Anda di halaman 1dari 24

REKONSTRUKSI PARADIGMA HUKUM DI INDONESIA YANG PRO-POPULI

Disusun oleh :

R. Lungid Ismoyoputro
Mahasiswa Master of Laws Universiti Kebangsaan Malaysia

Terasing di Negeri Sendiri


UKM, 14 Desember 2012

Disampaikan pada acara bedah buku

Pengantar
Ketika negara tidak memenuhi hakhak kami, kami tidak melawan. Kami hanya minta agar keberadaan kami tidak diganggu dan biarkan kami hidup dengan damai.

Provoke
Suara lemah dari mereka yang terpinggirkan.

Apakah karena lemahnya suara itu ataukah bebalnya kekuasaan yang bernama negara, sehingga sampai kini mereka tetap tidak bertanah dan tidak bertanah air?

Moro-moro, Register 45
Inilah permasalahan yang dihadapi saudara-saudara kita di daerah Moromoro, Register 45, Sungai Buaya, Kab. Mesuji, Lampung. MENGAPA?

Kasus Posisi
Moro-Moro adalah berasal dari bahasa Jawa yang berarti berdatangan. Register 45 adalah suatu kawasan hutan yang pengelolaannya di bawah PT. Silva Inhutani Lampung (PT SIL) Pada tahun 1989 memperoleh hak pengusahaan hutan tanaman industri HPHTI).

Pada tahun 1997 krisis ekonomi yang melanda tanah air berimbas pula pada PT SIL. PT SIL kolaps/bangkrut. Kawasan hutan Register 45 menjadi terlantar, kemudian masyarakat melakukan eksodus ke dalam hutan. Mereka mendiami wilayah itu dan mulai membangun pemukiman. Setelah tahun 2002 PT SIL mendapatkan kembali HPHTI atas kawasan hutan Register 45.

Pada tahun 1997 krisis ekonomi yang melanda tanah air berimbas pula pada PT SIL. PT SIL kolaps/bangkrut. Kawasan hutan Register 45 menjadi terbengkalai, kemudian masyarakat melakukan eksodus ke dalam hutan. Mereka mendiami wilayah itu dan mulai membangun pemukiman. Setelah tahun 2002 PT SIL mendapatkan kembali HPHTI atas kawasan hutan Register 45.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 tercatat terdapat 1.018 KK dengan penduduk 3.359 jiwa. Pada tahun 2004 masyarakat Moro-moro mengikuti Pemilu pertama dan terakhir sampai dengan tahun 2009 yang lalu. Mulai tahun 2006 pemerintah mulai mengusir masyarakat Moro-moro. Sejak menempati wilayah tersebut, mereka tidak memiliki bukti kependudukan yang sah.

Baik berupa KK, KTP, akte kelahiran maupun bukti kependudukan lainnya. Selama 15 tahun mereka selalu menuntut untuk memperoleh bukti kependudukan itu, karena tanpa itu mereka mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas-fasilitas publik, semacam pendidikan dan kesehatan.

Pelanggaran HAM?
Adakah pelanggaran HAM di dalam kasus Moro-moro tersebut? Apakah tepat tindakan pemerintah dengan tidak menerbitkan surat bukti kependudukan? Adakah kaitan antara konflik agraria dengan masalah kependudukan? Bagaimana solusinya?

Pelanggaran HAM tidak selalu diidentikkan dengan kekerasan fisik oleh negara terhadap rakyatnya. Dengan pembiaran terhadap kewajiban konstitusi oleh negara terhadap warga negaranya dipandang pula sebagai pelanggaran HAM. Dalam kasus Moro-moro tersebut, negara (melalui pemerintah) tidak memberikan layanan publik yang menjadi hak warga negaranya.

Pada akhirnya masyarakat Moro-moro secara swadaya menyediakan semua kebutuhan hidup mereka.
Akan tetapi, satu hal yang sampai kini tidak dapat mereka penuhi, yaitu pengakuan sebagai warga negara Indonesia yang dibuktikan secara legal formal dalam bentuk KTP, dsb.

Hukum bebas nilai atau tidak?


Pertanyaan ini patut dikemukakan, mengingat saat ini di Indonesia telah menagalami distorsi dan disorientasi dalam berhukum. Hukum harus bebas nilai. Hukum harus tidak berpihak. Benarkah?

Menurut Marc Galanter : the haves always come out ahead Menunjukkan bahwa hukum selama ini bagaikan pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Paradigma hukum di Indonesia hendaklah senantiasa berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945. Bukankah itu merupakan cerminan jiwa bangsa (Volkgeist)?

Amanat konstitusi
Pasal 28D ayat 4 UUD 1945 : Setiap orang berhak atas kewarganegaraan. Pada pasal lainnya disebutkan pula beberapa hak-hak warga negara sebagai implementasi perlindungan dan pengakuan terhadap HAM. Constitusional rights

Penjabaran dalam UU
UU No. 23 tahun 2006 : yang mewajibkan negara untuk menyediakan KTP sebagai bukti kependudukan. UU No. 39 tahun 1999 : perlindungan hukum bagi orang-orang yang memiliki kerentanan. Contohnya : orang-orang marginal, penduduk asli suatu pulau tertentu.

Paradoks Pembangunan
Pembangunan ekonomi selalu membawa dampak positif dan negatif. Bukankah tujuan negara Indonesia adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Seharusnya ini pula yang menjadi entri poin bagi lahirnya kebijakan pemerintah.

Pembangunan, Investasi, dan Hukum.


3 entitas ini sangat memengaruhi cara berhukum kita saat ini. Pembangunan memerlukan investasi, investasi memerlukan kondisi yang stabil, oleh karena itu hukum tampil sebagai penjaga kestabilan itu. Akankah nilai-nilai moral hukum (kepastian, kemanfaatan, dan keadilan) akan tergadaikan?

Kecenderungan tersebut semakin menguat di Indonesia. Kasus Moro-moro menunjukkan, bahwa pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro-investasi tetapi tidak pro-populi dan pro-justicia. Pemerintah lebih mengutamakan investasi (PT SIL) dan mengesampingkan hak-hak warga negaranya (masyarakat Moro-moro).

KTP bukan bukti kepemilikan tanah atau properti.


Pemerintah menganggap dengan pemberian KTP = melegalkan masyarakat Moro-moro tinggal di daerah tersebut. Stigmatisasi sebagai perambah hutan semakin memarginalkan mereka. Dampaknya mereka tidak mendapatkan layanan publik.

Padahal amanat konstitusi dan UU mewajibkan negara (pemerintah) untuk menyediakannya layanan kependudukan dan menjamin kesejahteraan rakyat.
Kebijakan yang semata-mata pro-investasi akan semakin meminggirkan rakyat. Inilah yang selalu menyebabkan hukum selalu menjadi tidak bebas nilai, selalu terpengaruh oleh anasir-anasir di luar hukum.

Pro-Populi, Pro-Justicia
Rekonstruksi paradigma perlu dilakukan agar kebijakan yang diambil mencerminkan keadilan masyarakat. Pertama, revisi peraturan hukum yang bertentangan dengan semangat konstitusional negara.

Kedua, memahami hukum tidak hanya berdasarkan teks belaka, tetapi melampauinya hingga sampai pada nilai atau spirit hukum (yaitu keadilan).
Ketiga, pembangunan yang bersifat emansipatoris dan partisipatif dengan melibatkan rakyat di dalam proses dan tujuannya.

TERIMA KASIH

Contact

Email : lungid82@yahoo.com Telp. +60 14 2328130 (Malaysia) +62 81 328 1966 70 (Indonesia)

Anda mungkin juga menyukai