Anda di halaman 1dari 2

PEMIMPIN DAN MASTERPICE Oleh: Nunung Fitriana Seseorang sejatinya hanya perlu satu dua karya fenomenal (masterpiece)

dalam hidupnya untuk dapat dikenamg oleh genarasi selanjutnya Sejarah selalu mencatat, mempresentasikan karya-karya fenomenal anak-anak manusia secara adil. Dia tidak hanya mempresentasikan karya dan tokoh dari ujung protagonis seperti Muhammad dengan piagam Madinahnya, Gajahmada dengan sumpahnya atau Sukarno dengan jargon berdikarinya, dia juga mempresentasikan dengan cermat Hitler dengan Holocaustnya, Marcos dengan korupsinya ataupun Osama bin Laden dengan Terornya. Semuanya dipresentasikan agar setiap generasi mampu menentukan pilihan, diujung mana dia akan berdiri. Demikian pula anak manusia yang sedang menjalani takdirnya sebagai pemimpin, dia juga harus memilih dikenang dengan sebuah karya yang bermanfaat bagi masyarakat atau generasi selanjutnya ataukah menjadi terror bagi rakyatnya. Tanggal 30 April 2013 ini, kita rakyat Tulungagung akan melepas dan menerima pemimpin kita. Catatanya memang tidak akan sefenomenal tokoh-tokoh diatas, akan tetapi sebagai sebagi rakyat yang belajar untuk dewasa kita perlu mengapresiasi capaian seorang pemimpin untuk kemudian kita tentuakan apakah dia istimewa ataukah biasa saja. Menurut catatan saya, capaian yang ditorehkan Ir.Heru Cahyono memang belum seistemewa capaian yang telah ditorehkan Ir.Soekarno, atau Ir.Joko Widodo. Namun dua karya fundamental dan monumental yang terbangun dalam kurun waktu 10 tahun Ir.Heru Cahyono memerintah patut kita catat dengan tinta emas. Pertama adalah alun-alun Taman Kusuma Wicitrayang semula adalah tempat kumuh yang padat dijejali pedagang kaki lima dan masyarakat kelas menengah kebawah, tempat ini dengan segala kontroversinya kemudian dirubah menjadi monument penting, jantung kota Tulungagung. Pelan tapi pasti Taman Kusuma Wicitra saat ini telah menjelma menjadi area sejuk, bersih, nyaman, dan indah. Tempat favorit masyarakat segala kelas untuk berwisata, bersendagurau dan berdiskusi. Sebuah tempat yang menjadi representasi ruang public (public sphere) yang begitu fundamental eksistensinya bagi bangunan demokrasi deliberative. Demokrasi deliberatif adalah sintesa dari dua paham demokrasi yang saling berhadaphadapan yaitu demokrasi liberalnya John Locke yang kerena begitu menjamin kebebasan individu sehingga sulit mencapai kesepakatan/stabilitas ditolak oleh demokrasi republicannya JJ Rosseau yang balik menekan kebebasan individu demi terciptanya stabilitas kepentingan umum. Demokrasi deliberative yang digagas Habermas berasal dari kata deliberation yang berarti menimbang/ berkonsultasi/ musyawarah sejatinya merupakan pilihan demokrasi yang paling sesuai dengan kultur, kearifan local yang dimiliki bangsa Indonesia. Dan diantara tiga prasyarat mutlak yang wajib ada dalam bangunan demokrasi ini salah satunya adalah wajib adanya ruang public ditengah-tengah masyarakat. Adalah sunnatullah bahwa dalam peradaban manusia selalu terbagi menjadi kelas-kelas social yang memiliki friksi/ resistensi satu sama lain. Telebih dalam arus kapitalis yang semakin berjaya, jarak antar kelas semakin lebar, ditambah bombastisnya media

mempublikasi gaya hidup masyarakat kelas atas, kasus korupsi para birokrat dan wakil rakyat ditengah rakyat miskin yang setiap hari terjerat jalan buntu untuk memenuhi kebutuhan hidup akan mempertebal sentiment antar kelas yang pasti mengancam eksistensi demokrasi itu sendiri. Urgensi hadirnya ruang public adalah sebagai ruang yang nyaman bagi setiap golongan untuk bertemu, berinteraksi, berkomunikasi, berempati satu sama lain, meleburkan friksi-friksi yang ada untuk kemudian membentuk consensus bersama. Spirit alun-alun sebagai ruang public telah dipahami oleh raja-raja Jawa, sehingga disetiap jantung kota kerajaan Jawa selalu disediakan tanah lapang luas sebagai tempat bagi rakyat untuk berkumpul dan ruang bagi sang raja atu pemimpin pemerintahan mensosialisasikan kebijakan. Namun eksistensi makna alun-alun ini terancam oleh kerajaan bisnis kapitalis yang hari ini berubah menjadi symbol sebuah kota modern/ maju/ beradab. Sehingga demi mengejar identitas artificial ini banyak kepala daerah yang menyambut dengan hangat datangnya sang Raja baru tanpa melihat akibat yang lebih luas. Dan inilah prestasi kedua Ir.Heru Cahyono adalah membuat kebijakan menolak hadirnya sangRaja baru, dan hal ini sekaligus memberi dukungan yuridis formal terhadap Taman Kusuma Wicitra sebagai ruang public. Sang raja baru ini adalah pusat perbelanjaan, mall, hypermart yang dengan budaya eksklusifitas dan individualitasnya akan menggiring masyarakat kelas menengah keatas pada tempat eksklusifnya dan meninggalkan masyarakat kelas bawah pada dunianya. Menyudutkan eksistensi pasar-pasar tradisional dimana setiap individu bisa berperan sebagi pemilik modal dan kemudian menggiring mereka menjadi pekerja/ buruh selamanya bagi sang pemilik modal yang entah tinggal dimana. Dari ketimpangan seperti ini consensus, demokrasi yang berbasis masyarakat rasional akan tersisa sebagi mimpi belaka. Pemimpin yang berkarakter adalah dia yang tau dimana dia harus berpihak.Maka sebagai salah stu masyarakat Tulungagung saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir.Heru Cahyono atas keberpihakannya dan dua masterpiece yang telah dibangun untuk kota Tulungagung. Dan kepada Bapak Syahri Mulyo SE saya ucapkan selamat menjalankan amanat rakyat. Saya pribadi berharap agar bangunan fundamental dan monumental ini akan terus dilestarikan dan Bapak bupati yang baru juga menghasilkan masterpiece bagi masyarakat Tulungagung.

*Penulis adalah guru di SDN 03 Pojok, Ngantru

Anda mungkin juga menyukai