Anda di halaman 1dari 40

PERBANDINGAN GANGGUAN SENSORIK DAN MOTORIK VESIKA URINARIA ANTARA PRIMIPARA PASCASALIN SPONTAN DAN BUATAN

Oleh: Demetrius Gomer Tindi

Pembimbing:
Dr. Rudy. Lengkong. SpOG-K Prof. dr. H.Lumentut-Tendean, SpOG-K

TESIS
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Spesialis Obstetri dan Ginekologi Program Pendidikan Dokter Spesialis-1

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI/RS PROF.R.D.KANDOU MANADO 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses persalinan menyebabkan traktus urinarius terganggu dengan adanya peregangan otot dasar panggul, penekanan kandung kemih, dan kerusakan sistem saraf. Keadaan ini diperberat oleh faktor risiko lain yaitu paritas, persalinan per vaginam (baik spontan ataupun dengan bantuan alat), pemanjangan kala dua, tindakan episiotomi.1,2 Pada primipara waktu yang dibutuhkan untuk melewati fase laten sampai mencapai kala dua adalah sekitar sembilan jam, sedangkan pada kala dua dibutuhkan waktu sekitar 50 menit. 2 Trauma pada persalinan seperti kala dua yang memanjang, ukuran kepala bayi, dan berat lahir bayi diduga

menyebabkan gangguan di kandung kemih sehingga menyebabkan menurunnya sensasi berkemih dan paralisis motorik otot detrusor. Keadaan ini ditambah dengan rasa nyeri dan tidak nyaman yang ditimbulkan oleh luka episiotomi atau laserasi pada perineum mungkin akan menyebabkan terganggunya efisiensi berkemih.2,3 Baik vakum ataupun forseps digunakan bila ada indikasi ibu atau bayi, salah satunya adalah bila kala dua memanjang yaitu lebih dari dua jam (profilaksis). Namun kerusakan di struktur dasar panggul baik otot ataupun saraf lebih banyak terjadi, sehingga gangguan berkemih pascasalin lebih banyak terjadi.4 Sekitar 10-15% ibu bersalin mengalami gangguan berkemih dalam berbagai bentuk.4 Bentuk umum dari gangguan ini adalah: inkontinensia urin (motorik), retensio urin (motorik), dan hipotonia kandung kemih (sensorik). Gangguan ini dapat diakibatkan oleh kombinasi kerusakan struktur pelvis dan kerusakan saraf yang timbul pada saat proses persalinan terutama persalinan per vaginam. 5 Bila kelainan ini tidak dapat terdeteksi pada masa nifas,

dapat menyebabkan distensi berlebih pada kandung kemih, infeksi berulang, kerusakan pada traktus urinarius bagian atas, dan gangguan berkemih yang permanen. 2,6 Sebanyak 5% kasus gangguan berkemih mempunyai sekuele yang bersifat memanjang.1 Ramsay dkk meneliti 184 pasien yang diperiksa menggunakan uroflowmetry dan ultrasonografi pascaberkemih dan didapatkan 79 pasien (43%) mengalami gangguan berkemih pascasalin dan 70 orang di antaranya mengalami retensio urin.7 Penelitian Rortveit dkk melaporkan insidensi inkontinensia urin pascasalin mencapai 34.3%.8 Penelitian

Chiarelli dkk, mempertegas bahwa persalinan per vaginam menyebabkan terjadinya inkontinensia urin, terutama pada seorang primipara. 9 Penelitian yang dilakukan oleh Groutz dkk terhadap 277 pasien yang diperiksa menggunakan uroflowmetry noninvasif

menghasilkan 45% kasus mengalami gangguan berkemih berupa retensio urin, sebanyak 38% terjadi pada tindakan vakum ekstraksi, 27% pada persalinan spontan, 15% pada tindakan seksio sesarea, dan 13% pada ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan >3.800 g.10 Beberapa metode pemeriksaan fungsi berkemih pascasalin yang telah dikembangkan saat ini telah diusulkan dalam beberapa penelitian sebelumnya, namun yang menjadi baku emas pemeriksaan adalah tes urodinamik. Cara ini memerlukan alat khusus, operator khusus, dan relatif mahal sehingga tidak semua rumah sakit mempunyai alat ini. Namun metode ini mampu menilai sensorik dan motorik fungsi saluran kemih bawah.11 Cara pemeriksaan lain yang mendekati hasil pemeriksaan dengan urodinamik adalah dengan mengukur sensorik dan motorik kandung kemih dengan sistometri sederhana. yaitu suatu metode urodinamik untuk menilai aktifitas kandung kemih, evaluasi sensorik, kapasitas, kontraksi detrusor, dan compliance kandung kemih. Metode sistometri sederhana mempunyai sensitivitas 60-84% untuk menilai sensorik dan motorik kandung kemih, dan bahkan mempunyai positive predictive value (PPV) sekitar 82% untuk pemeriksaan stres inkontinensia. Kelebihan

metode ini adalah karena murah, mudah dan efektif.1 Pengerjaannyapun tidak memerlukan

staf khusus karena dapat dilakukan sendiri. Kekurangan metode ini adalah karena tidak dapat mengukur tekanan intra abdomen dan kontraksi vesika urinaria yang tekanannya < 15 cm H2O. Hee dkk meneliti mengenai fungsi berkemih pada 51 primipara pascasalin per vaginam pada hari ketiga dan kelima dengan menggunakan metode ini, dikatakan bahwa metode ini mampu mendeteksi adanya gangguan berkemih berupa gangguan motorik (hipotonia kandung kemih), dan sensorik (retensio urin).5 Di Indonesia sendiri, angka kelahiran menurut survey kesejahteraan rumah tangga (SKRT) tahun 2005 masih tinggi yaitu sebanyak 226/100.000 penduduk, namun sayangnya prevalensi gangguan berkemih pascasalin belum diketahui. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan tema sentral pada penelitian ini adalah: Proses persalinan menyebabkan traktus urinarius terganggu dengan adanya peregangan otot dasar panggul, penekanan kandung kemih, dan kerusakan sistem saraf. Saat persalinan, baik serviks maupun vagina harus berdilatasi sampai sekitar 10 cm. Saat regangan inilah terjadi kerusakan. Struktur yang mengalami kerusakan meliputi otot dasar panggul,

perineal body, saraf pudenda dan sfingter ani eksterna. 1 Pada kala dua persalinan saat kepala bayi masuk di rongga panggul akan menyebabkan organ di sekitarnya tertekan. Makin lama tekanan ini terjadi, makin besar kemungkinan kerusakan yang terjadi. Sekitar 10-15% ibu bersalin mengalami gangguan berkemih dalam berbagai bentuk. 4 Faktor risiko yaitu paritas, cara bersalin (per vaginam baik spontan ataupun dengan bantuan alat), pemanjangan kala dua, tindakan episiotomi, dan anestesi epidural. 5 Baik ekstraksi vakum ataupun forseps dimaksudkan untuk mempercepat proses persalinan ini (profilaksis), namun ternyata tindakan ini menyebabkan kerusakan di struktur dasar panggul baik otot ataupun saraf lebih banyak, sehingga gangguan berkemih pascasalin lebih banyak terjadi. 4 Upaya untuk mengetahui angka kejadian dan cara menanggulangi gangguan ini telah dilakukan

dengan tujuan untuk menurunkan angka kesakitan maternal, akan tetapi kenyataannya sampai saat ini angka kesakitan maternal tersebut masih tinggi.7-9 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat perbedaan gangguan sensorik vesika urinaria antara primipara

pascasalin spontan, dengan ekstraksi forseps, dan ekstraksi vakum? 2. Apakah terdapat perbedaan gangguan motorik vesika urinaria antara primipara pascasalin spontan, dengan ekstraksi forseps, dan ekstraksi vakum?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Penelitian ini dimaksudkan agar dapat mengetahui perbedaan gangguan sensorik dan motorik vesika urinaria antara primipara pascasalin spontan, dengan ekstraksi forseps, dan ekstraksi vakum sehingga dapat mengetahui angka kejadian tentang gangguan berkemih pascasalin. 1.3.2 Tujuan Penelitian Umum: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gangguan berkemih antara primipara pascasalin spontan, ekstraksi forseps, dan ekstraksi vakum di RSUP Prof.R.D.Kandou Manado. Khusus: 1. Untuk mengetahui perbedaan gangguan sensorik vesika urinaria primipara antara pascasalin spontan, ekstraksi forseps, dan ekstraksi vakum. 2. Untuk mengetahui gangguan motorik vesika urinaria primipara antara pascasalin spontan, ekstraksi forseps, dan ekstraksi vakum.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Aspek Teoritis a. Diharapkan bisa menambah khazanah pengetahuan mengenai pengaruh trauma persalinan per vaginam pada primipara, baik spontan maupun buatan terhadap fungsi sensorik dan motorik kandung kemih sehingga dapat memperjelas patofisiologi gangguan berkemih pascasalin. b. Diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang penggunaan teknik sistometri sederhana sebagai teknik alternatif yang lebih murah, mudah, dan praktis dalam mendeteksi serta menentukan jenis dan perbandingan gangguan berkemih

pascasalin yang terjadi antara persalinan spontan, ekstraksi forseps, dan ekstraksi vakum pada primipara. 1.4.2 Aspek Praktis a. Diharapkan dari penelitian ini dapat diketahui perbandingan gangguan sensorik dan motorik vesika urinaria antara pascasalin spontan, ekstraksi forseps, dan ekstraksi

vakum sehingga dapat dipakai sebagai acuan untuk memberikan terapi yang lebih sesuai. b. Diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai gangguan berkemih pascasalin sehingga dapat memberikan pengelolaan yang lebih cepat dan tepat, sesuai dengan gangguan yang terjadi.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka Kehamilan dan persalinan dapat mempengaruhi saluran kemih bagian bawah melalui perubahan anatomis, kerusakan saraf, atau karena kerusakan yang disebabkan oleh trauma. Efek persalinan bersifat luas, termasuk gangguan di saluran kemih dan jaringan penyangga di dasar panggul.12,13 Penyebab pastinya sulit dibuktikan karena gejala yang muncul sering terjadi setelah persalinan. Laserasi otot sfingter juga menyebabkan meningkatnya nyeri saat aktivitas seksual pascasalin.8 Persalinan buatan dilakukan apabila persalinan spontan dinilai akan menyebabkan risiko yang lebih tinggi baik terhadap ibu ataupun anak. Persalinan buatan dibagi menjadi per abdominal (seksio sesarea) atau per vaginam (ekstraksi forseps atau vakum).12 Inkontinensia urin umum terjadi pada ibu hamil yaitu mencapai 30-60% kasus. 9 Penyebabnya yang paling sering adalah karena pembesaran uterus, hormonal, meningkatnya filtrasi glomerulus, serta perubahan posisi uretrovesikal. Keadaan ini pada umumnya akan membaik pada tiga bulan pascasalin, tetapi pada sebagian wanita gangguan ini menetap dan menjadi masalah dalam masa sesudah melahirkan. 5,6 Inkontinensia urin postpartum (IUP) sampai saat ini belum didefinisikan secara tegas, namun secara klinis didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk mengontrol keluarnya urin yang mungkin disebabkan oleh faktor fisiologis, farmakologis, patologis, atau psikologis.9 Dalam hal ini inkontinensia urin terjadi karena dua faktor yaitu abnormalitas dari buli-buli (overactivity detrusor, low bladder compliance) dan abnormalitas sfingter (hipermobilitas uretra, defisiensi sfingter) karena kerusakan yang diakibatkan oleh proses persalinan. 14,15

Penelitian Rortveit dkk

melaporkan insidensi inkontinensia urin pascasalin mencapai

34.3%.8 Penelitian Chiarelli dkk, mempertegas bahwa persalinan per vaginam menyebabkan terjadinya inkontinensia urin, terutama pada seorang primipara. 9 Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan, faktor yang diduga menjadi penyebabnya adalah bayi besar dan persalinan lama yang ditandai dengan adanya pemanjangan kala dua, walaupun persalinan tersebut dapat berjalan spontan atau dengan bantuan alat.7,15,16

Tabel 2.1 Inkontinensia Urin Sebelum Kehamilan, Selama Kehamilan, dan Setelah Persalinan Sebelum Kehamilan (n = 549) 154 (28.0%) 28 (5.1%) 12 (2.2%) 17 (3.1%) 3 (0.5%) 20 (3.6%) Dalam Kehamilan (n = 549) 445 (81.1%) 371 (67.6%) 126 (22.9%) 196 (35.7%) 44 (8.0%) 240 (43.7%) Pascasalin (n = 549) 123 (22.4%) 24 (4.4%) 43 (7.8%) 68 (12.4%) 12 (2.2%) 80 (14.6%)

Simtom Frekuensi Nokturi Urgensi Stres Inkontinensia Urgensi Inkontinensia Total


Sumber: Chaliha dkk.16

Retensio urin pascasalin (RUP) didefinisikan sebagai hilangnya berkemih spontan enam jam setelah persalinan per vaginam. Dalam kasus seksio sesarea, didefinisikan sebagai

hilangnya berkemih spontan enam jam setelah dilepasnya kateter urin (lebih dari 24 jam pascasalin).17 Gangguan ini diduga karena peregangan berlebih pada kandung kemih dan ototnya, sehingga efisiensi dan efektivitasnya terganggu.10,17 Ramsay dkk meneliti pasien yang diperiksa menggunakan uroflowmetry dan ultrasonografi pascasalin, didapatkan 79 dari 184 orang pasien (43%) mengalami gangguan berkemih pascasalin, dan 70 orang di antaranya mengalami retensio urin. Insidensinya meningkat pada persalinan dengan

tindakan, trauma perineum, dan penggunaan anestesi epidural.7 Sedangkan dari penelitian yang dilakukan oleh Groutz dkk meneliti 277 pasien yang diperiksa menggunakan uroflowmetry noninvasif menghasilkan 45% kasus mengalami gangguan berkemih berupa

retensio urin. Sebanyak 38% terjadi pada tindakan vakum ekstraksi, 27% pada persalinan spontan, 15% pada tindakan seksio sesarea, dan 13% pada ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan >3.800 g.10 Tabel 2.2 Prevalensi Retensio Urin Pascasalin
Peneliti Andolf Dkk Yip dkk Lee dkk Carley Dkk ChingChung dkk Jenis Penelitian Kohort-Kasus kontrol Kohort-Kasus kontrol Kohort-Kasus kontrol Kohort-Kasus kontrol Kohort-Kasus kontrol Kriteria Diagnostik USG: PVRBV>150 mL , hari ketiga pascasalin USG: PVRBV > 150 mL, hari pertama pascasalin USG: PVRBV > 200 mL, hari pertama pascasalin Gangguan berkemih duabelas jam pascasalin Gangguan berkemih enam jam pas asalin N Pasen PUR Prevalensi PUR 1,5% 9,7% 14,1% 0,45% 4% Jenis Persali nan Per vaginam Per vaginam Per vaginam Per vaginam Per vaginam

530 691 256 11332 2866

8 67 36 51 114

Sumber: Yip dkk.17

2.1.1 Fisiologi Berkemih Dalam kehamilan, perubahan anatomis yang terjadi adalah peningkatan vaskularisasi dan pemanjangan ginjal + 1 cm. Ureter, pielum dan kaliks mengalami pelebaran dalam waktu yang pendek sesudah kehamilan tiga bulan terutama sisi sebelah kanan sehingga terjadi hidronefrosis dan hidroureter yang bersifat fisiologis. Dinding ureter dan kaliks mengalami hiperplasia dan hipertrofi namun tonusnya menurun. Kandung kemih akan berpindah lebih antero-superior. Pembuluh darah di mukosanya membengkak dan melebar. Otot detrusor akan mengalami hipertrofi sehingga kapasitasnya meningkat sampai 1 liter.2,18 Kandung kemih adalah satu-satunya organ involunter yang dapat dikontrol oleh manusia. Lebih dari 35 refleks berbeda yang telah teridentifikasi dan berfungsi untuk mengkoordinir aktivitas otot polos kandung kemih, otot polos dan lurik uretra dan otot di dasar panggul. Selain itu juga mengkoordinasi antara central nervous system (CNS) baik serebral ataupun saraf spinal dengan sistem saraf perifer. Kandung kemih sebagian besar terletak di rongga pelvis, bagian belakangnya dibatasi uterus, vagina, dan bagian depannya oleh dinding perut dan osteum simpisis. Di dinding belakang, di atas leher kandung kemih terdapat daerah

segitiga yang disebut trigonum.

Ureter bermuara di sudut paling atas trigonum.

Pada

mukosanya terdapat reseptor panas, dingin, nyeri, regangan, dan rasa penuh. Bagian luarnya adalah otot detrusor yang terdiri dari tiga lapis otot. Dinding leher kandung kemih terdiri dari otot detrusor dan jaringan elastis yang disebut sfingter uretra interna.19,20 Inervasi untuk traktus urinarius bagian bawah berasal dari tiga sumber yaitu: simpatis dan parasimpatis sistem otonom serta neuron somatis untuk sfingter uretra eksterna. Saraf

simpatis berasal dari T 11 sampai L 2-3, dan asetilkolin berfungsi sebagai neurotransmiter preganglionik dan norepinefrin di postganglionik. Reseptornya terdiri dari reseptor di uretra dan leher kandung kemih, serta reseptor di badan kandung kemih.1,2 Stimulasi reseptor menyebabkan peningkatan tonus uretra sehingga terjadi penutupan dan sebaliknya stimulasi reseptor menyebabkan penurunan tonus di badan kandung kemih. Parasimpatis mengontrol fungsi motorik kemih. kandung kemih, yaitu kontraksi dan pengosongan kandung

Saraf ini berasal dari S 2-4 dengan asetilkolin sebagai neurotransmiter pre dan Sistem saraf somatisnya berasal dari saraf pudendal dengan

postganglioniknya.

neurotransmiter preganglioniknya norepinefrin dan postganglionik serotonin. Stimulasi pada saraf ini mengontrol motorik otot lurik di uretra: kontraksi dan relaksasi.19

10

Gambar 2.1 Persarafan Kandung Kemih


Sumber: Schaffer dkk.19

Berkemih secara normal terdiri dari dua fase yaitu pengisian dan pengosongan kandung kemih. Dalam fase pengisian urin dari kedua ginjal, jaringan elastin, kolagen dan otot polos kandung kemih memungkinkan peregangan yang maksimal dengan kenaikan tekanan yang minimal dan sfingter uretra dan otot dasar panggul berkontraksi. Saat terisi urin, dindingnya menipis dan ototnya akan lebih memanjang. Dengan peregangan ini, akan memulai sinyal aferen di saraf pelvis menuju pontine micturition center. Detrusor tidak akan berkontraksi karena terjadi aktivasi inhibisi dari saraf simpatis sampai volume maksimal terjadi. Selama terjadi pengisian kandung kemih, terjadi stimulasi otot lurik sfingter eksterna sebagai akibat meningkatnya aktivitas eferen somatis (pelvis dan pudendal) dan menyebabkan sfingter tetap berkontraksi.2,19 Sensasi untuk berkemih pertama kali terjadi saat kandung kemih terisi + 150 mL urin dan mencapai puncaknya saat terisi + 400-500 mL urin.1,5 Saat sensasi penuh dari kandung

11

kemih muncul, akan menimbulkan refleks untuk berkemih. Ini akan menyebabkan eferen relaksasi dari otot dasar panggul dan otot sfingter uretra eksterna, dan menstimulasi parasimpatis sehingga otot detrusor berkontraksi. Inhibisi eferen simpatis menyebabkan terbukanya bladder neck karena ototnya merupakan kelanjutan dari otot detrusor, sehingga urin dapat keluar dan kandung kemih kosong.19

Gambar 2.2 Pengisian dan Pengosongan Kandung Kemih


Sumber: Rotrveit dkk.8

2.1.2 Patofisiologi Berkemih Pascasalin Perubahan fungsional yang melibatkan ginjal dan ureter terjadi pada saat kehamilan dan berlanjut sampai tiga bulan setelah persalinan. Sebanyak 80% ibu pascasalin menunjukkan adanya dilatasi nonobstruksi sistem kaliks dan ureter terutama sebelah kanan. 21 Dalam

keadaan tidak hamil, tekanan hidrostatik lebih tinggi di ginjal dibandingkan di kandung kemih, namun dalam kehamilan terjadi sebaliknya sehingga menyebabkan terjadinya stasis pada traktus urinarius.19,20

12

a.

Usia

Pada wanita, elastisitas dan stabilitas otot dasar panggul dipengaruhi oleh usia. Hal ini berhubungan dengan adanya pengaruh hormon estrogen dan progesteron terhadap otot dasar panggul.2 Brocklehurst dan Molander, seperti dikutip oleh Toozs dkk menyatakan bahwa dengan makin meningkatnya usia, prevalensi untuk terjadinya gangguan berkemih meningkat yang disebabkan oleh disfungsi struktur dasar panggul terutama otot penyangga saluran kemih.2 b. Paritas Sultan dkk melakukan penelitian terhadap 128 wanita dimulai dari kehamilan 34 minggu sampai 6 minggu pascasalin. Diteliti mengenai pudendal nerve terminal motor latencies (PNTML). Dikatakan bahwa persalinan per vaginam terutama pada primipara menyebabkan peregangan jaringan otot dasar panggul dan kerusakan saraf pudenda.22 Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Chaliha dkk yang melakukan pemeriksaan terhadap 549 nullipara dengan menggunakan kuesioner pada usia kehamilan 34 minggu dan 3 bulan pascasalin didapatkan insidensi inkontinensia sebanyak 43.7 dalam kehamilan dan 14.6% pascasalin. 16 Farrell dkk meneliti 690 pasien primipara dengan jenis salin seksio sesarea, spontan, vakum, dan forseps ekstraksi. Didapatkan hasil bahwa insidensi inkontinensia pada seksio sesarea sebanyak 10%, 22% pada persalinan spontan, dan 33% pada forseps ekstraksi.23 Kermans dkk mengemukakan angka kejadian retensio urin mencapai 2.1% (17 dari 789 orang ibu) yang melahirkan dengan persalinan per vaginam dan 3.2% (dua dari 62 orang ibu) dengan seksio sesarea pada seorang primipara. 24 Sedangkan Burkhart dkk, seperti dikutip oleh Yip dkk melakukan penelitian pada 1.000 orang ibu primipara pascasalin yang mengeluh tidak nyaman dan mengalami urgensi, kemudian dilakukan kateterisasi didapatkan angka 4.9% ibu mengalami retensio urin.17

13

c.

Pemanjangan Kala Dua Persalinan Pada kala dua persalinan, kandung kemih dan uretra mengalami tekanan hebat dari

kepala bayi yang menyebabkan edema dan iritasi pada sistem saraf dan otot detrusor. Gangguan pengosongan kandung kemih terjadi karena hipoaktif dan atau obstruksi pada otot detrusor.26,27 Ini diduga karena terjadi peregangan dan overdistensi pada kandung kemih. Stres pada persalinan seperti kala dua yang memanjang, ukuran kepala bayi (>35 cm) dan berat lahir bayi (>3.800 g) di duga menyebabkan gangguan di kandung kemih sehingga menyebabkan menurunnya sensasi berkemih dan paralisis motorik. Dari sistoskopi
10

pascasalin ditemukan edema dan ekimosis pada mukosa kandung kemih. 5,

Keadaan ini

ditambah dengan rasa nyeri dan tidak nyaman yang ditimbulkan oleh luka episiotomi atau laserasi pada perineum mungkin akan menyebabkan terganggunya efisiensi berkemih dalam bentuk terjadinya residual urin dan retensio urin akut.28,29 Sultan dkk yang menemukan bahwa PNTML secara signifikan memanjang pada ibu yang melahirkan bayi besar.22 Yip dkk melakukan pemeriksaan ultrasonografi pada 691 wanita pascasalin dengan residual urin > 150 mL, dan menemukan bahwa retensio urin terjadi pada ibu dengan pemanjangan kala 1 dan kala 2 persalinan.17 d. Kerusakan Saraf Menurunnya konduksi saraf pudenda umum terjadi segera setelah persalinan per vaginam dan biasanya bersifat sementara.30 Lesi pada sistem saraf akan menyebabkan gangguan pengosongan kandung kemih. Terutama bila lesi berada di bawah arkus spinalis, setinggi saraf sakralis (S 2-4). Saraf afferen pudenda yang menyokong sistem urinari bagian bawah melewati kandung kemih sebelum menuju S 2-4. Serabutnya halus dan berhubungan

dengan reseptor tekanan di dinding kandung kemih. Sedangkan otot lurik sfingter uretra yang mentransmisikan sensorik berjalan melalui saraf pudenda sebelum berakhir di S 2-4. Kerusakan pada sistem ini akan menghasilkan hipotonia pada kandung kemih. Umumnya

14

bila kerusakan mengenai saraf parasimpatis, akan menghasilkan hipotonia kandung kemih dan bila mengenai saraf simpatis akan menghasilkan overactive bladder.5,22 Pada kala dua persalinan saat kepala bayi masuk di rongga panggul akan menyebabkan organ di sekitarnya tertekan. Makin lama tekanan ini terjadi, makin besar kemungkinan kerusakan yang terjadi sehingga kerusakan saraf pudenda makin parah seiring dengan makin lamanya kala dua persalinan.5,31 Pada ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan >4.000 g, kerusakan pada otot dasar panggul dapat terjadi lebih parah yaitu berupa robekan perineum tingkat tiga sehingga menyebabkan kerusakan pada saraf juga makin besar. Penelitian yang dilakukan oleh Sultan dkk terhadap 128 ibu dimulai dari kehamilan 34 minggu sampai 6 minggu pascasalin mengenai pudendal nerve terminal motor latencies (PNTML)

menemukan bahwa persalinan per vaginam terutama pada primipara meningkatkan gangguan berkemih pascasalin.22 e. Episiotomi dan Laserasi Perineum Tindakan episiotomi pada persalinan diperkenalkan sebagai usaha untuk melindungi saraf pudenda, mempertahankan keutuhan otot dasar panggul, dan mengurangi kerusakan otot perineum karena robekan yang tidak terkontrol pada saat persalinan terutama perineal body. Keuntungan dan kerugian jenis episiotomi ini dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 2.3 Perbandingan Jenis Episiotomi Karakteristik Penjahitan Gangguan penyembuhan Nyeri Hasil anatomis Perdarahan Dispareunia Perluasan luka
Sumber: Cunningham dkk.25

Medial Mudah Jarang Minimal Baik Sedikit Jarang Sering

Tipe Episiotomi Mediolateral Sulit Sering Sering Biasanya terganggu Banyak Sering Jarang

15

Rockner dkk melakukan penelitian terhadap 87 ibu bersalin. Kelompok ini terbagi menjadi tiga grup yaitu kelompok dengan episiotomi, laserasi dan perineum utuh. Kekuatan otot dasar panggul pada ketiga kelompok ini diuji dengan vaginal cones dan ternyata kelompok ibu dengan tindakan episiotomi mempunyai kekuatan otot terlemah.18 f. Jenis Persalinan Struktur yang mengalami kerusakan meliputi otot dasar panggul, perineal body, saraf pudenda dan sfingter ani eksterna. Tonus otot perineum sendiri akan kembali normal dalam enam minggu, namun hal ini tergantung kerusakan yang terjadi. 23 Keadaan ini ditambah dengan rasa nyeri dan tidak nyaman yang ditimbulkan oleh luka episiotomi atau laserasi pada perineum mungkin akan menyebabkan terganggunya efisiensi berkemih dalam bentuk terjadinya residual urin dan retensio urin. Retensio urin diperkirakan akan menyebabkan terjadinya infeksi dan gangguan berkemih yang memanjang, karenanya beberapa ahli berpendapat bahwa berkemih spontan harus dinilai dalam 8-12 jam pertama pascasalin.2,15,19 Andolf dkk meneliti 539 ibu dengan menggunakan ultrasonografi pada hari ketiga pascasalin pada ibu yang mengalami retensio urin (>150 mL pascaberkemih) menemukan bahwa persalinan dengan tindakan ekstraksi forseps dan vakum mempunyai angka yang signifikan untuk terjadinya retensio urin.4 Sedangkan Yip dkk sendiri menemukan faktor risiko lain yaitu pemanjangan kala satu dan dua persalinan. 17 Kermans dkk meneliti 789 ibu dengan persalinan per vaginam dan 62 ibu dengan seksio sesarea atas indikasi persalinan tidak maju, ditemukan ibu dengan persalinan per vaginam lebih banyak mengalami retensio urin.23 Persalinan per vaginam mempunyai insidensi yang lebih tinggi untuk terjadinya gangguan berkemih pascasalin dibandingkan persalinan dengan seksio sesarea. Hal ini diduga pada persalinan per vaginam terjadi kerusakan pada otot ataupun sistem saraf dasar panggul. Tindakan seksio sesarea dapat menurunkan terjadinya gangguan berkemih pascasalin karena

16

tidak menyebabkan kerusakan otot dan sistem saraf di dasar panggul. Namun hal ini hanya berlaku pada seksio sesarea yang dilakukan sebelum persalinan terjadi (elektif) atau pada saat persalinan baru memasuki kala satu persalinan.2,6 Farrel dkk meneliti 147 ibu yang dilakukan tindakan seksio sesarea pada berbagai fase persalinan mengatakan bahwa tindakan ini dapat menurunkan insidensi gangguan berkemih pascasalin. 6 Walaupun tindakan seksio sesarea

dapat mengurangi insidensi gangguan berkemih pascasalin, namun kerusakan saraf fisiologis dapat terjadi efek proteksi dari tindakan seksio sesarea tidak berlaku lagi setelah seksio sesarea dilakukan lebih dari tiga kali.2 2.1.3 Diagnosis Berkemih secara normal terdiri dari dua fase yaitu pengisian dan pengosongan kandung kemih. Prinsip dasar pemeriksaan yang dilakukan harus meliputi kedua hal ini.14,20 a. Prosedur untuk evaluasi penyimpanan/pengisian urin i. Sistometri Adalah metode untuk menilai antara tekanan kandung kemih dan volume urin. Metode ini

digunakan untuk menilai aktivitas detrusor, sensasi, kapasitas dan kemampuan pengembangan kandung kemih. ii. Pengukuran tekanan uretra. Tekanan uretra dan tekanan penutupan uretra adalah kemampuan uretra untuk mencegah kebocoran urin saat penyimpanan. Pemeriksaan dilakukan dalam tiga keadaan yaitu: saat istirahat, saat tekanan intraabdomen meningkat (batuk, mengedan) serta saat proses berkemih (urethral pressure profile during voiding/UPP). b. Prosedur untuk evaluasi berkemih/pengosongan urin i. Uroflowmetry Metode ini digunakan untuk mengukur volume urin yang keluar per unit waktu yang

pada dasarnya adalah untuk menilai kekuatan kontraksi otot detrusor dan resistensi uretra.

17

ii. Pengukuran tekanan intravesika saat berkemih. iii. Pressure-flow relationships (pad testing). iv. Voiding urethral pressure profile (VUPP) v. Urin residu. c. Prosedur untuk evaluasi fungsi neorologis kandung kemih i. Elektromiografi. ii. Pudendal nerve terminal motor latencies (PNTML). Dari pemeriksaan ini nantinya dapat ditentukan gangguan dari kandung kemih yang terjadi yaitu: 1. Fungsi penyimpanan urin oleh kandung kemih (berdasarkan aktivitas detrusor, sensasi, kapasitas, dan compliance). 2. Fungsi uretra saat penyimpanan urin (normal atau inkompeten). 3. Fungsi detrusor saat berkemih (normal, hipoaktif, atau nonaktif). 4. Fungsi uretra saat berkemih (normal atau obstuktif karena aktivitasnya berlebihan atau karena mekanik). Untuk menegakkan diagnosis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang adekuat yaitu pemeriksaan urodinamik, karena tanpa pemeriksaan ini, sebanyak 50% kasus mengalami kesalahan diagnosis.21,33 Pemeriksaan dasar yang harus dilakukan pada wanita dengan gangguan berkemih pascasalin adalah anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan pelvis, postvoid residual (PVR), voiding diary, kultur urin, dan uroflowmetry. Pemeriksaan dengan urodinamik dapat menentukan terapi yang paling tepat untuk wanita yang mengalami gangguan berkemih karena dapat menentukan fungsi sensorik atau motorik kandung kemih.14 d. Tes urodinamik Adalah suatu metode yang dapat menilai fungsi dan disfungsi traktus urinarius dengan berbagai metode. Dimulai dari morfologi, fisiologi, biokimia, dan hidrodinamik effek urin.20

18

e. Sistometrogram/uretrosistometri/sistometrogram. Adalah suatu metode urodinamik untuk menilai aktifitas kandung kemih, evaluasi sensorik, kapasitas, kontraksi detrusor, dan compliance kandung kemih. Metode sistometri sederhana mempunyai sensitivitas 60-84% untuk menilai sensorik dan motorik kandung kemih, dan bahkan mempunyai positive predictive value (PPV) sekitar 82% untuk pemeriksaan stres inkontinensia. Kelebihan metode ini adalah karena murah, mudah dan efektif. 1 Alat yang digunakan adalah kateter Foley, three-way stopcock, alat ukur untuk mengukur central-venous pressure (CVP) serta infus set. Kateter Foley dipasang dan bagian ujungnya dipasang three-way stopcock yang dihubungkan ke papan CVP dan infus set. Ibu berdiri dan papan CVP dengan angka nol dipasang setinggi simpisis pubis. Aliran urin dari ibu akan menuju papan CVP dan berhenti pada angka 10-15 cm H 2O. Kandung kemih diisi cairan dari infusan secara bertahap sekitar 50-100 mL. Ibu diminta melaporkan saat merasakan terisinya kandung kemih, rasa penuh dan ketika sudah terasa ingin berkemih. Tekanan seharusnya tidak lebih dari 15 cm H2O selama pengisian. Pengukuran dihentikan bila tekanan melebihi 15 cm H2O atau cairan infus berhenti mengalir ke kandung kemih ( maximum filling). Interpretasi hasil adalah bila nilai normal dicapai diasumsikan bahwa sensorik kandung kemih normal. Kekurangan metode ini adalah karena tidak dapat mengukur tekanan intra abdomen dan kontraksi vesika urinaria yang tekanannya < 15 cm H2O. Tabel 2.4 Nilai Normal Sistometri Sederhana Sensasi awal pengisian vesika urinaria Rasa penuh Maksimum pengisian vesika urinaria
Sumber: Goldberg dkk.

Cairan (mL) 50-100 250-400 350-550

19

Tes dan prosedur evaluasi Tahapan pemeriksan yang dilakukan untuk menilai fungsi berkemih adalah sebagai berikut: a. Anamnesis dan pemeriksaan fisis. i. ii. iii. Riwayat gangguan berkemih selama kehamilan Keluhan berkemih pascasalin. Pemeriksaan fisik: massa di supra pubis, luka bekas operasi, dan pemeriksaan kandung kemih melalui palpasi. b. Pola berkemih. Normal, berkemih dilakukan sekitar 7-8 kali/hari dengan total urin sekitar 1-3 liter. c. Pemeriksaan urin rutin. pemeriksaan ini harus dilakukan karena gejala yang ditimbulkan oleh infeksi kandung kemih hampir sama dengan gangguan yang terjadi pascasalin. d. Uroflowmetry. 2.1.4 Diagnosis Banding a. Infeksi b. Fistula vesiko-uretral atau uretero-vaginal c. Ureter ektopik d. Penyebab fungsional: DIAPPERS = delirium; infection; atrophy (uretra atau vagina); pharmacologic agents; psychiatric disorders; excess urin output; restricted mobility

2.2 Kerangka Pemikiran Kehamilan dan persalinan dapat mempengaruhi saluran kemih bagian bawah melalui perubahan anatomis, kerusakan saraf atau karena kerusakan yang disebabkan oleh trauma. Walaupun perubahan ini jarang menyebabkan kematian, namun dapat menurunkan derajat kesehatan usia reproduktif dan pascareproduktif, serta kualitas hidup ibu dan bila kelainan ini

20

tidak dapat dideteksi pada masa nifas, dapat menyebabkan distensi berlebih pada kandung kemih, infeksi berulang, kerusakan pada traktus urinarius bagian atas, dan gangguan berkemih yang permanen.2,4 Sekitar 10-15% ibu bersalin mengalami gangguan berkemih dalam berbagai bentuk.4 Bentuk umum dari gangguan ini adalah: inkontinensia urin (gangguan motorik), (gangguan motorik), dan hipotonia kandung kemih (gangguan sensorik). Proses persalinan menyebabkan traktus urinarius terganggu dengan adanya peregangan otot dasar panggul, penekanan kandung kemih, dan kerusakan sistem saraf. Keadaan ini diperberat oleh faktor risiko lain yaitu paritas, persalinan per vaginam (baik spontan ataupun dengan bantuan alat), pemanjangan kala dua, tindakan episiotomi, dan anestesi epidural. 5 Trauma pada persalinan seperti kala dua yang memanjang, ukuran kepala bayi, dan berat lahir bayi diduga menyebabkan gangguan di kandung kemih sehingga menyebabkan menurunnya sensasi berkemih dan paralisis motorik otot detrusor. Keadaan ini ditambah dengan rasa nyeri dan tidak nyaman yang ditimbulkan oleh luka episiotomi atau laserasi pada perineum mungkin akan menyebabkan terganggunya efisiensi berkemih.30 Forseps adalah alat bantu untuk melahirkan kepala bayi. Alat ini berupa dua buah besi yang terdiri dari sendok, leher, kunci dan pegangannya. Fungsinya adalah untuk menarik, memutar, atau keduanya. Efek samping penggunaan forseps adalah laserasi vagina dan serviks, hematom pelvis, pelebaran episiotomi, perdarahan, dan retensio urin. 12,28,30 Trauma disebabkan karena saat dipasang, forseps menempati ruang lebih banyak di rongga panggul serta efek rotasi yang dilakukan oleh operator terutama bila tindakan dilakukan pada forseps tengah atau tinggi.30 Episiotomi atau laserasi yang dilakukan pada persalinan dengan retensio urin

ekstraksi forseps lebih sering menyebabkan kerusakan sfingter sehingga kekuatan otot ini berkurang, inkontinensia urin atau alvi, dan fistula rektovaginal.28,30

21

Vakum adalah alat yang juga dipakai untuk melahirkan kepala bayi dengan menarik dan atau memutar kepala bayi. Efek samping yang dihasilkan sama dengan forseps, terutama karena perlukaan jalan lahir karena terjepit oleh kap. Penggunaan vakum lebih terpilih dari pada forseps karena dari penelitian didapatkan data bahwa trauma jalan lahir lebih sedikit dan nyeri lebih cepat hilang.28,30 Baik vakum ataupun forseps digunakan bila ada indikasi ibu atau bayi, salah satunya adalah bila kala dua memanjang yaitu lebih dari dua jam (profilaksis).28,29 Inkontinensia urin postpartum (IUP) terjadi karena dua faktor yaitu abnormalitas buli-buli (overactivity detrusor, low bladder compliance) dan abnormalitas sfingter (hipermobilitas uretra, defisiensi sfingter) karena kerusakan yang diakibatkan oleh proses persalinan. 5,8 Anamnesis mengenai gangguan berkemih pascasalin dapat menegakkan terjadinya inkontinensia dan jenisnya.20 Penelitian Rortveit dkk melaporkan insidensi inkontinensia urin pascasalin mencapai 34.3%.8 Penelitian Chiarelli dkk, mempertegas bahwa persalinan per

vaginam menyebabkan terjadinya inkontinensia urin, terutama pada seorang primipara.9 Runa dkk meneliti 250 primipara dan menyatakan sekitar 23.42% pasen mengalami inkontinensia urin pascasalin per vaginam. Sekitar 27.1% terjadi pada persalinan spontan dan 35.5% pada persalinan dengan ekstraksi forseps.27 Waktu yang dibutuhkan pada proses persalinan berbeda pada primipara dan multipara. Pada primipara waktu yang dibutuhkan untuk melewati fase laten sampai mencapai kala dua adalah sekitar 12 jam, sedangkan pada kala dua dibutuhkan waktu sekitar 50 menit. 25 Pada persalinan perineum mengalami regangan karena penurunan bagian bayi dan trauma baik berupa laserasi ataupun karena tindakan episiotomi. Struktur yang mengalami kerusakan meliputi otot dasar panggul, perineal body, dan sfingter ani eksterna. Edema dan kerusakan yang terjadi akan kembali normal dalam 1-2 minggu pascasalin. Tonus otot perineum sendiri akan kembali normal dalam enam minggu, namun hal ini tergantung kerusakan yang terjadi.23

22

Retensio urin pascasalin (RUP) diduga karena peregangan berlebih pada kandung kemih dan ototnya, sehingga efisiensi dan efektivitasnya terganggu. 5 Ramsay dkk meneliti 184 pasien yang diperiksa menggunakan uroflowmetry dan ultrasonografi pascaberkemih dan didapatkan 79 pasien (43%) mengalami gangguan berkemih pascasalin dan 70 orang di antaranya mengalami retensio urin.7 Kermans dkk mengemukakan angka kejadian retensio urin mencapai 2.1% (17 dari 789 orang ibu) yang melahirkan dengan persalinan per vaginam dan 3.2% (dua dari 62 orang ibu) dengan seksio sesarea pada seorang primipara. 24 Sedangkan Burkhart dkk seperti dikutip oleh Yip dkk melakukan penelitian pada 1.000 orang ibu primipara pascasalin yang mengeluh tidak nyaman dan mengalami urgensi, kemudian dilakukan kateterisasi didapatkan angka 4.9% ibu mengalami retensio urin.17 Andolf dkk meneliti 539 ibu dengan menggunakan ultrasonografi pada hari ketiga pascasalin pada ibu yang mengalami retensio urin (>150 mL pascaberkemih) menemukan bahwa persalinan dengan tindakan ekstraksi forseps dan vakum mempunyai angka yang signifikan untuk terjadinya retensio urin.4 Sedangkan Yip

dkk sendiri menemukan faktor risiko lain yaitu pemanjangan kala satu dan dua persalinan.17 Kermans dkk meneliti 789 ibu dengan persalinan per vaginam dan 62 ibu dengan seksio sesarea atas indikasi persalinan tidak maju, ditemukan ibu dengan persalinan per vaginam lebih banyak mengalami retensio urin.24 Pada hipotonik kandung kemih terjadi gangguan pengosongan kandung kemih karena terjadi gangguan sistem sarafnya sehingga sensitivitasnya menurun serta terjadi hipoaktif dan atau obstruksi pada otot detrusor. Ini diduga karena terjadi peregangan dan overdistensi pada kandung kemih.5,17 Persalinan per vaginam mempunyai insidensi yang lebih tinggi untuk terjadinya gangguan berkemih pascasalin dibandingkan persalinan dengan seksio sesarea. Hal ini diduga pada persalinan per vaginam terjadi kerusakan pada otot ataupun sistem saraf dasar panggul.25

23

2.3 Premis dan Hipotesis 2.3.1 Premis Dari uraian kerangka pemikiran di atas, dapat diambil premis- sebagai berikut: Premis 1 Proses persalinan dapat menyebabkan gangguan sensorik dan motorik vesika urinaria.4 Premis 2 Kelompok ibu yang mempunyai risiko untuk terjadinya gangguan berkemih pascasalin adalah primigravida, pemanjangan kala dua persalinan, pemakaian anestesi epidural, tindakan

kateterisasi dalam persalinan, persalinan dengan tindakan terutama ekstraksi forseps, episiotomi, dan seksio sesarea.5 Premis 3 Pada persalinan per vaginam terjadi kerusakan pada otot ataupun sistem saraf dasar panggul, sehingga menyebabkan terjadinya gangguan berkemih pascasalin.2,6 Premis 4 Gangguan sensorik dan motorik pada primipara pascasalin lebih banyak terjadi pada persalinan dengan ekstraksi vakum dan ekstraksi forseps.5,6,8,17 2.3.2 Hipotesis Dari premis-premis di atas dapat diambil hipotesis yang dapat digunakan sebagai landasan teoritis dalam rangka memberi jawaban terhadap masalah dalam penelitian ini. Hipotesis tersebut adalah: 1. Gangguan sensorik vesika urinaria pada primipara pascasalin lebih banyak terjadi pada persalinan dengan ekstraksi forseps bila dibandingkan dengan ekstraksi vakum, dan spontan. (Premis 1,2,3,4). 2. Gangguan motorik vesika urinaria pada primipara pascasalin lebih banyak terjadi pada persalinan dengan ekstraksi forseps bila dibandingkan dengan ekstraksi vakum, dan spontan. (Premis 1,2,3,4).

24

BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah seluruh ibu primipara yang bersalin di RSUP Prof.R.D.Kandou Manado dengan cara persalinan spontan, ekstraksi vakum, dan ekstraksi forseps yang termasuk kriteria inklusi.

3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Materi Penelitian Populasi target penelitian ini adalah semua pasien primipara yang bersalin di RSUP Prof.R.D.Kandou Manado , dan populasi terjangkau penelitian ini meliputi sebagian primipara yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta memenuhi besar sampel minimal.

3.2.2 Besar Sampel dan Cara Penarikan Sampel Penelitian dilakukan pada semua primipara dengan persalinan spontan, ekstraksi vakum, dan ekstraksi forseps yang memenuhi kriteria inklusi yang datang ke RSUP Prof.R.D.Kandou Manado. Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus besar sampel untuk menguji perbandingan data tidak berpasangan lebih dari dua kelompok yaitu :

( Z N=

2PQ + Z P1Q1 + P2 Q 2

( P1 P2 ) 2

Dengan memilih taraf kepercayaan 95% dan kekuatan uji 20% (dari tabel distribusi normal diperoleh Z = 0,84 dan Z = 0,84) dengan besarnya perbandingan ditentukan atas dasar

25

perbandingan gangguan berkemih pascapersalinan spontan dan buatan yang terjadi pada primipara menurut Groutz dkk sebesar 45%. 10 Maka dari rumus besar sampel untuk

menaksir perbandingan didapatkan:

n =

(0,84 2 x 0,2 x 0,8 + 0,84 0,3 x 0,7 ( 0,3 0,1 )2

+ ( 0,1 x 0,9) )2

n = 16 Untuk keperluan penelitian, pada tiap kelompok ditentukan jumlah sampel minimal sebanyak 16 subjek, yaitu kelompok subjek dengan persalinan spontan, persalinan dengan ekstraksi forseps dan kelompok dengan vakum ekstraksi sehingga jumlah total subjek penelitian adalah 48 subjek. Bila kemudian terdapat drop out pada subjek penelitian, maka jumlah subjek akan ditambah sehingga jumlahnya akan tetap 16 subjek untuk tiap kelompok.

3.2.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Pemilihan subjek dilakukan pada ibu primipara yang bersalin di RSUP Prof.R.D.Kandou Manado yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria (eksklusi). Kriteria Inklusi 1. Semua ibu primipara dengan usia kehamilan aterm, tunggal, hidup, dan letak belakang kepala. 2. Usia reproduktif antara 20-35 tahun. 3. Saat masuk rawat, dari pemeriksaan dalam kepala sudah berada di station 0 (engaged). 4. Jenis persalinan yang dilakukan adalah spontan, ekstraksi forseps dan ekstraksi vakum. 5. Maksimum kala dua persalinan adalah 60 menit.

26

6. Indikasi ekstraksi vakum atau ekstraksi forseps adalah waktu. 7. Berat badan bayi lahir antara 2.500-3.800 g. 8. Lingkar kepala bayi antara 32-35 cm. 9. Dilakukan episiotomi atau mengalami ruptur perineum tingkat 1-2. 10. Waktu pemeriksaan sistometri adalah 8-12 jam pascasalin. 11. Subjek tidak menderita gangguan saraf, terutama daerah panggul yang menyebabkan gangguan berkemih sebelumnya.

Kriteria Eksklusi 1. Persalinan yang telah dikelola dan berlangsung di luar RSUP Prof.R.D.Kandou 2. Kala dua lebih dari 60 menit yang telah dikelola di luar RSUP Prof.R.D.Kandou 3. Pascasalin yang disertai dengan penyulit obstetri sehingga memerlukan pemasangan kateter urin. 4. Persalinan dengan augmentasi oksitosin. 5. Kegagalan tindakan ekstraksi forseps dan ekstraksi vakum. 6. Kelainan kongenital atau anatomis pada kandung kemih dan uretra subjek. 7. Subjek menolak untuk diikutsertakan dalam penelitian.

3.2.4 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik-komparatif, katagorik, lebih dari dua kelompok, dengan rancangan potong silang (cross sectional study) yaitu membandingkan jenis gangguan sensorik dan motorik vesika urinaria pascasalin spontan, ekstraksi vakum, dan ekstraksi forseps pada primipara.

27

Penelitian ini mengambil subjek penelitian semua ibu primipara, dengan usia kehamilan aterm yang bersalin di RSUP Prof.R.D.Kandou Manado yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan pemeriksaan fungsi sensorik dan motorik pascasalin dengan metode sistometri sederhana. Hasil pemeriksaan kemudian dianalisis secara statistik. Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Primipara dengan persalinan spontan, ekstraksi forseps dan ekstraksi vakum

Kriteria inklusi dan eksklusi

Pemeriksaan sistometri sederhana 8 12 jam pascasalin

Hasil pemeriksaan 1. Gangguan sensorik-motorik 2. Perbandingan gangguan sensorik-motorik

Analisis statistik: Perbandingan gangguan berkemih pada tiga kelompok subjek 28

Gambar 3.1 Alur Penelitian

3.2.5 Identifikasi Variabel Variabel bebas a. Persalinan spontan.

b. Persalinan dengan ekstraksi forseps. c. Persalinan dengan ekstraksi vakum. Variabel tergantung a. Gangguan sensorik vesika urinaria. b. Gangguan motorik vesika urinaria.

3.2.6 Tata Kerja a. Setiap ibu dengan persalinan spontan, ekstraksi vakum, dan ekstraksi forseps di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Prof.R.D.Kandou Manado yang memenuhi kriteria inklusi diberikan penjelasan. b. Subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi dan bersedia ikut dalam penelitian ini, setelah diberikan penjelasan, dilakukan penanda-tanganan formulir persetujuan penelitian yang disediakan, yang sebelumnya telah diberi penjelasan tentang tujuan penelitian, keuntungan, kerugian, kerahasiaan dan kompensasi bagi pasien bila terjadi komplikasi. c. Dilakukan pencatatan identitas pasien mengenai nama, umur, alamat, nomor rekam medik. d. Pencatatan mengenai kehamilan: umur kehamilan, gangguan berkemih sebelumnya, pemeriksaan urin rutin.

29

e. Pencatatan mengenai persalinan: lamanya kala dua, berat badan bayi, jenis persalinan, indikasi ekstraksi vakum atau ekstraksi forseps, tindakan episiotomi atau laserasi perineum. f. Dilakukan pengambilan data dimulai dari anamnesis mengenai gangguan berkemih pascasalin, pemeriksaan fisis, dan tes sistometri sederhana. g. Pemeriksaan dilakukan di ruang rawat dibagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Prof.R.D.Kandou Manado dalam 8-12 jam pascasalin oleh peneliti tanpa mengetahui jenis persalinan. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya infeksi, sebelum tindakan pasien diminta mencuci vulva dengan sabun. Saat akan dilakukan pemasangan kateter Foley, vulva dibersihkan dengan cairan DTT. Setelah penilaian selesai, sisa seluruh cairan dikeluarkan kembali dan kateter Foley dicabut. Vulva kemudian dibersihkan kembali dengan cairan DTT h. Gangguan sensorik dan motorik kandung kemih diperiksa dengan tes sistometri sederhana. Cara pemeriksaannya adalah dengan teknik sistometri sederhana dalam waktu 8-12 jam pascasalin. Alat yang digunakan adalah kateter Foley, three-way stopcock, alat ukur untuk mengukur central-venous pressure (CVP), serta infus set. Pasien diminta berkemih spontan dan memcuci vulva dengan sabun. Kemudian subjek tidur terlentang dan vulva dibersihkan dengan cairan desinfeksi tingkat tinggi (DTT). Sisa urin

dikeluarkan dengan kateter Foley dan ditampung dalam gelas ukur dan dicatat. Bila residu urin > 150 mL, subjek dinyatakan mengalami gangguan motorik berupa hipotonia kandung kemih. Bila subjek sama sekali tidak bisa berkemih, maka dinyatakan

mengalami gangguan motorik jenis retensio urin. Urin dibantu dikeluarkan dengan cara yang sama dan diukur. Fungsi sensorik kandung kemih dinilai dengan teknik sistometri sederhana. Cairan NaCl fisiologis dipasang pada infus set. Ujung infus set dipasang pada

30

ujung pertama three-way stopcock. Ujung kateter Foley yang telah terpasang di vesika urinaria saat dilakukan pengeluaran urin kemudian dipasang pada ujung kedua three-way stopcock. Ujung ketiga three-way stopcock terpasang pada selang CVP. Ibu berdiri dan papan CVP dengan penunjuk angka 0 dipasang setinggi simpisis pubis. Aliran urin dari ibu akan menuju papan CVP dan berhenti pada angka 10-15 cm H 2O. Kandung kemih diisi cairan dari infusan secara bertahap sekitar 50-400 mL. Ibu diminta melaporkan saat merasakan terisinya kandung kemih, rasa penuh dan ketika sudah terasa ingin berkemih. Hasil kemudian dicatat, dan setelah penilaian selesai aliran cairan NaCL fisiologis ke kandung kemih dihentikan. Sisa seluruh cairan tadi dikeluarkan menggunakan kateter Foley yang sama. Setelah kateter dicabut, vulva kemudian dibersihkan kembali dengan cairan DTT. i. Hasil pemeriksaan kemudian diinterpretasikan dan dianalisis sesuai dengan jenis persalinannya, sehingga bila terdapat gangguan berkemih pada subjek penelitian, maka peneliti memberikan informasi kepada dokter yang merawat pasien diruangan dan kemudian memilih terapi yang sesuai untuk mengatasi gangguan tersebut. j. Hasil pemeriksaan sistometri sederhana dari seluruh subjek kemudian ditabulasi dan diinterpretasikan. k. Interpretasi hasil adalah sebagai berikut: a. Sebelum pemeriksaan sistometri: i. Miksi spontan (+), residual urin (-): motorik normal ii. Miksi spontan (+), residual urin (+): hipotonia kandung kemih iii. Miksi spontan (-): retensio urin b. Selama pemeriksaan sistometri: i. Bila nilai normal tercapai: sensorik normal ii. Bila nilai normal tidak tercapai: gangguan sesorik

31

l. Setiap informasi penderita dijamin kerahasiaannya dan hanya ditelaah oleh peneliti. 3.2.7 Batasan Konsepsional dan Operasional

Batasan konsepsional a. Primipara adalah seorang ibu yang baru pertama kali melahirkan bayi yang viable (> 28 minggu).25 b. Usia kehamilan aterm adalah saat kehamilan telah mencapai 37 minggu dari hari pertama haid terakhir.25 c. Kehamilan tunggal adalah bayi yang dikandung pada kehamilan hanya satu bayi.25 d. Letak anak belakang kepala yaitu oksiput menjadi bagian terendah bayi saat kepala telah engage.25 e. Engage adalah bagian terendah bayi yaitu oksiput telah mencapai station 0 (adalah titik setinggi spina isiadika).25 f. Kala dua persalinan adalah waktu yang dibutuhkan untuk lahirnya bayi dimulai dari saat ibu dipimpin meneran sampai bayi lahir.25 g. Indikasi waktu adalah segera melahirkan bayi bila dalam kala dua persalinan telah dinilai mengalami pemanjangan lebih dari satu jam, sehingga dilakukan tindakan persalinan buatan dengan ekstraksi forseps atau ekstraksi vakum.25 h. Persalinan dengan augmentasi oksitosin adalah persalinan dengan memperkuat kontraksi spontan dengan menggunakan oksitosin, karena kontraksi spontan dinilai kurang adekuat yang menyebabkan kegagalan kemajuan dilatasi serviks dan penurunan bagian terendah bayi.30 i. Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengontrol keluarnya urin yang mungkin disebabkan oleh faktor fisiologis, farmakologis, patologis, atau psikologis.20

32

j. Retensio urin adalah hilangnya berkemih spontan dalam enam jam setelah persalinan spontan.17 k. Hipotonia kandung kemih adalah terganggunya kontraktilitas otot detrusor kandung kemih karena kerusakan saraf parasimpatis sehingga terdapat residual urin pascaberkemih spontan.17 l. Residual urin adalah jumlah sisa urin yang masih terdapat dalam kandung kemih setelah berkemih spontan dengan jumlah >150 mL.17,32 m. Gangguan sensorik adalah terganggunya kontraktilitas otot detrusor kandung kemih karena menurunnya konduksi saraf pudenda, sehingga menyebabkan gangguan pengosongan kandung kemih.17,30 n. Gangguan motorik adalah gangguan pada kandung kemih dan ototnya, sehingga efisiensi dan efektivitasnya terganggu.5

Batasan operasional a. Persalinan per vaginam adalah persalinan yang dilakukan melalui jalan lahir/vagina.25 b. Persalinan spontan adalah persalinan yang terjadi dengan tenaga ibu sendiri, tanpa dilakukan bantuan untuk proses bersalin tersebut.25 c. Persalinan buatan adalah persalinan yang dilakukan dengan bantuan dari luar baik berupa obat, alat, atau tindakan.25 d. Ekstraksi vakum adalah cara melahirkan bayi per vaginam dengan menggunakan alat vakum.30 e. Ekstraksi forseps adalah cara melahirkan bayi per vaginam dengan bantuan alat forseps.30 f. Kegagalan ekstraksi forseps adalah bila forseps tidak bisa dipasang, atau bila forseps dapat dipasang, namun dengan dilakukan tarikan bayi tidak lahir.12 g. Kegagalan ekstraksi vakum adalah apabila cup terlepas saat dilakukan tarikan.12

33

h. Tes sistometri sederhana adalah tes yang dapat menentukan fungsi sensorik atau motorik kandung kemih secara sederhana dan hasilnya mendekati hasil pemeriksaan yang menjadi baku emas yaitu pemeriksaan urodinamik.14 i. Gangguan sensorik didiagnosis bila saat dilakukan pemeriksaan sistometri sederhana, subjek tidak mengalami sensasi awal pengisian vesika urinaria saat dimasukkan cairan NaCL fisiologis sebanyak 50-100 mL, dan tidak dapat merasakan sensasi rasa penuh saat dimasukkan cairan NaCL fisiologis sebanyak 250-400 mL.17,30 j. Gangguan motorik didiagnosis bila saat dilakukan pemeriksaan sistometri sederhana, setelah dilakukan pengisian vesika urinaria maksimum, subjek tidak dapat berkemih spontan atau terdapat residual urin >150 mL. 17,30

3.2.8 Analisis Data Uji statistik yang dilakukan pada penelitian ini adalah mencari perbandingan dan interval kepercayaan terjadinya gangguan berkemih pascasalin pada ketiga kelompok yaitu kelompok primipara dengan persalinan spontan, ekstraksi forseps, dan ekstraksi vakum. Data yang sudah diperoleh dicatat dalam formulir khusus dan ditabulasi. Uji kemaknaan untuk membandingkan ketiga kelompok penelitian dilakukan dengan uji Chi Kuadrat (Chi-Square). Kemaknaan ditentukan berdasarkan nilai p < 0.05.

3.2.9 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Januari-Maret 2013. Penelitian ini dilakukan di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Prof.R.D.Kandou Manado.

34

3.3 Aspek Etik Penelitian Subjek penelitian ini adalah manusia, sehingga dapat timbul masalah etik. Aspek etik penelitian ini adalah masalah ketidaknyamanan ketika pasien diminta untuk dilakukan pemeriksaan sistometri sederhana dalam 8-12 jam pascasalin. Pemeriksaan ini juga

memerlukan biaya. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan konseling tentang manfaat penelitian bahwa pasien dapat mengetahui jenis gangguan berkemih yang terjadi dan penanganannya dengan menggunakan pemeriksaan yang sederhana. yang terkait dengan penelitian ini ditanggung oleh peneliti. Penelitian dilakukan setelah subjek penelitian telah diberi penjelasan mengenai tujuan penelitian, keuntungan, kerugian, kerahasiaan dan kompensasi bagi pasien bila terjadi komplikasi. Dengan prinsip sukarela, persetujuannya diperoleh dengan menandatangani formulir persetujuan mengikuti penelitian (informed consent). Seluruh pembiayaan

35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian 4.2 Pembahasan

36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 5.2 Saran

37

DAFTAR PUSTAKA

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.

Goldberg RP, Lobel RW, Sand. PK. The urinary tract in pregnancy. In: Bent AE, Ostergard DR, Cundif GW, Swift. SE, eds. Ostergard's Urogynecology and pelvic floor dysfunction. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wlikins 2003:225-43. Toozs-Hobson P, Cutner A. Pregnancy and childbirth. In: Cardozo L, Staskin D, eds. Textbook of female urology and urogynaecology. London: Martin dunitz Ltd 2002:977-92. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN, Thomas JM, Bartram CI. Anal-sphincter disruption during vaginal delivery. N Engl J Med. 1993;329:1905-11. E A, CS L, C J, H R. Insidous urinary retention after vaginal delivery: prevalence and symptoms at follow-up in a population-based study. Gynecologic & obstetric investigation. 1994;38(1):51-3. Hee P, Lose G, Beier-Holgersen R, Engdahl E, Falkenlove P. Post partum voiding in the primiparous after vaginal delivery. Int Urogynecol J. 1992;3:95-9. Farrell SA. Cesarean section versus forceps-assisted vaginal birth: It's time to include pelvic injury in the risk-benefit equation. Canadian medical association. 2002;166(3):337-8. IN R, TE T. Incidence of abnormal voiding parameters in the immediate postpartum period. Neurourol Urodyn. 1993;12(2):179-83. Rortveit G, Daltveit AK, Hannestad YS, Hunskaar S. Urinary incontinence after vaginal delivery or cesarean section. N Engl J Med. 2003;349:900-7. Chiarelli P, Cockburn J. Promoting urinary continence in women after delivery: randomised controlled trial. BMJ 2002;324:1241-4 Groutz A, Hadi E, Wolf Y, Maslovitz S, Gold R, Lessing JB, et al. Early postpartum voiding dysfunction:incidence and correlation with obstetric parameters. J Reprod Med. 2004;49(12):960-4. J S, P D. Voiding difficulties and retention. In: Stanton SL MA, ed. Clinical Urogynaecology. London: Churchill Livingstone 2000. Chamberlain G, Steer PJ. ABC of labour care : Operative delivery. BMJ. 1999;318:1260-4. Burgio. Urinary incon. Theofrastous JP, Swift SE. Urodinamyc testing. In: Bent AE, Ostergard DR, Cundif GW, Swift SE, eds. Urogynecology and pelvic floor dysfunction. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2003:115-39. Rogers RG, Leeman LL. Postpartum genitourinary changes Urol Clin N Am. 2007;34:13-21. Chaliha C, Kalia V, Stanton SL, Monga A, Sultan AH. Antenatal prediction of post partum urinary and fecal incontinence. Obstet Gyn. 1999;94:689-94. Yip S-K, Sahota D, Pang M-W, Chang A. Postpartum urinary retension. Acta Obstet Gyn Scand. 2004;83:881-9. Rockner G. Urinary incontinence after perineal trauma at childbirth. Scand J Caring Sci. 1990;4:169-72. Schaffer J, Fantl A. Physiology of the lower urinary tract and the mechanism of continence. In: Lentz GM, ed. Urogynecology. London: Arnold 2000. Abrams P, Blaivas J, Stanton S, Andersen J. The standarisation of terminology of lower tract function. Scand J Urol Nephrol. 1988;114:519-24.

38

21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.

Resnik R. The puerpurium. In: Creasy RK, Resnik R, eds. Maternal-fetal medicine principles and practice. Philadelphia: Elsevier 2004:165-8. AH S, AK M, SL S, . The pelvic floor sequelae of childbirth. Br J Hosp Med. 1996;55:575-9. Farrell SA, Allen VM, Baskett TF. Parturition and urinary incontinence in primiparas. Obstet Gyn. 2001;29:350-6. G K, JJ W, M T, W DS. Puerperal urinary retention. Acta Urologica Belgica. 1986;54:376-85. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, III LCG, Hauth JC, Wenstrom KD. Williams Obstetrics. 21 ed. New York: McGraw-Hill 2001. Bowes WA, Thorp JM. Clinical aspects of normal and abnormal labor. In: Creasy RK, Resnik R, eds. Maternal-fetal Medicine. 5th ed. Philadelphia: Saunders 2004:671-99. Runa B, Sudarasan S, Padma K, Arunangshu T. Postpartum urinary stress incontinence - its relation with the mode of deliveryt. Obstet Gynecol India 2006;56(4):337-9. Chang AMZ, Lau TK. Operatif vaginal delivery. In: Chamberlain G, Steer PJ, eds. Turnbull's Obstetrics. 3nd ed. London: Churchill Livingstone 2001:581-98. Ainbinder SW. Operatif delivery. In: DeCherney AH, Nathan L, eds. Current Obstetric & gynecologic diagnosis & treatment 9th ed. Boston: McGraw-Hill 2003:499-529. Gilstrap LC, Cunningham FG, VanDorsten JP. Operative Obstetrics. 2nd ed. New York: McGraw-Hill 2002. T T, M S, G L, J C. Pudendal nerve recovery after a non-instrumental vaginal delivery. Int Urogynecol J. 1996;7:102-4. Yarnell RW, McDonald JS. Obstetric analgesia & anesthesia. In: DeCherney AH, Nathan L, eds. Current Obstetric & gynecologic diagnosis & treatment . 9th ed. Boston: McGraw-Hill 2003:477-97. Shah JPR DP. Voiding difficulties and retention. In: Stanton SL MA, ed. Clinical Urogynaecology. London: Churchill Livingstone 2000.

39

Progress Report I

PERBANDINGAN GANGGUAN SENSORIK DAN MOTORIK VESIKA URINARIA ANTARA PRIMIPARA PASCASALIN SPONTAN DAN BUATAN

Oleh: Demetrius Gomer Tindi

Pembimbing:
Dr. Rudy. Lengkong. SpOG-K Prof. dr. H.Lumentut-Tendean, SpOG-K

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI/RS PROF.R.D.KANDOU MANADO 2013

40

Anda mungkin juga menyukai