Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KULTUR JARINGAN TUMBUHAN DAN BIOSINTESIS METABOLIT SEKUNDER

MEMPELAJARI KULTUR ANTERA GALUR MUTAN CABAI MERAH KERITING (Capsicum annum. L) SECARA IN-VITRO

Vicky Fernando

(1041111167)

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI TAHUN AJARAN 2012/2013

MEMPELAJARI KULTUR ANTERA GALUR MUTAN CABAI MERAH KERITING (Capsicum annum. L) SECARA IN-VITRO

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang


Capsicum annuum L atau cabai merupakan tanaman hortikultura semusim yang

mempunyai nilai ekonomi (Barany et al. 2001). Belakangan ini produksi cabai terus meningkat terutama di negara-negara berkembang dan yang sedang berkembang baik di benua Afrika maupun Asia (Deptan go.id, 2006). Di Indonesia cabai termasuk komoditas hortikultura bernilai ekonomi yang dapat dikonsumsi baik sebagai rempah maupun untuk sayuran. Permintaan cabai di Indonesia diproyeksikan meningkat setiap tahunnya sehingga impor harus dilakukan kalau produksi dalam negeri tidak dapat terpenuhi (BPS, 2000). Salah satu varietas cabai yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah cabai merah keriting. Perbaikan varietas cabai merah keriting seperti ketahanan terhadap penyakit dapat dilakukan melalui aplikasi teknologi mutasi dan teknik kultur jaringan sehingga akan memberikan nilai tambah untuk program pemuliaan, terutama dalam usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi cabai secara optimal. Salah satu metoda dalam kultur jaringan yang banyak digunakan untuk menunjang kegiatan pemuliaan tanaman adalah kultur antera. Tanaman haploid ganda yang dihasilkan dari kultur antera1 dapat mencapai homozigot pada generasi kedua. Hal ini akan mempersingkat waktu2 seleksi jika dibandingkan dengan pemuliaan secara konvesional (Morrison dan Evans,
1 2

1988) disamping evaluasi karakter kuantitatif yang dapat dipercepat sehingga lebih menghemat waktu dan tempat (Kasha dan Maluszynski, 2003). Keberhasilan aplikasi teknik kultur antera dalam mendapatkan tanaman haploid ganda pada tanaman cabai masih sedikit yang dilaporkan (Wang et al, 1973., Novak FJ, 1974., serta Mityko et al.,1999; Dolcet-Sanjuan et al.,1997 dan Gyulai et al., 2000 dalam
Barany et al.,2001). Rendahnya frekuensi regenerasi tanaman yang berasal dari kultur

antera disebabkan sulitnya memperoleh kalus embriogenik. Sibi et al (1979) telah melakukan penelitian mengenai androgenesis dari haploid organ untuk mendapatkan tanaman haploid ganda, tetapi belum berhasil mendapatkan tanaman yang diinginkan. Rendahnya frekuensi pembentukan kalus embriogenik dari kultur antera cabai merupakan salah satu kendala dalam menghasilkan tanaman haploid ganda. Untuk mengatasi hal tersebut mungkin perlu dilakukan suatu perlakuan awal sebelum antera cabai di induksi pada media pembentukan kalus. Salah satu perlakuan awal yang pernah dilakukan pada kultur antera padi adalah dengan memberi perlakuan stres dingin selama 2-3 hari pada antera sebelum dikultur dan hasilnya menunjukkan dapat memperbaiki frekuensi pembentukan kalus embriogenik (Qu dan Chen, 1983, Rackoczy et al, 1997, Ishak dan Ita Dwimahyani, 1997). Disamping itu respon dari masing-masing genotipe tanaman sangat berbeda antara satu genotipe dengan genotipe lainnya. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh variasi hormon tumbuh dan perlakuan awal stres dingin terhadap frekuensi pembentukan kalus dan spot hijau dari kultur antera galur mutan cabai merah keriting. 1.3. Hipotesis Pemberian hormon tumbuh yang berbeda dan perlakuan stres dingin berpengaruh terhadap pembentukan kalus dan spot hijau dari antera galur mutan cabai merah keriting. II. TINJAUAN PUSTAKA Cabai (Capsicum spp.) merupakan sayuran dan rempah paling penting di dunia (Bosland, 1996). Genus Capsicum berasal dari dunia baru, spesies C. annuum dari

Meksiko dan spesies lain (C. frutescens, C.baccatum, C. chinense, dan C. pubescens) dari Amerika Selatan. Oleh pedagang Portugis dan Spanyol, cabai diintroduksikan ke Asia pada abad ke-16, dan spesies cabai pedas tersebar paling luas di Asia Tenggara (Sanjaya L dkk. 2002). Lebih dari 100 spesies Capsicum telah diidentifikasi. Lima spesies di antaranya telah dibudidayakan, yaitu C. Annuum, C. chinense, C. frutescens, C. pubescens, dan C. baccatum (Vagera, 1990). Klasifikasi spesies-spesies ini didasarkan pada karakter morfologi, terutama morfologi bunga (Heiser dan Smith, 1953) . Cabai dalam bentuk kering biasanya digunakan sebagai bumbu dapur, dengan rasa dan aroma spesifik yang disebabkan oleh kandungan capsaicin alkaloid didalamnya. Pada cabai terkandung beberapa vitamin seperti B1, B2, C dan P yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan sayuran lainnya. Dewasa ini tanaman cabai sudah ditanam dihampir seluruh bagian dunia. Kegunaannya baik sebagai bumbu masakan dan penghangat badan sangat diperlukan oleh seluruh lapisan masyarakat (Vagera, 1990). Seperti tanaman hortikultura lainnya kestabilan produksi cabai juga dipengaruhi oleh serangan hama dan penyakit. Pemberantasan hama dan penyakit pada tanaman cabai merupakan salah satu pemeliharaan tanaman yang cukup penting. Banyak jenis hama, serangga dan kutu daun yang sangat membahayakan kesehatan tanaman dan bahkan dapat menggagalkan pembuahannya. Penggunaan pestisida adalah salah satu alternatif pencegahan namun pemberantasan dengan pestisida memerlukan tambahan biaya yang besar. Penggunaan varietas yang resisten adalah sangat ideal karena dapat menekan biaya budidayanya (Sunaryono H, 2000). Pemuliaan cabai pertama dilakukan di Amerika tropis untuk kultivar cabai manis, untuk cabai pedas pemuliaan baru berkembang akhir-akhir ini. Informasi keragaman genetik merupakan dasar untuk mengembangkan strategi pemuliaan tanaman (Sanjaya dkk. 2002). Aplikasi pemuliaan mutasi adalah salah satu cara untuk merakit suatu varietas baru. Dengan penggunaan radiasi sinar gamma akan memperluas keragaman genetik yang ada. Kombinasi teknik mutasi dengan kultur jaringan akan mempercepat perbanyakan varietas baru tersebut. III. BAHAN DAN METODA Persiapan antera cabai 4

Antera cabai yang digunakan berasal dari galur mutan cabai merah keriting yaitu Kr20, Kr40 dan Kr0 sebagai kontrol yang berumur 30-40 hari dari saat tanaman mulai berbunga hingga antera sudah muncul ke permukaan. Sebagian antera diberi perlakuan dengan stres dingin pada temperatur 4oC dengan variasi perlakuan 3 hari dan 6 hari, sedangkan sebagian antera lainnya langsung di kultur pada dua jenis media induksi kalus. Media untuk induksi pembentukan kalus Media pembentukan kalus yang digunakan adalah media dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) yang terdiri dari unsur-unsur makro dan mikro kemudian ditambahkan 0,5 mg/l asam nikotinat, 0,5 mg/l pyridoxin, 0,5 mg/l thiamin HCl, 9 gr/l bacto agar, dan 40 gr/l sukrosa. Media dibagi dalam dua jenis berdasarkan komposisi hormon tumbuh yang digunakan, yaitu media Ac yang terdiri dari 1 mg/l 2,4 D dan 0,1 mg/l kinetin dan media Bc yang terdiri dari 1 mg/l NAA dan 0,1 mg/l kinetin. Kultur antera cabai Antera cabai disterilkan dengan HgCl2 (0,05%) selama 20 menit, kemudian dibilas tiga kali dengan air suling steril. Bunga yang masih muda (kuncup) dilepaskan dari tangkainya dengan menggunakan skalpel. Selanjutnya mahkota bunga yang masih kuncup itu dibuka dan antera cabai yang berwarna hijau dan keunguan tersebut dilepas satu persatu. Kemudian antera cabai tersebut diinduksikan pada kedua media dalam cawan petri. Setiap cawan petri berisi 20 antera dan masing-masing perlakuan menggunakan tiga kali ulangan. Media regenerasi antera Kalus yang sudah terbentuk pada media induksi dipindahkan ke media regenerasi untuk merangsang pembentukan spot hijau. Komposisi media regenerasi kalus hampir sama dengan media untuk induksi kalus perbedaan hanya terletak pada komposisi hormon tumbuh yang digunakan yaitu 1 mg/l BAP dikombinasikan dengan 0,05 mg/l NAA. Kultur kemudian disimpan dalam ruang inkubasi pada suhu 27oC. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Antera cabai yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari tanaman yang berumur 30-40 hari dari waktu pembungaan sampai pada saat antera sudah muncul ke permukaan. Antera cabai ini berasal dari galur mutan cabai merah keriting yaitu Kr20, Kr40 dan Kr0 sebagai kontrol. Dari hasil evaluasi karakter morfologi galur-galur mutan tanaman yang digunakan untuk kultur antera ini sudah memperlihatkan keragaman (Tabel 1.). Oleh sebab itu aplikasi teknik kultur antera akan mempercepat proses homogenisasi dari galur mutan yang terseleksi.
Tabel 1. Evaluasi keragaman morfologi galur mutan cabai keriting di lapangan
No Genotipe Jumlah Cabang Utama Jumlah Cabang Anakan Rerata Panjang Buah (cm) Rerata Berat per Buah Cabai (g) Rerata Diameter Buah (cm)

1. 2. 3.

Kr0 Kr20 Kr40

2 23 2

30 67 70 120 30 65

8,20 8,96 8,84

1,0 1,21 1,42

2,0 1,95 1,96

Hasil pengamatan secara in vitro memperlihatkan antera cabai mulai pecah satu minggu setelah diinduksi pada media kalus. Selanjutnya beberapa antera mulai mengalami pembengkakan dan dinding-dindingnya mulai membuka. Kalus dari beberapa antera mulai terbentuk 3-4 minggu setelah diinduksi. Pertumbuhan kalus ditandai dengan pecahnya kelopak antera cabai yang diakibatkan oleh hasil pembelahan sel-sel mikrospora cabai yang tumbuh menjadi massa sel. Namun tidak semua antera cabai yang pecah mempunyai kemampuan untuk membesar membentuk kalus. Beberapa komponen termasuk hormon tumbuh yang digunakan dalam media induksi mempunyai peranan terhadap perkembangan jaringan kalus tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa penggunaan hormon 1 mg/l 2,4 D yang dikombinasikan dengan 0,1 mg/l kinetin pada media Ac lebih cocok untuk merangsang pembentukan kalus dibandingkan dengan kombinasi hormon tumbuh pada media Bc. Persentase pembentukan kalus tertinggi diperoleh pada media Ac, dimana hampir semua genotipe memberikan respon yang baik yaitu berturut-turut 30% pada Kr0, 25% pada Kr20 dan 30% pada Kr40 (Tabel 2.). Perlakuan awal dengan variasi stres dingin yang diberikan pada antera cabai menunjukkan hasil nyata terhadap frekuensi pembentukan kalus hanya pada genotipe Kr40, dimana terjadi peningkatan persentase

pembentukan kalus sebesar 15% dengan pemberian stres dingin selama tiga hari pada media Ac (Gambar 1.). Dari Gambar 1. juga terlihat bahwa pemberian stres dingin selama enam hari umumnya menunjukkan penurunan pembentukan kalus pada semua genotipe. Berdasarkan grafik pembentukan kalus pada media Bc (Gambar 2.) terlihat perlakuan awal dengan stres dingin selama tiga hari menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan tanpa perlakuan sedangkan perlakuan enam hari stres dingin cenderung menurunkan frekuensi pembentukan kalus, selain itu tidak satupun genotipe yang mampu membentuk kalus pada media ini.
Tabel 2. Persentase pembentukan kalus dengan variasi stres dingin pada media Ac dan Bc.

Media Ac No 1 2 3 Genotipe Kr0 Kr20 Kr40 Pembentukan kalus (%) 0 hari 3 hari 6 hari 30 15 10 25 15 5 30 45 5

Media Bc Pembentukan kalus (%) 0 hari 3 hari 6 hari 10 10 0 (mati) 5 10 0 (mati) 15 5 0 (mati)

Tingginya persentase pembentukan kalus pada media Ac dapat disebabkan oleh komposisi hormon tumbuh yang digunakan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembentukan kalus pada kedua jenis media tidak serentak dan memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu. Hal ini dimungkinkan oleh lamanya penetrasi media ke dalam kelopak antera untuk merangsang pembelahan sel-sel mikrospora. Menurut Mercy dan Zapata (1987), posisi antera selama kultur in-vitro juga turut mempengaruhi frekuensi pembentukan kalus dimana antera yang dikultur dengan posis miring dan salah satu ujungnya menyentuh media akan memberikan hasil yang lebih baik terhadap pembentukan massa kalus.

Pembentukan kalus (%)

50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 hari 3 hari Pe rlak uan s tr e s dingin (hari) Kr0 Kr20 Kr40 6 hari

Gambar 1. Grafik persentase pembentukan kalus pada media Ac


Pembentukan kalus (%)

16 14 12 10 8 6 4 2 0 0 hari 3 hari Perlakuan stres dingin (hari) Kr0 Kr20 Kr40 6 hari

Gambar 2. Grafik persentase pembentukan kalus pada media Bc Mikro kalus yang terbentuk pada kedua jenis media secara berangsur-angsur berubah menjadi massa kalus (Gambar 3 dan 4). Pengamatan di bawah mikroskop stereo menunjukkan ada dua tipe kalus yang terbentuk yaitu kalus yang berwarna putih dan tidak kompak yang ternyata bersifat non embriogenik sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk berdiferensiasi membentuk pucuk. Tipe kalus ini ditemukan pada genotipe Kr0 dan Kr20 yang kemudian tidak mampu untuk tumbuh lebih lanjut. Sedangkan tipe yang kedua yaitu kalus berwarna putih kekuning-kuningan (Gambar 4), kompak dan bersifat embriogenik, sehingga mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Tipe kalus ini ditemukan pada genotipe Kr40 yang diinduksi pada media Ac.

Perkembangan pucuk.

selanjutnya kalus ini membentuk spot hijau tetapi tidak membentuk

Frekuensi pembentukan kalus dari kultur antera sangat tergantung dari genotipe dan media induksi yang digunakan (Rackoczy et al, 1997). Qu dan Chen (1983) menyatakan bahwa pembentukan kalus juga dipengaruhi oleh perlakuan awal yang diberikan pada eksplan yang akan digunakan seperti stres dingin dan komposisi media tumbuh kultur antera (Goldberg et al, 1993; Xie et al, 1995; Sun dan Huang, 1990). Namun Chen (1988) dan Henry et al (1994) menyatakan bahwa genotipe dari tanaman donor lebih memegang peranan penting terhadap kultur antera. Pemilihan genotipe sebagai sumber eksplan untuk mempelajari induksi kalus dan regenerasi tanaman dari kultur antera cabai sangat penting. Dari hasil yang ditunjukkan di atas mengindikasikan bahwa genotipe Kr40 mempunyai kemampuan untuk membentuk kalus yang lebih baik dibandingkan dengan genotipe lainnya. Perlakuan stres dingin pada antera cabai sebelum diinduksi ternyata dapat meningkatkan persentase pembentukan kalus sebagaimana pemberian perlakuan panas pada suhu 35oC selama 8 hari yang dilakukan oleh Barany et al (2001) pada cabai varietas Yolo Wonder B. Pertumbuhan kalus pada media regenerasi menunjukkan hanya genotipe Kr40 yang mampu membentuk spot hijau yaitu sebesar 15%, sedangkan genotipe yang lainnya mati (Tabel 3.). Frekuensi pembentukan kalus yang tinggi tidak menjamin diperolehnya kalus embriogenik yang banyak. Kombinasi hormon tumbuh yang tepat dalam media dan genotipe dari tanaman donor dapat meningkatkan pembentukan kalus embriogenik (Ishak dan Dwimahyani, 1997). Tabel 3. Persentase pembentukan spot hijau pada media regenerasi No Genotipe 1 Kr0 2 Kr20 3 Kr40 Tipe kalus Non Embriogenik Non Embriogenik Embriogenik Pembentukan spot hijau (%) 0 (mati) 0 (mati) 15

Gambar 3. Tipe kalus nonembriogenik pada kultur antera mutan cabai keriting (C.annuum)

Gambar 4. Tipe kalus embriogenik pada kultur antera mutan cabai keriting (C.annuum) V. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemakaian media Ac mempunyai kemampuan untuk memperoleh persentase kalus yang lebih tinggi yaitu berturut-turut Kr0 30%, Kr20 25% dan Kr40 30% pada kondisi tanpa perlakuan stres dingin (0 hari) jika dibandingkan dengan media Bc. Perlakuan awal dengan stres dingin selama tiga hari dapat meningkatkan frekuensi pembentukan kalus dan spot hijau pada genotipe Kr40 sebesar 15% pada media Ac. 10

11

Anda mungkin juga menyukai