Anda di halaman 1dari 28

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kejang demam terjadi dibeberapa negara didunia antara lain di Amerika Selatan dan Eropa Barat diperkirakan 2-4 %. Kejang demam adalah bentuk paling umum dari kejang masa kanak kanak, terjadi pada 2% sampai 5% anak di Amerika Serikat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan pada usia 17- 23 bulan. Kejang demam kebanyakan terjadi pada anak laki-laki (Mansjoer, 2000). Menurut Soetomenggolo dalam Sunarka (2007), kejang demam

merupakan penyakit neurologi anak yang paling sering terjadi dan memerlukan kecermatan diagnosis untuk dapat memberikan penanganan kejang demam secara keseluruhan. Faktor genetika diduga meningkatkan kepekaan terhadap timbulnya kejang. Kejang demam (febris convulsion) merupakan kelainan neurologis yang paling dijumpai pada anak terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun, hampir 30 % dari anak yang berumur dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya
1

disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Pada anak dengan ambang kejang rendah, apabila suhu naik menjadi 38 derajat celcius atau lebih sedikit saja sudah dapat menyebabkan kejang (Ngastiyah, 2005). Tubuh manusia merupakan organ yang mampu menghasilkan panas secara mandiri dan tidak tergantung pada suhu lingkungan. Tubuh manusia memiliki seperangkat sistem yang memungkinkan tubuh menghasilkan, mendistribusikan, dan mempertahankan suhu tubuh dalam keadaan konstan. Panas yang dihasilkan tubuh merupakan produk tambahan proses metabolisme yang utama. Adapun suhu tubuh dihasilkan dari laju metabolisme basal (basal metabolisme rate, BMR) di semua sel tubuh, laju cadangan metabolisme yang disebabkan aktivitas otot (termasuk kontraksi otot akibat menggigil), metabolisme tambahan akibat pengaruh hormon tiroksin dan sebagian kecil hormon lain, misalnya hormon pertumbuhan (growth hormone dan testosteron), metabolisme tambahan akibat pengaruh obat (epineprine, norepineprine) serta rangsangan simpatis pada sel dan metabolisme tambahan akibat peningkatan aktivitas kimiawi di dalam sel itu sendiri terutama bila temperatur menurun. Berdasarkan distribusi suhu di dalam tubuh, dikenal

suhu inti (core temperatur), yaitu suhu yang terdapat pada jaringan dalam, seperti kranial, toraks, rongga abdomen, dan rongga pelvis. Suhu ini biasanya dipertahankan relatif konstan (sekitar 37 derajat celcius). selain itu, ada suhu permukaan (surface temperatur) yaitu suhu yang terdapat pada kulit, jaringan sub kutan, dan lemak. Suhu ini biasanya dapat berfluktuasi sebesar 20 sampai 40 derajat celcius. Suhu tubuh manusia cenderung berfluktuasi setiap saat. Banyak faktor yang dapat

menyebabkan fluktuasi suhu tubuh. Untuk mempertahankan suhu tubuh manusia dalam keadaan konstan, diperlukan regulasi suhu tubuh. Suhu tubuh manusia diatur dengan mekanisme umpan balik (feed back) yang diperankan oleh pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Apabila pusat temperatur hipotalamus mendeteksi suhu tubuh yang terlalu panas, tubuh akan melakukan mekanisme umpan balik. Mekanisme umpan balik ini terjadi bila suhu inti tubuh telah melewati batas toleransi tubuh untuk mempertahankan suhu, yang disebut titik tetap (set point). Titik tetap tubuh dipertahankan agar suhu tubuh inti konstan pada 37 derajat celcius. Apabila suhu tubuh meningkat lebih dari titik tetap, hipotalamus akan merangsang untuk melakukan serangkaian mekanisme untuk

mempertahankan suhu dengan cara menurunkan produksi panas dan meningkatkan pengeluaran panas sehingga suhu kembali pada titik tetap (Tamsuri, 2007). Pada kesempatan ini penulis akan membahas permasalahan yang diakibatkan Febris convulse yaitu hipertermi. An. S dirawat di RSUD

Sukoharjo dengan diagnosa medis observasi Febris convulse, didapatkan data pengkajian dari hasil wawancara Ny. N mengatakan badan anaknya panas disertai kejang 1 menit ketika di UGD dan muntah 1 sendok. Berdasarkan hasil observasi diperoleh data antara lain keadaan umum pasien baik, tidak rewel, suhu tubuh pasien 38,2 derajat celcius dan badannya hangat yang mendukung hipertermia. Sehingga dapat ditarik masalah keperawatan hipertermia. Menurut Abraham Maslow dalam teori konsep kebutuhan dasar manusia, pemenuhan kebutuhan pengaturan suhu tubuh termasuk dalam kebutuhan fisiologis yang merupakan hal yang mutlak dipenuhi manusia untuk bertahan hidup (Mubarak, 2007). Sehingga penulis tertarik untuk melakukan tindakan asuhan keperawatan hipertermia dengan kasus kejang demam (Febris convulsion) pada anak, untuk penyelesaian tugas akhir program Diploma III Keperawatan dengan judul Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Pengaturan Suhu Tubuh Pada An. S dengan Observasi Febris convulse di bangsal Flamboyan RSUD Sukoharjo.

B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Melaporkan kasus hipertermia pada An. S dengan observasi Febris convulse di bangsal flamboyan RSUD Sukoharjo.

2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada An. S dengan hipertermia pada kasus observasi Febris convulse. b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada An. S dengan hipertermia pada kasus observasi Febris convulse. c. Penulis mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan pada An. S dengan hipertermia pada kasus observasi Febris convulse. d. Penulis mampu melakukan implementasi pada An. S dengan hipertermia pada kasus observasi Febris convulse. e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada An. S dengan hipertermia pada kasus observasi Febris convulse. f. Penulis mampu menganalisa kondisi hipertermia yang terjadi pada An. S dengan kasus observasi Febris convulse.

C. Manfaat Penulisan 1. Penulis Sebagai sarana dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman khususnya dibidang keperawatan anak dengan kasus observasi Febris convulse dan sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat selama perkuliahan ke dalam pelaksanaan praktek pelayanan

keperawatan khususnya pada pasien dengan observasi Febris convulse di lapangan. 2. Instansi a. Pendidikan Sebagai bahan masukan dalam kegiatan proses belajar

mengajarkan

tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan

kasus observasi Febris convulse dapat digunakan sebagai acuan bagi praktek mahasiswa keperawatan. b. Rumah Sakit Sebagai bahan masukan dan evaluasi yang diperlukan dalam penanganan pada anak dengan kasus observasi Febris convulse. c. Profesi keperawatan Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dan informasi dibidang perawatan anak tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan observasi Febris convulse.

BAB II LAPORAN KASUS

Pada bab ini berisi tentang rangkuman asuhan keperawatan yang dilakukan pada An. S selama 2 hari mulai tanggal 7 April 2012 sampai dengan tanggal 8 April 2012 di bangsal Flamboyan RSUD Sukoharjo. Adapun laporan kasus yang akan dikemukakan pada bab ini adalah proses keperawatan yang meliputi, pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan.

A. Identitas Pasien Hasil dari pengkajian yang dilakukan pada tanggal 7 April 2012 pukul 12.35 WIB tanggal 7 April 2012 di bangsal Flamboyan RSUD Sukoharjo dengan alloanamnesa dan melihat rekam medik pasien, mengadakan pengamatan atau observasi langsung, pemeriksaan fisik, menelaah catatan medis dan catatan perawat. Dari data pengkajian tersebut

didapat hasil identitas pasien, nama An. S berusia 7 bulan dengan tanggal lahir 24 Agustus 2012 tanggal interview dilaksanakan pada 7 April 2012 dengan diagnosa medis observasi Febris convulse. Identitas orang tua dari An. S nama ayah Tn. A berusia 25 tahun dan pekerjaan swasta. Nama ibu dari An. S adalah Ny. N berusia 19 tahun pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, dengan alamat Gemblung RT 8/ RW 3 Karangwuni, dalam satu keluarga beragama Islam dan sumber data yang diperoleh dari Ny. N dan Nenek An.S

B. Pengkajian Hasil pengkajian meliputi keluhan utama Ny. N mengatakan badan An. S panas. Riwayat kesehatan saat ini Ny. N mengatakan 2 hari yang lalu badan An. S panas disertai batuk dan pilek, kemudian Ny. N memutuskan untuk memberikan obat syrup penurun panas yang dibeli di apotek. Setelah pemberian obat syrup selama 2 hari suhu badan An. S turun kemudian naik lagi, setelah itu keluarga memutuskan untuk membawa An. S ke pelayanan kesehatan terdekat yaitu Puskesmas. Ny. N mengatakan ketika tiba di Puskesmas diterima oleh petugas kemudian dilakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan pada An. S petugas puskesmas menyarankan untuk membawa An. S ke Rumah Sakit dan keluarga bersedia. Akhirnya petugas Puskesmas merujuk An. S ke RSUD Sukoharjo dengan keadaan An. S terpasang oksigen 1 liter per menit dan infus RL 10 tetes per menit macro. Pada tanggal 7 april 2012

pukul 09.00 WIB An. S beserta keluarga tiba di RS dan diterima melalui UGD. Ny. N mengatakan ketika di UGD An. S sempat mengalami kejang 1 menit dengan mata mendelik keatas dan menurut Ny. N sebelumnya An. S pada pukul 06.00 WIB mengalami muntah 1 kali berisi makanan 1 sendok makan. Setelah dilakukan penanganan di UGD dengan oksigen 1 liter per menit, infus RL 10 tetes per menit macro yang terpasang di tangan kanan dan mendapatkan therapi injeksi, diazepam 3mg, antalgin 75 mg. Setelah 2 jam, kondisi An. S mulai membaik kemudian An. S dipindahkan ke bangsal Flamboyan dengan terpasang oksigen 1 liter per menit dan infus RL 10 tetes per menit macro di tangan kanan. Ny. N mengatakan ketika di bangsal Flamboyan An. S terpasang oksigen 10 menit karena menurut dokter pernafasan An. S sudah kembali normal sehingga oksigennya dapat dilepas. Pada tanggal 7 april 2012 pukul 12.40 WIB ketika dilakukan pengkajian, An. S hanya terpasang infus RL 10 tetes per menit macro. Riwayat kesehatan lalu adalah Ny. N mengatakan riwayat kehamilan An. S lahir pada tanggal 24 Agustus 2011 pada usia kehamilan 9 bulan dengan HPL (Hari Perkiraan Lahir) 30 Agustus 2011 dan merupakan kehamilan pertama. Ny. N mengatakan ketika hamil status emosinya labil (berubah-ubah), selalu memeriksakan kehamilannya rutin setiap bulan ke bidan terdekat dan rutin mengkonsumsi vitamin dari bidan. Riwayat penyakit sebelumnya Ny. N mengatakan anaknya belum pernah operasi maupun mengalami cidera. Pada riwayat alergi, Ny. N mengatakan

10

An. S terkadang demam tetapi tidak mempunyai alergi atau reaksi yang tidak wajar terhadap makanan, obat, binatang, tumbuhan ataupun produk rumah tangga. Pengobatan pada An. S ketika di bangsal Flamboyan antara lain Infus RL 10 tetes per menit macro (cairan isotonik), amoxicilin 200mg per 8 jam (antibiotik), diazepam 3mg (ketika pasien kejang), antalgin 75mg apabila suhu meningkat 38,5 derajat celcius (analgezik, antipiretik, antireumatik), dan parasetamol 2/3 sendok takar dalam 60ml setiap 4 jam (antipiretik, analgezik). Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pada An. S, Ny. N mengatakan berat badan lahir An. S 2600 gram, usia 6 bulan 6500 gram, berat badan saat ini 7500 gram, tumbuh gigi pada usia 4 bulan, jumlah gigi 9 buah dan usia 4 bulan An. S mampu mengontrol kepala. Riwayat kebiasaan An. S menurut Ny. N pola tingkah laku An. S suka menggigit jari dan menghisap jari. Dari hasil pengkajian riwayat nutrisi, Ny. N mengatakan sejak lahir An. S diberi minum ASI dan susu formula. Pemberian ASI pada An. S hanya berlangsung selama 2 bulan tetapi pemberian susu formula masih berlangsung sampai sekarang (7 bulan). Menurut Ny. N sejak usia An. S 4 bulan sudah diberikan makanan sereal antara lain roti dan bubur buatan sendiri. Selama An. S sakit nafsu makannya masih baik 3 kali sehari. Dalam setiap 1 porsi makan yang diberikan, An. S menghabiskan 5 sendok. Hasil pengkajian status nutrisi dengan Z-score : WAZ : - 0,22 (normal), HAZ : - 1,70 (normal), WHZ : 1,57 (normal), dan IMT : 18,9.

11

Berdasarkan hasil pengkajian dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan pada An. S diperoleh data sebagai berikut yaitu pemeriksaan tanda-tanda vital, keadaan umum pasien baik dan tidak rewel. Tanggal 7 April 2012 suhu tubuh 38,2 derajat celcius, respirasi 32 kali per menit, nadi 132 kali per menit. Hasil dari pemeriksaan kulit yaitu kulit putih, bersih, turgor kulit cukup, tekstur halus, pertumbuhan rambut baik dan akral hangat. Pada pemeriksaan kardiovaskuler hasil yang diperoleh tidak terjadi sianosis dan belum pernah tranfusi. Pada pemeriksaan

gastrointestinal yaitu hasil yang diperoleh terjadi mutah 1 kali jam 06.00 ketika dirumah. Pada pengkajian neurologis, An. S sempat mengalami kejang 1 menit ketika di UGD. Hasil dari pemeriksaan penunjang pada An. S salah satunya terjadi peningkatan leukosit diatas normal yaitu 22,4 103/L (normal 4-10 103/L).

C. Perumusan Masalah Keperawatan Dalam pengkajian yang telah penulis lakukan tersebut diatas didapatkan data, pada tanggal 7 april 2012 pukul 12.40 WIB, Ny. N mengatakan badan An. S panas disertai kejang 1 menit dengan mata mendelik keatas ketika di UGD dan muntah 1 sendok ketika dirumah. Berdasarkan hasil observasi penulis diperoleh data, keadaan umum pasien baik, tidak rewel, suhu tubuh pasien 38,2 derajat celcius dan akral hangat. Sehingga dapat ditegakkan diagnosa keperawatan hipertermia

berhubungan dengan proses penyakit.

12

D. Perencanaan Keperawatan Data yang diperoleh penulis dari pengkajian, setelah dianalisa muncul suatu masalah keperawatan hipertermia berhubungan dengan proses penyakit. Penulis membuat rencana keperawatan dengan tujuan, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam menunjukkan termoregulasi dengan kriteria hasil anak tidak gelisah, suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5 derajat celcius), tidak terjadi mual/ muntah, tidak terjadi kejang dan suhu kulit dalam rentang yang diharapkan (Wilkinson,2006). Penulis merencanakan tindakan keperawatan yang akan dilakukan pada An. S antara lain pantau aktivitas kejang pasien dengan rasional membantu melokalisasi daerah otak yang terkena, pantau hidrasi (turgor kulit, kelembaban membran mukosa) dengan rasional indikator keadekuatan volume cairan, pantau tanda-tanda vital pasien dengan rasional indikator keadekuatan volume sirkulasi, anjurkan asupan cairan oral dengan rasional mencukupi kebutuhan cairan dalam tubuh dan mencegah terjadinya dehidrasi,berikan kompres hangat dengan rasional memandirikan keluarga pasien untuk mengatasi peningkatan suhu tubuh, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik dengan rasional meringankan atau mengurangi gejala demam atau panas (Doenges,2000).

E. Implementasi Keperawatan

13

Penyusunan rencana keperawatan yang telah dilakukan penulis kemudian dilakukan tindakan keperawatan pada An. S. Pada tanggal 7 April 2012 pukul 12.50 WIB, penulis memantau aktivitas kejang, dengan respon subyektif Ny. N mengatakan An. S sudah tidak kejang maupun muntah. Dari respon obyektif An. S terlihat aktif, dan sudah tidak kejang. Pada pukul 12.52 WIB penulis menganjurkan Ny. N untuk memberikan obat parasetamol pada An. S dengan respon obyektif obat parasetamol masuk 2/3 sendok takar. Pukul 12.55 WIB memantau hidrasi, dengan respon subyektif Ny. N mengatakan An. S banyak minum susu formula sampai saat ini sudah menghabiskan 150 cc, dan respon obyektif membran mukosa lembab, kulit teraba hangat dan turgor kulit masih elastis. Pukul 13.04 WIB memantau tanda-tanda vital An. S dengan respon subyektif Ny. N mengatakan An. S badannya masih panas, dan respon obyektif suhu 38,2 derajat celcius, respirasi 32 kali per menit, nadi 132 kali per menit. Pukul 13.10 WIB menganjurkan asupan cairan oral, dengan respon subyektif Ny. N mengatakan bersedia memberikan asupan cairan oral dan respon obyektif An. S terlihat meminum susu formula kurang lebih 50cc. Pukul 13.12 WIB mengajarkan kompres hangat pada keluarga An. S, dengan respon subyektif Ny. N mengatakan bersedia diajari penulis cara kompres hangat dan respon obyektif Ny. N terlihat memberikan kompres hangat di ketiak An. S. Pada hari minggu tanggal 8 april 2012 pukul 14.30 WIB memantau aktivitas kejang An. S, dengan respon subyektif Ny. N mengatakan An. S

14

sudah tidak kejang tetapi kemarin sore An. S muntah 3x pada waktu magrib, habis magrib dan pada pukul 21.00 WIB setelah diberikan obat penurun panas tetapi sekarang sudah tidak panas dan tidak muntah setelah diberikan obat penurun panas serta sudah tidak kejang, dan respon obyektif antara lain An. S terlihat bermain sambil tiduran. Pukul 14.35 WIB mengobservasi tanda-tanda vital, dengan respon subyektif Ny. N mengatakan An. S sudah tidak panas badannya, respon obyektif suhu 37,5 derajat celcius, respirasi 40 kali per menit, nadi 122 kali per menit dan An. S terlihat tidak gelisah.

F. Evaluasi Keperawatan Setelah beberapa implementasi dilakukan, penulis melakukan evaluasi yang dilakukan setiap hari pada An. S, sehingga penulis dapat mengetahui masalah apa yang dapat teratasi dan masalah apa yang belum dapat teratasi serta dapat dilakukan tindakan lebih lanjut. Adapun hasil evaluasi pada hari sabtu tanggal 7 April 2012 pukul 14.00 WIB diperoleh hasil bahwa Ny. N mengatakan An. S masih panas, sudah tidak kejang maupun muntah. Berdasarkan hasil pengamatan secara obyektif suhu tubuh An. S 38,2 derajat celcius, respirasi 32 kali per menit, nadi132 kali per menit, membran mukosa lembab, kulit teraba hangat, warna kulit putih, turgor kulit masih elastis, An. S terlihat aktif, obat parasetamol masuk 2/3 sendok takar, An. S terlihat meminum susu

15

formula 50 cc dan Ny. N terlihat memberikan kompres hangat di ketiak. Dari hasil evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah

keperawatan hipertermia teratasi sebagian sehingga rencana tindakan keperawatan dilanjutkan meliputi pantau kejang dan pantau tanda-tanda vital. Pada hari minggu tanggal 8 april 2012 pukul 21.00 WIB, hasil evaluasi dari tindakan yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa Ny. N mengatakan An. S sudah tidak kejang tetapi kemarin sore tanggal 7 april 2012 An. S muntah 3 kali pada waktu magrib, sehabis magrib dan pada pukul 21.00 setelah diberikan obat penurun panas tetapi saat dilakukan pengkajian pukul 14.30 WIB An. S sudah tidak panas dan tidak muntah. Berdasarkan hasil pengamatan pada An. S secara obyektif didapatkan suhu 37,5 derajat celcius, respirasi 40 kali per menit, nadi 122 kali per menit, An. S terlihat bermain sambil tiduran, dan An. S terlihat tidak gelisah. Dari hasil evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah keperawatan hipertermia teratasi, sehingga intervensi dihentikan.

16

BAB III PEMBAHASAN DAN SIMPULAN

Pada bab ini penulis akan membahas tentang Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Pengaturan Suhu Tubuh Pada An. S dengan Observasi Febris Convulse di Bangsal Flamboyan di RSUD Sukoharjo. Prinsip dari pembahasan ini dengan memfokuskan kebutuhan dasar manusia di dalam asuhan keperawatan.

A. Pembahasan Kejang demam merupakan penyakit neurologi anak yang paling sering terjadi dengan ditandai peningkatan suhu aksila lebih dari 37,8 derajat celcius, pada umumnya terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun (Yuana, 2010). Menurut Sunarka (2007), menyebutkan kejang demam terjadi karena kenaikan suhu lebih dari 38 derajat celcius pada anak

17

berusia kurang dari 17 bulan. Sedangkan menurut Ngastiyah (2005), Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun dan terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 derajat celcius). Hal ini disebabkan pada keadaan demam kenaikan suhu 1 derajat celcius akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasan muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadi kejang. Setiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak akan menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 derajat celcius sedangkan anak dengan ambang kejang yang tinggi kejadian kejang dapat terjadi apabila suhu mencapai 40 derajat celcius atau lebih (Ngastiyah, 2005). Dengan demikian dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam dapat terjadi pada anak usia dibawah 5 tahun

18

ditandai dengan kenaikan suhu lebih dari 37,8 derajat celcius sesuai dengan ambang kejang masing-masing individu. Sesuai dengan teori diatas, pada kasus An. S berusia 7 bulan dengan observasi Febris convulse terjadi kenaikan suhu 38,2 derajat celcius pada suhu aksila. Sehingga dapat dikatakan bahwa, ambang kejang yang terjadi pada An. S merupakan ambang kejang rendah. Tanda gejala pada anak yang mengalami kejang demam antara lain wajah anak akan menjadi biru, mata berputar, dan anggota badan akan bergetar dengan hebat (Hidayat, 2009). Selain itu menurut Purwanti dan Maliya (2008), dalam jurnalnya menjelaskan bahwa pada kejang demam biasanya didapatkan fase iktal antara lain gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat atau menurun, peningkatan sekresi mucus, peningkatan nadi, sedangkan pada fase post iktal dapat terjadi apneu. Akibat kejang dapat terjadi fraktur, kerusak jaringan lunak atau gigi cedera selama kejang. Pada aktivitas dan kekuatan otot dapat terjadi keletihan, kelemah umum, perubahan tonus otot atau kekuatan otot. Mual, muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang. Di integumen ditemukan akral hangat, kulit kemerahan dan demam. Menurut MA. Fishman (2006) dalam Buku Ajar Pediatri Rudolph, Sesuai dengan tanda dan gejala diatas kejang demam dapat

diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu kejang demam jinak dan kejang demam kompleks. Kejang demam dapat dikatakan kejang demam jinak (sederhana), apabila kejang berlangsung kurang dari 15 menit, tidak

19

memperlihatkan tanda dan gejala yang signifikan seperti fase iktal antara lain gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat atau menurun, peningkatan sekresi mucus, peningkatan nadi, sedangkan pada fase post iktal dapat terjadi apneu, dan tidak berlangsung dalam suatu rangkaian yang memiliki durasi total lebih dari 30 menit. Sedangkan kejang demam kompleks memiliki durasi lebih lama, ada tanda dan gejala yang signifikan seperti fase iktal antara lain gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat atau menurun, peningkatan sekresi mucus, peningkatan nadi, sedangkan post iktal dapat terjadi apneu. Pada kasus kelolaan penulis, tanda dan gejala pada An. S dengan observasi Febris convulse, tidak semuanya muncul seperti wajah anak akan menjadi biru, anggota badan bergetar dengan hebat, gigi mengatup, pernafasan cepat atau menurun, peningkatan sekresi mucus dan terjadi peningkatan nadi. Akan tetapi pada dasarnya tanda dan gejala yang yang ada pada An. S sama seperti di teori. Pada An. S tanda dan gejala yang muncul pada tanggal 7 April 2012 pukul 12.40 WIB saat dilakukan pengkajian, Ny. N mengatakan badan anaknya panas disertai kejang 1 menit dengan mata mendelik keatas ketika di UGD dan muntah 1 sendok. Berdasarkan hasil observasi diperoleh data, keadaan umum pasien baik, tidak rewel, suhu tubuh pasien 38,2 derajat celcius, respirasi 32 kali per menit, nadi 132 kali per menit dan akral hangat. Dengan demikian Kejang demam yang terjadi pada An. S merupakan kejang demam sederhana.

20

Menurut Yuana, dkk (2010), berdasarkan penelitian yang telah dilakukan 4% pasien kejang demam dapat menagalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Insiden epilepsi akibat kejang demam berkisar antara 2 sampai 5% dan meningkat hingga 9 sampai 13% apabila terdapat faktor resiko berupa riwayat keluarga dengan epilepsi, perkembangan abnormal sebelum kejang demam pertama atau mengalami kejang demam kompleks. Selain itu menurut Broug, dkk (2007), menyebutkan bahwa faktor resiko yang terjadi pada genetik kembar monozygot antara lain riwayat keluarga (sanak keluarga sederajat 1 dan 2), kejang demam dan keterlambatan perkembangan. Dari hasil penelitian dan teori tersebut, sesuai dengan kasus yang penulis lakukan pada An. S berjenis kelamin perempuan yang berusia 7 bulan dari hasil pemeriksaan TTV (tanda-tanda vital) didapatkan suhu 38,2 derajat celcius yang beresiko terjadi kejang demam. Selain itu berdasarkan hasil penelitian diatas tentang faktor resiko terjadinya bangkitan kejang demam pada An. S sangat kecil karena dari riwayat keluarga An. S tidak ada yang mengalami epilepsi, pada pemeriksaan DDST (Denver Developmental Screening Test) perkembangan dan pertumbuhan An. S normal atau tidak mengalami keterlambatan salah satunya yaitu An. S mampu duduk tanpa pegangan dan An. S tidak mengalami trauma otak pada waktu kehamilan maupun persalinan. Menurut jurnal kegawatdaruratan kejang demam pada anak oleh Purwanti dan Maliya (2008), asuhan keperawatan pada pasien kejang

21

demam meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan dan intervensi. Pengkajian meliputi riwayat kesehatan (riwayat demam disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih) dan pemeriksaan fisik dan diagnosa. Intervensi pada anak dengan kejang demam salah satunya adalah berhubungan dengan proses penyakit, dehidrasi. Hipertermia (Nursing

NIC

Interventions Classification) yaitu perencanaan untuk kasus kejang demam antara lain monitoring vital sign (monitor tekanan darah, nadi, suhu dan status pernafasan, pertahankan secara berkesinambungan monitoring suhu tubuh, monitoring warna kulit, suhu dan kelembutan, monitoring adanya sianosis perifer, dan identifikasi dari penyebab perubahan vital sign) dan penanganan demam meliputi pemberian antipiretik jika diperlukan, buka pakaian sampai hanya tinggal celana dalamnya saja, pastikan anak memperoleh banyak udara segar tanpa menjadi kedinginan, berikan tapid sponge bad dengan air hangat dan berikan intake cairan yang adekuat. Selain itu pasang IV line untuk memenuhi kebutuhan cairan, berikan sirkulasi udara yang baik dan berikan oksigen jika diperlukan. Menurut Harold (2005) dalam jurnal kegawat daruratan kejang demam pada anak oleh Purwanti dan Maliya, Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan suhu tubuh antara lain mengenakan pakaian yang tipis, menganjurkan banyak minum, banyak istirahat, memberikan kompres, dan bisa juga dengan memberikan obat penurun panas. Teknik dalam memberikan kompres dalam upaya menurunkan suhu tubuh ada

22

beberapa macam diantaranya kompres hangat basah, kompres hangat kering (buli-buli), kompres dingin basah, kompres dingin kering (kirbat es), bantal dan selimut listrik, lampu penyinaran, busur panas (Tamsuri, 2007). Dari hasil pengkajian terhadap pasien, penulis merumuskan masalah keperawatan hipertermia berhubungan dengan proses penyakit. Masalah keperawatan hipertermia tersebut lebih diprioritaskan penulis dari beberapa masalah keperawatan yang muncul pada pasien. Di dalam teori, permasalahan utama yang terjadi pada An. S dengan observasi febris convulse adalah kejang. Tetapi dalam kasus ini penulis lebih memprioritaskan peningkatan suhu tubuh yang dialami An. S karena keluhan utama yang diungkapkan Ny. N adalah An. S mengalami peningkatan suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh yang dialami An. S sudah melebihi batas normal (36,5 sampai 37 derajat celcius), sehingga harus segera diatasi karena kebutuhan pengaturan suhu tubuh merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi dan suhu tubuh pasien bisa kembali normal. Menurut Tamsuri (2006), pada dasarnya hipertermia adalah suatu keadaan ketika individu mengalami atau beresiko mengalami kenaikan suhu tubuh terus-menerus lebih dari 37,8 derajat celcius (100 oF) per oral atau 38,9 derajat celcius (101oF) per rektal karena faktor eksternal. Dalam menegakkan diagnosa keperawatan dapat dilakukan dengan cara melihat hasil dari pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan

laboratorium dan foto thorax. Selain itu dapat dilihat dari tanda dan gejala

23

yang muncul, walaupun tanda dan gejala pada pasien kelolaan penulis tidak muncul semua sesuai dengan teori. Diagnosa keperawatan pada An. S dengan

hipertermia berhubungan dengan proses penyakit

observasi Febris convulse dapat dipastikan karena sebagian besar tanda dan gejala yang ada sama seperti yang ada di konsep teori. Setelah menentukan diagnosa keperawatan kemudian penulis menyusun rencana dan tindakan keperawatan sesuai dengan teori yang mempunyai tujuan An. S dapat menunjukkan termoregulasi sehingga

kebutuhan pengaturan suhu tubuh An. S dapat terpenuhi. Tindakan keperawatan yang dilakukan meliputi memantau aktivitas kejang pasien, memantau hidrasi (turgor kulit, kelembaban membran mukosa), memantu tanda tanda vital pasien, menganjurkan asupan cairan oral, mengajarkan kompres hangat dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik. Menurut Ngastiyah (2005), kejang demam yang terjadi pada saat anak mengalami kenaikan suhu harus segera diberikan obat antipiretik. Obat antipiretik untuk pasien kejang demam biasanya telah bersama-sama dengan anti konvulsan. Yang perlu diingat bahwa pada pasien yang akan mengalami kenaikan suhu karena adanya infeksi apakah faringitis, OMA (Otitis Media Akut) atau infeksi lainnya, maka disamping obat obat antipiretik juga harus ada antibiotik. Apabila belum ada antibiotik pasien harus dibawa berobat karena tanpa antibiotik demam hanya akan turun sebentar dan akan naik lagi. Disamping obat-obat tersebut pasien perlu

24

diberi banyak minum dan apabila suhu tinggi dapat diberikan kompres dingin secara intensif. Penatalaksanaan pada An. S yang mengalami peningkatan suhu tubuh sebelum dirawat di RSUD Sukoharjo, hanya diberikan obat syrup penurun panas (antipiretik ) oleh Ny. N dan selama 2 hari suhu badan An. S turun kemudian naik lagi. Hal tersebut membuktikan bahwa penatalaksanaan pada kejang demam memerlukan therapy antibiotik, seperti teori yang dijelaskan diatas. Tetapi setelah An. S di rawat di RS mendapatkan therapy sesuai dengan teori diatas karena selain badan An. S panas juga mengalami batuk dan pilek. Therapy yang diberikan pada An. S meliputi pemberian parasetamol 2/3 sendok takar sebagai antipiretik melalui oral dan therapy injeksi amoxicilin 200 mg per 8 jam sebagai antibiotik, karena dalam tubuh An. S terjadi infeksi (letak terjadinya infeksi belum diketahuai secara pasti) yang ditandai dengan peningkatan leukosit 22,4 103/L (normal 4-10 103/L) (Djuanda, 2010). Setelah melakukan tindakan keperawatan pada An. S selama dua hari, penulis mengevaluasi setiap hari. Hasil evaluasi yang dilakukan penulis pada hari ke 2 antara lain An. S sudah tidak panas, muntah maupun kejang, dengan suhu 37,5 derajat celcius, respirasi 40 kali per menit dan nadi 122 kali per menit, warna kulit putih, akral hangat dan terlihat bermain botol susu sambil tiduran. Dalam pengelolaan pasien An. S dengan observasi Febris convulse penulis hanya melakukan 2 hari pengelolaan, dikarenakan pada hari ke dua

25

proses pengambilan kasus di lahan praktek penulis baru mendapatkan pasien kelolaan. Selain itu keterbatasan waktu yang di targetkan dari institusi membuat penulis hanya melakukan asuhan keperawatan pada An. S selama 2 hari. Hal tersebut merupakan hambatan penulis dalam memberikan asuhan keperawatan pada An. S secara maksimal. Walaupun demikian, penulis berusaha semaksimal mungkin dalam memberikan asuhan keperawatan pada An. S dan pada akhirnya masalah keperawatan hipertermia dapat teratasi.

B. Kesimpulan Dan Saran 1. Kesimpulan Setelah penulis melaksanakan Study kasus mengenai Asuhan Keperawatan Kebutuhan Pengaturan Suhu Tubuh pada An. S yang berusia 7 bulan dengan hipertermia pada kasus observasi Febris convulse di RSUD SUKOHARJO dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Hasil pengkajian yang dilaksanakan pada An. S dengan hipertermia pada kasus observasi Febris convulse meliputi badan An. S panas, batuk, pilek disertai kejang 1 menit ketika di UGD dan muntah 1 sendok ketika dirumah dan data obyektif yang diperoleh penulis, keadaan umum pasien baik, tidak rewel, suhu tubuh pasien 38,2 derajat celcius dan akral hangat.

26

b. Perumusan diagnosa keperawatan pada An. S dengan hipertermia pada kasus observasi Febris convulse adalah hipertermia berhubungan dengan proses penyakit. c. Perencanaan Asuhan Keperawatan pada An. S dengan hipertermia pada kasus observasi Febris convulse bertujuan menunjukkan termoregulasi dengan kriteria hasil anak tidak gelisah, suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5 derajat celcius), tidak terjadi mual/ muntah, tidak terjadi kejang dan suhu kulit dalam rentang yang diharapkan, meliputi pantau aktivitas kejang pasien, pantau hidrasi (turgor kulit, kelembaban membran mukosa), pantau tanda tanda vital pasien, anjurkan asupan cairan oral, ajarkan kompres hangat dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik dan antipiretik. d. Implementasi keperawatan yang dilakukan pada An. S dengan observasi Febris convulse meliputi memantau aktivitas kejang pasien, memantau hidrasi (turgor kulit, kelembaban membran mukosa), memantau tanda tanda vital pasien, anjurkan asupan cairan oral, mengajarkan kompres hangat dan mengkolaborasikan dengan dokter dalam pemberian antibiotik dan antipiretik. e. Hasil evaluasi yang dilakukan penulis pada hari ke 2 antara lain An. S sudah tidak panas, muntah maupun kejang, suhu 37,5 derajat celcius, respirasi 40 kali per menit, nadi 122 kali per menit, tidak

27

gelisah dan An. S terlihat bermain botol susu sambil tiduran. Dari hasil data tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah keperawatan hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dapat teratasi dan intervensi dihentikan. f. Pada kasus kelolaan penulis, tanda dan gejala pada An. S dengan observasi Febris convulse, tidak semuanya muncul seperti wajah anak akan menjadi biru, anggota badan bergetar dengan hebat, gigi mengatup, pernafasan cepat atau menurun, peningkatan sekresi mucus dan terjadi peningkatan nadi. Akan tetapi pada dasarnya tanda dan gejala yang yang ada pada An. S sama seperti di teori. Pada An. S tanda dan gejala yang muncul pada tanggal 7 April 2012 pukul 12.40 WIB saat dilakukan pengkajian, Ny. N mengatakan badan anaknya panas disertai kejang 1 menit dengan mata mendelik keatas ketika di UGD dan muntah 1 sendok. Berdasarkan hasil observasi diperoleh data, keadaan umum pasien baik, tidak rewel, suhu tubuh pasien 38,2 derajat celcius, respirasi 32 kali per menit, nadi 132 kali per menit dan akral hangat. Dengan demikian Kejang demam yang terjadi pada An. S merupakan kejang demam sederhana. 2. Saran

28

Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan observasi febris convulse, penulis ingin memberikan masukan yang positif dalam pengelolaan pasien meliputi : a. Bagi institusi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit) Diharapkan pelayanan kesehatan dapat meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien tanpa melihat latar belakang status ekonomi pasien, menjalin hubungan yang baik dengan keluarga pasien maupun tim kesehatan lainnya serta dapat menambah fasilitas pelayanan yang menunjang. b. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat. Hal tersebut dapat menambah masukan bagi perawat khususnya dalam memberikan pelayanan yang lebih profesional kepada pasien dan menjaga hubungan kerjasama yang baik terhadap keluarga pasien maupun tim kesehatan lainnya. c. Bagi penulis Diharapkan mampu meningkatkan wawasan dalam kegiatan proses belajar mengajar tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus observasi Febris convulse pada khususnya dan dapat digunakan sebagai acuan bagi praktek mahasiswa keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai