Anda di halaman 1dari 12

MENGUAK BENANG MERAH

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY


DAN PEMASARAN SOSIAL
DI INDONESIA

Disusun oleh:
IWAN BUDHIARTA

BAB I. Roadmap CSR


1.1. Latar Belakang
Pada pertengahan tahun 1997, sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, dilanda krisis
ekonomi dan moneter sebagai akibat dari jatuhnya nilai tukar mata uang terhadap mata uang dollar
Amerika Serikat. Dari beberapa negara di kawasan Asia, Indonesia mengalami krisis terparah dan
membutuhkan waktu pemulihan yang paling lama. Tercatat tidak kurang dari 66 bank ditutup,
sebagian diantaranya diambil alih dan kemudian direkapitalisasi oleh pemerintah. Sementara itu, 80
perusahaan swasta dinyatakan bangkrut, dan sebanyak 234 perusahaan mempunyai hutang luar negeri
yang mencapai US $ 21 Milyar (World Bank, 1999).
Peristiwa ini membawa implikasi pada tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia dan
meledaknya angka pengangguran nasional. Pada waktu itu, penduduk Indonesia yang hidup di bawah
garis kemiskinan mengalami peningkatan dari 12 % pada tahun 1996 menjadi 40 % pada tahun 1998
(Ibrahim, 2005). Permasalahan kemiskinan yang semakin kompleks dan tidak pernah dapat
diselesaikan merupakan sebuah tantangan utama bagi Pemerintah. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2003
mencapai angka 37,3 juta atau 17,42 %.
Di sisi lain, sebagai akibat terlalu fokusnya usaha-usaha percepatan pembangunan ekonomi,
kualitas lingkungan menjadi semakin berkurang. Di berbagai daerah telah terlihat bukti-bukti
penyimpangan aktivitas ekonomi terhadap kondisi sosial masyarakat dan kualitas lingkungannya.
Perusahaan-perusahaan besar, tanpa terkecuali, selalu berusaha mengeruk keuntungan finansial demi
kepuasan para pemegang sahamnya, sementara tanggungjawab sosial masyarakat dan lingkungan
cenderung terabaikan.
Pembangunan gedung-gedung bertingkat telah mengurangi ketersediaan Ruanh Terbuka
Hijau (RTH). Tindakan membuang limbah industri ke sungai secara sembarangan telah
mengakibatkan krisis air bersih untuk persediaan air minum. Penggundulan hutan dan illegal logging
telah menyebabkan tragedi banjir musiman. Pengelolaan sampah yang buruk menyebabkan sampah
bertebaran di berbagai sudut kota sehingga lingkungan perkotaan menjadi tidak layak dihuni.
Pada akhirnya, situasi ini memaksa dunia usaha di Indonesia untuk mengambil langkah-
langkah perubahan. Pengalaman pahit tersebut membuat perusahaan-perusahaan multinasional segera
melakukan reformasi menyeluruh. Selain mendorong kembalinya sistem ekonomi pasar bebas,
mendorong kompetisi dan melarang segala bentuk praktek monopoli, perusahaan-perusahaan
multinasional juga segera mengembangkan sistem tata kelola perusahaan yang memenuhi persyaratan
akuntabilitas dan transparansi. Peran aktif dari perusahaan-perusahaan multinasional secara signifikan
telah membawa kemajuan bagi perekonomian nasional. Dan tiba waktunya untuk memfokuskan pada
pengembangan kegiatan-kegiatan sosial dan lingkungan demi mempertahankan kelangsungan usaha
di masa depan.
Hingga abad ke-21 ini, sebagian besar perusahaan di Indonesia masih melakukan pemasaran
dengan metode konvensional, yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan melalui
proses pertukatan dan bauran pemasaran semata. Tetapi, perubahan orientasi dan strategi telah
berlangsung secara perlahan tapi pasti. Pemasaran berbasis nilai (value-based marketing) telah
menjadi pelengkap metode pemasaran konvensional. Pemasaran berbasis nilai ini dinilai lebih unggul
daripada pemasaran konvensional karena memasukkan segala aspek, baik eksternal maupun internal
perusahaan, secara menyeluruh dalam setiap perencanaan strateginya.
Pada awal tahun 2000, telah ditandai dengan munculnya gagasan baru di kalangan komunitas
perusahaan-perusahaan multinasional global bahwa harus tercipta keseimbangan antara aspek-aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, sedemikian hingga perusahaan dapat terus berkembang di
masa depan. David C. Korten, seorang profesor dari Sekolah Bisnis Harvard, AS, mengatakan bahwa
institusi global, di mana pun berada, harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama.
Gagasan ini yang kemudian lebih dikenal dengan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate
social responsibility (CSR).
Perkembangan yang positif mulai terlihat beberapa tahun terakhir ini yang memperlihatkan
semakin banyaknya perusahaan-perusahaan multinasional yang menerapkan CSR. Perusahaan-
perusahaan tersebut menyadari bahwa penerapan CSR adalah sebuah investasi jangka panjang yang
berdampak positif bagi pertumbuhan dan keberlanjutan bisnis mereka. Perusahaan-perusahaan
tersebut tidak lagi menganggap CSR sebagai beban operasional dan sentra biaya yang dimasukkan ke
dalam biaya eksternal, tetapi CSR telah menjadi sentra laba di masa mendatang yang harus dibangun
sejak dini.
Ide dan aplikasi program CSR tidak serta-merta menunjukkan hasil signifikan dalam jangka
pendek. Masyarakat pun tidak segera merespon tindakan positif yang dilakukan perusahaan-
perusahaan multinasional. Tetapi, dengan frekuensi kegiatan yang berkesinambungan, program CSR
mulai mendapatkan perhatian dan sambutan positif dari masyarakat. Berbagai aktivitas CSR selalu
muncul setiap hari di berbagai sudut media massa.
Pengaruh perusahaan-perusahaan multinasional terhadap perkembangan dan pertumbuhan
perekonomian masyarakat dan peningkatan kualitas lingkungan semakin terasa manfaatnya.
Perusahaan-perusahaan tersebut diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru,
meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, meningkatkan mutu pendidikan, mempercepat
pemulihan akibat bencana alam, serta menjaga kualitas dan daya dukung lingkungan sehingga
membawa manfaat bagi kehidupan manusia di masa depan. Beberapa program CSR adalah
pemberdayaan masyarakat dalam hal pengembangan usaha mandiri, pengelolaan sanitasi dan
lingkungan hidup, pengendalian dan pencegahan wabah penyakit, dan program edukasi konsumen
hijau (green consumers).
Tanggungjawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) ini merupakan
salah satu strategi yang dapat digunakan perusahaan untuk menjaga kelangsungan usahanya di masa
depan. CSR dapat dipakai sebagai upaya meraih simpati masyarakat konsumen dan dapat
membangun citra perusahaan yang baik. Diharapkan agar di kemudian hari semakin banyak
masyarakat konsumen yang menjadi pelanggan setia.
Menurut Steinmetz dalam Sutojo (2004), pencitraan perusahaan dapat diartikan sebagai
pembentukan jatidiri atau identitas perusahaan. Persepsi seseorang terhadap suatu perusahaan
berdasarkan atas segala hal yang diketahui dan diperkirakan tentang perusahaan yang bersangkutan.
Citra perusahaan menjadi salah satu pegangan bagi banyak orang untuk mengambil berbagai macam
keputusan penting, seperti tindakan konsumen membeli barang yang dihasilkan perusahaan, tindakan
pelanggan merekomendasikan produk perusahaan kepada orang lain, dan tindakan investor membeli
saham atau obligasi yang diterbitkan suatu perusahaan.
Konsep dan program CSR adalah sebuah ide yang baru dan masih membutuhkan proses
perbaikan untuk mencari bentuk terbaiknya hingga batas waktu yang tak terhingga. Meskipun saat ini
banyak perusahaan multinasional yang menyatakan telah melakukan program CSR, tetapi dasar
filosofi aplikasi CSR di Indonesia masih tetap menjadi pertanyaan. Pada umumnya, program CSR
masih belum menjadi bagian dari visi dan misi atau strategi dan budaya perusahaan, program CSR
juga masih dirancang untuk jangka pendek, dan masih belum ada komitmen apakah program CSR
menjadi program inti perusahaan yang berkesinambungan.
Hingga saat ini, penelitian kuantitatif yang terperinci mengenai program CSR dan
manfaatnya bagi perusahaan dan masyarakat serta lingkungan di Indonesia masih belum ada. Hal
tersebut dikarenakan beberapa faktor, seperti keterbatasan akses informasi dan kerahasiaan akan
metode CSR dan alokasi anggaran yang ada dalam suatu perusahaan yang menyangkut kebijakan
internal dan tidak boleh diketahui pihak lain, dan kebiasaan mengkomunikasikan program CSR yang
masih kurang mengingat pengaruh budaya timur yang menyebut tabu untuk memberitahukan
program kedermawanan kepada pihak lain.
Selain itu, peluang untuk mendapatkan keuntungan besar mulai dimanfaatkan oleh pihak-
pihak yang kurang bertanggung jawab dengan menawarkan sejumlah proposal yang tidak berkualitas
mengakibatkan perusahaan-perusahaan multinasional sedikit selektif dan menutup diri dalam hal
yang berkaitan dengan program CSR. Yang terakhir, kegiatan pelaporan pelaksanaan program CSR
masih belum dijadikan sebagai suatu kewajiban bagi perusahaan-perusahaan multinasional.

BAB II. Pemetaan Ekologis Pemasaran Abad 21


Dinamika pemasaran yang berkembang pada abad 21 menjadi lebih kompleks dari abad
sebelumnya dan perubahan mendasar akan terjadi lebih cepat demi memenuhi tuntutan persaingan
pasar, baik lokal, regional maupun global (Susanto, 2004). Dasar dari ekologi pemasaran
adalah bahwa dinamika pemasaran selalu berkaitan dengan lingkungan, dan keberadaannya
ditentukan oleh keserasian dengan realitas lingkungan tersebut. Secara teknis, ekologi pemasaran
dikatakan sebagai wahana terjadinya pertukaran dan perubahan aspek-aspek lingkungan yang
mengakibatkan berubahnya strategi pemasaran yang telah dijalankan oleh sebuah perusahaan. Oleh
karena itu, perusahaan harus memiliki pengetahuan yang cermat dari lingkungan tempat
beroperasionalnya (Pawitra, 2004).
Para pakar pemasaran membedakan lingkungan ekologi secara umum menjadi lingkungan
mikro (internal perusahaan), meso (operasional perusahaan), dan makro (eksternal perusahaan: lokal,
nasional, regional, global). Pasar pelanggan, pesaing, dan pemasok suatu negara menjadi bagian dari
bisnis global. Oleh karena itu, lingkungan meso dimasukkan pada lingkungan makro. Dengan adanya
globalisasi dan liberalisasi, maka dunia industri, investasi, individu, dan informasi dapat bergerak
bebas antarruang dan waktu (Ohmae, 1995). Dengan demikian, pemetaan ekologi pemasaran
difokuskan pada lingkungan mikro dan makro yang secara ekstrem mempengaruhi interaksi semua
pihak yang terlibat dalam rencana dan kegiatan pemasaran.

Tabel 1. Transformasi Ekologi Makro dan Mikro (Pawitra, 2004).


Unsur Transformasi
- Makro - Dari - Ke -
1. Orientasi Ekonomi Tertutup Terbuka, disertai sistem devisa
bebas
2. Sistem Ekonomi Terpimpin Terkendali
3. Ciri Ekonomi Pertanian Industri Jasa & Manufaktur
4. Peranan Pemerintah Dominan Dilusi (Swasta lbh dominan)
5. Manajemen Ekonomi Regulasi Deregulasi (Pemerintah – Swasta
bekerjasama)
6. Demografis Nilai, harapan pelanggan Nilai, harapan, perilaku pelanggan
7. Integrasi Ekonomi Nasional Regional & Internasional
8. Teknologi Media Elektronik & Cetak Multimedia
Unsur Transformasi
- Mikro - Dari - Ke -
1. Pendekatan Strategis Tradisional mikro tidak dapat Kontemporer, Eksekutif, bersifat
mempengaruhi makro ’can do’, penyesuaian makro –
mikro dengan pilihan strategi
2. Struktur Bisnis Operasi sendiri Merger-Akuisisi, Aliansi strategis
sebagai tren bisnis
3. Keputusan Bisnis Berdampak pada internal Berdampak bagi Pemerintah dan
perusahaan Masyarakat dari segi etika bisnis
dan tanggungjawab sosial
4. Corak Manufaktur Nasional, ‘value chain’ berada Global, ‘value chain’ berada di
di suatu negara banyak negara
5. Organisasi Perusahaan Hierarkis Datar dan ‘cross-functional’
melalui downsizing dan re-
engineering
6. Perumusan Strategi Market-based Resources-based
7. Kesiapan SDM Ketrampilan fungsional dan Ketrampilan strategis dan soft-skill
teknis

Ekologi Pemasaran pada tatanan makro sedang mengalami pergeseran secara dramatis. Dari
Tabel I di atas, dapat dilihat munculnya pandangan baru yang secara berangsur-angsur menggantikan
tatanan ekologi pemasaran yang lama. Manajemen perusahaan dibutuhkan sebagai upaya untuk
memadukan sumberdaya dan kemampuan dengan peluang yang muncul di lingkungan makro untuk
mencapai tujuan perusahaan. Pendekatan resource-based menjadi dasar yang kuat dari perpaduan
tersebut.
Pergeseran ekologis pemasaran berlangsung pada berbagai segi pemasaran yang
menggambarkan tatanan pemikiran dan praktik pemasaran pada masa kini maupun penyesuaian di
masa depan. Paradigma yang memfokuskan pada ‘pasar-pelanggan-pesaing-koordinasi antar fungsi’
bergeser ke arah ‘pasar-pelanggan-pesaing-koordinasi antar fungsi-dampak lingkungan global’.
Tanggungjawab sosial dan etika berbisnis menjadi patokan kinerja pemasaran perusahaan. Kemudian
timbul konsep green marketing, yaitu upaya pemasaran dan promosi dari produk yang sehat, aman
dan bermanfaat untuk masyarakat dan lingkungan. Falsafah pemasaran saat ini belum dapat
memenuhi harapan semua pihak, terutama yang menyangkut hal yang disebutkan terakhir (Pawitra,
2004).
Paradigma proses pemasaran yang terdiri dari ‘kebutuhan pelanggan-strategi pemuasan
pelanggan-analisis situasi-strategi-keunggulan daya saing berkelanjutan’ bergeser ke arah ‘value
marketing-penciptaan nilai-komunikasi nilai-pemindahan nilai-mempertahankan nilai pelanggan
terus-menerus’. Di dalam paradigma baru ini, penerapan total performance quality management
menjadi penting untuk setiap tahap rantai nilai (value chain) (Naumann, 1995).

2.1. Perkembangan Konsep Pemasaran Berbasis Nilai (Value-based Marketing)


Value-based Marketing (VBM) telah berkembang pesat di Amerika Serikat. Sebagaimana
penelitian yang dilakukan oleh The American Institute for Cancer Research, 2000, VBM telah
membuat rakyat Amerika kelebihan berat badan karena industri makanan di Amerika telah
mendorong keinginan orang-orang untuk mengkonsumsi makanan dengan cara menawarkan porsi
dalam jumlah yang lebih besar dengan harga yang tetap. Dalam perspektif industri tersebut, cara
termurah untuk menawarkan extra value kepada pelanggan adalah dengan meningkatkan porsi dan
bukan dengan memotong harga.
Peter F. Drucker melihat bahwa fungsi bisnis telah bergeser ke penciptaan ’nilai’ dan
kesejahteraan (wealth and value creation). Istilah ’value’ digunakan karena kegunaan dari produk dan
layanan yang melekat padanya meningkat (Barnes, 2002). Bagi perusahaan-perusahaan yang telah
terdaftar di bursa (pasar modal), pergeseran ini mengarah pada penciptaan shareholder value.
Value-based marketing yang dipopulerkan oleh Peter F. Doyle mendefinisikan tujuan utama
pemasaran sebagai pemaksimuman shareholder value, atau lebih teknis dapat dikatakan peningkatan
pengembalian modal. Pendekatan ini mengikuti permintaan pasar modal yang mengevaluasi
efektivitas perusahaan berdasarkan kemampuannya menyajikan shareholder value dalam bentuk
dividen dan kenaikan harga saham (Doyle, 2000).
Dalam praktiknya, dengan berpegangan pada tujuan maksimalisasi shareholder value,
sebagian perusahaan lebih menekankan pendekatan akuntansi melalui kebijakan pengurangan biaya,
PHK karyawan secara massal, down sizing, dan aktivitas sejenis yang dalam jangka pendek memang
meningkatkan laba dan shareholder value. Jika dipandang hanya dari segi keuangan saja, value
delivery yang diklaim sebagai added value seringkali dapat menjerumuskan tujuan awal perusahaan.
Agar dapat memberikan keunggulan kompetitif, sebuah perusahaan tidak cukup hanya
melihat dari perspektif shareholder value semata, terlebih jika harus mengorbankan tujuan bisnis
jangka panjang (long term vision). Yang juga harus diperhatikan adalah membangun perspektif
pelanggan, atau customer value creation. Pendekatan nilai pelanggan merupakan preferensi yang
dirasakan atas atribut produk, kinerja dan konsekuensi yang timbul dari penggunaan fasilitas atau
produk perusahaan untuk memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapannya (Woodruff, 1997).
Woodruff (1997) juga menjelaskan bahwa pada akhir-akhir ini telah berkembang konsep-
konsep Customer Relationship Marketing, Resource-based Marketing, Customer Retention,
Customer Loyalty, yang kesemuanya menggunakan pendekatan nilai-nilai pelanggan (customer
value-based approach). Perbedaannya terletak pada bagaimana memposisikan diri (positioning)
terhadap pelanggan serta meningkatkan value dari sebagian besar pelanggan.
Bagi pihak perusahaan, pelanggan berkontribusi dalam bentuk uang, dorongan dan kompetisi,
umpan balik, serta spesifikasi desain. Hubungan dengan pelanggan tidak dapat dibangun dalam
semalam saja. Untuk mengubah orientasi dari product-based yang lebih bersifat short term kepada
market-based atau customer-based dan menjadi resource-based yang bersifat long term, perusahaan
harus melewati tiga tahapan berikut ini: know your customer, significant value delivery, customer-
centric value creation dan emotional relationship maintenance (Susanto, 2004). Dengan demikian,
diharapkan diperoleh sebuah kondisi dimana kepuasan pelanggan akan meningkat menjadi kesetiaan
pelanggan. Dan pada akhirnya, peningkatan shareholder value dapat dicapai dengan dukungan penuh
pelanggan yang setia.

2.2. Perkembangan Pemasaran Sosial


Pemasaran sosial lahir sebagai sebuah disiplin ilmu baru pada sekitar tahun 1970-an, ketika
Philip Kotler dan Gerald Zaltman menyadari bahwa prinsip-prinsip pemasaran yang sama yang
digunakan untuk menjual produk konsumen, dapat pula digunakan untuk menjual berbagai ide.
Kotler dan Andreasen (2000) mendifinisikan pemasaran sosial sebagai pembeda dari area pemasaran
lainnya yang menekankan pada tujuan organisasi untuk memberikan manfaat kepada komunitas
masyarakat, dan bukan hanya kepada pihak perusahaan saja.
Seperti halnya dengan pemasaran komersial, perhatian utama adalah pada konsumen, suatu
pendekatan pembelajaran tentang apa yang paling dibutuhkan dan diinginkan seseorang, daripada
hanya sekedar usaha persuatif kepada konsumen. Pemasaran sosial mencoba berbicara secara
langsung dengan konsumen dari hati ke hati.

2.3. Empat "P" pada Pemasaran Sosial


Publics—Pemasar sosial memiliki target audiensi yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan
pemasarannya. Terdapat dua macam publik, yaitu publik eksternal dan publik internal yang terlibat
dalam suatu program pemasaran sosial. Publik eksternal meliputi target audiensi, pembuat kebijakan
dan gatekeepers, sementara publik internal melingkupi berbagai pihak yang terlibat di dalam
implementasi program pemasaran sosial.
Partnership—Seringkali, isu-isu sosial dan lingkungan sangatlah kompleks. Dibutuhkan
suatu keterlibatan dengan pihak di luar perusahaan agar hasilnya lebih efektif. Perusahaan harus
mengidentifikasikan organisasi yang paling sesuai dengan tujuan dan visi-misi perusahaan, sehingga
dapat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan.
Policy—Program pemasaran sosial hanya dapat terlaksana dengan sukses dalam memotivasi
perubahan kebiasaan konsumen hanya jika komunitas konsumen berperan aktif dan mendukung.
Seringkali perubahan kebijakan diperlukan untuk menyesuaikan program pemasaran sosial dengan
perkembangan komunitas konsumen dan pasar secara global.
Purse Strings—Hampir semua organisasi yang melaksanakan pemasaran sosial mendapat
dukungan dana dari berbagai yayasan, sumbangan pemerintah lokal, atau donatur tetap. Hal ini
mengharuskan perusahaan atau organisasi untuk memikirkan cara agar program pemasaran sosial
dapat terlaksana dengan dukungan pendanaan yang cukup (Andreasen, 2000).
Terdapat perbedaan yang jelas antara pemasaran sosial dengan pemasaran komersial (Tabel
2), yang mana perbedaan tersebut menyangkut fakta bahwa pemasaran sosial mengharapkan
perolehan keuntungan dalam jangka menengah-panjang, sedangkan pemasaran komersial hanya
berfokus pada keuntungan jangka pendek saja. Pemasaran komersial cenderung berkonsentrasi pada
perolehan keuntungan semaksimal mungkin dengan anggaran yang beberapa kali lipat lebih besar jika
dibandingkan dengan anggaran yang disediakan untuk pemasaran sosial (Andreasen 1995; Bloom and
Novelli 1981).
Tabel 2. Perbedaan Pemasaran Sosial dan Komersial.
Pemasaran Sosial Pemasaran Komersial
Ingin mendapatkan simpati Ingin mendapatkan uang
Didanai oleh sumbangan, pajak Didanai oleh anggaran operasional
Akuntabilitas Eksternal Akuntabilitas Internal
Performa diukur dengan tingkat keuntungan, market
Performa sulit diukur
share
Tujuan jangka panjang Tujuan jangka pendek
Often target controversial behaviors Typically provide noncontroversial products/services
Target akhir seringkali susah dicapai Target akhir dapat direalisasikan
Pengambilan keputusan partisipatif Pengambilan keputusan hirarkis
Hubungan berdasarkan kepercayaan Hubungan kompetisi
Sebuah konsekuensi signifikan dari perbedaan tersebut adalah pemasar sosial harus
berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait dalam memperoleh dukungan untuk pencapaian tujuan
pemasaran sosial tersebut. Pemasaran sosial akan banyak sekali melibatkan sektor eksternal dalam
menjalankan aktivitasnya sehari-hari, seperti hubungan masyarakat, penelitian lapangan, survey
lapangan, dan lain-lain. Di negara berkembang, aktivitas pemasaran sosial seringkali
dilimpahtugaskan kepada pihak di luar manajemen perusahaan, seperti organisasi non-pemerintah.
Terdapat dua alasan mengapa perusahaan melimpahkan pelaksanaan pemasaran sosial kepada
pihak lain, yaitu perusahaan tidak memiliki cukup pengetahuan, pengalaman, SDM dan sumberdaya
waktu untuk melaksanakan kegiatan pemasaran sosial yang bukan termasuk bisnis intinya, sementara
pihak organisasi non-pemerintah (ornop) lebih mengetahui keadaan lapangan yang sesungguhnya
yang didukung oleh SDM yang berkualitas yang dapat bekerja secara penuh-waktu. Pihak Ornop
lebih menguasai cara-cara pengembangan program pemasaran sosial yang disesuaikan dengan kondisi
sesungguhnya di lapangan.
Lebih lanjut, perusahaan-perusahaan besar mulai menyadari bahwa anggaran operasional
yang sebelumnya digunakan untuk kegiatan advertensi konvensional, secara perlahan dialihkan ke
dalam bentuk program kampanye sosial, yang mana akan memberikan dampak signifikan sama
besarnya. Beberapa manfaat yang diperoleh perusahaan antara lain:
a. Meningkatkan citra perusahaan,
b. Melibatkan partisipasi seluruh jajaran karyawan
c. Meningkatkan kualitas hubungan dengan konsumen/pelanggan
d. Meningkatkan efisiensi pemberian program dan pencapaian tujuan pemasaran sosial.

BAB III. Pemahaman Konsep CSR (Corporate Social Responsibility)


Pada tahun 1946, Peter F. Drucker, lewat bukunya yang berjudul The Concept of Corporation
mencoba menjelaskan tentang peran dan fungsi manajemen: “Management has become a major
leadership group in industrial society and as such have great responsibility to their own profession,
to the enterprise and to the people they manage, and to their economy and society”.
Pada tahun 1962, seorang ibu rumah tangga, Rachel Carson, menulis sebuah buku berjudul
Silent Spring, yang menceritakan betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan.
Buku ini mampu menarik perhatian dunia, seakan menyadarkan bahwa perilaku bisnis korporasi atau
perusahaan harus sesuai dengan etika dan moral sosial sebelum menuju kepada kehancuran global.
Dan pada era 1970-an, seorang professor University of Columbia, Courtney C. Brown,
menulis sebuah buku terkenal, yaitu Beyond the bottom line, yang menekankan perlunya tanggung
jawab sosial dan lingkungan dari perusahaan, selain mencari keuntungan yang maksimal.
Club of Rome, sebuah organisasi yang terdiri dari para cendekiawan sedunia, pada tahun 1972
menghasilkan sebuah pemikiran, The Limits to Growth, yang ingin mengingatkan bahwa pada satu
sisi, bumi memiliki keterbatasan daya dukung (limited carrying capacity), sementara di sisi lainnya,
populasi manusia dan pergerakan industri bertumbuh secara eksponensial. Pengendalian eksploitasi
alam harus segera dilakukan agar proses pembangunan dapat berkelanjutan di masa depan.
Pada tahun 1994, melalui riset yang telah dilakukan, James Collins dan Jerry Porras
meluncurkan sebuah buku Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies, yang
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup adalah yang bukan semata-mata
mengusahakan keuntungan maksimal.
Sebuah terobosan besar dalam konteks CSR dikeluarkan oleh John Elkington pada tahun
1997, dalam bukunya Cannibals with Forks, the Tripple Bottom Line of Twentieth Century Business.
Elkington mengembangkan konsep triple bottom line menjadi istilah economic prosperity,
environmental quality management dan social justice. Elkington menawarkan sebuah solusi
Sustainable Capitalism untuk merujuk bahwa pada akhirnya kapitalisme yang ingin berkelanjutan
haruslah tidak semata-mata meningkatkan shareholder value tetapi harus memperhatikan 3 P. Selain
Profit, perusahaan juga harus terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (People), dan
berpartisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (Planet).
Sosial

Lingkungan Ekonomi

Gambar 1. Tripple Bottom Line. Konsep utama CSR.


Sebuah organisasi bisnis dunia, World Business Council for Sustainable Development, yang
berpusat di Kanada mengartikan CSR sebagai sebuah komitmen yang berkelanjutan untuk
menjunjung tinggi etika bisnis sekaligus memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan
pertumbuhan ekonomi makro dan mikro, sedemikian hingga dapat meningkatkan kualitas hidup para
pekerja beserta seluruh keluarga dan anggota komunitasnya baik dalam skala lokal maupun yang
lebih besar.
Sedangkan menurut Bank Dunia, CSR memiliki arti sebagai komitmen secara penuh dari para
pelaku bisnis untuk memberikan kontribusi terhadap semua kegiatan pengembangan ekonomi yang
berkelanjutan, yang bekerjasama dengan seluruh jajaran stakeholdernya, yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan mereka, baik dalam segi materi maupun immateri.
Pandangan lain tentang CSR yang lebih komprehensif dikeluarkan oleh Prince of Wales –
International Business Forum melalui konsep lima pilarnya. Pertama, building human capital, yaitu
perusahaan dituntut melakukan pemberdayaan, biasanya melalui community development, menuju
peningkatan kesejahteraan dan kemandirian. Kedua, strengthening economies, yaitu memberdayakan
ekonomi komunitas. Ketiga, assessing social cohession, yaitu perusahaan harus menjaga hubungan
yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya agar tidak muncul konflik. Keempat, encouraging
good governance, maksudnya perusahaan harus dijalankan dalam tata kelola yang baik. Dan kelima,
protecting the environment, maksudnya perusahaan harus selalu menjaga kelestarian dan kualitas
lingkungan.
Berangkat dari pemahaman di atas, maka CSR tidak hanya dilaksanakan untuk eksternal
perusahaan, tetapi juga berguna untuk meningkatkan kompetensi internal perusahaan. Idealnya,
sebelum mempraktekkan CSR, manajemen internal perusahaan telah dikelola dengan baik atau good
corporate governance yang mencakup tiga segi, yaitu Transparancy, Accountability, dan
Responsibility. Diharapkan, dengan terwujudnya GCG akan membawa pengembangan bisnis
perusahaan ke arah yang berkesinambungan sehingga akan mempermudah aplikasi CSR di lapangan.

3.1. Perkembangan Program CSR di Asia


Sejak masalah tenaga kerja yang menimpa Nike pada tahun 1990 di kawasan Asia, isu
tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau multinational corporate social responsibility (CSR)
dan dampaknya terhadap citra merek menjadi topik yang permanen di setiap ruang rapat direksi
perusahaan-perusahaan multinasional. Ekspektasi atau harapan dari konsumen terhadap perusahaan
mulai berevolusi, dari yang semula berposisi sebagai ‘penerima’ kemudian berubah menjadi
‘penuntut’.

3.2. Pelaksanaan Program CSR di Malaysia dan Singapura


Tanggung jawab Sosial Perusahaan (CSR) telah berkembang sedemikian pesatnya di negara-
negara maju, dan sebaliknya memiliki sejarah panjang dan berliku di negara-negara berkembang.
Beberapa tren pertumbuhan jumlah perusahaan pelaksana program CSR mulai diteliti dari beberapa
tahun yang lalu (Andrew et, al. 1989). Penelitian yang dilakukan oleh Ting (2004) yang berjudul “A
Comparative Analysis of Corporate Social Responsibility Awareness: Malaysian and Singaporean
Firms” bermaksud untuk mengukur tingkat awareness pelaksanaan CSR pada perusahaan-perusahaan
di Malaysia dan Singapura, dan mencoba membandingkan CSR awareness antara dua negara serta
menginvestigasi apakah awareness tersebut berbeda secara signifikan dalam perusahaan dengan
ukuran dan sektor yang berbeda.
Antara Malaysia dan Singapore memiliki kesamaan sejarah. Tetapi perkembangan ekonomi
masing-masing negara memiliki riwayat yang berlainan sama sekali. Setelah merdeka dari Inggris,
Singapura mengembangkan bisnis manufaktur dan jasa sebagai senjata utama mendongkrak
pertumbuhan ekonominya. Terbukti bahwa kini Singapura menjadi negara terkaya di Asia Tenggara,
jauh mengungguli Malaysia yang memiliki basis agribisnis yang luas. Berdasar perbedaan ekonomi
ini membuat perbedaan tingkat awareness dalam pelaksanaan corporate social responsibility.
Beberapa tahun belakangan ini mulai terjadi perubahan pada persyaratan pendaftaran
perusahaan pada pasar modal Malaysia, yang mengharuskan dilaporkannya kegiatan CSR sebagai
syarat penilaian kelayakan keuangan perusahaan. The Malaysian Accounting Standards Board juga
mengeluarkan standar baku yang memandu pelaporan CSR sebagai pernyataan nilai tambah dari
sebuah perusahaan. Faktor agama memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari di
Malaysia, yang membawa implikasi positif terhadap nilai-nilai dasar yang berkaitan dengan
kesadaran akan rasa tanggung jawab terhadap komunitas sekitar dan lingkungan tempat tinggalnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Ting (2004) menjelaskan bahwa meningkatnya frekuensi
pernyataan program CSR menandakan meningkatnya kepedulian akan keberlangsungan program
CSR. Hal ini diperkuat dengan pendekatan penilaian persepsi karyawan tentang program CSR pada
perusahaannya. Isu pokok penelitian ini adalah kualitas karyawan merupakan gambaran dari kualitas
perusahaan (Gray et al. 1995b; Hardjono and Marrewijk 2001). Pelaksanaan survey terhadap
karyawan yang terdaftar sebagai mahasiswa MBA - Nottingham University Business School di
Malaysia dan Singapura adalah melalui pengiriman kuesioner untuk mengukur tingkat CSR
awareness.
Asumsi yang dipakai adalah para responden mampu mengindikasikan persepsi pribadinya
tentang kepedulian sosial yang dimiliki perusahaannya. Para responden diwawancarai satu-persatu
untuk memperoleh informasi tentang pelaksanaan program CSR dalam perusahaannya selama
beberapa tahun. Beberapa pertanyaan tersebut seperti model pengelolaan CSR dalam perusahaan,
istilah yang dipakai dalam perusahaan jika berbeda dengan konsep 'corporate social responsibility',
keterlibatan berbagai pihak terhadap program CSR perusahaan, jenis aktivitas CSR dan partisipasi
responden.
Ditetapkan jumlah total sampel sebanyak 303 perusahaan, di mana sejumlah 122 perusahaan
terdaftar di negara Malaysia dan 188 perusahaan lainnya terdaftar di negara Singapura. Total
perolehan respon sebanyak 102 (33,7%) buah perusahaan, dengan komposisi 38 perusahaan dari
Malaysia dan sisanya sebesar 64 perusahaan dari Singapura.
Ting (2004) melakukan pengujian terhadap dampak interaksi dari ukuran dan sektor industri
yang menggunakan CSR sebagai salah satu strategi operasional perusahaan. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa ternyata dampak interaksi CSR di Malaysia kurang signifikan. Tidak terjadi
perbedaan pengaruh dari ketiga sektor industri yang diteliti yang mengaplikasikan program CSR.
Lebih lanjut, bertolak belakang dengan penelitian di Malaysia, ternyata penelitian yang dilakukan di
Singapura memberikan hasil yang berbeda, yaitu pengaruh program CSR yang signifikan terhadap
operasional perusahaan, dengan nilai statistik R2 sebesar 27,2%. Dari statistik deskriptif menunjukkan
bahwa dalam perusahaan besar, dengan jumlah karyawan lebih dari 1000 orang, program CSR telah
diaplikasikan secara nyata, dan khususnya pada sektor industri publik memberikan nilai mean sebesar
3,83; sektor industri manufaktur sebesar 3,6; sektor industri jasa sebesar 2,89.
Di dalam penelitian Ting (2004) terdapat fenomena yang menarik untuk dicatat bahwa tingkat
keterlibatan responden dalam program CSR berbeda secara signifikan di antara berbagai tingkat
manajemen yang berbeda-beda dalam perusahaan-perusahaan besar di Malaysia. Sebesar 33%
responden yang berasal dari manajemen tingkat bawah dan 80% responden dari top manajemen
menyatakan terlibat aktif dalam program CSR, tetapi sebaliknya tidak ada pernyataan partisipasi
(0%) pada tingkat manajemen menengah. Hal ini disebabkan karena sebuah pandangan umum bahwa
para staf manajemen tingkat menengah mempunyai porsi keterlibatan jauh lebih besar dalam hal
strategi keuangan perusahaan daripada program CSR yang kurang bermanfaat. Sementara di
Singapura, tidak terjadi perbedaan tingkat keterlibatan antara staf di berbagai tingkat manajemen,
baik dari bawah hingga top manajemen.
Temuan utama pada penelitian Ting (2004) adalah bahwa perusahaan-perusahaan
multinasional besar cenderung memiliki perhatian dan kepedulian akan kesuksesan dan keberlanjutan
program CSR. Hal ini disebabkan karena tidak adanya regulasi yang mengatur implementasi program
CSR sebagai kewajiban di Malaysia dan Singapura. Tingkat kesadaran CSR yang rendah di Malaysia
setidaknya berpeluang ditingkatkan, karena tingkat kesadaran CSR di kalangan top manajemen
cenderung bertambah dalam beberapa tahun ini (Abdul Rashid and Ibrahim 2002).
Merujuk pada fakta bahwa kesadaran program CSR di Singapura berjalan lambat (Roche
2000), hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional Singapura tidak lebih
baik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan Malaysia dalam mengaplikasikan program CSR.
Hal ini dapat dipahami berdasarkan struktur bisnis di Singapura yang mengkondisikan bahwa
Singapura sangat berharap pada keuntungan yang diterima dari berbagai perusahaan multinasional
yang terdaftar di Singapura, sehingga hal tersebut membuat Singapura sangat bergantung kepada
kehadiran dan ‘kebaikan hati’ perusahaan-perusahaan multinasional.
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian Ting (2004) adalah pelaksanaan
program CSR membutuhkan kehadiran dan peranserta manajer yang menguasai dan memiliki
pengetahuan luas akan CSR, dan menyadari serta dapat mengestimasi manfaat yang akan diterima
jika pelaksanaan program CSR dapat berjalan sukses, baik bagi jajaran manajemen, pemegang saham
dan para stakeholder (Epstein dan Roy 2001). Lebih lanjut, harus adanya mekanisme peraturan dan
perundang-undangan dari pihak pemerintah pusat dan lokal yang mewajibkan pelaksanaan program
CSR dimasukkan dalam kebijakan strategis setiap perusahaan (Sarre dkk. 2001).

3.3. Pelaksanaan Program CSR di Indonesia


Di lingkungan kementerian BUMN, Bapak Soegiharto pada tahun 2006 lalu pernah
menjelaskan bahwa pelaksanaan CSR telah menjadi suatu kebutuhan dan keharusan bagi perusahaan
besar, baik nasional maupun multinasional. Teknisnya, setiap periode tertentu, perusahaan-perusahaan
besar tersebut menyisihkan 1 – 3 persen dari keuntungannya, yaitu sekitar 2,7 triliun rupiah, untuk
kegiatan kemitraan masyarakat dan bina lingkungan.
Tetapi, di setiap kehendak, selalu ada hambatan yang menyertainya. Beberapa masalah yang
sering dihadapi hingga saat ini adalah kurang lancarnya penyaluran dana PKBL (Program Kemitraan
dan Bina Lingkungan) kepada yang membutuhkan, rendahnya kemampuan pengelolaan pinjaman,
dan SDM berkualitas yang tersedia di lapangan masih terbatas.
Solusi atas berbagai permasalahan tersebut di atas antara lain adalah membuat aliansi sesama
perusahaan multinasional atau BUMN untuk membuka lapangan kerja baru dan/atau membantu
pemasaran dan menampung hasil bisnis para pelaku UKM (Usaha Kecil Menengah)., mengadakan
penyuluhan dan pembinaan berkesinambungan kepada para pelaku UKM. Contohnya,
mengidentifikasi potensi unggulan masing-masing daerah dan membuat pemetaan potensi
keunggulan daerah. Diharapkan muncul satu produk unggulan untuk satu kabupaten. Yang harus
diperhatikan juga adalah kualitas produk yang dihasilkan agar dapat bersaing dengan negara-negara
lain, terutama China yang sangat gencar mengintroduksi produk-produk murahnya.
Survey yang dilakukan untuk periode tahun 2005 menerangkan bahwa beberapa perusahaan
di Indonesia yang sudah mulai menjalankan program CSR antara lain adalah PT Freeport McMoran
Indonesia, British Petroleoum (BP) , General Electric (GE), Citibank, PT HM Sampoerna Tbk, PT
ISM Bogasari Flour Mills, PT Semen Gresik Tbk, PT Telkom Tbk, PT Unilever Tbk, PT Astra
Internasional Tbk, dan PT Kaltim Prima Coal Tbk (KPC). Sedangkan yang belum mengikuti survey
adalah PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Asuransi Allianz Life Indonesia, PT Indosat Tbk, PT
International Nickel Indonesia Tbk, PT Procter & Gamble Home Products Indonesia, PT Sari Husada
Tbk, dan PT United Tractors Tbk.
Pendidikan pun bisa menjadi bagian dalam program CSR. Dengan dimulainya program CSR
Survey yang diadakan pada akhir tahun 2005 oleh sebuah konsorsium yang melibatkan kalangan
perguruan tinggi, departemen RI, dan sebuah lembaga swasta ini menunjukkan bahwa dunia
perusahaan dan pendidikan telah berkolaborasi dan bekerjasama dalam mengembangkan nilai-nilai
bisnis yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat.

BAB IV. Pengembangan Citra Perusahaan dengan Program CSR


Lain halnya jika perusahaan telah membangun citra yang baik selama beberapa, dan bahkan,
puluhan tahun. Citra perusahaan yang baik akan tumbuh menjadi kepribadian perusahaan yang kuat,
sehingga tidak dengan mudah ditiru oleh perusahaan pesaing. Citra perusahaan yang baik dapat
menjadi tembok penghalang bagi perusahaan pesaing yang ingin memasuki segmen pasar dan
merebut pangsa pasar yang dilayani perusahaan tersebut.
Sutojo (2004, hal. 3) mengemukakan bahwa terbentuknya citra positif sebagai akibat
pelaksanaan program CSR oleh suatu perusahaan akan membawa dampak pada keberhasilan kegiatan
bisnis dan pemasaran perusahaan. Dalam jangka panjang, pencitraan positif ini akan membawa
banyak sekali manfaat bagi perusahaan pelaku CSR, baik pada saat perusahaan sedang mengalami
masa kejayaan maupun pada saat menghadapi berbagai macam krisis. Beberapa manfaat yang dapat
diperoleh perusahaan yang memiliki citra yang baik antara lain:
a. Menjadi perisai di saat keadaan krisis,
b. Meningkatkan daya saing untuk jangka menengah dan jangka panjang,
c. Penghematan biaya operasional, dan
d. Meningkatkan efektifitas strategi pemasaran.
Marconi dalam Sutojo (2004, hal. 4) mengutarakan bahwa terdapat hubungan erat antara citra
perusahaan dengan kelancaran penjualan produk, yaitu hubungan antara persepsi konsumen terhadap
citra perusahaan penghasil produk dengan kesediaan konsumen membeli atau mengkonsumsi produk
yang dihasilkan. Apabila dikelola secara efektif, citra yang baik dapat melindungi perusahaan dari
serangan perusahaan pesaing yang memasarkan barang yang identik.
Lebih lanjut, Marconi dalam Sutojo (2004, hal. 7) juga menjelaskan bahwa dalam banyak
kasus, citra yang baik dapat membantu perusahaan dalam memasarkan produknya secara efektif.
Meskipun harga produk perusahaan yang telah lama konsumen kenal sedikit lebih mahal dari produk
serupa hasil perusahaan lainnya, ternyata kebanyakan konsumen lebih suka memilih produk
perusahaan yang bercitra baik dan sudah lama mereka kenal. Harapan perusahaan dengan citra baik
untuk berhasil menerjunkan produk baru ke pasar lebih besar daripada perusahaan lain yang belum
dikenal masyarakat, apalagi yang memiliki citra yang kurang baik.
Saat ini, masyarakat konsumen hidup dalam kondisi yang dipenuhi beragam kemudahan,
keterbukaan informasi, serta didukung modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Keadaan seperti
ini mendorong terbentuknya pola pikir, gaya hidup, dan tuntutan kebutuhan-keinginan yang lebih
tajam. Sejalan dengan hal tersebut, kemudian tumbuh suatu gerakan konsumen yang dikenal sebagai
vigilante consumerism yang berkembang menjadi ethical consumerism (Susanto, 2004). Konsumen
golongan ini tidak hanya peduli pada faktor pemenuhan kebutuhan pribadi sesaat saja, tetapi juga
pada penciptaan kesejahteraan jangka panjang.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Roper Search Worldwide menyebutkan bahwa kurang
dari 75 % responden lebih suka memilih produk yang dihasilkan atau dipasarkan oleh perusahaan
yang memiliki kontribusi nyata terhadap pengembangan kehidupan komunitas mereka. Dan kurang
dari 66 % responden juga menyatakan bahwa mereka rela pindah ke merek atau produk perusahaan
lain yang memiliki citra sosial yang baik (Susanto, 2004).
Susanto (2004) menjelaskan, yang dimaksud dengan tanggungjawab sosial tidak hanya
dibatasi oleh dukungan atau sumbangan finansial saja. Keterlibatan perusahaan dalam
mengembangkan masyarakat sekitar mencakup pula pemanfaatan sumberdaya yang lain, seperti
waktu, teknologi, informasi, SDM dan kekuatan untuk mempengaruhi.
Secara umum community development dapat didefinisikan sebagai kegiatan pengembangan
masyarakat yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-
ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelum adanya kegiatan
pembangunan. Sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan menjadi lebih mandiri dengan
kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Program Community Development memiliki tiga karakter utama yaitu berbasis masyarakat
(community based), berbasis sumber daya setempat (local resource based) dan berkelanjutan
(sustainable). Dua sasaran yang ingin dicapai yaitu: sasaran kapasitas masyarakat dan sasaran
kesejahteraan. Sasaran pertama yaitu kapasitas masyarakat dapat dicapai melalui upaya
pemberdayaan (empowerment) agar anggota masyarakat dapat ikut dalam proses produksi atau
institusi penunjang dalam proses produksi, kesetaraan (equity) dengan tidak membedakan status dan
keahlian, keamanan (security), keberlanjutan (sustainability) dan kerjasama (cooperation),
kesemuanya berjalan secara simultan.
Berbicara tentang masalah community development ini, berbagai industri dan dunia usaha di
Indonesia dan juga di seluruh dunia tampaknya telah memiliki arah yang sama untuk
mengembangkan hubungan yang lebih harmonis dengan komunitas lokal. Hal ini sebenarnya
merupakan komitmen bersama banyak pihak sebagai implementasi paradigma pembangunan
berkelanjutan.
Dalam paradigma pembangunan berkelanjutan dimana diartikan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi
kebutuhannya, mempunyai 3 pilar utama (pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan &
keberlanjutan) yang bersumber dari dua gagasan penting yaitu :
1)gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia, yang harus diberi prioritas
utama.
2)gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial masyarakat
terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan hari depan.
Jadi dalam paradigma ini tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus diupayakan dengan
keberlanjutannya yang artinya tidak harus memenuhi kebutuhan saat ini tanpa memperdulikan
kebutuhan masa yang akan datang, akan tetapi mengusahakan agar keberlanjutan pemenuhan
kebutuhan tersebut pada masa selanjutnya pada generasi kemudian.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, industri tidak lagi dituntut untuk hanya mewujudkan
citranya melalui kampanye yang baik namun juga harus mampu menunjukkan akuntabilitasnya
kepada kepentingan publik. Pengusahaan yang dapat bertanggungjawab akan memperhatikan
corporate social responsibility semaksimal mungkin, yang didukung oleh good corporate
governance. Disinilah menjadi penting untuk kemudian membicarakan program community
development sebagai wujud social responsibility perusahaan.
Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa perusahaan melakukan kegiatan community
development, antara lain adalah:
a.Izin lokal untuk beroperasinya perusahaan dalam mengembangkan hubungan dengan masyarakat
lokal.
b.Mengetahui sosial budaya masyarakat lokal.
c.Mengatur dan menciptakan strategi ke depan melalui program community development. Reputasi
hubungan baik antara perusahaan dengan masyarakat lokal dan community development dapat
menciptakan kesempatan usaha yang baru.
Untuk dapat menjalankan program sosial dengan sukses, dibutuhkan keterlibatan dan
kepemimpinan dari manajemen tingkat atas dan penyesuaian sistem manajemen yang digunakan. Dan
untuk menghindari kesimpangsiuran tujuan aktivitas sosial, perusahaan harus mendistribusikan
informasi mengenai komitmen sosial ini melalui berbagai sarana kehumasan dan secara efektif
mengkomunikasikannya kepada masyarakat konsumen.
Selain dapat membawa keuntungan positif dan daya saing meningkat, realisasi
tanggungjawab sosial perusahaan juga dapat berpotensi sebagai penghancur citra jika tidak dikelola
dengan benar. Beberapa kesalahan yang sering terjadi dan harus dihindari adalah kecenderungan
untuk menentukan kebijakan sosial tanpa disertai prioritas dan pedoman yang jelas dan detail,
memberikan janji yang terlalu berlebihan, atau partisipasi pada kegiatan sosial yang terlalu beragam.
Harus disadari dan dimengerti bahwa nilai dan manfaat yang sebenarnya ditentukan oleh kualitas
kontribusi yang diberikan.

Daftar Pustaka
Abdul Rashid, M.Z., dan S. Ibrahim (2002) 'Executive and Management Attitudes towards Corporate Social
Responsibility in Malaysia', Corporate Governance: The International Journal of Effective Board
Performance 2.4: 10-16.
Andreasen, Alan R. (2000). Ethics in Social Marketing. Georgetown University Press. Washington, DC
Andreasen, Alan R. (1995), Marketing Social Change: Changing Behavior to Promote Health, Social
Development and the Environment. Jossey-Bass.
Andrew, B.H., F.A. Gul, J.E. Guthrie dan H.Y. Teoh (1989) 'A Note on Corporate Social Disclosure Practices
in Developing Countries: The Case of Malaysia and Singapore', British Accounting Review 21: 371-
76.
American Institute for Cancer Research, The (2000). Value Marketing is Making America Fat.
http://www.aicr.org
Barnes, Jim (2002). Build Value for Customers to Create Lasting Relationships. Customer Relationship
Management Primer.
Bloom, Paul N., Pattie Yu Hussein, dan Lisa R. Szykman (1995), Benefiting Society and the Bottom Line:
Businesses emerge from the shadows to promote social causes. Marketing Management, 4 (Winter), 8-
18.
Bloom, Paul N. dan William D. Novelli (1981), Problems and Challenges in Social Marketing. Journal of
Marketing, 45 (Spring) 79-88.
Burke, L., dan J. Logsdon (1996) 'How Corporate Social Responsibility Pays Off', Long Range Planning 29:
495-502.
Coldwell, D.A.L. (2001) 'Perceptions of Corporate Social Responsibility: Theoretical Issues and Empirical
Findings', South Africa Journal of Business Management 32.1: 49-55.
Deegan, C., and M. Rankin (1999) The Environmental Reporting Expectations Gap: Australian Evidence',
British Accounting Review 31: 313-46.
De Villiers, C. (1999) 'Corporate Social Reporting in South Africa: Signs of a Pygmy Awakening?', Social and
Environment Accounting (Centre for Social and Environmental Research) 19.2: 5-7.
Doyle, Peter (2000). Value-based Marketing: Marketing Strategies for Corporate Growth and Shareholder
Value. Chichester. John Wiley & Sons.
Elkington, John (1997). Cannibals with Forks, the Tripple Bottom Line of Twentieth Century Business. Harvard
Business Review. Boston.
Foo, S.L., and M.S. Tan (1988) 'A Comparative Study of Social Responsibility Reporting in Malaysia and
Singapore', Singapore Accountant, August 1988: 12-15.
Friedman, Milton (1970), The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits. The New York Times
Magazine, Sept. 13.
GRI (Global Reporting Initiative) (2002) A Historic Collaborative Achievement: Inauguration of the Global
Reporting Initiative (New York: United Nations).
Hamel, Gary and C. K. Prahalad (1994). Competing for the Future. School Press. Mass: Harvard Business
School. Boston.
Hardjono, T.W., dan M.V. Marrewijk (2001) 'The Social Dimensions of Business Excellence', International
Journal of Corporate Sustainability: Corporate Environmental Strategy 8.3: 223-33.
Macleod, S (2001) 'Why Worry About CSR?', Strategic Communication Management, August/September 2001:
8-9.
Mohammad Jamil, C.Z., K. Alwi dan R. Mohamed (2001) Corporate Social Responsibility Disclosure in the
Annual Reports of Malaysian Companies: A Longitudinal Study (WP-io/2ooi; Kedah, Malaysia:
Universiti Utara Malaysia).
Naumann, Earl (1995). Creating the Path to Sustainable Customer Competitive Advantage Value. Thomson
Executive Press. Ohio.
Nightingale, Deborah (2002). Value and Enterprise Stakeholders. Massachusetts Institute of Technology.
O'Donovan, G. (2002) 'Environmental Disclosures in the Annual Report: Extending the Applicability and
Predictive Power of Legitimacy Theory', Accounting, Auditing and Accountability Journal 15.3: 34471.
Ohmae, Kenichi (1995). The End of the Nation State. Harper Collins Publishers. London.
Pawitra, Tedy (1995). Pemasaran sebagai Wahana Pembangunan dalam Era Globalisasi Ekonomi: Evaluasi
dan Orientasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Ekonomi. Universitas
Tarumanegara. Jakarta.
Pawitra, Tedy (2004). Peta dan Paradigma Baru Pemasaran Abad ke-21. Value-based Marketing. Quantum
Bisnis & Manajemen. PT Mizan Publika. Cetakan I. Jakarta.
Rangan, V. Kasturi, Sohel Karim, dan Sheryl K. Sandberg, Doing Better at Doing Good. Harvard Business
Review, May-June 1990, 42-54.
Reichheld, Frederick F. dan W. Earl Sasser Jr. (1990). Value Marketing for Wealth Creation. Harvard Business
Review. Boston.
Sarre, R., M. Doig dan B. Fiedler (2001) 'Reducing the Risk of Corporate Irresponsibility: The Trend to
Corporate Social Responsibility', Accounting Forum 25.3: 300-17.
Schiffman dan Kanuk (2000). Consumer Behavior. 7th Ed. New Jersey: Prentice Hall.
Sumarwan, Ujang (2002). Perilaku Konsumen. Edisi Kedua. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Susanto, A. B. (2004). Value Marketing-Paradigma Baru Pemasaran. Quantum Bisnis & Manajemen. PT
Mizan Publika. Cetakan I. Jakarta.
Teoh, H.Y, and G. Thong (1984) Another Look at Corporate Social Responsibility and Reporting: An Empirical
Study in a Developing Country. Accounting, Organisations and Society 9.2: 189-206.
Ting, Hung Woan. (2004). A Comparative Analysis of Corporate Social Responsibility Awareness: Malaysian
and Singaporean Firms. The Journal of Corporate Citizenship. WBCSD.
Varadarajan, P. Rajan dan Margaret H. Cunningham (1995), Strategic Alliances: A Synthesis of Conceptual
Foundations. Journal of the Academy of Marketing Science, 23 (Fall), 282-296.
Woodruff, R. B. (1997). Customer Value: The Next Source for Competitive Advantage. Journal of the Academy
of Marketing Science, 25 (2). P.139-153.

Anda mungkin juga menyukai