Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Miastenia gravis adalah kelainan neuromuskular yang ditandai oleh kelemahan otot dan cepat lelah antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) sehingga jumlah AChR di neuromuskular junction berkurang. (Sudoyo A. W. 2008). Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuankemajuan yang nyata. (Patofisiologi, 2005). Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 2005). Keadaan ini merupakan penyakit autoimun yaitu terdapatnya antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada sinaps neuromuskular. Dapat disertai patologi timus (hiperplasia, atrofi, atau tumor timoma). Penyakit ini jarang, insidensi per tahun kira-kira 0,4/100.000, tetapi karena banyak pasien mengalami penyakit ini dalam jangka waktu yang lama, maka prevalensi mencapai 1/10.000. penyakit ini dapat menyerang semua kelompok usia. (Ginsberg Lionel 2008)

I.2. Tujuan dan Manfaat A. Tujuan umum dari pembuatan referat ini sebagai berikut : 1. Untuk memenuhi syarat untuk mengikuti ujian blok.

2. Menambah pengetahuan mengenai topik yang dibahas

B. Tujuan umum dari pembuatan referat ini secara umum sebagai berikut : Untuk mengetahui miasteni gravis mulai dari definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, prognosis dan pencegahannya.

C. manfaat dari pembuatan referat : 1. Memberi wawasan atas referat yang saya buat kepada mahasiswa lain. 2. Penyusun dan mahasiswa dapat mengaplikasikannya pada korelasi klinis.

BAB II PEMBAHASAN

II.1. Definisi Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun didapat dengan transmisi sarafotot yang ditandai dengan kelemahan otot. Antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) pada serat otot rangka dapat ditemukan pada hampir 90% pasien dan tampaknya berperan langsung dalam patogenesis penyakit ini. Antibodi menyebabkan peningkatan internalisasi dan menekan AChR atau secara langsung menghambat terikatnya molekul asetilkolin ke reseptornya. (Robbins 2007) II.2. Etiologi

Miastenia gravis disebabkan oleh kecacatan dalam transmisi impuls saraf ke otot. Hal ini terjadi ketika komunikasi normal antara saraf dan otot terganggu pada sambungan neuromuskular, tempat dimana sel-sel saraf terhubung dengan otot-otot yang mereka kontrol. Biasanya, bila impuls saraf berjalan ke ujung saraf melepaskan zat

neurotransmitter yang disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan melalui sambungan neuromuskuler dan berikatan dengan reseptor asetilkolin yang diaktifkan dan menghasilkan kontraksi otot. Pada miastenia gravis, antibodi mem-blok, mengubah, atau menghancurkan reseptor untuk acetilkolin pada sambungan neuromuskulaer yang mencegah terjadinya kontraksi otot. Antibodi ini diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh. Jadi, miastenia gravis adalah penyakit autoimun, karena sistem kekebalan tubuh itu sendiri yang mengalami kekeliruan. (John wiley 2008) II.3. Epidemiologi Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapatterjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak padausia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkanpria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravisadalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda,yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi padausia 40 tahun. Pada bayi, sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia gravis akan memiliki miastenia tidak menetap/transient(kadang permanen). (Dewabenny, 2008)

II.4. Patofisiologi Dalam keadaan normal, di neuromuskular junction, asetilkolin (ACh) disintesis di terminal saraf motorik dan disimpan didalam vesikel-vesikel. Ketika potensial aksi merambat sepanjang saraf motorik dan mencapai terminal saraf tersebut, Ach dari 250-200 vesikel dilepaskan dan melekat pada AChR yang banyak terdapat pada postsynaptic folds membuka berbagai kation terutama Na sehingga menimbulkan kotraksi otot. Proses ini secara cepat berakhir dengan cara hidrolisis Ach oleh asetilkolinesterase (AchE) yang banyak terdapat pada synaptic folds. (Sudoyo A. W. 2008). Pada ujungnya setiap akson bercabang-cabang dan setiap cabang menghubungkan membran otot. Serabut-serabut otot setiap unit motorik berkisar antara 10-500. Cabangcabang terminal akson kehilangan selubung mielin dan bersinaps dengan motor end plate. Setiap serabut otot memiliki satu motor end plate. Alat ini adalah bagian membran serabut otot yang longgar dan memperlihatkan struktur mikro khusus. Ujung-ujung terminal dari akson mengandung mitokodria dan enzim cholin acetyltranferase, di

samping itu di situ terdapat juga kantung-kantung membran yang tertutup, yang dinamakan gelembung-gelembung sinaptyc (sinaptic vesicles). Sudah dibuktikan bahwa yang dikandung oleh gelembung itu ialah acetylcholine. Pelepasannya dilaksanakan proses eksositosis, yaitu gelembung sinaptik mendekati membran presinaptik, lalu meleburkan dirinya disitu. Pada membran itu juga terdapat daerah-daerah khusus yang dianggap sebagai tempat sekersi aktif nurotransmitter tersebut. Gelembung-gelembung singaptik berkumpul dalam 2 deretan pada zona-zona aktif. Molekul-lolekul acetylcholine yang dilepaskan menembung bangunan kolagen, yang dikenal sebagai lamina basalis. Jarak antara membran presinaptik (membran ujung terminal akson) dan membran postsinaptik (=sarkoma), yang dikenal sebagai jurang sinaptik (=sinaptik gap) adalah paling sedikit 300 A. Gaya potensial aksi ayng merupakan perwujudan gaya impuls motorik tidak dapat melintasi jurang selebar 200 A. Pada sinaps antara ujung saraf dan motor end plate terjdai suatu proses di mana gaya listrik diolah menjadi gaya kimia, yang dapat melintasi jurang sinaptik yang cukup lebar itu. (sidharta 2004)

Pelepasan acetylcholine melalui membran presinaptik terjadi pada saat potensial aksi tiba di membran tersebut. Terlepasnya acetylcholin mengakibatkan depolarisasi pada membran postsinaptik (=sarkolema). Kejadian itu menghasilkan potensial kecil, yang dinamakan potensial mini dari motor end plate. Pengamatan terhadap potensial mini itu mengungkapkan bahwa acetilcholine dilepaskan oleh gelembung-gelembung presinaptik dalam bingkisan-bingkisan multimolekular, yang mewakili suatu jumlah tertentu. Jumlah

itu dinamakan kuantum. Dan kuantum itu merupakan satuan pokok dari neurotransmitter yang dilepaskan. Sangat mungkin setiap kuantum memadai kuantitas isi setiap gelembung sinaptik, yang ternyata berjumlah antara 10.000 dan 50.000 molekul acetylcholine. (sidharta 2004) Demi pelepasan acetycholine, kalsium harus masuk ke dalam terminalia akson motoneuron untuk memungkinkan gelembung sinaptik meleburkan diri dengan membran presinaptik. Pada setiap potensial aksi tiba di terminalia akson motoneuron 300-400 junata dilepaskan. Pengurangan konsentrasi kalsium di dalam cairan ekstraseluar akan disusul dengan penekanan bahwa jumlah kuanta dan bukan jumlah molekul acetylcholine yang terkandung dalam setiap bingkisan yang dilepaskan, tergantung pada kadar kalsium. (sidharta 2004) Di seberang zona aktif dari membran presinaptik terdapat lipatan-lipatan sarkolema yang merupakan membran postsinaptik. Pada bibir setiap lipatan membran postsinaptik itu terlihat penimbunan partikel-partikel. Kawasan tersebut sesuai dengan lokasi reseptor acetylcholine. Konsentrasi reseptor acetylcholine pada membran motor end plate (=sarkolema) itulah yang membuatnya peka terhadap acetylcholine. Sedikit lebih jauh dari kawasan itu tidak ada banyak reseptor dan karena itu, kepekaannya terhadap acetylcholie adalah 100 kali lebih kecil ketimbang bibir lipatan membran postsinaptik. Setelah denervasi segenap serabut otot menjadi lebih pkea terhadap acetylcholine, oleh karena reseptor-reseptor yang baru ditambahkan pada sarkolema. (sidharta 2004) Interaksi antara acetylcholine dengan reseptornya menghasilkan suatu perubahan pada konduktans di membran postsinaptik, yang mempermudah permeabilitas bagi ion-ion natrium dan kalium. Ion-ion mengalir melalui lubang-lubang yang telah dibuka oleh interaksi acetilcholin - reseptor mengakibatkan depolarisasi setempat pada motor end plate. Dan gaya inilah membuat membran tiba pada titik kritis ambang pelepasannya, sehingga melepaskan potensial aksi yang membuat serabut oto berkontraksi. (sidharta 2004) Jumlah kuanta yang dilepaskan oleh terminal presinaptik akibat tibanya setiap potensial aksi adalah beberapa kali lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk menghasilkan potensial motor end plate guna menciptakan potensial aksi pada membran serabut otot. (sidharta 2004) Aksi acetylcholine pada membran postsinaptik berlangsung sangat cepat. Penghentian aksi itu dilakukan oleh enzim acetylcholinesterase, yang membelah molekul dalam 2 bagian, yaitu choline dan acetat. Jika acetylcholinesterase dihambat aksinya,

maka acetylcholine yang dilepaskan oleh terminalia akson menghasilkan potensial aksi sinaptik yang lebih kuat khasianya dan lebih lama berlangsungnya. (sidharta 2004) Pada keadaan mistenia gravis, jumlah AChR menurun dan postsynaptic folds menjadi lebih rata sehingga transmisi neuromuskluar menjadi tidak efisien sehingga kontraksi otot melemah. (Sudoyo A. W. 2008). Kelainan neuromuskular pada miasteni gravis disebabkan oleh proses autoimun akibat adanya antibodi spesifik terhadap AChR, sehingga jumlah AChR menjadi turun. Etiopatogenesis proses autoimun pada miastenia gravis, tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar timus kelenjar timus turut berperan pada patogenesis miastenia gravis. Sekitar 75% pasien menerima miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien menunjukkan hiperplasi timus dan 10% berhubungan dengan timoma. (Sudoyo A. W. 2008).

II.5. Morfologi Miastenia gravis tidak banyak menyebabkan perubahan morfologik pada otot rangka walaupun terdapat kelemahan otot yang parah. Otot mungkin tampak normal pada sediaan histologis rutin, meskipun dapat terjadi atrofi serat otot tipe II ringan akibat kelemahan generaliasata dan tidak digunakan otot. Juga dapat ditemukan kelompok limfosit, yang kadang-kadang disebut limforgia, tersebar di jaringan ikat. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron memperlihatkan penyederhanaan taut neuromuskulus. (Robbins 2007)

II.6. Manifestasi Klinis Seperti yang diisyaratkan oleh nama miastenia, gambaran klinis utama miastenia gravis adalah kelemahan otot. Penyakit ini biasanya muncul perlahan meskipun dapat juga mendadak. Kelemahan otot biasanya mulai mencolok setelah kontraksi atau stimulasi berulang sehingga lebih parah tersering adalah otot kelopak mata dan otot yang

mengendalikan bola mata, yang bermanifestasi sebagai menurunnya kelopak mata (ptosis) dan penglihatan ganda. (Robbins 2007) Keterlibatan otot wajah lain dan leher pasien sering menyebabkan pasien sulit mengunyah makanan dan menahan kepala tegak. Pasien berbicara dengan suara hidung, terutama pada percakapan yang panjang. Perjalanan penyakit miastenia gravis adalah progresif lambat, dengan keterlibatan kelompok otot lain. Keterlibatan otot pernafasan menyebabkan kegagalan pernafasan pada kasus yang tidak diobati. Stimulasi listrik berulang pada otot rangka menyebabkan penurunan progresif amplitudo potensial aksi otot dan merupakan uji diagnostik yang penting. Derajat kelemahan otot sangat berbeda-beda di antara pasien, dan tidak selalu berkaitan dengan titer antibodi anti AChR. (Robbins 2007) Gambaran klinis yang khas adalah kelemahan otot dan cepat lelah terutama akibat kegiatan fisik atau latihan berulang yang akan membaik dengan istirahat atau tidur. Distribusi kelemahan otot bervariasi. Kelemahan otot okuler terutama palpebra dan otot ekstraokuler akan diserang pada awal timbulnya penyakit yang menyebabkan ptosis dan diplopia. Keterlibatan otot muka akan mempersulit pasien bila akan tersenyum atau mengunyah makanan dan bila berbicara akan terdengar sengau akibat kelemahan otot palatum. Selain itu juga pasien akan kesulitan menelan makanan sehingga beresiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Kelemahan otot ekstremitas terutama menyerang otot proksimal dan bersifat asimetri. Bila menyerang otot pernafasan, maka pasien akan membutuhkan alat bantu nafas yang akan membantu pasien untuk bernafas. (Sudoyo A. W. -2008)

Dapat disimpulkan menjadi : a. Ptosis fatig b. Diplopia dengan keterbatasan gerak mata c. Kelemahan wajah ekspresi miastemik kelemahan saat menutup mata)

d. Gejala dan tanda bulbar Disfagia (dengan regurgitasi nasal cairan) Disartria (suara hidung)

e. Keterlibatan otot-otot pernafasan (gejala bulbar dan pernafasan akut yang disebabkan oleh miastenia merupakan keadaan gawat darurat) f. Kelemahan otot leher dan ekstremitas gerak, memburuk pada sore/malam hari dan setelah berolahraga (fatig abilitas). (Lionel Ginsberg 2008)

II.7. Komplikasi Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, (Dewabenny - 2008) yaitu: A. Krisis miastenik Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut: - Kontrol jalan napas - Pemberian antikolinesterase - Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan. (Dewabenny - 2008) B. Krisis kolinergik Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat

antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut: (Dewabenny - 2008) - Kontrol jalan napas - Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah. (Dewabenny - 2008) - Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis. Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi

tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik. (Dewabenny - 2008)

II.8. Diagnosis Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AChR dan CT-scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma. (Sudoyo A. W. -2008) a. Tes antikolinesterase / tensilon Untuk tes ini digunakan edrofonium (antikolinesterase kerja singkat yang secara sementara akan mempertahankan asetilkolin dengan melakukan blok pada metabolismenya). (Lionel Ginsberg 2008) suatu antikolinesterase kerja pendek, yang diberian intravena dalam beberapa detik dan efeknya akan berakhir dalam beberapa menit. Mula-mula endrofonium diberikan dalam dosis 2mg intravena selama 15detik; bila dalam waktu 30 detik tidak terdapat respons, dapat ditambahkan 8-9 mg. Respons yang diharapkan meliputi derajat ptosis, derajat gerak mata dan kekuatan menggengam. Efek samping kolinergik yang dapat muncul antara lain fasikulasi, flusing, lakrimasi, kejang otot perut, nausea, vomitus dan diare. Edrofonium harus diberikan hati-hati pada pasien dengan kelainan jantung karena dapat menyebabkan bradikardi, blok atrioventrikular, bahkan sampai henti jantung. Untuk mengatasi toksisitas edrofonium, dapat digunakan atropin. (Sudoyo A. W. 2008) b. Elektromiografi Akan tampak gambaran frekuensi yang rendah (2-4 Hz); stimulasi berulang akan menghasilkan penurunan amplitudo dari evoked motor disease. (Sudoyo A. W. -2008) c. Antibodi AChR Hasil positif bersifat diagnostik; walaupun demikian, hasil positif tidak berkolerasi dengan derajat penyakit. Pada umumnya 80% pasien menunjukkan hasil positif, sedangkaan pasien dengan kelainan mata hanya 50% yang positif. Antibodi terhadap muscle-spesific kinase (MuSK) didapatkan pada 40% pasien dengan antibodi AChR negatig. (Sudoyo A. W. -2008) d. Analisis antibodi reseptor asetilkolin serum (15% pasien negatif). (Lionel Ginsberg 2008) e. Analisis antibodi terhadap otot lurik, pada sebagian besar pasien timoma akan positif. (Lionel Ginsberg 2008)

10

f. Ct scan mediastinum anterior untuk mencari pembesaran timus. (Lionel Ginsberg 2008) g. Tes fungsi tiroid untuk tirotoksikosis. (Lionel Ginsberg 2008)

II.9. Diagnosis banding Meliputi sindrom miastenik lambert-Eaton, neurastenia, hipertiroidisme, botulisme, diplopia akibat tekanan N II. Progressive external ophthalmoplegia (miopati mitokondria). (Sudoyo A. W. -2008) Pengamatan lain yang mennunjang dasar imunologik dari miastenia gravis adalah keterkaitan penyakit ini dengan penyakit autoimun lain, seperti lupus eritematous sistemik, artritis reumatoid, dan sindrom Sjogen. Kelainan timus juga sering ditemukan pada miastenia gravis. Sekitar dua pertiga pasien mengalami hipoplasia timus, dan timoma terjadi pada 15% hingga 20% pasien. Peran relatif yang dimainkan oleh kelainan timus dan kelainan humoral dalam patogenesis miastenia gravis masih belum sepenuhnya dipahami. (Robbins 2007)

II.10. Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier A. Primer Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan pada saat individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan cara promosi kesehatan atau penyuluhan dengan cara memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan dari penyakit miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan : a. Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum-minuman beralkohol, khususnya apabila minuman keras tersebut dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin. Kuinin ini merupakan suatu obat yang memudahkan terjadinya kelemahan otot. (Dewabenny - 2008) b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanykan pasien-pasien miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisi yang lelah dan tegang. (Dewabenny 2008) B. Pencegahan sekunder Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan menunjukkan adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengobatan antara lain dengan mempengaruhi proses imunologik pada tubuh

11

individu, yang bisa dilaksanakan dengan: timektomi, kortikosteroid, imunosupresif yang biasanya menggunakan azathroprine. (Dewabenny - 2008) C. Pecegahan tersier Pencegahan tersier (rehabilitas), pada bentuk pencegahan ini mengusahankan agar penyakit yang diderita tidak menjadi hambatan bagi individu serta tidak terjadi komplikasi pada individu yang dapat dilakukan dengan: a. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat memperburuk kelemahan oto yang di derita oleh individu. b. Istirahat yang cukup c. Pada mistenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata. d. Mengotrol pasien miastenia gravis untuk tidak minum obat-obat antikolinesterase secara berlebihan. (Dewabenny - 2008) II.11. Penatalaksanaan Pemberian antikolinesterase, ptidostigmin bromida (mestinon) 60 mg. 3-5 kali pe hari akan membantu pasien untuk mengunyah, menelan dan beberapa aktifitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan mestinon long-acting 180 mg. (Sudoyo A. W. -2008) akan tetapi, pasien yang membutuhkan peningkatan dosis dapat mengalami efek samping kolinergik muskarinik seperti diare, kejang otot abdominal, salivasi dan nausea. Pada kasus ekstrem dapa terjadi perburukan pada kelemahan otot. (Lionel Ginsberg 2008). Efek tersebut dapat diatasi dengan atropin 0,4-0,6 mg per oral diberikan 2-3 kali per hari. (Sudoyo A. W. -2008) Plasmaferasis dan imunoglobulin intravena (IVIg 400 mg/kg/BB/hari, selama 5 hari) dapat diberikan untuk memperbaiki keadaan sebelum tindakan operatig atau pada keadaan krisis miastenik. Krisis miastenik adalah eksaserbasi kelemahan otot yang diikuti gagal nafas yang mengancam nyawa dan membutuhkan perawatan intensif. (Sudoyo A. W. -2008) Selain itu juga dapat diberikan glukortikoid, dimulai dengan prednison dosis rendah 15 mg/hari yang dapat ditingkatkan sempai efek yang diharapkan tercapai atau sampai dosis mencapai 50 mg/hari. Dosis tinggi tersebut dipertahankan selama 1-3 bulan kemudian diturunkan perlahan-lahan sampai mencapai dosis pemeliharaan. Dosis pemerliharaan data dipertahankan dalam jangka panjang. (Sudoyo A. W. -2008) Kortikosteroid, misalnya prednisolon diperlukan untuk penyakit yang sedang hingga berat yang tidak responsif terhadap terapi lain. Biasanya kartikosteroid diberikan

12

dalam regimen selang sehari. Steroid harus ditingkatkan bertahap dari dosis rendah dan disesuaikan dengan gejala. Rawat inap di rumah sakit dianjurkan pada awal terapi steroid yang penyakitnya bukan okularmurni. Jikatelah tercapai keadaan terkontrol, dosis dapat diturunkan bertahap sesuai gejala. (Lionel Ginsberg 2008) Obat-obat imunosepresif, seperti azatioprin, siklosporin, mofetil mikofenolat dan siklofosfamid, dapat diberikan bersama glukortikoid. (Sudoyo A. W. -2008) Timektomi dapat dilakukan dan menghasilkan remisi jangka panjang terutama pada pasien dewasa. (Sudoyo A. W. -2008) Jika terdapat timoma, dan pasien muda dilakukan pada awal penyakit untuk mengurangi kebutuhan medikamentosa, dan pada sebagian kecil pasien untuk mencapai remisi total. Pertukaran plasma/plasmaferesis atau imunoglobulin intravena untuk persiapan timektomi dan pada penyakit sangat berat. Beberapa antibiotik, seperti aminoglikosida, tidak boleh diberikan pada pasien miastenik karena mempunyai efek blok pada sinaps neuromuskular. (Lionel Ginsberg 2008)

BAB III PENUTUP

III.1. Kesimpulan Miastenia gravis adalah kelainan neuromuskular yang ditandai oleh kelemahan otot dan cepat lelah antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) sehingga jumlah AChR di neuromuskular junction berkurang. (Sudoyo A. W. 2008). Kelainan neuromuskular pada miasteni gravis disebabkan oleh proses autoimun akibat adanya antibodi spesifik terhadap AChR, sehingga jumlah AChR menjadi turun. Etiopatogenesis proses autoimun pada miastenia gravis, tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar timus kelenjar timus turut berperan pada patogenesis miastenia gravis. Sekitar 75% pasien menerima miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien menunjukkan hiperplasi timus dan 10% berhubungan dengan timoma. (Sudoyo A. W. 2008). Gambaran klinis utama miastenia gravis adalah kelemahan otot. Penyakit ini biasanya muncul perlahan meskipun dapat juga mendadak. Kelemahan otot biasanya mulai mencolok setelah kontraksi atau stimulasi berulang sehingga lebih parah tersering adalah otot kelopak mata dan otot yang mengendalikan bola mata, yang bermanifestasi sebagai menurunnya kelopak mata (ptosis) dan penglihatan ganda. (Robbins 2007) Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AChR dan CT-scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma. (Sudoyo A. W. -2008)

13

Pemberian antikolinesterase, ptidostigmin bromida (mestinon) 60 mg. 3-5 kali pe hari akan membantu pasien untuk mengunyah, menelan dan beberapa aktifitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan mestinon long-acting 180 mg. (Sudoyo A. W. -2008)

III.2. Saran Miastenia gravis dapat menyerang laki-laki maupun perempuan, dapat menyerang pada semua usia. Maka kenalilah gejalanya, diagnosis yang tepat akan memberikan terapi yang benar.

14

DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo W. Aru. At all., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta. FKUI. 2006 Sidharta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta. Dian Rakyat. 2004 Ginsberg Lionel. Lectore Notes Neurologi Edisi Kedelapan. Jakarta. 2008 Kumar, Cotran, Robbins. Buku Ajar Patologi. Jakarta. EGC. 2007 Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland . Jakarta: EGC Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/ 2008/ 07/12/ miasteniagravis. (3 September 2008) John Wiley. 2009. Miastenia Gravis. ( 14 Mei 2009) http : //medicinenet.com/myasthenia_gravis/

Anda mungkin juga menyukai