Malam ini Ibnu kembali berada di Musholla Buya Nur. Dia sudah tidak sabar menanti
penjelasan gurunya mengenai manusia dengan empat dimensi. Menurut Ibnu ini adalah merupakan
salah satu tahap dalam perjalanan hidup, yaitu menjadi manusia berdimensi empat. Sementara
menanti kehadiran Buya Nur, Ibnu merenung.
Dari penjelasan Buya sebelumnya, Ibnu sudah mengerti bahwa bagi manusia berdimensi dua
dan bahkan tiga, dunia ini adalah sempit. Yang ada dalam wawasan kepentingan mereka adalah aku
(kami, bila berkelompok), dan kamu (kelian, bila berkelompok). Tingkat kesadaran mereka rendah
sekali.
Ibnu membiarkan imaginasinya berkelana untuk mengidentifikasi siapa siapa mereka ini di
dalam masyarakat. Dia tersenyum manakala bisa menemukan beberapa contoh. Namun kemudian
senyum Ibnu menjadi kecut, tatkala dia menyadari bahwa dirinya pun pada saat‐saat tertentu juga
berdimensi rendah. Pada saat saat tertentu egonya sangat dominan, tanpa menghiraukan
kepentingan pihak lain. Misalnya dalam berkendaraan di jalan raya. Karena diburu waktu untuk
segera sampai di tempat tujuan, Ibnu seringkali tidak mengindahkan keperluan orang lain. Bahkan
kadang‐kadang dia menyerobot jalan yang semestinya menjadi hak pengendara lain. Parahnya lagi,
dia melakukannya tanpa merasa bersalah. “Ya Allah, ampunilah hamba‐Mu yang dhoif ini”,
gumamnya menyadari kesalahan dan kekurangannya.
Rupanya dalam renungannya, Ibnu mendapat secercah pencerahan. Ketika dia menyadari
kesalahan dan kekurangannya, dengan sejujurnya, maka pada saat itu Allah membukakan pintu ke
arah kesadaran yang lebih tinggi. Sehingga dia bukan saja merasa bersalah ketika menyerobot hak
1
orang lain, tetapi lebih dari itu, dia merasa bersalah dikala mendahulukan dirinya dalam mencari
keutamaan untuk dirinya sendiri, tanpa menghiraukan orang lain.
“Ibnu, lagi mikiran apa?” Tiba tiba dia mendengar suara Buya Nur yang sudah hadir di
depannya. Ibnu kaget dan tersipu. Sembari membenarkan duduknya agar lebih khidmat dikala
berhadapan dengan gurunya, Ibnu menjawab, “Nggak ada apa apa Buya. Hanya teringat dengan
orang orang yang berdimensi rendah seperti yang Buya jelaskan. Saya baru saja menyadari bahwa
saya pun masih bersikap seperti mereka.”
“Alhamdulillah”, kata Buya Nur. “Dikala Allah memperlihatkan kepada seseorang kesalahan
dan kekurangannya, maka berarti pada saat itu Dia membukakan pintu taubat dan menunjukkan
jalan untuk peningkatan diri. Seorang hamba seyogyanya segera menangkap peluang ini dengan
segera bertaubat, dan selanjutnya berjuang lebih sungguh‐sungguh untuk meningkatkan kualitas
rohaninya”.
Ibnu merenungkan kalimat gurunya. “Jadi aku harus segera membersihkan diri, dan berjuang
untuk meningkatkan kualitas rohaniku. Aku tidak boleh mensia‐siakan kesempatan ini”, bisik Ibnu
pada dirinya sendiri.
Buya Nur pun diam seolah memberikan kesempatan kepada Ibnu untuk memahami
pelajaran yang baru saja disampaikannya. Dia merasa bahagia diberi amanah untuk membimbing
seorang murid yang cerdas seperti Ibnu. Memang semenjak awal pertemuannya dengan Ibnu, Buya
Nur sudah bisa membaca tanda tanda bahwa Ibnu seorang yang cerdas. Pada waktu bertemu
dengan Ibnu di suatu masjid sehabis shalat Jumat, sekitar dua tahun yang lalu, Buya Nur
memperoleh ilham untuk mengajaknya mampir ke musholla. Ya, firasat Buya Nur adalah firasat
seorang mu’min.
Setelah agak lama sama sama berdiam diri, Ibnu memberanikan diri mulai bicara. “Buya”,
katanya. “Mohon dijelaskan tentang manusia dengan empat dimensi Buya”, pinta Ibnu.
“Baik Ibnu”, jawab Buya. “Agar lebih mudah memahaminya, saya minta kamu mengingat
kembali gambar yang dulu saya berikan kepadamu. Arahkanlah perhatianmu pada gambar mirip
piramida yang berada pada sudut kanan bawah.”
Ibnu mencoba membayangkan kembali gambar yang pernah diterimanya dari Buya. Pada
sudut kanan bawah ada gambar sebagai berikut:
2
* U/R
* Kebaikan
* Ridho Allah
“Nah Ibnu, beginilah kira kira bentuknya mereka yang berdimensi empat. Dalam
kehidupannya. Mereka menyadari ada empat pihak: Aku, Kelian, Mereka, dan DIA. Kalau dilihat dari
arah atas, maka gambarnya seperti yang ada pada pojok kanan atas.”
Ibnu membayangkan kembali gambar yang ada pada pojok kanan atas sebagai berikut:
Mereka
28 : 77
Aku Kelian
”Ibnu, seperti kamu lihat, bagi orang berdimensi empat, ada satu pihak lain disamping tiga
pihak, Aku, Kelian, Mereka. Yaitu . Dengan demikian, dalam berinteraksi dengan sesamanya
dalam kehidupan sehari‐hari, acuan mereka yang berdimensi empat adalah Untung / Rugi, Kebaikan,
dan satu lagi yaitu Ridho Allah. Mereka tidak mau hanya untung sekadar untung, atau kebaikan
sekadar kebaikan. Tetapi semuanya itu harus memperoleh ridho Allah. Bahkan mereka siap untuk
rugi asalkan itu mendatangkan ridho Allah. Bagi mereka kebaikan pun seakan tidak ada makna tanpa
disertai ridho Allah.”
Ibnu berdiam diri. Dia menyimak baik baik penjelasan gurunya. Pelan‐pelan kini mulai
semakin jelas apa yang dimaksud gurunya dengan manusia berdimensi empat. Mereka adalah orang
orang yang dalam berinteraksi dengan sesama selalu menjadikan Allah sebagai acuan utama.
Orientasi mereka adalah ridho Allah.
3
Kemudian Ibnu membuka mushafnya. Dia mencari surat ke 28 ayat 77 seperti yang tertulis
dalam catatan Buya Nur.
Al‐Qashash (28) : 77
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu,
tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang‐orang yang berbuat kerusakan.
Sementara Ibnu membaca ayat tersebut dalam hatinya, Buya Nur berkata : “Ibnu, coba
engkau nyaringkan suaramu membacanya, saya juga ingin mendengarnya.” Maka Ibnu pun
mengulangi membaca ayat itu dengan suara lebih keras agar dapat didengar oleh gurunya.
Sampai pada bagian ayat yang terakhir, suara Ibnu bergetar. Dia teringat betapa banyak
orang yang melakukan kerusakan di bumi, pembalak hutan, pembuat makanan yang mengandung
zat berbahaya, pembuat dan pengedar narkotika, pemalsu obat, pembuat kabar bohong, pelaku adu
domba, pemfitnah, dan lainnya perbuatan negatif, yang berarti melakukan kerusakan di bumi.
Buya Nur mengerti kalau Ibnu tersentuh dengan ayat yang barusan dibacanya. Ya, memang,
siapapun yang membaca ayat tersebut dengan hati yang bening dan ingat kepada Allah, dapat
dipastikan bahwa mereka akan tersentuh. Sentuhan yang akan menghanyutkan pembacanya dalam
arus muhasabah.
Dan itulah yang terjadi pada Ibnu. Qalbunya tersentuh, sehingga suaranya bergetar.
Selanjutnya Ibnu merasa seolah tidak sedang berada di depan Buya Nur. Dia merasa sedang berada
di jalan raya, di pasar, di masjid, dan dilokasi bencana alam yang barusan terjadi, dan entah dimana
lagi. Ya, Ibnu lagi hanyut dalam tafakkur dan tadabbur.
Buya Nur sangat faham apa yang sedang terjadi dengan Ibnu. Dia membiarkan Ibnu
menyelami makna ayat tersebut lebih dalam. Pelan dan tenang, sebagaimana biasanya, Buya Nur
4
bangkit berdiri dan berjalan menuju mihrabnya. Tak lama kemudian Buya Nur sudah tenggalam
dalam munajah yang panjang. Sementara itu Ibnu seolah sedang menjelajah kawasan baru yang
selama ini belum dikunjunginya. Tidak ada yang tahu entah berapa lama kedua orang itu, guru dan
murid, akan tenggelam dengan keasyikannya masing‐masing.‐
Depok, akhir Maret 2009
Syahril Bermawan.