Digital - Kliping - Adakah Sekoci Pentelamat PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

Adakah Sekoci Penyelamat Fiskal?

12-11-07 Bayang-bayang trauma kenaikan harga minyak sebagaimana terjadi pada 1 Oktober 2005 belum hilang dari benak. Karena itu, ketika kini harga minyak mentah di pasar internasional sudah di ambang 100 dollar AS per barrel, wajar jika timbul kerisauan. Apakah perekonomian dunia akan segera terjerumus ke jurang resesi yang mendalam? Kita tunda dulu pembicaraan soal kemungkinan terjadinya resesi atau bahkan depresi ekonomi. Soalnya, masih ada pertanyaan yang lebih mendesak, yakni apakah fiskal kita aman? Apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih bisa mengakomodasikan amukan harga minyak, setidaknya hingga akhir 2007? Adakah "sekoci" penyelamat fiskal kita? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak bisa semata-mata dijawab hanya dengan pendekatan ekonomi. Kenaikan harga minyak tidak lagi sekadar peristiwa ekonomi yang secara fundamental dapat dijelaskan melalui pendekatan atau mekanisme pasar, dengan esensinya tarik-menarik antara pasokan dan permintaan. Namun, komoditas minyak sudah lama masuk wilayah politik, sebagai komoditas politik, selain sebagai instrumen spekulasi. Karena itu, meramal harga minyak sama sulitnya dengan meramal harga saham sebuah perusahaan, di mana faktor obyektif dan fundamental sering kali diabaikan dan harus mengalah oleh faktor subyektif, yakni sentimen. Karena itulah, cukup logis jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencoba menenangkan masyarakat dengan menyatakannya harga BBM dalam negeri tak akan dinaikkan, bahkan mungkin sampai Pemilu 2009. Presiden pasti menyadari, kenaikan harga BBM akan membawa komplikasi rumit di ranah politik. Bahkan, di Myanmar, yang pemerintahnya represif pun, kenaikan harga BBM bisa menggerakkan massa untuk berdemonstrasi di jalanan. Dari sini kita bisa memaklumi bahwa Presiden sedang menjalankan peran persuasi (moral suasion)hal yang juga dikenal dalam buku teks kebijakan ekonomiuntuk mengikis kepanikan. Namun, persuasi ini akan efektif atau tidak, masih tergantung pada dukungan fakta dan kalkulasi ekonominya. Harus jujur diakui, harga minyak yang terus mendekati 100 dollar AS per barrel memang mencemaskan. Tidak saja bagi perekonomian Indonesia, tetapi seluruh dunia. Ada ruang di APBN Dana Moneter Internasional dengan tanggap segera mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2008, dari 5,2 persen menjadi 4,8 persen, meski masih ditambah dengan catatan bahwa negara-negara yang termasuk pasar berkembang (emerging market) diperkirakan akan menjadi pihak yang lebih rendah terkena dampak negatifnya ketimbang negara lain. Yang disebut kelompok pasar berkembang di antaranya negara-negara Asia Timur dan Tenggara yang perekonomiannya tumbuh tinggi dalam beberapa tahun terakhir, terutama China dan India. Indonesia biasanya juga dimasukkan dalam kelompok ini karena telah menunjukkan kuatnya neraca pembayaran, yang ditandai dengan surplus perdagangan dan derasnya aliran masuk modal asing. Cadangan devisa Bank Indonesia (BI) kini sudah mencapai rekor tertinggi 54,3 miliar dollar AS.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Amerika Serikat, sebagaimana diakui Kepala The Fed Ben Bernanke (Kompas, 10/11), sebenarnya bisa membawa implikasi positif bagi harga minyak. Melemahnya ekonomi AS akan menurunkan permintaan minyak mereka, yang saat ini mengonsumsi 20 juta barrel sehari. Jika negara-negara lain juga ikut melambat, permintaan minyak dunia yang kini sekitar 85 juta barrel sehari akan turun. Dengan skenario "optimistis" ini, sebenarnya harga minyak amat mungkin terkoreksi, atau setidaktidaknya tidak terlalu liar seperti sekarang. Dari sisi APBN, data Departemen Keuangan menunjukkan, hingga September 2007, dari target penerimaan Rp 694 triliun, baru tercapai Rp 465 triliun, atau 67 persen. Di sisi belanja, dari rencana Rp 752 triliun, baru terealisasi Rp 449 triliun, atau hampir 60 persen. Jika dihitung proporsional, realisasi penerimaan maupun pengeluaran mestinya harus mencapai 75 persen. Bagaimana posisi pengeluaran pemerintah untuk subsidi? Dalam APBN Perubahan 2007, subsidi BBM, listrik, dan lain-lain dianggarkan Rp 105 triliun. Hingga September 2007, yang sudah terpakai "baru" Rp 63 triliun, atau sekitar 60 persen. Artinya, masih ada ruang manuver, meski terbatas, bagi pos subsidi ini untuk mengakomodasikan lonjakan harga minyak dunia. Jadi, dengan membandingkan posisi penerimaan dan pengeluaran, serta melihat prospeknya hingga akhir 2007, sisi pengeluaran bisa menjadi jalan keluar. Sejak beberapa tahun terakhir, sisi pengeluaran cenderung "tertinggal" karena birokrat lebih hati-hati membelanjakan APBN. Mereka takut berurusan dengan penegak hukum. Kita memang menyayangkan lemahnya penyerapan APBN karena berharap bisa menjadi stimulus fiskal. Namun, saat APBN tertekan, hal ini malah bisa menjadi semacam "hikmah terselubung". Meski harus ribet dengan mekanisme persetujuan DPR, anggaran tersebut bisa saja direlokasikan ke pos subsidi. Pemerintah juga harus mempertajam prioritas anggaran dengan konsekuensi memangkas anggaran yang masih bisa dihemat. Langkah ini pasti tidak populer, sekaligus tidak mampu menjadi stimulus fiskal. Namun, di saat tekanan fiskal meningkat, langkah-langkah itu masih lebih murah ongkosnya dibandingkan opsi menaikkan harga BBM. Kesimpulannya, APBN 2007 tampaknya masih aman. Namun, itu tidaklah berarti para birokrat kita tidak perlu memulai kampanye penghematan. Tidak usah menunggu harga minyak di atas 100 dollar AS per barrel, tidak perlu pula menunggu hingga tahun depan. Karena itu, diperlukan upaya-upaya yang juga tak kalah luar biasa untuk menangkis dampak negatifnya. Salah satunya, penghematan APBN. Semua orang harus mau berkorban. Tidak ada jalan lain karena kita memang tidak sedang berpesta. A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Kepala Ekonom BNI

Anda mungkin juga menyukai