Tidak diragukan lagi, kita semua cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan mencintai Beliau termasuk Ushuluddin (dasar-dasar agama) dan membencinya merupakan sifat orang-orang munafik. Namun demikian, cinta yang sejati tidak hanya terlontar di lisan, bahkan berpengaruh pada sikapnya, seperti dengan menghidupkan Sunnahnya, menaati perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah sesuai contohnya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah termasuk golonganku. (HR. Bukhari) Bukanlah dinamakan cinta yang sejati jika seseorang mengaku cinta kepada Beliau tetapi menjauhi Sunnahnya dan membuat bidah (mengadangada) dalam agama yang Beliau bawa. Seorang penyair berkata: Kalau seandainya cintamu sejati, tentu kamu akan menaati, sesungguhnya orang yang mencintai akan menaati orang yang dicintai.
Keturunannya tumbuh di atas sikap seperti itu dan siap menampakkan (permusuhan kepada Islam) secara terang-terangan saat tiba kesempatannya, jika tidak ada kesempatan, mereka menyembunyikannya. Para dainya bertebaran di berbagai negeri, mereka menyesatkan orang-orang yang dapat mereka sesatkan, musibah besar ini terus menimpa Islam dari awal daulah mereka sampai akhirnya, yaitu dari tahun 299 H sampai tahun 567 H. Di masa kejayaan mereka, banyak sekali orang-orang Syiah Raafidhah dan mereka semakin kuat, di masa itu pula orang-orang dikenakan pajak, golongan selain mereka juga banyak yang mengikutinya, dirusaknya keyakinan-keyakinan berbagai kelompok yang tinggal di pegunungan di perbatasan Syam seperti Nashiriyyah, Druuz dan kelompok Hasyisyiyyah yang termasuk bagiannya, para penguasa mereka berhasil menundukkan kelompok tersebut karena lemahnya akal mereka dan karena kebodohan mereka, yang tidak mereka lakukan kepada selainnya, akhirnya orang-orang Faranj berhasil menaklukkan berbagai daerah di Syam dan jazirah, hingga akhirnya Allah memberikan nikmat kepada kaum muslimin dengan munculnya Al Baitul Ataabikiy yang dipelopori oleh semisal Shalaahuddin (Al Ayyubiy) ia berhasil merebut kembali negeri-negeri tersebut dan menyingkirkan Daulah Fathimiyyah ini.dst (lih. Ar Raudhatain fii akhbaarid daulatain hal. 200-202) Al Haafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang bani Abiidiyyah: (Mereka adalah) orang-orang kafir, fasik dan fajir (suka maksiat). Dari penjelasan di atas kita pun mengetahui bahwa yang mengadakan pertama kali Maulid Nabi adalah Daulah Fathimiyyah bukan Shalaahuddin Al Ayyubiy, tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian saudara-saudara kita dengan tanpa bukti, bahkan dialah yang menyingkirkan Daulah Fathimiyyah ini. Secara jujur kami katakan, Pantaskah orang-orang yang memusuhi Islam dan ulamanya dijadikan sebagai rujukan oleh kita sehingga kita ikutikutan memperingati maulid yang mereka adakan?!
Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu. (terj. Al Maaidah: 3)
Ayat ini menunjukkan telah sempurnanya agama ini dan tidak boleh ditambah-tambah. 6. Kalau seandainya memperinghati kelahiran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah baik tentu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya sudah mendahului kita melakukannya. 7. Kalau seandainya orang yang memperingatinya beralasan bahwa hal ini sebagai bukti cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, maka sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa cinta yang sejati menghendakinya untuk menghidupkan Sunnahnya, menaati perintahnya dan menjauhi larangannya. 8. Peringatan maulid ini mirip dengan orang-orang Nasrani yang memperingati hari kelahiran Al Masih, sedangkan kita dilarang menyerupai mereka. 9. Hari besar dalam Islam hanyalah tiga: Hari raya Idul Fithri, hari raya Idul Adh-ha dan hari Jumat, selainnya adalah bukan hari besar Islam. 10. Pada umumnya dalam acara maulid, terdapat ghuluw (sikap melampaui batas) kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal hal itu dilarang oleh Beliau. Bahkan terkadang dilantunkan syair-syair yang di dalamnya terdapat syirk, seperti dalam Qasidah Burdah karya Al Buwshairiy sbb:
Wahai manusia paling mulia, kepada siapa lagi aku berlindung, selain kepadamu ketika datang musibah yang merata, sungguh, di antara kedermawananmu adalah dunia dan perhiasannya, dan di antara ilmumu adalah ilmu tentang Al Lauhul Mahfuzh dan Al Qalam. Padahal dalam shalat, kita sering mengucapkan: Dan hanya kepadaMu-lah (ya Allah) kami meminta pertolongan.(Al Fatihah: 5), dan di
surat Al Araaf: 188 diterangkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mengetahui yang ghaib. Melihat dalam peringatan maulid sering terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam, oleh karena itu, seorang tokoh non muslim imperials Prancis, Napoleon Bonaparte mendukung sekali acara tersebut. Bahkan saat peringatan ini semakin pudar di Mesir, ia mengeluarkan uang 300 riyal Frank untuk acara tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh ahli sejarah Mesir Al Jibritiy dalam kedua bukunya Ajaaibul Aatsaar (2/201, 249) dan Mazh-harut taqdiis hal. 47. Al Jibritiy juga menjelaskan bahwa kaum imperialis Prancis mendukung hal itu karena di dalamnya terdapat pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam. Kita juga sering menyaksikan, saat beberapa orang yang memperingatinya menyebutkan nama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mereka semua berdiri, di antara mereka ada yang beranggapan bahwa ketika itu ruh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sedang datang? Subhaanallah, dari mana keyakinan ini muncul? Padahal ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam masih hidup, para sahabat tidak mau berdiri ketika Beliau datang, karena mengetahui bahwa Beliau membenci dihormati dengan berdiri. Anas bin Malik radhiyallahu anhu mengatakan, Tidak ada seorang pun yang paling dicintai oleh mereka (para sahabat) daripada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, namun mereka bila melihat Beliau (datang) tidak berdiri, karena mengetahui bahwa Beliau benci hal itu. (Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi) Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga pernah bersabda, Barangsiapa yang suka dihormati dengan berdiri, maka hendaknya ia siapkan tempat duduknya di neraka. (Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad) Oleh karena itulah, para ulama di berbagai tempat dan dari berbagai madzhab fiqh dari sejak dahulu hingga sekarang telah mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi maulid dan tidak memperingatinya. Seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al Fakihaniy (ulama madzhab Maliki), Syaikh Muhammad Bakhyat Al Muthiiiy (mufti Mesir), Imam Syathibiy, Syaikh Ali Mahfuzh, Syaikh Rasyid Ridha, Syaikh Basyiruddin Al Qanuujiy ulama dari India, Syaikh Muhammad bin Abdul waahhab, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Syaikh Shaalih Al Fauzaan, Syaikh Hamuud At Tuwaijiriy, Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Mufti umum kerajaan Arab Saudi), Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Al Albani dan lainnya. Ditulis oleh Marwan bin Musa, disebarkan oleh www.arabic.web.id Maraaji: Al Maulidun Nabawiy (Nashir bin Yahya Al Haniiniy), Minhaajul Firqatin Naajiyah (M. bin Jamiil Zainu), dll.