas adonan, suhu dan konstruksi mesin yang digunakan (Arbuckle dan Frandsen 1961). Proses penuaan (ageing) merupakan proses penyimpanan es krim pada suhu rendah yang terjadi selama 3-24 jam. Suhu yang digunakan adalah 4.4 oC. Selama proses penuaan berlangsung, lemak yang mencair akibat proses pemanasan akan mengeras kembali dan penstabil akan mengembang dan mengikat air. Protein juga mengikat air, sehingga viskositas adonan bertambah dan daya mengembang es krim meningkat (Potter and Hotchkiss 1997). Pembekuan (freezing) dimulai pada suhu -2.80C. Proses ini

menggunakan alat pembeku yang bertujuan untuk membekukan hingga suhu terendah (250C), sehingga mendapatkan nilai overrun yang dikehendaki. Overrun diketahui setelah pembekuan yang merupakan nilai persentase kelebihan volume es krim akibat penyatuan gelembung udara yang dibandingkan dengan volume adonan es krim sebelum dibekukan (Buckle et al 1987). Pengerasan (hardening) dilakukan di dalam freezer namun tidak menggunakan proses pengadukan. Temperatur yang digunakan -34oC atau lebih rendah (Potter and Hotchkiss 1997). Penyimpanan pada ruangan pengerasan (hardening room) bertujuan agar es krim mengeras. Setelah mengeras, maka es

krim telah dapat dipasarkan atau dikonsumsi. Proses hardening harus dilakukan secepat mungkin (fast hardening) untuk menghindari terbentuknya kristal es yang besar. Ukuran dan bentuk permukaan kemasan, sirkulasi udara, pembagian ruangan, suhu es krim setelah dibekukan, komposisi adonan es krim dan nilai overrun dapat mempengaruhi proses hardening (Marshall dan Arbuckle 2000). Wortel Wortel segar adalah umbi (akar tunggang) dari tanaman wortel (Daucus Carota L) dalam keadaan utuh, segar dan bersih (SNI 01-3163-1992). Jenis mutu wortel segar berdasarkan karakteristik dan syaratnya dibagi menjadi Mutu I dan Mutu II. Berdasarkan SNI 01-3163-1992, syarat mutu wortel I dan II dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Syarat dan Karakteristik Wortel Mutu I dan Mutu II Syarat No. Karakteristik Cara Pengujian Mutu I Mutu II 1. Kesamaan sifat varietas Seragam Seragam Organoleptik 2. Kekerasan Keras Keras Organoleptik 3. Warna Normal Normal Organoleptik 4. Kerataan permukaan Cukup rata Cukup rata Organoleptik 5. Tekstur Tidak mengayu Tidak mengayu Organoleptik 6. Persentase kerusakan 5 10 Organoleptik (jumlah/jumlah) maksimal 7. Kotoran Tidak ada Tidak ada Keterangan : Kotoran dinyatakan tidak ada apabila tidak terdapat kotoran atau benda asing lainnya yang menempel pada umbi atau berada dalam kemasan yang mempengaruhi kenampakannya

Wortel yang beredar di Indonesia terdiri umumnya atas dua tipe, yaitu Imperator dan Chantenay. Kedua tipe wortel tersebut memiliki perbedaan secara visual baik dalam bentuk maupun teksturnya. Tipe Imperator mempunyai ujung umbi yang runcing sedangkan tipe Chantenay ujung umbinya tumpul. Selain itu, tipe Imperator bertekstur agak kasar dan keras sedangkan Chantenay tekstur halus (Soehardi 2004). Cahyono (2002) mengklasifikasikan wortel berdasarkan ukuran dan tingkat kerusakannya menjadi beberapa kelas mutu, antara lain: a. Kelas mutu I, terdiri atas umbi wortel yang berukuran besar, berdiameter 3-5 cm dan mempunyai berat lebih dari 300 gram, tekstur keras namun tidak mengayu, berwarna normal, permukaan cukup rata, varietas seragam, tidak cacat, dan tidak terinfeksi hama penyakit. b. Kelas mutu II, terdiri atas umbi wortel yang berukuran sedang, berdiameter antara 1.5-3 cm dan memiliki berat 200-300 gram, bertekstur

10

keras dan tidak mengayu, berwarna normal, permukaan cukup rata, varietas seragam, tidak cacat, dan tidak terinfeksi hama penyakit. c. Kelas mutu III, terdiri atas umbi wortel berukuran kecil, berdiameter kurang dari 1.5 cm dan memiliki berat umbi kurang dari 200 gram, bertekstur keras, tidak mengayu, berwarna normal, permukaan cukup rata, varietas seragam, tidak cacat, dan tidak terinfeksi hama penyakit. Wortel mengandung banyak provitamin A yang mencapai 1800 RE per 100 gram wortel, disamping dengan vitamin lainnya seperti vitamin B, C, D, E, dan K. Satu buah wortel (mutu I) mengandung 5.7 mg betakaroten, sedangkan secangkir jus wortel mengandung 24.2 mg beta karoten (Soehardi 2004) Tubuh lebih efektif menyerap betakaroten dari wortel setengah masak daripada yang mentah. Oleh karena itu sebelum dibuat menjadi jus atau makanan saji, wortel di blansir terlebih dahulu. Kandungan betakaroten terbanyak terkosentrasi tepat di bawah kulit. Proses pengupasan wortel menyebabkan 20-30% betakaroten dapat terbuang (Beeton 2000). Warna oranye pada wortel dapat digunakan sebagai pewarna alami pada makanan. Selain itu, wortel juga telah dikembangkan menjadi berbagai variasi produk makanan maupun minuman. Di Indonesia wortel banyak digunakan sebagai campuran sup atau tumisan sayur, mie, kue basah atau kue kering (Cahyono 2002), serta campuran makanan tradisional seperti asinan sayur atau gado-gado (Pertiwi dan Ginting 2007). Seiring dengan perkembangan teknologi, wortel digunakan sebagai bahan baku produk pangan dalam kemasan seperti bubur bayi dan selai (Beeton 2000), mentega (Stepaniak 2007), sirup dan yoghurt (Wright dan Quigley 2008). Tomat Berdasarkan SNI 01-3162-1992 terdapat dua jenis tomat berdasarkan klasifikasi mutu impor, yaitu tomat Mutu I dan Mutu II. Kriteria tomat Mutu I memiliki varietas yang seragam, tidak terlalu matang, tidak lunak, ukuran buah seragam, kotoran maksimal 5%, dan busuk maksimal 1%. Kriteria tomat Mutu II hampir sama dengan tomat Mutu I, akan tetapi kotoran maksimal yang diperbolehkan sebesar 10%. Ukuran tomat dinyatakan seragam apabila telah sesuai dengan penggolongan tiga macam ukuran berat tersebut yang ditentukan dengan toleransi 5% (jumlah/jumlah) maksimum. Tomat juga dapat digolongkan berdasarkan beratnya. Klasifikasi tomat berdasarkan beratnya dibagi menjadi beberapa kelas, antara lain kelas A dengan

11

berat lebih dari 150 g/buah, kelas B atau sedang dengan beratnya 100g150g/buah dan kelas C atau kecil dengan beratnya kurang dari 100 g/buah (Rukmana 1995). Buah tomat dinyatakan terlalu matang dan lunak apabila tomat telah mencapai kematangan penuh dengan tekstur daging yang lunak dan dianggap telah lewat waktu pemasarannya. Tomat dinyatakan rusak apabila mengalami kerusakan atau cacat oleh sebab fisiologis, mekanis dan lain-lain yang terlibat pada permukaan buah (SNI 01-3162-1992). Zat-zat gizi yang terdapat pada tomat antara lain kalori, karbohidrat, lemak, protein, serat makanan, dan vitamin A, B1, B5 (asam pantotenat), asam folat, C, E, serta mineral-mineral seperti kalsium, magnesium, natrium, yodium, dan zat nongizi (Jones 2008). Tomat mengandung provitamin A sebesar 225 RE per 100 gram (Soehardi 2004). Rukmana (1995) menulis bahwa tomat melakukan proses respirasi setelah dipetik. Proses respirasi terjadi karena terdapat perubahan-perubahan kimia dalam buah tomat dari pro-vitamin A menjadi vitamin A, pro-vitamin C menjadi vitamin C, dan dari karbohidrat menjadi gula yang menghasilkan CO 2, H2O, dan ethylen. Akumulasi produk respirasi tersebut menyebabkan pembusukan pada buah tomat Proses penyimpanan tomat berdasarkan Rubatzky dan Yamaguchi (1999) dilakukan selama beberapa minggu dalam suhu penyimpanan yang direkomendasikan berdasarkan fase kematangannya. Suhu optimum untuk pematangan buah hijau tomat adalah 18 o-21oC. Tomat tersebut juga dapat disimpan selama 6 minggu pada suhu 13 o-18oC agar perkembangan warna berlangsung lambat. Jones (2008) menulis bahwa rasa tomat bergantung pada rasio antara gula dan asam yang terkandung di dalam buah. Ketika buah berwarna oranyemerah, kadar gula tinggi dan keasaman belum menurun. Penelitian Peet (1996) dalam Jones (2008) mengenai kombinasi keasaman (pH rendah) dan kadar gula buah yang mempengaruhi rasa pada tomat terdapat pada Tabel 4
Tabel 4 Rasa pada tomat berdasarkan rasio kandungan gula dan keasaman buah Keasaman Kandungan gula Rasa Tinggi Tinggi Baik Asam (tart) Tinggi Rendah Kurang, lemah (bland) Rendah Tinggi Rendah Rendah Tidak ada rasa Sumber: Peet (1996) dalam Jones (2008)

12

Senyawa karotenoid yang terdapat pada tomat adalah likopen. Likopen adalah salah satu zat pigmen kuning tua sampai merah tua yang termasuk kelompok karotenoid yang bertanggung jawab memberikan warna merah pada tomat. Senyawa karotenoid ini dikenal baik sebagai senyawa yang memiliki daya antioksidan tinggi. Senyawa ini mampu melawan radikal bebas akibat polusi dan radiasi sinar UV. Pemisahan antioksidan dari buah tomat dengan metoda ekstraksi caircair, menggunakan campuran etanol, heksan, dan aseton sebagai solven (Stahl and Sies 1992). Likopen pada tomat mampu melindungi tubuh dari oksidan-oksidan penyebab kanker yaitu radikal bebas (Stahl and Sies 1992). Berdasarkan Sanjiv dan Rao (2000) likopen merupakan salah satu antioksidan yang potensial, dengan kemampuan meredam oksigen tunggal dua kali lebih baik daripada betakaroten dan sepuluh kali lebih baik daripada alfa-tokoferol. Seseorang yang memiliki kadar likopen yang tinggi dalam darahnya memiliki tingkat resiko yang rendah terhadap penyakit kanker prostat (Dorgan et al 1998) dan osteoporosis (Palan et al 2001). Likopen pada produk olahan tomat seperti saus tomat, pasta tomat, dan sup tomat lebih mudah diserap oleh tubuh dibandingkan dengan lycopene pada buah tomat (Soehardi 2004). Tomat dapat langsung dikonsumsi atau diolah terlebih dahulu. Tomat dapat diolah menjadi produk pangan dalam kemasan, yaitu: (1) produk basah (tomato preserve) seperti sari atau jus tomat, pulp tomat, bubur tomat dan pasta tomat; (2) produk kering (dried tomatoes) seperti tepung tomat, chips tomat dan flakes tomat; (3) produk campuran makanan (tomato-containing food) seperti saus tomat sup tomat dan saus bolognaise (Jongen 2002). Daun Katuk Tanaman katuk atau Sauropus androgynus (L.) Merr merupakan tanaman yang termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae (Azis dan Muktiningsih 2006). Citarasa daun katuk akan meningkat jika daun katuk diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Daun katuk tidak dapat dimakan mentah, karena tangkainya yang cukup liat. Daun katuk dapat diolah menjadi bahan baku jamu atau obat-obatan, hidangan sup serta campuran tambahan pada makanan lain misalnya pada telur dadar (Lingga 2010) Penelitian Piliang et al (2002) menyebutkan bahwa tepung daun katuk memiliki kandungan gizi yang lebih baik dibandingkan dengan serbuk ekstrak

13

daun katuk kering. Daun katuk mengandung protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin B dan vitamin C (Muslisah 2002). Daun katuk merupakan sumber vitamin A dalam bentuk karoten (provitamin A). Kandungan gizi daun katuk per 100 gram terdiri atas 59 kal, 6.4 g protein, 1 g lemak, 9.9 g hidrat arang, 1.5 g serat, 1.7 g abu, 233 mg kalsium, 98 mg fosfor, 3.5 mg besi, dan 1556 RE, 164 mg vitamin B dan C, serta 81 g air (Azis dan Muktiningsih 2006). Kandungan zat besi daun katuk lebih tinggi jika dibandingkan dengan daun pepaya dan daun singkong (Suyanti 2002). Senyawa fitokimia yang berkhasiat sebagai obat banyak terdapat di dalam daun katuk. Senyawa aktif yang terkandung di dalam daun katuk yang dapat merangsang sintesis hormon-hormon steroid (progesteron, astradiol, testosteron, dan glukokortikoid) serta senyawa eikosanoid (prostalglandin, prostasiklin, tromboksan, lipoksin, dan leukotrien). Selain itu, daun katuk juga mengandung tanin, saponin flavonoid, dan alkaloid papaverin yang sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan pengobatan alami (Suyanti 2002). Daun katuk kini telah diproduksi menjadi produk teh kemasan (Intiselaras 2005). Fungsi daun katuk antara lain memperlancar Air Susu Ibu (ASI) bagi ibu menyusui, dan membersihkan darah kotor bagi ibu setelah melahirkan. Selain itu, konsumsi daun katuk dapat mengobati penyakit frambusia, susah kencing, dan mengobati bisul atau borok (ditumbuk dan dioleskan pada bagian yang luka) (Muslisah 2002). Cabai Rawit Cabai rawit (Capsicum frutescens L) di dunia Internasional dikenal dengan sebutan hot chilli atau cabai pedas. Cabai ini termasuk golongan cabai kecil. Cabai rawit dibagi menjadi tiga kelompok yaitu cabai rawit kecil, cabai rawit putih, dan cabai rawit hijau (Dahana dan Warisno 2010). Cabai rawit hijau memiliki buah yang pendek dan gemuk, panjangnya sekitar 2-3 cm dan lebar 1-1,5 cm. Rasanya tidak terlalu pedas sehingga banyak orang menyukainya. Saat muda, buahnya berwarna hijau tua, namun warnanya berangsur-angsur berubah kecoklatan dan menjadi merah tua ketika masak (Santosa 2009). Cabai rawit mengandung zat capsaicin, minyak atsiri capsitol, dan bioflavonoid serta zat gizi lain yang cukup tinggi. Bagian yang dapat dimakan pada cabai sebesar 90%. Zat gizi dalam 100 gram cabai rawit segar adalah energi 103 kal, protein 4,7 g, lemak 2,4 g, karbohidrat 19,9 g, kalsium 45 g, fosfor

14

85 g, vitamin A 1658 RE, zat besi 2,5 mg, vitamin B 0,08 mg, vitamin C 70 mg, dan air 71,20 g (Cahyono 2003). Cabai rawit banyak digunakan sebagai bumbu dapur, yakni sebagai bahan penyedap berbagai macam masakan antara lain saus, aneka sayur, acar, lalap, asinan, dan produk-produk makanan kaleng (Cahyono 2003). Cabai rawit dapat digunakan sebagai bahan ramuan obat-obatan (industri farmasi), industri kosmetika, industri pewarna bahan makanan, dan penghasil minyak atsiri (Dalimartha 2000) Karotenoid Karotenoid adalah prekursor vitamin A. Karotenoid merupakan senyawa alami yang memberikan warna kuning tua, oranye dan merah pada buah dan sayur. Penyerapan karotenoid pada tubuh bergantung pada jumlah lemak yang dikonsumsi, bentuk matriks pada buah dan sayur, dan proses pengolahan fisik pada makanan ketika persiapan maupun pengolahannya (Semba 2007). Berdasarkan Bernstein et al. (2011), karotenoid yang utama terdiri atas karoten, -karoten, lutein, zeaxanthin, cryptoxanthin dan likopen. Tubuh dapat mengkonversi -karoten, -karoten dan -kriptosantin menjadi retinol sehingga disebut sebagai karotenoid provitamin A. Lutein, zeaxanthin, dan likopen tidak memiliki aktivitas vitamin A sehingga disebut sebagai karotenoid non provitamin A Kebiasaan mengkonsumsi makanan kaya karoten dapat melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif. Karotenoid dan retinoid pada satu makanan yang sama memberikan ketersediaan vitamin A yang berbeda. Aktivitas biologi didalam tubuh pada retinoid lebih tinggi dari karotenoid sehingga kontribusi vitamin A dari retinoid lebih besar dari karotenoid (Mikesky et al 2009). Oleh karena itu, dibuat ketetapan standarisasi satuan untuk mengukur aktivitas vitamin A keduanya. Aktivitas vitamin A dalam bahan pangan dinyatakan dalam satuan Retinol Activity Ekuivalen (RAE), dengan perincian antara laian 1 RAE ekuivalent dengan 1 g retinol, 12 g beta karoten, atau 24 g karotenoid (Kristina dan Sherry 2006). Likopen merupakan salah satu kelompok karotenoid. Likopen juga terbukti sebagai antioksidan yang efektif, yang berarti memiliki kemampuan untuk mencegah radikal bebas merusak sel yang disebabkan oleh ROS (Reactive Oxigen Species) (Davies 2000). Penelitian Shi and LeMaguer (2000) menyebutkan bahwa sebagai antioksidan, likopen dua kali lebih efektif jika

15

dibandingkan beta-karoten dalam melindungi sel darah putih dari kerusakan membran oleh radikal bebas. Bioavailabilitas karotenoid berdasarkan Kristina dan Sherry (2006) pada makanan yang telah diolah lebih baik jika dibandingkan dengan makanan mentah (raw food). Proses pemanasan tersebut menyebabkan protein pada pigmen-protein kompleks jaringan terdenaturasi, sehingga karotenoid terlepas. Prosesnya adalah pemanasan dengan waktu yang lama atau suhu tinggi dapat mengkonversi lebih banyak konfigurasi all-trans karotenoid menjadi isomer cis. Toksisitas vitamin A jarang terjadi kecuali dalam kasus konsumsi suplemen vitamin A dosis tinggi. Keracunan vitamin A (hyperavitaminosis) menimbulkan gejala seperti sakit persendian, muntah, dan kulit bersisik. Toleransi maksimum konsumsi vitamin A adalah sebesar 3000 g retinol per hari (Mikesky et al. 2009). Hipervitaminosis vitamin A dapat terjadi jika individu mengkonsumsi makanan tinggi vitamin A yang berasal dari pangan hewani dan juga suplemen tinggi vitamin A minimal 20 mg dalam periode yang lama (IARC 1998) Konsumsi tinggi provitamin A tidak menyebabkan hypervitaminosis vitamin A. Berdasarkan Kristina dan Sherry (2006), konversi preformed A menjadi retinal didalam tubuh lebih cepat jika dibandingkan provitamin vitamin A. Selain itu, Pelto dan Kuhnlein (1997) menyebutkan bahwa absorbsi preformed vitamin A dari pangan hewani lebih efisien jika dibandingkan dengan absorbsi provitamin A dari pangan nabati. Absorbsi preformed vitamin A dalam tubuh sebesar 70-90%, sedangkan pada provitamin A sebesar 20-50% (Mikesky et al 2009). Konversi provitamin A dalam tubuh juga dipengaruhi oleh status kesehatan individu, kemampuan bioavailabilitas, absorbsi, dan metabolisme vitamin A dalam tubuh, jumlah provitamin A dan vitamin A yang dikonsumsi baik dari makanan atau suplemen, serta faktor kandungan zat gizi lain yang dapat mempengaruhi penyerapan vitamin A (Pelto dan Kuhnlein 1997).

Anda mungkin juga menyukai