Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PPBB

Di susun oleh Rafika Diantika (1106017401)

Universitas Indonesia Fakultas TeknikDepartemen Metalurgi dan Material

A. Kondisi Baja Nasional Indonesia dengan sumber daya mineral yang berlimpah saat ini sedang mengembangkan industri besi dan bajanya. Tingginya konsumsi baja merupakan salah satu parameter kemajuan suatu negara. Konsumsi baja Indonesia saat ini masih tergolong rendah yaitu sekitar 37.3 kg per kapita per tahun jika dibandingkan konsumsi Indonesia dengan negara Asia lainnya. Untuk menjadi negara maju, Indonesia harus memiliki setidaknya konsumsi baja sebesaar 500 kg per kapita per tahunnya.

Tabel 1. Perbandingan Konsumsi Baja dengan Negara lain (dalam juta metrik ton) A. Import dan Eksport Baja Nasional Industri baja di Indonesia saat ini masih mengimport sekitar 70% raw material yang dibutuhkan untuk produksi. Saat ini total raw material baja nasional mencapai 6-7 juta ton. Raw material baja impor berkisar antara 4.2 sampai 4.9 juta ton per tahun, setara dengan rata-rata harga raw material baja yaitu 3.9 miliar dolar. Harga dari raw material (terutama baja scrap) membumbung tinggi karena tertahannya distribusi akibat terdapat isu tentang wadah material yang telah terkontaminasi zat berbahaya. Sebagai bukti dari tertahannya import raw material, harga scrap meningkat 100% menjadi 800 dolar per ton dari sebelumnya yaitu sebesar 400 dolar per ton. Indonesia saat ini menempati ranking 36 dunia sebagai negara produsen baja. Asosiasi Baja Dunia (World Steel Association) menyatakan produksi baja di Indonesia berkisar antara 3.5 4.2 juta ton per tahun sepanjang 2005-2009. Pada tahun 2011, Kementerian Perindustrian menargetkan produksi baja nasional diperkirakan mencapai

6-6.5 juta ton. Sehingga masih terjadi defisit pasokan baja di dalam negeri mencapai 33.5 juta ton. Defisit pasokan itu terpaksa harus dipenuhi dari impor.

Tabel 2. Daftar negara-negara pengimport baja Kementrian industri Indonesia mengatakan industri nasional baja telah sangat bergantung pada import raw material sementara 30% berasal dalam negeri. Sekitar 6-7 juta ton baja yang diimpor, jumlah total raw material dapat di generalisasi mencapai 9.9 juta ton. Berdasarkan data dari South East Asia Iron & Steel Institute, total perminttan untuk produksi baja di Indonesia pada akhir 2011 adalah sebesar 9.9 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 54% berasal dari import.

Tabel 3. Keadaan Impor dan Ekspor Baja semi finished dan finished (dalam juta metrik)

B. Prediksi Kebutuhan Baja Nasional Peningkatan perekonomian masyarakat Indonesia akan meningkatkan

permintaan atau konsumsi baja. Terutama pada sektor konstruksi, otomotif, dan manufaktur. Namun diantara ketiga sektor tersebut, sektor industri yang menyumbang paling banyak dalam pengonsumsian baja adalah konstruksi. Berdasarkan data Kementrian Industri, sektor manufaktur dan konstruksi akan tumbuh sebesar 4,4% dan 7,3% pada tahun 2011.

Grafik 1. Perbandingan Konsumsi Baja dengan Produk Domestik Bruto (I) Grafik diatas menunjukan hubungan peningkatan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia dengan peningkatan konsumsi baja nasional. Grafik diatas dihasilkan dengan mengasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia adalah sebesar 5.8% per tahun dan pertumbuhan konsumsi baja rata-rata sebesar 8.2%. Berdasarkan asumsi tersebut didapatkan perkiraan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan mengalami penaikan konsumsi baja sebesar 17,5 juta ton.

Grafik 2. Perbandingan Konsumsi Baja dengan Produk Domestik Bruto (II) Grafik diatas dihasilkan dari asumsi bahwa pada tahun 2005 dengan tingkat konsumsi baja sebesar 26 kg per kapita per tahun, akan mengalami peningkatan pada tahun 2020 menjadi 70 kg per kapita per tahun atau sekitar 6% tiap tahunnya. Dimana nilai Gross Domestic Product diasumsikan naik 7% tiap tahunnya. C. Produksi Baja Nasional Berdasarkan aliran proses dan hubungan antara bahan baku dan produk, maka struktur industri baja dapat dibagi dalam pengelompokan berikut:

Tabel 4. Struktur industri baja

Pada industri hulu, untuk memenuhi kebutuhan baja mentah, diperlukan industri yang memproduksi bijih besi dan besi bekas sebagai bahan baku. Produksi bijih besi di dalam negeri masih sangat rendah. Pada tahun 2008 dari total produksi baja mentah

sebesar 3,915 juta ton baja metah, produksi bijih besi dalam negeri hanya mampu memenuhi 100 ribu ton pertahun. Begitu juga dengan bahan baku dari besi bekas, Indonesia masih mengimpor dari luar negeri sehingga harganya sangat dipengaruhi oleh pasar.

Pada tahun 2010 konsumsi baja dalam negeri mencapai 7.48 juta ton sementara produksi nasional hanya 5.23 juta ton. Produksi baja dalam negeri seperti PT Krakatau Steel Tbk mencapai 2,75 juta ton, dan sisanya disumbang dari perusahaan baja miliki swasta sehingga totalnya 4-5 juta ton.

Tabel 5. Produksi Baja Nasional

Dari sisi permintaan, pasar baja nasional lebih banyak mengkonsumsi baja kasar, hot rolled coils (HRC), Hot Rolled Coils (HRC), besi beton profil ringan, batang kawat baja (Wire Rod). Penggunaan baja nasional selama ini terutama untuk memenuhi kebutuhan industri konstruksi (80,4%), jaringan pipa (7,7%), industri (2,7%), mesin (1,4), otomotif (0,6%), lainnya (7,2%). Sementara untuk crude steel, Indonesia tidak pernah mengekspor crude steel sampai saat ini. Hal ini disebabkan demand domestik yang masih besar sehingga tidak ada sisa barang untuk diekspor. Ini semua disebabkan kurangnya industri yang bergerak dalam pengolahan bahan mentah baja.

Grafik 3. Grafik Permintaan dan Produksi Baja Nasional

Berikut adalah peta persebaran industri baja nasional :

Jika dibandingkan dengan produksi baja dunia Indonesia masih jauh dari negaranegara lain. Produksi baja mentah dunia mencapai 1.283 juta metrik ton untuk tahun 2010. Produksi baja 2010 mengalami peningkatan sebesar 15% dibandingkan dengan tahun 2009 dan merupakan rekor baru untuk produksi baja mentah dunia. Produksi baja

dunia tahun 2011 diproyeksikan mencapai 1.359 juta metrik ton. Saat ini, produsen baja terbesar di dunia masih ditempati oleh China dengan produksi baja sebesar 650 juta ton. Produksi baja mentah di Asia pada 2010 mencapai 897,9 juta metrik ton, meningkat 11,6% dibandingkan dengan 2009. Produksi baja China yang merupakan negara produsen baja terbesar masih mencatat pertumbuhan positif sekitar 9.3%. Bahkan di tahun 2010 sebesar 626,7 juta metrik ton. Volume produksi baja China sudah meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2002 produksi baja negara tersebut baru mencapai 222 juta metrik ton. Dengan tingkat volume produksi sebesar itu saat ini China berhasil menguasai 44,3% pangsa produksi baja global. Produksi baja di Jepang dan Korea Selatan juga mengalami pertumbuhan signifikan pada tahun 2010 dimana Jepang mengalami pertumbuhan 25,2% (109.6 juta metrik ton) dan Korea Selatan 20,3% (58,5 juta metrik ton).

Tabel 6. Negara Produsen Utama Baja (dalam juta metrik ton)

D. Sumber Mineral yang di Proses Bijih besi terbagi menjadi lima tipe yaitu, oksida; hidroksida; karbonat; titanious ferrous; dan sulfit. Indonesia didominasi oleh tipe bijih besi hidroksida yaitu hidrohematit/laterit dan ilmenit/pasir besi. Kekurangan dari bijih besi lateritik atau pasir besi adalah kadar Fe yang rendah sehingga harus diproses aglomerisasi untuk meningkatkan konsentrasi Fe yang terkandung. Oksida Bijih besi tipe ini adalah bijih besi yang paling banyak dicari karena kandungan Fe yang tinggi dan memiliki sifat mekanis yang lebih hebat. Contoh bijih besi yang termasuk kedalam tipe ini adalah hematite (Fe2O3) yang memiliki kandungan Fe 70% serta magnetite (Fe3O4) yang memiliki kandungan Fe 72.4%. Ciri-ciri dari bijih besi ini adalah warnanya yang lebih gelap dan memiliki kekerasan tinggi

Hidroksida Bijih besi yang termasuk kedalam tipe ini adalah hidrohematit/laterit (Fe2O3.nH2O), goethit (Fe2O3.H2O), dan limonit (Fe2O3.3H2O). Kadar Fe pada bijih besi tipe ini berkisar antara 50-55%. Sifat mekanis bijih besi ini lebih lunak dibandingkan tipe oksida. Bijih tipe ini banyak ditemukan di Sulawesi. Bijih besi ini mengandung Nickel yang dapat diolah menjadi ferronickel. Potensi total cadangan besi lateritik dari bijih jenis laterit dapat mencapai lebih dari 1.2 milyar ton.

Karbonat Contoh dari bijih besi tipe ini adalah siderit (FeCO3) dengan kandungan Fe 48.2%. Di Indonesia, siderite banyak ditemukan di daerah pegunungan antara lain di Lampung, Sulawesi Tengah, Pulau Demawan, Pulau Sebuku, dan Pulau Suwung. Bijih besi ini akan dioksidasi menjadi FeO dan gas CO2 Titanious ferrous Contoh dari bijih besi tipe ini adalah ilmenit atau pasir besi (FeO.TiO2) dengan kandungan Fe 36,8%. Kekurangan dari bijih besi ini adalah elemen Ti 5-13% akan menjadi TiO yang kental dan mempengaruhi slag dan metal cair. Pasir besi ini banyak ditemukan di sepanjang pesisir pantai Pulau Jawa. Sulfit Contoh dari bijih besi tipe ini adalah sulfit (FeS2) yang memiliki kandungan Fe 46.7%. Karena rendahnya kandungan Fe pada bijih besi ini maka, pengekstraksian yang digunakan cenderung untuk mengambil kandungan sulfur yang ada.

E. Proses-proses pengolahan besi baja Untuk membuat besi baja terdapat 4 jalur yaitu, Reduksi Langsung; EAF; BOF; dan Smelting Reduction.

Gambar 1. Flowlines Pembuatan Baja Blast Furnace Tanur tinggi memiliki perlengkapan lain yaitu couper yang berfungsi menyediakan angin panas ke bagian bersuhu 1350oC, injection yang berfungsi memberikan udara dan kokas sebagai reduktor, pembersih debu dengan diameter kantong debu 15 meter dan hot blast ring. Didunia cara blast furnace dominan yaitu sekitar 60%. Energi pembakaran yang dibutuhkan untuk blast furnace bergantung kepada reduktor yang diberikan. Kokas memiliki energi pembakaran 7300 J. Hasil dari tanur tinggi adalah hot metal yang jika dibekukan menjadi pig iron. Teknik meningkatkan efisiensi tanur tinggi adalah sebagai berikut: 1. Coal injection 2. O2 enrichment 3. Blast furnace bertekanan

Gambar 2. Kondisi Pengoperasian Blast Furnace Reduksi Langsung Perbedaan proses reduksi langsung dengan tanur tinggi yang paling utama adalah reduktor yang diberikan. Pada reduksi langsung, reduktor yang digunakan adalah batu bara (coal) atau gas bumi. Hasil dari reduksi langsung adalah sponge iron. Selain itu pada proses fluidized bed tidak dibutuhkan proses aglomerisasi sehingga menghemat biaya produksi. Kapasitas produksi dapat diatur sesuai kebutuhan serta emisi CO2 yang dihasilkan lebih sedikit sehingga lebih ramah lingkungan. Energi pembakaran untuk proses reduksi langsung bergantung pada batu bara yaitu sebesar 6000 J. Sponge iron memiliki kerentanan yang tinggi terhadap reoksidasi sehingaa produk reduksi langsung umumnya dilakukan porses briketasi atau penekanan agar rongga berkurang dan memiliki ketahanan oksidasi yang lebih baik. Proses briketasi contohnya adalah EAF yang memproduksi Fe dan oksida.

Gambar 3. Salah satu proses reduksi langsung Proses midrex dapat menghasilkan produk dengan kadar Fe sebesar 92-96% dan kadar karbon yang rendah yaitu 0.7-2%. Selain proses Midrex terdapat proses HYLSA III yang hampir sama hanya beda komposisi gas reduktor yang diberikan. Proses HYLSA III ini sedang banyak digunakan di Indonesia khususnya oleh PT Krakatau Steel yang mengembangkan proses ini dari proses sebelumnya yang tidak efektif yaitu HYLSA I. Electic Arc Furnace Bahan baku proses ini adalah baja karbon, return stainless steel, dan ferro alloy yang memiliki kadar karbon yang tinggi. waktu proses ini berkisar 90-150 menit. Terdapat periode refining yang bertujuan menurunkan kadar C dan membersihkan baja

Basic Oxygen Furnace Fungsi utama BOF adalah menurunkan kadar karbon dengan O2 murni. Terdapat bottom blown oxygen proses yaitu menginjeksi oksigen dari bawah sehingga terjadi stirring hot metal yang tinggi dari gelembungnya serta mencegah over oxidation dari slag sehingga dekarburisasi efektif.

F. Referensi 1. Pengembangan Investasi Industri Logam Dasar Badan Koordinasi Penanaman Modal 2. Media Industri No.02.2008 3. PPT Kuliah Proses Pembuatan Besi Baja oleh Prof. Dr. Ing. Bambang Suharno 4. Phillip Securities Indonesia Research

Anda mungkin juga menyukai