Anda di halaman 1dari 43

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernapasan. Di Amerika kunjungan pasien asma pada pasien berjenis kelamin perempuan di bagian gawat darurat dan askhirnya memerlukan perawatan di rumah sakit dua kali lebih banyak dari pada pasien pria. Data peneilitian menunjukan bahwa 40% dari pasien yang dirawat tadi terjadi selama fase premenstruasi Di Australia, Kanada, dan Spanyol dilaporkan bahwa kunjungan pasien dengan asma akut di bagian gawat darurat berkisar antara 1-12%. Rata-rata biaya tahunan yang dikeluarkan pasien yang mengalami serangan adalah $600, sedangkan yang tidak mengalami serangan biaya sekitar $170. Angka kejadian di Indonesia terhadap penyakit ini cukup banyak. Pengetahuan penyakit ini dan juga risiko komplikasi masih sangat minim bagi warga Indonesia . Masyarakat masih menganggap remeh penyakit penyakit tersebut. Atas dasar inilah penulis menuliskan makalah ini.

1.2 Tujuan
Makalah ini diharapkan dapat membantu pemahaman penulis dan pembaca dalam hal pengertian penyakit yang berhubungan dengan sepsis neonatorum, etiologi, penyimpanganpenyimpangan fisiologi dari tubuh neonatus, diagnosis penyakit, penatalaksanaannya, dan juga hasil prognosis dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk menangani penyakit yang sering dijumpai di negara berkembang termasuk Indonesia. Selain itu, makalah ini mengemukakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menegakan diagnosis penyakit.

Bab II Isi
2.1 Pemeriksaan
Anamnesa Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan. Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien yang profesional dan optimal. Anamnesa tentang keluhan pada thorax terdiri dari sakit pada dada, dyspnea, wheezing, batuk, dan hemoptysis. Pertanyaan pertama harus seluas mungkin. Adakah rasa tidak nyaman pada dada anda? selanjutnya tanyakan juga pada pasien bagian mana yang sakit. Perhatikan gerak tubuh pasien yang menggambarkan adanya rasa sakit. Anda juga harus menanyakan kepada pasien kualitas akit, quantitas rasa sakit, waktu terasa sakit, penyebab yang memicu rasa sakit, adakah faktor yang memperberat atau meringankan rasa sakit, dan penyakit penyerta. Sakit pada dada. keluhan menegenai sakit dada biasanya disebabkan oleh penyait jantung, tetapi juga dapat berasal dari paru-paru. Untuk memastikan penyebabnya, anda harus melakukan investigasi pada kedua aspek, jantung dan paru-paru. Berikut ini adalah sumbersumber peyebab sakit dada : Myocardium. Pada angina pectoris, myocardial infark. Pericardium. Pada pericarditis. Aorta. Pada aneurisma aorta. Trachea dan bronkus. Pada bronchitis. Pleur parietal. Pada pericarditis, pneumonia. Esophagus. Pada reflux esofagitis, spasme esophageal Jaringan paru itu sendiri tidak mempunyai saraf untuk merasa sakit. Rasa sakit yang timbul misalnya pada pneumoni, infark paru biasanya timbul dari inflamasi dari pleura parietal yang berdekatan. Ketegangan otot dari batuk yang lama dan rekuren juga dapat menyebabkan sakit dada. Pericardium juga mempunyai sedikit saraf untuk meraakan sakit.

Dyspnea dan Wheezing. Dyspnea adalah keadaan yang tidak menyakitkan, rasa tidak nyaman dan sadar bahwa kita sedang bernafas tidak normal, biasanya disebut nafas pendek. Tanyakan apakah pasien mengalami kesulitan bernafas. Tanyakan juga kapan gejala muncul, saat beristirahat atau saat sedang beraktifitas, aktifitas seberat apa yang dapat menyebabkan dyspnea. Tanyakan pula apakah dyspnea menggangu gaya hidup pasien, dan bagaimana. Batuk. Batuk adalah symptom umum yang dapat biasa saja, ataupun berbahaya. Batuk adalah reflex terhadap respon stimuli yang mengiritasi receptor di larynx, trakea, atau bronkus. Stimuli ini termasuk mucus, pus, darah, maupun agen dari luar seperti debu, benda asing, atau bahkan udara yang sangat dingin atau panas. Penyebab lainnya adalah inflamasi dari mukosa traktur respiratorius dan tekanan pada jalur nafas misalnya oleh tumor atau pembesaran kelenjar limfe preibronkial. Walaupun batuk biasanya menunnjukkan kelainan di traktus respiratorius, batuk juga bisa disebabkan oleh kelainan cardiovascular, misalnya pada gagal jantung kiri. Durasi dari batuk sangatlah penting: apakah batuknya akut (kurang dari 3 minggu), subakut (3-8 minggu), atau kronik (lebih dari 8 minggu). Infeksi viral pada traktus respiratorius atas merupakan penyebab paling sering dari batuk akut. Batuk postinfeksi, sinusitis bakteri, asma dapat menyebabkan batuk subakut, sedangkan kronik bronchitis, asma, GERD, bronkiektasis dapat mengakibatkan batuk kronik. Tanyakan juga, apakah batuknya kering atau bermukus. Tanyakan pula apa warna sputumnya. Mucoid sputum berwarna putih, atau abu-abu, sedangkan sputum purulen berwarna kuning samapi hijau. Tanyakan pula baud an konsistensi dari sputum. Apabila sputum berbau, biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri anaerob. Jangan lupa menanyakan quantitas dari sputum. Sputum purulen dalam jumlah besar terdapat pada bronkiektasis atau abses paru. Hemoptysis. Hemoptysis adalah batuk darah, yang berasal dari paru. Untuk pasien yang melaporkan batuk darah, tentukan jumlah darah dalam sputum, dan karakteristik dari sputum tersebut. Hemoptysis paling sering dijumpai pada cystic fibrosis, dan jarang pada infant, anak-anak, atau remaja. Sebelum menggunakan istilah hemoptysis, sebaiknya tentukan dulu sumber perdarahan melalui anamnesa atau pemeriksaan fisik. Sumber perdarahan bisa saja dari mulut, faring, atau GI tract. Kadang-kadang, darah yang berasal dari GI tract dapat teraspirasi dan dibatukkan keluar. Darah yang berasal dari GI tract biasanya berwarna lebih gelap dibandingkan darah yang dihasilkan oleh tractus respiratorius, dan biasanya tercampur oleh makanan.

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Thorax Posterior Inspeksi Perhatikan bentuk thorax dan bagaimana pergerakan thorax, termasuk deformitas dan asimetri, retraksi abnormal dari intercostal space pada saat inspirasi, gangguan pergerakan respirasi pada salah satu atau kedua paru atau keterlambatan pergerakan unilateral.1 Deformitas pada thorax dapat berbentuk : Barrel Chest. Terdapat peningkatan diameter anteroposterior. Bentuk ini normal pada masa bayi, dan sering dijumpai pada proses penuaan dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) Pectus Excavatum. Depresi (masuk) pada bagian bawah sternum. Kompresi pada jantung dan pembuluh darah besar dapat mengakibatkan murmur. Pigeon Chest (Pectus Carinatum). Terjadi perpindahan sternum ke anterior, sehingga meningkatkan diameter anteroposterior. Tulang rawan costa yang berdekatan dengan sternum yang menonjol mengalami depresi. Thoracic Kyphoscoliosis. Lekukan vertebra yang abnormal dan rotasi dari vertebra. Pergeseran dari paru-paru di bawahnya dapat mengakibatkan interpretasi dari kelainan paru menjadi sangat susah. Traumatic Flail Chest. Patah tulang iga multiple dapat mengakibatkan pergerakan paradox dari thorax. Penurunan tekanan intrathoracic menurun saat terjadi penurunan diafragma. Pada saat inspirasi area yang sakit melekuk kedalam, sedangkan pada saat ekspirasi area tersebut menggembung ke luar. Palpasi Bersamaan pada saat melakukan palpasi, focus pada area yang lunak dan yang tampak abnormalitas pada kulit di atasnya, pergerakan respirasi, dan fremitus. Misalnya pelunakan intercostals space menunjukkan adanya inflamasi pada pleura.1 Identifikasi daerah yang sakit. Palpasi dilakukan secara hati-hati dimana dilaporkan ada sakit atau dimana tampak lesi atau memar. Menetapkan abnormalitas yang tampak, seperti massa. Tes ekspansi thorax. Letakkan kedua tangan anda pada kurang lebih iga ke-10, meraba dengan jari yang agak longgar dan parallel terhadap lateral dari tulang rusuk. Setelah meletakkan tangan pada posisi di atas, geser kedua tangan kea rah medial sampai terbentuk lipatan kulit antara vertebra dengan jempol anda. Minta pasien
4

untuk menarik nafas dalam. Perhatikan jarak anatra kedua ibu jari anda menjauh seiring dengan inspirasi dan rasakan simetritas tulang rusuk saat meluas dan kontraksi. Rasakan tactile fremitus. Fremitus adalah getaran yang dapat diraba yang disalurkan melalui cabang-cabang bronchopulmonary ke dinding dada pada saat pasien berbicara. Untuk mendeteksi fremitus, mintalah pasien untuk menggulangi kata tujuh puluj tujuh. Gunakan kedua tangan untuk membandingkan fremitus pada kedua sisi paru. Bila fremitus yang terasa kurang jelas, minta pasien untuk mengulangi dengan suara yang lebih kencang. Fremitus berkurang ketika suara terlalu pelan, atau ketika transmisi vibrasi dari larynx ke permukaan dada terhambat. Causanya termasuk obstruksi bronkus, COPD, pleural effusion, fibrosis paru, pneumothorax, atau tumor. Perkusi Perkusi adalah salah satu teknik yang sangat penting dalam pemeriksaan fisik. Perkusi mengakibatkan dinding dada dan jaringan di bawahnya bergerak, menghasilkan suara yang dapat didengar dan b=vibrasi yang dapat diraba. Perkusi sangat membantu dalam menentukan apakah jaringan di bawah terisi oleh udara, air, atau jaringan yang solid. Perkusi dapat menembus 5-7 cm ke dalam dada, tetapi, tidak dapat mendeteksi lesi yang terletak di dalam.1 Perkusi dilakukan secara ladder-like order. Lewatkan area di atas scapula (ketebalan otot dan tulang menganggu bunyi perkusi paru-paru). Identifikasi dan tentukan area dan suara perkusi yang abnormal. Suara redup menggantikan sonor ketika cairan atau jaringan padat menggantikan udara yang mengisi paru-paru atau terdapat efusi pleura. Misalnya pada lobar pneumonia, dimana alveoli diisi oleh cxairan dan sel darah, pleural effusion, hemothorax, empyema (diisi pus), jaringan fibrous, atau tumor. Hipersonor generalisata dapat terdengar pada paru-paru yang terlalu menggembung pada COPD atau asma. Hipersonor unilateral menunjukkan adanya pneumothorax atau bulla besar yang terisi oleh udara. Identifikasi penurunan diafragma. Pertama-tama tentukan batas redup dan sonor pada saat respirasi biasa. Setelah menentukan batas tersebut, sekarang anda dapat menentukan pergeseran diafragma dengan cara menentukan suara pekak pada saat pasien ekspirasi maksimum dan pekak pada saat inspirasi maksimum. Umumnya jarak ini berkisar antara 5-6 cm.

Auskultasi Auskultasi adalah teknik pemeriksaan yang paling penting untuk menetapkan jalan udara melalui cabang-cabang tracheobronchial. Bersama-sama dengan perkusi, auskultasi dapat membantu anda dalam menentukan kondisi di sekitar paru-paru dan rongga pleura. Auskultasi termasuk dalam (1) mendengarkan suara yang dihasilkan dari bernafas, (2) mendengarkan suara-suara tambahan, dan (3) apabila dicurogai terdapat abnormalitas, dengarkan suara yang dikeluarkan oleh pasien saat suara ditransmisikan melalui dinding dada.1 Suara nafas : Vesicular. Suara ini terdengar pada saat inspirasi, dan berlanjut terus, lalu mulai menghilang sekitar 1/3 jalan ketika ekspirasi. Suara vesicular halus dan lemah. Suara vesicular terdengar pada hampir seluruh lapang paru. Bronchovesicular. Suara ini terdengar hampir sama panjang pada saat inspirasi dan ekspirasi. Pada saat-saat tertentu suara ini dapat terputus sejenak. Suara ini biasanya terdengar pada sela iga 1 atau 2. Bronchial. Suara ini terdengar lebih panjang pada ekspirasi. Pada saat selesai inspirasi, terdapat jedah sebentar sebelum terdengar suara lagi saat mulai ekspirasi. Suara bronchial terdengar lebih keras dan tinggi. Apabila suara bronchovesicular atau bronchial terdengar pada posisi yang jauh dari yang disebutkan di atas, curiga bahwa paru-paru telah diisi oleh cairan atau jaringan padat. Dengarkan suara nafas sambil menginstruksikan pasien untuk bernafas dalam melalui mulut. Gunakan pola yang sama seperti perkusi, bergerak dari satu sisi ke sisi yang lain dan membandingkan suara yang terdengar. Apabila anda medengar suara abnormal, auskultasi di area sekitarnya supaya anda dapat secara jelas menggambarkan abnormalitas tersebut.. dengarkan setidaknya satu nafas penuh pada setiap lokasi. Perhatikan intensitas suara nafas. Suara nafas biasanya lebih keras pada bagian bawah paru dan mungkin berbeda dari satu area ke area yang lainnya. Apabila suara nafas tidak jelas, minta pasien untuk menarik nafas lebih dalam. Apabila pasien memiliki dinding dada yang tebal, seperti pada obesitas, suara nafas bisa tetap terdengar kurang jelas. Suara nafas dapat berkurang ketika jalan udara terhambat (seperti pada peyakit paru obstruktif atau kelemahan otot) atau ketika transmisi suara menurun (seperti pada efusi pleura, pneumothorax dan COPD). Suara tambahan :

Wheezes dan ronchi. Wheeze muncul ketika udara secara cepat melewati bronkus yang menyempit hingga hampir tertutup. Suara ini biasanya dapat terdengar pada mulut dan dinding dada. Penyebab wheezing antara lain, asma, bronchitis kronik, COPD, dan gagal jantung. Pada asma, wheezing mungkin hanya terdengar pada saat ekspirasi, atau pada kedua fase pernafasan. Ronchi menunjukkan sekresi pada jalan nafas yang lebih lebar. Pada bronchitis kronik, wheeze dan ronchi sering hilang setelah batuk. Pada keadaan penyakit paru obstruktif yang parah, pasien dapat tidak mampu mengeluarkan udara melalui jalur yang sempit. Hasilnya tidak terdengar suara pernafasan pada pasien, ini membutuhkan perhatian segera. Wheezing persisten local menunjukkan obstruksi partial dari bronkus, misalnya oleh tumor atau benda asing. Suara ini dapat terdengar pada inspirasi, ekspirasi, atau keduanya. Wheezing yang dominan pada saat inspirasi disebut sebagai stridor. Suara ini sering lebih keras pada leher dibandingkan dengan pada dinding dada. Suara ini mengindikasikan obstruksi partial dari larynx atau trakea dan membutuhkan perhatian segera.

Crackles. Crackles mempunyai dua penjelasan. (1) suara ini dihasilkan dari serangkaian letusan-letusan kecil yang dihasilkan ketika jalur nafas sempit, kosong pada saat ekspirasi, mengembang pada saat inspirasi. Mekanisme ini mungkin menjelaskan crackles pada akhir inspirasi akibat penyakit paru interstitial dan gagal jantung kongestif dini. (2) crackles dihasilkan dari gelembung-gelembung udara yang melalui jalur nafas yang sedikit tertutup. Mekanisme ini mungkin menjelaskan setidaknya beberapa crackles kasar. Crackles dibagi 3. (1) Late inspiratory crackles muncul ketika pertengahan inspirasi dan berlanjut sampai akhir inspirasi. Biasanya suara ini baik-baik saja, dan ada dalam setiap nafas. Suara ini pertama muncul pada basis paru dan kemudian meluas ke atas seiring dengan perburukan kondisi, dan dapat bergeser dengan perubahan posisi. Penyebabnya antara lain penyakt paru interstitial (Fibrosis paru), dan gagal jantung kongesti dini. (2) Early inspiratory crackles mucul ketika awal pernafasan dan berhenti segera setelah inspirasi. Suara ini biasanya kasar dan relative sedikit. Crackles ekspirasi juga menyertai kadang-kadang. Penyebabnya antara lain kronik bronchitis dan asma. (3) Midinspiratory dan expiratory crackles dapat

terdengar pada bronchiectasis tetapi tidak spesifikk untuk diagnosis. Wheeze dan ronchi dapat menyertai suara ini. Pada beberapa orang normal, crackles dapat terdengar pada basis paru setelah ekspirasi maksimum. Pleural Rub. Suara ini dihasilkan oleh gesekan antara pleura yang mengalami inflamasi dan menjadi lebih kasar. Pemeriksaan Thorax Anterior Inspeksi Amati bentuk dari dada, dan pergerakan dinding dada. Palpasi Palpasi mempunyai empat kegunaan : Identifkasi daerah yang sakit. Menentukan abnormalitas yang terobservasi. Menentukkan pengembangan dada. Letakkan masing-masing ibu jari pada batas costa, dengan tangan mengikuti alur costa. Gerakan ibu jari kea rah medial membentuk lipatan kulit. Minta pasien untuk inspirasi dalam. Perhatikan seberapa jauh ibu jari bergeser dan rasakan simetritas dari gerakan pernafasan. Perkusi Perkusi bagian anterior dan lateral dada, dan bandingkan pada kedua sisi. Jantung umumnya memberikan suara redup pada sela iga 3 sampai 5. Pada wanita, untuk memperjelas perkusi, geser payudara secara perlahan menggunakan tangan kiri, sambil melakukan perkusi dengan tangan kanan. Atau anda dapat meminta pasien menggeser payudaranya sendiri. Tentukan batas paru hepar dengan perpindahan suara dari sonor ke pekak pada linea midclavicula kanan. Bila anda meneruskan perkusi ke bawah, suara perkusi akan berubah menjadi timpani karena dilakuakn perkusi pada daerah abdominal (gastric). Auskultasi Menentukan tactile fremitus. Deformitas atau asimetri Retraksi abnormal. Retraksi supraclavicular biasnya ada. Keterlambatan atau gangguan dari gerakan respirasi.

Dengarkan pada dada anterior dan lateral dan mintalah pasien bernafas melalui mulut, lebih dalam dari biasanya. Bandingkan simetritas kedua sisi, dengan pola yang sama dengan auskultasi. Dengarkan suara nafas dan suara nafas tambahan, dan tentukan. Pemeriksaan Radiologi

Radiography thorax adalah pemetaan awal untuk mengevaluasi symptom asma pada kebanyakan indivdu. Kegunaan dari radiography thorax adalah dalam mengetahui komplikasi atau penyebab alternative lain dari wheezing. Walaupun penebalan bronchial, penggembangan paru yang berlebih, dan atelectasis focal yang mengarah ke asma ada, gambaran radiography thorax dapat normal, yang

mengurangi sensitivitas radiography sebagai alat diagnosis Pemeriksaan Faal Paru

Ada empat volume paru-paru standart dan empat standart kapasitas paru, yang terdiri dari dua atau lebih kombinasi volume paru-paru.2 Tidal Volume, adalah volume udara yang memasuki atau meninggalkan hidung atau mulut per satu kali nafas. Volume ini ditentukan oleh aktivitas dari pusat control respirasi di otak, yang mengatur otot-otot pernafasan, dan kerja paru-paru dan dinding dada. Pada keadaan normal, Tidal volume dari orang dewasa 70 kg adalah 500 ml sekali nafas. Tetapi volume ini dapat bertambah secara drastic, misalnya, pada saat berolahraga.

Residual Volume, adalah volume udara yang tertinggal di paru-paru setelah ekspirasi maksimum. Nilai rata-ratanya adalah 1200 ml, tetapi dapat meningkat drastic pada penyakit tertentu seperti emfisema. Volume residual penting karena volume ini yang mempertahankan paru-paru dari kolaps pada saat volume paru-paru sangat rendah. Volume residual tidak dapat diukur dengan spirometer, karena volume ini tidak keluar masuk paru. Namun, volume ini dapat diukur secara tidak langsung melalui teknik dilusi gas berupa penghirupan (inspirasi) gas pelacak (tracer gas) yang tidak berbahaya dalam jumlah tertentu, misalnya, helium.3 Volume cadangan inspirasi, adalah volume tambahan yang dapat secara maksimal dihirup melebihi tidal volume istirahat. Volume ini dihasilkan oleh kontraksi maksimum diafragma, otot intercostals eksternal, dan otot inspirasi tambahan. Nilai rata-ratanya adalah 3000 ml. Volume cadangan ekspirasi. Volume tambahan udara yang dapat secara aktif dikeluarkan oleh kontraksi maksimum melebihi udara yang dikeluarkan secara pasif pada akhir tidal volume. Nilai rata-ratanya adalah 1000 ml. Kapasitas inspirasi. Volume maksimum udara yang dapat dihirup pada akhir ekspirasi normal tenang. (KI = VCI + TV). Nilai rata-ratanya adalah 3.500 ml. Kapasitas residual fungsional. Volume udara di paru pada akhir ekspirasi pasif normal. (KRF = VCE + VR). Niali rata-ratanya adalah 2.200 ml. Kapasitas Vital. Volume maksimum udara yang dapat dikeluarkan selama satu kali pernafasan setelah inspirasi maksimum. Subyek mula-mula melakukan inspirasi maksimum, kemudian melakukan ekspirasi maksimum (KV = VCI + TV + VCE). KV mencerminkan perubahan volume maksimum yang dapat terjadi di paru. Volume ini jarang dipakai karena kontraksi otot maksimum yang terlibat menimbulkan kelelahan, tetapi bermanfaat untuk menilai kapasitas fungsional paru. Nilai rata-ratanya adalah 4.500 ml. Kapasitas paru total. Volume udara maksimum yang dapat ditampung oleh paru-paru. (KPT = KV + VR). Nilai rata-ratanya adalah 5.700 ml. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV 1). Volume udara yang dapat diekspirasi selama detik pertama ekspirasi pada penentuan KV. Biasanya FEV 1 adalah sekitar 80%; yaitu, dalam keadaan normal 80% udara yang dapat dipaksa keluar dari paru yang mengembang maksimum dapat dikeluarkan dalam 1 detik pertama. Pengukuran ini memberikan indikasi laju aliran udara maksimum yang dapat terjadi di paru. Spirometri Perubahan-perubahan volume yang terjadi selama bernafas dapat diukur dengan menggunakan spirometer. Pada dasarnya, spirometer terdiri dari sebuah tong yang berisi
10

udara yang mengapung dalam wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menambahkan udara ke dalam tong tersebut melalui selang yang menghubungkan mulut ke wadah udara, tong akan naik dan turun di wadah air. Naik turunnya tong tersebut dapat dicatat sebagai spirogram, yang dikalibrasikan ke perubahan volume. Pena mencatat inspirasi sebagai defleksi ke atas dan ekspirasi sebagai defleksi ke bawah. VR, KRF, dan KPT tidak dapat diukur dengan menggunakan spirometri karena pasien tidak dapat mengeluarkan semua gas yang ada di paru-paru. Nitrogen-Washout technique Pada teknik nitrogem-wahout, pasien dibiarkan bernafas dengan oksigen murni melalui selang satu arah dan udara yang diekspirasi dikumpulkan. Konsentrasi nitrogen dari udara yang diekspirasi dimonitor menggunakan nitrogen analyzer sampai mencapai 0. Pada keadaan ini nitrogen telah dikeluarkan dari seluruh paru. Kemudian total seluruh gas yang diekspirasi oleh pasien dihitung. Di dalam udara yang diekspirasi, kandungan nitrogen adalah 80% (udara bebas mengandung 80% nitrogen). Dengan mengetahui kadar nitrogen, maka kita dapat menentukan volume udara pada paru dengan cara mengalikan volume udara yang diekspirasi tadi dengan 1,25. Apabila tes dimulai pada akhir ekspirasi biasa, maka volume yang didaptkan adalah volume kapasitas residual. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Hitung Leukosit Pemeriksaan terhadap keadaan leukosit dilakukan dengan melakukan hitung jenis leukosit. Pemeriksaan ini dilakukan pada bagian sediaan yang cukup tipis dengan penyebaran leukosit yang merata, pemeriksaan dimulai dari pinggir atas sediaan dan berpindah ke arah pinggir bawah dengan menggunakan mikromanipulator mikroskop. Setelah mencapaipinggir bawah sediaan, geserlah lapang pandang ke arah klanan, kemudian ke arah pinggir atas lagi dan seterusnya sampai 100 sel leukosit terhitung menurut jenisnya. Selain melakukan hitung jenis leukosit, perlu xicata pula kelainan morfologi yang mungkin dijumpai pada inti dan atau sitoplasma leukosit.4 Jenis leukosit Basofil Eosinofil Batang Segmen % 0-1 1-3 1-5 50-70 /uL 0-100 50-300 50-500 2500-7000

11

Limfosit Monosit

20-40 1-6

1000-4000 50-600

Hasil pemeriksaan hitung jenis leukosit terhadap 100 sel hanya bermakna bila jumlah leukosit dalam keadaan normal yaitu antar 5000-10000/uL darah. Pada keadaan dimana jumlah leukosit meningkat (leukositosis) hitung jenis leukosit dilakukan terhadap lebih dari 100 sel. Hitung jenis sel dilakukan terhadfap 200 sel bila jumlah leukosit antara 10.00020.000/uL, terhadap 300 sel bila jumlah leukosit antara 20.000-20.000/uL dan terhadap 400 sel bila jumlah leukosit lebih dari 50.000/uL. Adanya eritrosit berinti dilaporkan per 100 leukosit dan tidak diikut sertakan dalam hitung jenis. Bila ditemukan eritrosit berinti lebih dari 10/100 leukosit, perlu dilakukan koreksi atas pemeriksaan hitung leukosit. Contoh : hasil pemeriksaan hitung leukosit 125.000/uL. Pada sediaan hapus darah tepi dijumpai 25 eritrosit berinti/ 100 leukosit. Maka jumlah leukosit sebenarnya adalah (100/125) X 125.000 = 100.000/uL. Keadaan trombosit. Dengan opemeriksaan sediaan hapud darah tepi dapat diperkirakan jumlah trombosit. Dalam keadaan normal terdapat 4-8 trombosit/ 100 eritrosit. Selain itu perlu diperhatikan pula ada tidaknya kelainan mofologi trombosit seperti giant trombosit atau atypical trombosit.

2.2 Epidemiologi
Terdapat kesulitan dalam mengetahui sebab dan cara mengontrol asma. Pertama-tama timbul akibat perbedaan perspektif mengenai definisi asma serta metode dan data penelitiannya. Ke dua. diagnosis asma biasanya berdasarkan hasil kuesioner tentang adanya serangan asma dan mengi raja tanpa disertai hasil tes faal paru untuk mengetahui adanya hiperreaksi bronkus (HRB). Ke tiga, untuk penelitian dipakai definisi asma berbedabeda. Woodcock (1994) menyebut asma akut (current asthma) bila telah ada serangan dalam 12 bulan terakhir dan terdapat HRB: asma persisten, bile terus menerus terdapat gejala dan HRB: sedangkan asma episodik bila secara episodik dijumpai gejala asma tanpa adanya HRB pada tes provokasi.Ke empat, angka kejadian dari penelitian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan objek penelitian yaitu faktor lokasi (negara, daerah. kota atau desa), populasi pasien (masyarakat atau sekolah/rumah sakit, rawat inap atau rawat jalan) usia (anak, dewasa) cuaca (kering atau lembab), predisposisi (atopi, pekerjaan), pencetus (infeksi, emosi, suhu, debu dingin, kegiatan fisik), dan tingkat berat serangan asma.5

12

Dilaporkan adanya peningkatan prevalensi asma di seluruh dunia secara umum dan khususnya peningkatan frekuensi perawatan pasien di RS atau kunjungan ke emergensi. Penyebab terjadinya hal ini diduga disebabkan peningkatan kontak dan interaksi alergen di rumah (asap, merokok pasif) dan atmosfir (debu kendaraan). Kondisi sosioekonomis yang rendah menyulitkan pemberian tempi yang haikc". Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 810% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%(4). Prevalensi asma di Jepang dilaporkan meningkat 3 kali dibanding tahun 1960 yaitu dari 1,2% menjadi 3,14%, lebih banyak pada usia muda1. Penelitian prevalensi asma di Australia 1982-1992 yang didasarkan kepada data atopi, mengi dan HRH menunjukkan kenaikan prevalensi asma akut di daerah lembab (Belmont) dari 4,4%(1982) menjadi 11,9% (1992). Singapura dari 3,9% (1976) menjadi 13,7%(1987), di Manila 14,2% menjadi 22.7% (1987). Data dari daerah perifer yang keying adalah sebesar 0,5% dari 215 anak dengan bakat atopi sebesar 20,5%, mengi 2%, HRH 4%. Serangan asma juga semakin berat, terlihat dari meningkatnya angka kejadian asma rawat inap dan angka kematian. Asma juga merubah kualitas hidup penderita dan menjadi sebab peningkatan absen anak sekolah dan kehilangan jam kerja. Biaya asma sebesar F. 7.000 Milyard di Perancis yaitu 1% dari biaya pemeliharaan kesehatan langsung ataupun tidak langsung. meningkat terus. Penelitian di Indonesia tersering menggunakan kuesioner dan jarang dengan pemeriksaan HRB. Hampir semuanya dilakukan di lingkungan khusus misalnya di sekolah atau rumah sakit dan jarang di lingkungan masyarakat. Dilaporkan pasien asma dewasa di RS Hasan Sadikin berobat jalan tahun 1985- 1989 sebanyak 12.1% dari jumlah 1.344 pasien dan 1993 sebanyak 14,2% dari 2.137 pasien. Pada perawatan inap 4,3% pada 1984/ 1985 dan 7,5% pada 19861989. Pasien asma anak dan dewasa di Indonesia diperkirakan sekitar 38%, Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 mengajukan angka sebesar 7,6%. Hasil penelitian asma pada anak sekolah berkisar antara 6,4% dari 4.865 anak (Rosmayudi, Bandung 1993), dan 15,15% dari 1.515 anak (multisenter, Jakarta).

2.3 Etiologi
Asma sangatlah umum, diperkirakan melanda kurang lebih 4-5% populasi di Amerika Serikat. Kejadian yang sama juga dilaporkan di negara-negara yang lain. Asma terjadi di semua umur, tetapi lebih dominan pada usia dewasa muda. Sekitar 1,5% kasus terjadi pada anak sebelum 10thn, dan 3% sisanya terjadi sebelum usia 40thn. Sedangkan prevalensi lakilaki dan perempuan adalah 1:2.6

13

Walaupun prevalensi kejadian asma pada populasi cukup besar, sampai sekarang etiologi asma belum dapat ditetapkan dengan pasti. Faktor yang dapat memicu asma antara lain: allergen, polusi udara, infeksi saluran napas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat, atau ekspresi yang berlebihan. Sebagian besar orang membagi jenis asma menjadi 2 yaitu: alergi dan idiosinkratik.6 Pada sebagian besar penderita asma sering ditemukan riwayat alergi, selain itu

serangan asmanya sering dipicu oleh pemajanan terhadap allergen. Pada pasien yang mempunyai komponen alergi, apabila ditelusuri biasanya sering ditemukan riwayat asma atau alergi pada keluarganya, seperti rhinitis, urtikaria, eczema. Penderita asma ini disebut Asma alergi. Selain itu akan timbul efek kemerahan dan bengkak setelah dilakukan suntikan ekstrak airbone antigen, dengan diikuti peningkatan IgE serum yang berlebihan. Seseorang yang mempunyai predisposisi memproduksi IgE berlebihan disebut mempunyai efek atopik. Sedangkan keadaan tersebut disebut atopy. Namun, ada juga penderita yang tidak atopy, serangan asmanya tidak dipicu oleh allergen, serta tidak memiliki riwayat keluarga alergi. Pada penderita ini disebut Asma idiosinkratik. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas, dan pada permulaannya seperti gejala flu biasa, tetapi bebarapa hari kemudian berkembang menjadi hebat disertai wheezing dan dyspnea.

2.4 Patofisiologi
Salah satu mekanisme dalam diatesis asma adalah hiperiritabilitas nonspesifik dari percabangan tracheobronchial. Pada saat reaktivitas udara yang melalui jalan napas meningkat, akan timbul gejala yang lebih berat dan persisten, dan beberapa terapi dibutuhkan untuk mengontrol pasien. Pada keadaan tertentu, besarnya fluktuasi diurnal pada fungsi paru akan meningkat dan pasien akan terbangun pada malam hari atau pada saat bangun tidur akan mengalami sesak napas.6 Pada orang normal dan juga pada individu yang menderita asma, biasanya reaktivitas jalan napas akan meningkat setelah adanya infeksi virus(pada traktus respiratorius) dan adanya paparan oleh polutan seperti ozone dan Nitrogen dioxide (bukan Sulfur dioxide). Infeksi virus dapat menyebabkan konsekuensi gejala yang lebih nyata, dan respon pada jalan nafas mungkin akan terus meningkat untuk beberapa minggu apabila diperberat oleh infeksi ringan. Tetapi, reaktivitas jalan napas akan meningkat hanya untuk beberapa hari setelah terpapar oleh ozone. Allergen dapat menyebabkan respon pada jalan napas meningkat dalam

14

beberapa menit dan dapat bertahan selama beberapa minggu. Jika dosis paparan antigen cukup tinggi, episode obstruktif akut dapat terjadi tiap hari dalam jangka waktu yang lama, walaupun hanya terpapar sekali saja.

Hipotesis yang paling popler sekarang dalam patogenesis dari asma adalah asma terjadi oleh karena adanya suatu proses inflamasi subakut yang persisten pada jalan napas. Suatu proses inflamasi aktif, dapat ditemukan pada saat dilakukan biopsi endobronchial walaupun dikerjakan pada orang yang menderita asma asimptomatis. Jalan napas dapat mengalami edema dan terdapat infiltrat-infiltrat eosinofil, neutrofil, dan limfosit, dengan atau tanpa peningkatan kolagen pada epitel membran basal. Dapat juga ditemukan hipertrofi kelenjar regional. Yang pasti ditemukan pada pemeriksaan biopsi penderita asma adalah peningkatan densitas kapiler. Kadang-kadang dapat juga ditemukan penggundulan dari epitelepitel.

15

Walaupun penjelasan tentang adanya hubungan antara observasi histologi dengan proses penyakit belum dapat dijelaskan secara matang, diyakini bahwa fisiologi dan manifestasi klinik dari asma merupakan interaksi dari sel-sel inflamasi lokal, sel-sel infiltrat pada permukaan epitelium, mediator inflamasi, dan sitokin. Nsel-sel yang berperan penting dalam proses inflamasi pada asma adalah sel mast, eosinofil, limfosit, dan sel epitelial. Setiap sel-sel tersebut dapat mengeluarkan mediator-mediator kimiawi dan sitokin-sitokin untuk menginisiasi dan menguatkan proses inflamasi akut dan perubahan-perubahan patologis pada penyakit asma. Mediator-mediator kimiawi yang dapat dilepaskan antara lain adalah histamin, bradikinin, leukotrien C,D, dan E, Platelet Activating Factor, dan prostaglandin E2, F2, dan D2-yang akan menginduksi inflamasi secara kuat, mempercepat proses reaksi inflamasi termasuk bronkokonstriksi, kongesti vascular,dan edema. Selain mediator-mediator kimiawi dapat menyebabkan kontraksi otot polos pada jalan napas dan edema mukosa, leukotrien juga dapat meningkatkan produksi mukus dan menyebabkan gangguan fungsi silia. Faktor-faktor kemotaksis (Eosinophil and Neutrophil Chemotactic Factors of Anaphylaxis and Leuoktrien B4) akan menarik eosinofil, platelet, dan polimorfonuklear leukosit ke tempat peradangan. Sel-sel infiltrat, seperti makrofag dan sel epitelium secara potensial akan menigkatkan fase cepat dan fase seluler. Pada proses selanjutnya, sel epitelium akan memperkuat bronkokonstriksi dengan mengelaborasikan endothelin-1 dan faktor

vasodilatasi(Nitrit oxcide, PGE2, dan 15-hydroxyeicosatetraenoic acid. Selain itu, sel-sel tersebut akan melepaskan sitokin seperti Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor(GM-CSF), interleukin(IL-8), rantes, dan eotaxin.7 Seperti sel mast pada reaksi awal, eosinofil juga akan berperan pada komponen inflitrat. Granula-granula pada eosinofil(major basic protein dan eosinophilic cationic protein) dan radikal bebas akan menghancurkan epitel-epitel pada jalan napas, dimana kemudian epitel-epitel tersebut akan masuk ke lumen bronkus dan membentuk Creola Bodies. Dengan hancurnya epitel-epitel pada jalan napas, penghancuran tersebut akan menginduksi lebih banyak sitokin yang akan memperburuk inflamasi. Limfosit T juga berperan penting dalam proses inflamasi. Jumlah limfosit T akan meningkat pada pasien asma dan akan membantu produksi sitokin yang akan mengaktivkan Cell-medicated immunity, dan juga humoral imune response (IgE). Proses inflamasi pada asma, sebenarnya dimulai dengan adanya sensitisasi oleh allergen. Sel dendrit, yang merupakan Antigen Presenting Cell, akan migrasi ke nodul limfatikus regional dimana kemudian antigen akan dikenali oleh Limfosit T dan B sebagai benda asing. Limfosit B kemudian akan diinduksi untuk memproduksi IgE. Penginduksian ini
16

melibatkan IL-4 dan IL-13 yang dihasilkan oleh Limfosit T setelah mengenali antigen tersebut. IgE kemudian akan berikatan dengan reseptornya di sel mast. Pada saat terjadi paparan lagi, IgE akan mengikat allergen dan akan mengaktivasi sel mast. Pengaktivasian sel mast akan diikuti dengan pelepasan histamin, leukotrien, dan sitokin yang akan berperan dalam mediasi timbulnya efek pada asma dan terjadinya inflamasi. Di antara sitokin-sitokin, GM-CSF, IL-4, dan IL-5 akan menarik eosinofil ke paruparu, meningkatkan survival time, dan menstimulasi produksi mediator-mediator kimiawi lain seperti Major Basic Protein (MPB) yang dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa bronkus, bronkospasm, dan terjadinya status proinflamasi. CD4+ dapat dibedakan menjadi Th1, dimana akan memproduksi IL-2 dan IFN untuk berpartisipasi pada cell mediated immunitu, dan Th2 yang memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13, dan menyebabkan inflamasi langusng.

Aspek Genetika
Walaupun ada sedikit keraguan bahwa asma memiliki komponen keluarga yang kuat, identifikasi mekanisme genetik yang mendasari penyakit telah terbukti sulit untuk beberapa alasan, termasuk masalah mendasar seeperti kurangnya perjanjjian dalam definisi penyakit, ketidakmampuan untuk mendefinisikan fenotipe tunggal, Non-Mendelian herediter, dan pemahaman yang tidak lengkap tentang bagaimana faktor lingkungan mengubah ekspresi genetik. Skrining keluarga untuk gen kandidat telah mengidentifikasi beberapa daerah kromosong yang berhubungan dengan atopy, peningkatan kadar IgE, dan hiperrespon dari jalan napas. Bukti keterkaitan genetik dalam peningkatan tingkat IgE total serum dan Atopy telah diamati pada kromosom 5q,, 11q dan 12q di sejumlah populasi tersebar di seluruh dunia.

Faktor-faktor penginduksi Asma


Rangsangan yang memicu episode asma akut dapat dikelompokkan menjadi tujuh kategori utama: allergenik, farmakologi, lingkungan, pekerjaan, olahraga, dan emosional. 1. Allergen Asma yang disebabkan oleh alergi tergantung pada respon IgE yang dikendalikan oleh Limfosit T dan B, dan diaktifkan oleh interaksi antigen dengan molekul IgE yang sebelumnya terlat terikat dengan sel mast. Epitel saluran napas dan submukosa mengandung sel dendritik yang berfungsi menangkap antigen dan memproses antigen. Setelah mengikat antigen, sel-sel ini bermigrasi ke kelenjar getah bening lokal di mana mereka memperkenalkan antigen ke reseptor sel T. Dalam pengaturan genetik normal, interaksi antigen dengan sel THO, dengan
17

adanya IL-4, akan menyebabkan diferensiasi menjadi subset Th2. Proses ini tidak hanya membantu memfasilitasi peradangan asma tetapi juga menyebabkan limfosit B untuk beralih dari produksi antibodi IgG dan IgM menjadi IgE Setelah disintesis dan dilepaskan oleh sel B, IgE beredar dalam darah sampai menempel pada reseptor sel mast dengan afinitas tinggi dan afinitas rendah untuk reseptor basophil. Sebagian besar alergen yang memicu asma berada di udara, dan untuk menginduksi sensitivitas, alergen harus cukup banyak untuk waktu yang cukup lama. Setelah sensitisasi terjadi, pasien dapat menunjukkan responsivitas tinggi, sehingga dalam jumlah sedikit pun dapat menghasilkan eksaserbasi yang signifikan. Mekanisme dimana penyebab alergi yang berasal dari udara, yang memprovokasi episode akut asma sebagian bergantung pada interaksi antara antigen-antibody pada permukaan sel mast paru dan pelepasan mediator hipersensitivitas cepat. Hipotesis saat ini berpendapat bahwa partikel antigen yang sangat kecil dapat menembus pertahanan paru-paru dan bersentuhan dengan sel mast yang menyatu dengan epitel di permukaan luminal dari saluran udara pusat. 2. Stimulus Farmakologi Obat yang paling berhubungan dengan induksi episode asma akut adalah aspirin, pewarna buatan seperti Tartrazine, -adrenergic antagonist, dan agen sulfur. Sangatlah penting untuk menyadari secara cepat dan cermat asma yang diinduksi oleh obat, karena tingkat morbiditas yang tinggi. Selanjutnya, kematian kadang-kadang diikuti pada saat setelah menelan aspirin (atau agen anti-inflamasi nonsteroid) atau antagonis -adrenergik. Sindrom pernafasan speisifik karena sensitif terhadap aspirin terutama menyerang pada orang dewasa, meskin mungkin terjadi pada anak-anak. Masalah ini biasanya dimulai oelh rinitis vasomotor yang kronik lalu diikuti oleh rinosinusitis hiperplastik dengan poli nasal, kemudian baru terjadi asma progresif. Paparan aspirin sekalipun dalam jumlah yang sangat kecil, kongesti hidung dan mata yang akut dapat terjadi pada individu yang rentan, sering diikuti oleh episode obstruksi saluran napas yang berat. Prevalensi terhadap sensitisasi oleh aspirin sangat bervariasi. Diyakinin terdapat hubungan reaksi silang yang kuat antara aspirin dengan NSAID dalam menghambat prostaglandin G/H synthase 1 (COX-1). Indomethacin, fenoprofen, naproxen, zomepirac sodium, ibuprofen, asam mefenamat, dan fenilbutazon juga mempunyai peran penting pada penyakit asma. Sedangkan asetaminofen, sodium salisilat, kolin salisilat, salisilamid, dan propoksifen dapat ditoleransi dengan baik.

18

Pasien yang sensitif dengan aspirin dapat ditanggulangi dengan administrasi obat yang baik setiap hari. 3. Lingkungan dan Polusi Udara Pengaruh lingkungan dalam menyebabkan serangan asma, biasanya berhubungan dengan kondisi iklim dimana akan memengaruhi polusi atmosfer dan antigen. Kondisi seperti ini, condong terjadi pada daerah perindustrian dan populasi penduduk yang tinggi dan berhubungan dengan inversi termal atau keadaan lain yang menimbulkan massa udara yang stagnan. Pada keadaan seperti ini, walaupun secara umum dapat menyebabkan gejala-gejala umum, pasien dengan asma dan penyakit respirasi lainnya dapat mengalami efek yang lebih berat. Polusi udara yang dapat memberikan efek antara lain adalah ozone, nitrogen dioksida, dan sulfur dioksida. Apabila pasien mengalami ventilasi udara yang tinggi terhadap gas-gas tersebut, maka efek yang ditimbulkan akan lebih berat. Pada kondisi seperti ini, pemberian profilaksis obat antiinflamasi sebelum masuknya iklim tersebut, dapat membantu memperbiki dan mencegah efek-efek yang ditimbulkan. 4. Pekerjaan Occupational-related Asthma atau asma yang disebabkan oleh pekerjaan merupakan masalah kesehatan yang serius, dan prevalensi terjadinya obstruksi saluran napas akut dan bawah dilaporkan sangat dipengaruhi oleh proses-proses pada beberapa industri. Secara umum, agen penyebab dapat dikaslifikasikan menjadi High-Molecular-Weight Compounds, yang dapat menginduksi asma melalui mekanisme imunologi dan Low-Molecular-Weight Agents yang dapat merangsang pelepasan faktor bronkokonstriksi. High-Molecular-Weight Compounds meliputi debu kayu dan tumbuhan(gandum, oak, kacang, biji kopi, mako, karay, dan tragacanth), agen yang berkenaan dengan farmasi (antibiotik, piperazine, dan cimetidine), enzyme biologi(deterjen, enzim pankrease, dan enzim B.subtilis), dan debu binatang atau serangga, serum, dan hasil sekresi. Low-Molecular-Weight Agents meliputi garam-garam metal (platinum, chrome, vanadium, dan nikel) dan kimiawi industri dan plastik(toluene diisocyanate, phthalic acid anhydride, trimetllitic anhydride, persulfates, ethylenedyamine, pphenylenediamine, western red cedar, azidrocarbonamide, dll). Formaldehide dan urea formaldehide termasuk juga dalam grup ini. Sangatlah penting untuk mengetahui bahan kimia apa yang digunakan oleh pasien sebelum terjadi serangan, misalnya seperti bahan cat, plastik dan bahan-bahan yang digunakan pada saat kerja. 5. Infeksi Infeksi respiratorius merupakan rangsangan yang paling umum dalam menimbulkan eksaserbasi akut pada asma. Virus merupakan faktor etiologi yang paling banyak. Pada anak
19

kecil, agen infeksius yang paling penting adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan parainfluenza virus. Pada anak yang lebih tua dan dewasa, rhinovirus dan influenza virus merupakan patogen yang predominan pada dewasa. Kolonisasi sederhana pada percabangan trakeobronkial cukup untuk menimbulkan episode akut dari bronkospasme, dan serangan asma hanya terjadi ketika gejala-gejala dari infeksi traktus respiratoris sedang atau telah terjadi. Infeksi virus dapat secara aktif dan kronik melabilkan keadaan asma, dan mungkin merupakan stimuli satu-satunya yang dapat memproduksi gejala yang konstan untuk beberapa minggu. Mekanisme dimana infeksi dapat menyebabkan eksaserbasi asma aku mungkin berhubungan dengan produksi sel T, dimana menghasilkan sitokin yang merupakan mediator utama dalam inflamasi sel. 6. Olahraga Olahraga merupakan perangsang yang umum yang menyebabkan episode asma akut. Stimulus ini membedakan dari provokasi alami yang lain, seperti antigen, infeksi virus, dan polusi udara., dalam hal apapun tidak menimbulkan gejala sisa jangka panjang, juga tidak meningkatkan reaktivitas saluran napas. Biasanya serangan mengikuti pada saat terjadi pengerahan tenaga. Variabel penting yang menentukan tingkat keparahan dari obstruksi saluran napas adalah tingkat pencapaian ventilasi dan suhu dan kelembaban udara inspirasi. Ventilasi semakin tinggi dan semakin rendah kadar panasnya udara, semakin besar respon yang dihasilkan. Untuk kondisi udara yang sama terinspirasi, berlari menghasilkan serangan asma yang lebih parah daripada berjalan karena ventilasi yang lebih besar. Sebalknya, untuk suatu tugas tertentu, menghirup udara dingin nyata meningkatkan respons, sedangkan udara hangat, udara lembab tidak meningkatkan respons. Akibatnya, kegiatan seperti hoki es dan ice skating lebih provokatif daripada yang berenang di kolam renang, dalam ruangan dengan penghangat. Mekanisme ini, dimana latihan menghasilkan obstruksi mungkin berhubungan dengan hiperemia termal yang dihasilkan dan kebocoran kapiler di dinding saluran napas. 7. Stres Emosional Faktor-faktor psikologis dapat memperburuk atau memperbaiki asma. Perubahan saluran napas kaliber tampaknya dimediasi melalui modifikasi kegiatan eferen vagal, tapi endorphin juga mungkin memainkan peran. Sejauh mana faktor psikologis berpartisipasi dalam induksi dan / atau kelanjutan dari setiap eksaserbasi akut, faktor-faktor tersebut mungkin bervariasi dari pasien ke pasien dan di pasien yang sama dari episode ke episode.

20

2.5 Patologi

Kelainan anatomik pada asma menyangkut semua lapisan dinding saluran nafas, termasuk lumen, mukosa, submukosa dan otot polos.8 1. Lumen. Sering ditemukan adanya sumbatan mukus yang kental dan liat, yang sulit untuk dikeluarkan, yang terdiri dari bagian mukus, serus dan seluler. Bagian seluler berasal dari sel eosinofil, kristal Charcot-Leyden yang berasal dari sel eosinofil dan epitel bronkus yang disebut "creola bodies". 2. Mukus. Mukus trakeobronkial terdiri dari golongan glikoprotein. Pada penderita asma terjadi peninggian sintesis dari mukopolisakaride. Mekanisme mukosilier pada asma terganggu karena ada kelambatan pada tranpor mukosilier. Mukus penderita asma mengandung lebih banyak protein serum. Hal hal tersebut merupakan sebab utama dari perubahan sifat fisik yang menimbulkan kelambatan "clearance". Zat-zat kolinergik meninggikan produksi mukus dari kelenjar sub-mukosa, merangsang frekuensi "ciliary beat" dan membantu transpormukosilier. Zat-zat adrenergik Beta juga menstimulir transpor pada penderita asma, tapi bagaimana mekanismenya dalam meninggikan "Clearance" belum diketahui. 3. Epitel bronkus. Pada status asmatikus tidak ditemukan adanya silia, karena terlepas oleh desakan sel ke lumen dan diganti dengan sel goblet hiperplastik yang membentuk mukus. Juga terjadi infiltrasi sel, terutama eosinofil dan edem mukosa. Mungkin epitel orang atopik lebih permeabel terhadap molekul protein dari pada orang normal. 4. Submukosa. Edem dan infiltrasi sel lebih sering dijumpai pada sub mukosa dibandingkan dengan epitel, di sini selselnya lebih heterogen, seperti limfosit, histiosit, sel plasma dan eosinofil. Kelenjar submukosa membesar, seperti juga halnya pada bronkitis kronis dan penebalan membran basal adalah khas untuk asma. Hal ini disebabkan karena timbunan kolagen di bawah membran basal. Callerame dkk menemukan deposit IgA, IgG dan IgM dimembran basal. IgE hanya ditemukan dalam sel mononuklir yang disangka sel plasma. Gerber dkk menemukan deposit IgE di epitel mukosa orang asma dan diduga bahwa mukosa adalah jaringan target dan tempat terjadinya reaksi imun pada asma. Harus pula dipikirkan, bahwa adanya Ig dalam paru dapat disebabkan sebagai akibat infeksi. Mastosit hampir tidak ditemukan pada status
21

asmatikus, yang kemungkinan besar disebabkan karena degranulasi. Degranulasi dapat pula disebabkan karena hipoksia dan edem submukosa yang mengencerkan mastosit. Mastosit yang ada di lumen dan epitel dapat mengeluarkan bahan mediator yang merubah permeabilitas mukosa sehingga memungkinkan masuknya antigen sampai mastosit di submukosa. 5. Otot polos bronkus. Ada bukti jelas bahwa pada asma, otot polos bronkus bertambah akibat hiperplasi dan hipertrofi. Hal ini dapat terjadi akibat adanya bronkokonstriksi yang lama. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan adanya perbedaan antara otot polos pada orang asma dan orang normal. Szantivanyi berpendapat bahwa otot polos orang asma mengandung lebih sedikit reseptor adrenergik Beta sehingga akan lebih cepat terjadi bronkokonstriksi karena rangsangan kolinergik atau mediator yang dikeluarkan pada reaksi alergi. Mungkin pula, bahwa IgE merubah faal dari otot polos.

2.6 Diagnosis
2.6.1 Manifestasi Klinik Gejala yg timbul biasa berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejala gejala asma antara lain :6 1. Bising mengi ( wheezing ) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop 2. Batuk produktif, sering pada malam hari 3. Nafas atau dada seperti tertekan dalam bentuk yang paling khas, Asma adalah penyakit episodik, dan ketiga gejala berjalan berdampingan. pada awal serangan, pasien mengalami rasa penyempitan di dada, sering dengan batuk produktif. Ekspirasi menjadi berkepanjangan, dan sering pasien telah tachypnea, tachycardia dan hipertensi sistolik ringan. Paru-paru cepat menjadi overinflated, dan diameter anteroposterior torak meningkat. Jika serangan tersebut parah atau berkepanjangan, mungkin akan ada kehilangan suara napas adventitial, dan mengi menjadi sangat tinggi melengking. Lebih lanjut, otot-otot aksesori menjadi terlihat aktif, dan pulsa paradoks sering berkembang. ini dua tanda yang sangat penting dalam menunjukkan tingkat keparahan obstraction. Di depan baik, fungsi paru cenderung lebih terganggu secara signifikan dibandingkan dengan ketidakhadiran mereka. penting untuk dicatat utamanya pengembangan paradoksal pulsa tergantung pada generasi besar tekanan intrathoracis negatif. demikian, jika pasien bernapas dangkal, ini tanda dan / atau penggunaan otot aksesori bisa

22

tidak ada meskipun halangan cukup parah. tanda-tanda lain dan gejala asma hanya sempurna mencerminkan perubahan fisiologis yang ada. memang, jika hilangnya keluhan subjektif atau bahkan mengi, digunakan sebagai titik akhir di mana terapi untuk serangan akut berakhir, reservoir penyakit residual besar akan hilang. Pada akhir gejala sering ditandai dengan batuk yang menghasilkan lendir tebal dan seperti benang. yang sering mengambil bentuk saluran-saluran udara distal (spiral curschmann) dan, ketika diperiksa mikroskopis, sering menunjukkan eosinofil dan kristal Charcot-Leyden. dalam situasi ekstrim, mengi dapat berkurang tajam atau bahkan hilang, batuk dapat menjadi sangat tidak efektif, dan pasien dapat memulai jenis pola pernafasan terengah-engah. Temuan ini menyiratkan lendir luas plugging dan mati lemas. bantuan ventilasi dengan cara mekanis mungkin diperlukan. atelektasis karena sekresi inspissated accours kadangkala dengan serangan astmatic. spontan pneumotorax dan / atau accour pneumomediastinum tapi jarang. Jarang, pasien dengan asma mungkin mengeluhkan gejala sesekali batuk produktif atau dyspnea exertional. tidak seperti orang lain dengan asma, ketika pasien tersebut diperiksa selama periode gejala, mereka cenderung memiliki suara napas normal tetapi mungkin siut setelah pernafasan dan terpaksa diulang dan / atau dapat menunjukkan gangguan ventilasi ketika di laboratorium. karena tidak ada tanda-tanda kedua, tes bronchoprovocation mungkin diperlukan untuk membuat diagnosis. Gejala bersifat poroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari. Klasifikasi derajat asma
Derajat asma Intermiten mingguan Gejala < 1 minggu Tanpa serangan Serangan singkat Fungsi paru asimtomatik dan normal luar serangan Persisten mingguan ringan >1x/ minggu tapi <1x/ hari Serangan dapat > 2x seminggu VEPI atau APE 80% normal gejala diluar Gejala malam 2x sebulan Fungsi paru VEPI atau APE 80%

menggangu aktifitas dan tidur Persisten sedang harian Gejala harian Sekali seminggu VEPI atau APE 60% tetapi 80% normal Menggunakan obat setiap

23

hari Serangan menggangu

aktifitas dan tidur Serangan 2x/minggu, bisa berhari-hari Persisten berat kontinu Gejala terus menerus sering VEPI atau APE < normal 80% Aktifitas fisik terbatas Sering serangan

Tingkat tingkat asma Berdasarkan tingkat kegawatan asma maka asma dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yakni: a. Asma bronkiale Yakni suatu bronkospasme yang sifatnya reversible denga latar belakang alergik b. Status asmatikus Yakni suatu asma yang sukar disembuhkan dengan obat obat konvensional c. Asmatikus emergency Yakni asma yang dapat menyebabkan kematian Kriteria yang dipergunakan untuk menentukan tingkat kegawatan asma adalag sebagai berikut : Bila asma dengan kegagalan pernafasan (respiratory failure) Bila terdapat komplikasi berupa hipoksia serebri atau gangguan hemodinamik maupun gangguan pada cairan tubuh dan elektrolit. Interval dari beberapa serangan. Makin pendek intervalnya, makin tinggi nilai kegawatannya. Derajat serangan asma. Lebih lama serangannya, makin tinggi nilai kegawatannya. Intensitas. Makin tinggi intensitas serangan yang ditandai dengan makin rendahnya nilai FEV1, makin tinggi nilai kegawatannya. Bila terdapat komplikasi infeksi. Bila asma tidak dapat memberikan respon terhadap obat obat konvensional. Tingkat kegawatan asma dapat menyebabkan keadaan yang fatal dimana dapat ditentukan oleh faktor faktor sebagai berikut : Episode serangan terjadi dalam interval yang pendek Vital capacity kurang dari 1 liter Oksigen yang berkurang di serebral sehingga mengakibatkan penurunan kesadaran
24

Peningkatan CO2 dalam darah dan ditandai pulda dengan terjadinya sianosis Mulai terjadi iskemik otot jantung Terdapatnya komplikasi pneumotoraks dan pneumomediastinum Terjadinya penurunan pH darah.

2.6.2 Diagnosis Kerja Asma didefinisikan sebagai penyakit peradangan kronis saluran udara yang ditandai dengan peningkatan responsivitas tracheobronchial ke multiplisitas dari stimulus. Manisfestasi fisiologis oleh karena adanya penyempitan luas dari saluran pernafasan, yang mana dapat dihilangkan secara spontan atau sebagai akibat dari terapi, dan klinis oleh paroxysms dari dyspnea, batuk dan wheezing.9 Asma adalah penyakit episodik, dengan eksaserbasi akut diselingi dengan periode bebas gejala. biasanya, sebagian besar serangan berumur pendek, menit berlangsung jam, dan klinis pasien tampak begitu sembuh sepenuhnya setelah serangan. Namun, mungkin ada fase di mana pasien mengalami beberapa derajat obstruksi jalan napas sehari-hari. tahap ini dapat ringan, dengan atau tanpa adanya gejala parah, atau jauh lebih serius, dengan obstruksi berat bertahan selama berhari-hari atau berminggu-minggu. kondisi terakhir ini dikenal sebagai status asthmaticus, dalam kondisi yang tidak biasa, gejala akut dapat menyebabkan kematian. Anamnesis yang teliti merupakan bagian terpenting termasuk gambaran dan banyaknya serangan, wizing atau batuk, serta lama, frekuensi, intensitas serangan dan waktuwaktu tanpa serangan. Perlu diketahui sampai mana simtomnya mengganggu aktivitas seharihari, seperti pekerjaan, sekolah, ataupun main-main dan tidur. Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan adanya rinitis alergik, polip, observasi dada, kualitas suara nafas, wizing, ronki, dan ikut bekerjanya otototot pembantu pernapasan. Pada asma yang berat sekali, karena aliran udara yang sangat kecil, sering tidak ditemukan wizing (silent chest). Derajat obstruksi perlu diketahui dan dapat diukur dengan spirometer. Meskipun penderita tidak mempunyai keluhan dan tidak menunjukkan wizing pada pemeriksaan fisik, gangguan obstruksi sering dapat ditemukan. Bila terdapat obstruksi, sedapatnya gangguan faal paru tersebut dicoba untuk dikembalikan ke keadaan senormal mungkin dengan pemberian bronkodilator. Pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan. Eosinofilia dalam darah dan atau sputum ditemukan baik pada asma jenis alergik maupun pada asma yang bukan alergik. Selanjutnya tes kulit perlu dilakukan untuk memperkuat diagnosis dan menentukan rencana pengobatan. IgE biasanya meninggi, dan akan lebih tinggi lagi pada komplikasi aspergilosis bronkopulmoner.

25

Dalam keadaan yang berat, perlu dilihat perbaikan faal paru sebagai hasil pengobatan, dan kalau tidak ada perbaikan perlu dilakukan analisa gas darah. Bila pada pemeriksaan tidak ditemukan wizing, dan diduga ada asma, dapat dilakukan tes provokasi misalnya dengan : tes latihan jasmani tes histamin tes metakolin Diagnosis asma dapat ditegakkan kalau tes tersebut menimbulkan penurunan dalam FEV1 20%. Selanjutnya asma akibat lingkungan kerja makin banyak dikenal. Ada pula sindrom yang terdiri dari polip hidung, asma dan sensitivitas terhadap aspirin dan atau bahan antiinflamasi- nonsteroid. Ternyata cukup banyak dijumpai penderita asma yang menunjukkan penurunan FEV1 sesudah makan aspirin. 2.6.3 Diagnosis Banding 1. Bronkitis Kronik Yang dimaksud dengan bronchitis kronik adalah batuk berulang dan berdahak selama lebih dari 3 bulan setiap tahun dalam periode paling sedikit tahun. Sebab utamanya adalah merokok, berbagai penyakit akibat pekerjaan, polusi udara dan usia tua, terutama pada lakilaki. Hipersekresi dan tanda-tanda adanya penyumbatan saluran napas yang kronik merupakan tanda dari penyakit ini.10 Berdasarkan ada tidaknya penyempitan bronkus maka penyakit ini dapat dibagi menjadi 2, yakni: Yang tidak disertai dengan penyempitan bronkus dimana dasar penyakitnya semata-mata oleh karena hipersekresi dari kelenjar mucus bronkus tanpa atau dengan adanya infeksi bronkus. Yang disertai dengan penyempitan bronkus, batuk, produksi sputum, disertai dengan dispne dan wheezing (mengi). Pada yang kedua ini prognosisnya lebih buruk dari yang pertama. Pada tingkat permulaan hanya cabang-cabang bronkus dengan diameter kurang dari 2 mm saja yang terkena. Pada fase selanjutnya maka cabang bronkus besar juga terkena dan dapat dibuktikan dengan pemeriksaan faal paru dimana terjadi penurunan dari fungsi obstruktif. Berbagai gejala klinis yang didapatkan: Batuk terutama pada pagi hari pada perokok. Sputum kental dan mungkin juga purulen, terutama bila terinfeksi oleh Haemophilus influenza. Pada tingkat permulaan didapatkan adanya dispne yang sesaat.

26

Dispne makin lama makin berat dan sehari penuh, terutama pada musim dimana udara dingin dan berkabut. Selanjutnya sesak napas terjadi bila bergerak sedikit saja dan lamakelamaan dapat terjadi sesak napas yang berat, sekalipun dalam keadaan istirahat.

Pada sebagian pasien sesak justru datangnya pada malam hari, terutama pada pasien yang berusia tua sehingga menyebabkan tidur pasien menjadi terganggu. Keadaan ini sama seperti pada gambaran dekompensasi kordis kiri. Tanda yang paling dominan pada usia lanjut adalah sesak napas pada waktu bekerja ringandan sesak napas ini bersifat progresif.

Pink puffer dan blue blotter. Baik bronchitis maupun emfisema dapat dibagi menjadi pink puffer dan blue blotter. Pada pink puffer, ditandai dengan sesak yang sangat berat dan terdapatnya hiperinflasi paru dan sianosis, sehingga muka pasien terlihat berwarna merah biru (pink) dan bengkak (puffer). Analisis darah, baik PaO2 dan PaCO2 relatif normal. hiperinflasi paru ini dapat menyebabkan terjadinya gejala-gejala dekompensasi jantung kanan, yakni berupa edema dan asites, tekanan vena jugularis yang meningkat dan berdilatasi. Pokoknya pada tipe pink puffer gambaran utamanya adalah kor pulmonale. Berbeda dengan blue blotter yang menjadi masalah utamanya justru hipoksemia dan bila kronik maka didapatkan pula hiperkapnia. Kadar O2 dalam darah menurun, terutama ketika tidur malam dan kadangkadang penurunan kadar O2 darah yang sangat tinggi ini dapat tidak terlihat pada pink puffer. Kenapa terjadi perbedaan pada kedua tipe ini sampai sekarang tidak diketahui.

2. Bronkiektasis Bronkiektasis adalah suatu kelainan yang permanen dimana terjadi dilatasi dari bronkus. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus bagian lobus bawah (lobus inferior), terutama lobus kanan bawah. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena letak anatomis dari lobus ini yang lebih mudah terkena infeksi. Bagian yang lebih banyak mengalami ektasi adalah bronkus subsegmental.10 Bronkus yang terkena dapat fokal, dapat pula difus atau bilateral. Yang fokal pada umumnya terjadi oleh karena terdapatnya pembesaran kelenjar limfe yang menyumbat bronkus atau dapat pula disebabkan oleh karena benda asing. Sedangkan yang difus pada umumnya terjadi bila bronkus mengalami infeksi yang berulang, baik oleh karena aspirasi cairan lambung maupun akibat dari inhalasi gas. Pada bronkus yang rusak adalah otot bronkusnya sehingga bronkus kehilangan fleksibilitasnya. Selain itu pada bronkus dapat pula terjadi luka yang dapat menimbulkan infeksi sehingga menyebabkan fibroblast membentuk jaringan parut di bronkus. Antara

27

bronkus dan parenkim paru dapat pula saling mempengaruhi, artinya infeksi bronkus pada bronkiektasis dapat menyebabkan pneumonia lobaris dan sebaliknya pneumonia lobaris yang berulang dapat pula menyebabkan terjadinya bronkiektasis. Beberapa hal mengenai penyebab dari bronkiektasis yang perlu dipertimbangkan, antara lain: Infeksi yang disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, atau jamur yang berulang. Pada anak-anak dapat menyebabkan terjadinya bronkiektasis pada masa dewasanya. Obstruksi pada bronkus, baik yang disebabkan oleh karena benda asing maupun karena pembesaran kelenjar limfe, dapat menyebabkan terjadinya bronkiektasis lokal. Berbagai kelainan kongenital, baik dari saluran pernapasan, berupa anomali trakeobronkial maupun kelainan pembuluh darah dan limfe, juga dapat menyebabkan terjadinya bronkiektasis. Penyebab bronkiektasis yang lainnya adalah akibat dari penurunan daya tahan tubuh dan berbagai penyakit keturunan, seperti sindroma Kartagener dimana gerakan-gerakan silia menjadi berkurang, bronkiektasis situs inversus, dan fibrosis kista dari pancreas. Beberapa hal yang perlu diketahui pada bronkiektasis adalah bahwa sel silia bukan saja kehilangan fungsinya oleh karena kentalnya mucus, akan tetapi juga sel-sel tersebut pada beberapa keadaan menjadi kehilangan silianya. Kentalnya sputum disebabkan oleh karena banyaknya komponen DNA yang terkandung dan tingginya konsentrasi dari sulfide. Terdapatnya shunt left to the right ataupun oleh karena anastomosis antara arteri bronchial dan arteri pulmonalis dapat menyebabkan terjadinya dekompensasi jantung kiri, disamping dapat memperhebat perdarahan yang ada. Dua tanda utama yang terdapat pada bronkiektasis, yakni batuk pada pagi hari dan sputum yang purulen, adalah merupakan tanda yang karakteristik dan selain itu dapat pula terjadi hemoptisis, pneumonia yang berulang, dan sinusitis yang dapat merupakan keluhan tambahan. Separuh dari pasien dengan bronkiektasis akan mengalami batuk darah. Disamping itu beberapa gejala klinis yang mungkin terdapat bersamaan dengan bronkiektasis adalah clubbing fingers, poliposis, ronki basah yang terdengar keras pada inspirasi dan menghilang pada saat ekspirasi. Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanyakomplikasi lanjut. Cirri khas penyakit ini adalah batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit yang berat,

28

dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan. Bronkiektasis yang mengenail bronkus pada lobus atas sering dan memberikan gejala. Keluhan-keluhan Batuk. Batuk pada bronkiektasis mempunyai cirri antara lain batuk produktifberlangsung kronik dan frekuens mirip seperti pada bronkitis kronik (bronchitic-like symptoms), jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur. Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila ada infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob, akan menimbulkan sputum sangat berbau busuk. Pada kasus yang ringan, pasien dapat tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus yang sudah berat. Misalnya pada saccular type bronchlectesis, sputum jumlahnya banyak sekali, purulen, dan apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah menjadi 3 lapisan: a). Lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mucus, b). Lapisan tengah jernih, terdiri atas saliva (ludah), dan c). Lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak (cellular debris). Hemoptisis. Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi, mulai yang paling ringan sampai perdarahan yang cukup banyak yaitu apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis (daerah berasal dari peredaran darah sistemik). Pada dry bronchiectasis (bronkiektasis kering), hemoptisis justru merupakan gejala satu-satunya, karena bronkiektasis jenis ini letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk, dan kurang menimbulkan refleks batuk, pasien tanpa batuk atau batuknya minimal. Dapat diambil pelajaran, bahwa apabila ditemukan kasus hemoptisis hebat tanpa adanya gejala-gejala batuk sebelumnya atau tanpa kelainan fisis yang jelas hendaknya diingat dry bronchiectasis ini. Hemoptisis pada bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal. Pada tuberculosis paru, bronkiektasis ini merupakan penyebab utama komplikasi hemoptisis. Sesak napas (Dispnea). Pada sebagian besar pasien (50% kasus) ditemukan keluhan sesak napas. Timbul dan beratnya sesak napas tergantung pada seberapa luasnya bronkitis kronik yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi berulang (ISPA), yang biasanya menimbulkan fibrosis paru dan emfisema yang menimbulkan sesak napas tadi. Kadang-kadang ditemukan pula suara
29

wheezing, akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat lokal atau tersebar tergantung pada distribusi kelainannya. Demam berulang. Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam (demam berulang). 3. Emfisema Emfisema kronik adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. Biasanya terdapat bersamaan dengan bronchitis kronik, akan tetapi dapat pula berdiri sendiri. Penyebabnya juga sama dengan bronchitis, antara lain pada perokok. Akan tetapi pada yang herediter, dimana terjadi kekurangan pada globulin alfa antitrypsin yang diikuti dengan fibrosis, maka emfisema muncul pada lobus bawah pada usia muda tanpa harus terdapat bronchitis kronik. Emfisema paru dapat pula terjadi setelah atelektasis atau setelah lobektomi, yang disebut dengan emfisema kompensasi dimana tanpa didahului dengan bronchitis kronik terlebih dahulu. Kebanyakan emfisema terjadi pada daerah distal dari bronkus, terutama pada asma bronchial. Penyempitan bronkus kadangkala menimbulkan perangkap udara (air tapering), dimana udara dapat masuk tetapi tidak dapat keluar, sehingga menimbulkan emfisemayang akut. Frekuensi emfisema lebih banyak pada pria daripada wanita. Yang menjadi pokok utama pada emfisema adalah adanya hiperinflasi dari paru yang bersifat ireversibel dengan konsekuensi rongga toraks berubah menjadi gembung atau barrel chest. Gabungan dari alveoli yang pecah dapat menimbulkan bula yang besar yang kadangkadang memberikan gambaran seperti pneumotoraks. Secara klinis diagnosis emfisema didasarkan atas: Pelebaran yang permanen dari sakus alveolaris. Pelebaran yang reversibel, seperti pada asma, yang disebabkan oleh karena terperangkapnya udara dan dapat kembali menjadi normal tidak digolongkan ke dalam emfisema. Pelebaran dari sakus alveolaris (asinus) dan rusaknya dinding alveoli merupakan gambaran normal pada usia lanjut dan perubahan fisiologi ini bukan merupakan emfisema. Yang terpenting pada emfisema adalah terdapatnya destruksi dari jaringan alveoli. Secara faal menyebabkan paru kehilangan recoilnya dan kehilangan pembuluh darah yang terdapat di unit paru tersebut, sehingga sebagian unit paru ini tidak berfungsi lagi dan diambil alih oleh unit paru lainnya.

30

Berdasarkan efek emfisema pada asinus maka emfisema dapat dibagi menjadi 4 tipe, yakni: Emfisema asinus distal atau emfisema paraseptal. Lesi ini biasanya terjadi di sekitar septum lobules, bronkus, dan pembuluh darah atau di sekitar pleura. Bila terjadi di sekitar pleura maka mudah menimbulkan pneumotoraks pada orang muda. Emfisema sentrilobular disebut juga emfisema asinus proksimal atau emfisela bronkiolus respiratorius. Biasanya terjadi bersama-sama dengan pneumoconiosis atau penyakit-penyakit oleh karena debu lainnya, penyakit ini erat hubungannya dengan perokok, bronchitis kronik, dan infeksi saluran napas distal. Penyakit ini paling sering didapat bersamaan dengan obstruksi kronik dan berbahaya bila terdapat pada bagian atas paru. Emfisema panasinar. Biasanya terjadi pada seluruh asinus. Secara klinis berhubungan erat dengan defisiensi alfa antitrypsin, serta bronkus dan bronkiolus obliterasi. Salah satu bentuknya adalah sindroma Swyer-James atau Mac Leod dimana sebelah paru menjadi hiperlusen dan karenanya disebut dengan unilateral pulmonal hypertransradiansi. Disebut dengan bronkiektasis tanpa atelektasis oleh karena udara terperangkap pada tiap ekspirasi dan diperkirakan terdapat sistem kolateral ventilasi yang mencegah terjadinya atelektasis pad bagian distal dari bronkus yang tersumbat. Emfisema jarang terjadi akan tetapi bila terjadi tipenya adalah tipe panasinar. Emfisema irregular atau emfisema jaringan parut. Biasanya terlokalisir, bentuknya irregular dan tanpa gejala klinis. Salah satu bentuk emfisema yang lain adalah emfisema jaringan parut yang berbentuk irregular. Jaringan parut yang menyebabkan irregular dari emfisema ini berhubungan dengan tuberkulosa, histoplasmosis, dan pneumoconiosis. Begitu pula eosinofilik granuloma dalam bentuk irregular dan limfangileiomiomatosis. 4. TB Paru TB paru adalah penyakit infeksi kronik pada paru-paru yang sering dihubungkan dengan tempat tinggal urban atau lingkungan yang padat. Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, yakni bakteri tahan asam gram, batang gram (-). Dinding kuman ini mengandung lipid yang membuat bakteri ini tahan terhadap asam, lingkungan yang kering, dan kuman ini dapat hidup di dalam makrofag. Kuman ini juga sering mengalami dormant, dan bisa menjadi aktif lagi kapan saja. Sifat kuman ini aerob (suka

31

oksigen), sehingga predileksinya pada apex paru-paru yang mengandung banyak oksigen. Keluhan pasien TB juga bermacam-macam, diantaranya adalah: demam subfebris, batu darah, sesak napas, nyeri dada, malaise. Pada pemeriksaa fisik ditemukan anemia, berat badan turun, demam subfebris, kurus. Gambaran radiologinya ada infiltrate/cavitas pada paru yang awalnya terlihat bercak-bercak opaque. Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pengambilan sputum. Bila ditemukan adanya kuman BTA pasien bisa dikatakan positif TB paru. Lalu untuk uji resistensi obat bisa dilakukan kultur dari bakteri. Pada anak-anak, cara untuk menegakkan diagnosis pernah/sedang terinfeksi kuman tuberculosis bisa dilakukan tes Tuberculin / Matoux. Dan untuk pencegahannya dapat menggunakan vaksin yang diberi nama BCG (Bacillus Calmette Guerin).

2.7 Pentalaksanaan
Penatalaksanaan asma secara garis besar dapat dibagi dua yaitu tindakan pengobatan dan usaha pencegahan. Tindakan pengobatan dilakukan pada keadaan serangan, dapat dilakukan dengan atau tanpa pengobatan. Pencegahan bertujuan agar serangan yang berikut menjadi berkurang atau berkurang sama sekali. Suatu serangan yang ringan kadang-kadang dapat menjadi berat dan berkepanjangan serta membutuhkan penanganan yang khusus. Keadaan ini disebabkan oleh karena penderita asma sering mempunyai pandangan yang salah terhadap penyakitnya. Pandangan yang salah tersebut adalah :11 1. Tidak ada sesak berarti tidak ada serangan 2. Batuk terutama malam hari bila tidak disertai mengi, bukan gejala asma 3. Obat-obatan hanya digunakan bila ada sesak atau bila sesaknya berat 4. Berbahaya bila makan obat terus menerus atau bila terlalu lama 5. Obat asma yang disemprot (inhaler) berbahaya dan digunakan hanya bila perlu sekali. Untuk mengatasi keadaan diatas dan mengusahakan agar pengobatan lebih berhasil, maka perlu kerja sama antara dokter dengan penderita serta keluarganya. Mereka hendaklah diberi tanggung jawab untuk mengontrol penyakit. Tujuan terapi : 1. Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma 2. Mencegah kekambuhan 3. Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya 4. Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk melakukan exercise 5. Menghindari efek samping obat asma

32

6. Mencegah obstruksi jalan napas yang irreversible Obat-obatan :12 1. Bronkodilator Obat ini adalah obat utama yang mengatasi obstruksi saluran napas, tiga golongan bronkodilator adalah xantin, simpatomimetik, dan antikolinergik. Teofilin adalah derivat xantin yang paling kuat efek bronkodilatornya dibandingkan derivat xanthin yang lain, tetapi efek bronkodilatornya lebih lemah dibandingkan dengan inhalasi beta 2 agonis. Teofilin dapat menurunkan bronkospasme karena provokasi beban kerja, juga dapat mengurangi hiperreaktivitas bronkus non spesifik, tetapi kedua efek ini kurang kuat dibandingkan obat inhalasi beta2 agonis. Teofilin juga menghambat degranulasi sel mast dengan akibat mencegah pelepasan mediator yang dapat menimbulkan bronkospasme dan inflamasi saluran napas. Selain itu teofilin meningkatkan kontraktilitas diafragma. Pemakaian teofilin dengan bronkodilator lain bersifat aditif. Efek terapeutik dicapai dengan kadar obat dalam serum antara 10-20 mcg/ml. Dosis toksik menimbulkan gejala-gejala mual, muntah ; gelisah, kejang, dan penurunan kesadaran. Golongan simpatomimetik adalah bronkodilator utama oleh karena mempunyai efek bronkodilatasi yang kuat dan disamping itu juga meningkatkan kecepatan aliran lendir disaluran napas. Obat yang bekerja relatif selektif terhadap reseptor disaluran napas disebut beta2 agonis. Termasuk golongan ini adalah fenoterol, terbutalin, metaproterenol, dan salbutamol. Obat ini paling baik diberikan secara inhalasi oleh karena memberikan efek terapeutik yang cepat dan efek samping seperti tremor dan palpitasi minimal . Obat antikolinergik seperti ipratropium bromid mempunyai efek bronkodilatasi yang lemah dibandingkan beta2agonis dan lebih mempunyai efek pada bronkitis kronik atau PPOM dibandingkan dengan penderita asma, obat ini memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan obat bronkodilator lain. 2. Kortikosteroid Hanya kortikosteroid merupakan obat yang secara langsung mempunyai efek terhadap komponen inflamasi saluran napas. Manfaat anti asma terjadi melalui penekanan inflamasi dan menghambat penglepasan mediator dari sel mast. Obat ini juga meningkatkan kerja obat beta 2 agonis dengan mensitisasi beta2 reseptor. Kortikosteroid sangad efektif untuk mengontrol asma kronik dan obat ini harus diberikan pada asma akut berat, karena akan memberikan efek terapi yang jelas serta menurunkan angka kematian. Selain obat diatas obat lain seperti antibiotik , mukolitik, dan ekspektoran diberikan atas indikasi . Sedangkan pemberian obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan
33

pusat pernapasan. Anti histamin akan mengentalkan sekret, sebaiknya tidak diberikan kecuali bila jelas ada tanda-tanda alergi. Disamping terapi obat-obatan perlu juga diperhatikan nutrisi panderita. Hidrasi harus cepat agar reak menjadi encer. Makanan hendaklah cukup gizi agar daya tahan meningkat, pemberian bronkodilator sering menimbulkan mual, oleh sebab itu makan dalam porsi kecil lebih dianjurkan. Hal lain yang tidak kurang pentingnya adalah menanggulangi penyakitpenyakit yang sering berhubungan dengan asma. Penyakit tersebut adalah rinitis, polip nasal, sinusitis, dan dermatitis atopik. Penanganan yang simultan perlu dipertimbangkan . Pada asma yang ringan diberikan bronkodilator inhalasi sebagai pilihan pertama, bila asma menjadi lebih berat dapat diberikan kombinasi bronkodilator oral. Pada serangan asma akut berat obat-obat diberikan secara sistemik dan penderita perlu dirawat.

Table 1.1. Pengobatan asma jangka panjang berdasarkan berat penyakit


Derajat Asma Asma Persisten Obat pengontrol (Harian) Tidak Perlu Obat Pelaga Bronkodilator aksi singkat, yaitu inhalasi agonis beta 2 bila perlu Intensitas pengobatan tergantung

berat eksaserbasi Inhalasi agonis beta 2 atau kromolin dipakai sebelum aktivitas atau

pajanan alergen Asma Persisten Ringan Inhalasi Kortikosteriod 200-500 Inhalasi agonis beta 2 aksi singkat bila perlu dan tidak melebihi 3-4 kali sehari g/kromolin/nedokromil atau teofilin lepas lambat Bila perlu ditingkatkan sampai 800 g atau ditambahkan bronkodilator aksi lama

terutama untuk mengontrol asma malam. Dapat diberikan agonis beta 2 aksi lama inhalasi atau oral atau teofilin lepas lambat. Asma Persisten Sedang Inhalasi kortikosteroid 800-2.000 g Bronkodilator aksi lama terutama untuk mengontrol asma malam, berupa agonis beta 2 aksi lama inhalasi atau oral atau teofilin lepas lambat Asma Persisten Berat Inhalasi kortikosteroid 800-2.000 g atau lebih Bronkodilator aksi lama, berupa agonis beta Inhalasi agonis beta 2 aksi singkat bila perlu dan tidak melebihi 3-4 sehari

34

2 inhalasi atau oral atau teofilin lepas lambat Kortikosteroid oral jangka panjang

Tabel 1.2 Terapi serangan asma akut


BERATNYA SERANGAN RINGAN Aktivitas hampir normal Bicara penuh Denyut nadi < 100/menit (APE > 60%) dalam kalimat Terbaik : Agonis beta-2 isap (MDI) 2 isap boleh diulangi 1 jam kemudian atau tiap 20 menit dalam 1 jam Alternatif : Agonis beta-2 oral dan atau 3x > -1 tablet (2mg) oral Teofilin 75-150 mg Lama terapi menurut kebutuhan SEDANG Hanya mampu Terbaik : Agonis beta-2 secara nebulisasi 2,5-5 mg, dapat diulangi sampai dengan 3 kali dalam 1 jam pertama dan dapat Puskesmas Klinik rawat jalan Unit gawat darurat Praktek dokter umum Dirawat RS bila tidak respons dalam 2-4 jam Di rumah TERAPI LOKASI

berjalan jarak dekat Bicara dalam kalimat terputus- putus Denyut 120/menit (APE 40 60%) nadi

dilanjutkan setiap 1-4jam kemudian 100- Alternatif : Agonis beta 2 i.m/adrenalin s.k. Teofilin iv 5 mg/kg BB/iv pelan pelan dan Steroid iv/ kortison 100-200 mg,

deksametason 5 mg iv Oksigen 4 liter/menit BERAT Sesak pada istirahat Bicara dalam kataTerbaik : Agonis beta-2 secara nebulisasi dapat diulangi s.d. 3 kali dalam 1 jam pertama Unit gawat darurat Rawat bila tidak respons dalam 2 jam maksimal 3 jam rawat ICU bila

kata terputus Denyut nadi > 120 L/menit (APE < 40% atau 100 L/menit)

selanjutnya dapat diulang setiap 1-4jam Pertimbangkan kemudian Teofilin iv dan infus Steroid iv dapat diulang/8-12 jam Agonist beta-2 sk/iv/6 jam Oksigen 4 liter/menit Pertimbangkan nebulisasi ipratropium bromide 20 tetes ICU

cenderung memburuk progresif

MENGANCAM JIWA

Terbaik :

35

Kesadaran menurun Kelelahan Sianosis Henti napas

Lanjutkan terapi sebelumnya Pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik Pertimbangkan anestesi umum untuk terapi pernapasan intensif. Bila perlu dilakukan (BAL) kurasan bronko alveolar

Yang termasuk obat antiasma adalah : 1. Bronkodilator a. Obat ini mempunyai efek bronkodilator.Terbutalin, salbutamol, dan feneterol memiliki lama kerja 4-6 jam , sedangkan agonis B 2 long acting bekerja lebih dari 12 jam, seperti salmeterol, formoterol, bambuterol, dan lain-lain. Bentuk aerosol dan inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan dosis yang jauh lebih kecil yaitu sepersepuluh dosis oral dan pemberiannya lokal. b. Metilxanthin Teofilin termasuk golongan ini. Efek bronkodilatasi berkaitan dengan

konsentrasinya didalam serum. Efek samping obat ini dapat ditekan dengan pemantauan kadar teofilin serum dalam pengobatan jangka panjang. c. Antikolinergik Golongan ini menurunkan tonus vagus intrinsik dari saluran napas. 2. Anti inflamasi Antiinflamasi menghambat inflamasi jalan napas dan mempunyai efek supresi dan profilaksis. a. Kortikosteroid b. Natrium kromolin (sodium cromoglycate) merupakan antiinflamasi non steroid. Terapi awal, Yaitu : 1. Oksigen 4-6 liter/menit 2. Agonis B2 (salbutamol 5 mg atau feneterol 2,5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20menit sampai 1 jam. Pemberian agonis B2 dapat secara subkutan atau iv dengan dosis salbutamol 0,25 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5% dan diberikan perlahan. 3. Aminofilin bolus iv 5-6 mg/kgBB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.

36

4. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg iv jika tidak ada respons segera atau pasien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat. Respon terhadap terapi awal baik, jika didapatkan keadaan berikut : 1. Respon menetap selama 60 menit setelah pengobatan 2. Pemeriksaan fisik normal 3. Arus puncak respirasi (APE) > 70% , jika respon tidak ada atau tidak baik terhadap terapi awal maka pasien sebaiknya dirawat dirumah sakit. Terapi asma kronik adalah sebagai berikut : 1. Asma ringan: agonis B 2 inhalasi bila perlu atau agonis B2 oral sebelum exercise atau terpapar alergen 2. Asma sedang : anti inflamasi setiap hari dan agonis B2 inhalasi bila perlu 3. Asma berat : Steroid inhalasi setiap hari, teofilin slow release atau agonis B2 long acting, steroid oral selang sehari atau dosis tunggal harian dan agonis B2 inhalasi sesuai kebutuhan.

2.8 Preventif
Semua serangan penyakit asma harus dicegah. Serangan penyakit asma dapat dicegah jika faktor pemicunya diketahui dan bisa dihindari. Serangan yang dipicu oleh olah raga bisa dihindari dengan meminum obat sebelum melakukan olah raga. Ada usaha-usaha pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah datangnya serangan penyakit asma, antara lain : 1. Menjaga kesehatan 2. Menjaga kebersihan lingkungan 3. Menghindarkan faktor pencetus serangan penyakit asma 4. Menggunakan obat-obat antipenyakit asma Setiap penderita harus mencoba untuk melakukan tindakan pencegahan. Tetapi bila gejala-gejala sedang timbul maka diperlukan obat antipenyakit asma untuk

menghilangkan gejala dan selanjutnya dipertahankan agar penderita bebas dari gejala penyakit asma. 1. Menjaga Kesehatan Menjaga kesehatan merupakan usaha yang tidak terpisahkan dari pengobatan penyakit asma. Bila penderita lemah dan kurang gizi, tidak saja mudah terserang penyakit tetapi juga berarti mudah untuk mendapat serangan penyakit asma beserta komplikasinya.

37

Usaha menjaga kesehatan ini antara lain berupa makan makanan yang bernilai gizi baik, minum banyak, istirahat yang cukup, rekreasi dan olahraga yang sesuai. Penderita dianjurkan banyak minum kecuali bila dilarang dokter, karena menderita penyakit lain seperti penyakit jantung atau ginjal yang berat. Banyak minum akan mengencerkan dahak yang ada di saluran pernapasan, sehingga dahak tadi mudah dikeluarkan. Sebaliknya bila penderita kurang minum, dahak akan menjadi sangat kental, liat dan sukar dikeluarkan. Pada serangan penyakit asma berat banyak penderita yang kekurangan cairan. Hal ini disebabkan oleh pengeluaran keringat yang berlebihan, kurang minum dan penguapan cairan yang berlebihan dari saluran napas akibat bernapas cepat dan dalam. 2. Menjaga kebersihan lingkungan Lingkungan dimana penderita hidup sehari-hari sangat mempengaruhi timbulnya serangan penyakit asma. Keadaan rumah misalnya sangat penting diperhatikan. Rumah sebaiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan cahaya matahari.

Saluran pembuangan air harus lancar. Kamar tidur merupakan tempat yang perlu mendapat perhatian khusus. Sebaiknya kamar tidur sesedikit mungkin berisi barangbarang untuk menghindari debu rumah. Hewan peliharaan, asap rokok, semprotan nyamuk, atau semprotan rambut dan lain-lain mencetuskan penyakit asma. Lingkungan pekerjaan juga perlu mendapat perhatian apalagi kalau jelas-jelas ada hubungan antara lingkungan kerja dengan serangan penyakit asmanya. 3. Menghindari Faktor Pencetus Alergen yang tersering menimbulkan penyakit asma adalah tungau debu sehingga caracara menghindari debu rumah harus dipahami. Alergen lain seperti kucing, anjing, burung, perlu mendapat perhatian dan juga perlu diketahui bahwa binatang yang tidak diduga seperti kecoak dan tikus dapat menimbulkan penyakit asma.

Infeksi virus saluran pernapasan sering mencetuskan penyakit asma. Sebaiknya penderita penyakit asma menjauhi orang-orang yang sedang terserang influenza. Juga dianjurkan menghindari tempat-tempat ramai atau penuh sesak. Hindari kelelahan yang berlebihan, kehujanan, penggantian suhu udara yang ekstrim, berlari-lari mengejar kendaraan umum atau olahraga yang melelahkan. Jika akan berolahraga, lakukan latihan pemanasan terlebih dahulu dan dianjurkan memakai obat pencegah serangan penyakit asma.

38

Zat-zat yang merangsang saluran napas seperi asap rokok, asap mobil, uap bensin, uap cat atau uap zat-zat kimia dan udara kotor lainnya harus dihindari.

Perhatikan obat-obatan yang diminum, khususnya obat-obat untuk pengobatan darah tinggi dan jantung (beta-bloker), obat-obat antirematik (aspirin, dan sejenisnya). Zat pewarna (tartrazine) dan zat pengawet makanan (benzoat) juga dapat menimbulkan penyakit asma. 4. Menggunakan obat-obat antipenyakit asma Pada serangan penyakit asma yang ringan apalagi frekuensinya jarang, penderita boleh memakai obat bronkodilator, baik bentuk tablet, kapsul maupun sirup. Tetapi bila ingin agar gejala penyakit asmanya cepat hilang, jelas aerosol lebih baik. Pada serangan yang lebih berat, bila masih mungkin dapat menambah dosis obat, sering lebih baik mengkombinasikan dua atau tiga macam obat. Misalnya mula-mula dengan aerosol atau tablet/sirup simpatomimetik (menghilangkan gejala) kemudian dikombinasi dengan teofilin dan kalau tidak juga menghilang baru ditambahkan kortikosteroid. Pada penyakit asma kronis bila keadaannya sudah terkendali dapat dicoba obat-obat pencegah penyakit asma. Tujuan obat-obat pencegah serangan penyakit asma ialah selain untuk mencegah terjadinya serangan penyakit asma juga diharapkan agar penggunaan obat-obat bronkodilator dan steroid sistemik dapat dikurangi dan bahkan kalau mungkin dihentikan Terapi profilaksis : Obat-obatan pencegahan asma bertujuan mencegah serangan asma, tetapi tidak mempunyai manfaat pada saat timbul serangan . Obat ini dapat mencegah serangan asma karena mempunyai efek menurunkan hiperreaktivitas bronkus dan mencegah penglepasan mediator dari sel mast. 1. Kortikosteroid topikal Kortikosteroid topikal yang diberikan secara inhalasi mempunyai manfaat untuk pencegahan asma. Pemberian bodesonide selama 8 minggu dengan dosis 2x200 mcg memberikan perbaikan yang sangat bermakna pada penderita asma. Obat ini selain menurunkan hiperreaktivitas bronkus, meningkatkan fungsi paru juga dapat mencegah terjadinya serangan karena beban kerja fisik pada penderita exercise induced asthma. Pemberian secara inhalasi dalam waktu lama kadang-kadang dapat menimbulkan efek samping. ES yang timbul dapat berupa perubahan suara dan infeksi jamur dimulut dan saluran napas atas. 2. Kromolin

39

Disodium cromoglycate(DSCG) tidak mempunyai manfaat menghilangkan gejala asma pada waktu serangan. Obat ini bekerja menstabilkan sel mast dan mengurangi penglepasan mediator humoral penyebab bronkokonstriksi. Obat ini terutama digunakan untuk asma kronik yang ringan. Pada anak-anak manfaatnya lebih banyak terlihat dibandingkan pada orang dewasa. 3. Ketotifen. Obat ini tergolong anti histamin, mempunyai efek menghambat penglepasan mediator dari sel mast dan juga sangat kompetitif antagonis dengan histamin. Obat ini terutama mempunyai efek profilaksis pada asma ekstrinsik dan pada anak-anak, efek samping yang timbul adalah mengantuk. Peneliti di RS Persahabatan menunjukkan bahwa ketotifen juga menurunkan hipereaktivitas bronkus yang diprovokasi dengan histamin. OLAHRAGA PADA ASMA Penderita asma hendaklah tidak dilarang melakukan olahraga, oleh karena kegiatan Olahraga mencerminkan aktivitas yang normal disamping itu olahraga juga mempunyai manfaat untuk kesegaran jasmani. Hanya saja perlu dipilih olahraga yang sesuai dengan tingkat dan beratnya penyakit, olahraga yang dianjurkan adalah senam dan berenang, karena akan meningkatkan kualitas otot-otot pernapasan. Kegunaan olahraga pada penderita asma selain meningkatkan efisiensi kerja otot pernapasan dan perbaikan difusi oksigen diparu, tak kalah pentingnya adalah meningkatkan rasa percaya diri penderita.

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada penyakit asma adalah infeksi sekunder. Infeksi sekunder dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dll. Semua jenis infeksi pada paru-paru dapat merupakan komplikasi dari asma. Pneumonia merupakan jenis infeksi sekunder yang terbanyak ditemukan pada penderita asma, terutama pada usia lanjut.13 Emfisema Emfisema ditandai dengan pembesaran permanen rongga udara yang terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut. Terdapat beberapa penyakit dengan pembesaran rongga udara yang tidak disertai destruksi; hal ini lebih tepat disebut overinflation. Emfisema didefinisikan tidak saja berdasarkan sifat anatomik lesi, tetapi juga oleh distribusinya di lobulus dan asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak distal dari

40

bronkiolus terminal dan mencakup bronkiolus respiratorik, duktus alveolaris, dan alveolus. Terdapat tiga jenis emfisema: a. Emfisema sentriasinar (sentrilobular) b. Emfisema panasinar (panlobular) c. Emfisema asinar distal (paraseptal) Gejala pertama dari emfisema biasanya adalah dispnea, gejala ini muncul perlahan, tetapi progresif. Pada pasien yang sudah mengidap bronkitis kronis atau bronkitis asmatik kronis, keluhan awal mungkin adalah batuk dan mengi. Berat badan pasien sering turun dan mungkin cukup banyak seolah-olah pasien mengidap keganasan. Uji fungsi paru memperlihatkan penurunan FEV1 dengan FVC normal atau mendekati normal. Gambaran kalasik pada individu yang tidak memiliki komponen bronkitis adalah dada berbentuk tong dan dispnea, dengan ekspirasi yang jelas memanjang, dan pasien duduk maju dalam posisi membungkuk ke depan, berupaya memeras udara keluar dari paru setiap kali ekspirasi. Pada para pasien ini, ruang udara sangat membesar dan kapasitas difusi rendah. Dispnea dan hiperventilasi tampak jelas sehingga sampai pada stadium lanjut penyakit pertukaran gas masih adekuat dan nilai gas darah relatif normal. Karena dispnea menonjol sementara oksigenasi hemoglobbin adekuat, para pasien kadang-kadang disebut pink puffer. Kor Pulmonale Menahun Kor pulmonale adalah penyakit rongga jantung kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah paru atau parenkim paru. Yang tidak termasuk dalam definisi ini adalah kasus hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh gagal ventrikel kiri atau penyakit primer lain di sisi kiri jantung serta hipertensi pulomnal yang disebabkan oleh penyakit jantung kongenital. Penyakit dapat bersifat aku dan kronis.14 Kor pulmonale kronis dapat disebabkan oleh: 1. Penyakit paru: penyakit paru obstruktif kronis, fibrosisi interstitium paru difus, atelektasis luas persisten, dan fibrosis kistik. 2. Penyakit pembuluh darah paru: embolisme paru, skelrosis primer pembuluh paru, arteritis pulmonalis ekstensif 3. Penyakit yang memengaruhi gerakan dada: kifokoliosos, kegemukan berat (pickwickian syndrome), dan penyakit neuromuskulus 4. Gangguan yang memicu konstriksi arteriol paru: asidosis metabolik, hipoksemia. Penyakit-penyakit di atas dapat menyebabkan hipertensi pulmonal. Dari penyakit tersebut, penyebab tersering adalah penyakit obstruktif kronis. Pada kor pulmonale kronis, berbeda dengan kor pulmonale akut, hipertensi pulmonal yang menetap memungkinkan terjadinya
41

hipertrofi ventrikel kanan kompensatorik. Ventrikel kanan kurang mampu mengakomodasi peningkatan beban tekanan dibandingkan ventrikel kiri. Seiring degan waktu, ventrikel kanan secaraprogeresif mengalami dilatasi dan akhirnya tidak mampu mempertahankan curah jantung pada tingakat normal. Apabila hal ini terjadi, timbul gekala dan tanda khas gagal jantung kongestif sisi kanan. Dekompensasi akut dapat terjadi setiap saat pada pasien dengan kor pulmonale kronis. Pasien kor pulmonale juga berisiko tinggi mengalami aritmia ventrikel yang mematikan. Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan dilatasi (ektasis) dan distorsi bronkus local yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten, ireversibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan pada dinding bronkus berupa hilangnya elastisitas otot polos bronkus, tulang rawan, dan pembuluh darah. Bronkiektasis biasanya terjadi sebagai penyerta pada bronchus yang obstruksi. Pada bagian distal obstruksi tersebut akan terjadi infeksi, destruksi bronkus, dan akhirnya bronkiektasis. Ciri khas penyakit ini adalah: sesak napas, demam berulang, batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis, dan didapatkan sputum 3 lapis. Gambaran radiologi yang khas adalah adanya kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon (honey comb appearance) pada daerah yang terkena.

2.10 Prognosis
Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai komplikasi. Hal ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama observasi dan definisi. Prognosis selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari kepustakaan didapatkan bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa sekitar 26% - 78%.8 Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih baik, kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat dermatitis atopik yang kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk menetapnya asma sampai usia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya berat dan sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya mulai menderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus diobati dan jangan ditunggu serta diharapkan akan hilang sendiri.

42

Bab III Daftar Pustaka


1. Bickley LS. Guide to phisical examination. 10th ed. Philadelphia:Wolters Kluwer Lippincott Williams & Wilkins, 2009.p.296-319. 2. Levitzky MG. Pulmonary physiology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill, 2003.p.55-61. 3. Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. 6thed. Thomson, Wets Virginia, 2007.h.430-2. 4. Gandasoebrata R. Penuntun laboratorium klinik. Jakarta:Dian Rakyat, 2006.h.156. 5. Dahlan Z. Masalah asma di Indonesia dan penanggulangannya. Cemin Dunia Kedokteran 2005; 125:5-6. 6. McFadden ER. Asthma. In: Kasper DL, Braunwal E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York: Mc Graw Hill, 2005.p.1508-11. 7. Welsh DA, Thomas DA. Obstructive lung disease. In: Ali J, Summer W, Levitzky M, editors. Pulmonary Pathophysiology. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill, 2005.p.86-7. 8. Baratawidjaja K, Sundaru H. Asma bronkial: patofisiologi dan terapi. Cemin Dunia Kedokteran 2005; 121:29-30 9. Arif M, Kuspuji T, Rakhmi S, dkk. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius, 2001.h.476-8. 10. Rab HT. Bronkitis kronik. Ilmu penyakit paru, Jakarta: EGC, 1996.h.181-3,20710,213-5. 11. Asma bronkial. Dalam: Manjoer A, Suprohaita, wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aescupularis Fakultas Kedokteran Uiversitas Indonesia, 2005. h. 476-80. 12. Setiawati A, Gan S. Obat adrenergik . Dalam: sulistia gan gunawan, editor. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta : Departermen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.h.71-81. 13. Maitra A, Kumar V. Paru dan saluran napas atas. Dalam: Kumar V, Cotran RZ, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Robbins Volume 2. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003.h. 515-8. 14. Burns DK, Kumar V. Jantung. Dalam: Kumar V, Cotran RZ, Robbin SL. Buku Ajar Patologi Robbins Volume 2. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003.h.418-9.
43

Anda mungkin juga menyukai