Anda di halaman 1dari 25

2.2.

Defenisi sirosis hati Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hati yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi karena akibat nekrosis hepatoselular, jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vascular, dan regenerasi nodulus parenkim hati. (Siti Nurdjanah, 2006). Secara makroskopis sirosis hati umunya terbagi atas dua golongan yaitu golongan sirosis hati makronodular ( besar nodul lebih dari 3 mm), dan sirosis hati mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm). Di dalam perjalanan sirosis hati mikronoduler mungkin ditemukan nodul regenerasi yang lebih besar dan bervariasi hingga merupakan jenis campuran, mikro dan makronodular. Jenis mikronodular dikaitkan dengan sirosis hati oleh alcohol atau akibat gangguan gizi yang dikenal dengan nama sirosis laenenec atau nutritional cirrhosis , sedangkan yang makronodular dikaitkan dengan keadaan hepatits yang berat atau nekrosis yang luas dan dikenal dengan nama sirosis posnekrotik atau sirosis poshepatitis. Ada yang menyebutkan bahwa sirosis post nekrotik dan sirosis poshepatitis tidaklah seluruhnya identik, karena pada sirosis posnekroitk septa jaringan ikat yang timbul pada daerah nekrosis yang luas itu lebih lebar dan lebih tebal dengan nodul regenerasi yang lebih besar-besar dengan ukuran yang heterogen. Pada sirosis poshepatitis septa tersebut lebih tipid dan dan nodul regenerasi tidak terlalu besar-besar. Pasa sirosis hati mikronodular ukuran nidoul berkisar antara 2 mm 5mm, merata dan kira-kira hampir sama pada seluruh lobulus hati. ( H.M. Sjaifoellah Noer, 1990). Klasifikasi sirosis hati 1. Klasifikasi Etiologi 1.1. Hepatitis virus tipe B dab C 1.2. Alkohol

1.3. Metabolik (Hemokromatis idiopatik, Penyakit Wilson, defisiensi alpha 1 antitripsin, galaktosemia, tirosinemia, dan DM) 1.4. Kolestasis kronik/ sirosis bilier sekunder intra dan ekstra hepatik 1.5. Obstruksi aliran vena hepatik, Sindrom budd chiari dan penyakit veno oklusif 1.6. Gangguan imunologis 1.7. Toxin dan obat seperti MTX, INH, Metildopa 1.8. Operasi pintas usus halus pada obesitas 1.9. Malnutrisi, infeksi seperti malaria dan sistosomiasis (Pengarapen Tarigan, 1996) 2. Klasifikasi morfologi 2.1. Sirosis mikronodular. Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septal parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata. Sirosis mikronodular besar nodulnya sampai 3 mm, sedang sirosis makronodular lebih dari 3 mm. 2.2. Sirosis makronodular. Ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan yang bervariasi, mengandul nodul yang besar di dalamnya. Ada daerah luas dengan parenkim yang masih baik atau terjadi regenerasi parenkim. 2.3. Sirosis campuran. (Pengarapen Tarigan, 1996) 3. Klasifikasi fungsional Secara fungsional, sirosis hati di bagi atas : kompensata baik ( laten, sirosis dini), dan dekompensasi ( aktif, disertai kegagalan hati dan hypertensi portal) (Pengarapen Tarigan, 1996). 2.3.2. Patofisiologi sirosis hati Patofisiologi sirosis alkoholik : Steatosis atau perlemakan di hati terjadi akibat adanya sejumlah gangguan metabolik yang mencakup pembentukan trigliserida secara berlebihan dan menurunnya

oksidasi asam lemak akibat alkoholik. Akibatnya, hepatositpun teregang oleh vakuola lunak dalam sitoplasma berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit ke membran sel. Fibrosis perivenular berlanjut menjadi panlobular akibat masukan alkohol dan destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi di tempat cidera dan merangsang pembentukan kolagen. Di daerah perisentral dan periportal timbul septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena sentralis. Jalinan ikat jaringan halus ini mengelilingi massa kecil sel hati yang masih ada yang kemudian mengalami regenerasi dan membentuk nodulus. Namun dimikian kerusakan selyang terjadi melebihi perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil, berbenjol-benjol (nodular), menjadi keras lalu terbentuklah sirosis alkoholik. (Irsan Hasan, 2006). Patofisiologi sirosis karena NASH : Hit pertama terjadi akibat penumpukkan lemak di hepatosit yang dapat terjadi karena beberapa keadaan, seperti dislipidemia, DM, dan obesitas. Seperti diketahui bahwa dalam keadaan normal, asam lemak bebas dihantarkan memasuki organ hati lewat sirkulasi darah arteri dan portal. Di dalam hati, asam lemak bebas akan mengalami metabolisme lebih lanjut, seperti proses re-esterifikasi menjadi trigliserida atau di gunakan untuk pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan masa jaringan lemak tubuh, khususnya pada obesitas sentral, akan meningkatakan penglepasan asam lemak bebas yang kemudian menumpuk di dalam hepatosit. Bertambahnya asam lemak bebas di hati akan menimbulkan peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak. Proses ini terfokus di mitokondria sel hati sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan mitokondria itu sendiri. Inilah yang di sebut sebagai hit kedua. Peningkatan stres oksidatif sendiri dapat juga terjadi karena resistensi insulin, peningkatan konsentrasi endotoksin di hati, peningkatan aktivitas un-coupling protein mitokondria, peningkatan aktifitas sitokrom P-450 2E1, peningkatan cadangan besi, dan menurunnya aktivitas anti oksidan. Ketika stres oksidatif yang terjadi di hati melebihi kemampuan perlawanan anti oksidan, Maka aktifitas sel stelata dan sitokine pro inflamasi akan berlanjut dengan

inflamasi progresif, pembengkakan hepatosit dan kematian sel, pembentukan badan mallory, serta terbentuklah fibrosis. (Irsan hasan, 2006) Patofisiologi sirosis karena Hepatitis kronik HCV : Kerusakan hati pada infeksi kronik virus hepatitis C merupakan akibat dari efek langsung protein HCV terhadap hepatosit dan sel stelata serta respons imun pejamu terhadap virus. Protein virus memungkinkan terjadinya infeksi kronik dengan cara menghambat apoptosis. Selanjutnya ini dapat berakibat terjadinya imortalisasi dan kanker hati. Ditengaarai juga ada hubungan antara steatosis dengan inhibisi alur apoptosis.Sel stelata yang berperan sentral pada proses fibrogenesis dapat di pengaruhi langsung oleh protein HCV untuk berubah dari bentuk quiescent menjadi bentuk aktif/ profibrotik. Sel-T sitotoksik (CTL ) memegang peran essensial pada kerusakan hati akibat respon imun terhadap HCV. Sel ini dapat langsung merusak hepatosit yang terinfeksi dengan cara apoptosis, m aupun secara tidak langsung dengan sekresi sitokine. Sedangkan sel NK (natural killer cell) dapat menstimulasi CTL killing, tetapi dapat juga menunjukkan daya antifibrotik/ protektif. Akibat akhir infeksi HCV tergantung pada keseimbangan yang kompleks antara berbagai faktor, seperti antara bersihan virus yang di mediasi system imun dengan infeksi kronik, antara fibrosis dengan regenerasi hepatosit normal, serta antara apoptosis sel yang terinfeksi dengan imortalisasi sel dan terjadinya sirossis hati. (Unggul Budihusodo, 2008) Fibrogenesis berawal dari teraktivasinya sel stelata hepatik (HSC, juga di sebut sel ito, liposit, atau perisit) yang berada di ruang disse bila terjadi kerusakan hati. Aktivasi di tandai dengan terbentuknya fenotip HSC yang kontrakil, proliferatif, migratorik, fibrogenik, dan inflamatorik, yang di kenal sebagai myofibroblast. Proses aktifasi HSC menjadi fenotip aktif ini berlangsung secara sekuensial dan melibatkan berbagai komponen, seperti sel kupffer, hepatosit, sel endotel sinusoid (SEC), limfosit, inisiatior (virus, obat, dsb), dan mediator (sitokin, kemokin, TGF-beta, PGGF, dsb). Selanjutnya myofibroblast meningkatkan produksi matriks ekstraseluler yang antara lain

terdiri dari kolagen, laminin, proteoglikan dan fibronektin. Selain bertambah banyak, lama-kelamaan matriks juga berubah solubilitas maupun elastisitasnya. Namun myofibroblast juga ada produsen enzim-enzim mettaloproteinases yang berfungsi mendegradasi matriks (fibrolisis), antara lain MMP-2 (matrix mettaloproteinases-2) sebagai penyeimbang proses fibrogenesis. Terjadinya jaringan parut merupakan akibat dari lebih dominannya proses fibrogenesis di bandingkan dengan fibrolisis. Sebaliknya, reversibilitas dapat terjadi bila fibrolisis melampaui fibrogenesis. Perubahan juga terjadi pada sel endotel sinusoid yaitu dengan tertutupnya fenestrae. Akibatnya terjadilah proses kapilarisasi sinusoid yang akan menghambat pertukaran metabolik antara darah dengan hepatosit. Hepatosit pun berubah, dimulai dengan menghilangnya mikrovili dan akhirnya terjadi kerusakan ireversibel. Dipenuhinya ruang disse oleh matriks yang semakin banyak dan kaku mengakibatkan stenosis sinusoid, yang selanjutnya akan meningkatkan resistensi vaskular hepatik dengan akibat lanjut hipertensi portal. Progres fibrosis disertai pembentukan nodul regenerasi berakibat rusaknya arsitektur hepatik dan akan berakhir sebagai sebagai sirosis hati dan hipertensi portal (Unggul Budihusodo, 2008) 2.4. Gejala klinis dan penegakkan diagnosa sirosis hati 2.4.1. Gejala klinis sirosis hati Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi : 1. Perasaan mudah lelah dan lemas. 2. Selera makan berkurang. 3. Perasaan perut kembung dan mual. 4. Berat badan menurun. 5. Pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar Gynecomastia), dan hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta meliputi hilangnya rambut badan,

gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/ melena, seta perubahan mental meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai lupa. (Siti Nurdjanah, 2006) Temuan klinis yang berupa tanda yang jelas dari sirosis hati (dekompensata) yaitu : 1. Spider nevi ( spider telaniektasi), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di di bahu, muka dan lengan bagian atas. 2. Eritema palmaris, yaitu warnamerah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. 3. Perubahan kuku-kuku muchrche, berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan warnanormal kuku. 4. Jari gada, lebih sering ditemui pada sirosis bilier. 5. Kontraktur dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan sirosis. 6. Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya non alkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta. 7. Hepatomegali, ukuran hati bisa membesar, normal ,atau mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirosis teraba kerasdan nodular. 8. Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan hipoalbuminuria. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. 9. fetor hepatikum, bau nafas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasan porto sistemik tang berat. 10. Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bilakonsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urine terlihat gelap seperti air teh. (Siti nurdjanah, 2006).

Gambar erytema palmar (Lestari Sukmarini, 2009)

Gambar spidr nevi ( spider telangiektasi) (Lestari Sukmarini, 2009)

Gambar pasien dengan ascites (Lestari Sukmarini, 2009) 2.4.2. Penegakkan diagnosa sirosis hati 2.4.2.1. Pemeriksaa riwayat penyakit/ anamnesis Hasil yamg mungkin di dapat pada anamnesis yaitu : 1. Lesu dan BAB turun 2. Anoreksia- dispepsia 3. Nyeri perut 4. Ikterus (BAK cokelat dan mata kekuningan) 5. Perdarahan gusi 6. Perut membuncit 7. Libido menurun 8. Ada konsumsi alkohol 9. Riwyat kesehatan yang lalu ( sakit kuning, dll) 10. Riwayat muntah darah dan feses kehitaman (Buku Ajar IPD Unair, 2007) Biasanya penderita datang berobat dengan keluhan utama perut membesar. Kemudiam disusul dengan kaki yang membengkak. Pada umumnya penderita dengan sirosis hati timbulnya asites lebih dulu daripada terjadinya edem di kaki. Banyak penderita yang juga mengeluh badan lemah, nafsu makan berkurang, perut lekas kenyang, dan beberapa diantaranya ada mengeluh mata menjadi kuning.

(Sujono hadi, 2002) 2.4.2.2. Pemeriksaan laboratorium AST/SGPT merupakan enzim yang utama banyak ditemukan pada sel hati serta efektif dalam mendiagnosis destruksi hepatoselular. Enzimini juga ditemukan dalam jumlah sedikit pada otot jantung, ginjal, serta otot rangka. Kadar ALT serum dapat lebih tinggi kadar nya dari sekelompok transferase lainnya (transminase, AST/SGOT). Dalam kasus hepatitis akut serta kerusakan hati akibat penggunaan obat dan zat kimia setiap serum dapat mencapai 200-4000 U/L. Alt di gunakan untuk membedakan antara penyebab karena kerusakan hati dan ikterik hemolitik. Meninjau ikterik, kadar ALT yang berasal dari hati, temuannya bernilai lebih tinggi dari 300 unit. Yang berasal dari bukan hati, temuan bernilai lebih < 300 unit. Kadar ALT biasanya meningkat sebelum tampak ikterik. ALT meningkat lebih khas dari pada AST pada kasus nekrosis hati dan hepatitis akut, sedangkan AST meningkjat lebih khas pada nekrosis miokardium, sirosis hati, kanker kronis dan kongesti hati. AST/SGOT ( aminotransferase aspart/ transminase oksaloasetat glutamate serum) Merupakan enzim yang sebagian besar ditemuka dalam otot janting dan hati, sementara dalam konsentrasi sedang dapat ditemukan pada otot rangka, ginjal dan pankreas. Pada penyakit hati, kadar serum akan meningkat 10 x atau lebih, dan tetap demikian dalam waktu lama. Albumin . Albumin merupakan komponen protein, membentuk lebih dari separuh protein plasma. Albumin disintesis di hati. Protein ini dapat meningkat untuk mempertahan kan cairan vaskular. Penurunana albumin serum dapat menyebabkan ciran berpendah dari pembuluh darah menujujaringan sehingga terjadi edema. Rasio A/G adalah merupakan perhitungan terhadap distribusi fraksi 2 protein yang penting yaitu albumin dan globulin. Nilai rujukan rasio A/G adalah > 1,0 yaitu nilai albumin di bagi dgn nilai globulin. Nilai rasio yang tinggi dinyatakan tidak signifikan, nilai rasio yang rendah di dapat ditemukan pada penyakit hati dan ginjal. Perhitungan

elektroforesis protein merupakan perhitungan yang lebih akurat, dan sudah menggantikan cara perhitungan rasio A/G. Alkali fosfatase (ALP) ALP adalah enzim yang diproduksi terutama oleh hati dan tulang.Enzim ini juga berasal dari usus, ginjal, dan plasenta. Pengujian ALP berguna untuk menentukan apakah terdapat penyakit hati dan tulang. Jika terjadi kerusakan ringan pada sel hati, kadar ALP mungkin agak naik, tetapi peningkatan yanh jelas terlihat pada penyakit hati akut. Begitu fase akut terlampaui, kadar serum akan segera menurun, sementara kadar bilirubin serum tetap meningkat. Isoenzim ALP digunakan untuk membedakan penyakit hati dengan penyakit tulang. ALP1 menandakan penyakit hati, sementara ALP2 oleh tulang. Bilirubin 1. Bilirubin reaksi langsung atau terkojugasi Bilirubin terbetuk akibat penguraian hemoglobin oleh system RES dan dibawa di dalam plasma menuju hati untuk melakukan prises konjugasi (secara langsung) , untuk membentuk bilirubin diglukoronida dan diekskresikan ke dalam empedu. Bilirubin langsung atau terkonjugasi kerap muncul akibat ikterik obstruktif, baik yang bersifat extrahepatika ( akibat pembentukan batu atau tumor) maupun intra hepatica. Bilirubin terkonjugasi tidak dapat keluar dari empedu menuju usus sehingga akan masuk kembali, dan terabsorbsi dalam aliran darah. Sel hati yang rusak dfapat menyebabkan hambatan sinusoid empedu sehingga meningkatkan kadar serum bilirubin langsung. Pada kasus hepatitis dan sirosis terdekompensasi, baik kadar bilirubin langsung maupun tak langsung dapat meningkat. Kadar bilirubin serum total pada bayi baru lahir dapat mencapai 12 mg/dl. Kadar yang dapat menimbulkan kepanikan adalah > 15 mg/dl. Ikterik kerap tampak jika kadar bilirubin serum mencapai > 3 mg/dl. 2. Bilirubin reaksi tak langsung atau tak terkonjugasi Merupakan kadar protein yang dikaitkan dengan peningkatan penghancuran sel darah merah (hemolisis). Peningkatan bilirubin tak lansung dapat terjadi pada hemolisis yang dipicu oleh autoimun atau transfusi pada hemolitik yang disebabkan anemia sel sabit, anemia pernisisosa, dan malaria. Perdarahan internal ke dalam jaringan lunak dan

rongga tubuh dapat menyebabkan kadar bilirubin meninngkat dalam 5 6 jam. Pada beberapa masalah klinis, CHF dan kerusakan hati yang serius, kadar bilirubin baik yang langsung maupun tidak langsung akan meningkat. Kadar bilirubin tak langsung kerap meningkat akibat sel hati yang rusak dan tidak mampu mengonjugasi jumlah yang normal sehingga terjadi peningkatan kadar bilirubin yang tak terkonjugasi. (Joyce Lefe Ver Kee, 2007) Waktu protrombin Indeks ini merupakan pengukuran fungsi sintetik hati. Uju ini menggambarkan faktor koagulasi II, VII, IX, dan X yang bergantung pada vitamin K. Nilai normalnya bergantung pada sintesis intake dan absorbsi vitamin K di usus. Sindrom sirosis, hepatitis, kolestatik dapat mempunyai nilai waktu protrombin yang memanjang. Indeks ini merupakan progbostikator yang berguna pada pasien sirosis. (Tommy L. Lin, 2010) Tabel pola karakteristik abnormalitas uji fungsi hati : No 1 2 3 4 5 6 7 Uji Albumin ALT dan AST Bilirubin Alkali fosfatase GGT Waktu protrombin Hitung trombosit Hasil Rendah, Sangat rendah Normal, meningkat sedang Kadar total dan direck tinggi, mungkin normal Meningkat ringan, sedang Meningkat ringan, sedang Sedikit sampai sangat panjang Mormal (Tommy L. Lin, 2010) Tabel nilai normal Uji Fungsi Hati : No 1 2 3 4 5 6 7 Uji Fungsi Hati AST ALT Alkali fosfatase Bilirubin total Bilirubin direk Albumin Protrombin time Nilai Normal 5- 40 IU/L 0- 40 IU/L 40- 200 IU/L 0,2 1,2 mg/dl 0 0,4 mg/dl 3,0 5,5 g/dl 11 14 detik

GGT a. perempuan b. laki - laki (Sylvia A. Price, 2005) 9 31 IU/L 12 38 IU/L

2.4.1.3. pemeriksaan Radiologis 1. foto toraks tidak semua penderita sirosis hati di buat foto toraks. Dari sejumlah 767 penderira sirosis hati yang di teliti, hanya 37 penderita yang di buat foto torak dan sebagian besar tidak ditemui kelainan paru. Kelainan foto torak akibat sirosis hati dengan hipertensi pirtal ialah peninggian diafraghma kanan dan kiri. Peninggian diafragma tersebut diakibatkan karena asites yang banyak dan mendorong diafragma ke atas. Selain peninggian diafragma, kadang-kadang dapat ditemukan efusi pleura. Hal ini terjadi karena cairan asites yang banyak disertai adanya defek pada diafragma kanan yang menyebabkan infiltrasi cairan asites ke dalam rongga pleura kanan. Pada penderita ini, telah dilakukan pungsi pleura dan asites dan diperoleh hasil cairan yang sama. (Sujono hadi, 2002) 2. Splenoportografi Dengan menyuntikkan kontras media ke dalam limpa, maka akan terlihat aliran vena lienalis, vena porta, dan sistema kolateral lain. Gambaran ini tampak jelas pada penderita sirosis hati dengan hipertensi portal. Selama melakukan perasat ini harus diperhatikan timbulnya komplikasi yang mungkin terjadi yaitu ; kemungkinan perdarahan, kontras media keluar dari limpa, dan kemungkinan waktu memasukan jarum ikut terkena organ lain. (Sujono hadi, 2002) 3. Percutaneus transhepatik portography ( PTP) Dengan cara ini akan diperoleh gambar vena porta dan sistem kolateral yang lebih sempurna dan jelas. Dengan memasukan jarum dari kateter melalui kulit menembus ke lobus kana dimasukkan ke dalam vena porta. Setelah jaru dan kateter masuk ke dalam

vena porta, kemudian sedikit kontras media dimasukan ke dalam vena porta. Serelah sudah pasti masuk ke vena porta, jarum dicabut, dan diganti dengan kawat penuntun (guide wire). Dengan tuntunan kawat penuntun, ujung kateter diarahkan ke vena lienalis, kemudian dimasukan kontras media baru dibuat foto. Dengan demikian akan diperoleh gambar dari vena porta dan sistema kolateral. (Sujono hadi, 2002) 4. Endoskopy dengan menggunakan barium meal untuk mengetahui adanya varises esovagus untuk konfirmasi adanya hypertensi porta. 5. USG, Di lakukan untuk melihat keadaan hati seperti sudut hati, permukaan hati, ukuran dan adanya massa. Pada sirossis lanjut, hati mengecil dan nodular permukaan irreguler dan ada peningkatan eksogenitas parenkim hati. USG juga bisa untuk menilai adanya asites, splenomegali, trombosis vena porta dan pelebaran vena porta. 6. CT- SCAN dan MRI informasinya sama dengan USG, memberikan informasi tentang besar hati dan aliran darah hepatik seta obstruksi aliran tersebut Tidak rutin digunakan dan harganya mahal. ( Siti Nurdjanah, 2006). 2.5. Penatalaksanaan sirosis hati

(Kelompok diskusi medical bedah Universitas Indonesia). Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk mengurangi progres penyakit, menghindarkan bahan- bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penangan komplikasi. a. Pada sirosis tanpa hipertensi portal perlu diberikan diit tinggi kalori 2500 kal dan tinggi protein 80-100 gram/hari. Lemak tidak perlu dibatasi jumlahnya. Disamping itu perlu diberikan vitamin, diantaranya vitamin C, thiamin, riboflavin, asam nikotin, vitamin B12, serta obat yang mengandung protein tinggi mosalnya superton. (Sujono Hadi, 2002) b. Pada peminum alkohol harus berhenti minum alkohol. c. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik d. Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif. hati.

e. Pada penyakit hati nonalkoholik ; menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis. (Siti Nurdjanah, 2006) f. Hemokromatosis, dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi atau terapi kelasi (Desferioxamine). Dilakukan venaseksi dua kali seminggu sebanyak 500 cc selama setahun. g. Pada penyakit wilson, diberikan D-penicilamine 20 mg/kgBB/hari yang akan mengikat kelebihan cuprum dan menambah ekskresi melalui urine. (Pengarapen Tarigan, 1996) h. Pada sirosis hati akibat infeksi virus B dan C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan, pengobatan IFN seperti : a) kombinasi IFN dengan ribavirin b) terapi induksi IFN c) terapi dosis IFN tiap hari Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan(1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan untukjangka waktu 2448 minggu. Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggudengan atau tanpa kombinasiRIB Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati. (Sri Maryani Sutadi, 2003) i. Antioksidan sebagai penghambat aktivasi HSC. Obat golongan ini menyebabkan inhibisi stimulasi parakrin HSC. Contoh obat ini adalah vitamin E, yang dapat mencegah terbetuknya berbagai antioksidan seperti

asetildehida serta berbagai spesifik oksigen reaktif (ROS) termasuk H 2O2 dan radikal bebas hidroksil. Disamping itu, vitamin E juga dikatakan dapat menekan fibrogenesis. Contoh lain ialah silimarin yang dapat menghambat kerusakan hati dan akumulasi kolagen hati pada fibrosis bilier lanjut. (Iman Randal Tarigan, 2008) 2.6. Komplikasi-Komplikasi Sirosis Hepatis Edema dan ascites Ketika sirosis hati menjadi parah, tanda-tanda dikirim ke ginjal-ginjal untuk menahan garam dan air didalam tubuh. Kelebihan garam dan air pertama-tama berakumulasi dalam jaringan dibawah kulit pergelangan-pergelangan kaki dan kaki-kaki karena efek gaya berat ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan ini disebut edema atau pitting edema. (Pitting edema merujuk pada fakta bahwa menekan sebuah ujung jari dengan kuat pada suatu pergelangan atau kaki dengan edema menyebabkan suatu lekukan pada kulit yang berlangsung untuk beberapa waktu setelah pelepasan dari tekanan. Sebenarnya, tipe dari tekanan apa saja, seperti dari pita elastik kaos kaki, mungkin cukup untk menyebabkan pitting). Pembengkakkan seringkali memburuk pada akhir hari setelah berdiri atau duduk dan mungkin berkurang dalam semalam sebagai suatu akibat dari kehilnagan efek-efek gaya berat ketika berbaring. Ketika sirosis memburuk dan lebih banyak garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin berakumulasi dalam rongga perut antara dinding perut dan organ-organ perut. Akumulasi cairan ini (disebut ascites) menyebabkan pembengkakkan perut, ketidaknyamanan perut, dan berat badan yang meningkat. (Kelompok diskusi medical bedah Universitas Indonesia) Penanganan asites : Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,3 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obat diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respon diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/gari, tanpa adanya edemkaki atau 1 kg/

hari dengan adanya edem kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bias dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20- 40 mg/ hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/ hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar dan sebaiknya dilakukan pada pasien sirosis dengan Child- Pugh C. Pengeluaran asites bisa hingga 4- 6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin. (Siti Nurdjanah, 2006)

Perdarahan dari Varices esofagus (esophageal varices) Pada sirosis hati, jaringan parut menghalangi aliran darah yang kembali ke jantung dari usus-usus dan meningkatkan tekanan dalam vena portal (hipertensi portal). Ketika tekanan dalam vena portal menjadi cukup tinggi, ia menyebabkan darah mengalir di sekitar hati melalui vena-vena dengan tekanan yang lebih rendah untuk mencapai jantung. Vena-vena yang paling umum yang dilalui darah untuk membypass hati adalah vena-vena yang melapisi bagian bawah dari kerongkongan (esophagus) dan bagian atas dari lambung. Sebagai suatu akibat dari aliran darah yang meningkat dan peningkatan tekanan yang diakibatkannya, vena-vena pada kerongkongan yang lebih bawah dan lambung bagian atas mengembang dan mereka dirujuk sebagai esophageal dan gastric varices; lebih tinggi tekanan portal, lebih besar varices-varices dan lebih mungkin seorang pasien mendapat perdarahan dari varices-varices kedalam kerongkongan (esophagus) atau lambung. Perdarahan dari varices-varices biasanya adalah parah/berat dan, tanpa perawatan segera, dapat menjadi fatal. Gejala-gejala dari perdarahan varices-varices termasuk muntah darah (muntahan dapat berupa darah merah bercampur dengan gumpalan-gumpalan atau "coffee grounds" dalam penampilannya, yang belakangan disebabkan oleh efek dari asam pada darah), mengeluarkan tinja/feces yang hitam dan bersifat ter disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam darah ketika ia melewati usus (melena), dan kepeningan orthostatic (orthostatic dizziness) atau membuat pingsan (disebabkan oleh suatu kemerosotan dalam tekanan darah terutama ketika berdiri dari suatu posisi berbaring).

Perdarahan juga mungkin terjadi dari varices-varices yang terbentuk dimana saja didalam usus-usus, contohnya, usus besar (kolon), namun ini adalah jarang. Untuk sebab-sebab yang belum diketahui, pasien-pasien yang diopname karena perdarahan yang secara aktif dari varices-varices kerongkongan mempunyai suatu risiko yang tinggi mengembangkan spontaneous bacterial peritonitis. (Kelompok diskusi medical bedah Universitas Indonesia) Menurut dagradi, berdasarkan hasil pemeriksaan esofagoskopi dengan EderHufford esofagoskop, maka varises esofagus dapat di bagi dalam beberapa tingkatan, yaitu : Tingkat 1 : Dengan diameter 2-3 mm, terdapat pada submukosa, boleh dikatakan sukar dilihat penonjolan ke dalam lumen. Hanya dapat dilihat setelah dilakukan kompresi. Tingkat 2 : Mempunyai diameter 2-3 mm, masih terdapat disubmukosa, mulai terlihat penonjolan di mukosa tanpa kompresi. Tingkat 3 : Mempunyai diameter 3-4 mm, panjang dan sudah mulai terlihat berkelokkelok, terlihat penonjolan sebagian dengan dengan jelas pada mukosa lumen. Tingkat 4 : Dengan diameter 4-5 mm, terlihat panjang berkelok-kelok. Sebagian besar dari varises terlihat nyata pada mukosa lumen. Tingkat 5 : Mempunyai diameter lebih dari 5 mm, dengan jelas sebagian besar atau seluruh esofagus terlihat penonjolan serta berkelok-keloknya varises. (Sujono hadi, 2002)

Penanganan varises esophagus : Penatalaksanaan umun dan resusitasi 1. Penderita harus segera mendapat pertolongan untuk menstabilkan haemodinamis dengan pilihan cairan resusitasi adalah cairan kristaloid. 2. Bila transfusi dilakukan, berikan jangan terlalu cepat dan cukup sampai dengan PCV/ Hct sekitar 0,27 0,30.

3. Pemasangan nasogastric tube berguna untuk memonitor adanya perdarahan baru atau untuk persiapan endoskopi 4. Pemberian antibiotik jangka pendek (misalnya siprofloksasin) terbukti dapat mencegah terjadinya peritonitis bakterial spontan. 5. Vitamin K diberikan bila ada gangguan faal koagulasi. Usaha penghentian perdarahan varises 1. Pemberian obat-obatan vasoaktif antara lain : vasopresin dengan dosis awal 0,5-0,4 mikro/menit IV lalu dinaikkan 0,1-0,2 mikro/menit setiap 30-40 menit sampai perdarahan brhenti. Somatostatik/ octerolide dengan dosis 250 mg dimasukkan sebagai bolus IV. 2. Tamponade balon 3. Transjugular Intrahepatik Porto Systemik Shunt ( TIPSS ). (Buku Ajar IPD Unair, 2007) Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) Cairan dalam rongga perut (ascites) adalah tempat yang sempurna untuk bakteribakteri berkembang. Secara normal, rongga perut mengandung suatu jumlah yang sangat kecil cairan yang mampu melawan infeksi dengan baik, dan bakteri-bakteri yang masuk ke perut (biasanya dari usus) dibunuh atau menemukan jalan mereka kedalam vena portal dan ke hati dimana mereka dibunuh. Pada sirosis, cairan yang mengumpul didalam perut tidak mampu untuk melawan infeksi secara normal. Sebagai tambahan, lebih banyak bakteri-bakteri menemukan jalan mereka dari usus kedalam ascites. Oleh karenanya, infeksi didalam perut dan ascites, dirujuk sebagai spontaneous bacterial peritonitis atau SBP, kemungkinan terjadi. SBP adalah suatu komplikasi yang mengancam nyawa. Beberapa pasien-pasien dengan SBP tdak mempunyai gejala-gejala, dimana yang lainnya mempunyai demam, kedinginan, sakit perut dan kelembutan perut, diare, dan memburuknya ascites. (Kelompok diskusi medical bedah Universitas Indonesia) Adanya kecurigaan akan SBP bila dijumpai keadaan sebagai berikut : 1. Sucpect grade B dan C cirrhosis with ascites

2. Clinical feature my be absent and WBC normal 3. Ascites protein usually <1 g/dl 4. Usually monomicrobial and Gram-Negative 5. Start antibiotic if ascites > 250 mm polymorphs 6. 50% die 7. 69 % recurent in 1 year. Penanganan SBP : Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu. (Sri Maryani Sutadi, 2003) Hepatic encephalopathy Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari pencernaan dan penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara normal hadir dalam usus. Ketika menggunakan protein untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, bakteri-bakteri membuat unsur-unsur yang mereka lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur ini kemudian dapat diserap kedalam tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia, dapat mempunyai efek-efek beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur beracun ini diangkut dari usus didalam vena portal ke hati dimana mereka dikeluarkan dari darah dan didetoksifikasi (dihliangkan racunnya). Seperti didiskusikan sebelumnya, ketika sirosis hadir, sel-sel hati tidak dapat berfungsi secara normal karena mereka rusak atau karena mereka telah kehilangan hubungan normalnya dengan darah. Sebagai tambahan, beberapa dari darah dalam vena portal membypass hati melalui vena-vena lain. Akibat dari kelainan-kelainan ini adalah bahwa unsur-unsur beracun tidak dapat dikeluarkan oleh sel-sel hati, dan, sebagai gantinya, unsur-unsur beracun berakumulasi dalam darah.

Ketika unsur-unsur beracun berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi dari otak terganggu, suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy. Tidur waktu siang hari daripada pada malam hari (kebalikkan dari pola tidur yang normal) adalah diantara gejala-gejala paling dini dari hepatic encephalopathy. Gejala-gejala lain termasuk sifat lekas marah, ketidakmampuan untuk konsentrasi atau melakukan perhitunganperhitungan, kehilangan memori, kebingungan, atau tingkat-tingkat kesadaran yang tertekan. Akhirnya, hepatic encephalopathy yang parah/berat menyebabkan koma dan kematian. Unsur-unsur beracun juga membuat otak-otak dari pasien-pasien dengan sirosis sangat peka pada obat-obat yang disaring dan di-detoksifikasi secara normal oleh hati. Dosisdosis dari banyak obat-obat yang secara normal di-detoksifikasi oleh hati harus dikurangi untuk mencegah suatu penambahan racun pada sirosis, terutama obat-obat penenang (sedatives) dan obat-obat yang digunakan untuk memajukan tidur. Secara alternatif, obatobat mungkin digunakan yang tidak perlu di-detoksifikasi atau dihilangkan dari tubuh oleh hati, contohnya, obat-obat yang dihilangkan/dieliminasi oleh ginjal-ginjal. (Kelompok diskusi medical bedah Universitas Indonesia) Penanganan Ensefalopathy hepatik : Prinsip penggunaan ada 3 sasaran : 1. mengenali dan mengobati faktor pencetus 2. intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta toxin-toxin yang berasal dari usus dengan jalan : - Diet rendah protein, protein dapat ditingkatkan secara bertahap, misalnya dari 10 gram menjadi 20 gram sehari selama 3- 5 hari disesuaikan klinis, dan bila keadaan telah stabil dapat diberikan protein 40- 60 gram sehari. - Pemberian antibiotik (neomisin 2- 4 gram/ hari oral, Metronidazol 4 x 250 mg/ hari merupakan alternatif). - Pemberian laktulosa/ laktikol ( diberikan secara oral dengan dosis 60- 120 ml/ hari untuk merangsang defekasi). Laktulosa merupakan suatu disakarida sintesis yang tidak diabsorbsi oleh usus halus, tetapi dihidrolisis oleh bakteri usus besar sehingga terjadi lingkungan dengan pH asam

yang akan menghambat penyerapan amoniak. Selai itu frekwensi defekasi bertambah sehingga memperpendek waktu transit protein di usus. 3. Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter - Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil) - Tak langsung (Pemberian AARS) (Sri maryani Sutadi, 2003) Hepatorenal syndrome Pasien-pasien dengan sirosis yang memburuk dapat mengembangkan hepatorenal syndrome. Sindrom ini adalah suatu komplikasi yang serius dimana fungsi dari ginjalginjal berkurang. Itu adalah suatu persoalan fungsi dalam ginjal-ginjal, yaitu, tidak ada kerusakn fisik pada ginjal-ginjal. Sebagai gantinya, fungsi yang berkurang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam cara darah mengalir melalui ginjal-ginjalnya. Hepatorenal syndrome didefinisikan sebagai kegagalan yang progresif dari ginjal-ginjal untuk membersihkan unsur-unsur dari darah dan menghasilkan jumlah-jumlah urin yang memadai walaupun beberapa fungsi-fungsi penting lain dari ginjal-ginjal, seperti penahanan garam, dipelihara/dipertahankan. Jika fungsi hati membaik atau sebuah hati yang sehat dicangkok kedalam seorang pasien dengan hepatorenal syndrome, ginjalginjal biasanya mulai bekerja secara normal. Ini menyarankan bahwa fungsi yang berkurang dari ginjal-ginjal adalah akibat dari akumulasi unsur-unsur beracun dalam darah ketika hati gagal. (Kelompok diskusi medikal bedah Universitas Indonesia) Secara umum SHR dapat diklasifiksikan dalam 2 type yaitu : SHR tipe 1 : tipe ini merupakan manifestasi yang sangat progresif, dimana terjadi peningkatan serum kratinin dua kali lipat ( nilai awal serum kreatinin lebih dari 2,5 mg/dl) atau penurunan bersihan kreatinin 50 % dari nilai awal sehingga mencapai 20 ml/menit dalam waktu kurang dari 2 minggu. Prognosisnya buruk, yaitu sekitar 80 % akan meninggal dalam 2 minggu, dan hanya 10 % yang bisa bertahan lebih dari 3 bulan. Penyebab kematian

adalah karena kegagalan sirkulasi, gagal hati, gagal ginjal, dan ensefalopati hepatik. SHR tipe 2 : tipe ini merupaka bentuk kronis SHR, ditandai dengan penurunan LFG yang lambat. Kondisi pasien biasanya lebih baik dari SHR tipe 1 dengan angka harapan hidup yang lebih lama. Prognosis SHR tipe 2 umumnya buruk, yauti angka harapan hidup 5 bulan sekitar 50 % dan 1 tahun sebesar 20 %. SHR tipe 2 bisa berkembang jadi SHR tipe 1. (Purnomo budi setiawan, 2006) Penanganan sindrome hepatorenal : Umum 1. Terapi berupa diet tinggi kalori, rendah protein. 2. Koreksi keseimbangan cairan, elktrolit, dan asam basa. 3. Hindari pemakaian OAINS. 4. PBS harus segera diobati dengan adekuat. 5. Hindari terjadinya ensefalopathy hepatik. Medikamentosa 1.Vasodilator, Dopamin secara luas digunakan namun belum ada bukti pemberian dopamin ini secara bermakna bermanfaat pada hepatorenal syndrome. 2. Vasokonstriktor, terlipressin merupakan vasokonstriktor yang baik pada kasus ini. Oktreotid merupakan vasokonstriktor alternatif bila terlipressin belum atau tidak tersedia. Tindakan Invasif 1. Transplantasi hati. Pada SHR tipe 1 umumnya pendek yaitu beberapa hari atau kurang dari 2 minggu, sehingga transplantasi hati sulit dilaksanakan. Pada SHR tipe 2 terbukti bermanfaat pada 90 % kasus dengan angka ketahanan hidup yang lebih kurang sama dengan transpalntasi hati pada pasien tanpa SHR. 2. Transjugular Intrahepatik Portosystemik Shunt ( TIPS ). TIPS dapat memperbaiki perfusis ginjal dan menurunkan aktifitas aksis RAAS. Pada pasien SHR yang tanpa

transplantasi hati TIPS bermanfaat pada 75 % kasus dengan angka ketahanan hidup SHR tipe 2 lebih baik dibanding dengan tipe 1. (Purnomo budi setiawan, 2006)

2.7. Prognosis sirosis hati Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktir, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai. Klasifikasi Child Turcotte Pugh juga pat untuk menilai prognosis sirosis hati yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, asites dan status nutrisi.

Tabel prognosa menurut Child Turcotte Pugh untuk penyakit sirosis hati Derajat kerusakan Bil. Serum (mu.mol/dl) Alb. Serum (gr/dl) Asites PSE/ensefalopati Nutrisi Minimal/Child A < 35 >35 Nihil Nihil Sempurna Sedang/Child B 35-50 30-35 Mudah dikontrol Minimal Baik Berat/Child C >50 <30 Sukar Berat/koma Kurang/kurus

Dari hasil tabel diatas, maka prognosa pagi pengidap sirosis hati adalah Child A, prognosisnya100%. Child B, prognosisnya 80%. Child C, prognosisnya 45%. (Siti Nurdjanah, 2006) Sirosis hati adalah kondisi yang ireversibel, namun sangat mungkin fibrosis hati pada masa mendatang reversibel, sehingga ireversibel tidak absolut. Penderita sirosis hati kompensata akan menjadi dekompensata dengan angka sekitar 10 % per tahun. Penderita sirosis hati dekompensata mempunyai angka ketahanan hidup 5 tahun, hanya sekitar 20%. Asites adalah tanda awalnya danya dekompensata. Penderita sirosis hepatis dengan peritonitis bakterial spontan mempunyai angka ketahanan hidup satu tahun sekitar 30 -45%, dan yang mengalami ensefalopati hepatik angka ketahanan hidup satu tahun sekitar 40 %. (Buku Ajar IPD Unair, 2007).

Anda mungkin juga menyukai