Anda di halaman 1dari 51

1|Page

Tugas Individu Mata Kuliah : Kimia Forensik Lanjutan Dosen : Dr Nursamran Subandi. M.Si

KIMIA FORENSIK

OLEH :

AWALUDDIN IWAN PERDANA (P1100212006)

JURUSAN KIMIA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN 2013

2|Page

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera Bagi Kita Semua. Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sekalian, sehingga dalam kehidupan kita dapat berkarya serta melaksanakan tugas dan kewajiban kita masing masing. Semoga kita semua selalu mendapat petunjuk dan perlindungan-Nya sepanjang masa. Dan atas izin Nya, Alhamdulillah niat dan tekad penyusun untuk menyelesaikan penyusunan makalah pada mata kuliah Kimia Forensik Lanjutan dengan judul ANALISIS DAN APLIKASI DNA MITOKONDRIA (Mt DNA) PADA BIDANG FORENSIK dapat tersusun dengan baik. Makalah ini di susun dengan bahasa yang sederhana berdasarkan berbagai literatur tertentu dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman mengenai teori yang di bahas. Walaupun demikian, tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penyusun terbuka dengan senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dan sumbangsih untuk kemajuan perkembangan Biokimia. Wassalamualaikum Wr. Wb. Makasar, 25 April 2012 PENYUSUN

3|Page

DAFTAR ISI Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................. DAFTAR ISI................................................................................................ BAB 1. ILMU FORENSIK ........................................................................ 1.1 Pendahuluan ................................................................................ 1.2 Ruang Lingkup Ilmu Forensik .................................................... 1.3 Ruang Lingkup Ilmu Forensik .................................................... 1.4 Langkah-langkah Penyidikan....................................................... BAB 2. DNA MITOKONDRIA ................................................................. 2.1 Pendahuluan................................................................................... 2.2 DNA (deoxyribonucleic acid) ....................................................... 2.3 DNA Mitokondria ........................................................................ 2.4 Daerah HVI pada MtDNA manusia ................................................ 2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pencemaran udara ................ BAB 3. METODE ANALISA DNA MITOKONDRIA........................... 3.1 Pendahuluan ................................................................................ 3.2 Berbagai metode analisa Mt DNA BAB 4. POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) 4.1 Pendahuluan 4.2. Prinsip-prinsip umum pcr 4.3 Pelaksanaan PCR 4.4. Optimasi PCR BAB 5. ELEKTROFORESIS 5.1. Pendahuluan 5.2. Prinsip Kerja 5,3. Elektroforesis gel agarosa BAB 6. SKUENSING DNA 6.1. Pendahuluan

i ii iii 1 1 3 8 10 11 11 11 20 13 24 27 27 27 28 28 28 30 33 36 36 36 37 39 39

4|Page

6.2. Prinsip Sekuensing DNA 6.3. Metode Maxam-Gilbert 6.4. Metode Sanger 6.5. Pangkalan Data Sekuens DNA 6.6. Proyek-proyek Sekuensing Genom BAB 7. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN JURNAL-JURNAL

39 40 41 42 43 44 46 48

5|Page

BAB 1 ILMU FORENSIK 1.1. Pendahuluan Kimia Forensik merupakan aplikasi dari ilmu kimia itu sendiri. Beberapa hal yang perlu diingat tentang kimia forensik yaitu untuk memecahkan masalah kriminal dan mejaga seseorang yang tidak bersalah dari tuduan hukum atas kriminal yang tidak ia perbuat. Seringkali kekuatan penuntutan bertumpu pada kemampuan aparat penegak hukum untuk menghubungkan terdakwa dengan korban dengan cara mencocokkan bukti fisik dari TKP atau korban dengan jejak bukti yang ditemukan pada atau tentang orang yang dituduh melakukan kejahatan. Peneliti Forensik berkonsultasi dengan berbagai ahli yang menganalisa bukti yang dikumpulkan di TKP dan dibawa ke laboratorium kejahatan untuk diperiksa. Kimiawan Forensik melakukan analisis khusus untuk mengidentifikasi bahan dan mempelajari sifat bukti tersebut. Seorang ahli kimia forensik sangat terlatih dapat menentukan komposisi dan sifat bahan dan memprediksi sumber serta pencocokan sampel terhadap sampel. Kimiawan ini memadukan teknik analis kimia modern dan teknis analisis konvensional. Bukti fisik yang dikumpulkan di TKP disegel dalam kontainer khusus untuk mencegah kontaminasi dan degradasi dan katalog dengan hati-hati. Sebuah rantai ditetapkan dan didokumentasikan sebagai bukti dikirim ke laboratorium forensik. Di laboratorium, bukti itu diperiksa oleh personil terlatih dalam salah satu dari beberapa bidang: serologists forensik memeriksa cairan tubuh, patolog forensik memeriksa jenazah manusia, senjata api teknisi mengklasifikasikan dan uji senjata api dan bahan peledak, dan kimia forensik menentukan komposisi dan identitas bahan. Forensik biasanya selalu dikaitkan dengan tindak pidana (tindak melawan hukum). Dalam buku-buku ilmu forensik pada umumnya ilmu forensik diartikan sebagai penerapan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dalam penyidikan suatu kasus kejahatan, observasi terhadap bukti fisik dan interpretasi dari hasil analisis (pengujian) barang bukti merupakan alat utama dalam penyidikan tersebut. Tercatat pertama kali pada abad ke 19 di Perancis Josep Bonaventura Orfila pada suatu pengadilan dengan percobaan keracunan pada hewan dan dengan buku toksikologinya dapat meyakinkan hakim, sehingga menghilangkan anggapan bahwa kematian akibat keracunan disebabkan oleh mistik.

6|Page

Pada pertengahan abad ke 19, pertama kali ilmu kimia, mikroskopi, dan fotografi dimanfaatkan dalam penyidikan kasus kriminal (Eckert, 1980). Revolusi ini merupakan gambaran tanggungjawab dari petugas penyidik dalam penegakan hukum. Alphonse Bertillon (1853-1914) adalah seorang ilmuwan yang pertamakali secara sistematis meneliti ukuran tubuh manusia sebagai parameter dalam personal indentifikasi. Sampai awal 1900-an metode dari Bertillon sangat ampuh digunakan pada personal indentifikasi. Bertillon dikenal sebagai bapak identifikasi kriminal (criminal identification). Francis Galton (1822-1911) pertama kali meneliti sidik jari dan mengembangkan metode klasifikasi dari sidik jari. Hasil penelitiannya sekarang ini digunakan sebagai metode dasar dalam personal identifikasi. Leone Lattes (1887-1954) seorang profesor di institut kedokteran forensik di Universitas Turin, Itali. Dalam investigasi dan identifikasi bercak darah yang mengering a dried bloodstain, Lattes menggolongkan darah ke dalam 4 klasifikasi, yaitu A, B, AB, dan O. Dasar klasifikasi ini masih kita kenal dan dimanfaatkan secara luas sampai sekarang. Dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bidang ilmu yang dilibatkan atau dimanfaatkan dalam penyidikan suatu kasus kriminal untuk kepentingan hukum dan keadilan. Ilmu pengetahuan tersebut sering dikenal dengan Ilmu Forensik. Saferstein dalam bukunya Criminalistics an Introduction to Forensic Science berpendapat bahwa ilmu forensik forensic science secara umum adalah the application of science to law. Ilmu Forensik dikatagorikan ke dalam ilmu pengetahuan alam dan dibangun berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilmu alam sesuatu sesuatu dianggap ilmiah hanya dan hanya jika didasarkan pada fakta atau pengalaman (empirisme),kebenaran ilmiah harus dapat dibuktikan oleh setiap orang melalui indranya (positivesme), analisis dan hasilnya mampu dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun induktif dalam struktur bahasa tertentu yang mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat dikomunikasikan ke masyarakat luas dengan tidak mudah atau tanpa tergoyahkan (kritik ilmu) (Purwadianto 2000). Dewasa ini dalam penyidikan suatu tindak kriminal merupakan suatu keharusan menerapkan pembuktian dan pemeriksaan bukti fisik secara ilmiah. Sehingga diharapkan tujuan dari hukum acara pidana, yang menjadi landasan proses peradilan pidana, dapat tercapai yaitu mencari kebenaran materiil. Tujuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kehakiman No.M.01.PW.07.03 tahun 1983 yaitu: untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebanaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

7|Page

dari sutau perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Adanya pembuktian ilmiah diharapkan polisi, jaksa, dan hakim tidaklah mengandalkan pengakuan dari tersangka atau saksi hidup dalam penyidikan dan menyelesaikan suatu perkara. Karena saksi hidup dapat berbohong atau disuruh berbohong, maka dengan hanya berdasarkan keterangan saksi dimaksud, tidak dapat dijamin tercapainya tujuan penegakan kebenaran dalam proses perkara pidana dimaksud. Dalam pembuktian dan pemeriksaan secara ilmiah, kita mengenal istilah ilmu forensik dan kriminologi. Secara umum ilmu forensik dapat diartikan sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. 1.2. Ruang Lingkup Ilmu Forensik Ilmu-ilmu yang menunjang ilmu forensik adalah ilmu kedokteran, farmasi, kimia, biologi, fisika, dan psikologi. Sedangkan kriminalistik merupakan cabang dari ilmu forensik. Cabang-cabang ilmu forensik lainnya adalah: kedokteran forensik, toksikologi forensik, odontologi forensik, psikiatri forensik, entomologi forensik, antrofologi forensik, balistik forensik, fotografi forensik, dan serologi / biologi molekuler forensik. Biologi molekuler forensik lebih dikenal dengan DNA-forensic. Kriminalistik merupakan penerapan atau pemanfaatan ilmu-ilmu alam pada pengenalan, pengumpulan / pengambilan, identifikasi, individualisasi, dan evaluasi dari bukti fisik, dengan menggunakan metode / teknik ilmu alam di dalam atau untuk kepentingan hukum atau peradilan (Sampurna 2000). Pakar kriminalistik adalah tentunya seorang ilmuwan forensik yang bertanggung jawab terhadap pengujian (analisis) berbagai jenis bukti fisik, dia melakukan indentifikasi kuantifikasi dan dokumentasi dari bukti-bukti fisik. Dari hasil analisisnya kemudian dievaluasi, diinterpretasi dan dibuat sebagai laporan (keterangan ahli) dalam atau untuk kepentingan hukum atau peradilan (Eckert 1980). Sebelum melakukan tugasnya, seorang kriminalistik harus mendapatkan pelatihan atau pendidikan dalam penyidikan tempat kejadian perkara yang dibekali dengan kemampuan dalam pengenalan dan pengumpulan bukti-bukti fisik secara cepat. Di dalam perkara pidana, kriminalistik sebagaimana dengan ilmu forensik lainnya, juga berkontribusi dalam upaya pembuktian melalui prinsip dan cara ilmiah.

8|Page

Kriminalistik memiliki berbagai spesilisasi, seperti analisis (pengujian) senjata api dan bahan peledak, pengujian perkakas (toolmark examination), pemeriksaan dokumen, pemeriksaan biologis (termasuk analisis serologi atau DNA), analisis fisika, analisis kimia, analisis tanah, pemeriksaan sidik jari laten, analisis suara, analisis bukti impresi dan identifikasi. Kedokteran Forensik adalah penerapan atau pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum dan pengadilan. Kedokteran forensik mempelajari hal ikhwal manusia atau organ manusia dengan kaitannya peristiwa kejahatan. Di Inggris kedokteran forensik pertama kali dikenal dengan Coroner. Seorang coroner adalah seorang dokter yang bertugas melalukan pemeriksaan jenasah, melakukan otopsi mediko legal apabila diperlukan, melakukan penyidikan dan penelitian semua kematian yang terjadi karena kekerasan, kemudian melalukan penyidikan untuk menentukan sifat kematian tersebut Di Amerika Serikan juga dikenal dengan medical examinar. Sistem ini tidak berbeda jauh dengan sistem coroner di Inggris. Dalam perkembangannya bidang kedokteran forensik tidak hanya berhadapan dengan mayat (atau bedah mayat), tetapi juga berhubungan dengan orang hidup. Dalam hal ini peran kedokteran forensik meliputi: melakukan otopsi medikolegal dalam pemeriksaan menyenai sebab-sebab kematian, apakah mati wajar atau tidak wajar, penyidikan ini juga bertujuan untuk mencari peristiwa apa sebenarnya yang telah terjadi, identifikasi mayat, meneliti waktu kapan kematian itu berlansung time of death penyidikan pada tidak kekerasan seperti kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak dibawah umur, kekerasan dalam rumah tangga, pelayanan penelusuran keturunan, di negara maju kedokteran forensik juga menspesialisasikan dirinya pada bidang kecelakaan lalu lintas akibat pengaruh obat-obatan driving under drugs influence. Bidang ini di Jerman dikenal dengan Verkehrsmedizin Dalam prakteknya kedokteran forensik tidak dapat dipisahkan dengan bidang ilmu yang lainnya seperti toksikologi forensik, serologi / biologi molekuler forensik, odontologi forensik dan juga dengan bidang ilmu lainnya Toksikologi Forensik, Toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya zat kimia (racun) terhadap mekanisme biologi. Racun adalah senyawa yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa

9|Page

ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Lebih khusus, toksikologi mempelajari sifat fisiko kimia dari racun, efek psikologi yang ditimbulkannya pada organisme, metode analisis racun baik kualitativ maupun kuantitativ dari materi biologik atau non biologik, serta mempelajari tindakan-tidankan pencegahan bahaya keracunan. LOOMIS (1978) berdasarkan aplikasinya toksikologi dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yakni: toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomi dan toksikologi forensik. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah analisis racun baik kualitatif maupun kuantitatif sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Toksikologi forensik mencangkup terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti dalam tindak kriminal. Toksikologi forensik merupakan gabungan antara kimia analisis dan prinsip dasar toksikologi. Bidang kerja toksikologi forensik meliputi: analisis dan mengevaluasi racun penyebab kematian, analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau napas, yang dapat mengakibatkan perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan, penggunaan dooping), analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang lainnya. Odontologi Forensik, bidang ilmu ini berkembang berdasarkan pada kenyataannya bahwa: gigi, perbaikan gigi (dental restoration), dental protese (penggantian gigi yanng rusak), struktur rongga rahang atas sinus maxillaris, rahang, struktur tulang palatal (langitlangit keras di atas lidah), pola dari tulang trabekula, pola penumpukan krak gigi, tengkuk, keriput pada bibir, bentuk anatomi dari keseluruhan mulut dan penampilan morfologi muka adalah stabil atau konstan pada setiap individu. Berdasarkan kharkteristik dari hal tersebut diatas dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelusuran identitas seseorang (mayat tak dikenal). Sehingga bukit peta gigi dari korban, tanda / bekas gigitan, atau sidik bibir dapat dijadikan sebagai bukti dalam penyidikan tindak kejahatan. Psikiatri forensik, seorang spikiater berperan sangat besar dalam bebagai pemecahan masalah tindak kriminal. Psikogram dapat digunakan untuk mendiagnose prilaku, kepribadian, dan masalah psikis sehingga dapat memberi gambaran sikap (profile) dari

10 | P a g e

pelaku dan dapat menjadi petunjuk bagi penyidik. Pada kasus pembunuhan mungkin juga diperlukan otopsi spikologi yang dilakukan oleh spikiater, spikolog, dan patholog forensik, dengan tujuan penelaahan ulang tingkah laku, kejadian seseorang sebelum melakukan tindak kriminal atau sebelum melakukan bunuh diri. Masalah spikologi (jiwa) dapat memberi berpengaruh atau dorongan bagi seseorang untuk melakukan tindak kejahatan, atau perbuatan bunuh diri. Entomologi forensik, Entomologi adalah ilmu tentang serangga. Ilmu ini memperlajari jenis-jenis serangga yang hidup dalam fase waktu tertentu pada suatu jenasah di tempat terbuka. Berdasarkan jenis-jenis serangga yang ada sekitar mayat tersebut, seorang entomolog forensik dapat menduga sejak kapan mayat tersebut telah berada di tempat kejadian perkara (TKP). Antrofologi forensik, adalah ahli dalam meng-identifikasi sisa-sisa tulang, tengkorak, dan mumi. Dari penyidikannya dapat memberikan informasi tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur, dan waktu kematian. Antrofologi forensik mungkin juga dapat mendukung dalam penyidikan kasus orang hidup, seperti indentifiksi bentuk tengkorak bayi pada kasus tertukarnya anak di rumah bersalin. Balistik forensik, bidang ilmu ini sangat berperan dalam melakukan penyidikan kasus tindak kriminal dengan senjata api dan bahan peledak. Seorang balistik forensik meneliti senjata apa yang telah digunakan dalam kejahatan tersebut, berapa jarak dan dari arah mana penembakan tersebut dilakukan, meneliti apakah senjata yang telah digunakan dalam tindak kejahatan masih dapat beroperasi dengan baik, dan meneliti senjata mana yang telah digunakan dalam tindak kriminal tersebut. Pengujian anak peluru yang ditemukan di TKP dapat digunakan untuk merunut lebih spesifik jenis senjata api yang telah digunakan dalam kejahatan tersebut. Pada bidang ini memerlukan peralatan khusus termasuk miskroskop yang digunakan untuk membandingkan dua anak peluru dari tubuh korban dan dari senjata api yang diduga digunakan dalam kejahatan tersebut, untuk mengidentifikasi apakah memang senjata tersebut memang benar telah digunakan dalam kejahatan tersebut. Dalam hal ini diperlukan juga mengidentifikasi jenis selongsong peluru yang tertinggal. Dalam penyidikan ini analisis kimia dan fisika diperlukan untuk menyidikan dari senjata api tersebut, barang bukti yang tertinggal. Misal analisis ditribusi logam-logam seperti Antimon (Sb) atau timbal (Pb) pada tangan pelaku atau terduga, untuk mencari pelaku dari tindak kriminal tersebut. Atau analisis ditribusi asap (jelaga) pada pakaian, untuk mengidentifikasi jarak tembak.

11 | P a g e

Kerjasama bidang ini dengan kedokteran forensik sangat sering dilakukan, guna menganalisis efek luka yang ditimbulkan pada korban dalam merekonstruksi suatu tindak kriminal dengan senjata api. Serologi dan Biologi molekuler forensik, Seiring dengan pesatnya perkembangan bidang ilmu biologi molekuler (imunologi dan genetik) belakangan ini, pemanfaatan bidang ilmu ini dalam proses peradilan meningkat dengan sangat pesat. Baik darah maupun cairan tubuh lainnya paling sering digunakan / diterima sebagai bukti fisik dalam tindak kejahatan. Seperti pada kasus keracunan, dalam pembuktian dugaan tersebut, seorang dokter kehakiman bekerjasama dengan toksikolog forensik untuk melakukan penyidikan. Dalam hal ini barang bukti yang paling sahih adalah darah dan/atau cairan tubuh lainnya. Toksikolog forensik akan melakukan analisis toksikologi terhadap sampel biologi tersebut, mencari senyawa racun yang diduga terlibat. Berdasarkan temuan dari dokter kehakiman selama otopsi jenasah dan hasil analisisnya, toksikolog forensik akan menginterpretasikan hasil temuannya dan membuat kesimpulan keterlibatan racun dalam tindak kejahatan yang dituduhkan. Sejak awal perkembanganya pemanfaatan serologi / biologi molekuler dalam bidang forensik lebih banyak untuk keperluan identifikasi personal (perunutan identitas individu) baik pelaku atau korban. Sistem penggolongan darah (sistem ABO) pertama kali dikembangkan untuk keperluan penyidikan (merunut asal dan sumber bercak darah pada tempat kejadian). Belakangan dengan pesatnya perkembangan ilmu genetika (analisi DNA) telah membuktikan, bahwa setiap individu memiliki kekhasan sidik DNA, sehingga kedepan sidik DNA dapat digunakan untuk menggantikan peran sidik jari, pada kasus dimana sidik jari sudah tidak mungkin bisa diperoleh. Dilain hal, analisa DNA sangat diperlukan pada penyidikan kasus pembunuhan mutilasi (mayat terpotongpotong), penelusuran paternitas (bapak biologis). Analisa serologi/biologi molekuler dalam bidang forensik bertujuan untuk: Uji darah untuk menentukan sumbernya (darah manusia atau hewan, atau warna dari getah tumbuhan, darah pelaku atau korban, atau orang yang tidak terlibat dalam tindak kejahatan tersebut) Uji cairan tubuh lainnya (seperti: air liur, semen vagina atau sperma, rambut, potongan kulit) untuk menentukan sumbernya (origin). Uji imonologi atau DNA individu untuk mencari identitas seseorang.

Farmasi Forensik, Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Farmasi adalah seni dan ilmu meracik dan menyediaan obat-obatan, serta penyedian informasi yang berhubungan dengan obat

12 | P a g e

kepada masyarakat. Seperti disebutkan sebelumnya, forensik dapat dimengerti dengan penerapan/aplikasi itu pada issu-issu legal, (berkaitan dengan hukum). Penggabungan kedua pengertian tersebut, maka Forensik Farmasi dapat diartikan sebagai penerapan ilmu farmasi pada issu-issu legal (hukum) (Anderson, 2000). Farmasis forensik adalah seorang farmasis yang profesinya berhubungan dengan proses peradilan, proses regulasi, atau pada lembaga penegakan hukum (criminal justice system) (Anderson, 2000). Domain dari forensik farmasi adalah meliputi, farmasi klinik, aspek asministrativ dari farmasi, dan ilmu farmaseutika dasar. Seorang forensik farmasis adalah mereka yang memiliki spesialisasi berkaitan dengan pengetahuian praktek kefarmasian. Keahlian praktis yang dimaksud adalah farmakologi klinik, menegemen pengobatan, reaksi efek samping (reaksi berbahaya) dari obat, review/evaluasi (assessment) terhadap pasien, patient counseling, patient monitoring, sistem distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan, dan lain-lainnya. Seorang forensik farmasis harus sangat terlatih dan berpengalaman dalam mereview dan menganalisa bukti-bukti dokumen kesehatan (seperti rekaman/catatan medis) kasus-kasus tersebut, serta menuangkan hasil analisanya sebagai suatu penjelasan terhadap efek samping pengobatan, kesalahan pengobatan atau kasus lain yang dikeluhkan (diperkarakan) oleh pasien, atau pihak lainya. Bidang ilmu Forensik lainnya, selain bidang-bidang di atas masih banyak lagi bidang ilmu forensik Pada prinsipnya setiap bidang ranah keilmuan mempunyai aplikasi pada bidang dirensik, seperti bidang yang sangat trend sekarang ini yaitu kejahatan web,yang dikenal syber crime, merupakan kajian bidang kumperter sain, jaringan, IT, dan bidang lainnya seperti akuntan forensik. 1.3. Peran ilmu forensik dalam penyelesaian kasus kejahatan Perdanakusuma (1984) mengelompokkan ilmu forensik berdasarkan peranannya dalam menyelesaikan kasus-kasus kriminal ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah hukum. Dalam kelompok ini termasuk hukum pidana dan hukum acara pidana. Kejahatan sebagai masalah hukum adalah aspek pertama dari tindak kriminal itu sendiri, karena kejahatan merupakan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. 2. Ilmu-Ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah teknis. Kejahatan dipandang sebagai masalah teknis, karena kejahatan dari segi wujud perbuatannya maupun alat yang digunakannya memerlukan penganan secara teknis dengan menggunakan bantuan diluar ilmu hukum pidana maupun acara pidana.Dalam kelompok ini termasuk ilmu kriminalistik, kedokteran forensik, kimia forensik, fisika

13 | P a g e

forensik, toksikologi forensik, serologi/biologi molekuler forensik, odontologi forensik, dan entomogoli forensik. Pada umumnya suatu laboratorium kriminalistik mencangkup bidang ilmu kedokteran forensik, kimia forensik dan ilmu fisika forensik. Bidang kimia forensik mencangkup juga analisa racun (toksikologi forensik), sedangkan ilmu fisika forensik mempunyai cabang yang amat luas termasuk: balistik forensik, ilmu sidik jari, fotografi forensik. Apabila terjadi suatu kasus kejahatan, maka pada umumnya timbul pertanyaanpertanyaan seperti: Peristiwa apa yang terjadi? Di mana terjadinya? Bilamana terjadinya? Dengan alat apa dilakukannya? Bagaimana melakukannya? Mengapa perbuatan tersebut dilakukan? Siapa yang melakukan? Pertanyaan peristiwa apa yang terjadi adalah mencari jenis kejahatan yang terjadi, misalnya pembunuhan atau bunuh diri. Dengan bantuan ilmu kedokteran forensik atau bidang ilmu lainnya, dapat disimpulkan penyebabnya adalah bunuh diri. Oleh sebab itu penyidik tidak perlu melakukan penyidikan selanjutnya guna mencari siapa pelaku dari peristiwa tersebut, karena kematian diakibatkan oleh perbuatannya sendiri. 3. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah manusia. Dalam kelompok ini termasuk kriminologi, psikologi forensik, dan psikiatri/neurologi forensik. Kejahatan sebagai masalah manusia, karena pelaku dan objek penghukuman dari tindak kriminal tersebut adalah manusia. Dalam melakukan perbuatannya, manusia tidak terlepas dari unsur jasmani (raga) dan jiwa. Disamping itu, kodrat manusia sebagai mahluk sosial, yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan juga dipengaruhi oleh faktor internal (dorongan dari dalam dirinya sendiri) dan faktor eksternal (dipengaruhi oleh lingkungannya). Atas asas keadilan, dalam pemutusan sangsi dari tindak pidana, perlu ditelusuri faktorfaktor yang menjadi sebab seseorang itu melakukan kejahatan. Untuk itu perlu diteliti berbagai aspek yang menyangkut kehidupannya, seperti faktor kejiwaan,keluarga, dan faktor lingkungan masyarakatnya. Seseorang melakukan tindak kriminal mungkin didorong oleh latar belakang kejiwaannya, atau karena keadaan ekonomi keluarganya, ataupun karena pengaruh dari keadaan sosial masyarakatnya.Dalam hal ini peran serta kriminolog, psikolog

14 | P a g e

forensik, dan psikiater forensik mempunyai peran penting dalam menyelesaikan kasus kejahatan. Berdasarkan klasifikasi diatas peran ilmu forensik dalam menyelesaikan masalah / kasus-kasus kriminal lebih banyak pada penanganan kejahatan dari masalah teknis dan manusia. Sehingga pada umumnya laboratorium forensik dimanfaatkan untuk kepentingan peradilan, khususnya perkara pidana. 1.4. Langkah-langkah Penyidikan Dalam sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia, peradilan perkara pidana diawali oleh penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tunggal (lebih tepatnya penyidik umum) yang dilakukan oleh kepolisian (Polri), dalam khasus-khasus khusus (tindak kejahatan ekonomi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia) pihak kejaksaan dapat melakukan penyidikan. Sampurna (2000) menggambarkan proses penyidikan sampai ke persidangan (gambar 1.1). Upaya penyidikan pada umumnya bermuara pada proses penuntutan dan disusul oleh proses pengadilan. Proses ini dikenal sebagai upaya litigasi. Upaya penyidikan dilakukan setelah suatu peristiwa atau kejadian dianggap peristiwa hukum, yaitu peristiwa atau kejadian yang dapat mengganggu kedamaian hidup antar pribadi. Lingkup antar pribadi khususnya antara seseorang (memikul kepentingan pribadi) dihadapkan dengan masyarakat atau negara yang memikul suatu kepentingan umum.

15 | P a g e

Penyelasaian kasus-kasus kriminal diperlukan pembuktian peristiwa kasus yang terjadi sampai membuktikan pelaku yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut. Pembuktian dari suatu perkara pidana adalah upaya untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana yang diperkarakan dan bahwa si terdakwalah pelaku tindak pidana tersebut. Pembuktian dilakukan dengan mengajukan alat bukti yang sah ke depan persidangan. Guna mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaraan materiil, dalam pembuktian (penyidikan dan pemeriksaan bukti fisik) harus dilakukan pembuktian secara ilmiah. Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang sesuai dengan hukum, yaitu memenuhi prisip admissibility (dapat diterima) sebagaimana diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 184 ayat 1 menyebutkan bahwa alat bukti yang sah terdiri dari 5 jenis, yaitu: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Pengertian keterangan saksi menurut KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dan dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya tersebut. Keterangan saksi tidak boleh berupa pendapat atau hasil rekaan saksi, ataupun keterangan dari orang lain (KUHAP pasal 185). Ketentuan keterangan saksi diatur dalam pasal 168, 170, 171 dan 185 KUHAP. Dalam pasal-pasal tersebut mengatur ketentuan keterangan saksi siapa-siapa yang berhak, tidak berhak, atau berkompeten menjadi saksi pada suatu tindak pidana. Keterangan saksi dianggap sah apabila diajukan oleh sedikitnya dua orang saksi. Bila berasal dari satu orang saja, harus didukung oleh alat bukti sah lain. Keterangan saksi juga harus diberikan oleh orang yang berkompeten, yaitu orang yang mampu secara hukum. Orang disebut berkompeten apabila tidak di bawah umur dan tidak di dalam pengampuan, misal sakit jiwa. Perngertian umum keterangan ahli, sesuai dengan pasal 1 butir 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlakukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 186 KUHAP menjelaskan bahwa: keterangan ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau jaksa penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika

16 | P a g e

hal tersebut diberikan pada waktu pemeriksaan oleh tim penyidik atau jaksa penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan sebelum mengucapkan sumpah janji di depan hakim. Pasal 187 memuat ketentuan tentang surat sebagaimana tersebutkan pada pasal 184 hurup c, surat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat dapat berupa: a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tetang keterangannya itu. b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat yang menangani hal yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan. c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya yang diminta secara resmi dari padanya. d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Yang dimaksudkan surat menurut penjelasan diatas adalah surat yang dibuat oleh pejabatpejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili. Petunjuk menurut KUHAP adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk dapat berupa fotografi, foto kopi, kaset rekaman, rekaman vidio, atau barang bukti lainnya yang diketemukan di tempat kejadian perkara (TKP). Barang bukti tersebut dapat digunakan sebagai rekonstruksi kasus atau penelusuran identitas pelaku. Alat yang paling terakhir menurut KUHAP adalah keterangan terdakwa, merupakan keterangan dari terdakwa tentang apa yang ia lakukan, ia ketahui sendiri, atau ia alami sendiri. Bukti fisik yang diketemukan di TKP dapat dikelompokkan menjadi 4 (Sampurna 2000), yaitu: a) Bukti transient. Bukti ini sesuai dengan sifatnya hanya sementara dan akan dengan mudah hilang atau berubah. Sebagai contoh adalah: buah-buahan, suhu, imprints dan

17 | P a g e

indentation (tanda-tanda yang ditimbulkan akibat tekanan, seperti tanda jejak sepatu, atau tapak ban mobil pada kasus kecelakaan bermotor), tanda-tanda seperti lembam mayat, jejak bibir di puntung rokok, bercak darah di pakaian yang akan dicuci, dll. Bukti seperti ini diketemukan oleh penyidik di TKP, dan harus segera dicatat dan didokumentasikan. b) Bukti pola, seperti percikan bercak darah, pola pecahan kaca/gelas, pola kebakaran, pola posisi furnitur, trayektori proyektil, dan posisi mayat, dll. c) Bukti kondisional, seperti derajat kekakuan mayat, distribusi lembam mayat, apakah pintu terkunci, apakah lampu menyala, ketebalan dan arah geraknya asap. d) Bukti yang dipindahkan (transfer), yang merupakan bukti fisik yang paling klasik. Bukti transfer terjadi karena kontak antara orang-orang atau benda-benda, atau antar orang dengan benda. Dalam kriminalistik dikenal dua prinsip utama, yaitu: prinsip Locard yang menyatakan bahwa setiap kontak meninggalkan jejak every contact leaves a trace dan prinsip individualitas yang menyatakan bahwa dua objek mungkin tidak dapat dibedakan, tetapi tidak ada dua objek yang identik. Gabungan kedua prisip ini dapat diturunkan suatu pernyataan bahwa apabila tidak ada dua orang atau benda yang identik, maka setiap jejak yang ditinggalkan orang atau benda harus berbeda dengan jejak orang atau benda yang lain. Ahli forensik dan kriminilalistik berperan dalam upaya pembuktian dengan menyediakan dua alat bukti yang sah, yaitu keterang ahli dan surat (yang dibuat oleh ahli). Dalam hal ini keterangan ahli tidak dibatasi dengan ketentuan tentang yang merupa-kan halhal yang dialami atau didengar atau dilihat sendiri oleh saksi, melainkan diberi peluang untuk memberikan pendapat atau opini berdasarkan keahliannya, sepanjang ketentuan yang berlaku. Keterangan ahli atau surat keterangan oleh ahli harus diberikan oleh seseorang ahli yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan berisikan keterangan yang berada dalam lingkup keahliannya (bukan keterangan bersifat awam) (Sampurna, 2000). Dalam memberikan atau menuliskan pendapat atau opini seorang ahli harus berdasarkan hasil temuan atau data adekuat baik yang diperoleh dari pemeriksaan bukti fisik maupun dengan membandingkannya terhadap data di literatur, referensi ilmiah yang terkini, dan secara teknis dianggap benar, serta menggunakan prinsip dan metode ilmiah yang diakui. Pendapat ahli satu dengan yang lainnya tentang suatu hal tentu dapat berbeda, hal ini berdasarkan latar belakang keahliannya (ilmu yang mendasari dalam membuat keterangan), kecanggihan teknologi dari alat yang digunakan memeriksa barang bukti, metode analisis,

18 | P a g e

dan berbagai aspek lainnya. Sehingga pemeriksaan kriminalistik harus diberi peluang untuk melakukan pemeriksaan ulang, baik oleh institusi yang sama maupun institusi yang lain. Secara tradisi di Indonesia, bahwa sejak lama keputusan apakah di dalam pemecahan suatu kasus pidana atau perdata diperlukan bukti-bukti ilmiah tidak berada ditangan para ahli forensik atau kriminalistik melainkan di tangan para penegak hukum. Para ahli forensik dan kriminalistik cendrung bersikap sebagai pendukung saja di dalam suatu proses peradilan pidana atau perdata. Hal ini tentunya merupakan kendala dalam pembuktian secara ilmiah kasus pidana maupun penegakan hukum. Akan tetapi di lain sisi sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman No.M.01.PW.07.03 tahun 1983 dituntut pembuktian secara ilmiah dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran materiil. Untuk itu diperlukan kerjasama antara aparat penegak hukum dan ahli forensik. Meskipun demikian harus diakui pula bahwa pada akhir-akhir ini memang sedang terjadi pergeseran peran ahli forensik, yaitu dari bersifat pasif menjadi akfit. Sampurna (2000) menggambarkan bahwa ahli forensik maupun kriminalistik dapat terlibat pada setiap tahap peyidikan (lihat gambar 1.1).

19 | P a g e

BAB II DNA MITOKONRIA

2.1. Pendahuluan Sel merupakan satuan unit terkecil dari makhluk hidup. Sel mempunyai peranan yang besar sebagai penyusun suatu organisme. DNA merupakan bagian dari sel yang membawa materi genetik pada semua makhluk hidup. Begitu pula, RNA yang menjadi penyalur informasi genetik tersebut. Bagaimana tahapan dari replikasi DNA dan hipotesis yang diperoleh, bagaimana proses perbaikan DNA yang mengalami kerusakan, apa saja tipe RNA, dan bagaimana proses sintesa protein harus kita pelajari. Kita harus mempelajari kehidupan & organisme hidup pada tingkat sel atau dibawahnya agar kita bisa lebih bersykur atas kuasa Nya menciptakan segala seuatu. Perkembangan biologi sel bertumpu pada hasil riset dengan percobaan-percobaan deskriptif dimasa lalu hingga percobaan-percobaan analitik modern saat ini. 2.2. DNA (deoxyribonucleic acid) 2.2.1 Struktur DNA DNA merupakan materi genetik yang terdapat pada semua sel makhluk hidup dan kebanyakan virus. DNA membawa informasi yang diperlukan untuk sintesis protein dan replikasi.

Gambar 2.1. DNA Struktur DNA rantai helix ganda (double helix). Setiap rantai adalah polinukleotida, dan terdiri atas nukleotida, masing-masing dari nukleotida tersusun atas tiga unit yaitu gula, basa dan fosfat. Di dalam nukleotida terdapat nukleosida, yakni gula yang berpasangan

20 | P a g e

dengan basa. Setiap nukleotida dalam polinukleotida dihubungkan dengan ikatan kimia yang sama (ikatan basa). Struktur nukleotida terdiri dari 1. Satu molekul gula Ada dua macam gula, yaitu ribosa (pentosa) dan dioxiribosa (aldopentosa) 2. Pasangan basa Pasangan basa terdiri dari dua macam yaitu basa purin dan pirimidin. Purin terdiri atas adenine (A) dan guanine (G) dengan ikatan tunggal hydrogen. Sedangkan, pirimidin terdiri atas sitosinin (S) dan timin (T). Pasangan basa dihubungkan dengan ikatan hidrogen, purin berpasangan dengan primidin (AT dengan dua ikatan hydrogen) sedangkan (G-S dengan tiga ikatan hidrogen). 3. Fosfat Fosfat yang dihubungkan dengan gula pentosa membentuk sebuah ikatan yang disebut ikatan fosfodiester. 2.2.2 Karakteristik DNA DNA memiliki struktur seperti rantai, dengan rantai helix ganda (double helix) yang memilin yang dapat bereplikasi sendiri. Selain itu, terdapat karakteristik DNA yang lain diantaranya : 1. Besar ukuran pada sel haploid mencapai 3x 10 9 pasangan basa 2. Satu kromosom panjangnya 7 cm 3. Rantainya dapat terpisah (denaturasi karena alkali dan suhu panas) Denaturasi dapat terjadi saat DNA berada dalam kondisi panas mendekati 1000 celcius maka akan terpisah, terlebih DNA dengan pasangan basa A-T yang hanya memilki dua ikatan hidrogen, karena pasangan basa G-C memliki 3 pasangan hydrogen akan lebih tahan terhadap panas. Dan dapat mengalami Renaturasi saat kembali dalam kondisi semua (suhu turun), dengan RNA yang utuh bertemu kembali dengna pasangannya yang sesuai. 4. Berfungsi sebagai materi genetik (pembawa sifat) DNA sebagai materi genetik, berfungsi dalam pengekspresian gen, DNA mengatur segala aktivitas sel,dan mampu membentuk cetakan-cetakan protein yang dibutuhkan oleh sel. 5. Bereplikasi/menggandakan diri menjadi dua dengan komposisi yang sama berfungsi dalam sintesis protein.

21 | P a g e

Gambar 2. Struktur DNA

2.2.3 Replikasi DNA

Gambar 3. Replikasi DNA Replikasi DNA bersifat semikonservatif, yaitu kedua untai DNA bertindak sebagai cekatan untuk pembuatan untai-untai DNA baru. Replikasi DNA merupakan proses persiapan materi genetik untuk melakukan pembelahan (reproduksi). Sel prokariota terus-menerus melakukan replikasi DNA. Pada eukariota, waktu terjadinya replikasi DNA sangatlah diatur, yaitu pada fase daur sel, sebelum mitosis atau meiosisI. Kecepatan replikasi organisme eukariotik 10 kali lebih lama dari prokariotik (dikarenakan ribosom pada sel eukariotik berada di luar nucleus, sehingga mRNA

22 | P a g e

harus melewati membrane nucleus). Sedangkan, replikasi genom manusia membutuhkan waktu 8 jam. Replikasi bersifat semi konservatif dan tejadi dalam dua arah (didirection), yang arah sintesanya dari 5 ke 3. Berikut tahapan terjadinya replikasi DNA : 2.2.4 Tahapan replikasi 1. Tahapan Inisiasi Pembukaan Rantai Double Helix dengan bantuan DNA Helikase. Helikase mengubah ATP menjadi ADP sebagai energy untuk membuka dan memperpanjang cabang rantai DNA yang terpisah. DNA helikase, merupakan protein yang membantu tahap replikasi DNA, terdiri dari : Helikase II / III, yang melekatkan cetakan yang rantai tertinggal (3-5) menjadi arah (5-3) Rep protein, yang mengikat rantai pertama yang sedang disintesis dan diubah arahnya manjadi 3-5

2. DNA mulai direplikasi oleh DNA Polimerase III Dibantu dengan topoisomerase (DNA girase) yang mengurangi tegangan untai DNA, setelah itu untaian DNA tunggal dilekati oleh protein-protein pengikat untaian tunggal untuk mencegah terbentuknya heliks ganda kembali 3. Rantai DNA diperpanjang hingga membentuk untaian tunggal DNA baru Leading strand : untaian baru dengan arah yang benar dari 5-3 Lagging strand : untaian baru yang arahnya dari 3-5 sehingga mengalami retakan-retakan pada untaiannya 4. RNA primer memiliki enzim primase untuk melekatkan RNA primer, enzim primase mampu membentuk fragmen-fragmen Okazaki. RNA primers memulai mensintesis DNA hanya sekali pada leading strand, sedangkan pada lagging strand dimulai pada setiap fragmen okazaki. 5. Enzim primase dapat bergabung dengan polipeptida lainnya dan pada saat itu primosome aktif, primosome mengubah arah sintesa dari 3-5 menjadi 5-3, primosome hanya akan muncul pada saat RNA primer lepas. 6. RNA primers lepas kemudian, kemudian diambil alih oleh DNA polymerase I untuk disintesis hingga mendekati bagian-bagian fragmen okazaki yang mendahuluinya, kemudian diubah arah sintesa menjadi 5-3

23 | P a g e

7. Fragmen-fragmen okazaki yang berdekatan digabungkan oleh DNA ligase 2.2.4. Hipotesis Replikasi DNA Ada tiga hipotesis tentang replikasi DNA yang menjelaskan bagaimana pita double helix DNA membuat salinannya pada proses replikasi DNA, yaitu sebagai berikut 1. Hipotesis konservatif, pita double helix DNA membentuk pita baru dalam keadaan utuh 2. Hipotesis semi konservatif, pita double helix DNA terbuka kemudian masing-masing membentuk pita baru sebagai pelengkapnya 3. Hipotesis dispersal, campuran antara potongan pita double helix DNA yang lama dengan yang baru dibentuk

2.2.5. DNA Repair DNA Repair merupakan proses perbaikan DNA yang mengalami kerusakan, diantaranya karena a. Modifikasi basa (perubahan kimia, kehilangan basa, ikatan kovalen antar basa yang berdekatan) b. Gagalnya transkripsi dan translasi DNA c. Kerusakan DNA parah (DNA putus) DNA repair dikelompokkan dalam 3 cara, yaitu : 1. Damage Revesal, langsung digantikan Merupakan cara termudah karena tidak perlu dilakukan pemotongan DNA, hanya perlu diganti saja. 2. Damage Removal, dihilangkan Lebih rumit karena harus melakukan pemotongan untuk mengganti, dan terbagi menjadi, Base excision repair dengan hanya mengganti satu basa yang rusak dan diganti dengan yang lain. Mismatch repair dengan penggantian basa yang tidak sesuai yang dilakukan dengan enzim. Nucleotide excision repair dengan cara memotong salah satu segmen DNA yang mengalami kerusakan. 3. Damage Tolerance, mentoleransi kesalahan, terbagi menjadi,

24 | P a g e

Homolongous recombination (HR), menggunakan sister kromatid untuk memperbaiki kerusakan (tanpa delesi). Non homologous end joining (NHEJ), bila putusnya tidak sama makan akan diratakan dulu dengan eksonukleuse, kemudian ada enzim tertentu yang bekerja dan akan menggabungkan (dengan delesi) 2.3. DNA Mitokonria Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga sistem organ. Dalam sel mengandung materi genetik yang terdiri dari DNA dan RNA. Molekul DNA merupakan rantai polinukleotida berbentuk heliks ganda yang mempunyai beberapa jenis basa purin dan pirimidin (Poedjiadi dan Supriyanti., 2007). DNA terdapat di dalam inti sel dan mitokondria. DNA mitokondria (mtDNA) manusia terletak di dalam matriks mitokondria. mtDNA manusia berupa untai ganda berbentuk sirkuler yang memiliki urutan lengkap nukleotida sepanjang 16.569 pasang basa (pb). Molekul mtDNA terdiri dari untai heavy (H) dan untai light (L) (Anderson, et al., 1981). Pada untai H terdapat lebih banyak basa purin daripada basa pirimidin, sehingga lebih berat dibandingkan untai L. mtDNA manusia ditemukan telah diwariskan secara maternal dari ibu (Denaro, et al., 1981). mtDNA memiliki laju mutasi yang sangat tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menentukan keragaman genetik antar individu dalam suatu populasi, hubungan evolusi diantara populasi dan rekonstruksi migrasi suatu populasi. Pewarisan sifat DNA mitokondria dilakukan secara maternal dan tidak ada rekombinasi. Ngili (2005) menyatakan dalam artikelnya bahwa hanya sel telur yang membawa mitokondria ketika melebur dengan sperma pada proses pembuahan. Sel telur memiliki 100.000 mitokondria, sedangkan sperma hanya 50-100 di ekor sperma. Ekor sperma merupakan alat gerak yang membutuhkan energi tinggi dari mitokondria. Pada proses masuknya sel sperma ke dalam sel telur, ekor sperma akan terlepas sehingga mitokondria tidak ikut masuk. Beberapa mitokondria dari sel sperma yang mungkin masuk dalam sel telur akan mengalami pengenceran selama proses mitosis sehingga jumlahnya menjadi tidak berarti atau dianggap sebagai benda asing sehingga dihancurkan oleh sistem sel. DNA mitokondria berbeda dengan DNA inti walaupun keduanya berada dalam satu sel. mtDNA memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi yang ditandai dengan laju mutasi yang tinggi, yaitu sekitar 10-17 kali DNA inti. Hal ini disebabkan mtDNA tidak memiliki mekanisme reparasi yang efisien, tidak memiliki protein histon, dan terletak berdekatan dengan membran dalam mitokondria yang merupakan tempat berlangsungnya reaksi

25 | P a g e

fosforilasi oksidatif menghasilkan radikal oksigen sebagai produk sampingnya. Selain itu, enzim DNA polimerase yang dimiliki oleh mitokondria adalah DNA polimerase yang tidak mempunyai aktivitas proofreading yaitu perbaikan dan pengakuratan dalam replikasi mtDNA. Tidak adanya aktivitas ini menyebabkan mtDNA tidak memiliki sistem perbaikan yang dapat menghilangkan kesalahan replikasi, sehingga menyebabkan mutasi. Genom mitokondria dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu daerah pengkode, yang memproduksi berbagai molekul biologis yang terlibat dalam proses produksi energi dalam sel, dan daerah bukan pengkode atau daerah kontrol. Genom mitokondria mengandung 37 gen yang terdiri atas gen-gen penyandi rRNA yaitu 12S dan 16S, 22 gen penyandi tRNA, dan 13 protein sub unit kompleks enzim rantai respirasi, juga memilki urutan nukleotida non penyandiyang disebut dengan daerah D-Loop (Anderson, et al., 1981). Analisis mtDNA telah diaplikasikan secara luas dalam bidang kedokteran forensik. Selama dekade terakhir banyak penelitian telah menggunakan penanda garis keturunan seperti mtDNA untuk menggambarkan variabilitas genetik dan proses evolusi dari populasi yang berbeda (Carvalho, et al., 2008). Polimorfisme yang terjadi pada mtDNA juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antara populasi manusia dengan keadaan geografinya. Dengan demikian, studi genetika manusia secara langsung mendorong pengembangan penelitian baru dalam bidang paleontologi, arkeologi, linguistik, dan sejarah (Achilli, et al.,2005). Dalam penyelidikan forensik, selain menggunakan DNA inti juga dapat menggunakan DNA mitokondria. Hal ini disebabkan keterbatasan sampel DNA inti yang ditemukan di tempat kejadian perkara, sehingga jumlah DNA inti yang terdapat dalam sampel terkadang sangat sedikit bahkan rusak (Parson, et al., 2007). Selain itu, bahan-bahan yang merupakan sumber mtDNA seperti sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis lainnya sering ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) sehingga dapat dijadikan sampel. Untuk penelitian mtDNA, dapat menggunakan sampel sel epitel akar rambut sebagai sumber mtDNA karena bagian akar rambut memiliki aktifitas metabolik yang sangat tinggi, sehingga pada bagian tersebut diduga terdapat sejumlah besar mitokondria. Hal ini dapat diamati pada pertumbuhan rambut yang cenderung lebih cepat daripada jaringan lain pada tubuh. Sel pada akar rambut sudah mewakili keseluruhan sel di dalam tubuh. Hal ini disebabkan sel-sel tersebut bersumber dari satu sel telur yang memiliki satu jenis mtDNA yang kemudian terdiferensiasi seiring dengan perkembangan embrio. Pada fase

perkembangan selanjutnya, diferensisasi ini tidak menyebabkan adanya perubahan pada urutan nukleotida mtDNA baik pada sel darah, epitel, maupun rambut dalam satu individu

26 | P a g e

(Raifuddin, 2007). Epitel akar rambut lebih disukai juga karena proses pengambilan akar rambut lebih mudah daripada jaringan lainnya seperti darah, sperma, plasenta, dan lain-lain karena hanya dilakukan melalui pencabutan hingga akar. Cara penyimpanannya yang mudah dan kondisi fisiknya yang cenderung stabil membuat sampel akar rambut lebih disukai sebagai sampel mtDNA Mitokondria merupakan organel sel yang berfungsi sebagai penghasil energi dengan menghasilkan adenosin triphosphat (ATP). Dalam mitokondria berlangsung proses oksidasi zat-zat dalam makanan oleh beberapa enzim melalui siklus asam sitrat, dimana terjadi reaksi dehidrogenasi dan dekarboksilasi. Rangkaian reaksi perpindahan elektron menghasikan energi. Energi yang terjadi dari proses oksidasi digunakan untuk membentuk ATP. Dengan demikian, mitokondria adalah "pembangkit tenaga" bagi sel. Mitokondria terdapat dalam semua sel, hanya jumlahnya bervariasi, yaitu dari beberapa ratus sampai beberapa ribu (Poedjiadi, 2007) tiap selnya. Mitokondria berbentuk bulat panjang dengan berbagi ukuran dan jumlahnya tergantung dari jenis sel dan organisme. Mitokondria memiliki dua lapis membran. Membran luar membatasi bagian dalam dengan matriks sel. Membran dalam membentuk lipatan-lipatan yang disebut kristae dimana terdapat enzimenzim oksidase. Pada bagian dalam ini terisi zat kental yang disebut matriks. Matriks ini mengandung DNA, RNA, ribosom dan berbagai enzim yang berperan dalam oksidasi zat-zat makanan. Struktur mitokondria dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur Mitokondria. mtDNA berada pada membran bagian dalam yang kental yang disebut sebagai matriks (Poedjiadi, 2007). Mitokondria memiliki perangkat genetik sendiri yaitu DNA mitokondria atau sering disingkat mtDNA. mtDNA ini terletak didalam matriks semi cair dibagian dalam

27 | P a g e

sel mitokondria dan tersusun atas 16.569 pasang basa, dimana komponen penyusunnya terdiri dari basa adenin, timin, guanin dan sitosin. mtDNA ini berbentuk sirkuler serta memiliki untai ganda yang terdiri dari untai heavy (H) dan light (L) (Wallace, 1996). Untai H memiliki berat molekul yang lebih besar dari untai L disebabkan oleh banyaknya kandungan basa purin. Terdapat ribuan salinan mtDNA dalam tiap sel dan banyak ditemukan pada daerah yang memiliki aktifitas metabolisme tinggi atau dengan kata lain memerlukan energi yang cukup besar seperti pada sperma bagian ekor, sel otot jantung, darah, akar rambut dan epidermis kulit. MtDNA mempunyai karakteristik yang khas dimana diwariskan secara maternal atau pola pewarisannya hanya melalui garis ibu. Hal ini disebabkan karena sel telur memiliki jumlah mitokondria yang lebih banyak dibandingkan sel sperma, yaitu sekitar 100.000 molekul sedangkan sel sperma hanya memiliki sekitar 100-1500 mtDNA. Dalam sel sperma mitokondria banyak terkandung dalam bagian ekor karena bagian ini yang sangat aktif bergerak sehingga membutuhkan banyak ATP. Pada saat terjadi pembuahan sel telur, bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hanya sedikit atau hampir tidak ada mtDNA yang masuk ke dalam sel telur. Hal ini berarti bahwa sumbangan secara paternal hanya berjumlah 100 mitokondria. Apalagi dalam proses pertumbuhan sel, jumlah mtDNA secara paternal semakin berkurang. Maka jika dibandingkan dengan sumbangan secara maternal yaitu 100.000, maka sumbangan secara paternal hanya 0,01%. Jumlah mtDNA yang sedikit ini dalam sel telur akan diencerkan selama proses mitosis sehingga sangat tidak berarti jumlahnya atau dianggap sebagai benda asing sehingga dihancurkan sistem sel. Oleh karena itu dapat dianggap tidak terjadi rekombinasi sehingga dapat dikatakan bahwa mtDNA bersifat haploid, diturunkan dari ibu ke seluruh keturunannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Hiroaki, et al. (2006), dimana urutan nukleotida mtDNA dari ibu sebagai generasi pertama ternyata diwariskan sampai generasinya yang keempat tanpa adanya mutasi. Pada Gambar 5 dapat dilihat jalur penurunan mtDNA secara maternal yang diteliti oleh Hiroaki, et al. (2006).

28 | P a g e

Gambar 5. mtDNA diwariskan secara maternal. Gambar yang dihitamkan mempunyai urutan nukleotida yang sama dengan ibu sebagai generasi pertama (Hiroaki, et al., 2006) Sifat unik lain dari mtDNA adalah laju mutasi yang sangat tinggi sekitar 10-100 kali dari DNA inti (Zhao, et al., 2005). Hal ini dikarenakan mtDNA tidak memiliki mekanisme reparasi yang efisien, tidak memiliki protein histon, dan terletak berdekatan dengan membran dalam mitokondria tempat berlangsungnya reaksi fosforilasi oksidatif yang menghasilkan radikal oksigen (ROS) sebagai produk samping yang dihasilkan dalam organel (Han, et al., 2003). ROS merupakan agen oksidasi yang sangat tidak stabil sehingga dapat dengan mudah beraksi dengan zat biokimia seperti lemak, asam amino, karbohidrat, dan DNA. Selain itu, DNA polimerase yang dimiliki oleh mitokondria adalah DNA polimerase yang tidak mempunyai aktivitas proofreading (suatu proses perbaikan dan pengakuratan dalam replikasi DNA). Tidak adanya aktivitas ini menyebabkan mtDNA tidak memiliki sistem perbaikan yang dapat menghilangkan kesalahan replikasi. Replikasi mtDNA yang tidak akurat ini akan menyebabkan mutasi mudah terjadi. 2.4. Daerah HVI pada MtDNA manusia mtDNA manusia terdiri dari daerah pengkode (coding region) dan daerah bukan pengkode (non coding). mtDNA mengandung 37 gen yang terdiri atas 13 gen pengkode protein yang terlibat dalam proses fosforilasi oksidatif, 22 gen pengkode tRNA, dan 2 gen

29 | P a g e

pengkode rRNA (Pakendorf dan Mark, 2005) sedangkan untuk daerah bukan pengkode dikenal dengan daerah kontrol atau D-loop. D-loop berukuran 1122 pb, dimulai dari nukleotida 16024 sampai 576 dan terletak diantara gen tRNApro dan tRNAphe. D-loop merupakan daerah berantai tiga (triple stranded). Untai ketiga lebih dikenal sebagai 7S DNA. D-loop juga memiliki tiga daerah hipervariabel yaitu daerah hipervariabel I (HVI), hipervariabel II (HVII), dan daerah hipervariabel III (HVIII). Daerah HVI terletak pada urutan nukleotida 16024-16383, HVII pada urutan nukleotida 57732 dan HVIII berada pada urutan nukleotida 438-594 (Anderson, et al., 1981; Hiroaki, et al., 2006). Posisi D-loop dapat dilihat dalam peta DNA mitokondria yang berbentuk sirkuler pada Gambar 5. D-loop merupakan daerah pengontrol, baik untuk proses replikasi maupun transkripsi. Hal ini disebabkan karena mempunyai origin of reflication untuk untai H (OH) dan promotor transkripsi untuk untai H dan L (Anderson, et al., 1981; Zhao, et al., 2005). Kedua promotor tersebut terletak berdekatan dengan jarak 150 pasang basa. Walaupun letaknya berdekatan namun keduanya tidak saling tumpangsuh dan berfungsi secara independen (Gustiananda, 1996). Selain itu, daerah D-loop juga mengandung tiga daerah lestari yang disebut dengan conserved sequence block (CSB) I, II, III. Daerah lestari ini diduga memiliki peranan penting dalam replikasi mtDNA.

Gambar 5. Peta mtDNA manusia dengan bentuk sirkuler.

30 | P a g e

Terlihat

ada

tiga

daerah

D-loop

yaitu

daerah

HVI,

HVII

dan

HVIII

(www.argusbio.com). D-loop memiliki laju mutasi yang paling tinggi dibandingkan dengan daerah lain dalam genom mtDNA terutama pada daerah HVI. Tingginya tingkat polimorfisme daerah HVI menjadi salah satu faktor penyebab penelitian terhadap daerah ini terus dilakukan dan terus berkembang.

31 | P a g e

BAB 3 METODE ANALISA DNA MITOKONDRIA

3.1.Pendahuluan Dalam melakukan analisa, sangat diperlukan suatu metode yang mencakup peralatan, bahan dan prosedur kerja yang sesuai dengan sampel yang akan dianalisa.Analisa DNA mitokondria merupakan suatu metode analisa yang membutuhkan ketelitian dan kecermatan yang tinggi dari sumber daya manusia ang menganalisa.Selain itu juga tak kalah pentingnya ialah kualitas bahan-bahan atau reagen yang digunakan harus baik dan demikian pula dengan sistem instrumentasi yang harus memiliki kadar performance yang baik.Sehingga dengan semua itu, dapat diperoleh data analisis yang tepat dan akurat. 3.1.Berbagai metode analisa Mt DNA Dalam menganalisa DNA mitokondria terdapat beberapa metoda yang sering digunakan, yaitu : 1) Denaturing Gradien Gel Electrphoresis (DGGE) 2) Single Strand Conformational Polymorphism (SSCP) 3) Denaturing High Performance Liquid Chromatography (DHPLC) 4) PCR Elektroforesis Skuennsing DNA Pada metode pertama dan kedua membutuhkan lebih banyak waktu dan penelitiannya lebih rumit serta sangat mahal. Kedua metode pertama sangat jarang digunakan di bidang forensik Indonesia. Pada motode ketiga memiliki prinsip kerja memisahkan campuran DNA untuk dibuat rangkaiannya. Tujuannya untuk mengetahui tingkat kecocokan dari dua buah sampel DNA. Sensitivitas DHLPC sangat tinggi yaitu mendeteksi hingga setiap sequence yang berbeda ( substitusi, insersi, delesi,dll)dan bisa mendeteksi suatu campuran yang kompleks. Sedangkan metode yang keempat merupakan metode yang paling umum digunakan dan akan dibahas lebih mendalam dalam makalah ini.

32 | P a g e

BAB 4 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) 4.1. Pendahuluan Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Dengan diketemukannya teknik PCR di samping juga teknikteknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular. 4.2. Prinsip-prinsip umum pcr Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA; sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan enzim polimerase DNA. Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi DNA templat; (2) denaturasi DNA templat; (3) penempelan primer pada templat (annealing); (4) pemanjangan primer (extension) dan (5) pemantapan (postextension). Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA. Tahapan proses PCR dapat dilihat pada gambar 1.

33 | P a g e

PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers) dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20 40 siklus. Target

34 | P a g e

DNA yang diinginkan (short target product) akan meningkat secara eksponensial setelah siklus keempat dan DNA non-target (long product) akan meningkat secara linier seperti tampak pada bagan di atas (Newton and Graham, 1994). Jumlah kopi fragmen DNA target (amplicon) yang dihasilkan pada akhir siklus PCR dapat dihitung secara teoritis menurut rumus: Y = (2n 2n)X Y : jumlah amplicon n : jumlah siklus X : jumlah molekul DNA templat semula Jika X = 1 dan jumlah siklus yang digunakan adalah 30, maka jumlah amplicon yang diperoleh pada akhir proses PCR adalah 1.074 x 109. Dari fenomena ini dapat terlihat bahwa dengan menggunakan teknik PCR dimungkinkan untuk mendapatkan fragmen DNA yang diinginkan (amplicon) secara eksponensial dalam waktu relatif singkat. Umumnya jumlah siklus yang digunakan pada proses PCR adalah 30 siklus. Penggunaan jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak akan meningkatkan jumlah amplicon secara bermakna dan memungkinkan peningkatan jumlah produk yang non-target. Perlu diingat bahwa di dalam proses PCR effisiensi amplifikasi tidak terjadi 100 %, hal ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah polimerase DNA terbatas dan kemungkinan terjadinya reannealing untai target. 4.3.Pelaksanaan PCR Untuk melakukan proses PCR diperlukan komponen-komponen seperti yang telah disebutkan di atas. Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci kegunaan dari masing-masing komponen tersebut. 1. Templat DNA Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa DNA kromosom, DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA templat tersebut mengandung fragmen DNA target yang dituju. Penyiapan DNA templat untuk proses PCR dapat dilakukan dengan menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara melakukan isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode standar yang ada. Pemilihan metode yang digunakan di dalam penyiapan DNA templat tergantung dari tujuan eksperimen. Pembuatan DNA templat dengan menggunakan metode lisis dapat digunakan secara umum, dan metode ini merupakan cara yang cepat dan sederhana untuk pendedahan DNA kromosom ataupun DNA plasmid. Prinsip metode lisis adalah perusakan

35 | P a g e

dinding sel tanpa harus merusak DNA yang diinginkan. Oleh karena itu perusakan dinding sel umumnya dilakukan dengan cara memecahkan dinding sel menggunakan buffer lisis. Komposisi buffer lisis yang digunakan tergantung dari jenis sampel. Beberapa contoh buffer lisis yang biasa digunakan mempunyai komposisi sebagai berikut: 5 mM Tris-Cl pH8,5; 0,1 mM EDTA pH 8,5; 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis ini umumnya digunakan untuk jenis sampel yang berasal dari biakan, sel-sel epitel dan sel akar rambut. Contoh lain dari buffer lisis adalah buffer lisis K yang mempunyai komposisi sebagai berikut: buffer PCR (50mM KCl, 10-20mM Tris-Cl dan 2,5mM MgCl2); 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis K ini biasanya digunakan untuk melisis sampel yang berasal dari sel darah dan virus. Selain dengan cara lisis, penyiapan DNA templat dapat dilakukan dengan cara mengisolasi DNA kromosom ataupun DNA plasmid menurut metode standar yang tergantung dari jenis sampel asal DNA tersebut diisolasi. Metode isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid memerlukan tahapan yang lebih kompleks dibandingkan dengan penyiapan DNA dengan menggunakan metode lisis. Prinsip isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah pemecahan dinding sel, yang diikuti dengan pemisahan DNA kromosom / DNA plasmid dari komponen-komponen lain. Dengan demikian akan diperoleh kualitas DNA yang lebih baik dan murni. 2. Primer Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan. Di dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3 yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Perancangan primer dapat dilakukan berdasarkan urutan DNA yang telah diketahui ataupun dari urutan protein yang dituju. Data urutan DNA atau protein bisa didapatkan dari database GenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang dituju belum diketahui maka perancangan primer dapat didasarkan pada hasil analisis homologi dari urutan DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai hubungan kekerabatan yang terdekat. Dalam melakukan perancangan primer harus dipenuhi kriteriakriteria sebagai berikut: a. Panjang primer Di dalam merancang primer perlu diperhatikan panjang primer yang akan dipilih. Umumnya panjang primer berkisar antara 18 30 basa. Primer dengan panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah. Untuk ukuran primer yang pendek

36 | P a g e

kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan primer di tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan menyebabkan berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan untuk panjang primer lebih dari 30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna dan ini akan menyebabkan lebih mahal. b. Komposisi primer. Dalam merancang suatu primer perlu diperhatikan komposisinya. Rentetan nukleotida yang sama perlu dihindari, hal ini dapat menurunkan spesifisitas primer yang dapat memungkinkan terjadinya mispriming di tempat lain. Kandungan (G+C)) (% jumlah G dan C) sebaiknya sama atau lebih besar dari kandungan (G+C) DNA target. Sebab primer dengan % (G+C) rendah diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara efektif pada tempat yang dituju dengan demikian akan menurunkan efisiensi proses PCR. Selain itu, urutan nukleotitda pada ujung 3 sebaiknya G atau C. Nukleotida A atau T lebih toleran terhadap mismatch dari pada G atau C, dengan demikian akan dapat menurunkan spesifisitas primer. c. Melting temperature (Tm) Melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu primer sangat penting karena Tm primer akan berpengaruh sekali di dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Tm berkaitan dengan komposisi primer dan panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus [2(A+T) + 4(C+G)]. Sebaiknya Tm primer berkisar antara 50 65 oC. d. Interaksi primer-prime Interaksi primer-primer seperti self-homology dan cross-homology harus dihindari. Demikian juga dengan terjadinya mispriming pada daerah lain yang tidak dikehendaki, ini semua dapat menyebabkan spesifisitas primer menjadi rendah dan di samping itu konsentrasi primer yang digunakan menjadi berkurang selama proses karena terjadinya mispriming. Keadaan ini akan berpengaruh pada efisiensi proses PCR. 3. dNTPs (deoxynucleotide triphosphates) dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin trifosfat), dTTP (deoksitimidin trifosfat) , dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan dGTP (deoksiguanosin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building block DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada gugus OH pada ujung 3 dari primer membentuk untai baru yang komplementer dengan untai DNA templat. Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan.

37 | P a g e

4. Buffer PCR dan MgCl2 Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di sini adalah untuk menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga adanya ion Mg2+, ion tersebut berasal dari berasal MgCl2. MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi aktivitas DNA polimerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan meningkatkan interaksi primer dengan templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP (senyawa antara). Dalam proses PCR konsentrasi MgCl2 berpengaruh pada spesifisitas dan perolehan proses. Umumnya buffer PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang diperlukan.Tetapi disarankan sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan supaya dapat dengan mudah dilakukan variasi konsentrasi MgCl2 sesuai yang diperlukan. 5. Enzim Polimerase DNA Enzim polimerase DNA berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi DNA. Pada proses PCR enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi DNA. Enzim polimerase DNA yang digunakan untuk proses PCR diisolasi dari bakteri termofilik atau hipertermofilik oleh karena itu enzim ini bersifat termostabil sampai temperatur 95 oC. Aktivitas polimerase DNA bergantung dari jenisnya dan dari mana bakteri tersebut diisolasi . Sebagai contoh adalah enzim Pfu polimerase (diisolasi dari bakteri Pyrococcus furiosus) mempunyai aktivitas spesifik 10x lebih kuat dibandingkan aktivitas spesifik enzim Taq polimerase (diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus). Penggunaan jenis polimerase DNA berkaitan erat dengan buffer PCR yang dipakai. Dengan menggunakan teknik PCR, panjang fragmen DNA yang dapat diamplifikasi mencapai 35 kilo basa. Amplifikasi fragmen DNA pendek (kurang dari tiga kilo basa) relatif lebih mudah dilakukan. Untuk mengamplifikasi fragmen DNA panjang (lebih besar dari tiga kilo basa) memerlukan beberapa kondisi khusus, di antaranya adalah diperlukan polimerase DNA dengan aktivitas yang kuat dan juga buffer PCR dengan pH dan kapasitas tinggi (Highsalt buffer). 4.4. Optimasi PCR Untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal perlu dilakukan optimasi proses PCR. Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara memvariasikan kondisi yang digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor seperti jenis polimerase DNA; suhu; konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu. 1. Jenis polimerase DNA

38 | P a g e

Kemampuan mengkatalisis reaksi polimerasi DNA pada proses PCR yang terjadi pada tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan berbeda dengan untuk DNA rantai pendek. Penggunaan jenis DNA polimerase tergantung pada panjang DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari tiga kilobasa akan memerlukan jenis polimerase dengan aktivitas tinggi. 2. Konsentrasi dNTPs, MgCl2; polimerase DNA Konsentrasi optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA yang diamplifikasi. Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa biasanya digunakan konsentrasi dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target DNA lebih besar dari satu kilobasa diperlukan konsentrasi dNTPs sebanyak 200 uM. Umumnya konsentrasi optimal MgCl2 berkisar antara 1,0 1,5 mM. Konsentrasi MgCl2 yang terlalu rendah akan menurunkan perolehan PCR. Sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan akumulasi produk non target yang disebabkan oleh terjadinya mispriming. Jumlah polimerase DNA yang digunakan tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan 1,25 2 unit per 50 uL campuran reaksi, sedangkan untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari dua kilobasa diperlukan 3 unit per 50 uL campuran reaksi. 3. Suhu Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templat berkisar antara 93 95oC, ini semua tergantung pada panjang DNA templat yang digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA target. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu juga dapat merusak DNA templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu denaturasi yang digunakan adalah 94oC. Secara umum suhu annealing yang digunakan berkisar antara 37 60oC. Pemilihan suhu annealing berkaitan dengan Tm primer yang digunakan untuk proses PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat dihitung berdasarkan (Tm 5)oC sampai dengan (Tm + 5)oC. Dalam menentukan suhu annealing yang digunakan perlu diperhatikan adanya mispriming pada daerah target dan nontarget, dan keberhasilan suatu proses PCR akan ditentukan oleh eksperimen.

39 | P a g e

Proses ekstensi primer pada proses PCR selalu dilakukan pada suhu 72oC karena suhu tersebut merupakan suhu optimum polimerase DNA yang biasa digunakan untuk proses PCR. 4. Buffer PCR Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas buffer nya. Dalam perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu Low-salt buffer (pH 8,75 dan kapasitas buffer rendah) dan High-salt buffer (pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR tersedia sesuai dengan jenis polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini tergantung pada DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang DNA target antara 0 5 kilobasa biasanya diperlukan low-salt buffer sedangkan untuk panjang DNA target lebih besar dari lima kilobasa digunakan high-salt buffer. 5. Waktu Pemilihan waktu yang digunakan berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA templat umumnya dilakukan selama 30 90 detik, ini semua tergantung pada DNA templat yang digunakan. Waktu denaturasi yang terlalu lama akan merusak templat DNA dan sekaligus dapat menurunkan aktivitas polimerase DNA. Sedangkan waktu denaturasi yang terlalu pendek akan menyebabkan proses denaturasi tidak sempurna. Penentuan waktu untuk proses annealing berkaitan dengan panjang primer. Untuk panjang primer 18 22 basa cukup dengan 30 detik, sedangkan untuk panjang primer lebih besar dari 22 basa diperlukan waktu annealing 60 detik. Pemilihan waktu ekstensi primer tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Secara umum untuk mengamplifikasi setiap satu kilo basa DNA diperlukan waktu 30 60 detik. Pada setiap melakukan PCR harus dilakukan juga kontrol positif, ini diperlukan untuk memudahkan pemecahan masalah apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu juga harus dilakukan terhadap kontrol negatif untuk menghindari kesalahan positif semu.

40 | P a g e

BAB 5 ELEKTROFORESIS 5.1. Pendahuluan Elektroforesis DNA merupakan teknik untuk memisahkan sampel DNA berdasarkan ukuran (berat molekul) dan struktur fisik molekulnya sehingga molekul DNA dengan ukuran berbeda tetapi mempunyai komposisi basa yang sama dapat dipisahkan. Gel yang biasa digunakan adalah agarosa yang merupakan suatu polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut sehingga elektroforesis ini dikenal dengan elektroforesis gel agarosa. Teknik ini sederhana, cepat terbentuk, dan mampu memisahkan fragmen DNA sesuai dengan ukurannya secara akurat, dibanding dengan densitas gradien sentrifugasi. Elektroforesis gel agarosa dapat memisahkan sampel DNA dari ukuran beberapa ratus hingga 20.000 pasang basa (pb). Gel agarosa digunakan sebagai media pergerakan (running) DNA. Parameter yang dapat mempengaruhi laju migrasi DNA, yaitu ukuran molekul DNA. Molekul yang lebih besar akan bergerak lebih lambat, misalnya DNA linier akan bergerak lebih cepat dibandingkan dengan DNA sirkuler. Selain itu, konformasi DNA, voltase yang diterapkan, konsentrasi agarosa, dan pewarna DNA yang digunakan juga ikut mempengaruhi laju migrasi (Fatchiyah, 2006; Gumilar dkk., 2008). 5.2. Prinsip Kerja Prinsip kerja dari elektroforesis ini adalah memisahkan molekul berdasarkan muatan listrik. Muatan listrik positif akan menarik muatan negatif. Sebaliknya, muatan negatif akan menarik muatan positif serta akan saling tolak menolak jika muatannya sama. Molekul DNA bermuatan negatif (rangka gulafosfat) sehingga di dalam medan listrik akan bermigrasi melalui matriks gel ke arah kutub positif (anoda). Semakin besar ukuran molekulnya maka laju migrasi semakin rendah. 5.3. Jenis Elektroforesis Elektroforesis merupakan proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu medan listrik.Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik tergantung pada muatan,bentuk dan ukuran. Perpindahan partikel bermuatan tergantung pada tanda dan besarnya muatan pada zat terlarut,permukaan,muatan,tegangan yang digunakan,konsentrasi elektrolit,kuat ion,pH,temperatur,viskositas,adsorbsi zat terlarut dan sifat-sifat fisika kimia lainnya pada medium migrasi. Ion yang berpindah pada suatu arah juga mempengaruhi mobilitas ion-ion lain yang bergerak berlawanan arah. Ada beberapa jenis elektroforesis, di antaranya : 1. Elektroforesis dengan kertas saring

41 | P a g e

Pada akhir proses elektroforesis komponen dengan elektroforesis kertas saring tersebut terpisah-pisah, mereka dapat mengisolasi dan mengidentifikasi setiap komponen tersebut. 2. Elektroforesis Gel Kanji Ternyata elektroforesis gel kanji yang diperkenalkan Smithies memicu para ilmuan untuk menemukan bahan kimia lain yang dapat digunakan sebagai bahan gel yang lebih baik, seperti agarosa dan polimer akrilamida 3. Polyacrilamide Gel electrophoresis SDS-PAGE digunakan untuk menentukan komposisi subunit suatu protein dan untuk

mengangar berat molekul subunit hingga +5 perseratus alat.Walaupun protein yang bercas tinggi atau glikoprotein mungkin berada pada ralat yang besar.Berat molekul ditentukan dengan membandingkan Rm subunit protein dengan Rm protein standar yang diketahui berat jenisnya.Protein standar yang disediakan di pasaran belum sepenuhnya memiliki deret yang cukup luas. 4. Elektroforesis Wilayah Ada beberapa faktor yang mempengaruhi laju perpindahan elektroforesis wilayah. Faktorfaktor yang mempengaruhi pergerakan ion adalah mobilitas ion, tipe resolusinya, macam larutan buffernya, pH yang digunakan, kuat ion zat terlarut, temperatur dan

elektroosmosis.Medium yang umum digunakan adalah kertas saring, selulosa, asetat, gel seperti kanji, poloakrilamid dan bubuk gel. 5. Elektroforesis Kontinyu Elektroforesis kontinyu adalah elektroforesis yang dilakukan secara kontinyu. Suatu tirai dengan kertas saring digunakan yang mana terendam dalam larutan buffer. Suatu aplikator digunakan untuk meneteskan sampel. Sampel masuk dalam aplikator dari suatu reservoir sampel. Kedua ujung kertas saring dalam bentuk alur tercelup dalam dua ruang elektroda. Dengan pemberian tegangan, partikel zat telarut mulai bergerak dan komponen terpisahkan dalam berbagai permukaan 5.4. Elektroforesis gel agarosa Elektroforesis gel merupakan salah satu teknik utama dalam biologi molekular. Prinsip dasar teknik ini adalah bahwa DNA, RNA, atau protein dapat dipisahkan oleh medan listrik. Dalam hal ini molekul-molekul tersebut dipisahkan berdasarkan laju perpindahannya oleh gaya gerak listrik di dalam matriks gel. Laju perpindahan tersebut tergantung pada ukuran molekul bersangkutan.Elektroforesis gel biasanya digunakan untuk keperluan analisis, namun dapat pula digunakan sebagai preparatif untuk memisahkan molekul untuk digunakan dalam

42 | P a g e

metode-metode lainnya seperti spektrofotometri massa, PCR, kloning, Skensing DNA, atau immuno-blotting yang merupakan metode=metode karakterisasi lebih lanjut. Elektroforesis gel agarosa terdiri dari beberapa komponen, antara lain: sampel DNA yang merupakan hasil perbanyakan dengan teknik PCR, gel agarosa (konsentrasi 0.5-2%), EtBr (agen pengkelat DNA) yang akan berpendar ketika terpapar dengan sinar UV, loading buffer, running buffer (memfasilitasi hantaran arus, biasanya TAE atau TBE ), marker (penanda DNA) yang merupakan serangkaian fragmen DNA standar yang berguna untuk memperkirakan ukuran fragmen yang berbeda-beda pada DNA templat yang dielektroforesis, serta lampu UV transilluminator yang membantu dalam visualisasi DNA (Fatchiyah, 2006).

Contoh set alat elektroforesis ditunjukkan pada Gambar 1

43 | P a g e

BAB 6 SKUENSING DNA

6.1. Pendahuluan Sekuensing merupakan tahap akhir dalam menentukan urutan nukleotida DNA setelah melalui tahapan lisis, amplifikasi dan deteksi dengan elektroforesis. Sekuensing ini merupakan suatu metode pengurutan secara cepat dan tepat seluruh molekul nukleotida dari DNA. Ada dua metode sekuensing yang dikenal yaitu metode pemotongan DNA menggunakan bahan kimia yang dikembangkan oleh Maxam-Gilbert dan metode Frederick Sanger. Metode sekuensing yang umum dilakukan adalah metode Frederick Sanger disebabkan metode Maxam- Gilbert beresiko tinggi karena menggunakan bahan kimia berbahaya bagi tubuh. Metode sekuensing Frederick Sanger disebut juga metode terminasi rantai (Bourgaize, et al., 2000). Sekuensing DNA merupakan pengurutan DNA untuk menentukan nukleotida yang tepat pada suatu molekul DNA. Sekuensing DNA merupakan tahapan akhir penentukan urutan nukleotida fragmen hasil amplifikasi. Direct sequencing merupakan tahapan untuk menentukan urutan nukleotida dari fragmen hasil amplifikasi dengan PCR tanpa melalui proses kloning. Pada dasarnya direct sekuensing sama seperti proses sekuensing biasa. Namun ada beberapa perbedaan dalam tahapan-tahapan reaksinya, yaitu pada penyiapan DNA templat dan proses amplifikasi dengan PCR.

6.2. Prinsip Sekuensing DNA

Molekul DNA rekombinan yang memperlihatkan hasil positif dalam reaksi hibridisasi dengan fragmen pelacak sangat diduga sebagai molekul yang membawa fragmen sisipan atau bahkan gen yang diinginkan. Namun, hal ini masih memerlukan analisis lebih lanjut untuk memastikan bahwa fragmen tersebut benar-benar sesuai dengan tujuan kloning. Analisis antara lain dapat dilakukan atas dasar urutan (sekuens) basa fragmen sisipan.

Penentuan urutan (sekuensing) basa DNA pada prinsipnya melibatkan produksi seperangkat molekul/fragmen DNA yang berbeda-beda ukurannya tetapi salah satu ujungnya selalu sama.

44 | P a g e

Selanjutnya, fragmen-fragmen ini dimigrasikan/dipisahkan menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid atau polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) agar pembacaan sekuens dapat dilakukan. Di bawah ini akan diuraikan sekilas dua macam metode sekuensing DNA.

6.3. Metode Maxam-Gilbert

Metode sekuensing DNA yang pertama dikenal adalah metode kimia yang dikembangkan oleh A.M. Maxam dan W. Gilbert pada tahun 1977. Pada metode ini fragmen-fragmen DNA yang akan disekuens harus dilabeli pada salah satu ujungnya, biasanya menggunakan fosfat radioaktif atau suatu nukleotida pada ujung 3. Metode Maxam-Gilbert dapat diterapkan baik untuk DNA untai ganda maupun DNA untai tunggal dan melibatkan pemotongan basa spesifik yang dilakukan dalam dua tahap.

Molekul DNA terlebih dahulu dipotong-potong secara parsial menggunakan piperidin. Pengaturan masa inkubasi atau konsentrasi piperidin akan menghasilkan fragmen-fragmen DNA yang bermacam-macam ukurannya. Selanjutnya, basa dimodifikasi menggunakan bahan-bahan kimia tertentu. Dimetilsulfat (DMS) akan memetilasi basa G, asam format menyerang A dan G, hidrazin akan menghidrolisis C dan T, tetapi garam yang tinggi akan menghalangi reaksi T sehingga hanya bekerja pada C. Dengan demikian, akan dihasilkan empat macam fragmen, masing-masing dengan ujung G, ujung A atau G, ujung C atau T, dan ujung C.

Lajur kedua berisi fragmen-fragmen yang salah satu ujungnya adalah A atau G. Untuk memastikannya harus dilihat pita-pita pada lajur pertama. Jika pada lajur kedua terdapat pitapita yang posisi migrasinya sama dengan posisi migrasi pada lajur pertama, maka dapat dipastikan bahwa pita-pita tersebut merupakan fragmen yang salah satu ujungnya adalah G. Sisanya adalah pita-pita yang merupakan fragmen dengan basa A pada salah satu ujungnya.

45 | P a g e

Cara yang sama dapat kita gunakan untuk memastikan pita-pita pada lajur ketiga, yaitu dengan membandingkannya dengan pita-pita pada lajur keempat.

Laju migrasi pita menggambarkan ukuran fragmen. Makin kecil ukuran fragmen, makin cepat migrasinya. Dengan demikian, ukuran fragmen pada contoh tersebut di atas dapat diurutkan atas dasar laju/posisi migrasinya. Jadi, kalau diurutkan dari yang terkecil hingga yang terbesar, hasilnya adalah fragmen-fragmen dengan ujung

TTGCCCCGCGTGGCGCAAAGG. Inilah sekuens fragmen DNA yang dipelajari.

6.4. Metode Sanger

Dewasa ini metode sekuensing Maxam-Gilbert sudah sangat jarang digunakan karena ada metode lain yang jauh lebih praktis, yaitu metode dideoksi yang dikembangkan oleh A. Sanger dan kawan-kawan pada tahun 1977 juga.

Metode Sanger pada dasarnya memanfaatkan dua sifat salah satu subunit enzim DNA polimerase yang disebut fragmen klenow. Kedua sifat tersebut adalah kemampuannya untuk menyintesis DNA dengan adanya dNTP dan ketidakmampuannya untuk membedakan dNTP dengan ddNTP. Jika molekul dNTP hanya kehilangan gugus hidroksil (OH) pada atom C nomor 2 gula pentosa, molekul ddNTP atau dideoksi nukleotida juga mengalami kehilangan gugus OH pada atom C nomor 3 sehingga tidak dapat membentuk ikatan fosfodiester. Artinya, jika ddNTP disambungkan oleh fragmen klenow dengan suatu molekul DNA, maka polimerisasi lebih lanjut tidak akan terjadi atau terhenti. Basa yang terdapat pada ujung molekul DNA ini dengan sendirinya adalah basa yang dibawa oleh molekul ddNTP.

Dengan dasar pemikiran itu sekuensing DNA menggunakan metode dideoksi dilakukan pada empat reaksi yang terpisah. Keempat reaksi ini berisi dNTP sehingga polimerisasi DNA dapat berlangsung. Namun, pada masing-masing reaksi juga ditambahkan sedikit ddNTP

46 | P a g e

sehingga kadang-kadang polimerisasi akan terhenti di tempat -tempat tertentu sesuai dengan ddNTP yang ditambahkan. Jadi, di dalam tiap reaksi akan dihasilkan sejumlah fragmen DNA yang ukurannya bervariasi tetapi ujung 3nya selalu berakhir dengan basa yang sama. Sebagai contoh, dalam reaksi yang mengandung ddATP akan diperoleh fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran yang semuanya mempunyai basa A pada ujung 3nya.

Tabung ddATP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran tiga dan tujuh basa; tabung ddCTP menghasilkan tiga fragmen dengan ukuran satu, dua, dan empat basa; tabung ddGTP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran lima dan sembilan basa; tabung ddTTP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran enam dan delapan basa. Di depan (arah 5) tiap fragmen ini sebenarnya terdapat primer, yang berfungsi sebagai prekursor reaksi polimerisasi sekaligus untuk kontrol hasil sekuensing karena urutan basa primer telah diketahui.

Untuk melihat ukuran fragmen-fragmen hasil sekuensing tersebut dilakukan elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid sehingga akan terjadi perbedaan migrasi sesuai dengan ukurannya masing-masing. Setelah ukurannya diketahui, dilakukan pengurutan fragmen mulai dari yang paling pendek hingga yang paling panjang, yaitu fragmen dengan ujung C (satu basa) hingga fragmen dengan ujung G (sembilan basa). Dengan demikian, hasil sekuensing yang diperoleh adalah CCACGTATG. Urutan basa DNA yang dicari adalah urutan yang komplementer dengan hasil sekuensing ini, yaitu GGTGCATAC.

a)

reaksi polimerisasi dan terminasi

b)

PAGE untuk melihat ukuran fragmen

6.5. Pangkalan Data Sekuens DNA

47 | P a g e

Selama bertahun-tahun telah banyak sekuens DNA yang ditentukan oleh para ilmuwan di seluruh dunia, dan saat ini kebanyakan jurnal ilmiah mempersyaratkan penyerahan sekuens DNA terlebih dahulu untuk keperluan pangkalan data publik sebelum mereka menerima naskah selengkapnya dari para penulis/ilmuwan. Pengelola pangkalan data akan saling bertukar informasi tentang sekuens-sekuens yang terkumpul dan menyediakannya untuk akses publik sehingga semua pangkalan data yang ada akan menjadi nara sumber yang sangat bermanfaat.

Sekuens-sekuens baru terus bertambah dengan kecepatan yang kian meningkat. Begitu pula, sejumlah perangkat lunak komputer diperlukan agar data yang tersedia dapat dimanfaatkan dengan lebih baik.

EMBL di Eropa dan GenBank di Amerika Serikat merupakan dua pangkalan data sekuens DNA terbesar di dunia. Selain sekuens DNA, mereka juga mengelola data sekuens RNA dan protein. Sementara itu, beberapa perusahaan mempunyai pangkalan data sekuens DNA sendiri.

Ketika sekuens suatu fragmen DNA telah diketahui, hanya ada sedikit sekali gambaran yang dapat diperoleh dari sekuens tersebut. Analisis sekuens perlu dilakukan untuk mengetahui beberapa karakteristik pentingnya seperti peta restriksi, rangka baca, kodon awal dan kodon akhir, atau kemungkinan tempat promoternya. Di samping itu, perlu juga dipelajari hubungan kekerabatan suatu sekuens baru dengan beberapa sekuens lainnya yang telah terlebih dahulu diketahui. Biasanya, analisis semacam itu dilakukan menggunakan paket-paket perangkat lunak, misalnya paket GCG Universitas Wisconsin dan DNAstar.

6.6. Proyek-proyek Sekuensing Genom

48 | P a g e

Sejalan dengan berkembangnya mesin-mesin sekuensing DNA automatis (automatic DNA sequencer), sejumlah organisasi telah memberikan perhatian dan dukungan dana bagi penentuan sekuens genom berbagai spesies organisme penting. Beberapa genom yang ukurannya sangat kecil seperti genom virus HIV dan fag telah disekuens seluruhnya. Genom sejumlah bakteri, misalnya E. coli (4,6 x 106 pb), dan khamir Saccharomyces cerevisiae (2,3 x 107 pb) juga telah selesai disekuens. Sementara itu, proyek sekuensing genom tanaman Arabidopsis thaliana (6,4 x 107 pb) dan nematoda Caenorhabditis elegans saat ini masih berlangsung. Proyek Genom Manusia (Human Genom Project), yang diluncurkan pada tahun 1990 dan sebenarnya diharapkan selesai pada tahun 2005, ternyata berakhir dua tahun lebih cepat daripada jadwal yang telah ditentukan.

Pada genom manusia dan genom-genom lain yang berukuran besar biasanya dilakukan pemetaan kromosom terlebih dahulu untuk mengetahui lokus-lokus gen pada tiap kromosom. Selanjutnya, perpustakaan gen untuk suatu kromosom dikonstruksi menggunakan vektor YACs dan klon-klon YACs yang saling tumpang tindih diisolasi hingga panjang total kromosom tersebut akan tercakup. Demikian seterusnya untuk kromosom-kromosom yang lain hingga akhirnya akan diperoleh sekuens genom total yang sambung-menyambung dari satu kromosom ke kromosom berikutnya.

49 | P a g e

BAB 7 KESIMPULAN

1. Secara umum ilmu forensik dapat diartikan sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. 2. Analisis mtDNA telah diaplikasikan secara luas dalam bidang kedokteran forensik. 3. Metode PCR Elektroforesis Skuensing DNA merupakan metode analisis DNA mitokonria yang umum digunakan. 4. Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro 5. Elektroforesis DNA merupakan teknik untuk memisahkan sampel DNA berdasarkan ukuran (berat molekul) dan struktur fisik molekulnya sehingga molekul DNA dengan ukuran berbeda tetapi mempunyai komposisi basa yang sama dapat dipisahkan. 6. Sekuensing DNA merupakan pengurutan DNA untuk menentukan nukleotida yang tepat pada suatu molekul DNA. Sekuensing DNA merupakan tahapan akhir penentukan urutan nukleotida fragmen hasil amplifikasi.

50 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

1) Anderson, P D., An Overview of Forensic Pharmacists Practice, Journal of Pharmacy Practice 2000; 13; 179 2) Anderson S, Bankier AT, Barrell BG, et al. 1981.Sequence and organization of the human mitochondrial genome. Nature 290:457-465. 3) Bruce, B. (Eds.). 1997. Genome Analysis, a laboratory manual. vol 1 (Analyzing DNA). USA: Cold Spring Harbor Laboratory Press. 4) Colby, Diane S (1991). Ringkasan Biokimia Harper. Jakarta: EGC. 5) Eckert, W.G., 1980, Introduction to Forensic sciences, The C.V. Mosby Company, St. Louis, Missori 6) Innis, M.A.(Eds.). 1990. PCR Protocols a Guide to Methods and Applications. California: Academic Press, Inc.. 7) Kansil, CST, 1991, Pengantar hukum kesehatan Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 8) Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.) IKIP Semarang Press, Semarang 9) Newton, C.R. and A. Graham. 1994. PCR. UK: Bios Scientific Publisher. 10) Perdanakusuma, P., 1984, Bab-bab tentang kedokteran forensik, Gha liaIndonesia, Jakarta 11) Purwandianto, A. 2000, Pemanfaatan Laboratorium Forensik Untuk Kepentingan Non-Litigasi, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik , Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta 12) Saferstein R., 1995, Criminalistics, an Introduction to Forensic Science, 5th Ed., A Simon & Schuster Co., Englewood Cliffs, New Jersey 13) Sambrook, J., E.F. Fritsch and T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning. USA: Cold Spring Harbor Laboratory Press. 14) Sampurna, B., 2000, Laboratorium Kriminalistik Segabai Sarana Pembuktian Ilmiah, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta

51 | P a g e

15) Wallace DC. 1995. Mitochondrial DNA variation in human evolution, degenerative disease, and aging. Am J Hum Genet 57:201-223. 16) Watson et al (2008). Molecular Biology of The Gene.

Anda mungkin juga menyukai