Anda di halaman 1dari 185

NASKAH AKADEMIK

PERUBAHAN UNDANG UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA 2012

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Bab 1 Pendahuluan
1.1. Latarbelakang

Pertanyaan yang paling mendasar yang perlu dijawab adalah: apa kontribusi teknologi dalam negeri terhadap pembangunan nasional? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi tolok ukur bagi perkembangan Sistem Inovasi Nasional (SINas) di setiap negara, termasuk Indonesia.1 Akan tetapi untuk menjawab pertanyaan sederhana ini, maka perlu didahului dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang anatomi permasalahannya. Sesungguhnya banyak kelembagaan di Indonesia yang melakukan kegiatan riset. Setiap institusi pendidikan tinggi wajib melakukan kegiatan riset sebagaimana amanah Tridharma Perguruan Tinggi. Tiga tugas pokok institusi pendidikan tinggi negeri maupun swasta adalah melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain instansi pendidikan tinggi, di Indonesia juga terdapat banyak lembaga riset pemerintah dan non-pemerintah.2 Keberadaan lembaga riset yang banyak, aktivitas riset yang rutin dan masif, serta dukungan pembiayaan dari berbagai sumber ternyata belum menjadi jaminan bahwa akan mampu menghasilkan teknologi yang secara langsung dapat ditranslasi menjadi produk barang dan/atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Faktanya, sampai saat ini masih sangat sedikit teknologi domestik yang dihasilkan oleh akademisi, peneliti, atau perekayasa di dalam negeri yang diadopsi oleh industri untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan publik. Tidak banyak juga teknologi yang dikembangkan di dalam negeri yang digunakan oleh masyarakat, maupun oleh berbagai lembaga pemerintah, baik untuk peningkatan kualitas pelayanan publik maupun sebagai landasan pembuatan kebijakan dan regulasi. Rendahnya adopsi teknologi tersebut antara lain berakar pada kenyataan bahwa intensitas dan kualitas komunikasi dan interaksi antara lembaga riset atau perguruan tinggi (sebagai aktor pengembang teknologi) dengan industri atau pengguna teknologi lainnya yang masih sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan ketidakpaduan (mismatch) antara teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan industri atau para pengguna teknologi lainnya. Masalah ini merupakan masalah yang paling serius dan mendasar (fundamental problem) dalam upaya mewujudkan
1

Sistem Inovasi Nasional adalah sistem aliran teknologi dan informasi antara kelembagaan pengembang-pengguna teknologi, didukung oleh kelembagaan terkait lainnya, yang menjadi kunci dari proses inovatif pada suatu negara. Dibawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi terdapat 7 kelembagaan yang tugas pokoknya menyelenggarakan riset atau kegiatan yang terkait dengan implementasi hasil riset. Kelembagaan riset tersebut berstatus sebagai Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). Selain LPNK tersebut, pada masing-masing kementerian teknis juga terdapat Badan Penelitian dan Pengembangan masing-masing. Kelembagaan riset non-pemerintah terdapat di beberapa industri besar, selain itu juga ada yang berupa lembaga riset independen yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

SINas. UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan (litbangrap) iptek bertujuan untuk memperkuat daya dukung iptek untuk percepatan pencapaian tujuan negara, peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa dalam pergaulan internasional. Berfungsinya SINas tidak hanya membutuhkan: [1] keberadaan lembaga pengembang teknologi yang produktif dan berkualitas;3 [2] industri yang dikelola dengan baik dan didukung tenaga kerja terampil dan/atau terdidik yang produktif serta kelimpahan bahan baku; dan [3] fasilitasi aktif dari pemerintahan serta kebijakan dan regulasi yang mendukung pewujudan ekosistem yang kondusif; tetapi juga membutuhkan [4] niat dan motivasi yang tinggi antara pihak pengembang dan pengguna teknologi untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain berdasarkan asas kesetaraan dan saling menguntungkan (mutualistik). UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan fungsi dari sistem nasional litbangrap iptek adalah untuk membentuk pola hubungan yang saling memperkuat antara unsur penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek dalam satu keseluruhan yang utuh untuk mencapai tujuan sistem nasional litbangrap iptek. Paradigma yang lalu menempatkan pihak pengembang teknologi (institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset) secara dominan dalam mewarnai genre teknologi yang dikembangkan. Pendekatan yang lebih dominan bersifat supply-push ini ternyata gagal dalam mempersuasi industri dan pihak pengguna lainnya untuk mengadopsi teknologi hasil riset oleh perguruan tinggi maupun lembaga riset tersebut. Kegagalan paradigma yang lalu ini perlu disikapi secara cerdas dan objektif, dengan mengesampingkan kepentingan sektoral ataupun profesi. Tentu perlu telaah komprehensif terhadap anatomi permasalahan dalam implementasi paradigma supply-push yang kurang optimal tersebut, selain juga perlu dilakukan pencermatan yang matang terhadap alternatifalternatif untuk memperbaiki paradigma lama tersebut. Kenyataan ini menjadi argumen yang sangat kuat untuk melakukan penelaahan terhadap posisi SINas Indonesia saat ini dan mencari alternatif pendekatan yang tepat agar pola hubungan pengembang-pengguna teknologi dapat efektif, efisien, dan produktif menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkan rakyat Indonesia, yang berarti sekaligus secara nyata akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan (perekonomian) nasional. Upaya mengubah paradigma yang lama dengan paradigma yang baru agar ditekankan pada pola dan arah hubungan antara pengembang dan pengguna teknologi serta pihak-pihak lain yang terkait. Secara substansial upaya ini dapat disebut sebagai upaya reorientasi arah dan pola hubungan antar-aktor dalam sistem nasional litbangrap iptek. Diharapkan dengan melakukan
3

Kualitas kelembagaan pengembang teknologi dilihat dari kualitas akademik sumberdaya manusia (SDM) yang mengawakinya, ketersediaan sarana dan prasarana riset yang canggih dan sesuai dengan kebutuhan fokus riset yang menjadi tugas pokoknya, ketersediaan dan/atau kemudahan mengakses sumber informasi ilmiah, dan fasilitas pendukung lainnya untuk menciptakan suasana akademik (academic environment) yang kondusif, serta kemampuannya dalam mendifusikan teknologi yang dihasilkan kepada pengguna potensial.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

reorientasi sistem nasional litbangrap iptek, maka teknologi domestik yang dihasilkan akan lebih berpeluang untuk diadopsi oleh para pengguna, terutama industri dan pelaku produksi lainnya di dalam negeri. Resultan dari adopsi teknologi untuk produksi barang dan/atau jasa ini adalah peningkatan kontribusi nyata teknologi terhadap pembangunan nasional. Satu hal yang sangat fundamental yang perlu reorientasi adalah anggapan bahwa masalah litbangrap iptek merupakan permasalah teknologi yang berkaitan dengan ekonomi (economically-related technological problems), padahal sesungguhnya penguatan sistem nasional litbangrap iptek adalah permasalahan ekonomi yang butuh dukungan teknologi untuk memecahkannya (technologically-related economical problems). Kemajuan perekonomian sangat tergantung pada kinerja litbangrap iptek-nya, yang pada prinsipnya adalah tergantung pada kapasitas negara dalam mengembangkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata dan sesuai pula dengan kapasitas adopsi dari para pengguna teknologi. Untuk kasus Indonesia, kesadaran akan pentingnya peran teknologi dalam pembangunan perekonomian nasional tersurat dari ditetapkannya pengembangan sumberdaya manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sebagai salah satu dari tiga strategi utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), disamping dua strategi utama lainnya, yakni pengembangan potensi ekonomi melalui enam koridor yang telah ditetapkan dan memperkuat konektivitas nasional.4 Kesesuaian teknologi dengan kebutuhan nyata membuka peluang lebih lebar untuk teknologi tersebut dapat diadopsi, namun belum sepenuhnya menjamin bahwa sistem nasional litbangrap iptek akan otomatis terbangun. Ekosistem yang kondusif sangat dibutuhkan untuk tumbuh-kembang inovasi, terutama dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang akomodatif, yang memudahkan para aktor inovasi untuk berkomunikasi dan berinteraksi serta juga memudahkan proses adopsi teknologi domestik oleh para pengguna di dalam negeri. Arahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono5 untuk mengutamakan upaya pemenuhan kebutuhan (demand) pasar domestik menumbuhkan semangat untuk lebih gigih mewujudkan sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan (litbangrap) iptek yang lebih handal. Penduduk Indonesia yang saat ini (BPS, 2010) telah mencapai 237 juta, merupakan pasar yang sangat besar dan menjadi target banyak negara asing dalam memasarkan produknya. Para pengembang teknologi dan industri dalam negeri harus bahu membahu membangun sinergi untuk tidak membiarkan pasar domestik Indonesia dibanjiri oleh produk dan/atau jasa dari negara-negara asing.

Untuk pelaksanaan MP3EI, telah pula diterbitkan Perpres 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menetapkan tiga kelompok kerja (Pokja), yakni: Pokja Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi, Pokja Percepatan Pembangunan Infrastruktur, dan Pokja SDM dan Iptek. Pokja SDM dan Iptek diketuai oleh Menteri Pendidikan Nasional dan wakil ketuanya adalah Menteri Negara Riset dan Teknologi, dengan anggota dari kementerian PPN/Bappenas, Ristek, Diknas, Nakertrans, Keuangan, UKM dan Koperasi, serta dari anggota KIN, Kadin, dan ketua asosiasi profesi dan usaha terkait. Pada Seminar di Institut Teknologi 10 November Surabaya tanggal 14 Desember 2010.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Sinergi pengembang-pengguna teknologi dalam penguatan inovasi nasional merupakan aksi yang tepat dan sepatutnya dilakukan. Inisiatif inovasi dari Komite Inovasi Nasional yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan, Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), antara lain menyebutkan penguatan inovasi melalui skema 747 memerlukan pendanaan R&D hingga 1% dari GDP. Skema 747 ini mencakup tujuh langkah perbaikan ekosistem inovasi, pengembangan empat wahana percepatan pertumbuhan ekonomi, dan pencapaian tujuh sasaran visi inovasi 2025. Peningkatan dukungan pendanaan untuk menunjang program inovasi ini dapat dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan daya dukung pemerintah, BUMN, dan partisipasi badan usaha. Akan sangat ideal jika Pemerintah mampu mewujudkan tujuh sasaran visi inovasi 2025 melalui pembentukan ekosistem yang lebih kondusif melalui regulasi dan kebijakan yang tepat. Adanya peraturan perundang-undangan yang konsisten dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), sehingga tumbuh-kembang sistem nasional litbangrap iptek dapat berlangsung secara lebih sehat, produktif, dan berkelanjutan.

1.2.

Permasalahan

Hasil penelitian LIPI (Sri Mulatsih dan Prakoso Bhairawa Putera, 2000) terkait dengan sistem penelitian iptek dan sistem inovasi nasional, antara lain menyimpulkan inovasi masih belum memenuhi kebutuhan pasar (ekonomi). Interaksi dan koordinasi antar elemen dalam menghasilkan inovasi masih sangat diperlukan dalam membangun suatu sistem inovasi nasional. Menurut Benyamin Lakitan (2012), rendahnya adopsi teknologi tersebut antara lain berakar pada kenyataan bahwa intensitas dan kualitas komunikasi dan interaksi antara lembaga riset atau perguruan tinggi (sebagai aktor pengembang teknologi) dengan industri atau pengguna teknologi lainnya yang masih sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan ketidakpaduan (mismatch) antara teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan industri atau para pengguna teknologi lainnya. Masalah ini merupakan masalah yang paling serius dan mendasar (fundamental problem) dalam upaya mewujudkan SINas. UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan (litbangrap) iptek

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Keberadaan lembaga riset yang banyak, aktivitas riset yang rutin dan masif, serta dukungan pembiayaan dari berbagai sumber ternyata belum menjadi jaminan bahwa akan mampu menghasilkan teknologi yang secara langsung dapat ditranslasi menjadi produk barang dan/atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Faktanya, sampai saat ini masih sangat sedikit teknologi domestik yang dihasilkan oleh akademisi, peneliti, atau perekayasa di dalam negeri yang diadopsi oleh industri untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan publik. Tidak banyak juga teknologi yang dikembangkan di dalam negeri yang digunakan oleh masyarakat, maupun oleh berbagai lembaga pemerintah, baik untuk peningkatan kualitas pelayanan publik maupun sebagai landasan pembuatan kebijakan dan regulasi.

bertujuan untuk memperkuat daya dukung iptek untuk percepatan pencapaian tujuan negara, peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa dalam pergaulan internasional.

1.3.

Maksud dan Tujuan Penulisan

Pertanyaan yang fundamental dan filosofis perlu ditranslasi menjadi pertanyaan-pertanyaan teknis dan operasional agar jawabannya juga menjadi lebih dapat ditindaklanjuti dalam bentuk aksi nyata yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan nyata yang menjadi batu sandungan dalam upaya mewujudkan penguatan inovasi secara lebih produktif dan menyejahterakan rakyat.6 Berbagai persoalan terkait rendahnya kontribusi teknologi di Indonesia saat ini diyakini berakar pada tidak relevannya teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan nyata yang dihadapi rakyat, bangsa, dan negara ini. Persoalan terkait dengan upaya penguatan inovasi tidak dapat disederhanakan secara berlebihan (over-simplified) hanya menjadi persoalan relevansi teknologi. Disadari betul bahwa upaya penguatan inovasi nasional merupakan upaya penguatan sistem inovasi yang sangat kompleks. Banyak aktor yang ikut berperan, dengan derajat dan jenis partisipasi yang berbeda tentunya. Banyak faktor yang mempengaruhi ekosistem dimana sistem inovasi ditumbuhkan, termasuk ekonomi, sosio-kultural, hukum, dan politik. Interaksi dari berbagai aktor dan faktorfaktor yang ikut berpengaruh tersebut yang akan membentuk sistem inovasi nasional yang lebih kokoh. Selain kompleks, upaya penguatan inovasi juga sensitif terhadap dinamika peran para aktor dan faktor-faktor pembentuk ekosistem tumbuhnya. Memahami persoalan dalam upaya penguatan inovasi nasional yang sangat kompleks tersebut, maka penulisan naskah akademik perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002 ini dimaksudkan untuk: [1] Memahami realita dan permasalahan dalam upaya penguatan kemampuan penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek saat ini; [2] Mencoba merajut sosok ideal SINas Indonesia dalam mewujudkan tujuh sasaran visi inovasi 2025 secara lebih produktif dan menyejahterakan rakyat; [3] Mengidentifikasi dan mengantisipasi dinamika perubahan faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi ekosistem SINas (lingkungan strategis); dan [4] Mengembangkan konsepsi SINas Indonesia yang realistis yang diyakini mampu diaktualisasikan untuk mewujudkan sasaran penguatan inovasi. Penulisan dokumen ini bertujuan untuk digunakan sebagai bahan referensi akademik yang menjadi dasar pertimbangan perubahan UU No. 18 Tahun 2002, terutama dalam penyusunan regulasi yang relevan dengan upaya mewujudkan penguatan inovasi yang lebih produktif dan menyejahterakan rakyat. Sebagai referensi akademik, dokumen cetak biru ini diharapkan

Perlu selalu diingat bahwa konsitusi UUD 1945 jelas mengamanahkan bahwa pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban bangsa (Pasal 31 ayat 5).

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

mampu memberikan informasi yang komprehensif, mutakhir, dan relevan dengan kondisi Indonesia, serta memberikan kerangka konsepsi yang objektif dan mungkin-dicapai (achievable) dengan sumberdaya yang dimiliki Indonesia. Informasi ini merupakan langkah langkah yang diperlukan untuk melakukan perbaikan ekosistem inovasi. Sesuai Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang MP3EI, langkah-langkah perbaikan ekosistem inovasi mencakup: a. pengembangan sistem insentif dan regulasi yang mendukung inovasi dan budaya penggunaan produk dalam negeri; b. peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumberdaya manusia; c. pembangunan pusat-pusat inovasi untuk mendukung IKM; d. pembangunan klaster inovasi daerah; e. pengembangan sistem remunerasi peneliti yang lebih baik; f. revitalisasi infrastruktur R&D; dan g. pengembangan sistem dan manajemen pendanaan riset yang mendukung inovasi. Karena tujuannya adalah untuk menjadi landasan dalam pembuatan kebijakan dan/atau regulasi, maka dokumen cetak biru ini walaupun kental berbasis akademik, namun diupayakan agar mudah dan enak dibaca dengan gaya bahasa dan penggunaan terminologi yang lebih bersahabat (reader-friendly), terutama bagi para pembuat kebijakan dan regulasi.

1.4. Metode Penelitian Hukum Penyusunan Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menggunakan metode pendekatan deskriptifanalitis. Pendekatan ini menggambarkan berbagai permasalahan secara utuh dan menyeluruh, selanjutnya dilakukan analisis yang menjadi bagian-bagian sebagai sistem yang terbagi atas sub sistem-sub sistem dari suatu ekosistem sebagai suatu kesatuan dalam merumuskan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Hasil analisis tersebut menjadi landasan untuk mengidentifikasi peraturan perundangundangan yang ada, khususnya hukum tertulis yang berlaku yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya-upaya penguatan inovasi secara nasional. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan secara interdisipliner dan multidisipliner, dan dengan pendekatan dari segi pengelolaannya secara terpadu. Melalui pendekatan interdisipliner akan diketahui hukum dan ilmu hukum yang mengatur penguatan inovasi dan melalui pendekatan multi disipliner akan diketahui ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang mendukung pengaturan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Perubahan UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Metode pendekatan sistemik ini digunakan sebagai konsekuensi dari pengertian dan pemahaman mengenai kompleksitas penguatan inovasi secara nasional. Penelitian ini harus pula mendekati permasalahan yang ada dalam upaya peningkatan penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek untuk mendorong inovasi dan difusi teknologi seoptimal mungkin. Oleh karena itu penelitian ini secara futuristik harus menyangkut upaya pembangunan yang berkelanjutan dalam sistem hukum yang ada bagi penguatan inovasi nasional. Pada dasarnya penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis, dengan data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perekayasaan, inovasi, maupun difusi teknologi, serta kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi), serta bahan hukum sekunder maupun tertier (hasil-hasil penelitian, pengkajian, majalah hukum, hasil focus group discussion, dan sebagainya) serta data-data yang diperoleh dari para anggota tim penyusunan naskah akademik. Tahapan penelitian diawali dengan melakukan inventarisasi hukum, khususnya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kegiatan perekayasaan, inovasi, maupun difusi teknologi, serta kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Data ini selanjutnya dianalisis secara kualitatif berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku dan disusun sebagai bagian dari pengembangan sistem hukum nasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan merupakan bahan-bahan hukum dalam mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sumber hukum materiil masalah perekayasaan, inovasi, maupun difusi teknologi ini mengacu pada inventarisasi permasalahan, kemudian diupayakan untuk menarik azas-azas hukum dan rumusan norma yang akan dijadikan acuan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sedangkan inventarisasi dan pengolahan data dilakukan melalui: 1. Penelusuran kepustakaan, dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan berlaku di Indonesia termasuk kebijakan inovasi nasional, konvensi dan traktat internasional yang terkait alih teknologi, maupun yang terkait dengan perekayasaan, inovasi, maupun difusi teknologi; 2. Mengkaji bahan-bahan seminar, makalah, kertas kerja, maupun putusan pengadilan yang terkait dengan inovasi teknologi;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

3. Mengkaji Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, termasuk pelaksanaan peraturan pelaksanaannya, terutama Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual, dan Hasil Penelitian Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan; serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagaian Pendapatan Badan Usaha untuk Kegiatan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Kajian ini mencakup bagaimana implementasi, kendala-kendala dalam prakteknya, dan peraturan perundangundangan yang terkait; dan 4. Hasil Diskusi atau informasi anggota tim di Kementerian Riset dan Teknologi. 1.5. Sistematika Penulisan Sesuai dengan maksud penulisan naskah akademik perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002 ini dan tujuan yang hendak dicapai, maka sistematika penulisan dirinci sebagai berikut: Bab I Pendahuluan
(UU No. 12/2011: latar belakang, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan naskah akademik, metode penelitian hukum)

Judul dan Deskripsi Substansi

Latar Belakang memberikan informasi awal tentang persoalan pokok yang dihadapi terkait dengan rendahnya kontribusi teknologi terhadap pembangunan nasional Indonesia, argumen tentang pentingnya upaya memperkuat inovasi nasional dalam rangka meningkatkan kontribusi teknologi, terutama untuk meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan. Inisiatif inovasi nasional dari Komite Inovasi Nasional dalam rangka pencapaian tujuh sasaran inovasi nasional perlu diperkuat melalui peraturan perundang-undangan. Program penguatan inovasi nasional ini mencakup tujuh langkah perbaikan ekosistem inovasi, pengembangan empat wahana percepatan pertumbuhan ekonomi, dan pencapaian tujuh sasaran visi inovasi 2025. Permasalahan secara garis besar memberikan gambaran kondisi kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek, serta berbagai kendala dalam upaya memenuhi kebutuhan pasar (ekonomi). Interaksi dan koordinasi antar elemen dalam menghasilkan inovasi masih sangat diperlukan dalam membangun suatu sistem inovasi nasional yang lebih tangguh. Ketidakpaduan (mismatch) antara teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan industri atau para pengguna teknologi lainnya perlu diperhatikan. Masalah ini merupakan masalah yang paling serius dan mendasar (fundamental problem) dalam upaya penguatan inovasi, sehingga

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Mencakup tentang latar belakang penulisan naskah akademik perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002, permasalahan, maksud dan tujuan penulisan dokumen, metode penelitian hukum, serta rincian sistematika penulisan dokumen.

Bab

Judul dan Deskripsi Substansi memerlukan perubahan UU No. 18 Tahun 2002. Maksud dan tujuan penulisan adalah menjelaskan tentang niat yang terkandung dalam penyusunan dokumen naskah akademik ini dan kemanfaatan yang dapat diperoleh publik dengan tersedianya dokumen ini. Metode penelitian hukum memberikan gambaran mengenai metode yang dilakukan di dalam penelitian ini. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan analisis deskriptif terhadap berbagai peraturan perundangundangan, teori-teori hukum, dan fakta di masyarakat, maupun berbagai informasi yang relevan dari berbagai narasumber maupun diskusi-diskusi. Sistematika menjelaskan tentang tata urut penulisan dokumen yang sekaligus juga merinci tentang substansi isi dokumen.

II

Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi Mencakup kajian teoritis dan kajian implementasi UU No. 18 Tahun 2002. Kajian teoritis mencakup uraian tentang beberapa konsepsi penting termasuk makna inovasi, pendekatan kesisteman, penguatan inovasi, dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-base economy); para aktor inovasi nasional yang terdiri dari aktor pengembang, pengguna, dan aktor penting lainnya yang ikut menentukan dinamika ekosistem inovasi; dinamika interaksi antar-aktor; dan upaya penciptaan ekosistem yang kondusif untuk tumbuh kembang inovasi. Kajian implementasi UU No. 18 Tahun 2002 mencakup: Analisis Undang-undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Bingkai Ekonomi Berlandaskan Iptek (Knowledge Based Economy) : Sri Mulatsih, dan Prakoso Bhairawa Putera, LIPI, 2009. Seri Diskusi Sistem Inovasi dan Daya Saing - Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan: Tatang A Taufik, BPPT dan Kementerian Riset dan Teknologi, 2005. Pengembangan Peraturan untuk Mendukung Unit Kelembagaan Iptek, Kementerian Riset dan Teknologi, 2007. Komersialisasi

III

Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait Untuk menyajikan realita potret peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek di Indonesia saat ini, maka akan diulas tentang kinerja perekonomian nasional; dilakukan analisis tentang ekosistem pembangunan nasional, terutama kebijakan-kebijakan yang secara langsung mempengaruhi tumbuh-kembang inovasi nasional, termasuk kebijakan maupun peraturan perundang-undangan terkait makro ekonomi, perindustrian dan perdagangan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan pembangunan infrastruktur sosial; dan dilakukan pula identifikasi permasalahan dan analisis efisiensi sistem inovasi terkait orientasi pembangunan inovasi, peran dan kontribusi aktor inovasi, ketersediaan dan kesiapan infrastruktur inovasi, dan

10

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Bab

Judul dan Deskripsi Substansi peran pemerintah dalam skenario pengembangan SINas.

IV

Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, penyusunan peraturan perundang-undangan setidaknya harus memenuhi tiga syarat, yaitu syarat yuridis, sosiologis, dan filosofis. Syarat yuridis, menurut Hans Kelsen, apabila pembentukannya berdasarkan pada kaidah atau peraturan yang lebih tinggi (teori Stufenbaunya dari Kelsen). Menurut Kelsen, efektivitas dari peraturan perundang-undangan harus dibedakan dengan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, karena efektivitas hukum merupakan fakta. Syarat kedua adalah syarat sosiologis, yang menekankan pada efektivitas hukum yang akan dibuat. Menurut teori kekuasaan, hukum berlaku secara sosiologis karena adanya pemaksaaan berlakunya oleh penguasa; terlepas apakah masyarakat menerima atau menolaknya. Syarat filosofis apabila peraturan perundang-undangan yang diterapkan sesuai dengan cita-cita hukum, atau sesuai dengan nilai positif yang tertinggi, misal cita-cita hukum bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Secara sosiologis penguatan inovasi nasional dapat memenuhi karakteristik inovasi yang khas Indonesia yang mencakup: [1] orientasi arah dan prioritas teknologi yang dikembangkan; [2] skenario interaksi yang intensif dan produktif antara lembaga/aktor inovasi; [3] relevansi dan produktivitas lembaga pengembang teknologi; [4] kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi, dan [5] kontribusinya terhadap pembangunan nasional. Reorientasi Arah dan Prioritas Riset, kesesuaian teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan pengguna (demand-driven) merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membangun inovasi nasional. Selain itu, dalam rangka membangun kemandirian bangsa, teknologi yang dikembangkan harus pula sesuai dengan potensi sumberdaya nasional; Interaksi yang Intensif Antar-aktor Inovasi diharapkan mampu mendorong pengembangan SDM yang relevan dengan kebutuhan, membangun semangat kebersamaan antar aktor inovasi, secara bertahan mengubah minset pada pengembang teknologi agar lebih berorientasi pada kebutuhan nyata dan lebih sensitif terhadap persoalan yang dihadapi pengguna teknologi; Peningkatan Produktivitas dan Relevansi Teknologi Domestik menjadi isu yang sangat penting. Namun demikian, teknologi yang relevan saja memang belum cukup menjadi jaminan bahwa teknologi tersebut akan diadopsi pengguna, karena masih akan tergantung pada kapasitas adopsi pengguna teknologi; peranan lembaga intermediasi akan sangat berat jika teknologi yang dikembangkan tidak relevan dengan kebutuhan dan tidak sepadan dengan kapasitas adopsi pengguna; Ekosistem Inovasi yang Kondusif dibutuhkan untuk tumbuh-kembang SINas. Ekosistem SINas yang kondusif dapat diwujudkan melalui kebijakan dan

11

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Bab

Judul dan Deskripsi Substansi regulasi yang tepat di berbagai sektor yang secara langsung mempengaruhi kinerja para aktor inovasi dan interaksi antar-aktor tersebut; Kontribusi terhadap Pembangunan Nasional pada akhirnya akan dievaluasi berdasarkan kontribusi inovasi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, disamping sebagai sasaran antaranya adalah pertumbuhan ekonomi, terbangunnya masyarakat berbasis pengetahuan, dan stabilitas keamanan nasional. Secara filosofis penguatan inovasi nasional harus mampu mengantisipasi perubahan lingkungan strategis. Upaya penguatan inovasi nasional harus bersifat dinamis menyesuaikan dengan dinamika perubahan lingkungan strategis, baik pada tingkat global, regional, maupun nasional. Dinamika Lingkungan Global yang paling penting adalah semakin kentaranya kecenderungan untuk mendorong pengembangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata, sehingga lebih berpeluang untuk digunakan dalam proses produksi barang dan/atau jasa. Selanjutnya secara nyata berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian. Dinamika Lingkungan Regional ASEAN memperlihatkan bahwa posisi Indonesia secara relatif lebih lamban kemajuan pembangunan ipteknya dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Oleh sebab itu, perlu percepatan dalam mewujudkan dan memperkuat inovasi Indonesia yang dimulai dengan perubahan mindset para pengembang teknologi dan meningkatkan peran dunia usaha dalam pembangunan iptek. Dinamika Lingkungan Nasional pada tahun 2011 ini ditandai dengan diluncurkannya MP3EI yang menempatkan pembangunan iptek sebagai salah satu strategi utama untuk percepatan dan perluasan pembanguan ekonomi Indonesia. Pengakuan atas potensi peran iptek ini diharapkan dapat menjadi momentum yang tepat untuk memperkuat inovasi nasional.

Jangkauan, Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup Arah dan Jangkauan Pengaturan Penguatan Inovasi Nasional Upaya mewujudkan SINas yang efektif dan produktif dalam mendukung pembangunan perekonomian membutuhkan peranan pemerintah dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh kembang SINas tersebut. Tugas utama pemerintah adalah menyiapkan panggung untuk pengembangan SINas agar para aktor inovasi secara nyaman dapat memainkan peranannya masing-masing. Panggung SINas yang ideal perlu didahului dengan formulasi kebijakan di berbagai sektor pendukung inovasi nasional yang tepat. Kebijakan yang terkait secara langsung dan diyakini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja SINas adalah kebijakan ekonomi makro, keuangan, dan perpajakan; kebijakan perindustrian dan perdagangan; kebijakan riset dan pengembangan teknologi; kebijakan ketenagakerjaan; kebijakan pendidikan nasional; kebijakan

12

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Bab

Judul dan Deskripsi Substansi penyediaan infrastruktur sosial; dan kebijakan dalam rangka mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance). Kebijakan dapat mendukung arah penguatan inovasi nasional yang mencakup: [1] membangun inovasi sebagai sistem; [2] revitalisasi lembaga pengembang teknologi; [3] peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi; [4] peningkatan peran lembaga intermediasi; [5] penyiapan S&T Park; [6] membangun pusat unggulan inovasi; [7] mendorong pembentukan konsorsium inovasi; [8] revitalisasi DRN; [9] sinkronisasi dan perbaikan regulasi, dan [10] berbasis sumberdaya dan memenuhi kebutuhan nasional. Lingkup Materi Rancangan Undang-Undang Perubahan UU No. 18 Tahun 2002 Kebijakan inisiatif inovasi 1-747, maupun penentuan arah penguatan SINas merupakan upaya untuk mendorong kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi yang lebih bersifat demand-driven. Dua kebijakan tersebut, secara garis besar menekankan pada penguatan empat hal, yaitu: 1. penguatan jaringan rantai (interaksi sinergis) institusi publik, lembaga ristek, universitas, dan swasta; 2. peningkatan hasil, pendayagunaan, rekayasa inovasi - pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi;

4. penguatan inovasi nasional agar diprioritaskan untuk dilakukan di wilayah NKRI. VI Rangkuman dan Rekomendasi Merupakan bagian akhir dokumen yang menyajikan rangkuman terkait dengan unsur dan isu penting dalam penguatan inovasi nasional serta rekomendasi materi perubahan kebijakan dan/atau regulasi yang ada.

13

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

3. peningkatan penerapan dan diseminasi hasil penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek (temuan/teknologi baru dan produk inovatif yang mempunyai nilai ekonomi) agar dapat dirasakan masyarakat; dan

Bab 2 Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi

2.1. Kajian Teoritis


2.1.1. Konsepsi Inovasi Nasional Adanya pemahaman yang tepat tentang terminologi dasar dan konsepsi pokok merupakan langkah awal yang sangat strategis dan penting untuk dilakukan. Hal ini sangat relevan dalam memformulasikan kebijakan publik dan/atau regulasi yang secara legal sifatnya mengikat semua pihak. Pemahaman yang tepat ini sangat diperlukan ketika pokok bahasannya terfokus pada inovasi, karena kata inovasi sudah sangat populer, digunakan dalam berbagai komunitas, dikaitkan dengan banyak aspek kehidupan, tetapi dengan interpretasi yang sangat variatif. Rentang interpretasi itu mulai dari yang sangat longgar, yakni inovasi dipadankan sebatas sesuatu yang berbeda (dari yang umumnya sudah diketahui) sampai ke definisi akademik yang lebih teknis dan spesifik. Keadaan menjadi lebih runyam karena di kalangan akademik pun, definisi inovasi masih beragam. Oleh sebab itu, perlu penegasan tentang apa yang dimaksud dengan inovasi yang digunakan dalam dokumen naskah akademik ini. Ketika yang dibahas adalah inovasi, maka pemahaman tentang inovasi sebagai suatu sistem perlu dimantapkan. Pendekatan sistem diperlukan dalam menganalisis maupun dalam merancang kebijakan inovasi nasional SINas yang paling cocok. Inovasi sebagai suatu sistem yang kompleks tidak dapat dianalisis dengan cara memutilasi komponen-komponennya untuk ditelaah secara terpisah; sebaliknya juga tidak bisa dirancang komponen-komponennya secara parsial baru kemudian dirajut menjadi inovasi nasional. Interaksi dinamis antar-aktor, interaksi antara aktor inovasi dengan ekosistemnya, serta dinamikan dan kontinyuitas sirkulasi aliran informasi kebutuhan dan pasokan teknologi merupakan kesatuan utuh yang diperlukan dalam upaya penguatan inovasi. Dalam suatu sistem, kebijakan penguatan inovasi secara tersurat mengindikasikan bahwa sistem inovasi yang dimaksud berada pada level negara. Namun masih perlu dijelaskan bahwa sistem dimaksud bersifat sentralistik menjadi sebuah sistem tunggal yang besar dan kompleks, atau terdiri dari banyak sub-sistem sesuai dengan karakteristik persoalan dan potensi sumberdaya masing-masing satuan wilayah dalam suatu negara yang diikat oleh satu tujuan kolektif, misalnya untuk menyejahterakan rakyat. Penguatan inovasi yang akan diwujudkan tentu perlu dijelaskan kepada publik agar publik dapat secara nyata, efektif, dan efisien memberikan kontribusinya bagi kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Penguatan inovasi nasional haruslah menjadi simpul pengikat antara teknologi dan ekonomi. Pengembangan teknologi dalam kerangka penguatan inovasi dirancang agar dapat memberikan

14

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

kontribusi nyata terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Para ekonom era modern yakin bahwa di saat sekarang dan di masa yang akan datang mesin utama yang akan mendorong perkembangan perekonomian suatu negara adalah tingkat penguasaan dan aplikasi dari teknologi yang dikuasai tersebut. Oleh sebab itu, pembangunan perekonomian harus berbasis pada pengetahuan (knowledge-based economy, disingkat KBE), tidak dapat lagi hanya dengan mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam. Pengertian inovasi, konsepsi tentang pendekatan sistem, dan KBE selanjutnya akan ditelaah secara lebih komprehensif, serta akan pula diberi penegasan pada bab ini tentang pengertian dan konsepsi dasar yang digunakan dalam dokumen naskah akademik ini. Inovasi merupakan sebuah kata yang saat ini sedang naik daun. Semua komponen masyarakat menggunakan kata ini baik dalam komunikasi sosial maupun pada forum yang lebih formal. Persoalannya adalah walaupun masing-masing pihak menggunakan kata yang sama, namun sangat mungkin bahwa pihak-pihak tersebut mempunyai pemahaman yang berbeda tentang inovasi. Inovasi diadopsi dari Bahasa Latin innovatus yang berarti memperbarui. Pada awalnya inovasi diartikan sebagai suatu proses untuk memperbarui sesuatu yang sudah ada atau menghasilkan sesuatu yang dianggap baru. Untuk melakukan suatu pembaruan berarti seseorang perlu mengubah caranya dalam membuat keputusan, melakukan sesuatu dengan metoda yang berbeda, atau memilih sesuatu yang diluar norma yang berlaku. Inovasi dapat dimaknai sebagai upaya mengubah nilai-nilai yang selama ini telah menjadi landasan dari suatu sistem. Jika suatu sistem berubah, maka sangat mungkin akan membuka peluang untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda, atau sesuatu yang sama sekali baru. Inovasi dapat berkaitan dengan penambahan atas sesuatu yang telah ada, memunculkan unsur yang sama sekali baru, atau melakukan perubahan cara berpikir yang radikal dan revolusioner. Perubahan tersebut dapat terlihat dari produk yang dihasilkan, proses untuk menghasilkan produk tersebut, atau struktur dan fungsi organisasi yang berperan dalam proses produksinya. Saat ini, inovasi telah menjadi topik yang penting dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ekonomi, bisnis, desain, teknologi, engineering, dan sosiologi. Dalam perspektif ekonomi, inovasi harus menghasilkan nilai tambah atau peningkatan produktivitas. Walaupun inovasi lebih sering dikaitkan dengan produk yang dihasilkan, namun dalam perspektif ekonomi, proses untuk menghasilkan produk tersebut juga sama pentingnya. Proses yang dimulai dari ide, kemudian ditransformasi menjadi sesuatu yang bermanfaat. Inovasi sering dicampur-aduk pengertiannya dengan invensi. Kedua terminologi ini sebetulnya berbeda, invensi adalah proses atau produk baru yang secara nyata berbeda atau sama sekali baru dibandingkan dengan proses atau produk serupa yang telah ada; sedangkan inovasi lebih dilihat dari perspektif kemanfaatan (ekonomi) dari proses dan produk baru yang dihasilkan tersebut. Ada perumpamaan yang menarik untuk membedakan antara invensi dan inovasi. Invensi merupakan proses konversi uang menjadi ide; sedangkan inovasi mengubah ide menjadi uang. Inovator menghasilkan keuntungan finansial dari hasil karyanya; sedangkan inventor menemukan sesuatu yang baru, namun belum tentu dapat menghasilkan uang dari hasil temuannya tersebut. World Bank (2010) menyatakan bahwa what is not disseminated

15

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

and used, is not an innovation. Berdasarkan ini, maka inovasi harus didiseminasikan (oleh penghasil) dan dipakai (oleh pengguna), bermakna pula bahwa inovasi harus bermanfaat (terbukti karena dipakai oleh pengguna). Pengguna dalam konteks ini adalah industri/dunia usaha, masyarakat awam, atau pemerintah.7 OECD (2005) menggunakan definisi inovasi: An innovation is the implementation of a new or significantly improved product (good or service), or process, a new marketing method, or a new organizational method in business practices, workplace organization or external relations.8 Inovasi merupakan implementasi dari suatu produk, proses, metoda pemasaran, atau metoda organisasi yang baru atau secara signifikan telah diperbaiki. Produk dapat berupa barang maupun jasa. Metoda organisasi mencakup praktek bisnis, organisasi kerja, atau hubungan dengan pihak eksternal. Uraian dan referensi di atas memberikan pemahaman bahwa: [1] inovasi merupakan sesuatu (produk, proses, cara pemasaran, atau metoda organisasi) yang baru, yang tentunya hanya dapat terlahirkan dari pemikiran yang kreatif; [2] inovasi selain baru, juga harus pula secara signifikan lebih baik dari produk, proses, cara pemasaran, atau metoda organisasi yang telah dikenal sebelumnya; [3] status yang lebih baik ini, membuka peluang bagi produk dan proses inovatif untuk digunakan dalam berbagai aktivitas manusia, sehingga pada dasarnya inovasi merupakan sesuatu yang bermanfaat; [4] kemanfaatan suatu produk merupakan prasyarat untuk komersialisasi atau untuk peningkatan kesejahteraan sosial. Proses inovasi berlangsung mulai dari munculnya ide di benak para inovator sampai pada termanfaatkannya produk inovatif tersebut. Proses yang panjang ini hampir selalu melibatkan banyak aktor, baik yang terlibat secara langsung dalam aliran ide menjadi produk yang bermanfaat, maupun para aktor yang berperan dalam membangun ekosistem yang kondusif bagi keberlangsungan aliran tersebut. Proses inovatif selalu membentuk suatu sistem yang kompleks. Oleh sebab itu, penelaahan inovasi harus dilakukan dengan pendekatan sistem, tidak dapat dilakukan secara linier. Interaksi antar-aktor dan interaksi antara aktor dengan ekosistem inovasi bersifat sangat dinamis dan timbal-balik. Telaah secara partial dengan pendekatan linier tak akan mampu menjelaskan sistem inovasi secara komprehensif dan benar. Dengan demikian, maka sangatlah penting untuk membekali setiap pihak yang terlibat dalam upaya mewujudkan inovasi nasional untuk memahami konsepsi pendekatan sistem. Perlu dibedakan antara unsur sistem dengan lingkungannya (ekosistem). Hal ini perlu untuk membedakan antara penghela endogen (endogenous drivers), yakni para aktor yang secara langsung menggerakkan inovasi, dengan penghela eksogen (exogenous drivers), yakni para aktor yang memberikan dukungan dalam mewujudkan ekosistem yang kondusif untuk tumbuh-kembang inovasi nasional (Bathelt, 2003).
7

Bandingkan dengan pengertian inovasi yang digunakan pada UUNo. 18/2002 pada Pasal 1 butir 9 yang saat ini masih berlaku: Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi . Pengertian inovasi versi UUNo. 18/2002 ini dirasakan sudah tidak pas lagi dengan konteks saat ini. OECDs Oslo Manual 2005 Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data

16

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Liu dan White (2001) menggunakan istilah aktor primer dan sekunder. Pemilahan ini hanya untuk membedakan posisi peran para aktor yang terlibat, tetapi akan keliru jika pembagian ini berdampak pada pengisolasian sistem dari lingkungannya (Asheim dan Coenen, 2005) Pendekatan sistem merupakan buah dari pemikiran sistemik (systems thinking). Mingers dan White (2010) menyatakan bahwa systems thinking is a discipline in its own right, with many theoretical and methodological developments, but it is also applicable to almost any problem area because of its generality. Selanjutnya, Mingers dan White (2010) merinci bahwa pendekatan sistem (systems approach) mencakup: [1] melihat situasi secara holistik (berarti tidak bersifat reduksionis), sebagai kumpulan elemen yang berinteraksi satu sama lain dalam suatu lingkungan tertentu; [2] memposisikan hubungan atau interaksi antara elemen lebih penting dari elemen-elemennya sendiri dalam membentuk perilaku sebuah sistem; [3] memahami adanya hirarki/jenjang dalam suatu sistem dan mutual casuality dalam masingmasing jenjang maupun antar-jenjang; dan [4] memahami bahwa manusia akan beraksi sesuai dengan tujuan dan rasionalitas yang berbeda. Sistem Inovasi Nasional (SINas) didefinisikan dalam beberapa versi. Freeman (1987) mendefinisikan SINas sebagai jaringan kelembagaan pemerintah dan/atau swasta yang melaksanakan dan berinteraksi dalam inisiasi, modifikasi, difusi, dan impor teknologi baru; sedangkan Lundvall (1992) mendefinisikan SINas sebagai elemen dan hubungan yang interaktif dalam proses produksi, difusi, dan penggunaan pengetahuan baru yang bernilai ekonomi yang berada dalam atau berasal dari suatu negara. Definisi yang lebih sederhana dikemukakan oleh Nelson (1993), yang menyatakan bahwa SINas sebagai sekelompok institusi yang interaksinya menentukan kinerja inovatif suatu negara. Sementara Patel dan Pavitt (1994) mengambarkan SINas sebagai kelembagaan-kelembagaan nasional dengan struktur dan kompetensinya yang menentukan laju dan arah pembelajaran teknologi (technological learning) pada suatu negara. Definisi SINas yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Metcalfe (1995), yakni sebagai sekumpulan institusi yang secara sendiri dan bersama-sama berkontribusi dalam pengembangan dan difusi teknologi baru serta memberikan kerangka bagi pemerintah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan untuk mempengaruhi proses inovasi. Dengan kata lain, SINas merupakan suatu sistem keterkaitan antar-kelembagaan untuk menciptakan, menyimpan, dan mentransfer pengetahuan, ketrampilan, dan artefak untuk melahirkan teknologi-teknologi baru. Definisi menurut peraturan perundang-undangan, dapat ditemui dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional, disebutkan bahwa SINas adalah suatu jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor swasta dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka panjang dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikan kegiatan untuk menghasilkan, mendayagunakan, merekayasa inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan menerapkan serta mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaat nyata temuan dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat..

17

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Berdasarkan berbagai definisi di atas, maka ada beberapa pengertian dasar yang dapat ditarik berkaitan dengan SINas, yakni: [1] kegiatan yang dicakup adalah pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi; [2] pelakunya terdiri dari beberapa kelembagaan baik pemerintah maupun swasta- yang berinteraksi satu sama lain secara sinergis; [3] produk yang dihasilkan adalah teknologi baru yang mempunyai nilai ekonomi; dan [4] ruang lingkup dalam melaksanakan kegiatan inovasi ini adalah negara. Pengertian dasar dalam sistem inovasi nasional ini diperkuat dalam Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Nomor 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional. Definisi SINas yang diusung pada periode 1980-1990an telah menyebutkan bahwa SINas mencakup kegiatan difusi dan pemanfaatan teknologi, serta telah menyebutkan bahwa teknologi yang dimaksud adalah teknologi yang punya potensi untuk dikomersialisasikan. Namun demikian, adopsi teknologi oleh para pengguna teknologi di banyak negara (terutama negara-negara berkembang) masih sangat minimal. Oleh sebab itu, kegalauan akan rendahnya adopsi teknologi tersebut terlihat mewarnai definisi atau deskripsi SINas yang diusung pada kurun waktu tahun 2000-an, yang memberi ketegasan bahwa teknologi yang dihasilkan harus berakhir dengan dimanfaatkannya teknologi tersebut oleh para pengguna. The World Bank (2010) dengan sangat tegas mencanangkan bahwa sesuatu (baca: teknologi) yang tidak didiseminasikan dan tidak digunakan bukanlah inovasi. Sharif (2010) mendeskripsikan inovasi sebagai upaya kolektif mengubah ide menjadi sesuatu yang bernilai (turning idea into values). Prakteknya, inovasi harus diawali dengan menjawab tiga pertanyaan yang sangat fundamental, yakni: [1] what is possible with technology? [2] what is desirable to the society? [3] what is viable in the market?9 Pendekatan dalam upaya penguatan inovasi nasional secara ekstrim dapat dibedakan menjadi dua, yakni berdasarkan pendekatan supply-push dan pendekatan demand-driven. Pendekatan supply-push mengutamakan dan dimulai dari proses pengembangan teknologi oleh institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset. Produk teknologi yang dihasilkan kemudian didifusikan kepada pihak pengguna, terutama industri yang akan memanfaatkannya untuk menghasilkan produk komersial berupa barang dan jasa. Proses difusi teknologi tersebut dapat melalui atau tanpa melalui lembaga intermediasi, dapat difasilitasi atau tanpa difasilitasi oleh Pemerintah atau pihak lain yang kompeten. Pengembangan inovasi nasional dengan pendekatan demand-driven mengutamakan dan dimulai dari pemahaman tentang masalah, kebutuhan, dan preferensi masyarakat yang dapat dideteksi langsung oleh pihak pengembang teknologi maupun melalui mitranya dari komunitas bisnis. Sinyal kebutuhan masyarakat ini diterjemahkan oleh industri dalam bentuk kebutuhan teknologi untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Berdasarkan informasi ini, lembaga riset dan/atau institusi pendidikan tinggi
9

Dicuplik dari keynote address oleh Nawaz Sharif (2010) berjudul Govern ance of Innovation Systems in the Current Global Setting, di LIPI, Jakarta

18

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

mengembangkan teknologi yang relevan dengan kebutuhan. Inovasi yang dikembangkan melalui pendekatan demand-driven akan lebih berpeluang untuk memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan perekonomian, karena lebih berpeluang untuk diadopsi industri. Walaupun demikian, sebagian komunitas akademik dan peneliti menganggap pendekatan demand-driven akan mengebiri kreativitas ilmiah. Anggapan yang demikian, mengabaikan kenyataan bahwa kreativitas sesungguhnya lebih terangsang untuk muncul pada kondisi yang tidak nyaman, misalnya dalam kondisi serba keterbatasan, di bawah tekanan, dalam kerangkeng regulasi yang kaku, dan tentu termasuk dalam kondisi keharusan mengembangkan teknologi sesuai kebutuhan pasar. Secara teoritis dapat dimunculkan pendekatan yang moderat dan akomodatif, yakni dengan memadukan pendekatan supply-push dan demand-driven. Akan tetapi, sebagaimana halnya teori fisika, proses aliran hanya akan terjadi jika ada perbedaan derajat antara posisi asal dan posisi sasaran. Maknanya, dalam penguatan inovasi, walaupun pendekatan demand-driven yang dipilih tetapi tidak berarti ruang untuk pendekatan supply-push digusur habis. Pilihan pendekatan tersebut lebih untuk menjamin agar aliran teknologi dapat terjadi secara berkesinambungan dan komersialisasi produk yang dihasilkan dapat menjadi pasokan energi untuk kontinuitas aliran teknologi tersebut. Sejak tahun 1960-an mulai muncul keyakinan bahwa perbedaan kemajuan perekonomian antar-negara terkait langsung dengan tingkat penguasaan teknologi dari masing-masing negara (Fagerberg dan Srholec, 2008). Sebelum periode tersebut, kemajuan perekonomian lebih banyak dikaitkan dengan jumlah uang yang terakumulasi (accumulated capital) per tenaga kerja. Keyakinan bahwa ada keterkaitan yang kuat antara kemajuan perekonomian dengan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan mazhab ekonomi baru, yakni ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy selanjutnya disingkat KBE) yang menunjukkan bahwa dalam perkembangannya, ekonomi saat ini semakin bergantung pada kemajuan pengetahuan dan teknologi, informasi, dan tenaga kerja berketerampilan tinggi. Untuk dapat memberikan dampak nyata dan langsung, maka sumberdaya ekonomi ini harus mudah diakses oleh dunia usaha dan para penguna lainnya.10 KBE pada prinsipnya merupakan ekonomi yang secara langsung berbasis pada produksi, distribusi, dan penggunaan pengetahuan dan informasi. Saat ini banyak upaya yang dilakukan oleh para ahli ekonomi untuk menjelaskan secara langsung (baik secara teoritis maupun pengembangan model) tentang kontribusi pengetahuan dan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori Pertumbuhan Baru (New Growth Theory) mencerminkan upaya untuk memahami tentang peran pengetahuan dan teknologi dalam mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Investasi di bidang riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta manajerial merupakan determinan penting KBE. Selain besaran nilai investasi untuk pengembangan pengetahuan dan teknologi, kelancaran distribusi pengetahuan (baik melalui
10

OECD (2005) mendefinisikan ekonomi berbasis pengetahuan sebagai: an expression coined to describe trends in advanced economic towards greater dependence on knowledge, information, and high skill levels, and the increasing need for ready access to all of these by the business and public sectors .

19

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

jalur formal maupun informal) juga merupakan faktor esensial yang mempengaruhi kinerja perekonomian. Penguasaan pengetahuan dan teknologi yang tinggi tetapi hanya terisolir di kalangan akademik atau periset semata tidak akan memberikan dampak terhadap kinerja perekonomian. Intensitas hubungan dan kelancaran aliran pengetahuan dan teknologi antaraktor dalam sistem inovasi akan menjadi faktor penentu kinerja perekonomian. Lapangan kerja dalam konteks KBE akan lebih banyak membutuhkan tenaga kerja dengan ketrampilan tinggi atau berpendidikan tinggi, mengingat bahwa dinamika perubahan pengetahuan dan teknologi berlangsung dalam tempo yang cepat. Walaupun demikian, pendidikan dan ketrampilan tinggi tersebut perlu mempunyai relevansi yang juga tinggi dengan persoalan dan kebutuhan nyata. Oleh sebab itu, untuk mendukung KBE, institusi pendidikan tinggi perlu dirancang agar selain mampu menyelenggarakan pendidikan yang secara akademik berkualitas, juga harus pula memahami persoalan dan kebutuhan nyata agar dapat mengemas kurikulum yang relevan terhadap persoalan dan kebutuhan nyata tersebut.11 Upaya untuk menaksir kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan perekonomian dilakukan antara lain dengan menghitung Total Factor Productivity (TFP). Namun demikian, tidak semua pakar ekonomi sependapat bahwa TFP bisa mencerminkan kontribusi teknologi. Kelemahan teoretis dan ketidakkonsistenan empiris dari hasil perhitungan pada berbagai negara dengan tingkat kemajuan teknologi yang berbeda menjadi lahan subur untuk perdebatan. Kesimpulan dari kajian yang dilakukan oleh Lipsey dan Carlaw (2001) patut direnungkan: There is no reason to believe that changes in TFP in any way measure technological change . Prinsip dasarnya adalah bahwa teknologi hanya memberikan kontribusi jika digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan produk barang/jasa yang dibutuhkan konsumen. Adopsi teknologi akan terjadi jika pihak pengembang teknologi memahami kebutuhan pihak pengguna. Dalam konteks komersialisasi, pengguna yang dimaksud adalah industri yang memahami kebutuhan dan preferensi konsumen. Produk teknologi yang pengembangannya tidak berorientasi pada kebutuhan nyata tentu akan sulit dijual ke pengguna. Upaya yang umum dilakukan untuk merangsang atau mempercepat difusi teknologi adalah membentuk lembaga intermediasi. Akan tetapi, lembaga intermediasi akan sulit berfungsi efektif jika teknologi yang ditawarkan adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan, atau dibutuhkan tapi kalah handal secara teknis dan/atau kurang kompetitif secara ekonomi. Ada kesulitan dalam mengevaluasi ekonomi berbasis pengetahuan, antara lain karena keterbatasan dan mutu indikator terkait pengetahuan yang saat ini tersedia. Indikator yang berbasis pada nilai investasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semata (seperti jumlah belanja riset dan pengembangan, jumlah dan kualitas personel pengembang teknologi) belum cukup untuk memberikan gambaran tentang kinerja KBE. Indikator dari sisi keluaran kegiatan riset dan pengembangan serta distribusinya diyakini akan lebih relevan,

11

Elaborasi lebih mendalam mengenai isu ini dapat dibaca pada Lakitan (2009):Kebijakan Pengembangan dan Implementasi Sistem Inovasi Nasional: menjembatani pendidikan, riset, industri, dan konsumen. Jurnal Dinamika Masyarakat 8(1):1501-1516.

20

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

misalnya data stok pengetahuan dan kelancaran aliran distribusi/difusinya, intensitas interaksi antara aktor sistem inovasi, serta tingkat ketrampilan dan relevansi pendidikan tenaga kerja. OECD (1996) mengidentifikasi empat gugus indikator penting yang perlu dikembangkan teknik pengukurannya (secara statistik) untuk mengevaluasi kinerja KBE, yakni indikator terkait: [1] knowledge stocks and flows, [2] knowledge rates of return, [3] knowledge networks, dan [4] knowledge and learning. Gugus indikator [1] memperlihatkan pentingnya mengetahui penambahan stok pengetahuan per satuan input pada kegiatan riset dan pengembangan, serta mengetahui kelancaran aliran pengetahuan dan teknologi dari penyedia ke pengguna. Gugus indikator [2] merupakan indikasi dari besarnya perolehan sosial dan kemanfaatan bagi publik per satuan input kegiatan riset dan pengembangan. Gugus indikator [3] memberikan indikasi tentang proses aliran dan intensitas interaksi antara aktor inovasi. Sedangkan gugus indikator [4] melingkupi indikator human capital, mengukur kemanfaatan bagi publik untuk investasi di bidang pendidikan dan pelatihan, atau kegiatan lain yang terkait langsung dengan upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

2.1.2. Aktor Inovasi Nasional Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU No. 18 Tahun 2002) menggunakan terminologi kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai aktor inovasi. Nuansa kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi ini mencakup perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan usaha, dan lembaga penunjang merupakan aktor-aktor utama dalam inovasi.12 Namun demikian UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan pula perlunya peran aktif warganegara dalam pelaksanaan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek. Kompleksitas penguatan inovasi tercermin antara lain dari banyaknya aktor yang terlibat dan ikut menentukan atau mempengaruhi kinerja sistem ini. Untuk memudahkan pemahaman dan agar kompleksitas yang ada tidak mengaburkan esensi dasar dari inovasi, maka ada baiknya aktor yang banyak tersebut dipilah menjadi: [1] aktor utama (primer) yang terlibat langsung dalam proses aliran teknologi, mulai dari pengembangannya sampai pada penggunaannya untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen; dan [2] aktor penunjang (sekunder) yang berperan dalam membentuk ekosistem yang kondusif agar aktoraktor utama dapat unjuk kinerja secara optimal. Aktor utama terdiri dari para pengembang/penyedia teknologi, para pengguna teknologi, dan para pihak yang memfasilitasi dan/atau melakukan intermediasi interaksi dan komunikasi antara penyedia dan pengguna teknologi. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud UU No. 18 Tahun 2002 merupakan unsur penting dari

12

Pasal 6 ayat (1) UU No. 18/2002 menetapkan bahwa kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang.

21

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

pengembang/penyedia teknologi. Namun demikian pengembang/penyedia teknologi tidak hanya terbatas pada dua unsur tersebut, tetapi mencakup semua pihak yang secara nyata melakukan kegiatan pengembangan teknologi, misalnya institusi riset non-pemerintah, unsur pelaksana riset dan pengembangan pada industri, dan para periset individual. 13 OECD (2002) membuat klasifikasi lembaga riset dan pengembangan (R&D) berdasarkan pengelola, pemegang kendali kebijakannya, penyandang dana, dan orientasi komersialisasi produk riset yang dihasilkannya (Gambar 1). Berdasarkan kriteria ini maka ada empat kelompok lembaga R&D, yakni: [1] perguruan tinggi (higher education), [2] lembaga R&D bisnis (business enterprise), [3] lembaga R&D pemerintah (government), dan [4] lembaga R&D nirlaba (private non-profit). Pengelompokan ini digunakan dalam mengevaluasi kinerja lembaga riset dan pengembangan negara-negara dunia. UU No. 18 Tahun 2002 hanya mengenal dua lembaga pengembang teknologi, yakni perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan. Seluruh perguruan tinggi di Indonesia, negeri maupun swasta, mengemban tiga tugas pokok yang dikenal sebagai tridharma perguruan tinggi, yakni melakukan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun demikian, mayoritas perguruan tinggi di Indonesia masih lebih dominan terkonsentrasi pada kegiatan pendidikan dan pengajaran. Kiprah dan kontribusinya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih belum kentara. Hal ini antara lain disebabkan karena kegiatan riset masih lebih diposisikan sebagai academic exercises, belum fokus pada upaya untuk menghasilkan invensi dan inovasi. Lembaga R&D pemerintah termasuk: [1] Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK, sebelumnya dikenal sebagai LPND) yang (salah satu) tugas pokok dan fungsinya adalah melaksanakan kegiatan riset dan pengembangan; dan [2] unit kerja penelitian dan pengembangan pada kementerian dan pemerintah daerah.

13

Pasal 8 ayat (3) UU No.18/2002 menetapkan lembaga-lembaga yang tergolong sebagai lembaga litbang, yakni dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari organisasi pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, badan usaha, lembaga penunjang, dan organisasi masyarakat.

22

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lembaga Riset & Pengembangan Apakah berada dalam institusi pendidikan tinggi? YA Perguruan Tinggi Apakah produknya dijual sesuai harga pasar? YA Badan Usaha Apakah dikendalikan atau dominan dibiayai oleh badan usaha? YA Badan Usaha YA Apakah secara administratif dikelola oleh perguruan tinggi? TIDAK Perguruan Tinggi Lembaga Pemerintah YA Perguruan Tinggi Apakah dikendalikan atau dominan dibiayai oleh pemerintah? TIDAK Apakah dikendalikan atau dominan dibiayai oleh lembaga non-pemerintah? TIDAK YA Apakah secara administratif dikelola oleh perguruan tinggi? TIDAK Lembaga Non-Pemerintah Jika kendali dan pembiayaan dilakukan oleh pihak yang berbeda, maka status lembaga riset & pengembangan tersebut tergantung pada pihak mana yang dominan membiayainya TIDAK TIDAK

TIDAK

YA

Perguruan Tinggi

Badan Usaha

Lembaga Pemerintah

Gambar 1. Klasifikasi berdasarkan status formal lembaga riset dan pengembangan (adaptasi dari OECD, 2002)

Sementara kegiatan riset di perguruan tinggi lebih berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan, maka selayaknya riset yang dilaksanakan oleh lembaga R&D pemerintah lebih fokus pada upaya menyediakan solusi teknologi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat dan negara dan/atau menyediakan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata dalam rangka mendukung pembangunan perekonomian nasional, kesejahteraan rakyat, dan peningkatan peradaban bangsa.14 Banyak industri dan badan usaha lainnya mempunyai unit kerja yang tugas utamanya adalah melakukan riset dan pengembangan, baik riset untuk mendapatkan informasi kebutuhan dan selera konsumen yang akan dijadikan dasar dalam pengembangan strategi pemasaran maupun riset-riset pengembangan produk. Riset yang dilakukan badan usaha jelas berorientasi komersil, walaupun saat ini sering dikemas dengan berbagai bungkus lain dalam rangka membangun citra perusahaan atau memanfaatkan kecenderungan preferensi konsumen, misalnya terkait dengan kepedulian mengenai isu lingkungan. Peningkatan intensitas kegiatan riset oleh badan usaha dapat menjadi indikasi yang positif tetapi sekaligus juga negatif. Positif dalam konteks pengembangan teknologi akan mengalami akselerasi mengingat potensi kekuatan dunia usaha dalam membiayai kegiatan riset dan relevansi teknologi yang dikembangkan juga akan semakin meningkat, karena dunia usaha
14

Sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945, tujuan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban bangsa.

23

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

tidak akan melakukan kegiatan riset jika tidak ada potensi kemanfaatan hasilnya. Dunia usaha akan selalu memposisikan biaya riset sebagai bagian dari investasi. Kecenderungan peningkatan intensitas riset oleh dunia usaha dapat pula menjadi indikasi negatif, apabila kecenderungan ini merupakan bentuk reaksi dari dunia usaha atas rendahnya relevansi dan/atau mutu teknologi yang dikembangkan oleh perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah. Bukan rahasia umum bahwa saat ini komunikasi dan interaksi antara para pihak pengembang teknologi (perguruan tinggi dan lembaga R&D pemerintah) dengan pihak industri belum terbangun secara intensif. Walaupun saat ini, lembaga R&D yang berorientasi komersial umumnya masih merupakan unit kerja internal lembaga bisnis, namun cikal-bakal lembaga R&D komersial yang independen sudah mulai nampak tumbuh. Jurang yang masih membentang lebar antara perguruan tinggi atau lembaga R&D pemerintah dengan dunia usaha merupakan peluang untuk tumbuh kembang lembaga R&D independen. Lembaga R&D swasta nirlaba sudah berkiprah lama di Indonesia dengan sumber pembiayaan umumnya dari lembaga-lembaga internasional. Lembaga R&D nirlaba ini lebih banyak berkiprah di ranah ilmu-ilmu sosial, terutama fokus pada isu-isu hangat pada tataran global, misalnya isu sosial (kesejahteraan rakyat, penyakit menular, pendidikan anak), isu politik dan pemerintahan (demokratisasi, desentralisasi, hak asasi manusia, korupsi), dan isu lingkungan (deforestasi, pencemaran/polusi, perubahan iklim). Badan usaha atau industri merupakan salah satu unsur pengguna teknologi.15 Unsur pengguna lainnya adalah [1] masyarakat pelaku produksi barang/komoditas/jasa, misalnya petani, nelayan, peternak, pengrajin; dan [2] pemerintah dalam rangka melaksanakan pelayanan publik dan untuk menjaga kedaulatan negara. Badan usaha merupakan pengguna teknologi yang bersifat komersial, sedangkan masyarakat dan pemerintah lebih bersifat bauran antara komersial dan pelayanan publik. Dapat bersifat komersial jika lembaga pengembang teknologinya bukan merupakan lembaga R&D pemerintah, kegiatannya tidak dibiayai oleh pemerintah, atau merupakan lembaga R&D asing. Sebaliknya, jika pengembang teknologinya adalah lembaga R&D pemerintah, atau kegiatan pengembangan teknologi dimaksud sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, maka sudah sepatutnya teknologi yang dihasilkan tersebut dapat digunakan oleh pemerintah dan masyarakat secara bebas. Perlu diingat bahwa kepemilikan paten lazimnya adalah ditangan pihak yang membiayai kegiatan pengembangan teknologi yang bersangkutan. Kapasitas adopsi para pengguna teknologi di Indonesia masih belum besar. Badan usaha di Indonesia masih dominan bergerak di sektor perdagangan, sehingga kebutuhan dan kapasitas adopsi teknologinya relatif rendah. Industri produsen barang dan jasa di Indonesia banyak yang hanya merupakan unit produksi dari sebuah perusahaan multinasional atau hanya bersifat sebagai penerap teknologi asing yang sudah mapan yang dilaksanakan berdasarkan lisensi yang diberikan oleh pihak-pihak pengembang teknologi luar negeri. Mengingat pada saat ini segmen industri besar cenderung lebih bergantung pada teknologi asing (yang mungkin disebabkan
15

UU No. 18 Tahun 2002 hanya menyebutkan badan usaha sebagai aktor pengguna teknologi.

24

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

karena kemampuan teknologi nasional belum memadai untuk memasok kebutuhan teknologi tersebut atau mungkin karena alasan lain yang bersifat non-teknis), maka pengguna teknologi domestik yang paling potensial adalah masyarakat awam dan usaha kecil dan menengah (UKM). Oleh sebab itu, harusnya segmen pengguna ini harus dipasok penuh oleh pengembang teknologi domestik. Kenyataannya, teknologi yang dibutuhkan masyarakat awam dan UKM pun belum sepenuhnya dikuasai oleh teknologi domestik, masih dibanjiri oleh teknologi maupun produk teknologi asing. Misalnya, kebutuhan alat dan mesin pertanian masih dominan diimpor dari berbagai negara, terutama Jepang dan Cina. Untungnya benih padi sudah dapat dipenuhi dari hasil riset dan teknologi dalam negeri. Pemerintah seharusnya menjadi pengguna utama teknologi dalam negeri, terutama teknologi di bidang pertahanan dan keamanan.16 Disamping untuk meningkatkan kemandirian bangsa, juga penggunaan teknologi dalam negeri akan menggairahkan kegiatan pengembangan teknologi itu sendiri, karena secara langsung akan meningkatkan aliran dana untuk pembiayaannya. Penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa dan kebutuhan peralatan utama sistem pertahanan (alutsista) nasional yang besar, mengingat luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sedemikian besar, merupakan dua argumen utama untuk menjadikan kebutuhan domestik sebagai pasar utama bagi produk teknologi dalam negeri. Orientasi pengembangan teknologi Indonesia perlu lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dan pemecahan persoalan dalam negeri terlebih dahulu, baru setelah pasar domestik dikuasai (dan teknologi Indonesia sudah lebih kompetitif) maka pertimbangan ekspor teknologi nasional menjadi lebih layak diupayakan. Pihak ketiga yang tergolong sebagai aktor utama inovasi adalah para pihak yang berperan sebagai intermediator atau fasilitator untuk meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara para pengembang dengan para pengguna teknologi. Pada saat ini, peran intermediasi dan fasilitasi ini diharapkan dimainkan lebih banyak oleh pemerintah. Pemerintah tentunya dapat membentuk lembaga-lembaga khusus untuk menjalankan fungsi/tugas ini. Untuk menjalankan peran intermediasi, Kementerian Riset dan Teknologi, misalnya, pernah mendorong pembentukan lembaga yang dirancang khusus untuk fungsi intermediasi ini, yakni Business Technology Center (BTC) di 8 lokasi, tersebut di beberapa kota.17 Namun peran intermediasi dari lembaga-lembaga BTC tersebut kelihatannya masih jauh dari harapan, sebagian penyebabnya berasal dari kapasitas dan kompetensi lembaga yang tidak memadai, dan sebagian lagi karena teknologi hasil pengembangan dalam negeri yang tidak sesuai dengan
16

Sudah ada arahan dari Presiden RI agar kebutuhan teknologi dan produk teknologi di bidang pertahanan dan keamanan memprioritaskan teknologi dalam negeri sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kemandirian bangsa. Pendirian BTC ini merupakan tidak lanjut rekomendasi dari hasil kajian Periskop yang dilaksanakan pada tahun 2000 atas kerjasama antara Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia dengan Kementerian Pendidikan Jerman. Sejak tahun 2010, BTC yang dikelola BPPT telah dilebur masuk ke dalam organisasi BPPT Engineering.

17

25

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

kebutuhan nyata (tidak relevan). Teknologi yang dikembangkan lebih mahal dan/atau kalah handal dibandingkan dengan teknologi sejenis yang sudah tersedia di pasar. Untuk penguatan peran intermediasi ini, pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi juga telah menfasilitasi pendirian Business Innovation Center (BIC) pada tahun 2008.18 Sejak tahun 2008 tersebut, BIC telah menerbitkan katalog tahunan hasil-hasil riset yang dianggap berpeluang untuk dikomersialisasikan, melalui serial terbitan buku 100 Inovasi Indonesia (2008), 101 Inovasi Indonesia (2009), 102 Inovasi Indonesia (2010), dan yang terakhir 103 Inovasi Indonesia (2011). Visi BIC adalah menjadi lembaga intermediasi inovasi bisnis yang terdepan, dalam menunjang daya saing ekonomi dan bisnis di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mensinergikan elemen-elemen akademisi, bisnis, dan pemerintah (A-B-G) dalam proses inovasi, sehingga dalam waktu 10 tahun, kegiatan inovasi di Indonesia akan menjadi unggulan (benchmark) negara-negara lain di ASEAN. Sejak 2011, BIC ditempatkan di kawasan Puspiptek Serpong sesuai dengan skenario untuk menjadikan kawasan ini sebagai Science and Technology Park (STP), dimana aktor-aktor utama inovasi akan difasilitasi untuk berada dalam kawasan yang sama. Kedekatan secara fisik diyakini akan mampu merangsang aktor-aktor tersebut untuk meningkatkan komunikasi dan interaksinya. Keterkaitan lembaga-lembaga pengembang, intermediasi, dan pengguna teknologi di kawasan ini diharapkan dapat menjadi model implementasi Sistem Inovasi Nasional.

Kelembagaan yang dikategorikan sebagai pendukung adalah lembaga atau aktor yang tidak terlibat langsung dalam proses pengembangan, difusi, maupun penggunaan teknologi untuk produksi barang dan/atau jasa yang dibutuhkan publik maupun negara; tetapi berperan nyata dan signifikan dalam mewujudkan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh-kembang inovasi. Kementerian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ministry of Education, Culture, Sport, Science and Technology, secara resmi disingkat MEXT) Jepang
18

19

Entah mengapa lembaga-lembaga intermediasi yang dibentuk penamaannya selalu menggunakan bahasa Inggeris, walaupun lebih banyak orientasinya adalah untuk memediasi antara pengembang teknologi nasional dengan para (calon) pengguna potensial di dalam negeri. Lembaga penunjang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi memberikan dukungan dan membentuk iklim yang kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (UU No. 18 Tahun 2002, Pasal 10 ayat (1)).

26

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Selain tiga aktor utama inovasi yang telah dijelaskan sebelumnya, juga banyak aktor atau lembaga pendukung lainnya yang berperan penting dalam membangun inovasi secara lebih produktif dan berkesinambungan. Lembaga pendukung mencakup lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan dan/atau kapasitas untuk: [1] membuat regulasi dan/atau kebijakan terkait tumbuh-kembang inovasi nasional maupun daerah; [2] menyiapkan sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk aktor penggerak sistem inovasi; [3] memberikan dukungan finansial bagi para aktor inovasi dalam menjalankan perannya masing-masing; dan [4] membangun infrastruktur sosial. 19

menggunakan diagram konseptual untuk memperlihatkan posisi lembaga pendukung atau penunjang ini (Gambar 2), yakni berupa lembaga-lembaga yang berwenang untuk membuat kebijakan tentang perekonomian, infrastruktur sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pajak dan keuangan. Kebijakan-kebijakan ini berperan menunjang kemantapan panggung (platform) basis pengetahuan untuk interaksi atau kerjasama antara pengembang dengan pengguna teknologi. Suatu hal yang menarik dari konsepsi ini adalah: [1] fondasi yang paling mendasar dalam penguatan inovasi adalah lingkungan, budaya, tradisi, dan karakter bangsa; [2] kemantapan panggung untuk para aktor utama inovasi dalam berkiprah akan tergantung pada dukungan kebijakan dan regulasi yang relevan; dan [3] secara jelas memperlihatkan bahwa pada akhirnya kegiatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi harus berujung pada produk/barang dan/atau jasa yang sesuai dengan permintaan pasar. Namun demikian dalam konsepsi MEXT tersebut, tidak ditampakkan posisi dan peran lembaga intermediasi dalam mewujudkan suatu sistem inovasi.
Pasar

Pasar Permintaan Produk & jasa

Industri

Basis Pengetahuan

Pengembang Kerjasama Teknologi [Univesitas, Basis Pengetahuan Litbang]


Ketenagakerjaan Infrastruktur Pendidikan

Pengguna Teknologi [Industri]

AKTOR UTAMA

Kebijakan

AKTOR PENDUKUNG

Pemerintah
Masyarakat

Politik dan Ekonomi Lingkungan, budaya, tradisi, karakter bangsa

Gambar 2. Diagram Konsepsi Sistem Inovasi Nasional (adaptasi dari MEXT, 2002)

Regulasi dan kebijakan yang mendukung upaya penumbuh-kembangan inovasi, antara lain misalnya: pemberian insentif teknis dan/atau finansial bagi badan usaha yang menggunakan teknologi nasional dalam kegiatan usahanya; pemberian kompensasi yang sebanding bagi badan usaha yang berkontribusi dalam pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi nasional; pemberian prioritas dukungan pembiayaan bagi lembaga dan/atau individu peneliti

27

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pajak&Keuangan

Ekonomi

Sosial

Iptek

atau perekayasa yang fokus pada upaya untuk menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan dan/atau dapat menjadi solusi bagi permasalahan nasional; pemberian insentif bagi lembaga intermediasi yang berhasil meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi. Memberikan akses yang lebih mudah dalam pemanfaatan laboratorium pemerintah di berbagai lembaga penelitian dan pengembangan, maupun pengembangan program pendampingan dari para tenaga ahli (peneliti dan perekayasa) juga dapat menjadi alternatif upaya penumbuh-kembangkan inovasi. Untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang dapat menggerakkan inovasi, maka institusi pendidikan (terutama pendidikan tinggi) perlu mengembangkan program studi dan kurikulum yang relevan dengan sektor atau profesi yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Academic excellence yang sering menjadi jargon pendidikan tinggi harus dibarengi dengan peningkatkan relevansinya dengan kebutuhan pembangunan dan potensi sumberdaya nasional. Konsepsi inovasi di Jepang (Gambar 2) dapat dijadikan referensi dalam konteks ini. Kebijakan yang mendukung dan akses yang terbuka luas untuk mendapatkan sumber pembiayaan merupakan pra-kondisi yang dibutuhkan dalam upaya penguatan inovasi nasional. Ketersediaan dan akses ke skim kredit atau bentuk kemudahan lain untuk modal kerja baik bagi pengembang teknologi maupun industri akan ikut merangsang tumbuh-kembang inovasi. Venture capital (VC) merupakan salah satu bentuk sumber pembiayaan bagi perusahaan baru tumbuh (startup companies). VC menjadi opsi sumber pembiayaan bagi perusahaan yang belum berpengalaman, masih terlalu kecil untuk bisa menarik dana publik melalui pasar modal, atau masih sulit meyakinkan pihak perbankan untuk mendapatkan pinjaman. Skenario VC yang umum adalah pemodal memberikan dana awal bagi suatu usaha dan dana tersebut diperhitungkan sebagai saham pada perusahaan yang bersangkutan. Karena resiko usaha baru yang tinggi dan investasi butuh waktu 3-7 tahun untuk bisa cair, maka biasanya pemodal selain mendapat porsi saham yang signifikan, juga ikut mengendalikan kebijakan dan pengambilan keputusan pada perusahaan tersebut. Secara umum ada 6 tahap pembiayaan yang mungkin didapat dari VC, yakni: [1] seed money, pembiayaan yang tidak besar dan dipergunakan untuk membuktikan bahwa ide baru yang digagas berpotensi untuk menghasilkan produk atau jasa komersial biasanya disediakan oleh angel investor; [2] start-up, pembiayaan tahap awal untuk dana pemasaran atau pengembangan produk; [3] First-Round, dana untuk penjualan awal dan biaya produksi; [4] Second-Round, untuk biaya kerja tahap awal dimana perusahaan sudah mulai menjual produk tetapi belum memberikan keuntungan; [5] Third-Round, disebut juga mezzanine financing, untuk biaya pengembangan usaha bagi perusahaan yang mulai memperoleh keuntungan; dan [6] Fourth-Round, disebut juga bridge financing, digunakan untuk pembiayaan persiapan go public. Peran penting infrastruktur sosial sangat sering terabaikan dalam berbagai sektor pembangunan, berbeda dengan infrastruktur fisik yang telah cukup dipahami peran dan kontribusinya. Oleh sebab itu, upaya penguatan inovasi tidak boleh mengabaikan peran

28

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

infrastruktur sosial ini.20 Sesungguhnya sangat jelas bahwa amanah konstitusi menyatakan bahwa tujuan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban. Tujuan ini hanya akan tercapai jika pembangunan infrastruktur sosial menjadi bagian esensial dari skenario membangun kemampuan inovasi nasional. Infrastruktur sosial termasuk sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan, seni dan budaya, informasi, olahraga dan rekreasi, perumahan, sarana komunitas/lingkungan, pelatihan dan kesempatan kerja, hukum dan keamanan publik, layanan tanggap darurat, transportasi publik, serta dukungan lain untuk individu, keluarga, dan komunitas (Casey, 2005).

2.1.3. Interaksi Antar-Aktor Inovasi Pendekatan untuk memahami inovasi tentunya harus bersifat sistemik, tidak dapat dimutilasi menjadi segmen-segmen yang terpisah satu sama lain. Penelaahan aktor-aktor inovasi tidak dapat dilakukan secara terisolir satu sama lain. Sebagai contoh, walaupun seandainya lembaga R&D Indonesia sudah sedemikian majunya sehingga setara dengan lembaga-lembaga serupa pada level dunia, tetapi tidak otomatis bahwa inovasi di Indonesia menjadi lebih produktif dan memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Kemajuan R&D bisa menjadi modal untuk mewujudkan kemampuan inovasi yang lebih tangguh. Data empiris juga menunjukkan adanya korelasi antara penguasaan teknologi dengan kemajuan perekonomian suatu negara. Akan tetapi adalah keliru jika serta-merta disimpulkan bahwa hubungan sebab akibat tersebut bersifat otomatis. Perlu diingat pula, upaya membangun kemampuan inovasi nasional merupakan suatu yang kompleks dan banyaknya aktor yang ikut berperan di dalamnya. Resultan dari interaksi antar-aktor juga masih sangat tergantung pada ekosistem dimana hal tersebut berlangsung. Interaksi dan komunikasi antar-aktor yang intensif akan memperbesar peluang untuk terjadinya aliran informasi kebutuhan teknologi dari para pihak pengguna teknologi ke pihak pengembang teknologi, sehingga teknologi yang dikembangkan diharapkan sudah semakin mengacu pada upaya memenuhi kebutuhan nyata. Pengembangan teknologi yang relevan dengan kebutuhan pengguna jika telah mempertimbangkan juga secara seksama kapasitas adopsi oleh pihak pengguna, baik dari dimensi teknis, finansial, maupun sosio-kultural, maka akan meningkatkan kemungkinan bagi teknologi tersebut untuk digunakan. Keberhasilan untuk mewujudkan kemampuan inovasi yang lebih produktif dan berkontribusi positif terhadap pembangunan perekonomian suatu bangsa (yang pada gilirannya diharapkan dapat memberikan dampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat) berkorelasi positif dengan intensitas komunikasi dan interaksi antara para aktor inovasi. Namun demikian, pada saat ini justeru persoalan interaksi dan komunikasi antara aktor inovasi ini yang masih tersumbat, masih sangat sering terkendala.
20

Pemerintah Jepang, sebagai contoh, telah mengenali peran infrastruktur sosial ini dalam menentukan keberhasilan membangun SINas, sebagaimana yang terlihat pada konsepsi SINas yang dikembangkan oleh MEXT (2002).

29

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Survei Periskop tahun 2000, yang dilaksanakan di 10 kota besar Indonesia (Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Padang, Palembang, Samarinda, Makassar, Manado, dan Mataram) atas kerjasama antara Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian Pendidikan Jerman berhasil mengungkapkan bahwa kerjasama antara industri dengan perguruan tinggi, lembaga R&D, dan lembaga intermediasi teknologi masih sangat jarang. Kalaupun ada, umumnya hanya terbatas pada masalah operasional dan perawatan mesin dan peralatan saja (Hidayat, 2010). Dalam konteks interaksi antar-aktor inovasi ini, pada tahun 1994 lahir model Triple Helix dari upaya untuk mengawinkan antara analisis kelembagaan infrastruktur pengetahuan dengan analisis evolusioner ekonomi berbasis pengetahuan (Leydesdorff dan Meyer, 2006). Untuk menyederhanakan sebuah sistem yang kompleks, model triple helix menggunakan dinamika non-linier hubungan universitas-industri-pemerintah. Pada periode tahun 2000-an, konsepsi triple helix ini juga gencar dikumandangkan di Indonesia sebagai bentuk model penguatan kemampuan inovasi nasional dengan menggunakan nama populer triple helix ABG (academicbusiness-government) (Kadiman, 2008). Pada dasarnya, akademisi dalam konsepsi ABG ini mewakili komunitas pengembang teknologi, bisnis mewakili komunitas pengguna teknologi, dan pemerintahan mewakili lembaga yang berfungsi untuk melakukan regulasi, intermediasi, dan fasilitasi. Terlepas dari konsepsi mana yang digunakan untuk menjelaskan tentang kinerja inovasi nasional, permasalahan fundamentalnya adalah sama, yaitu rendahnya intensitas komunikasi dan interaksi antara aktor inovasi. Komunikasi dan interaksi antara pengembang dengan pengguna teknologi, antara akademisi dengan bisnis, antara perguruan tinggi atau lembaga R&D dengan industri masih memerlukan dukungan kebijakan. Teknologi yang dihasilkan oleh pengembangan seringkali tidak sesuai atau tidak relevan dengan kebutuhan para pengguna untuk meningkatkan produktivitas ataupun untuk dijadikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi. Selanjutnya, karena relevansi teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan nyata yang rendah, maka lembaga intermediasi mendapat beban yang sangat berat, bahkan mungkin menjadi mission impossible bagi lembaga intermediasi untuk mendorong agar teknologi tersebut digunakan oleh industri/badan usaha, masyarakat, maupun pemerintah.

2.1.4. Ekosistem Inovasi Nasional Kemampuan inovasi nasional pada prinsipnya ditentukan oleh kelancaran aliran informasi kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh pihak (calon) pengguna potensial ke pihak pengembang teknologi dan sebaliknya. Disisi lain kelancaran aliran paket teknologi yang dihasilkan pihak pengembang ke pihak pengguna juga menjadi faktor yang menentukan. Namun demikian performa akhir dari upaya penguatan kemampuan inovasi nasional akan dipengaruhi oleh berbagai pihak. Berbagai regulasi dan kebijakan akan ikut mempengaruhi, termasuk kebijakan-kebijakan yang diluar kendali para aktor utama inovasi, misalnya kebijakan pembangunan perekonomian, kebijakan keuangan dan perpajakan, kebijakan pendidikan nasional, kebijakan ketenaga-kerjaan, dan kebijakan pembangunan infrastruktur sosial (lihat

30

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 2). Berbagai regulasi dan kebijakan di berbagai sektor ini merupakan komponen dalam ekosistem inovasi nasional. Pada level daerah, ada lagi regulasi dan kebijakan daerah, misalnya berupa berbagai peraturan daerah (Perda). Dalam kajiannya yang terkait dengan upaya translasi rationale21 menjadi kebijakan, Laranja et al. (2008) mencoba menjawab tiga pertanyaan yang sangat mendasar, yakni: (1) Apakah rationale untuk intervensi pemerintah dapat diturunkan dari berbagai teori dengan perspektif yang berbeda? (2) Apakah bentuk instrumen kebijakan yang digunakan dalam intervensi pemerintah berkaitan dengan berbagai rationale? Dan (3) Apakah yang dapat disimpulkan terkait level teritorial/kewilayahan yang tepat dari suatu kebijakan sistem inovasi yang didasarkan atas teori terpilih dan rationale yang dikembangkan berdasarkan teori tersebut? Untuk menjawab tiga pertanyaan di atas, ada lima teori yang ditelaah Laranja et al. (2008), yakni: (1) Neoclassical, (2) Schumpeterian Growth Theory, (3) Neo-Marshallian, (4) Systemic Institutional Approaches, dan (5) Evolutionary (Tabel 1). Pemilihan teori yang berbeda sebagai landasannya, akan melahirkan rationale untuk intervensi pemerintah, level intervensi, dan instrumen kebijakan yang berbeda pula. Namun demikian, teori sangat jarang diadopsi secara utuh untuk diterjemahkannya menjadi rationale oleh pembuat kebijakan. Umumnya, hanya akan dicuplik beberapa elemen saja sesuai dengan kepentingan yang hendak dikawal. Rationale yang berbasis teori lebih sering diposisikan sebagai justifikasi atau alasan untuk menetapkan kebijakan tertentu sesuai dengan yang diinginkan, jarang untuk merumuskan atau memilih alternatif kebijakan yang paling tepat.
Tabel 1. Synthesis of theoretical rationales for science, technology and innovation policy Schumpeterian growth theory Systemic institutional approaches Broad (including social innovations). Technology as applied knowledge

Neoclassical Consideration of technology Technology as information and incorporated in capital investment No consideration of space beyond reduction of information costs, transportas, location costs

Neo-Marshallian

Evolutionary Broad Technology as applied knowledge

Technology as Broad definition endogenous non- including social rival, noninnovation excludable generated by R&D Neutral but with implications for divergence/conve rgence

Consideration of space

Proximity (and space) play a role in inducing changes in behaviour

Space as on dimension for specific evolutionary processes

21

Rationale dalam konteks ini adalah model yang diformalisasi dan didasarkan dari teori dan konsepsi terpilih yang memberikan informasi tentang desain, implementasi, dan evaluasi kebijakan (Laranja et al., 2008)

31

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Neoclassical Rationale for Market failures. public intervention Informationtransmission failures. Appropriability failure Objective of intervention

Schumpeterian growth theory

Neo-Marshallian

Systemic institutional approaches

Evolutionary

Support to Flexible external System failure, Learning accumulation of economies of Institutional failures failures, endogenous R&D agglomeration System dysfunctions cognitive gaps, Block-in, dysfunctions. Lack of diversity Reduction of costs in information, transports. Promote locally based networks of cooperation, and competition Overall coherence of the system, roles and function of actors. Adequate institutional setting Avoid lock-in. Increase cognitive capacity. Improve diversity and selectivity Multi-level. Balances centralised with decentralised intervention Identification of technology specific failures. Design of segmented targeted intervention adaptive role Subsidies and tax incentivate to R&D, technology infrastructures. Extension services. Proactive intermediation brokerage (translation of implicit knowledge) Targets both individual actors and groups, networks of actors or systems of innovation. Learning

Substitute for less Creat conditions than optimal use for increasing of resources returns to R&D

Level of intervention

Centralisednational level No differentiation of levels of intervention Compensate for less than optimal private investment. Optimise resources

Centralisednational level, but with focus in more advanced region Incentivate accumulation of monopolistic gains

Regional level but National and also national regional levels level with regional focus(decentralis ed) Creation of a collaborative industrial community. Education for creating pool of skills Technology infrastructure. Extension services(servizi reali) ranging from technology to education and training cluster policies Coodinating the system, help in networking. Animateur

Role of policy maker

Examples of policy Subsidies and tax instruments incentives to R&D, investment in local advanced technology infrastructure. Park for Science and Technology

Subsides and tax incentives to R&D, Investment in local advanced technology infrastructure. Park for Science and Technology. Large mobilisation projects

Subsidies and tax incentivate to R&D, Technology infrastructures. Extension services

Mode of operationalisation (target, eligibility criteria, selectivity)

Target different kinds of individual actors. Favours supplyside initiatives. Science push measures. Return on Investment and

Targets different kind of individual actors. Favours science push and large R&D projects. Favours R&D support to hitech, criteria of

Targets both individual actors and collective actions. Favours demand approaches and provision of shared public services.

System as a target. Criteria balances support to individual actors with increasing collaboration, interactions and networking. Favours collective

32

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Neoclassical opportunity for appropristion as criteria

Schumpeterian growth theory

Neo-Marshallian

Systemic institutional approaches governance

Evolutionary opportunity, and variety (increase or reduction) as Criteria. Favours collective governance

concentration for Use of the value increasing chain or cluster returns concept

Source: Laranja et al (2008)

Komponen ekosistem inovasi tidak hanya berupa regulasi dan kebijakan yang bersifat legalformal, tetapi juga mencakup berbagai komponen non-formal, seperti budaya (termasuk norma dan etika), tradisi, dan nilai-nilai luhur atau karakter bangsa (Gambar 2). MEXT (2002) sudah mengenali komponen ini dan mengintegrasikannya dalam upaya membangun kemampuan inovasi nasional di Jepang. Ekosistem inovasi terbangun dari komponen-komponen yang bersifat intangible maupun yang bersifat tangible. Komponen yang bersifat intangible atau tak-berwujud mencakup semua regulasi, kebijakan, budaya, tradisi, karakter, dan komponen lain yang dapat mempengaruhi performa SINas tetapi tidak dapat divisualisasikan wujud fisiknya. Komponen yang bersifat tangible (wujud fisiknya dapat divisualisasikan) mencakup antara lain sumberdaya manusia terdidik dan/atau terlatih yang tersedia, sumberdaya alam yang potensial untuk dikelola sebagai bahan baku proses produksi barang maupun jasa yang dibutuhkan, dan sumberdaya finansial untuk mendukung kegiatan pengembangan teknologi maupun untuk proses produksi. Interaksi antara inovasi dengan ekosistem tempat dimana inovasi akan dikembangkan dan ditumbuhkan pada dasarnya bersifat saling-pengaruh. Regulasi dan kebijakan (baik yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan pengaturan inovasi, dan difusi teknologi) tentu akan mempengaruhi (secara positif atau mungkin juga negatif) performa inovasi nasional; sebaliknya dinamika interaksi antar-aktor inovasi, perkembangan iptek, serta dinamika kebutuhan dan persoalan pengguna teknologi akan mengharuskan terjadinya penyesuaian regulasi dan kebijakan. Budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur atau karakter merupakan penciri suatu bangsa yang cenderung untuk selalu dilestarikan eksistensinya. Dengan demikian, dalam konteks inovasi, komponen ini merupakan komponen ekosistem yang bersifat statis, yang diposisikan sebagai fondasi untuk bangunan kebijakan inovasi. Potensi sumberdaya alam juga merupakan komponen ekosistem yang menjadi acuan dalam merancang kemampuan inovasi nasional. Saat ini kecenderungan yang terjadi adalah ketersediaan dan jenis keahlian sumberdaya manusia yang secara dominan mewarnai inovasi. Seharusnya kebutuhan untuk mendukung tumbuhkembang inovasi sesuai dengan potensi nasional dan kebutuhan pasar (atau pengguna) yang menentukan pola penyiapan dan pengembangan sumberdaya manusia.

33

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Sumberdaya finansial dan inovasi akan saling berhubungan secara interaktif, saling beinteraksi secara positif (snowballing effect) sehingga masing-masing berkembang dan tumbuh semakin kuat. Sumberdaya finansial yang tersedia akan mendorong kemampuan inovasi semakin tumbuh berkembang menjadi sebuah sistem yang lebih produktif dan efisien dalam menghasilkan produk barang dan jasa yang bernilai ekonomi, sehingga secara nyata akan mendorong pertumbuhan perekonomian suatu negara. Selanjutnya pertumbuhan perekonomian secara langsung juga berarti meningkatnya ketersediaan sumberdaya finansial untuk membangun kemampuan inovasi nasional dengan kapasitas yang lebih besar. Sebaliknya inovasi yang bersifat stagnan (atau dorman) karena tidak mampu menghasilkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas atau efisiensi proses produksi, tidak akan pula mampu memberikan kotribusi terhadap pertumbuhan perekonomian. Kondisi ini selain menyebabkan rendahnya sumberdaya finansial untuk mendukung pengembangan inovasi juga menghilangkan kepercayaan publik terhadap inovasi itu sendiri. Akibatnya inovasi bukan akan tumbuh berkembang, tetapi sebaliknya akan menjadi faktor yang semakin tidak diperhitungkan dalam skenario besar pembanguan perekonomian suatu bangsa.

2.2. Kajian Implementasi UU No. 18 Tahun 2002


2.2.1. Mulatsih, Sri,. dan Prakoso Bhairawa Putera. 2009. Analisis Undang-undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Bingkai Ekonomi Berlandaskan Iptek (Knowledge Based Economy). Penelitian yang dilakukan oleh Sri Mulatsih dan Prakoso Bhairawa Putera terhadap implementasi UU No. 18/2002 menunjukkan pengembangan dan penerapan iptek masih belum dimanfaatkan secara optimal, terutama di kegiatan ekonomi dan sosial budaya. Menurut penelitian yang dilakukan, hal itu disebabkan antara lain belum terjalinnya hubungan yang baik antara lembaga penelitian perguruan tinggi dan industri. Kondisi ini mendorong industri nasional cenderung memanfaatkan lisensi impor. Selain itu, secara umum Indonesia belum menjadi pelaku iptek yang diperhitungkan dalam dunia internasional, serta sumber daya iptek yang mampu diakumulasikan masih terbatas. Berdasarkan implementasi UU No. 18 Tahun 2002, temuan mendasar yang diidentifikasikan dalam pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 adalah lemahnya koordinasi kegiatan riset di daerah, dan interaksi pelaku iptek. Padahal sejak awal UU No. 18 Tahun 2002 dimaksudkan untuk meletakkan dasar bagi perkembangan kelembagaan iptek dengan interaksinya. UU No. 18 Tahun 2002 meletakkan pemerintah daerah sebagai salah satu komponen pendukung pelaksanaan sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan iptek khususnya ditingkat daerah. Pemerintah daerah berkewajiban menumbuh-kembangkan motivasi, memberi stimulus dan memfasilitasi dalam menciptakan iklim pertumbuhan dan sinergi unsur kelembagaan, sumber daya dan jaringan iptek.

34

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Kondisi awal di lokasi yang menjadi sampel penelitian ini (tahun 2009) terlihat telah ada dukungan secara yuridis formal melalui pembentukan Peraturan Daerah ataupun Keputusan Gubernur tentang pembentukan badan/bagian/unit yang menangani kegiatan penelitian dan pengembangan di daerah. Namun demikian, dukungan yuridis tidak diikuti ini tidak diikuti adanya dukungan sumber daya yang memadai. Semua daerah responden menyebutkan minimnya sumber daya peneliti, begitu juga dengan dana, sarana dan prasarana dalam pemaksimalan tugas dan fungsi di daerah. Temuan lainnya yang menarik adalah mengenai pembentukan jalinan interaksi antar kelembagaan yang diharapkan dapat membentuk pola sistem nasional bagi kemajuan iptek di Indonesia. Pada awalnya dan sampai saat ini, pembentukan jalinan interaksi ini distimulus oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Dengan memberikan dana insentif untuk kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan iptek diharapkan akan memperkuat jaringan kelembagaan perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga penunjang dan badan usaha. Namun demikian menurut penelitian Mulatsih dan Putera (2009), kondisi yang terjadi cukup ironis karena interaksi yang terjadi hanya terjalin sebatas pemanfaatan dana riset, tanpa adanya keberlanjutan difusi hasil penelitian yang aplikatif oleh dunia usaha. Perspektif Pemangku Kepentingan UU No. 18 Tahun 2002 Dalam menganalisis temuan dalam implementasi UU Nomor 18 Tahun 2002 di atas, Mulatsih dan Putera (2009) menggunakan indikator keadaan, yaitu tanggapan lembaga-lembaga (stakeholders). Pelaksana undang-undang ini adalah perguruan tinggi, lembaga litbang, dan industri. Untuk mengetahui keadaan tersebut ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Table 6.1 Tanggapan terhadap UU No. 18 Tahun 2002

Variabel Tanggapan/respon terhadap UU No. 18/2002

Lembaga Perguruan tinggi

Pandangan/Perspektif Pada umumnya pengetahuan tentang UU ini masih sangat sedikit. Namun UU ini perlu untuk mengarahkan/mengatur kegiatan penelitian supaya efektif. Yang lebih diperlukan lagi adalah sosialisasi dan implementasinya. Secara umum UU ini belum diketahui, Balitbangda merasa bahwa UU ini belum menjadikan lembagalembaga penelitian daerah sebagai garda terdepan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Selama ini balitbangda terikat dengan PP No. 38, bahwa penelitian dan pengembangan itu tidak termasuk sebagai kegiatan wajib atau pilihan. Cukup paham dengan UU ini, karena sering diundang sebagai pemangku kepentingan, khususnya dalam diskusi penyusunan PP No. 35 Tahun 2007 tentang alokasi dana sebagian pendapatan badan usaha.

Balitbang pemerintah daerah (balitbangda)

Badan usaha (Stem cell and cancer institute-PT Kalbe Farma)

35

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Tabel di atas menunjukkan bahwa unsur kelembagaan yang diteliti (perguruan tinggi, lembaga litbang daerah, dan badan usaha/industri) masih rendah tanggapannya terhadap UU No. 18 Tahun 2002, hanya salah badan usaha yang terlihat aktif dalam merespon kebijakan ini. Karena dari temuan penelitian, perusahaan (badan usaha) ini meletakkan visi dan misi usahanya untuk bisnis dan penelitian. Di samping itu juga interaktif terhadap kebijakan pemerintah, khususnya dalam mengemban misi penelitian dan pengembangan baik untuk kepentingan industri maupun kepentingan nasional masih rendah. Bagi perguruan tinggi dan lembaga litbang daerah, khususnya yang diteliti tampaknya kurang memahami kedudukan dan fungsi mereka dalam memperkuat visi dan misi dalam upaya penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek. Namun demikian, ada beberapa responden yang cukup tertarik dengan memaksimalkan peran dan fungsi litbang daerah dalam dua tahun terakhir, seperti yang telihat dari Badan Litbang Daerah Sumatera Selatan;
Keberadaan undang-undang ini cukup diketahui, tetapi yang belum adalah menjadikan lembagalembaga penelitian dan pengembangan daerah ini sebagai garda terdepan dalam hal penelitian dan pengembangan di daerah. Selain itu masih adanya paradigma memandang sebelah mata terhadap balitbangda oleh pihak-pihak di daerah. Kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan selama ini diarahkan untuk mendukung visi dan misi pembangunan daerah. Sehingga Balitbangda Sumsel berkolaborasi dengan lemlit-lemlit di perguruan tinggi yang berada di wilayah ini. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, menimbulkan kebingungan pada balitbangda, karena masing-masing instansi memiliki litbang sehingga fungsi dan tugas balitbangda apa.

Kondisi semacam ini memang berbeda dengan lembaga litbang di daerah yang lain, seperti Balitbangda Sulawesi Selatan; pelaksanaan penelitian dan pengembangan hanya menjadi tugas pendukung instansi lain di wilayah kerjanya, dan adanya PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadikan penelitian di daerah bukan merupakan urusan wajib, tetapi pilihan. Bagian penelitian dan pengembangan yang menjadi subbagian di bawah struktur Sekretaris Daerah Provinsi Yogyakarta, belum mengimplementasikan kebijakan ini pada tingkat daerah, hal ini disebabkan karena alasan teknis dengan perpindahan struktur bagian penelitian dan pengembangan yang sebelumnya di bawah Badan Perencanaan Daerah. Sehingga bagian ini masih merencanakan tindakan untuk pelaksanaan kegiatan, walaupun sebenarnya berdasarkan surat pembentukan terjabarkan tugas dan fungsi bagian ini tentunya memberikan tugas untuk melakukan penelitian dan pengembangan di daerah. Kelembagaan, Sumberdaya, dan Jaringan Kelembagaan, sumber daya, dan jaringan iptek merupakan unsur-unsur utama dalam sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan iptek, yang didukung adanya peran pemerintah/pemerintah daerah, dan masyarakat. Adanya UU No. 18 Tahun 2002 diharapkan kelembagaan, sumber daya, dan jaringan iptek menjadi berkembang lebih baik untuk

36

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

membangun kemampuan iptek nasional yang lebih kuat untuk mencapai tingkatan ekonomi sejajar dengan negara lain. Pasal 6 UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan, setiap kelembagaan iptek (perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha dan lembaga penunjang) berfungsi mengorganisasikan pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Menurut Mulatsih dan Putera (2009), perguruan tinggi sebagai kelembagaan iptek diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia (peneliti, perekayasa, teknisi, dan sebagainya) yang diperlukan dalam upaya peningkatan kemampuan penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek. Lembaga litbang menjadi mencari peneliti, perekayasa, teknisi dan semberdaya manusia lain yang diperlukan untuk memperkuat kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek. Selanjutnya untuk mengetahui fungsi kelembagaan iptek yang disurvei, dapat dilihat pada Tabel 6.2 di bawah ini.
Tabel 6.2 Tugas Pokok dan Fungsi Kelembagaan Iptek

Kelembagaan Perguruan tinggi (ITB,UGM, UNHAS, UNSRI) Balitbangda (Sumsel,Sulsel, DIY)

Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Kelembagaan Dalam mengembangkan inovasi melalui penelitian dan pengembangan, lebih banyak dilandasi oleh Tri Darma Perguruan Tinggi. Tugas penelitian pada dasarnya sebagai tugas struktural dari Kemendagri. Sehingga kegiatan ini tidak selalu dilakukan seperti lembaga penelitian lainnya. Bahkan seperti Pemda DIY, bidang penelitian menurut struktur organisasi baru hanya berfungsi sebagai lembaga pemberi ijin penelitian. Namun demikian, juga melakukan koordinasi untuk menginventarisasi hasil penelitian di daerah. Tugas utamanya adalah melakukan penelitian bidang mikrobiologi untuk sell kanker. Sumber dana murni swasta di PT Kalbe Farma (bergerak di bidang farmasi).

Badan usaha (Stem cell and cancer institute-PT Kalbe Farma)

Selain kelembagaan, sumber daya, jaringan dan pembiayaan dipandang sebagai aspek inti dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Dalam Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2002 disebutkan, pemerintah mendorong kerja sama antar kelembagaan iptek dalam pengembangan jaringan informasi iptek. Untuk itu, perguruan tinggi dan lembaga litbang agar mengusahakan penyebaran informasi hasil kegiatan, termasuk pembentukan Sentra HKI. Kelembagaan iptek juga diarahkan untuk membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur-unsur kelembagaan iptek untuk menghasilkan kinerja dan manfaat lebih besar secara bersama. Namun demikian, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang masih bersifat sektoral menjadikan amanah yang disebutkan dalam UU No. 18 Tahun 2002 ini belum berjalan dengan baik.

37

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Aspek terpenting dalam pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek adalah pembiayaan. Menurut UU No. 18 Tahun 2002, pembiayaan pelaksanaan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan iptek merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, ketentuan ini masih memerlukan penjelasan bagaimana merealisasikan pembiayaan ini, terutama dalam pelaksanaan fungsi dan pemerintah sebagai motivator dan stimulator perkembangan sistem nasional litbangrap iptek. Pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 Pelaksanaan suatu undang-undang merupakan suatu penjabaran isi dari pasal-pasal ke dalam peraturan-peraturan atau kebijakan yang disebut sebagai arrangement institutions, berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan kebijakan PP. Selama hampir sepuluh tahun pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 telah diturunkan empat peraturan pemerintah yang perlu disusun, yaitu terkait dengan pelaksanaan Pasal 16, 17, 22 dan Pasal 28. UU No. 18 Tahun 2002 mencakup 9 bab dan 32 pasal dan penjelasannya, termasuk 2 bab di dalamnya tentang ketentuan sanksi dan ketentuan peralihan. Secara politis UU ini telah memenuhi syarat dalam proses penyusunannya sehingga UU ini telah diundangkan sejak 29 Juli 2002. Sebagai payung hukum UU ini merupakan acuan seluruh elemen yang tercakup dalam sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek, antara lain lembaga penelitian, perguruan tinggi, industri dan pihak terkait lainnya. Secara hierarkis, Undang-Undang sebagai produk policy level akan diimplementasikan melalui tingkatan organisasi (level of organization) yaitu berupa peraturan pelaksanaannya. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan peraturan pelaksanaan dari undang-undang adalah sesuai dengan hirarkhi-nya, yaitu peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi; dan peraturan daerah kabupaten/kota. Dalam pelaksanaannya UU No. 18 Tahun 2002, tiga tahun setelah disahkan diturunkan dua Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 20 Tahun 2005 dan PP No. 35 Tahun 2007. Tahun 2005 disahkan, PP No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Kemudian di tahun berikutnya, PP No. 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Peraturan pemerintah terakhir yang diturunkan sebagai pelaksanaan dari undang-undang No. 18 Tahun 2002 adalah mengenai Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang Berisiko Tinggi dan Berbahaya, tertanggal 18 Juli 2009 dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2009 Pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002, antara lain dapat mengacu penjelasan Riant Nugroho (2009), dalam public policy, undang-undang sebagai bentuk dari kebijakan di Indonesia masih menganut model kebijakan continental atau yang berasal dari Belanda; model kebijakan yang dibuat berjenjang sesuai dengan hierarki implementabilitasnya. Undang-undang merupakan kebijakan yang dinilai mempunyai posisi tertinggi, dan dibuat dengan pasal-pasal yang bersifat makro atau umum untuk kemudian dibuat petunjuk pelaksanannya. Akibatnya di Indonesia

38

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

banyak terjadi kasus di mana sudah ada undang-undang, tetapi pelaksanaannya tidak effektif karena peraturan atau kebijakan pelaksanaannya belum dibuat. Dalam kaitannya dengan penguatan inovasi, pola jalinan interaksi atau yang dikenal dengan jaringan, responden penelitian Mulatsih dan Putera (2009) berpendapat interaksi yang dilakukan antar pelaku iptek di lembaga litbang, perguruan tinggi, badan usaha maupun di masyarakat selama ini masih tidak terpola. Interaksi yang dilakukan belum terlembaga dan hanya dilakukan secara personal (individu). Responden lainnya menyatakan, kerjasama atau interaksi yang terjalin selama ini hanya sebatas pemanfaatan dana riset yang dimiliki oleh badan litbang daerah saja.
Jalinan interaksi selama ini belum berjalan maksimal, walaupun kami memiliki jaringan peneliti Sumatera Selatan yang telah mendapat pesetujuan dari gubernur tetapi belum maksimal. Interaksi berjalan karena adanya kerjasama penelitian yang menggunakan dana atau dibiayai oleh balitbangda. Interaksi yang terlaksana sebatas antara balitbangda dengan peneliti yang bersangkutan yang mayoritas berasal dari perguruan tinggi.

Simpul pola interaksi terlihat lebih baik dilakukan oleh perguruan tinggi. Jaringan yang dikembangkan di perguruan tinggi, beberapa telah dapat menyambung simpul industri (beberapa), lembaga penelitian pemerintah lainnya, dan penelitian swasta.
LPPM-ITB melakukan jejaring penelitian dengan lembaga lain disebut sebagai mitra kerja, namun tampaknya jejaring peneliti yang dibangun antar lembaga penelitian di wilayah Jawa Barat (ITB, Bappeda, LSM) belum ada.

Dengan keluarnya Perda No. 5 Tahun 2008 menunjukkan bahwa adanya perhatian dari pemerintah daerah. Masuknya Bagian Penelitian dan Pengembangan di Biro Administrasi Pembangunan adalah indikasi baik. Untuk kelengkapan lainnya sedang diproses. Untuk Dewan Riset Daerah, pemerintah daerah masih mencari format terbaik, karena yang ada selama ini adanya kumpulan pakar-pakar di Badan Penerapan dan Pengembangan Teknologi DIY. Pemerintah daerah telah menganggarkan sejumlah dana sehingga setiap tahunnya balitbangda melaksanakan program dan kegiatan penelitian pengembangan yang mengacu pada program prioritas pemerintah provinsi, pada tahun 2008 kemarin melaksanakan sebanyak 2 program utama dan 60 kegiatan dengan pendanaan sebesar Rp. 10.323.550.072,- yang seluruhnya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah pemerintah provinsi. Indikasi ini menandakan bahwa adanya dukungan dari pemerintah walaupun masih dirasa kurang dalam segi penambahan alokasi dana ataupun sarana prasarana untuk menunjang kegiatan penelitian.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah telah memberikan ruang untuk mendorong kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek. Akan tetapi, kebijakan internal di setiap daerah responden berbeda, adanya ruang bagi masing-masing elemen dalam UU No. 18 Tahun 2002 diharapkan dapat mengoptimalkan dan keberlanjutan aktivitas litbangrap iptek. Dukungan kebijakan serta pendanaan yang secara terus menerus dan berkelanjutan program yang dilakukan pada tingkat daerah, karena bagaimanapun juga sistem nasional tidak dapat berjalan secara maksimal tanpa adanya dukungan pelaksanaan sistem pada level daerah.

39

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dukungan pemerintah daerah dalam menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim kondusif dalam sistem penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek di daerah sesuai dengan amanat UU No. 18 Tahun 2002 secara bertahap mengalami kemajuan.

2.2.2. Seri Diskusi Sistem Inovasi dan Daya Saing - Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan, Tatang A Taufik: BPPT dan Kementerian Riset dan Teknologi, 2005. UU No. 18 Tahun 2002 merupakan tonggak penting, landasan hukum yang diharapkan dapat memperkuat landasan pembangunan dan mempercepat perkembangan iptek, mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan sumberdaya iptek. UU No. 18 Tahun 2002 diharapkan dapat memperkuat jaringan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam pemajuan iptek. Menurut Tatang (2005) meskipun tidak secara eksplisit disebutkan sistem inovasi, namun sistem nasional litbangrap iptek merupakan keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan iptek dalam satu keseluruhan yang utuh. Selanjutnya Tatang (2005) menyebutkan, esensi keterkaitan ini sama dengan atau setidaknya berangkat dari konsep sistem inovasi nasional, dan karenanya merupakan langkah penting bagi perkembangan sistem inovasi di Indonesia. Sistem nasional litbangrap iptek ini diperlukan untuk mencapai tujuan: a. memperkuat daya dukung iptek bagi keperluan mempercepat pencapaian tujuan negara, serta b. meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional. Oleh karena itu perkembangan sistem inovasi ini akan ditentukan oleh pelaksanaan lebih lanjut (secara legal) dan implementasinya. Salah satu pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 adalah penguatan fungsi kelembagaan iptek dalam sistem nasional litbangrap iptek. Upaya ini dilakukan melalui: a. mengorganisasikan pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi; b. pembentukan iklim dan memberikan dukungan kebijakan yang diperlukan bagi penyelenggaraan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek. Pemajuan ataupun penguatan sistem inovasi pada tataran daerah menurut Tatang (2005) adalah sesuatu yang penting bagi perkembangan sistem inovasi nasional dan peningkatan daya saing secara nasional. Penguatan sistem inovasi di tataran daerah merupakan bagian integral atau sub sistem dari pilar sistem inovasi nasional. Upaya-upaya terpadu dalam penguatan kelembagaan, interaksi dan proses pembelajaran akan menjadi semakin penting pada tataran daerah. Dalam peraturan perundang-undangan yang ada, tanggung jawab daerah dalam pembangunan iptek dan sistem inovasi cukup besar. Hal ini juga ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, antara lain: a. tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah (Pasal 2 ayat (3)); b. kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban antara lain: memajukan dan mengembangkan daya saing daerah (Pasal 27 ayat (1) butir g.) UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

40

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pembangunan Nasional, maupun peraturan perundang-undangan lainnya diharapkan menjadi landasan legislasi untuk mengintegrasikan, meningkatkan sinkronisasi dan sinergi dalam pengembangan sistem inovasi. 2.2.3. Pengembangan Peraturan untuk Mendukung Unit Komersialisasi Kelembagaan Iptek, Kementerian Riset dan Teknologi, 2007

Salah satu masalah yang dihadapi dalam pembangunan iptek dalam upaya memperkuat daya dukung iptek untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa adalah ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi luar. Ketergantungan ini sebagai akibat dari kurang berkembangnya teknologi/inovasi dalam negeri. Dalam beberapa kasus, sektor usaha masih merasakan hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri belum dapat diterapkan dalam kegiatan industri. Ketergantungan teknologi dari luar, seringkali dibarengi kesulitan dalam pemeliharaannya, karena tidak selalu mendapatkan akses secara lengkap teknologi yang ada. Kerjasama-kerjasama yang dilakukan mengenai transfer teknologi cenderung mengarah pada kerjasama perdagangan, sehingga transfer teknologi dapat dikatakan tidak terjadi, yang ada adalah jual beli teknologi. Teknologi menjadi komoditas yang sangat mahal dan seringkali memberatkan beban keuangan negara secara keseluruhan, karena pembelian barang modal yang sarat dengan teknologi. Transfer teknologi dari lembaga penelitian dan pengembangan kepada industri dan masyarakat melalui bentuk kemitraan, seringkali masih menghadapi persoalan yang cukup serius, seperti HKI, pembagian royalty, pemanfaatan produk. Kesulitan dalam proses transfer teknologi tersebut tidak hanya terjadi pada industri besar saja tapi terjadi juga pada industri kecil dan menengah. Hal ini menyebabkan industri kecil dan menengah cenderung menggunakan tenaga konvensional yang dimiliki atau membeli dari luar negeri untuk perbaikan (improvement) dalam kegiatan proses produksinya. Alasan yang melatarbelakangi kondisi tersebut sebenarnya adalah suatu hal yang cukup logis. Para pengusaha kecil dan menengah ini masih meragukan kualitas produk teknologi hasil penelitian dan pengembangan, termasuk juga keberlanjutannya (sustainability). Alasan lainnya, adanya gap antara teknologi hasil penelitian dan pengembangan dengan kebutuhan pasar yang ada, belum lagi ketepatan waktu pemanfaatannya. Andaipun ada keterkaitan antara dunia usaha dan lembaga penelitian dan pengembangan saat ini baru sebatas asistensi dari pihak penelitian dan pengembangan yang kebanyakan masih terbatas pada aspek pengujian produk dan peralatan. Kondisi ini memperlihatkan, program yang direncanakan dan dilaksanakan masih kurang fokus, cenderung mengerjakan terlalu banyak kegiatan. Hal ini masih ditambah kurangnya perhitungan pencapaian optimal dalam penggunaan sumberdaya keuangan dan sumberdaya manusia, meskipun peralatan yang dimiliki sebenarnya sudah cukup memadai. Jumlah dan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia yang cukup memadai, kurang dimanfaatkan secara optimal. Hasil-hasil penelitian dan pengembangan umumnya masuk dalam publikasi ilmiah

41

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

tingkat nasional, hanya sedikit yang menghasilkan hak paten dan masuk dalam publikasi internasional. Hal ini juga menunjukkan, hasil-hasil kajian dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian masih belum sesuai dengan kebutuhan pasar, juga belum memadai untuk mendapatkan pengakuan secara ekonomis. Sesuai pasal 16 UU No. 18 Tahun 2002, perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan litbangnya. Ketentuan ini ditujukan bagi kegiatan litbang yang dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Pengalihan ini dilakukan pada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewajiban ini dimaksudkan agar hasil litbang dapat dimanfaatkan seluas mungkin oleh masyarakat, menghasilkan nilai tambah ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan. Investasi pemerintah dalam bentuk hasil litbang ini diharapkan dapat menghasilkan public return sebesar mungkin. Permasalahan krusial lainnya adalah pembentukan unit kerja dalam upaya komersialisasi hasil litbang. Di satu sisi perguruan tinggi maupun lembaga litbang memerlukan adanya unit kerja yang mandiri untuk melakukan pengelolaan administrasi hasil penjualan produk litbang secara lebih optimal. Semua hasil penjualan hasil litbang dapat dikelola secara langsung oleh lembaga melalui unit komersialisasi hasil litbang ini, sehingga lembaga memperoleh pendapatan yang dapat digunakan untuk investasi berbagai kegiatan litbang lainnya, yang mungkin ditujukan untuk pengembangan teknologi tepat guna maupun sebagai upaya mendukung perbaikan pendapatan peneliti. Pembentukan unit kerja yang mendorong peningkatan komersialisasi hasil litbang ini, sesuai dengan PP No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual dan Hasil Penelitian Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Dalam Pasal 16 peraturan pemerintah tersebut menyatakan, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib membentuk unit kerja yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan litbang di lingkungannya. Sedangkan pengaturan mengenai pembentukan, susunan organisasi, rincian tugas, tata kerja unit kerja, dan penetapan prosedur pengelolaan dan alih tekologi kekayaan intektual serta hasil kegiatan litbang diatur oleh lembaga yang bersangkutan. Unit kerja ini dapat merupakan lembaga baru, sebagai penambahan unit-unit kerja yang ada, atau dengan memanfaatkan unit yang ada, seperti penambahan tugas dan fungsi lembaga Sentra HKI di perguruan tinggi dan lembaga litbang. Dalam pelaksanaannya pembentukan unit kerja seperti yang disyaratkan pada PP No. 20 Tahun 2005 masih mengalami hambatan. Adanya perubahan struktur organisasi lembaga, sebagai pelaksanaan kebijakan pemerintah, misal Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) untuk mengurangi pembentukan lembaga baru, seperti Unit Komersialisasi Hasil Litbang. Kebijakan ini akan membatasi pembentukan lembaga baru, dan tampaknya akan menjadi salah satu hambatan dalam merealisasikan komersialisasi hasil litbang. Oleh karena itu, kajian pengembangan kebijakan yang mendukung komersialisasi hasil litbang masih perlu

42

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

dilakukan dengan bersinergi lebih erat dengan para pengambil keputusan di bidang aparatur negara. Unit Profit Pelayanan Jasa Teknis dan Jasa Konsultasi di Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi sebagai bagian integral dari pendidikan di Indonesia diarahkan seoptimal mungkin melakukan proses transformasi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan di bidang iptek, serta aplikasi hasil litbang tersebut melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa kegiatan penelitian dan pengabdian sebenarnya tidak bisa dipisahkan dan telah menjadi tugas dan kewajiban dari perguruan tinggi untuk merealisasikannya. Hal ini menuntut perguruan tinggi untuk menggali sumber dana lainnya selain dari Pemerintah, melalui penjualan jasa konsultasi dan jasa teknis litbang, suatu kegiatan komersialisasi hasil riset. Upaya komersialisasi ini belum berjalan maksimal, sehingga hasilnya belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal. Hasil riset di bidang teknologi industri yang dihasilkan lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat maupun para peneliti di perguruan tinggi sebenarnya cukup banyak, namun kurang sosialisasi, dan memberikan sentuhan komersialisasi terhadap produk yang dihasilkan. Hasil dari riset ini juga seringkali tidak memperhatikan struktur biaya, sehingga ketika diterapkan tidak mampu bersaing dengan produk-produk yang dihasilkan oleh pihak lain, swasta atau perusahaan. Struktur biaya penelitian yang tinggi menyebabkan hasil penelitian perguruan tinggi menjadi terlalu mahal untuk pengguna. Oleh karena itu, lembaga litbang dan perguruan tinggi perlu memperhatikan struktur biaya litbangnya agar menarik untuk dikomersialkan kepada para pelaku usaha dan masyarakat. Tingginya biaya litbang antara lain disebabkan biaya administrasi yang tinggi, seperti misalnya birokrasi yang panjang dalam mekanisme pengelolaan dana penelitian, dan perpajakan. Dilihat dari proses penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi dituntut untuk menghasilkan produk-produk yang memiliki keunggulan kompetitif untuk dapat diterima pengusaha sebagai pengguna hasil penelitian. Untuk menghasilkan produk yang lebih kompetitif, maka perguruan tinggi didorong menuju terwujudnya universitas penelitian (research university). Dalam bentuk ini, kegiatan penelitian menjadi kegiatan utama, disamping kegiatan pengajaran dan pengabdian masyarakat. Para dosen dan mahasiswa harus memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah aktual yang ada di masyarakat, melalui berbagai kegiatan penelitian yang bersifat aplikatif. Permasalahan lainnya adalah kurangnya sosialisasi hasil litbang, dan produk penelitian masih banyak yang bersifat teoritis dan belum dapat diterapkan di masyarakat. Banyak skripsi, tesis, maupun desertasi tersimpan di perpustakaan, padahal banyak diantaranya yang memiliki potensi untuk dikomersialisasikan. Banyak karya ilmiah yang tidak aplikatif, meskipun secara akademik dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan fakta di lapangan, umumnya pihak industri menghendaki hasil litbang yang dapat menghasilkan produk akhir secara cepat, mudah, murah. Pihak pengguna beranggapan hasil litbang perguruan tinggi maupun lembaga litbang Pemerintah masih bersifat teoritis dan belum dapat diaplikasikan. Kalangan dunia usaha lebih menyukai teknologi yang sudah siap pakai, daripada membeli hasil litbang perguruan tinggi yang masih belum teruji dalam

43

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

pemanfaatannya. Penyediaan dana penelitian kepada para peneliti sering kali belum dapat memberikan solusi yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang ada di lapangan, baik di masyarakat maupun di dunia usaha. Pembiayaan kegiatan perguruan tinggi, termasuk biaya litbang mengacu pada PP No. 60 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi. Dalam Pasal 114 antara lain diatur sebagai berikut :
Pasal 114 (1) Pembiayaan Perguruan Tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat dan pihak luar negeri. (2) Penggunaan dana yang berasal dari Pemerintah baik dalam bentuk anggaran rutin maupun anggaran pembangunan serta subsidi diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah perolehan dana Perguruan Tinggi yang berasal dari sumber-sumber sebagai berikut : a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP); b. Biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi; c. Hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi; d. Hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi; e. Sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga nonPemerintah; dan f. Penerimaan dari masyarakat lainnya. (4) Penerimaan dan penggunaan dana yang diperoleh dari pihak luar negeri diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Usaha untuk meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat didasarkan atas pola prinsip tidak mencari keuntungan.

Dalam ketentuan di atas, perguruan tinggi dapat menggali penerimaan dari masyarakat. Hal ini memberikan kemungkinan bagi perguruan tinggi mendirikan unit usaha sebagai salah satu sumber pembiayaan dari masyarakat. Unit usaha ini dapat pula berbentuk unit usaha komersial, suatu unit yang mampu menunjang penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi melalui pengelolaan hasil litbang yang lebih profesional. Unit Profit Pelayanan Jasa Teknis dan Jasa Konsultasi di Lembaga Litbang Pembentukan unit pelayanan jasa teknis dan jasa konsultasi di lembaga litbang lebih diarahkan untuk mengkomersialkan kekayaan intelektual dan hasil-hasil litbang. Inovasi yang memiliki nilai komersial yang harus dilindungi oleh hak atas kekayaan intelektual. Agar inovasi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat diperlukan sosialisasi, upaya untuk memperkenalkan berbagai produk litbang kepada masyarakat. Penerimaan masyarakat ini akan mendorong terjadinya alih teknologi, baik berupa kekayaan intelektual maupun hasil-hasil litbang lainnya. Hasil yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan pengalihan teknologi dapat berupa pengalihan codified knowledge maupun tacit knowledge transfer. Kegiatan terebut merupakan upaya pemanfaatan hasil litbang dan pengalihan kemampuan penguasaan iptek oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang. Kegiatan ini memerlukan pendekatan tersendiri, dan seringkali tidak sama dengan pengelolaan kelembagaan lain, seperti pengelolaan perizinan, atau penerimaan hasil

44

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

selisih harga ataupun penerimaan keuntungan dari BUMN. Keuntungan yang diperoleh dari pengalihan teknologi juga dapat mengurangi ketergantungan pendanaan kegiatan litbang di Perguruan Tinggi maupun Lembaga Litbang pada anggaran Pemerintah. Oleh karena itu, adanya keleluasaan dalam pengelolaan penggunaan pendapatan alih teknologi mempunyai peran penting dalam mendorong kemandirian lembaga penelitian. Pendapatan dari alih teknologi ini dapat digunakan untuk berbagai kegiatan antara lain: 1) memperbesar pendanaan litbang yang diperlukan untuk menguasai kemajuan iptek dan mengembangkan invensi serta menggali dayagunanya; 2) memberikan insentif yang diperlukan untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan invensi di lingkungan litbang; 3) memperkuat kemampuan pengelolaan kekayaan intelektual, termasuk pemeliharaan, perlindungan, dan alih teknologi; 4) melakukan investasi untuk memperkuat sumber daya iptek yang dimiliki, baik yang berbentuk keahlian sumber daya manusia dan pengorganisasiannya, aset informasi dan iptek, serta sarana prasarana iptek; 5) meningkatkan kualitas dan memperluas jangkauan alih teknologi dan jasa iptek; 6) memperluas jaringan kerja dengan lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

45

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lembaga litbang pemerintah umumnya ditujukan untuk melaksanakan penelitian, pengembangan dan pengkajian dalam rangka mencapai suatu keunggulan iptek dalam rangka pemecahan masalah-masalah pembangunan di berbagai bidang. Meskipun hampir semua perencanaan program lembaga litbang pemerintah ditujukan untuk tujuan penerapan iptek, namun dalam praktik belum banyak hasil-hasil litbang yang langsung dapat diterapkan. Hasil litbang masih belum dapat dimanfaatkan, baik dalam rangka pemecahan masalah di bidang teknis, membantu dunia usaha dalam kegiatan proses produksi maupun kegiatan manajemen lainnya. Hasil kajian yang dihasilkan masih kurang diminati dunia usaha karena adanya ketidaksesuaian antara hasil litbang dengan kebutuhan yang didasarkan pada tuntutan konsumen. Hal ini menyebabkan implementasi hasil litbang masih rendah. Oleh karena itu, upaya peningkatan komersialisasi hasil litbang memerlukan suatu perencanaan program yang lebih holistik, dengan melibatkan calon pengguna. Penyusunan rencana juga harus memperhatikan standar-standar teknologi yang berlaku di dunia usaha, pola kerjasama yang berlaku dalam komersialisasi hasil litbang. Perencanaan harus memperhatikan faktor-faktor lain. Faktor yang mempunyai peran penting adalah faktor finansial, yang secara kondusif dapat mendukung upaya komersialisasi hasil litbang secara lebih proporsional dan berpihak kepada lembaga dan jajaran penelitiannya.

Bab 3 Evaluasi dan Analisis Kebijakan Penguatan Inovasi dalam Peraturan Perundang-undangan
Penguatan inovasi secara garis besar ditandai adanya elemen-elemen/aktor yang melakukan jejaring untuk saling berinteraksi menghasilkan inovasi. Di Indonesia, secara umum penguatan inovasi antar elemen-elemen atau aktor penghasil teknologi masih kurang. Kurangnya komunikasi dan interaksi menyebabkan penerapan inovasi yang dihasilkan oleh aktor/lembaga penghasil inovasi tersebut belum dapat didayagunakan sepenuhnya. Padahal lembaga penelitian, perguruan tinggi, industri dan pihak terkait lainnya sebagai aktor/lembaga yang tercakup dalam penguatan inovasi akan menjadi kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi nasional. Mengacu pada strategi penguatan inovasi dari Kementerian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ministry of Education, Culture, Sport, Science and Technology, secara resmi disingkat MEXT) Jepang yang telah dikemukakan di bab sebelumnya, maka secara konseptual dapat diperlihatkan posisi lembaga pendukung atau penunjang. Lembaga-lembaga ini merupakan lembaga-lembaga yang berwenang untuk membuat kebijakan tentang perekonomian, infrastruktur sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pajak dan keuangan. Kebijakan-kebijakan ini berperan menunjang kemantapan panggung (platform) basis pengetahuan untuk interaksi atau kerjasama antara pengembang dengan pengguna teknologi. Menurut konsepsi ini, fondasi yang paling mendasar dalam penguatan inovasi adalah lingkungan, budaya, tradisi, dan karakter bangsa. Selanjutnya perlu adanya kemantapan panggung untuk para aktor utama inovasi dalam berkiprah ak an tergantung pada dukungan kebijakan dan regulasi yang relevan. Tahap berikutnya adalah dukungan kegiatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi yang berujung pada produk/barang dan/atau jasa yang sesuai dengan permintaan pasar. Pada ketiga tahapan posisi dan peran lembaga intermediasi sangat diperlukan dalam mewujudkan suatu sistem inovasi. Kinerja dan perkembangan inovasi nasional sangat dipengaruhi oleh peraturan perundangundangan maupun kebijakan di berbagai sektor yang terkait. Olehkarena itu diperlukan evaluasi dan analisis kebijakan penguatan inovasi dalam peraturan perundang-undangan terkait. Peraturan ini terutama terkait dengan peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, perdagangan dan industri, bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang pendidikan, bidang ketenagakerjaan, bidang pendidikan, serta peraturan perundang-undangan lainnya berkaitan dengan infrastruktur sosial.

46

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

1. Bidang Perindustrian dan Perdagangan Stabilitas makro ekonomi sangat penting bagi dunia bisnis, sehingga akan sangat menentukan tingkat daya saing (competitiveness) suatu negara. Walaupun tentu saja, produktivitas suatu negara tidak hanya ditentukan oleh stabilitas makro ekonominya. Pemerintah tidak akan dapat melakukan pelayanan publik dengan baik, jika selalu terbelit hutang dan keharusan membayarnya dengan suku bunga tinggi atau dalam kondisi cenkeraman persoalan makro ekonomi yang tidak mampu dituntaskan. Perusahaan tidak dapat berbisnis secara efisien dan bergairah jika inflasi tidak dapat diprediksi. Dengan demikian perekonomian tidak dapat tumbuh secara ber-kesinambungan jika kondisi makro ekonomi tidak stabil. Kondisi makro ekonomi Indonesia untuk periode 2008-2010 tergolong stabil. Berdasarkan survei World Economic Forum (WEF, 2010), skor untuk stabilitas makro ekonomi Indonesia pada tahun 2010 mencapai 5,2 dan menduduki peringkat 35 dari 139 negara yang disurvei. Jika persepsi masyarakat dunia terhadap stabilitas makro ekonomi ini dapat terus dipelihara dan jika mungkin terus ditingkatkan, maka akan semakin menarik bagi kalangan bisnis untuk berinvestasi dan menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia. Tumbuh kembang kegiatan bisnis akan membuka peluang untuk peningkatan daya beli masyarakat dan memperbesar kapasitas pasar domestik (market size). Untuk periode 20082010, berdasarkan survei WEF peringkat ukuran pasar domestik Indonesia juga terus meningkat, berturut-turut dari peringkat 17 (2008), menjadi 16 (2009) dan 15 (2010). Survei yang dilakukan oleh UNCTAD (2009) tentang prospek investasi dunia ( World Investment Prospects Survey) menyimpulkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 9 dunia, setelah Cina, Amerika Serikat, India, Brazil, Rusia, Inggeris, Jerman, dan Australia (Gambar 3). Namun demikian, peringkat ini perlu dilihat secara cermat, karena daya tarik utama bagi para investor untuk menanamkam modalnya adalah ukuran pasar domestik dan laju pertumbuhan pasar domestik dari negara tujuan invenstasi tersebut. Dua faktor ini lebih dominan dalam pengambilan keputusan untuk berinvestasi dibandingkan dengan program insentif yang ditawarkan, ketersediaan dan kemurahan upah tenaga kerja, akses untuk pengelolaan sumberdaya alam, dan efektivitas peran pemerintah. Indonesia dengan penduduknya yang lebih dari 237 juta jiwa dengan daya beli yang relatif baik merupakan pasar domestik yang sangat potensial bagi investor asing. Pasar domestik Indonesia akan menjadi sasaran empuk bagi investor asing jika Indonesia tidak mampu membangun SINas yang kuat untuk menopang pembangunan ekonomi nasional. Makro ekonomi yang terpelihara stabilitasnya dan kapasitas pasar domestik yang terus membesar merupakan ekosistem yang positif untuk tumbuh-kembang SINas. Peningkatan kapasitas pasar bermakna peningkatan permintaan masyarakat akan barang dan jasa, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Peningkatan permintaan barang dan jasa yang lebih banyak dan/atau lebih bermutu akan meningkatkan kebutuhan industri akan teknologi yang lebih sesuai. Dinamika ini membuka peluang dan tantangan bagi lembaga pengembang teknologi untuk melakukan riset yang relevan dengan kebutuhan industri.

47

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Jika peningkatan kebutuhan teknologi yang relevan ini dikomunikasikan oleh industri ke pihak pengembang teknologi dan pihak pengembang teknologi mampu menyediakan paket teknologi yang tidak hanya relevan, tetapi juga handal dan sesuai kapasitas adopsi pelaku bisnis, maka SINas akan lebih dirasakan geliatnya. Pada kurun waktu yang sama (2008-2010), survei WEF juga memperlihatkan terjadinya peningkatan peringkat Indonesia dari 47 menjadi 36.

Gambar 3. Peringkat daya tarik Indonesia bagi investor asing

Kebijakan pembangunan perekonomian Indonesia yang baru diluncurkan yang dikemas dalam Keppres No. 32 Tahu 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah menetapkan enam koridor pembangunan ekonomi sesuai dengan potensi sumberdaya setempat perlu dibarengi dengan upaya membangun penguatan inovasi yang berkesesuaian. Apalagi pengembangan sumberdaya manusia dan iptek telah dipilih sebagai salah satu dari tiga strategi utamanya. Kinerja dan perkembangan SINas akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan di berbagai sektor yang terkait, termasuk perdagangan dan industri. Harus ada dorongan agar produk barang dan jasa yang diperdagangkan, terutama untuk ekspor, diutamakan sudah merupakan produk-produk jadi yang dibutuhkan oleh konsumen akhir (consumer products). Kebijakan yang berorientasi untuk mendorong ekspor agar lebih diprioritaskan pada produk jadi,

48

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

merupakan bentuk kebijakan yang secara nyata akan mendorong adopsi teknologi pada industri-industri di dalam negeri, sekaligus membuka lapangan kerja, dan meningkatkan nilai tambah produk yang diekspor. Indonesia saat ini masih dominan mengekspor komoditas atau bahan mentah (raw materials) atau produk-produk setengah-jadi (intermediate products) yang secara ekonomi merugikan dan secara ekologi kurang bersahabat, karena cenderung mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan mempunyai nilai ekonomi yang rendah. Ungkapan yang dikemukakan Surapranata (2011) patut direnungkan, bahwa seharusnya Indonesia tidak mengekspor bahan baku dan keringat, tetapi lebih didorong untuk mengekspor produk yang dihasilkan dengan keringat anak bangsa di dalam negeri. 22 Upaya meningkatkan nilai tambah komoditas atau produk ekspor sudah dilakukan, tetapi dirasakan masih belum optimal, misalnya produk sawit yang diekspor masih sangat dominan berbentuk minyak sawit kasar (crude palm oil, disingkat CPO). Ekspor dalam bentuk produk dengan muatan teknologi tinggi sudah ada namun masih relatif rendah porsinya (Gambar 4). Sejak akhir tahun 1980-an sudah mulai ada produk dengan muatan teknologi tinggi, tetapi masih sangat rendah, yakni hanya sekitar 1 persen; kemudian secara berangsur naik dan mencapai puncaknya pada awal tahun 2000-an yang mencapai kisaran antara 14-16 persen; tetapi pada akhir tahun 2000-an kembali menurun menjadi sekitar 10 persen.

Sumber: The World Bank, diunduh dari tradingeconomics.com (18 Januari 2011) Gambar 4. Persentase ekspor produk Indonesia dengan kandungan teknologi tinggi, periode 1989-2008

22

Disampaikan oleh Suharna Surapranata, Menteri Negara Riset dan Teknologi, pada Rapim Lengkap Kementerian Riset dan Teknologi, hari selasa 18 Januari 2011. Bermakna bahwa sebaiknya tidak mengekspor bahan mentah dan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, tetapi perlu didorong untuk mengekspor barang jadi yang diproduksi di dalam negeri dengan memanfaatkan tenaga kerja dan teknologi nasional.

49

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Saat ini Indonesia masih dihadapkan pada dua kendala yang menjadi tantangan utama, yakni: [1] keterbatasan kapasitas investasi nasional di sektor industri hilir untuk mengolah bahan mentah atau bahan setengah jadi menjadi produk jadi; sedangkan investor asing lebih banyak tertarik pada bidang usaha yang terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam, baik di sektor pertanian (terutama perkebunan) maupun di sektor pertambangan; dan [2] belum siapnya teknologi nasional untuk menyokong tumbuh kembang industri hilir tersebut, yakni kapasitas untuk mengembangkan teknologi yang relevan, handal, dan secara ekonomi kompetitif dibanding produk teknologi serupa yang tersedia di pasar dunia. Indonesia tak akan mampu membangun kemandirian perekonomiannya jika tidak mampu mengatasi dua tantangan utama ini. Indonesia memang juga telah mengekspor produk teknologi tinggi. Produk dengan muatan teknologi tinggi mencakup produk-produk yang membutuhkan intensitas R&D tinggi, seperti produk kedirgantaraan (aerospace), komputer, farmasi (pharmaceuticals), instrumen riset (scientific instruments), dan electrical machinery. Namun demikian, nilai ekspor produk-produk bermuatan teknologi tinggi tersebut sejak tahun 2000 tidak mengalami kemajuan yang berarti dan relatif stagnan, yakni hanya berfluktuasi sekitar 4,4 sampai 6,5 milyar dolar Amerika (Tabel 2). Kontribusi produk teknologi tinggi ini masih sangat rendah dibandingkan dengan nilai total ekspor Indonesia pada periode tersebut.

1.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Perdagangan dan Industri. 1.1.1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Menurut UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional. Sebagai upaya mendorong kemampuan teknologi nasional, Pasal 10 Ayat (4) menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu terkait dengan riset, kegiatan penanaman modal di Indonesia dapat memperoleh fasilitas. Pasal 18 Ayat (3) menyebutkan, bahwa untuk mendapatkan fasilitas sekurang-kurangnya kegiatan penanaman modal memenuhi salah satu kriteria berikut ini: a. menyerap banyak tenaga kerja; b. termasuk skala prioritas tinggi;

50

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

c. termasuk pembangunan infrastruktur; d. melakukan alih teknologi; e. melakukan industri pionir; f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah g. perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu; h. menjaga kelestarian lingkungan hidup; i. j. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau

k. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. Menurut ketentuan di atas, inovasi termasuk kriteria yang dapat diajukan untuk memperoleh fasilitas penanaman modal. Selanjutnya dalam pasal ini disebutkan mengenai kemungkinan pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu, terutama bagi penanaman modal baru bagi industry pionir. Industri pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan luas, mempunyai nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. 1.1.2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

a. meningkatkan kemampuan di bidang desain dan teknologi serta pengendalian mutu; b. meningkatkan kerjasama dan alih teknologi; c. meningkatkan kemampuan Usaha Kecil dan Menengah di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan teknologi baru; d. memberikan insentif kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mengembangkan teknologi dan melestarikan lingkungan hidup; dan e. mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak atas kekayaan intelektual. Guna mengembangkan kemampuan UMKM menjadi usaha yang tangguh dan mandiri, pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dapat memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan yang saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Kemitraan antar UMKM dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber

51

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Peraturan perundang-undangan ini antara lain menyebutkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang (a) produksi dan pengolahan, (b) pemasaran, (c) sumber daya manusia; dan (d) desain dan teknologi. Selanjutnya terkait dengan pengembangan dalam bidang desain dan teknologi, alih teknologi maupun inovasi merupakan salah satu strategi yang perlu dikembangkan. Selain itu UMKM dapat melakukan:

daya manusia, dan teknologi. Menurut UU No. 20 Tahun 2008, UMKM yang melakukan kemitraan dimungkinkan untuk mendapatkan insentif. Menurut Pasal 25, Menteri dan Menteri Teknis mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan UMKM melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Sementara dukungan kelembagaan ditujukan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi inkubator, lembaga layanan pengembangan usaha, konsultan keuangan mitra bank, dan lembaga profesi sejenis lainnya sebagai lembaga pendukung pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Yang dimaksud dengan inkubator adalah lembaga yang menyediakan layanan penumbuhan wirausaha baru dan perkuatan akses sumber daya kemajuan usaha kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai mitra usahanya. Inkubator yang dikembangkan meliputi: inkubator teknologi, bisnis, dan inkubator lainnya sesuai dengan potensi dan sumber daya ekonomi lokal. Adapun yang dimaksud dengan lembaga layanan pengembangan usaha (bussines development services-providers) adalah lembaga yang memberikan jasa konsultasi dan pendampingan untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 1.1.3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum RI yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. KEK terdiri atas satu atau beberapa zona, antara lain zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk ekspor dan untuk dalam negeri. Upaya-upaya penguatan inovasi dapat masuk KEK, sebagai upaya pengembangan teknologi tertentu untuk meningkatkan daya saing produk barang dan jasa. Pengusaha mendapat fasilitas dan kemudahan dalam KEK. Pasal 30 menyebutkan bahwa (1) setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh), dan Ayat (2) menyebutkan, selain fasilitas PPh dapat diberikan tambahan fasilitas PPh sesuai dengan karakteristik zona. Selain itu, Pasal 32 ayat (1), menyebutkan bahwa impor barang ke KEK dapat diberikan fasilitas berupa, antara lain: a. penangguhan bea masuk; b. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong produksi; c. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena pajak; dan

52

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

d. tidak dipungut PPh impor. 1.1.4. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional Terkait dengan penguatan inovasi, Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional antara lain menyebutkan, Pemerintah dapat memberikan fasilitas, antara lain kepada kepada: industri yang melakukan penelitian, pengembangan dan inovasi; dan industri yang melakukan alih teknologi. Fasilitas tersebut berupa insentif fiskal, insentif non-fiskal, dan kemudahan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Permohonan pemberian fasilitas diajukan kepada Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Meskipun insentif fiskal diberikan oleh Kementerian Keuangan, namun demikian bentuk insentif non fiskal maupun kemudahan lainnya merupakan peluang untuk mendorong kebijakan-kebijakan yang diperlukan. Sebagai upaya mendorong penguatan inovasi nasional, Perpres No. 28 Tahun 2008 memungkinkan pengembangan kebijakan dalam upaya peningkatan penggunaan produksi dalam negeri dalam rangka penghematan; pengembangan sumberdaya manusia sektor industri secara intensif melalui akselerasi transformasi teknologi; produk melalui teknologi tepat guna, disamping manajemen dan kewiraswastaan. Selain itu, Perpres No. 28 Tahun 2008 juga menekankan perlunya pengembangan teknologi industri melalui: a. peningkatan kapasitas (pendalaman) teknologi pada sistem produksi; b. peningkatan jumlah penemuan baru hasil litbang nasional yang dapat dimanfaatkan oleh sistem produksi; c. peningkatan kapasitas difusi teknologi pada sistem produksi; d. peningkatan kapasitas kelembagaan teknologi dalam mendukung sistem produksi; e. peningkatan intermediasi dan pola insentif yang mendorong kemitraan dan kegiatan litbang di dunia usaha; f. mendorong pengembangan rancang bangun dan perekayasaan industri dan pembentukan lembaga R&D dalam rangka inovasi teknologi dan pengembangan bahan baku alternatif; g. meningkatkan infrastruktur untuk mendukung pengembangan iptek untuk menciptakan dan menyerap teknologi dan invoasi yang berorientasi pasar.

2. Bidang Keuangan dan Perpajakan 2.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Keuangan dan Perpajakan. 2.1.1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Dalam UU No. 36 Tahun 2008 disebutkan tidak semua penghasilan menjadi obyek pengenaan pajak. Ada pula penghasilan wajib pajak yang dapat dijadikan faktor pengurang pajak

53

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

penghasilan bruto, antara lain yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan. Ketentuan UU No. 36 Tahun 2008 menyebutkan, yang menjadi faktor pengurang (tax deduction) penghasilan bruto, yaitu biaya penelitian perusahaan dan/atau sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan di Indonesia. Selanjutnya dalam peraturan pelaksanaannya, bukan menjadi obyek pajak adalah sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba di bidang pendidikan formal dan/atau penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali dalam jangka waktu 4 tahun. Adanya ketentuan pengecualian sebagai obyek pajak atau pengurangan penghasilan bruto merupakan fasilitas atau insentif di bidang perpajakan yang diberikan untuk mendorong kemampuan riset, inovasi dan investasi riset dan pengembangan badan usaha/industri di Indonesia. 2.1.2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Menurut UU No. 17 Tahun 2006 ini dimungkinkan pemberian insentif dan fasilitas untuk mendorong inovasi dan investasi R&D swasta nasional. Insentif ini berupa pembebasan bea masuk atas impor buku ilmu pengetahuan dan barang atau peralatan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Pasal 25). Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yaitu barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan penelitian/riset atau percobaan guna peningkatan atau pengembangan suatu penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari kementerian terkait. 2.1.3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu Sejalan dengan upaya penguatan inovasi maupun investasi di bidang riset swasta di Indonesia, menurut PP No. 1 Tahun 2007, pemerintah dapat memberikan fasilitas insentif pajak. Wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah tertentu dapat diberikan insentif dan fasilitas pajak penghasilan. Pasal 2 menyebutkan bahwa wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan berupa: (a) pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5 % (lima persen) per tahun, (b) penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, (c) pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan

54

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(d) kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. 2.1.4. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastuktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto PP No. 93 Tahun 2010 merupakan aturan pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (yang telah diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008). Melalui peraturan ini, diharapkan dapat meningkatkan pendanaan riset dari pihak swasta. Sumbangan dari pihak swasta ini akan mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Bagi wajib pajak swasta yang menyumbangkan sebagian pendapatannya untuk kegiatan penelitian dan pengembangan iptek dapat memperoleh fasilitas pajak/keringanan pajak. Pasal 1 menyebutkan bahwa sumbangan dan/atau biaya terkait penelitian dan pengembangan dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam satu tahun. 2.1.5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan Di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Peraturan ini memuat ketentuan berkaitan dengan perlakuan perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam KAPET, diberikan perlakuan di bidang Pajak Penghasilan (fasilitas perpajakan) sebagai berikut: a. penyusutan dan atau amortisasi yang dipercepat; b. kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai paling lama 10 (sepuluh) tahun; c. pajak penghasilan menurut Pasal 26 atas dividen sebesar 10%. Sedangkan yang dimaksudkan KAPET, menurut Keppres No. 150 Tahun 2000 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu adalah wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan: a) memiliki potensi untuk cepat tumbuh; dan/atau; b) mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya; dan/ atau c) memiliki potensi pengembalian investasi yang besar. Setiap Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB) di dalam wilayah KAPET juga dapat diberikan fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas : a. impor barang modal atau peralatan lain oleh PDKB yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi; b. impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB; c. pemasukan Barang Kena Pajak dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya, untuk selanjutnya disebut DPIL, ke PDKB untuk diolah lebih lanjut;

55

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

d. pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut; e. pengeluaran barang dan atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka subkontrak; f. penyerahan kembali Barang Kena Pajak hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha Kena Pajak di DPIL atau PDKB lainnya kepada Pengusaha Kena Pajak PDKB asal; g. peminjaman mesin dan atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal.

3. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 3.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 3.1.1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Diundangkannnya UU No.18 Tahun 2002 memberikan manfaat besar bagi pengembangan Iptek di Indonesia, karena: 1) memberikan landasan hukum; 2) mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan sumber daya Iptek secara lebih efektif;

4) mengikat semua pihak, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk berperan serta secara aktif. Dalam rangka memadukan sinergisme kerja berbagai unsur kelembagaan Iptek, UU No. 18 Tahun 2002 menjelaskan mengenai perlunya penguatan jaringan sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek (sisnas litbangrap iptek). Jaringan tersebut berfungsi untuk membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur unsur kelembagaan iptek (lembaga litbang, perguruan tinggi, badan usaha dan lembaga penunjang lainnya) untuk menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih besar dibandingkan apabila masing-masing unsur kelembagaan berjalan secara sendiri-sendiri. Untuk mengembangkan jaringan tersebut seluruh elemen Sisnas Iptek wajib mengusahakan kemitraan dalam hubungan yang saling mengisi, melengkapi, memperkuat, dan menghindarkan terjadinya tumpang tindih yang merupakan pemborosan. Kunci penting untuk terlaksananya sinergisme kerja antar unsur Sisnas Iptek adalah terbangunnya suatu sistem perencanaan pembangunan nasional Iptek dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Pasal 18 dan 19 UU No. 18 Tahun 2002 menyatakan bahwa Pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang Iptek yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan nasional Iptek.

56

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

3) menggalakkan pembentukan jaringan; dan

Salah satu kewajiban Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam UU No. 18 Tahun 2002 adalah mengkoordinasikan perumusan kebijakan strategis pembangunan nasional Iptek dengan mempertimbangkan segala masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan Iptek. Dalam skala yang lebih kecil, Pasal 20 UU No. 18 Tahun 2002 menjelaskan mengenai kewajiban Pemerintah Daerah untuk merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan pembangunan daerah Iptek yang dituangkan dalam kebijakan strategis pembangunan Iptek di daerah. Seperti halnya di tingkat nasional, Pemerintah Daerah juga dalam merumuskan kebijakan strategisnya harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan Iptek. Dalam perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan Iptek, Menteri wajib memperhatikan: 1) penguatan ilmu dasar dan kapasitas litbang; 2) penguatan pertumbuhan industri berbasis hasil litbang; 3) penguatan kemampuan audit teknologi yang dikaitkan dengan penguatan Standar Nasional Indonesia (SNI). 4) Mengembangkan instrumen kebijakan yang diperlukan, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk mendukung perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan Iptek dibentuk Dewan Riset Nasional dan Dewan Riset Daerah. Dengan demikian, dapat dikatakan UU No. 18 Tahun 2002 merupakan pedoman dan landasan hukum utama dalam pelaksanaan pembangunan iptek nasional. Sebagai Undang-Undang yang mengatur sistem iptek nasional, peraturan perundang-undangan ini sangat menekankan pentingnya pembentukan jaringan yang menjalin hubungan interaktif semua unsur kelembagaan iptek sehingga kapasitas dan kemampuannya dapat bersinergi secara optimal. Dalam upaya penguatan inovasi, beberapa ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2002 dapat menjadi acuan, antara lain: a. Setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan, dan inovasi yang dibiayai pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh perguruan tinggi, lembaga riset, dan badan usaha yang melaksanakannya (Pasal 13 ayat (4)). b. Perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri (Pasal 16 ayat (3)). c. Dalam menetapkan prioritas utama dan mengembangkan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri antara lain wajib memperhatikan pentingnya upaya penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi

57

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan (Pasal 19 ayat (3) huruf b.). d. Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah (Pasal 26). e. Badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan (Pasal 28 ayat (1)). f. Anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan dalam lingkungan sendiri dan dapat pula digunakan untuk membentuk jalinan kemitraan dengan unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi lain (Pasal 28 ayat (2)). 3.1.2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

UU No. 31 Tahun 2009 secara tegas menekankan perlunya penguatan inovasi dan alih teknologi dalam pengembangan industri meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Pasal 78 UU No. 31 Tahun 2009 menyebutkan pengembangan industri meteorologi, klimatologi, dan geofisika yang mencakup inovasi dan alih teknologi harus mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya nasional. 3.1.3.

PP ini merupakan peraturan pelaksanaan ketentuan Pasal 69 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 2 disebutkan, litbang kesehatan bertujuan untuk memberikan masukan iptek serta pengetahuan lain yang diperlukan untuk menunjang pembangunan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Menurut PP No. 39 Tahun 1995 litbang kesehatan dapat diselenggarakan oleh lembaga asing, atau melibatkan peneliti asing, atau kerja sama dengan lembaga asing yang memenuhi persyaratan. Pengaturan kegiatan litbang asing dalam PP No. 39 Tahun 1995 mempunyai keterkaitan dengan PP No. 41 Tahun 2006 tentang Perizinan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing dan Orang Asing, dimana disebutkan kegiatan litbang asing dilakukan atas dasar izin berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penelitian bagi orang asing. 3.1.4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi Peraturan ini merupakan peraturan pelaksanan UU No. 18 Tahun 2002. Peraturan ini memberi kewenangan kepada Menteri yang membidangi riset dan teknologi untuk memberikan rekomendasi insentif di bidang perpajakan maupun bantuan teknis (technical assistance)

58

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

dalam rangka mendorong kemampuan peningkatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi di badan usaha. Berdasarkan peraturan ini, badan usaha dapat mengajukan permohonan rekomendasi insentif litbang kepada Menteri. Namun dalam hal ini, kewenangan Menteri hanya sebatas memberikan rekomendasi scientific opinion kepada instansi yang berwenang dibidang perpajakan maupun lembaga pemberi bantuan teknis. Keputusan persetujuan dan penolakan pemberian insentif tetap berada dalam kewenangan masing-masing instansi yang berwenang dimaksud. Ketentuan dan pelaksanaan insentif atau fasilitas perpajakan yang dimaksud dalam PP No. 35 Tahun 2007 berkaitan erat dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan (insentif fiskal). UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan, PP No. 1/2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu, PP No. 93 Tahun 2010 dan UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan merupakan beberapa peraturan perundang-undangan yang menyediakan insentif riset. Sementara itu, insentif bantuan teknis (insentif non fiskal) berhubungan dengan penempatan tenaga ahli peneliti, perekayasan dan dosen atau pemanfaatan laboratorium-laboratorium milik pemerintah. Pelaksanaan insentif bantuan teknis terkait dengan ketentuan UU Kepegawaian, PP No. 12 Tahun 2002 jo. PP No. 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS maupun ketentuan-ketentuan yang terkait dengan aturan tentang lembaga Kementerian LPNK dan LPK. Dari sisi regulasi, sebenarnya pemerintah sudah berupaya mengakelarasi kegiatan riset dan inovasi dunia usaha atau untuk mendorong inovasi dan investasi R&D swasta. Sehingga persoalannya bukan pada kekosongan peraturan, namun bagaimana penyusunan kebijakan pelaksanaannya dapat bersinergi dengan baik. Upaya ini mutlak dilakukan, mengingat regulasi masih menyisakan sejumlah pertanyaan selain sifatnya cenderung sektoral sehingga tidak mudah implementasinya. Pertanyaan menyangkut UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan misalnya, antara lain berkaitan dengan bagaimana kriteria yang menentukan badan usaha mendapatkan tax deduction, atau bagaimana urgensi dan pengaruh pemberian fasilitas/insentif terkait dengan usaha peningkatan kemampuan inovasi nasional. 3.1.5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Peraturan Pemerintah ini merupakan penjabaran Pasal 16 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2002, yang menekankan pentingnya alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan-kegiatan litbang agar memberikan nilai tambah ekonomi dan dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam memperbaiki kualitas hidup. Selain itu, beberapa ketentuan dalam PP No. 20 Tahun 2005 menekankan pentingnya sinergi antara perguruan tinggi dan lembaga riset/riset dengan badan usaha, seperti Pasal 26 huruf a

59

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

yang menyatakan bahwa sinergi berprinsip mempertukarkan dan/atau mengintegrasikan sumber daya tertentu untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat tertentu. Sedang Pasal 20, menyatakan bahwa sinergi perguruan tinggi dan lembaga litbang dengan lembaga riset lainnya dapat dilakukan antara lain dengan mekanisme perjanjian kerjasama maupun perjanjian lisensi. Upaya ini diharapkan juga mendorong inovasi di sektor usaha. Sebagai peraturan pelaksanaannya, antara lain Peraturan Menteri Negara Riset Dan Teknologi No. 04/M/PER/III/2007 tentang Tata Cara Pelaporan Kekayaan Intelektual, Hasil Kegiatan Penelitian Dan Pengembangan Dan Hasil Pengelolaannya. Di dalam peraturan menteri ini, perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan harus melaporkan hak kekayaan intelektual yang telah diperoleh dan/atau yang sedang dalam proses pendaftaran, hasil kegiatan penelitian dan pengembangan milik pemerintah dan/atau pemerintah daerah, serta pengelolaannya kepada Menteri. Tujuan pelaporan adalah untuk mendayagunakan hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang dibiayai oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan hidupnya. 3.1.6. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan

Menurut PP No. 30 Tahun 2008 penyelenggaraan litbang perikanan bertujuan untuk: a. meningkatkan kemandirian dalam penguasaan iptek di bidang perikanan; b. mengungkapkan dan memahami potensi dan permasalahan sumber daya ikan dan lingkungannya serta mengembangkan teknologi pengelolaan perikanan dan konservasi sumber daya ikan; dan c. menyiapkan dan menyediakan basis ilmiah yang kuat dan teknologi tepat guna sebagai kunci dalam menyusun kebijakan pengelolaan dan pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal. Dalam rangka pengembangan kerjasama litbang perikanan, Pasal 15 menyebutkan penyelenggaraan litbang perikanan dapat bekerja sama dengan pelaksana litbang; pelaku usaha perikanan; asosiasi perikanan; dan/atau lembaga litbang milik asing. Kerjasama ini meliputi penyediaan tenaga ahli, asistensi teknis litbang, penyediaan dana dan sarana litbang, pendidikan dan pelatihan serta kegiatan lain yang dapat mempercepat pembangunan perikanan. 3.1.7. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penelitian dan Pengembangan, Serta Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan

Menurut PP No. 12 Tahun 2010 kegiatan litbang kehutanan meliputi kegiatan: (a) penelitian dasar, (b) penelitian terapan, (c) penelitian kebijakan; dan/atau (d) pengembangan eksperimental. PP ini juga menyebutkan, kegiatan litbang kehutanan diselenggarakan oleh Pemerintah, dan dapat bekerja sama dengan lembaga litbang pemerintah provinsi, lembaga litbang kabupaten/kota, perguruan tinggi, badan usaha, dan masyarakat.

60

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Penyelenggaraan litbang, serta diklat kehutanan dilaksanakan dengan memperhatikan: a. ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional, serta kondisi social budaya masyarakat; b. potensi dan karakteristik biofisik setempat guna menjamin terjaganya kekayaan plasma nutfah khas Indonesia dari pencurian atau gangguan lainnya yang mengancam punahnya plasma nutfah tersebut. Berkaitan dengan kerjasama penelitian internasional, sebagaimana PP No. 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, PP No. 12 Tahun 2010 juga mempunyai keterkaitan dengan PP No. 41 Tahun 2006 tentang Perizinan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing dan Orang Asing. Pasal 22 menyebutkan, lembaga litbang asing, peneliti asing, perguruan tinggi asing, atau badan usaha asing dapat menyelenggarakan litbang kehutanan setelah mendapatkan izin dari instansi Pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya di ayat (2)-nya disebutkan lembaga litbang asing, peneliti asing, perguruan tinggi asing, atau badan usaha asing dalam menyelenggarakan litbang kehutanan harus bekerja sama dengan Badan Litbang Kehutanan Kementerian. 3.1.8. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional Kebijakan inovasi nasional di Indonesia perlu dilaksanakan secara terencana, terpadu, terintegrasi, dan terkoordinasi dalam satu kesatuan Sistem Inovasi Nasional (SINas) guna meningkatkan produktifitas nasional dan mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa. Dalam rangka penguatan SINas ini dibentuk Komite Inovasi Nasional (KIN). Dalam Perpres ini yang dimaksud dengan SINas adalah suatu jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor swasta dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka panjang dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikan kegiatan untuk menghasilkan, mendayagunakan, merekayasa inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan menerapkan serta mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaat nyata temuan dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat. KIN mempunyai tugas untuk: (a) membantu Presiden dalam rangka memperkuat sistem inovasi nasional dan mengembangkan budaya inovasi nasional; (b) memberi masukan dan pertimbangan mengenai prioritas program dan rencana aksi, termasuk alokasi pembiayaan dan fasilitas untuk penguatan sistem inovasi nasional yang menghasilkan produk produk inovatif, dan (c) melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan dan program penguatan SINas. Menurut Perpres No. 23 Tahun 2010, penguatan SINas diutamakan mencakup inovasi-inovasi di bidang ketahanan pangan, ketahanan energi, bioteknologi, industri manufaktur, industriinfrastruktur, transportasi dan industri pertahanan, teknologi pemrosesan pertanian dan pemrosesan ikan laut dalam, manajemen bencana alam, serta inovasi lainnya yang berbasis ilmu pengetahuan (knowledge).

61

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

3.1.9. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Dewan Riset Nasional (DRN) Peraturan Presiden tentang DRN mengatur tentang pelaksanaan tugas DRN dalam membantu Menteri dalam merumuskan arah, prioritas utama maupun kerangka kebijakan di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam melaksanakan tugasnya itu, DRN memperhatikan pemikiran dan pandangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuai Perpres No. 16 Tahun 2005, tugas utama DRN adalah : a. membantu Menteri dalam merumuskan arah dan prioritas utama pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. memberikan berbagai pertimbangan kepada Menristek dalam penyusunan kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi. 3.1.10. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Instruksi Presiden dalam memberi arahan perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan strategis pembangunan nasional iptek (Jakstranas Iptek). Perumusan Jakstranas Iptek dilakukan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi secara terkoordinasi dengan instansi-instansi terkait. Koordinasi dilakukan terutama untuk menentukan dan melaksanakan arah kebijakan, prioritas utama dan kerangka kebijakan pemerintah dalam pembangunan iptek secara nasional.

4. Bidang Pendidikan. Dalam konteks penguatan inovasi, jenjang pendidikan yang paling relevan adalah pada strata 2 dan 3 untuk dukungan kemampuan individual dan kapasitas pengembangan teknologi nasional; sedangkan pendidikan menengah kejuruan23, program diploma, dan strata 1 lebih dilihat relevansinya sebagai elemen pendukung penguatan kapasitas adopsi dari sisi pengguna teknologi, yakni sebagai tenaga kerja terampil untuk aplikasi teknologi di perusahaan industri, atau usaha mandiri skala kecil dan menengah.
Tahun 1989 1990 1991 1992 1993
23

Nilai Ekspor (juta USD) 79 112 197 465 850

Tahun 1999 2000 2001 2002 2003

Nilai Ekspor (juta USD) 2.672 5.698 4.403 5.070 4.580

Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Lebih spesifik berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang pendidikan menengah, menjelaskan bahwa pendidikan kejuruan mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk pelaksanaan jenis pekerjaan tertentu.

62

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

1994 1995 1996 1997 1998

1.340 1.658 2.250 2.561 2.188

2004 2005 2006 2007 2008

5.808 6.571 5.900 5.225 5.625

Tabel 2. Persentase ekspor Indonesia dengan kandungan teknologi tinggi untuk periode 1989-2008 Sumber : The World Bank, diunduh dari tradingeconomics.com (18 Januari 2011)

Secara umum program pendidikan Indonesia belum dirancang agar dapat optimal mendukung tumbuh kembang inovasi. Sebagai contoh, riset tugas akhir program strata 2 dan 3 (thesis dan disertasi) masih dominan diposisikan hanya sebagai indikator penguasaan bidang ilmu yang sesuai dengan program studi yang diikuti; sedangkan upaya untuk meningkatkan relevansinya dengan realita di bidang ilmu yang bersangkutan masih dirasakan minimal. Dengan kata lain, topik riset masih ditentukan oleh keinginan mahasiswa dan arahan pembimbing/promotornya, belum didorong oleh kesadaran agar hasil riset tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, industri, ataupun kebutuhan pemerintah. Beberapa pengecualian tentu ada, tetapi arus utamanya harus diakui masih murni berorientasi akademik. Idealnya, kegiatan tugas akhir yang hanya berorientasi akademik hanya diimplementasikan sampai pada jenjang strata 1 atau program diploma, karena lulusan pada jenjang ini memang masih lebih diposisikan sebagai langkah penyiapan tenaga berpengetahuan dasar yang cukup dan/atau mempunyai ketrampilan di bidangnya masing-masing. Lulusan strata 1 kemudian dapat memilih alur karirnya untuk berkiprah: [1] memperkuat kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna; atau [2] meningkatkan kemampuannya sebagai pengembang teknologi. Pendidikan program diploma dan sekolah menengah kejuruan sejak awal dirancang untuk menyiapkan tenaga terdidik dan terampil yang siap bekerja. PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 3 butir b menyatakan bahwa: Pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin mutu dan daya saing pendidikan serta relevansinya dengan kebutuhan dan/atau kondisi masyarakat. Peraturan ini jelas mengenali peran penting relevansi, disamping mutu pendidikan. Namun dalam prakteknya, unsur relevansi ini masih belum secara kentara menjadi ruh orientasi pengelolaan pendidikan di Indonesia. Akibatnya banyak lulusan pendidikan tinggi yang masih belum mendapatkan pekerjaan tetap24 dan cukup banyak pula yang berkerja di sektor yang tidak secara langsung terkait dengan latar belakang pendidikan formalnya. Konsepsi sistem inovasi nasional yang sangat baik sekalipun hanya akan bisa diimplementasikan dengan baik jika didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dengan keahlian/keterampilan yang sesuai kebutuhan. Sumberdaya manusia yang dimaksud tentunya hanya akan dapat tersedia jika sistem pendidikan nasional juga dirancang selaras dengan konsepsi sistem inovasi nasional.
24

Sekitar 1 juta orang lulusan perguruan tinggi yang saat ini masih menganggur.

63

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

4.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Pendidikan. 4.1.1. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional

Terkait dengan kegiatan penelitian, UU No. 20 Tahun 2003 yang antara lain menyebutkan: (1) bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dan (2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Kewajiban yang pertama dikenal sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pelaksanaan penelitian terutama dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan pengembangan ilmu pengetahuan dan proses belajar mengajar. Olehkarena itu perkembangan iptek juga merupakan salah satu materi kurikulum. Menurut Pasal 36 UU No. 20 Tahun 2003, kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. 4.1.2. Peraturan Pemerintah Nomor Penyelenggaraan Pendidikan 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Pasal 3 butir b menyatakan bahwa: Pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin mutu dan daya saing pendidikan serta relevansinya dengan kebutuhan dan/atau kondisi masyarakat. Peraturan ini jelas mengenali peran penting relevansi, di samping mutu pendidikan. Namun dalam prakteknya, unsur relevansi ini masih belum secara kentara menjadi ruh orientasi pengelolaan pendidikan di Indonesia. Akibatnya banyak lulusan pendidikan tinggi yang masih belum mendapatkan pekerjaan tetap25 dan cukup banyak pula yang bekerja di sektor yang tidak secara langsung terkait dengan latar belakang pendidikan formalnya.

25

Sekitar 1 juta orang lulusan perguruan tinggi yang saat ini masih menganggur.

64

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Konsepsi sistem inovasi yang sangat baik sekalipun hanya akan berhasil apabila dapat diimplementasikan dengan baik jika didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dengan keahlian/keterampilan yang sesuai kebutuhan. Sumberdaya manusia yang dimaksud tentunya hanya akan dapat tersedia jika sistem pendidikan nasional juga dirancang selaras dengan konsepsi penguatan inovasi nasional. 4.1.3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen

Menurut PP No. 37 Tahun 2009, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Berdasarkan Pasal 26, dosen memperoleh kesempatan meningkatkan kompetensi, studi serta kesempatan melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kesempatan untuk melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat mencakup kesempatan untuk memperoleh dan/atau memanfaatkan sumber daya pendidikan yang dimiliki oleh Pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan tinggi atau satuan pendidikan tinggi, dan masyarakat. Pasal 32, menyebutkan bahwa dosen dapat memperoleh cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan/atau olahraga.

5. Bidang Ketenagakerjaan.

Lebih lanjut dinyatakan pada Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003, bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan: [a] memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; [b] mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; [c] memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan [d] meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Butir b Pasal 4 di atas memberikan penegasan bahwa salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah untuk penyediaan tenaga kerja yang sesuai kebutuhan. Nuansa ini sangat sejalan dengan konsepsi penguatan inovasi nasional, dimana kebutuhan (demand) yang menentukan orientasi pembangunan dan pengembangannya. Pembangunan ketenagakerjaan sesuai dengan sifatnya akan lebih berada pada posisi sebagai pemasok kebutuhan tenaga kerja. Oleh sebab itu, hubungan yang sinergis dan serasi harus

65

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan pengertian tentang tenaga kerja, yakni mencakup setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (Pasal 1 butir 2). Apabila dikaitkan dengan tujuan pembangunan SINas sendiri, yakni untuk mewujudkan sistem pengelolaan ilmu pengetahuan dan teknologi agar lebih efektif dan efisien dalam menghasilkan produk barang dan/atau jasa sesuai kebutuhan pengguna (masyarakat, industri, atau pemerintah), maka terlihat jelas benang merah keterkaitan antara kebijakan ketenagakerjaan dengan upaya penguatan inovasi nasional.

dimulai dengan mewujudkan penguatan inovasi yang lebih mantab, dengan tujuan dan kebutuhan yang jelas. Inovasi yang dibangun berbasis pada potensi dan kebutuhan nasional bermakna telah mempertimbangkan kondisi ketenagakerjaan Indonesia, sehingga dengan sendirinya diawali dengan kesenjangan (gap) yang minimal antara kebutuhan penguatan inovasi nasional dengan ketersediaan tenaga kerja domestik. Selanjutnya, secara bertahap dilakukan upaya meningkatkan produktivitas penguatan inovasi yang dalam prosesnya tentu mengharuskan adanya peningkatan mutu dan relevansi keahlian tenaga kerja. Skenario untuk membangun keterpaduan antara pembangunan SINas dengan penyiapan tenaga kerja pendukungnya saat ini belum diformulasikan. Lebih jauh, penyiapan tenaga kerja juga tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, sangat jelas bahwa upaya mewujudkan SINas yang produktif dan efektif dalam memajukan perekonomian nasional membutuhkan keterpaduan dengan kebijakan ketenagakerjaan dan sekaligus juga dengan kebijakan pendidikan nasional (Gambar 5).

Sistem Pendidikan Nasional

Kebijakan ketenagakerjaan Produktivitas Inovasi Nasional

Kinerja Perekonomian Nasional

Gambar 5. Penyerasian Sistem Pendidikan, ketenagakerjaan, SINas, dan perekonomian nasional

Tenaga kerja berperan sekaligus sebagai subjek dan objek pembangunan. Kemajuan suatu bangsa dan negara sangat tergantung dari peran mana yang lebih besar porsinya yang diperankan oleh tenaga kerja secara kolektif. Jika lebih besar perannya sebagai subjek pembangunan yang secara aktif berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, maka bangsa dan negara tersebut akan berpeluang lebih besar untuk lebih maju; sebaliknya jika lebih banyak perannya hanya sebagai objek pembangunan, maka akan sangat berat beban yang diemban untuk memajukan bangsa dan negara tersebut. Kinerja sektor pendidikan tentu akan menjadi tumpuan utama dalam memperbesar porsi tenaga kerja yang menjadi subjek pembangunan. Dengan demikian maka keberhasilan pembangunan pendidikan harusnya tidak hanya dievaluasi berdasarkan jumlah atau persentase penduduk yang berpartisipasi pada setiap jenjang pendidikan atau persentase populasi yang menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu; tetapi perlu juga didasarkan atas persentase jumlah lulusan yang berperan sebagai subjek pembangunan atau sebagai tenaga kerja produktif yang berkontribusi terhadap keberhasilan pembangunan nasional di segala sektor.

66

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lulusan bermutu dan relevan kebutuhan lapangan kerja

SDM pengembang, pengguna & intermediasi

Kontribusi teknologi terhadap perekonomian nasional

Kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa

Selanjutnya, dalam kerangka penguatan inovasi, maka keberhasilan pembangunan sektor ketenagakerjaan perlu dievaluasi berdasarkan peran aktif dan produktifnya sebagai pengembang teknologi, pengguna teknologi dalam sistem produksi, dan intermediasi; bukan hanya sebagai konsumen barang dan/atau jasa yang dihasilkan dari hasil aplikasi teknologi semata. Posisi tenaga kerja Indonesia saat ini masih belum terlalu membanggakan, karena masih lebih banyak yang berperan dalam proses produksi barang atau jasa, tetapi untuk kegiatan-kegiatan ekonomi dengan muatan teknologi yang minimal. Kenyataan ini sebetulnya bukan hanya menjadi cerminan dari kualitas tenaga kerja yang masih rendah, tetapi juga karena industri dengan muatan teknologi tinggi masih belum berkembang di Indonesia. Kegiatan ekonomi masih dominan pada fase eksploitasi sumberdaya alam atau produksi bahan mentah, belum banyak kontribusi industri hilir terhadap perekonomian nasional.

5.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Ketenagakerjaan. 5.1.1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan : a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. 5.1.2. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS

Tenaga ahli terdiri dari peneliti, perekayasa dan dosen pemerintah adalah PNS. Tenaga ahli sebagai PNS tunduk kepada UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 12/ Tahun 2002 jo. PP No. 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS, dan Keputusan Kepala BKN No. 12 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2002 tentang Kenaikan Pangkat PNS, yang berkaitan dengan ketentuan PNS dipekerjakan atau diperbantukankan, dan hak mendapatkan tunjangan. Pasal 6 hruf c PP No. 99 Tahun 2000 menyebutkan PNS yg dipekerjakan atau diperbantukan

67

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

UU No. 13 Tahun 2003 antara lain mengatur mengenai peranan dan kedudukan tenaga kerja, pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja ini tidak terlepas dari peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam Pasal 3 disebutkan pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.

berdasarkan ketentuan Pasal ini adalah PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan secara penuh pada proyek pemerintah, organisasi profesi, negara sahabat atau badan internasional, dan badan usaha yang ditentukan. Namun ketentuan PP No. 99 Tahun 2000 tidak berlaku bagi keperluan technical assistance peneliti dan perekayasa pemerintah ke badan-badan usaha swasta. Peneliti, perekayasa dan dosen tidak diperkenankan bekerja dan diperbantukan di badan-badan usaha. Menurut pihak BKN dan Menpan, ketentuan mengenai badan usaha yang ditentukan ini hanya ditujukan bagi keperluan perbantuan guru-guru pemerintah yang mengajar ke sekolah-sekolah swasta. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2002 jo. Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS ini sangat tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendorong inovasi dan investasi R&D swasta nasional. 5.1.3. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen Serta Tunjangan Kehormatan Profesor

Berdasarkan Pasal 10 , 11 dan 12 tunjangan khusus diberikan bagi guru dan dosen PNS yang ditugaskan oleh pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, yang besarnya 1 (satu) kali gaji pokok pegawai negeri sipil yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan tunjangan khusus bagi guru dan dosen bukan PNS diberikan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik bagi guru dan dosen PNS.

5.1.4.

PP No. 31 Tahun 2007 tentang Tunjangan Jabatan Perekayasa dan Teknisi Penelitian dan Perekayasaan

PNS yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Perekayasa dan Teknisi Penelitian dan Perekayasaan diberikan tunjangan jabatan fungsional sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab pekerjaannya. Menurut Peraturan Bersama Menristek dan Kepala BKN No. 13/M/PB/VIII/2008 dan No. 22 Tahun 2008 diatur hal-hal yang berkaitan dengan usulan penilaian dan penetapan angka kredit, tim penilai, kenaikan jabatan/pangkat, pengangkatan, pembebasan sementara, pemberhentian dalam dan dari jabatan, penyesuaian/inpassing dalam jabatan dan angka kredit. Untuk menjamin adanya persamaan persepsi, pola pikir dan tindakan dalam melaksanakan pembinaan perekayasa, BPPT ditunjuk sebagai instansi pembina jabatan perekayasa. BPPT selaku pembina jabatan perekayasa, antara lain melakukan : a. menetapkan 11 standar kompetensi jabatan fungsional perekayasa;

68

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Sedangkan tunjangan kehormatan, sebagaimana Pasal 15 dan 16 diberikan kepada dosen yang memiliki jabatan akademik profesor dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan sebesar 2 (dua) kali gaji PNS yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tunjangan kehormatan bagi profesor bukan PNS diberikan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi profesor PNS.

b. menetapkan pedoman formasi jabatan fungsional perekayasa; c. menyusun kurikulum pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional perekayasa; d. melakukan pengkajian dan pengusulan tunjangan jabatan fungsional perekayasa; e. mensosialisasikan jabatan fungsional perekayasa serta petunjuk pelaksanaannya; f. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan fungsional/teknis fungsional perekayasa; g. mengembangkan sistem informasi jabatan fungsional perekayasa; h. memfasilitasi pelaksanaan jabatan fungsional perekayasa; i. memfasilitasi pembentukan organisasi profesi perekayasa; j. memfasilitasi penyusunan dan penetapan etika profesi dan kode etik perekayasa; k. melakukan monitoring dan evaluasi Jabatan Fungsional Perekayasaan

6. Bidang Infrastruktur Sosial. Infrastruktur sosial pada prinsipnya mencakup semua fasilitas yang dapat meningkatkan kapasitas dan produktivitas masyarakat. Oleh sebab itu, sering juga disebut sebagai infrastruktur komunitas (community infrastructure). Dengan demikian maka infrastruktur sosial tidak hanya mencakup soft infrastructure (seperti dukungan untuk pengembangan komunitas, keluarga, dan individu; layanan informasi; pelatihan ketrampilan; perlindungan hukum; keamanan publik; dan layanan darurat); tetapi juga mencakup hard infrastructure (seperti fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas untuk kegiatan seni dan budaya, fasilitas olahraga dan rekreasi, perumahan sehat, fasilitas lingkungan, fasilitas ibadah, dan tranportasi publik). Akibat buruk dari kurangnya perhatian dalam pembangunan infrastruktur sosial telah semakin dirasakan oleh negara-negara maju, misalnya berupa gangguan keamanan lingkungan atau mutu sumberdaya manusia yang rendah yang kemudian menjadi beban pembangunan. Kesenjangan sosial yang terjadi ternyata sangat mahal biaya remediasinya. Menyadari akan hal ini maka beberapa negara maju mulai secara sungguh-sungguh berupaya memperbaikinya. Misalnya Inggris menganggarkan hampir 3 milyar pound untuk pembenahan infrastruktur sosialnya. Pemerintah Australia juga mengambil inisiatif untuk membenahi infrastruktur sosial ini (Casey, 2005). Indonesia sebagai negara berkembang kelihatannya belum menunjukkan perhatian yang baik terhadap infrastruktur sosial ini pada sebagian besar wilayah perdesaan dan lingkungan kumuh perkotaan. Akibatnya kesenjangan sosial-ekonomi antara perdesaan dan perkotaan semakin melebar. Kenyataan ini telah secara nyata menyebabkan laju urbanisasi yang semakin sulit dibendung. Kesenjangan antara komunitas kaya dan miskin di perkotaan juga terasa semakin melebar. Kondisi ini menyebabkan antara lain semakin meningkatnya frekuensi kerusuhan di

69

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

perkotaan. Walaupun banyak yang mengkaitkan fenomena kerusuhan ini sebagai dampak dari demokratisasi di Indonesia. Kesenjangan sosial-ekonomi jelas tidak compatible dengan upaya membangun inovasi nasional yang produktif dan berkelanjutan. Oleh sebab itu, dalam skenario besar pengembangan sistem inovasi nasional Indonesia perlu disediakan ruang untuk pembangunan infrastruktur sosial. Beberapa peraturan perundang-uindangan terkait dengan pengembangan infrastruktur sosial sebagaimana di bawah ini.

6.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Infrastruktur Sosial. 6.1.1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Kereta Api

Menurut UU No. 23 Tahun 2007, pemerintah mendorong kemampuan di dalam negeri rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian nasional. Kegiatan ini antara lain mengedepankan lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang dikenal sebagai penghasil teknologi. Hal tersebut di ataur dalam Pasal 118 ayat (1) dan (2).
Pasal 118 (1) Untuk pengembangan perkeretaapian dilakukan rancang bangun dan rekayasa perkereta apian. (2) Rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh: a. pemerintah; b. pemerintah daerah: c. badan usaha; d. lembaga penelitian; atau e. perguruan tinggi.

6.1.2.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

Sebagaimana dengan UU No. 23 Tahun 2007, melalui UU No. 5 Tahun 1984 pemerintah juga berupaya mendorong pengembangan rancang bangun dan perekayasaan industri. Upaya ini memberikan kesempatan bagi peneliti dan perekayasa di berbagai lembaga penelitian dan pengembangan maupun perguruan tinggi dalam peningkatan kemampuan industri nasional. UU No. 5 Tahun 1984 menyebutkan pembedaan teknologi industri dan teknologi tepat guna. Teknologi industri adalah cara pada proses pengolahan yang diterapkan dalam industri. Teknologi yang tepat guna adalah teknologi yang tepat dan berguna bagi suatu proses untuk menghasilkan nilai tambah. Sedangkan barang jadi adalah barang hasil industri yang sudah siap pakai untuk konsumsi akhir ataupun siap pakai sebagai alat produksi. Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1984 menyatakan bahwa pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri dengan memanfaatkan sumber daya alam dan manusia dengan mempergunakan proses industri dan teknologi yang tepat guna untuk dapat tumbuh dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri.

70

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Keterkaitan dengan teknologi, di Pasal 16, Bagian VI UU No. 5 Tahun 1984, ayat (1) disebutkan Dalam menjalankan dan/atau mengembangkan bidang usaha industri, perusahaan industri menggunakan dan menciptakan teknologi industri yang tepat guna dengan memanfaatkan perangkat yang tersedia dan telah dikembangkan di dalam negeri. Pada ayat (2) Apabila perangkat teknologi industri yang diperlukan tidak tersedia atau tidak cukup tersedia di dalam negeri, Pemerintah membantu pemilihan perangkat teknologi industri dari luar negeri yang diperlukan dan mengatur pengalihannya ke dalam negeri.Dan pada ayat (3) Pemilihan dan pengalihan teknologi industri dari luar negeri yang bersifat strategis dan diperlukan bagi pengembangan industri di dalam negeri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

71

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Bab 4 Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis


Pembentukan peraturan perundang-undangan umumnya telah memperhatikan proses pemberlakuannya. Kajian mengenai persyaratan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang baik selalu berkembang agar penerapan peraturan perundang-undangan sesuai dengan tujuannya. Secara garis besar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan memperhatikan dua hal, yaitu pertama adanya politik hukum yang jelas, merupakan kebijakan pemerintah mengenai arah mana hukum tersebut diarahkan. Kedua, adanya kesadaran hukum masyarakat, yaitu konsepsi abstrak di dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban dan ketenteraman atau kondisi yang sepantasnya diinginkan. Hukum yang baik adalah apabila terdapat keserasian antara politik hukum yang dibuat oleh pemerintah dengan kesadaran hukum masyarakat. Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan peraturan perundang-undangan setidaknya harus memenuhi tiga syarat, yaitu syarat yuridis, sosiologis, dan filosofis. Syarat yuridis, menurut Hans Kelsen, apabila pembentukannya berdasarkan pada kaidah atau peraturan yang lebih tinggi (teori Stufenbaunya dari Kelsen). Menurut Kelsen, efektivitas dari peraturan perundang-undangan harus dibedakan dengan berlakunya suatu peraturan perundangundangan, karena efektivitas hukum merupakan fakta. Sedangkan Zevenbergen menyatakan, hukum berlaku secara yuridis, apabila kaidah hukum terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan. Logemann berpendapat, kaidah hukum mengikat, apabila menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya. Syarat kedua adalah syarat sosiologis, yang menekankan pada efektivitas hukum yang akan dibuat. Menurut teori kekuasaan, hukum berlaku secara sosiologis karena adanya pemaksaaan berlakunya oleh penguasa; terlepas apakah masyarakat menerima atau menolaknya. Hal itu diperkuat dengan teori pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya hukum ataupun peraturan perundangundangan didasarkan atas penerimaan atau pengakuan atas peraturan tersebut. Syarat filosofis apabila peraturan perundang-undangan yang diterapkan sesuai dengan cita-cita hukum, atau sesuai dengan nilai positif yang tertinggi, misal cita-cita hukum bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi ketiga syarat tersebut. Apabila peraturan perundang-undangan hanya menekankan pada pemenuhan persyaratan yuridisnya saja, maka ada kemungkinan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan hanya merupakan kumpulan kaidah yang mati. Demikian halnya apabila peraturan perundangundangan hanya menekankan pada aspek sosiologis-nya saja, lebih menekankan teori kekuasaan, maka peraturan perundang-undangan yang dibuat cenderung menjadi sekumpulan aturan-aturan pemaksa. Apabila peraturan tersebut hanya berlaku secara filosofis, maka peraturan tersebut hanya merupakan cita-cita saja. Dengan demikian apabila pembentukan peraturan perundang-undangan diartikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat atau pencapaian tujuan-tujuan tertentu, maka penyusunan suatu peraturan perundangundangan harus memenuhi ketiga syarat tersebut.

72

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Di samping syaratsyarat tersebut, Logemann berpendapat, lingkup berlakunya suatu peraturan perundangan-undangan agar ditentukan pula. Lingkup ini dibedakan menjadi empat, yaitu wilayah, pribadi, waktu, dan masalah tertentu. Lingkup wilayah menyangkut ruang atau wilayah yang akan dibatasi melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Lingkup pribadi menunjukan siapa atau apa yang akan diatur peranannya melalui peraturan perundangundangan. Lingkup waktu berhubungan dengan jangka waktu tertentu yang diatur oleh suatu peraturan perundang-undangan. Terakhir adalah lingkup masalah yang bersangkutan dengan permasalahan apa saja yang akan menjadi obyek suatu peraturan perundang-undangan.

4.1. Aspek Yuridis


Amandemen keempat UUD 1945 yang ditetapkan oleh MPR pada tanggal 10 Agustus 2002 merupakan landasan yuridis bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada. Amandemen ini belum menjadi pertimbangan yuridis saat penetapan UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang disahkan pada tanggal 29 Juli 2002. Amandemen keempat UUD 1945, secara jelas telah mengamanahkan pemajuan iptek. Hal itu dapat ditemui di dalam Bab XIII, Pendidikan dan Kebudayaan. Secara jelas ketentuan ini tercantum dalam Pasal 31, yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 31 (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Menurut Amandemen keempat UUD 1945 ini, kemajuan iptek secara tegas ditetapkan, yaitu agar diarahkan untuk mendorong kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring, 2008) diartikan sebagai 1 kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin: bangsa-bangsa di dunia ini tidak sama tingkat ~ nya; 2 hal yg menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Dapat dikatakan manusia dan peradaban adalah hal yang tidak dapat dipisahkan karena manusia itu memiliki cipta, rasa dan karsa. Perkembangan cipta, rasa dan karsa ini menimbulkan perkembangan pengetahuan. Kemajuan kebudayaan ini sering dikatakan sebagai peradaban. Sebagai contoh : dahulu manusia menanam karet dan menunggu hasil sesuai kemampuan alam untuk memproduksi, tetapi saat ini dengan adanya perkembangan pengetahuan, aplikasi pupuk, dan

73

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

teknik pemeliharaan menjadikan pohon karet menghasilkan lebih banyak. Demikian halnya dengan penggunaan perangkat otomatis, teknologi informasi dan mikroelektronika, telah membantu manusia dalam berbagai kegiatannya, maupun pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut UU No. 18 Tahun 2002, ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejala alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu. Sedangkan teknologi dalam UU No. 18 Tahun 2002 diartikan sebagai cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia. Menurut Jaques Ellul (1967: 1967 xxv), teknologi adalah keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan manusia. Pengertian teknologi secara umum menurut Ellul (1967) adalah:
Proses yang meningkatkan nilai tambah. Produk yang digunakan dan dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja. Struktur atau sistem di mana proses dan produk itu dikembangkan dan digunakan.

Dengan demikian dapat dikatakan dalam perkembangan peradaban manusia, iptek mempunyai peran sentral. Adanya kemajuan penguasaan dan pemanfaatan iptek akan berimbas pada peningkatan daya saing dan akan mendorong kemajuan bangsa. Berbagai inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia, memberi kemudahan dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, apabila iptek terus berkembang, kesejahteraan umat manusia juga meningkat. Berbagai penemuan di bidang kesehatan, misalnya, merupakan hasil dari penguasaan dan pemanfaatan iptek sehingga berbagai penyakit telah dapat disembuhkan. Apabila iptek berkembang tetapi kesejahteraan umat manusia tidak berkembang, atau bahkan menurun, maka dapat dikatakan penguasaan dan pemanfaatan iptek tidak berfungsi dengan baik.

74

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dapat dikatakan teknologi merupakan aplikasi dari pengetahuan sebagai respons atas tuntutan manusia akan kehidupan yang lebih baik. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara umum adalah karya manusia, dan tanpa adanya manusia kedua karya tersebut tidak akan ada. Menurut UU No. 18 Tahun 2002 berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi berpotensi memberikan dukungan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat, kemajuan bangsa, keamanan dan ketahanan bagi perlindungan negara, pelestarian fungsi lingkungan hidup, pelestarian nilai luhur budaya bangsa, serta peningkatan kehidupan kemanusiaan. Secara umum iptek berkembang melalui kreativitas berbagai penemuan (discovery), maupun penciptaan (invention), yang selanjutnya melahirkan berbagai bentuk inovasi dan rekayasa. Sedangkan kegunaan iptek bagi manusia juga ditentukan oleh nilai, moral, norma dan hukum atau peraturan perundang-undangan yang mendasarinya.

4.2. Aspek Sosiologis


Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, indikator perkembangan iptek antara lain adalah peningkatan berbagai penemuan (discovery), p e n c i p t a a n ( invention), yang selanjutnya menumbuhkan berbagai bentuk inovasi dan rekayasa. Meskipun inovasi sering dicampuraduk pengertiannya dengan invensi, namun perbedaan yang menonjol adalah inovasi lebih melihat dari perspektif kemanfaatan (ekonomi) dari proses dan produk baru yang dihasilkan tersebut. Bahkan secara tegas World Bank (2010), menekankan inovasi harus didiseminasikan (oleh penghasil) dan dipakai (oleh pengguna), atau dengan kata lain inovasi harus bermanfaat (terbukti karena dipakai oleh pengguna). Pengguna dalam konteks ini adalah industri/dunia usaha, masyarakat awam, atau pemerintah.26 Secara sosiologis penekanan ketentuan atau aturan-aturan yang memaksa (coercion) dalam pengembangan iptek kurang tepat. Penekanan pada kreatifitas, kebebasan berpikir menjadikan penggunaan pemaksaan tidak relevan. Dalam UU No. 18 Tahun 2002 penggunaan aturan pemaksa harus disesuaikan dengan asas undang-undang ini yang menekankan pada asas kebenaran ilmiah, asas kebebasan berpikir, asas kebebasan akademis, serta tanggung jawab akademis. Sejalan dengan semangat ini, penggunaan sanksi dalam UU No. 18 Tahun 2002, hanya terlihat pada kegiatan litbangrap iptek yang berisiko tinggi dan berbahaya. Menurut UU No. 18 Tahun 2002 dimungkinkan penggunaan sanksi pidana berupa denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan/atau penjara paling lama 6 (enam) bulan.

Saat ini, telaah tentang sistem inovasi sangat jarang berujung pada preskripsi kebijakan sistem inovasi yang konkrit, sistematis, dan detil. Umumnya hanya menghasilkan atau merekomendasikan prinsip dasar dan/atau taksonomi kebijakan sebagai bentuk intervensi yang dibutuhkan dari pihak pemerintah. Untuk dapat efektif, maka kebijakan harus mengandung muatan pengaturan dan tidak hanya memberikan pemahaman umum.

26

Bandingkan dengan pengertian inovasi yang digunakan pada UU No. 18/2002 pada Pasal 1 butir 9 yang saat ini masih berlaku: Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. Pengertian inovasi versi UU No. 18/2002 ini dirasakan sudah tidak pas lagi dengan konteks saat ini.

75

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Ketiga persyaratan di atas dirumuskan dan tercakup dalam penyusunan peraturan perundangan-undangan. Demikian halnya dengan upaya penguatan inovasi nasional melalui peraturan perundang-undangan. Walaupun dirasakan telah terjadi kemajuan dalam pemahaman tentang konsepsi dasar sistem inovasi dan telah terjadi perkembangan metodologis untuk analisis sistem inovasi, namun sampai saat ini masih belum berhasil dirumuskan kebijakan dan peraturan perundang-undangan sistem inovasi yang pas untuk kondisi Indonesia. Berbagai jenis instrumen kebijakan yang pas untuk digunakan, serta pada tingkat kewilayahan mana sistem inovasi tersebut tepat untuk diimplementasikan, mengingat kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan potensi sumberdaya alam Indonesia yang sangat majemuk.

Teori sistem inovasi yang berkembang di Indonesia banyak yang diadopsi secara langsung dari sistem inovasi yang dianut oleh negara-negara maju, yang kondisinya dalam berbagai dimensi sangat berbeda dengan Indonesia. Teori inovasi yang tidak mengakar pada realita Indonesia akan sangat berisiko jika dijadikan pijakan dalam merumuskan kebijakan sistem inovasi Indonesia. Kebijakan yang tak kentara warna Indonesianya, walaupun didukung dengan regulasi yang kuat, tetap saja sering tidak efektif dalam implementasinya. Karakteristik inovasi yang khas Indonesia perlu diformulasikan dengan tepat, termasuk: [1] orientasi arah dan prioritas teknologi yang dikembangkan; [2] skenario interaksi yang intensif dan produktif antara lembaga/aktor inovasi; [3] relevansi dan produktivitas lembaga pengembang teknologi; [4] kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi, dan [5] kontribusinya terhadap pembangunan nasional.

4.2.1. Reorientasi Arah dan Prioritas Riset Inovasi nasional di Indonesia wajib berbasis pada potensi sumberdaya nasional, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, serta kemampuan pembiayaan dan infrastruktur pembangunan lainya yang telah dimiliki atau yang secara rasional akan dapat dikelola. Luasnya wilayah nusantara dan keragaman potensi sumberdaya merupakan alasan yang rasional untuk membangun sistem inovasi yang lebih operasional pada wilayah cakupan yang lebih kecil (sekarang digunakan terminologi Sistem Inovasi Daerah, atau disingkat SIDa) atau sistem inovasi yang secara spesifik fokus pada potensi ekonomi tertentu, baik itu terfokus pada komoditas tertentu yang bernilai ekonomi tinggi ataupun pada potensi sumberdaya lahan atau laut dengan karakteristek yang khas. MP3EI juga menganut pembangunan ekonomi berbasis wilayah yang membagi NKRI menjadi enam koridor dan sekaligus juga mengangkat komoditas tertentu sebagai fokus pembangunan pada masing-masing dari enam koridor ekonomi tersebut. Pengembangan sistem inovasi tentu perlu diserasikan dengan realita strategi pembangunan bidang perekonomian tersebut. Namun demikian, cakupan wilayah dari suatu sistem inovasi sebaiknya tidak berbasis pada satuan wilayah administrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa), tetapi sebaiknya lebih berbasis pada satuan kawasan pembangunan perekonomian, misalnya pada hamparan lahan dengan karateristik agroekosistem tertentu yang menopang pembangunan ekonomi berbasis pertanian, atau wilayah laut dengan karakteristik marine ecology yang khas, atau dapat juga untuk satuan kawasan dengan karakteristik sosio-ekonomi-kultural masyarakatnya yang spesifik. Pengembangan inovasi daerah yang berbasis agroekosistem lahan misalnya, dirancang untuk mendukung kegiatan ekonomi di lahan sub-optimal basah (lebak dan pasang surut), atau dirancang untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk kelautan di wilayah Indonesia bagian timur. Pendekatan ini dapat dilakukan pula untuk komoditas perkebunan dengan volume dan nilai produksi yang lebih besar sehingga memberikan kontribusi yang significant bagi perekonomian nasional (misalnya sawit dan karet). Selain itu pendekatan sosial-

76

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

ekonomi-budaya dilakukan untuk masyarakat pengrajin dan industri ukiran kayu di Jepara atau masyarakat dengan budaya yang khas seperti di Bali. Dikotomi pilihan pengembangan sistem inovasi pada tingkat nasional dengan tingkat daerah/lokal seharusnya tidak perlu terjadi. Pengembangan inovasi daerah dapat difokuskan pada pengembangan sistem inovasi yang lebih teknis dan operasional sesuai kebutuhan ataupun unggulan yang akan dikembangkan di daerah. Fokus dukungan dapat dilakukan pada aktivitas ekonomi tertentu yang diunggulkan, untuk dapat dikelola dan dievaluasi kinerjanya secara lebih baik. Pengembangan inovasi nasional memberikan template sebagai acuan untuk pengembangan inovasi daerah, sehingga tujuan pembangunan nasional yang sifatnya universal dapat dikawal, yakni terutama untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi. Selain berbasis pada potensi sumberdaya nasional atau lokal, pengembangan sistem inovasi di Indonesia perlu didukung pengembangan teknologi yang lebih terarah, sesuai dengan realita kebutuhan atau persoalan yang dihadapi oleh para pengguna teknologi, baik industri, masyarakat, ataupun pemerintah. Kecenderungan global saat ini cenderung menggiring pengembangan teknologi lebih ke arah pemenuhan kebutuhan atau menyediakan solusi bagi permasalahan nyata yang ada di masyarakat. Istilah yang muncul untuk menggambarkan orientasi riset dan pengembangan teknologi sesuai kebutuhan pengguna ini cukup beragam, antara lain demand-driven, marketdriven (mulai jarang digunakan karena terkesan terlalu mengarah pada komersialisasi), needdriven, issue-driven (Jepang), mission-driven (Swedia), dan evidence-based (mulai digunakan oleh komunitas ilmu sosial atau pihak yang melihat teknologi dari perspektif ilmu sosial). Keragaman istilah atau terminologi yang digunakan ini menunjukkan perlunya reorientasi dalam pengembangan teknologi untuk menopang sistem inovasi dalam upaya meningkatkan kontribusi teknologi terhadap pembangunan perekonomian. Keragaman istilah ini disebabkan adanya perbedaan aspek atau dimensi yang ingin ditekankan, meskipun esensinya sama yakni mendorong agar pengembangan teknologi sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh para pengguna teknologi. Indonesia tentunya harus berada dalam mainstream ini jika secara sungguh-sungguh ingin mewujudkan sistem inovasi nasional ataupun daerah yang berkontribusi nyata terhadap pembangunan ekonomi dengan harapan dapat pula meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemampuan inovasi juga merupakan faktor penguatan daya saing yang sangat penting (Taufik, 2005). Selanjutnya Tatang Taufik menyebutkan, penguatan daya saing ini menjadi semakin relevan apabila dikaitkan dengan kecenderungan sebagai berikut: a. Tekanan persaingan global yang semakin meningkat; b. Produk yang semakin kompleks dan memilki siklus hidup yang semakin pendek karena cepatnya kemajuan teknologi dan perubahan tuntutan konsumen; c. Kedua keadaan tersebut juga mengakibatkan persaingan pasar yang semakin cepat dan kompleks.

77

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Kemampuan inovasi yang rendah akan menempatkan badan usaha ataupun industri bersaing pada segmen pasar yang umumnya konvensional. Pangsa pasar yang cenderung menurun dan semakin jenuh akan lebih mengandalkan persaingan harga dengan nilai tambah yang relatif rendah. Kecenderungan industri saat ini, pasar dan teknologi berubah sangat cepat, dimana tekanan atas biaya cenderung meningkat, tuntutan konsumen yang semakin tinggi, dan siklus produk atau time-to-market yang semakin pendek. Menurut EISDISR (2001), tantangan utama bagi perusahaan di lingkungan bisnis yang kompleks dan persaingan global yang semakin ketat adalah mengembangkan dan mempertahankan keunggulan daya saing. Dalam situasi demikian, Peter Drucker menekankan bahwa setiap organisasi harus mempunyai suatu kompetensi, yaitu inovasi.

4.2.2. Interaksi yang Intensif Antar-aktor Inovasi Strategi ini mempunyai rentang cakupan yang lebar, dari upaya sinkronisasi program penyiapan sumberdaya manusia yang relevan dan kompeten, optimalisasi fungsi kelembagaan pengelola pendidikan, serta penguatan kelembagaan yang bertanggung jawab dalam pengembangan teknologi. Selain untuk meningkatkan kecerdasan akademik, pendidikan juga diarahkan untuk meningkatkan sensitivitas terhadap permasalahan nyata yang dihadapi bangsa. Pendidikan perlu diupayakan tidak hanya peningkatan mutunya tetapi juga dibarengi dengan upaya peningkatan relevansinya terhadap kebutuhan nyata. Lembaga penyelenggara pendidikan tinggi akan menjadi lembaga penunjang yang menentukan dalam konteks ini. Tidak semua disiapkan menjadi pengembang teknologi yang handal, dengan derajat penalaran akademik yang tinggi, dan sensitif terhadap dinamika persoalan dan kebutuhan masyarakat. Implementasi inovasi nasional juga memerlukan adanya pengguna teknologi yang terampil. Pengguna teknologi ini antara lain, adalah tenaga teknis yang berperan mengaplikasikan teknologi dalam proses produksi barang atau jasa. Idealnya, populasi pengguna teknologi yang terampil jauh lebih banyak dibandingkan dengan populasi pengembang teknologi. Rasio yang pas antara pengembang-pengguna teknologi tentu tergantung pada jenis teknologi yang diimplementasikan. Persentase jumlah peneliti atau perekayasa terhadap total populasi suatu negara sering dipakai sebagai indikator kemajuan inovasi nasional negara yang bersangkutan. Walaupun angka ini mungkin mengindikasikan kemampuan negara tersebut untuk mengembangkan teknologi, tetapi sesungguhnya basis argumennya sangat dangkal, malah dapat menyesatkan. Hal ini bisa dicermati dari beberapa perspektif: [1] teknologi yang berdampak signifikan dan mampu mengubah wajah dunia dalam berbagai bidang bukan merupakan hasil kerja kolektif seluruh populasi peneliti suatu negara, tetapi merupakan hasil kerja kelompok kecil peneliti pada satu laboratorium atau kolaborasi peneliti antar-laboratorium; [2] jumlah peneliti yang banyak tidak otomatis berarti akan banyak teknologi bermanfaat yang dihasilkan, karena selain tergantung pada produktivitas peneliti, juga ditentukan oleh relevansi substansi yang diteliti;

78

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

dan [3] sebagian besar peneliti bekerja di perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah yang mayoritas pada saat ini lebih fokus pada riset akademik yang tak terkait langsung dengan persoalan nyata, akibatnya hasil riset yang diperoleh masih sulit untuk diadopsi oleh industri. Argumentasi di atas mencoba mengingatkan bahwa aspek yang paling penting untuk mendapat perhatian dalam proses penyiapan sumberdaya manusia yang diproyeksikan untuk menjadi pelaku utama pengembangan teknologi bukan terletak pada aspek kuantitasnya, tetapi lebih pada aspek kualitasnya. Kualitas dimaksud mencakup basis mutu akademik dan relevansi keahliannya terhadap kebutuhan nyata. Implikasi operasionalnya adalah Indonesia tidak perlu terlalu berambisi untuk meningkatkan angka persentase jumlah peneliti per sejuta penduduk (atau indikator lain yang serupa), tetapi lebih perlu menyiapkan tenaga-tenaga pengembang teknologi yang punya basis kapasitas akademik yang hebat dan juga sensitif terhadap dinamika permasalahan dan kebutuhan bangsa. Untuk konteks ini, kuantitas menjadi tidak penting. Indonesia tidak perlu kelihatan baik secara statistik, yang perlu adalah Indonesia mampu dan produktif dalam menghasilkan solusi teknologi bagi permasalahan bangsa. Kesiapan sumberdaya manusia wajib dibarengi dengan langkah reorientasi pengembangan teknologi dari supply-push ke demand-driven. Jika selama ini aktor penentu arah inovasi nasional diperankan secara terlalu dominan oleh para pengembang teknologi, sehingga pendekatan yang diterapkan adalah supply-push, yakni melakukan pengembangan teknologi dahulu, baru kemudian ditawarkan kepada industri untuk menggunakannya. Pendekatan ini ternyata tidak efektif untuk meningkatkan intensitas interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi. Aliran teknologi banyak yang tersumbat. Penyebab utamanya adalah ketidakpaduan antara teknologi yang dikembangkan atau yang dihasilkan dengan kebutuhan industri. Kalaupun jenis teknologinya sesuai tetapi seringkali tidak kompetitif secara ekonomi untuk diaplikasikan. Strategi untuk memperlancar aliran teknologi dalam inovasi nasional dan untuk meningkatkan intensitas kolaborasi antara pengembang dan pengguna teknologi adalah melakukan reorientasi, yakni jika sebelumnya pihak pengembang teknologi menjadi penentu arah dan prioritas pilihan teknologi, maka peran ini di masa yang akan datang perlu dipercayakan pihak pengguna teknologi. Pendekatan yang dipilih tentunya juga berubah arah, dari supply-push menjadi demand-driven. Namun demikian perlu diperhatikan pula, inovasi seringkali bukan hanya menekankan technology push (driven) atau demand pull (driven) secara hitam-putih yang tegas, tetapi lebih merupakan proses di antaranya atau kombinasi keduanya (Tatang, 2005). Selanjutnya Tatang menggaris bawahi, inovasi juga merupakan proses yang kompleks dan dinamis yang sering menunjukkan paradoks. Meski inovasi didorong oleh kompetisi atau persaingan, inovasi tidak berkembang tanpa adanya kerjasama (co-operation), bahkan adakalanya antara perusahaan yang saling bersaing. Inovasi tidak hanya bergantung pada bagaimana perusahaan, perguruan tinggi dan para pembuat kebijakan bekerja, namun juga bagaimana mereka bekerjasama (Tatang, 2005). Pada tahap awal, proses reorientasi dalam pengembangan kerjasama ini tentunya belum akan berjalan mulus. Hal ini terlihat dari Indikator Ekonomi Berbasis Pengetahuan Indonesia tahun

79

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

2007, pada skala 2.8, sama dengan Vietnam (World Bank, 2010). Akan ada resistensi (penolakan) dari pihak pengembang teknologi dan adanya keengganan di pihak pengguna teknologi. Pergeseran mindset selalu membutuhkan waktu relatif panjang, karenanya proses ini akan berlangsung secara bertahap (gradual). Ekspektasi pada tahap awal adalah mulai tumbuhnya kesepakatan bahwa pengembangan teknologi perlu berubah arah, menjadi lebih fokus untuk menjawab permasalahan nyata atau memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat pengguna.
7 6 5 4 3 2 1 0
Singapura Malaysia Philipina Vietnam

Resistensi internal sangat mungkin untuk muncul di kalangan akademisi dan periset dalam proses pergeseran prioritas riset dari curiousity-driven research menjadi goal-oriented research, dari riset yang dilakukan untuk pemuasan rasa keingin tahuan akademik menjadi riset untuk menjawab permasalah nyata yang dihadapi masyarakat dan negara. Hal ini sesuai pula dengan kecenderungan yang diungkapkan OECD (1999), bahwa inovasi memerlukan lebih hanya sekedar litbang. Produk barang dan jasa semakin sarat dengan pengetahuan ( knowledge intensive), tetapi juga tidak selalu sarat dengan litbang (R&D intensive). Pengalaman Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) melalui program insentifnya menjadi bukti empiris tentang sulitnya menggeser kegiatan para akademisi dan periset keluar dari zona nyamannya (comfortable zone). Akademisi dan periset masih nyaman di wilayah riset akademik (dasar dan terapan), sedangkan kegiatan yang lebih bersifat hilir (difusi teknologi dan peningkatan kapasitas iptek sistem produksi) untuk mendorong agar hasil risetnya diadopsi oleh pengguna masih sangat kurang diminati. Hal ini antara lain terlihat, saat Kementerian Riset dan Teknologi secara terbuka dan kompetitif menawarkan empat program insentif kepada komunitas akademik di perguruan tinggi dan peneliti di lembaga riset pemerintah, yakni program riset dasar, riset terapan, difusi iptek, dan penguatan kapasitas iptek sistem produksi. Dua program yang pertama merupakan pengembangan iptek, sedangkan dua program terakhir merupakan upaya mentransfer dan aplikasi teknologi yang dihasilkan oleh pihak pengguna teknologi. Pada tahun 2008, proposal untuk riset pengembangan iptek mencapai 89,84 persen, sedangkan proposal untuk difusi dan aplikasi iptek hanya 10,16 persen. Dengan upaya yang

80

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

lebih intensif untuk menumbuhkan minat komunitas akademisi dan peneliti untuk berperan dalam kegiatan difusi dan aplikasi iptek, pada tahun 2009 proposal untuk kegiatan ini meningkat menjadi 24,95 persen. Memperhatikan upaya yang telah dilakukan, strategi yang perlu dilakukan dalam rangka memicu dan memacu pergeseran preferensi atau prioritas riset ini antara lain adalah: [1] meluruskan pemahaman tentang status ilmiah goal-oriented research dan [2] memberikan insentif yang lebih baik bagi pelaksanaan riset untuk solusi permasalahan nyata ini. Kekeliruan pemahaman tentang riset pesanan disebabkan bukan oleh makna hakiki dari goal-oriented research tersebut, tetapi lebih disebabkan karena riset ini telah diseleweng-kan pemaknaannya oleh kepentingan-kepentingan lain yang bersifat non-scientific. Sejatinya, goal-oriented research harus dimaknai sebagai riset akademik yang tidak hanya potensial untuk memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga sekaligus dapat secara nyata menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Merupakan langkah yang tepat jika Pemerintah lebih mengarahkan bantuan pembiayaan risetnya pada kelompok goal-oriented research, terlebih lagi pada saat negara sedang mengalami krisis ekonomi, dimana setiap rupiah yang dibelanjakan negara harus berpotensi menggerakkan perekonomian domestik. Sudah saatnya, pembiayaan kegiatan riset diposisikan tidak hanya untuk mendukung upaya pencerdasan bangsa, tetapi juga sekaligus sebagai investasi untuk menumbuhkan kemandirian bangsa dalam menyediakan solusi teknologi bagi masalah-masalah mendasar yang menyangkut hajat hidup asasi masyarakat. Sangat ironis jika untuk memenuhi kebutuhan solusi teknologi untuk masalah-masalah sederhana (misalnya di sektor pertanian), Indonesia masih tergantung pada pasokan teknologi asing. Apalagi jika untuk mengimpor teknologi asing tersebut (yang sebetulnya dalam tataran teknologi tergolong sederhana), negara harus mengeluarkan devisa yang signifikan karena kuatitas kebutuhannya yang masif. Salah satu persoalan yang serius saat ini adalah rendahnya sensitivitas atau kepedulian pengembang teknologi terhadap kebutuhan dan persoalan yang dihadapi para pengguna teknologi. Pengembang teknologi, baik di akademisi maupun peneliti, jarang melakukan observasi secara cermat persoalan ataupun kebutuhan pihak pengguna. Riset yang direncanakan lebih terkait dengan latar belakang akademik peneliti atau akademisi yang bersangkutan dan mengarah pada topik yang sedang populer di kalangan akademisi. Kecenderungan lainnya adalah memilih topik-topik yang terkesan maju secara teknologi tetapi tidak terkait langsung dengan kebutuhan atau persoalan nyata. Capaian akademik seringkali lebih menarik dibandingkan dengan kontribusi dalam memenuhi kebutuhan atau menyediakan solusi untuk persoalan yang dihadapi industri, masyarakat, atau pemerintah. Meski demikian secara akademik, ternyata akademisi dan peneliti Indonesia masih belum tergolong produktif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini antara lain terlihat dari jumlah artikel pada jurnal sains dan teknik tahun 2003, para peneliti Indonesia menghasilkan 178 tulisan. Angka ini tidak jauh berbeda dengan Filipina, namun jauh di bawah Malaysia dan Thailand. Kenyataan ini tentu harus dibenahi, sulit bagi pengembang teknologi di

81

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Indonesia untuk berada posisi terdepan secara akademik. Berbagai kendala antara lain kurangnya alokasi anggaran untuk pembiayaan riset dan kurang memadainya peralatan dan fasilitas riset. Namun sesungguhnya, kendala yang lebih serius terletak pada mindset para pengembang teknologi tersebut, yang belum termotivasi untuk melaksanakan riset yang berkualitas dan masih cenderung menganggap riset hanya sebagai ritual akademik.

600 400 200 0 Negara


Singapura Malaysia Filipina Vietnam Laos

Riset yang dirancang sesuai kebutuhan nyata dapat menjadi riset yang berkualitas ilmiah tinggi apabila dilaksanakan dengan metodologi yang tepat dan dengan menjunjung tinggi etika akademik. Hasil riset dengan reputasi dan pilihan topik seperti ini jelas akan berpeluang untuk dipublikasikan pada jurnal ilmiah, dan dapat menghasilkan paten yang diminati pengguna (karena relevan dengan kebutuhan sehingga berpeluang untuk diaplikasikan dalam proses produksi), sehingga terbuka peluang untuk mendapatkan royalti. Kekeliruan pemahaman yang sering terjadi adalah bahwa teknologi yang dihasilkan dari riset yang berbasis kebutuhan nyata statusnya akan kurang canggih, sebagaimana juga kekeliruan dalam memahami definisi teknologi tepat guna (appropriate technology) yang sering dianggap identik dengan teknologi sederhana. Sesungguhnya rentang spektrum teknologi yang berbasis kebutuhan atau teknologi tepat guna dapat bervariasi dari teknologi yang sangat sederhana sampai dengan teknologi super canggih, karena faktanya realita persoalan dan kebutuhan teknologi juga sangat variatif. Sebagai contoh, pemerintah membutuhkan teknologi canggih untuk mewujudkan kemandirian dalam sektor pertahanan dan keamanan negara; sebaliknya petani membutuhkan teknologi yang sesuai dengan kapasitas adopsinya untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatannya.

82

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Perlu diyakini bahwa perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah, untuk memberikan dukungan pembiayaan yang lebih besar akan lebih mungkin terwujud jika pengembang teknologi juga mampu membuktikan kontribusi nyata terhadap pembangunan nasional, terutama pembangunan perekonomian.

Di antara banyak perubahan yang perlu dilakukan dalam rangka penguatan inovasi, salah satu yang urgensinya paling tinggi adalah meningkatkan sensitivitas dan kepedulian para pengembang teknologi terhadap kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi industri, masyarakat, dan pemerintah.

4.2.3. Peningkatan Produktivitas dan Relevansi Teknologi Domestik Sensitivitas dan kepedulian pengembang teknologi yang diikuti dengan perencanaan dan pelaksanaan riset yang tepat akan membuahkan teknologi yang relevan. Jika semakin banyak aktor pengembang teknologi yang mengikuti alur ini, maka Indonesia akan memulai era baru dalam mengembangkan inovasi nasional. Relevansi dan produktivitas riset akan menjadi mesin produksi teknologi yang secara nyata akan meningkatkan kontribusi terhadap berbagai sektor pembangunan nasional, termasuk bidang perekonomian. Peningkatan kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi akan memberikan umpanbalik (feedback) yang positif, efek bola salju akan terjadi. Dukungan pembiayaan aktivitas riset akan semakin tumbuh, baik dari pemerintah maupun dari dunia usaha, karena kepercayaan pihak pengguna teknologi akan semakin meningkat. Pengguna teknologi ikut menikmati kontribusi teknologi terhadap pemenuhan kebutuhan dan menjadi alternatif solusi persoalan yang dihadapi para pengguna teknologi tersebut. Kondisi yang diharapkan sebagai modal untuk memperkuat inovasi nasional adalah pendekatan demand-driven dapat menjadi mainstream pengembangan teknologi domestik, sehingga persentase teknologi yang relevan kebutuhan semakin meningkat dan kontribusi teknologi terhadap perekonomian nasional semakin dirasakan publik. Harapan akhirnya adalah teknologi dapat memberikan kontribusi nyata terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dan memajukan peradaban bangsa sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945. Upaya peningkatan relevansi teknologi dengan kebutuhan nyata belum sepenuhnya menjamin bahwa teknologi akan diadopsi pengguna. Satu faktor yang menentukan, yakni kemampuan atau kapasitas adopsi dari pengguna terhadap teknologi potensial yang dihasilkan. Oleh sebab itu, untuk memperbesar peluang pemanfaatan teknologi perlu dilakukan perbaikan di kedua sisi, yakni meningkatkan relevansi teknologi yang dibarengi dengan upaya meningkatkan kapasitas adopsi pengguna. Kapasitas adopsi pengguna teknologi bersifat multi dimensi, termasuk dimensi teknis, finansial, sosiokultural, dan kemungkinan juga politik. Peningkatan kapasitas adopsi untuk dimensi teknis relatif mudah dilakukan, misalnya melalui pelatihan atau pendidikan formal bagi para aktor pengguna. Kapasitas adopsi dari dimensi ekonomi/finansial akan lebih sulit ditingkatkan, namun kebijakan pemerintah terkait penyediaan kredit modal usaha dapat menjadi cara efektif untuk membantu pengguna teknologi dalam meningkatkan kapasitas adopsinya dari dimensi finansial. Persoalan rendahnya kapasitas adopsi teknologi, secara umum dapat dijumpai pada masyarakat pengguna teknologi di Indonesia, termasuk komunitas petani, peternak, nelayan, pembudidaya ikan, dan pengrajin atau berbagai pelaku usaha skala kecil lainnya. Rendahnya

83

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

adopsi teknologi, selain disebabkan teknologi yang tidak relevan, juga dikarenakan rendahnya kebutuhan teknologi, tidak hanya persoalan rendahnya kapasitas adopsi. Hal ini juga dapat dijumpai pada pelaku bisnis Indonesia, dengan aktivitas utama perdagangan, bukan industri manufaktur. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan adopsi teknologi, diperlukan transformasi dari pedagang menjadi produsen. Penguatan inovasi tidak dapat berfungsi optimal apabila kegiatan bisnis yang dominan masih berupa perdagangan. Kondisi ini menjadikan upaya riset dan pengembangan teknologi yang sudah diarahkan sesuai dengan kebutuhan nasional, berbasis sumberdaya dalam negeri, dan berorientasi pasar domestik menjadi tidak effektif. Secara umum, bisnis di Indonesia memerlukan transformasi, dari kecenderungan dominan perdagangan menjadi dominan industri produsen barang dan jasa. Kelompok industri ini yang paling berpotensi untuk mengadopsi teknologi domestik yang telah dikembangkan. Rangsangan untuk tumbuh-kembang industri produsen barang dan/atau jasa yang berbasis teknologi nasional dan sesuai dengan kebutuhan pasar domestik perlu lebih diintensifkan. Ketersediaan teknologi domestik yang secara teknis sesuai dengan kebutuhan dan secara ekonomi menguntungkan akan dibutuhkan industri produsen barang dan jasa. Namun demikian, pada fase awal diperlukan dukungan insentif tambahan agar perdagangan bertransformasi ke arah industri atau produsen barang dan jasa. Oleh karena itu, penguatan industri dalam negeri merupakan salah satu pilar utama pendukung strategi penguatan inovasi nasional. Peningkatan investasi dan akses permodalan untuk pengembangan dan/atau penumbuhan industri baru berbasis teknologi nasional perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak dan difasilitasi perkembangannya. Aksesibilitas untuk tiga kunci sukses industri produsen perlu dijamin, yakni: [1] akses untuk mendapatkan bahan baku yang cukup, sesuai dengan spesifikasi teknis, harga yang pantas (dan relatif stabil), serta cukup tersedia sesuai siklus produksi; [2] akses untuk mendapatkan modal, sumberdaya manusia, dan teknologi yang sesuai secara teknis serta kompetitif secara ekonomi; dan [3] akses pasar yang terjamin. Pasar domestik Indonesia yang besar merupakan potensi untuk menjadi penyerap bagi semua produk barang dan jasa yang dihasilkan industri dalam negeri. Percepatan proses adopsi teknologi nasional oleh pengguna di dalam negeri dan upaya mendorong arus informasi kebutuhan teknologi untuk pihak pengembang memerlukan peran aktif dari lembaga intermediasi. Pada saat ini, hampir semua lembaga intermediasi terbentuk atas inisiatif pemerintah dan sebagian juga diawaki oleh aparatur pemerintah. Belum adanya lembaga intermediasi yang diinisiasi oleh pihak bisnis maupun masyarakat dapat menjadi indikasi bahwa kegiatan ini masih dianggap belum menarik, atau masih diyakini belum akan membuahkan hasil. Persepsi ini sesungguhnya dapat dipahami, karena berbagai kondisi yang terjadi saat ini masih belum favorable untuk berfungsinya kelembagaan intermediasi. Lembaga intermediasi berperan sebagai penghubung antara lembaga pengembang teknologi dengan pengguna teknologi. Kelembagaan intermediasi ini belum berfungsi secara efektif, jika prasyarat dasarnya belum terpenuhi, yakni adanya relevansi teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan industri yang merefleksikan preferensi dan daya beli konsumen. Kondisi lain

84

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

yang kurang kondusif bagi lembaga intermediasi adalah: [1] sistem perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual masih belum membudaya di kalangan pengembang teknologi di Indonesia, sehingga berpotensi menjadi masalah jika dikomersialisasikan; [2] preferensi komunitas bisnis Indonesia masih cenderung sebagai pedagang daripada sebagai produsen; kalaupun masuk ke wilayah industri produsen barang/jasa, maka lebih cenderung memilih memproduksi barang di bawah lisensi asing; dan [3] pelaku industri dalam negeri belum percaya atas kehandalan teknologi domestik hasil karya anak bangsa, sehingga lebih cenderung membeli teknologi asing. Lembaga intermediasi perlu diawaki oleh personel yang memahami tentang teknologi dan sekaligus punya kemampuan persuatif yang tinggi dan terampil dalam menjual. Upaya ini dapat dilakukan dengan merekrut peneliti/akademisi, dan dilatih ketrampilan pemasaran-nya; atau merekrut tenaga pemasaran dan diperkaya wawasan teknologinya. Opsi kedua kelihatannya lebih baik, karena merubah karakter manusia (terkait marketing skills) lebih membutuhkan waktu dibandingkan dengan menambah pengetahuan tentang teknologi tertentu.

4.2.4. Ekosistem Inovasi yang Kondusif Selama proses transisi pergeseran orientasi arah dan prioritas riset, peran pemerintahan sangat dibutuhkan, yakni dalam bentuk: [1] regulasi yang mendukung dan [2] fasilitasi percepatan laju proses reorientasi dan mengurangi kemungkinan terjadinya gesekan yang tidak perlu antar pihak terkait. Peran regulasi pemerintah ditujukan untuk mengawal agar implementasi penguatan inovasi secara konsisten mengarah pada upaya: [1] menyediakan solusi teknologi bagi permasalahan nyata yang dihadapi rakyat; [2] menyeimbangkan posisi psikologis dan peran aktif antara pihak pengembang teknologi dengan pihak pengguna teknologi sehingga interaksi antara keduanya terjadi dalam kerangka kemitraan yang setara harkatnya, proporsional kontribusinya, dan saling complementary ruang kiprahnya; dan [3] memberdayakan sumberdaya manusia Indonesia sesuai dengan kapasitasnya masing-masing agar dapat secara langsung berperan aktif dalam implementasi penguatan inovasi nasional. Berkaitan dengan upaya membangun inovasi nasional secara utuh, dibutuhkan pula regulasi dan fasilitasi pemerintah dalam menyiapkan sumberdaya manusia sesuai kebutuhan untuk pengembangan teknologi dan kebutuhan tenaga terampil untuk aplikasi teknologi, melalui program pendidikan yang berkesesuaian, terutama pada jenjang pendidikan tinggi dan menengah kejuruan. Bentuk fasilitasi dari pemerintah yang lain adalah dukungan untuk kolaborasi riset dengan pembiayaan bersama (sharing funding) oleh pemerintah dan pihak industri. Porsi pemerintah disalurkan melalui lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi. Kegiatan riset kolaborasi dalam format ini sudah mulai dilaksanakan, tetapi belum optimal menunjukkan kemanfaatan hasilnya. Hal ini terutama karena substansi riset masih dominan ditentukan oleh pihak pengembang teknologi, bukan atas usulan pihak industri. Dalam

85

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

beberapa kasus, pihak industri hanya diposisikan untuk memenuhi kelengkapan administratif agar dana pemerintah bisa dialirkan ke lembaga riset atau perguruan tinggi. Bentuk riset kolaborasi yang lain tidak dalam bentuk pembiayaan bersama, tetapi dalam bentuk riset yang diawaki oleh personel dari pihak pengembang dan pengguna teknologi serta memanfaatkan fasilitas dan sarana riset yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Agar diperhatikan apapun bentuk atau format riset kolaborasi, akan memberikan kemanfaatan pada publik jika substansi masalah yang diteliti merupakan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, bukan masalah hipotetik yang diilhami oleh berbagai referensi asing. Regulasi pemerintah dapat pula berupa insentif bagi kedua belah pihak untuk berkolaborasi, misalnya dukungan pembiayaan dari pihak industri untuk kegiatan riset dapat dianggap sebagai bagian dari pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya (tax deductible). Upaya ke arah ini sesungguhnya sudah dilakukan pemerintah, yakni dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi. Dalam PP No. 35 Tahun 2007 dinyatakan badan usaha yang mengalokasikan pendapatannya untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif, dimana insentif tersebut dapat berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan. Bentuk regulasi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi seluruh produk barang/jasa di Indonesia. SNI telah memenuhi WTO Code of Good Practices, yakni dirumuskan berdasarkan asas keterbukaan (openess), transparansi (transparency), konsensus dan tidak memihak (consensus and impartiality), keefektifan dan relevan (effectiveness dan relevance), koheren (coherence), dan berdimensi pembangunan (development dimension). Dengan demikian, penerapan SNI diharapkan tidak hanya bermanfaat bagi kepentingan domestik tetapi juga untuk kepentingan perdagangan global. Adanya rasa bangga dan percaya diri warga negara sebagai sumberdaya manusia penggerak pembangunan yang diimbangi dengan terciptanya lingkungan yang kondusif untuk berusaha, merupakan modal kuat dalam menuju Indonesia yang lebih sejahtera di masa yang akan datang. Jika lintasan (pathway) ini ditempuh dengan baik, maka tak akan ada lagi keraguan bahwa teknologi domestik akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam pembangunan nasional dan standarisasi akan menyempurnakan upaya penguatan inovasi di Indonesia. Berdasarkan telaah yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa komponen kebijakan yang dibutuhkan untuk mewujudkan adanya sistem inovasi nasional (SINas) yang mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan nasional. Strategi ini mencakup: (1) Sinkronisasi antara teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi industri, masyarakat, dan pemerintah; (2) Rangsangan untuk tumbuh-kembang industri produsen barang dan/atau jasa yang berbasis teknologi nasional dan sesuai dengan permintaan pasar domestik;

86

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(3) Vitalisasi lembaga intermediasi untuk percepatan proses adopsi teknologi nasional oleh industri dalam negeri dan sebaliknya juga arus informasi kebutuhan teknologi kepada pihak pengembang teknologi; dan (4) Dukungan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum untuk memfasilitasi, menstimulasi, dan mengakselerasi interaksi antar-aktor utama dalam penguatan inovasi nasional, serta mendekatkan hubungan dengan kelembagaan pendukung lainnya. Keempat strategi ini mempunyai keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itu, seluruh strategi harus dilaksanakan secara interaktif dan sinambung. Keberhasilan membangun inovasi nasional hanya dapat dicapai jika semua strategi ini dapat dieksekusi dengan baik.

4.2.5. Kontribusi terhadap Pembangunan Nasional Terlepas dari intensitas dan besaran (magnitude) kontribusinya, iptek akan selalu dibutuhkan dalam pembangunan semua sektor. Dengan demikian isu utamanya bukan terletak pada ada atau tidak adanya peranan teknologi dalam pembangunan nasional, tetapi terletak pada bagaimana cara agar teknologi yang dikembangkan dapat efektif dan efisien dalam mendukung pembangunan nasional di semua sektor. Oleh sebab itu, yang penting dilakukan adalah merancang inovasi nasional yang tepat, yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan upaya memberikan solusi atas permasalahan nyata yang dihadapi rakyat. Kemampuan dan kemandirian pengembangan teknologi nasional yang didasarkan atas kebutuhan dan permasalahan nyata menjadi modal dasar implementasi penguatan inovasi di Indonesia. Pengembangan teknologi nasional perlu mengutamakan pemberdayaan dan pendayagunaan sumberdaya manusia Indonesia sebagai tenaga penggeraknya, memanfaatkan sumberdaya alam nasional sebagai bahan baku atau tapak operasionalnya (operational site). Pengembangan teknologi nasional juga perlu mempertimbangkan secara cermat kapasitas adopsi pengguna teknologi dalam negeri. Teknologi dengan warna Indonesia yang kental ini diyakini akan lebih berpeluang untuk mengalir lancar dari pihak atau lembaga pengembang teknologi ke pihak pengguna teknologi. Keberhasilan penguatan inovasi nasional akan ditakar dari kelancaran aliran teknologi (fluidity of technology flow), bukan berdasarkan kecanggihan teknologi yang mampu dikembangkan. Kekeliruan persepsi sangat sering dan umum terjadi dalam konteks penilaian kinerja dan kontribusi inovasi, yakni menganggap bahwa semakin maju teknologi yang dikuasai maka semakin baik penguasaan inovasi suatu negara. Walaupun sudah cukup lama diwacanakan, tetapi membangun masyarakat berbasis pengetahuan kelihatannya masih akan menempuh perjalanan panjang. Perjalanan panjang tersebut perlu diawali dengan keberhasilan mengembangkan dan memperkuat inovasi nasional di Indonesia yang mampu mendorong peradaban dan menyejahterakan rakyat. Inovasi nasional yang didasarkan atas kebutuhan dan permasalahan nyata perlu didampingkan secara paralel dengan program pendidikan yang dirancang untuk menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas dan sensitif terhadap permasalahan nyata yang dihadapi bangsa dan kebutuhan

87

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

pembangunan nasional. Jika kedua hal ini dilakukan secara serasi dan saling mendukung maka cita-cita untuk membangun masyarakat berbasis pengetahuan diyakini dapat terwujud. Selain itu, indikator lainnya dalam pengembangan dan penguatan inovasi nasional adalah terjaminnya keamanan nasional. Meskipun ukuran kesejahteraan rakyat dan keamanan nasional bersifat relatif, tetapi upaya kuantifikasi tingkat kesejahteraan rakyat lebih berkembang dan diterima secara luas; sebaliknya ukuran baku tentang tingkat keamanan nasional masih belum banyak dibahas. Keamanan mempunyai dua dimensi yang berbeda, yakni: [1] rasa aman yang lebih bersifat internal, personal, dan sulit dideteksi; dan [2] kondisi aman yang lebih bersifat eksternal, kolektif, dan dapat dideteksi berdasarkan persepsi indera penglihatan dan pendengaran ( audiovisual perception). Akan lebih realistis jika indikator keberhasilan implementasi inovasi nasional hanya didasarkan atas keamanan dimensi kedua, yakni kondisi aman. Indikator keberhasilan dalam menciptakan kondisi aman antara lain: tidak terjadinya gerakan separatisme di wilayah NKRI; minimalisasi dampak negatif dari gejolak masyarakat, misalnya dalam bentuk demonstrasi anarkis, yang dapat mengganggu kegiatan produktif; terkendalinya dinamika politik; terjaminnya keberlangsungan proses demokratisasi; dan terjaminnya kondisi yang kondusif untuk berinvestasi. Hasil akhir yang diharapkan dari segala bentuk upaya dalam pengembangan dan penguatan inovasi adalah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam mengevaluasi suatu sistem yang utuh, semua indikator-antara hanya dapat dilihat sebagai titik-titik yang tercerai berai dan diasumsikan terhubung satu sama lain oleh garis-garis imajiner yang diyakini sebagai bagian dari sistem tersebut. Asumsi-asumsi tersebut umumnya diuji berdasarkan korelasi masingmasing indikator-antara yang dianggap berhubungan. Ilmu statistik merupakan alat yang handy untuk pekerjaan ini. Beberapa indikator-antara yang sering digunakan dalam mengevaluasi kehandalan penguatan inovasi antara lain: jumlah publikasi ilmiah per juta penduduk, jumlah patent yang didaftarkan atau diperoleh (granted), jumlah kerjasama penelitian antara universitas dan industri, jumlah publikasi yang ditulis bersama oleh akademisi dan pelaku industri (co-authored publication), mobilitas sumberdaya manusia antara kelembagaan riset atau universitas dengan industri, besarnya penerimaan universitas atau lembaga riset yang berasal dari royalti, dan persentase penerimaan univesitas yang berasal dari sumber non-pemerintah yang terkait dengan aktivitas dan hasil riset. Indikator-antara tersebut sesungguhnya baru melingkupi sisi pengembang teknologi, dengan ekstensi pada kapabilitas lembaga pengembang teknologi tersebut untuk merangkul mitra potensialnya. Nilai-nilai positif atau kecenderungan peningkatan yang ditunjukkan oleh semua indikator-antara belum dapat secara otomatis diekstrapolasikan untuk sampai pada kesimpulan bahwa upaya pengembangan dan penguatan inovasi telah berjalan baik, efektif dan produktif. Indikator-antara lainnya dilihat dari sisi pengguna teknologi, subyek survei atau risetnya adalah industri-industri yang bergerak dalam berbagai sektor. Indikator di kelompok ini antara lain: alokasi dana oleh industri untuk kegiatan riset internal perusahaan atau untuk mendukung

88

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

kegiatan riset di universitas dan lembaga riset eksternal, identifikasi sumber informasi yang dianggap penting oleh industri dalam mengembangkan produk komersial, preferensi industri untuk mengembangkan teknologi sendiri atau membeli teknologi yang sudah mapan (established). Indikator-antara yang digunakan baik dari sisi pengembang maupun pengguna teknologi memang telah mengarah pada upaya menakar potensi kedua b elah pihak untuk berkomunikasi dan berkolaborasi. Walaupun tentunya, interpretasi atas indikator-antara ini harus dilakukan dengan hati-hati. Total Factor Productivity (TFP) telah digunakan beberapa ekonom sebagai proxy untuk menaksir kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dasarnya adalah pertumbuhan ekonomi terjadi atas kontribusi dari dua faktor utama, yakni modal dan tenaga kerja, sisanya (residu) merupakan kontribusi faktor bukan modal maupun tenaga kerja yang disimpulkan sebagai kontribusi dari faktor teknologi. Namun demikian, perlu diingat kembali bahwa ukuran kinerja inovasi adalah kesejahteraan rakyat, bukan pertumbuhan ekonomi semata, sehingga perlu dilengkapi pula dengan pola distribusi pendapatan. Sebagai suatu sistem, indikator keberhasilan pengembangan inovasi nasional menjadi kurang bermakna jika difragmentasi menjadi indikator-indikator antara atau indikator yang bersifat parsial, walaupun secara teknis inovasi nasional dapat dibongkar menjadi empat komponen, yakni: pengembangan teknologi, difusi teknologi dari pengembang ke pengguna, adopsi teknologi untuk proses produksi barang dan jasa, dan konsumsi atau penggunaan produk akhir oleh konsumen. Banyak indikator keberhasilan yang dapat digunakan dalam mengevaluasi kinerja pada masingmasing komponen atau tahapan penguatan inovasi nasional. Banyak juga kajian mengenai inovasi yang telah dilakukan menggunakan indikator parsial ini, tetapi hasilnya seringkali tidak atau kurang memuaskan, karena hanya mampu menjelaskan secara segmented. Pendekatan parsial biasanya hanya mengarah untuk menghasilkan justifikasi bahwa suatu negara sebetulnya sudah melakukan upaya (dan telah ada tanda-tanda perbaikan) walaupun hasilnya belum memuaskan. Dengan demikian untuk Indonesia, indikator utama keberhasilan pengembangan dan implementasi inovasi hanya dua, yakni peningkatan kesejahteraan rakyat dan terciptanya kondisi keamanan nasional. Indikator lainnya yang dapat ditambahkan adalah tingkat kemandirian bangsa dalam memenuhi kebutuhan teknologi untuk pembangunan perekonomian dan pembangunan hankam. Kemampuan dan tumbuhnya budaya masyarakat untuk mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge-based society) dapat pula digunakan sebagai indikator tambahan untuk mengevaluasi performa penguatan inovasi di Indonesia.

4.3. Aspek Filosofis

89

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Secara umum syarat filosofis dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah apabila peraturan perundang-undangan dapat diterapkan sesuai dengan cita-cita hukum, atau sesuai dengan nilai-nilai positif yang tertinggi. Nilai-nilai ini menjadi cita-cita hukum dan tujuan negara bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. 4.3.1. Dinamika Lingkungan Global Negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah lama memposisikan Sistem Inovasi Nasional (SINas) sebagai strategi penting dalam memajukan perekonomian melalui pemanfaatkan keunggulan teknologi negara masing-masing. Inisiatif pendirian OECD dilakukan oleh beberapa negara Eropa Barat plus Turki dan Amerika Serikat. Namun saat ini, keanggotaan OECD telah bertambah dengan beberapa negara Eropa Timur, Jepang, Korea, Australia, Selandia Baru, dan Meksiko. Pengembangan inovasi nasional pada negara-negara OECD dan kajian akademik yang dilakukan oleh kelembagaan OECD telah menjadi referensi penting bagi dunia dalam memperlajari tentang upaya penguatan inovasi nasional dan kontribusinya bagi pembangunan perekonomian. Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, peranan inovasi nasional dalam pembangunan perekonomian sangat ditentukan oleh intensitas dan kualitas interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang dengan pengguna teknologi, terutama antara universitas atau lembaga riset dengan pelaku industri. Untuk menaksir intensitas interaksi tersebut, dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain dengan mengevaluasi: [1] porsi pendapatan universitas atau lembaga riset yang berasal dari kerjasama dengan industri dalam melakukan riset; [2] jumlah paten dan publikasi bersama antara akademisi dan pelaku industri; [3] jumlah paten universitas atau lembaga riset yang dikomersialisasikan oleh industri; dan [4] timbangan industri terhadap universitas dan lembaga riset sebagai sumber informasi/pengetahuan untuk pengembangan produk inovatif. Hasil survei yang dilakukan di Belanda selama periode 1989-1992 menunjukkan bahwa pendapatan universitas yang berasal dari kerjasama riset dengan pihak industri secara konsisten meningkat, walaupun persentasenya masih relatif rendah, yakni 12.2 persen pada tahun 1989 meningkat menjadi 17,4 persen pada tahun 1992 (Hertog, 1995). Di Indonesia data seperti ini tidak mudah untuk didapatkan, karena banyak kegiatan riset yang dilakukan industri bersama akademisi secara individual, kelompok, atau lembaga intra-universitas yang tidak dicatat sebagai penerimaan resmi universitas. Di Inggris, publikasi ilmiah yang ditulis bersama (co-authored) oleh peneliti universitas atau lembaga riset pemerintah dengan personel yang mewakili institusi bisnis terlihat secara konsisten meningkat antara tahun 1981 sampai 1994 (Hicks and Katz, 1996). Publikasi yang ditulis bersama ini diasumsikan berakar pada hasil kolaborasi riset antara kedua pihak tersebut. Hasil kajian Rosenberg dan Nelson (1994) terkait dengan jumlah paten universitas patut untuk disimak, karena ternyata bukan hanya perguruan tinggi dan lembaga riset di negara yang belum maju teknologinya saja yang malas mendaftarkan paten, tetapi juga terjadi pada universitas di negara yang maju, seperti Amerika Serikat. Persentase paten universitas di Amerika Serikat secara relatif juga rendah, yakni hanya

90

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

berkisar antara 0,7 persen untuk bidang komunikasi sampai 18,1 persen untuk bidang rekayasa genetika. Porsi paten yang lebih besar berasal dari industri atau pihak non-universitas lainnya. Walaupun persentasenya rendah, tapi jumlah aktualnya tentu tetap jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah paten universitas dan lembaga riset di Indonesia. Hasil survei yang dilakukan oleh The Maastricht Economic Research Institute on Innovation and Technology (MERIT) memberikan gambaran tentang bagaimana pihak industri di negara-negara Eropa menilai peran universitas atau kelembagaan riset pemerintah. Kelembagaan riset pemerintah (termasuk universitas) dianggap penting oleh mayoritas (>50%) pelaku industri untuk bidang fasilitas layanan publik (utilities) dan pharmaseutikal, tetapi sebaliknya mayoritas pelaku industri menganggap peranannya kurang penting untuk bidang-bidang lainnya, termasuk logam olahan (fabricated metals), plastik, telekomunikasi, perminyakan, permesinan, bahan kimia, komputer, logam dasar, elektronik, instrumen, otomotif, pangan, dan kedirgantaraan (aerospace). MERIT telah mengembangkan database kesepakatan kerjasama dan indikator teknologi (Co-operative Agreements and Technology Indicators, disingkat CATI) yang mencakup hampir 13.000 kesepakatan kerjasama yang melibatkan lebih dari 6.000 perusahaan (OECD, 1997). Data yang terkumpul selama periode 1980-1994 dalam studi ini menunjukkan bahwa kerjasama teknis untuk bidang-bidang tertentu (bioteknologi, teknologi informasi dan komunikasi, dan teknologi material baru) meningkat di Amerika Serikat, tetapi di Jepang dan Eropa kerjasama serupa tidak menunjukkan perubahan yang berarti (Haagedoorn, 1996). Di Jepang ternyata kerjasama informal antar-kelembagaan bisnis berperan penting dalam keberhasilan pengembangan teknologi. Kolaborasi antar-lembaga bisnis memberikan sumbangan terhadap kinerja inovatif perusahaan di Norwegia dan Finlandia, dimana produk baru yang dihasilkan dari kolaborasi mampu meningkatkan penjualan. Kajian yang sama di Jerman, juga menunjukkan bahwa kolaborasi antar-perusahaan mampu meningkatkan penjualan untuk hampir semua produk yang dihasil melalui kolaborasi tersebut. Kerjasama terbukti mampu meningkatkan kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengadopsi teknologi yang bermanfaat (OECD, 1997). Malerba (1996) menganalisis 13 sumber informasi yang dianggap relevan untuk upaya pengembangan dan penguatan inovasi nasional. Sumber informasi tersebut dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yakni: [1] sumber informasi dari dalam kelembagaan bisnis sendiri; [2] bersumber dari pasar, termasuk konsumen, pemasok bahan baku atau komponen, dan konsultan; [3] lembaga riset pemerintah dan universitas; dan [4] sumber informasi umum seperti konferensi, pertemuan bisnis, pameran, informasi paten. Data yang digunakan oleh Malerba (1996) berasal dari hasil Community Innovation Survey (CIS) antara 1991 sampai 1993 yang dilaksanakan atas inisiatif bersama Komisi Eropa dan Eurostat terhadap 40.000 industri manufaktur di Eropah. Hasil analisis menunjukkan bahwa sumber informasi yang paling penting ternyata berasal dari pelanggan/konsumen dan sumber internal perusahaan; sedangkan informasi yang dianggap tidak penting adalah berasal dari lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi.

91

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Hasil ini bertentangan dengan anggapan yang umumnya dianut banyak pihak di Indonesia bahwa perguruan tinggi dan lembaga riset sebagai motor penggerak utama untuk tumbuh dan berkembangnya inovasi nasional. Fakta ini menjadi tantangan yang sangat serius bagi komunitas akademik dan peneliti Indonesia untuk melakukan reorientasi prioritas risetnya agar tidak semakin terkucil dari skenario global pengembangan inovasi. Pergeseran yang wajib dilakukan adalah menambah porsi goal-oriented atau demand-driven research dalam grand scenario pengembangan riset dan teknologi. Selain itu, komunitas akademik dan peneliti Indonesia tidak dapat lagi mengabaikan ancaman penjajahan teknologi asing dalam bentuk banjir produk barang dan jasa impor yang melanda pasar domestik dan invasi Multi National Company (MNC), baik secara langsung maupun dalam bentuk produknya. Kehadiran MNC dapat menjadi ancaman bagi upaya pengembangan teknologi nasional jika tidak dibangun hubungan yang sinergis mutualistik dengan MNC tersebut; sebaliknya bisa menjadi sumber spillover teknologi. Tantangan dan ancaman ini perlu dijawab dan/atau ditangkal dengan mewujudkan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan di Indonesia yang handal, berbasis sumberdaya nasional, digerakkan dengan motor teknologi domestik, dan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Kemandirian teknologi merupakan kunci utama dalam menghadapi tantangan dan ancaman tersebut.

4.3.2. Dinamika Lingkungan Regional Dinamika lingkungan strategis pada tingkat dunia akan berpengaruh bagi perkembangan inovasi nasional di Indonesia. Kondisi lingkungan strategis perlu mendapat perhatian, paling tidak untuk referensi. Namun demikian, berdasarkan kedekatan posisi geografis dan intensitas hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik, maka dinamika lingkungan strategis pada tingkat regional Asia Tenggara (ASEAN) perlu mendapat perhatian yang lebih intensif. Dalam konteks kemajuan inovasi saat ini, negara-negara ASEAN dapat dibagi dari tiga lapisan: Singapura berada pada lapisan atas, Malaysia dan Thailand pada lapisan tengah; sedangkan Indonesia, Vietnam, Filipina, dan negara-negara ASEAN lainnya berada pada lapisan bawah. Posisi Indonesia tersebut didasarkan atas beberapa indikator hasil analisis yang dilakukan oleh berbagai lembaga internasional (Tabel 6).
Tabel 6. Potensi pengembangan inovasi nasional Indonesia berdasarkan beberapa indikator akademik dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura

Indikator Peringkat HDI, 2007/08 Angka Partisipasi Kasar, 2007 Peringkat Daya Saing, 2007

Indonesia 107 17,3 54

Malaysia 63 32,5 21

Thailand 78 42,7 28

Singapura 7

92

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Indeks Daya Serap Teknologi, 2003 Indeks Kerjasama Riset, 2003 Paten USPTO, 2001/05 Publikasi Ilmiah, 2003

4,5 2,8 16,6 178

5,8 4,9 74,4 520

5,3 4,2 41,6 1072

6,0 409,4 3122

Sumber: Peringkat Human Development Index (HDI) dari Laporan UNDP (Hasta, 2009); Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan dari Depdiknas (Lakitan, 2008d); Peringkat Daya Saing dari Laporan World Economic Forum (Suhardi, 2009); Indeks Daya Serap Teknologi, Indeks Kerjasama Riset (Warsono, 2009), Paten USPTO, dan publikasi ilmiah dari Laporan World Bank (Suhardi, 2009).

Kemajuan inovasi suatu negara dapat ditaksir berdasarkan beberapa indikator, antara lain Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang pendidikan tinggi, Indeks Daya Saing Global, Indeks Daya Serap Teknologi, Indeks Kerjasama Riset, Paten Terdaftar, dan Jumlah Publikasi Ilmiah (Tabel 6). Disamping itu, kualitas sumberdaya manusia yang secara umum masih belum kompetitif, aliran teknologi antara pengembang dan pengguna yang masih tersendat, serta kendala non-teknologi lainnya juga memerlukan perhatian. Secara menyeluruh gambaran postur perkembangan inovasi di Indonesia masih jauh dari memuaskan. Untuk kawasan ASEAN pun masih perlu perjuangan keras agar dapat menjadi yang terdepan.

4.3.3. Dinamika Lingkungan Nasional Saat ini kontribusi teknologi pada tingkat nasional masih belum optimal, mungkin dapat dikatakan masih berada pada posisi yang sangat minimal. Hal ini disebabkan belum terjadinya aliran teknologi yang signifikan dari pihak pengembangan teknologi ke pihak pengguna teknologi. Pengembangan sistem inovasi nasional (SINas) dapat dikatakan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Berbagai alasan dan argumen yang menyertainya telah dijabarkan sebelumnya. Aspek yang akan ditelaah lebih mendalam adalah interaksinya dengan dinamika lingkungan strategis yang sedang berkembang saat ini dan kecenderungan perubahan lingkungan strategis tersebut di masa yang akan datang. Perubahan lingkungan strategis di

93

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Struktur perekonomian negara-negara ASEAN secara umum relatif sama, kecuali Singapura. Negara ASEAN umumnya masih mengandalkan sektor pertanian komoditas hasil eksploitasi kekayaan alamnya. Untuk kondisi saat ini, Singapura yang lebih maju di sektor perdagangan, industri pengolahan, dan industri jasa keuangan, merupakan mitra komplementer untuk pembangunan perekonomian nasional. Untuk itu diperlukan upaya yang lebih serius agar ketergantungan pada negara tetangga ini dapat dikurangi agar posisi Indonesia lebih kompetitif. Negara-negara ASEAN lainnya dapat menjadi kompetitor dan sekaligus mitra strategis yang potensial. Hal ini tergantung kemampuan Indonesia dalam mewujudkan inovasi nasional. Jika Indonesia mampu mengembangkan industri barang dan jasa berbasis teknologi nasional yang kompetitif, maka Indonesia dapat menjadi pemasok barang dan jasa, serta sekaligus memanfaatkan bahan baku yang dihasilkan negara-negara di kawasan ASEAN.

masa depan akan direka berdasarkan dua ekstrim skenario, yakni skenario business-as-usual, melanjutkan kecederungan yang sedang terjadi saat ini dengan tanpa upaya mendorong perubahan ke arah yang diinginkan, dan skenario dengan upaya percepatan perubahan ke arah yang lebih kondusif untuk berkembangnya inovasi nasional. Bank Indonesia dalam Laporan Perekonomian 2006, menghitung kontribusi iptek terhadap pertumbuhan ekonomi menggunakan proxy indikator Total Factor Productivity (TFP) dan mendapatkan bahwa TFP Indonesia hanya sebesar 1,38 persen. Artinya sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini masih didominasi faktor di luar teknologi, yakni modal dan tenaga kerja (Firdausy, 2009a; Kadiman, 2009). Selanjutnya Firdausy (2009b) menyebutkan bahwa kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi terjadi pada periode 1991-1995, dengan TFP sebesar 4 persen. Jika kecenderungan yang telah berlangsung sekitar setengah abad ini tidak diimbangi dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan reorientasi kebijakan pengembangan teknologi dan industri, maka pertumbuhan perekonomian Indonesia tidak akan pernah membaik, bahkan mungkin semakin terpuruk. Salah satu modal utama pembangunan Indonesia sampai saat ini berasal dari kekayaan sumberdaya alam yang bersifat tak-terbarukan (non-renewable resources), yang suatu saat akan habis. Tanpa melakukan upaya mendorong agar teknologi domestik lebih sesuai untuk menjawab permasalahan dan kebutuhan pembangunan ekonomi nasional dan tanpa upaya mendorong industri untuk lebih memprioritaskan penggunaan teknologi domestik dan memproduksi barang dan jasa sesuai kebutuhan pasar domestik, maka upaya menumbuhkan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) tidak akan pernah terwujud. Pengetahuan hanya bisa ditranslasi menjadi pertumbuhan ekonomi jika terlebih dahulu mampu menghasilkan teknologi yang dibutuhkan pengguna teknologi untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan. Agaknya tidak berlebihan atau terkesan pesimistik jika disimpulkan bahwa inovasi tidak akan tumbuh berkembang jika tidak terjadi perubahan lingkungan strategis yang mengarah kepada terwujudnya ekosistem yang lebih kondusif untuk tumbuh-kembang sistem inovasi nasional (SINas). Skenario business-as-usual jelas tidak akan mampu mendukung pengembangan inovasi nasional. Hanya dengan melakukan perubahan secara agresif-dan-terarah (agressive and welldirected) terhadap lingkungan strategis, penguatan inovasi diharapkan akan terjadi dan kontribusi teknologi terhadap pembangunan perekonomian dapat ditingkatkan. Perubahan lingkungan strategis ke arah yang lebih kondusif ini perlu dimulai dari setiap komponen bangsa di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini kemudian dituangkan dalam bentuk regulasi yang mengikat semua pihak untuk mematuhi dan berperan aktif dalam implementasinya. Perubahan lingkungan strategis tersebut, termasuk: (1) Mengubah orientasi pendidikan nasional yang diterapkan melalui kurikulum pendidikan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi

94

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

juga memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap permasalahan dan kebutuhan pembangunan nasional. Relevansi dan mutu pendidikan harus menjadi tujuan utama penyelenggaraan pendidikan pada semua strata; (2) Perlu menggeser paradigma eksploitasi kekayaan sumberdaya alam sebagai cara cepatdan-mudah untuk meningkatkan pendapatan negara (orientasi jangka pendek), menjadi pengelolaan sumberdaya alam yang lebih efisien dan akrab lingkungan, sehingga dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan ekonomi dan ekologi yang lebih maksimal (orientasi jangka panjang); (3) Mengubah citra produk nasional di mata konsumen dalam negeri, dengan cara meningkatkan kualitas barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri ( Made in Indonesia) yang dibarengi dengan harga yang lebih kompetitif. Keteladanan tokoh pemerintahan dan masyarakat dalam mendorong kecintaan dan kebanggaan atas produk nasional merupakan salah satu cara yang diyakini efektif; dan (4) Menerbitkan regulasi yang lebih favorable untuk pengembangan teknologi nasional dan untuk mendukung peningkatan market share produk nasional di pasar domestik. Pada tahun 2011 ini terjadi perkembangan yang positif, dalam upaya penguasaan dan pemanfaatan iptek. Dengan diluncurkannya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pembangunan perekonomian tidak lagi dilakukan dengan pendekatan yang bersifat Business as Not Usual. Semangat perubahan pendekatan pembangunan perekonomian tersebut tercermin dari: [1] MP3EI mengedepankan terobosan kebijakan dan strategi, dimana titik berat pendekatan terletak pada solusi, bukan pada masalah yang dihadapi; [2] MP3EI menitikberatkan pada percepatan transformasi ekonomi melalui peningkatan nilai tambah (value added), mendorong investasi, mengintegrasikan sektor dan regional, serta memfasilitasi percepatan investasi swasta sesuai kebutuhannya; dan [3] MP3EI mengakomodir masukan dan pendapat dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan pemerintah daerah. Untuk itu, tiga strategi utama dikembangkan dalam pelaksanaan MP3EI, yaitu: [1] pengembangan potensi ekonomi pada enam koridor pembangunan, dengan cara mendorong investasi BUMN, swasta nasional, dan Foreign Direct Investment (FDI) pada 22 kegiatan ekonomi utama; [2] memperkuat konektivitas nasional melalui sinkronisasi rencana aksi untuk revitalisasi kinerja sektor riil; dan [3] pengembangan center of excellence di setiap koridor ekonomi, yang didorong melalui pengembangan SDM dan iptek yang sesuai untuk peningkatan daya saing. Untuk melaksanakan MP3EI yang didasarkan pada Perpres No. 32 Tahun 2011, dibentuk pula Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI). Dalam struktur KP3EI ini terdapat tiga Kelompok Kerja, yakni: [1] Pokja Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi, [2] Pokja Percepatan Pembangunan Infrastruktur, dan [3] Pokja SDM dan Iptek. Keberadaan Pokja SDM dan Iptek ini membuka peluang bagi Kementerian Riset dan Teknologi, dan unsur kelembagaan iptek di perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, maupun di lembaga lainnya di badan usaha, masyarakat, dan lembaga penunjang lainnya untuk secara

95

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

lebih signifikan dapat berkontribusi terhadap pembangunan perekonomian Indonesia. Secara teknis operasional, ini berarti upaya penguatan inovasi nasional di Indonesia mendapat pijakan yang lebih mantap.

96

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Bab 5 Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan RUU Perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002
Sangat mudah untuk menyatakan bahwa pengembangan sistem inovasi nasional (SINas) merupakan upaya mendorong peningkatan inovasi secara nasional agar secara nyata memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun persoalannya adalah bagaimana cara untuk mewujudkannya di Indonesia. Untuk itu akan diuraikan dalam bab ini mengenai arah dan jangkauan kebijakan penguatan inovasi nasional, serta ruang lingkup materi muatan rancangan undang-undang tentang perubahan UU No. 18 Tahun 2002.

5.1. Arah dan Jangkauan Pengaturan Penguatan Inovasi Nasional

Pejabat negara dan kadang juga akademisi yang (dianggap) pakar di bidang penguatan inovasi juga ikut melakukan upaya adopsi langsung ini tanpa melakukan analisis yang mendalam mengapa pengembangan konsepsi inovasi tertentu berhasil memajukan perekonomian di negara asalnya. Kalaupun dilakukan analisis, maka seringkali pengembangan inovasi dianalisis secara terisolir, tercerabut dari ekosistem dimana sistem inovasi nasional (SINas) mampu unjuk kinerja dengan sangat baik. Pengembangan SINas tidak hanya merupakan sekumpulan aktor. Sekumpulan aktor SINas yang hebat, baik yang berperan sebagai pengembang maupun pengguna teknologi yang dimiliki suatu negara, belum menjamin bahwa negara yang bersangkutan akan secara otomatis memiliki SINas yang produktif dan berkelanjutan. Kehandalan SINas sebagai sebuah sistem lebih ditentukan oleh intensitas dan efektivitas interaksi antara aktor-aktor utamanya, dukungan dari berbagai aktor pendukungnya, dan kondusivitas ekosistem tempat tumbuhkembangnya. Secara praktis, kehandalan SINas sesungguhnya ditentukan oleh kelancaran aliran

97

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Di negara-negara maju yang tergabung dalam OECD, kebijakan inovasi nasional umumnya telah dipublikasikan secara luas. Strategi keberhasilan negara-negara tertentu, sering menjadi reference utama dalam pengembangan kebijakan inovasi. Namun demikian upaya untuk mengadopsi secara langsung konsepsi inovasi nasional di negara yang secara ekonomi lebih berhasil untuk diterapkan di negara lainnya seringkali mengalami kegagalan. Demikian halnya, mengabaikan fakta adanya perbedaan yang tajam antara negara yang dicontoh dengan realita di Indonesia.

informasi kebutuhan (demand) dari para aktor pengguna ke pengembang teknologi, yang diimbangi dengan kelancaran pasokan teknologi yang relevan dari aktor pengembang ke pengguna teknologi. Secara komprehensif, SINas merupakan sistem yang kompleks. Walaupun untuk simplifikasi dalam analisisnya unsur-unsur SINas dapat diurai lepas satu per satu, namun analisis hanya akan sahih jika masing-masing unsurnya tersebut selalu dilihat dari perpektif keterkaitannya dengan unsur SINas lainnya. Alur keterkaitan SINas dengan komponen pembentuk ekosistemnya dapat dilihat pada Gambar 6.

POTENSI SUMBERDAYA EKONOMI [Tangible Factors] Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia Infrastruktur

POTENSI SOSIO-KULTURAL

[Intangible Factors] Ideologi Politik Tata Kepemerintahan Budaya Kerja

PERAN POKOK PEMERINTAH Memformulasikan kebijakan pendukung SINas berbasis pada Potensi Sumber daya Ekonomi dan Potensi SosioKultural dalam rangka penyiapan Panggung SINas, terutama kebijakan: Perekonomian makro, keuangan, dan perpajakan Perindustrian dan Perdagangan Riset dan Pengembangan Teknologi Ketenagakerjaan Pendidikan Nasional Infrastruktur Sosial Tata Kepemerintahan

PENGEMBANG TEKNOLOGI Perguruan Tinggi Lembaga R&D Pemerintah Lembaga R&D Swasta

PENGGUNA PASAR TEKNOLOGI Domestik Industri / Global Bisnis Masyarakat Pemerintah Barang/Jasa Permintaan

LEMBAGA INTERMEDIASI

PANGGUNG SINAS Fasiltas Komunikasi & Interaksi Regulasi yang Kondusif Dukungan & Insentif Finansial

Gambar 6. Peran Pemerintah dalam menyiapkan panggung Sistem Inovasi Indonesia

Upaya mewujudkan SINas yang efektif dan produktif dalam mendukung pembangunan perekonomian membutuhkan peranan pemerintah dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh kembang SINas tersebut. Tugas utama pemerintah adalah menyiapkan panggung untuk pengembangan SINas agar para aktor inovasi secara nyaman dapat memainkan peranannya masing-masing. Panggung SINas sebagai konsepsi dapat diaktualisasikan dalam bentuk: [1] fasilitas untuk para aktor berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif, [2] regulasi yang memungkinkan para aktor untuk memformulasikan dan mengimplementasikan upaya bersama dalam meningkatkan produktivitas, dan [3] dukungan dan/atau insentif finansial yang menjadi perangsang bagi para aktor untuk bersama-sama membangun dan memperkuat inovasi nasional. Panggung SINas yang ideal tidak mungkin dapat disiapkan oleh pemerintah tanpa didahului dengan formulasi kebijakan di berbagai sektor pendukung inovasi nasional yang tepat. Kebijakan yang terkait secara langsung dan diyakini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja SINas adalah kebijakan ekonomi makro, keuangan, dan perpajakan; kebijakan perindustrian dan perdagangan; kebijakan riset dan pengembangan teknologi; kebijakan ketenagakerjaan; kebijakan pendidikan nasional; kebijakan penyediaan infrastruktur sosial; dan kebijakan dalam rangka mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance). Kebijakan tersebut selain harus selaras dengan upaya mewujudkan SINas, juga harus berbasis pada potensi sumberdaya ekonomi dan potensi sosial budaya yang dimiliki Indonesia.

98

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Kebijakan yang tidak mengakar pada potensi dan kondisi sendiri akan lebih susah untuk secara efektif diimplementasikan. Dengan demikian tugas pokok pemerintah yang paling krusial adalah mensinkronisasikan antara potensi ekonomi dan non-ekonomi yang dimiliki Indonesia dalam rangka menyiapkan panggung SINas yang nyaman bagi para aktor untuk unjuk kinerja melalui kebijakan dan regulasi yang kondusif. Kinerja aktor-aktor SINas pada akhirnya akan terindikasi dari kemampuan nasional dalam memenuhi permintaan pasar (utamanya pasar domestik), baik berupa barang maupun jasa. Oleh sebab itu, peran pemerintah tidak hanya penting dalam rangka menyiapkan panggung SINas, tetapi juga penting perannya dalam mengawal agar pengembangan teknologi dan aplikasinya oleh industri (sebagai pihak penggunanya) lebih berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar domestik.27

5.1.1. Membangun Inovasi sebagai Sistem Sebagai sebuah sistem, pengembangan inovasi nasional tidak dapat dipandang hanya sebagai kumpulan dari lembaga, tetapi yang lebih penting adalah terjadinya aliran informasi dan produk iptek yang lancar antar-lembaga. Keberadaan aktor atau kelembagaan pengembang dan pengguna teknologi, serta upaya fasilitasi, intermediasi, dan regulasi pemerintah belum menjamin bahwa sistem inovasi sudah terbangun atau pasti akan berjalan. Pada saat ini sesungguhnya para aktor dan lembaga-lembaga tersebut sudah ada, tetapi interaksi dan komunikasinya belum intensif dan produktif. Ini yang menjadi persoalan pokok saat ini. Pengembang teknologi (termasuk perguruan tinggi) melakukan kegiatan riset tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan kebutuhan pengguna; sebaliknya pengguna teknologi belum mau mengadopsi teknologi dalam negeri karena berbagai alasan, antara lain karena tidak relevan dengan kebutuhan, belum cukup handal secara teknis, tidak sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna, dan/atau belum kompetitif secara ekonomi. Untuk memperbesar peluang terwujudnya sistem inovasi, maka para pengguna teknologi harus terbuka untuk berbagi informasi tentang kebutuhan teknologi dan persoalan nyata yang dihadapi; sebaliknya juga pihak pengembang teknologi harus peka terhadap kebutuhan dan persoalan nyata yang berkembang dan umumnya bersifat dinamis. Teknologi yang dikembangkan selain harus relevan dengan kebutuhan pengguna, juga harus sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna potensialnya, baik kapasitas adopsinya secara teknis, ekonomi, dan sosiokultural (Gambar 7).

27

Sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada beberapa kesempatan. Berbagai negara, juga melihat populasi Indonesia yang besar, lebih dari 237 juta jiwa (BPS, 2010) juga merupakan pasar yang sangat potensial.

99

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 7. Konsepsi Dasar Sistem Inovasi Nasional (Lakitan, 2010)

Lembaga litbang sebagai pengembang iptek perlu: [1] mengevaluasi kembali tentang kesesuaian orientasi pengembangan iptek dengan kebutuhan rakyat dan negara (isu relevansi riset); dan [2] meningkatkan pemaham tentang kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi rakyat dan negara (isu sensitivitas pelaku pengembang iptek); sebaliknya lembaga pengguna teknologi perlu meningkatkan kapasitas adopsinya dan kesediaannya dalam berbagi informasi kebutuhan dan persoalan terkait dengan teknologi. Perlu selalu diyakini bahwa iptek hanya akan berkontribusi terhadap pembangunan nasional, apabila iptek digunakan dan nyata bermanfaat, baik manfaat ekonomi maupun non-ekonomi. Prasyarat agar aliran teknologi ini terjadi adalah: [1] teknologi yang dikembangkan dan ditawarkan oleh lembaga litbang relevan dengan kebutuhan pengguna; [2] teknologi yang ditawarkan sepadan dengan

100

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dalam konteks pengembangan SINas, maka mutlak perlu terjadi aliran informasi kebutuhan iptek dan persoalan nyata yang membutuhkan solusi iptek dari pihak pengguna ke pihak pengembang iptek. Prasyarat agar aliran ini terjadi adalah [1] keterbukaan atau keinginan dari pihak pengguna untuk berbagi informasi dan [2] sensitivitas pihak pengembang iptek dalam menangkap sinyal kebutuhan teknologi dan persoalan nyata yang dihadapi pihak pengguna iptek. Keyakinan pihak pengguna atas kapasitas lembaga pengembang iptek dalam menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang sesuai kebutuhan, handal secara teknis, dan kompetitif secara ekonomi akan menjadi pemicu terjadinya aliran informasi dimaksud. Jika saat ini aliran tersebut masih tersendat, maka adalah bijak jika kedua belah pihak melakukan swa-evaluasi (self assessment), mencermati tentang apa yang perlu dibenahi di wilayah peran masing-masing. Lembaga litbang dan lembaga pengguna teknologi perlu melakukan pembenahan.

kapasitas adopsi (calon) pengguna potensialnya; dan [3] penggunaan iptek tersebut mempunyai prospek keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan iptek serupa yang sudah tersedia. Pada fase awal (seperti kondisi saat ini), menggerakkan aliran dua-arah ini akan membutuhkan daya yang besar dan upaya yang intensif. Oleh sebab itu, butuh peran dan komitmen yang sungguh-sungguh dari Pemerintah. Pemerintah diharapkan dapat memainkan peran sebagai fasilitator, intermediator, dan regulator agar suasana yang kondusif dapat diwujudkan, agar pengguna dan pengembang iptek terangsang untuk mengintensifkan komunikasi dan interaksinya.

Secara hakiki, sistem inovasi hanya akan terwujud jika terjadi komunikasi dan interaksi antara aktor atau lembaga pengembang dengan pengguna teknologi, terbukti dengan adanya aliran informasi kebutuhan teknologi dan informasi tentang persoalan nyata yang dihadapi oleh pihak pengguna dalam melakukan proses produksi barang dan/atau jasa sesuai dengan permintaan konsumen, serta sebaliknya juga terjadi adopsi teknologi yang dihasilkan oleh pihak pengembang oleh pihak pengguna. Kesinambungan aliran dua arah ini yang menjadi indikator eksistensi sistem inovasi, pada jenjang nasional, daerah, maupun kawasan ekonomi tertentu.

5.1.2. Revitalisasi Lembaga Pengembang Teknologi Pada saat ini, ada tiga kapasitas yang sangat mendasar yang perlu dimiliki oleh setiap lembaga pengembang teknologi, yakni: [1] kapasitas untuk menyerap iptek yang berasal dari luar (sourcing capacity); [2] kapasitas untuk melakukan riset dan pengembangan iptek (R&D capacity); dan [3] kapasitas untuk mendiseminasikan pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan (disseminating capacity)(Gambar 8). Kapasitas outsourcing lembaga pengembang teknologi terindikasi antara lain dari aksesibilitas ke berbagai sumber informasi iptek, tidak terjadi tumpang tindih riset yang dilakukan dengan riset yang (telah) dilakukan di tempat lain, dan efisiensi penggunaan sumberdaya dalam menghasilkan iptek yang bermanfaat. Kapasitas riset dan pengembangan tercermin dari kualitas riset dan iptek yang dihasilkan, relevansi teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan nyata para pengguna, dan produktivitas lembaga dalam menghasilkan teknologi per satuan sumberdaya dan/atau biaya yang dikelola. Sedangkan kapasitas diseminasi terlihat dari intensitas dan jangkauan publikasi kegiatan riset yang dilakukan dan iptek yang dihasilkan baik melalui media cetak maupun elektronik, kuantitas dan kualitas iptek yang diadopsi oleh pihak pengguna, dan royalti yang diterima oleh lembaga atas produk teknologinya yang berhasil dikomersialisasikan. Contoh indikator kinerja lembaga litbang berbasis pada tiga kapasitas pokoknya, disajikan pada Tabel 7.

101

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 8. Tiga kapasitas yang harus dimilik lembaga litbang (Lakitan, 2011a)

Tabel 7. Tiga kapasitas lembaga litbang dan contoh indikator kinerjanya

Kapasitas Pokok Kapasitas Outsourcing

Kapasitas Litbang

Kapasitas Diseminasi

Contoh Indikator Kinerja Akses ke sumber informasi iptek Tidak terjadi tumpang tindih dan replikasi riset Efisiensi pemanfaatan sumberdaya Jaringan kemitraan Kualitas hasil litbang Relevansi dengan kebutuhan/persoalan nyata Produktivitas kelembagaan Situs dan frekuensi pemutakhiran informasi Publikasi ilmiah Hasil riset yang dimanfaatkan pengguna Royalti yang diterima

Pada era inovasi yang terbuka ini, ketiga jenis kapasitas ini secara paralel dikembangkan dalam sebuah sistem yang terintegrasi. Strategi revitalisasi lembaga pengembang teknologi dikemas secara komprehensif dan integratif, tidak secara partial maupun tersegmentasi. Ukuran keberhasilan dan pilihan indikator yang digunakan dalam melakukan evaluasi kinerja lembaga

102

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

pengembang teknologi perlu dikonstruksi secara cermat. Peringatan dari Loikkanen et al. (2009) perlu mendapat perhatian: Although useful in benchmarking of country performances, S&T indicators, if poorly constructed, can convey misleading policy messages. Indikator kinerja yang dikembangkan dan telah digunakan oleh lembaga internasional dengan reputasi baik serta telah diadopsi oleh berbagai negara, dapat dijadikan sebagai referensi. Namun demikian tetap perlu dicermati, karena tidak secara otomatis menjamin indikator tersebut merupakan indikator yang paling pas untuk kondisi dan kepentingan Indonesia saat ini. Dalam penggunaan indikator ini, sangat bijaksana nasehat yang dikemukakan oleh seorang tokoh inovasi dunia yang berkerja puluhan tahun untuk lembaga internasional ternama dalam mengembangkan indikator ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (STI) berikut ini: On the basis of 40 years of indicators work, we argue that frontiers and characteristics of STI indicators that were important last century may no longer be so relevant today and indeed may even be positively misleading (Freeman and Soete, 2009). Peringatan dan nasehat seperti ini perlu secara serius diperhatikan oleh para pengelola lembaga pengembang teknologi di Indonesia, karena kasus abuse indikator STI (dan data statistik lainnya) bukan merupakan kejadian langka di Indonesia. Cara yang bijak adalah pahami secara komprehensif dan mendalam tentang lembaga pengembang teknologi Indonesia saat ini dan ekspektasi peran lembaga ini yang ideal di masa yang akan datang, baru kemudian memilih indikator yang pas untuk mengevaluasi kemajuan yang dicapai secara berkala dengan interval waktu yang rasional, sepanjang kurun waktu yang dibutuhkan untuk proses transformasi dari kondisi saat ini menjadi lembaga ideal yang diharapkan. Revitalisasi lembaga pengembang teknologi diyakini akan menempuh tiga langkah penting, yakni: [1] merumuskan kembali tujuan dan menetapkan sasaran yang ingin dicapai; [2] melakukan reformasi struktural agar organisasi lembaga dapat menjadi kendaraan yang efektif untuk mencapai tujuan; dan [3] mengubah mindset dan budaya kerja komunitas pengembang teknologi. Lembaga pengembang teknologi di Indonesia juga perlu melakukan reformasi, agar transfer/difusi iptek dapat berjalan lebih lancar. Langkah pertama dan kedua relatif tidak sulit untuk dilakukan, maka langkah ketiga, yakni mengubah mindset dan budaya kerja individu peneliti dan komunitas pengembang litbang, akan menjadi tantangan dan ujian yang paling sulit tetapi mutlak harus dilakukan. Keberhasilan pada dua langkah pertama akan sia-sia jika langkah ketiga ini tidak berhasil dilaksanakan. Boardman (2009) mengirimkan sinyal tentang tantangan yang sulit ini: [There is] a fundamental management task of aligning individual behaviors with [research] center goals and objectives. Apalagi individu-individu dalam komunitas pengembang teknologi selama ini terbiasa dan lebih nyaman berkerja secara individual dibandingkan sebagai bagian dari kelompok atau komunitas yang lebih besar. Lembaga pengembang teknologi saat ini merupakan bagian integral dari sistem yang lebih besar, yakni SINas. Oleh sebab itu, visi dan misi, serta tujuan dan sasarannya perlu disesuaikan. Rencana strategis dan rencana aksi lembaga perlu ditinjau ulang. Kegiatan riset yang cenderung untuk prestasi akademik semata, atau yang hanya bersifat sebagai academic exercise, perlu

103

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

digeser prioritasnya untuk mendahulukan kegiatan riset untuk menghasilkan iptek yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi sudah saatnya diperlakukan sebagai bagian dari investasi. Kegiatan pengembangan teknologi dalam jangka panjang harus memberikan keuntungan yang sebanding dengan pembiayaannya. Keuntungan yang dimaksud tidak selalu dalam bentuk keuntungan ekonomi, tetapi dapat dalam bentuk non-ekonomi, misalnya penyelenggaraan pemerintahan yang lebih bersih, turunnya tingkat kriminalitas atau tumbuhnya rasa aman, meningkatnya rasa bangga sebagai warga negara, kerukunan umat beragama, dan bentuk keuntungan sosial dan spiritual lainnya. Namun demikian, sejak awal kegiatan pengembangan teknologi harus mempunyai orientasi yang jelas, yakni untuk menghasilkan iptek yang bermanfaat bagi umat maupun negara. Perspektif ini yang menjadi ruh pengembangan teknologi berbasis realita kebutuhan (demand-driven). Kecenderungan global saat ini sangat kentara mengarah pada pengembangan teknologi berbasis kebutuhan, walaupun banyak ragam istilah yang digunakan, misalnya market-driven, goal-oriented research, mission-driven, issue-driven, need-driven, evidence-based, atau challenge-driven. Ragam istilah pendekatan pengembangan teknologi ini pada esensinya adalah kurang-lebih sama.

5.1.3. Peningkatan Kapasitas Adopsi Lembaga Pengguna Teknologi Konsepsi peningkatan kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna berpeluang untuk diterapkan jika dibangun berdasarkan realita posisi saat ini. Pemahaman yang tepat tentang akar persoalan yang menyebabkan lembaga pengguna teknologi Indonesia berada pada posisi saat ini akan sangat membantu. Untuk itu perlu kejelian dalam mengidentifikasi akar persoalan (fundamental problems), agar tidak terkecoh oleh gejala simptomatis (symptomatical problems) yang mungkin tertangkap pada kesan pertama. Jika konsepsi hanya menyentuh persoalan simptomatis, maka konsepsi tersebut tidak akan mampu menjadi solusi mendasar bagi upaya meningkatkan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi sebagaimana yang diniatkan. Jika hanya gejala simptomatis yang mampu dikenali, maka konsepsi yang dikembangkan mungkin kelihatannya bagus tetapi sangat mungkin akan mengecewakan karena ternyata tidak mampu memberikan solusi sebagaimana yang diharapkan. Hipotesis untuk kondisi saat ini adalah: [1] kapasitas adopsi lembaga-lembaga pengguna teknologi di Indonesia saat ini masih sangat rendah, yang disebabkan oleh mutu potensi internal yang rendah dan motivasi yang kurang; dan [2] peningkatan kapasitas adopsi teknologi terkendala oleh ekosistem yang kurang kondusif, terutama dari regulasi dan insentif yang belum optimal. Upaya penguatan kapasitas adopsi lembaga pengguna perlu memperhatikan: [1] potensi internal (sumberdaya manusia, kemampuan pembiayaan, sarana dan prasarana pendukung) lembaga-lembaga pengguna teknologi sangat minimal, selain itu juga kebijakan internal lembaga masih belum memberikan prioritas untuk peningkatan kapasitas adopsi, akibatnya motivasi untuk melakukan upaya peningkatan tersebut juga tidak tumbuh; dan [2] unsur-unsur ekosistem eksternal yang kurang kondusif, terutama karena regulasi yang kurang

104

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

mendukung atau sebagian sudah mendukung namun implementasinya masih terkendala, selain juga fasilitasi dan intermediasi yang masih belum optimal, serta program-program insentif yang ada masih kurang efektif dan/atau kurang menarik bagi lembaga pengguna (Gambar 9). Realita saat ini menumbuhkan keyakinan bahwa untuk mengoptimalkan kemampuan lembaga pengguna dalam mengadopsi teknologi yang paling krusial adalah melakukan pembenahan internal lembaga. Pembenahan ini mencakup, terutama penguatan sumberdaya (manusia, sarana, prasarana, dan dana) untuk mendukung aktivitas litbang pada lembaga pengguna, atau dengan ungkapan yang lebih sederhana adalah dengan melakukan penguatan kapasitas litbang internal lembaga pengguna.

Gambar 9. Kerangka dasar konsepsi peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi

Berbeda dengan industri yang mengadopsi teknologi untuk diaplikasikan dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen, lembaga pemerintah mengadopsi teknologi untuk digunakan dalam menjalankan tugas negara/pemerintahan. Posisi ini cenderung sebagai konsumen akhir dari teknologi atau produk teknologi yang diakuisisi, misalnya dalam konteks teknologi pertahanan dan keamanan. Sebagaimana industri, lembaga pemerintah yang berperan sebagai lembaga pengguna teknologi juga harus diperkuat kapasitas litbangnya. Lembaga ini tidak hanya mampu menggunakan produk teknologi yang dibeli atau diakuisisi, tetapi juga mampu untuk melakukan asimilasi dan reformulasi teknologi agar lebih sesuai dengan kebutuhan spesifiknya dan/atau untuk meningkatkan kehandalan produk teknologi tersebut. Minimal mampu melakukan pemeliharaan (maintenance), sehingga mengurangi

105

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

ketergantungan kepada pihak produsennya sebagai langkah antisipatif jika ada kendala purnajualnya. Untuk dapat melaksanakan peran ini, maka opsi utamanya adalah meningkatkan kualitas dan relevansi keahlian sumberdaya manusia yang bekerja pada masing-masing lembaga pengguna tersebut, diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dan dukungan anggaran yang mencukupi. Di era informasi terbuka ini, lembaga pengguna juga diharapkan tidak hanya mampu mengaplikasikan teknologi, tetapi juga mampu secara proaktif mengenali jenis dan mengidentifikasi sumber teknologi yang maju, handal, dan relevan dengan kebutuhan lembaganya, serta siap secara seutuhnya untuk mengadopsi teknologi tersebut, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri, termasuk juga melalui spillover investasi asing. Dalam rangka memaksimalkan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi, maka perlu upaya sungguh-sungguh untuk: [1] meningkatkan kualitas dan relevansi keahlian dan/atau ketrampilan sumberdaya manusia, terutama untuk yang secara langsung melaksanakan tugasnya terkait adopsi dan pengembangan teknologi; [2] memberikan dukungan fasilitas dan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan adopsi dan pengembangan teknologi; [3] menyepakati dan menjalankan secara konsisten kebijakan internal lembaga pengguna untuk memprioritaskan adopsi dan pengembangan teknologi; dan [4] melakukan upaya institusional yang dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi karyawan dalam meningkatkan peran aktifnya dalam proses adopsi dan pengembangan teknologi, misalnya insentif yang pantas untuk kontribusi atau prestasi yang dicapai. Upaya penguatan kapasitas adopsi masyarakat sebagai pengguna teknologi perlu pendekatan yang berbeda. Mungkin saja organisasi atau asosiasi masyarakat yang memayungi individuindividu pengguna teknologi, namun lembaga masyarakat tersebut tidak bersifat struktural sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai entitas yang setara dengan lembaga pengguna sebagaimana pada industri dan pemerintahan. Dengan kata lain, individu-individu masyarakat lebih pas jika diperlakukan secara independen, misalnya petani, nelayan, peternak, seniman, dan lain-lain. Namun perlu pula ditegaskan bahwa industri mikro atau kecil tradisional tetap harus dikategorikan sebagai satu entitas industri, terlepas dari jumlah karyawannya yang mungkin sangat sedikit. Kapasitas adopsi individu masyarakat dengan demikian akan tergantung pada kapasitas intelektual, kemampuan manajerial, motivasi, naluri bisnis, dan kualitas personal lainnya. Namun demikian, agar upaya meningkatkan kapasitas adopsi individu masyarakat ini dapat dilakukan secara lebih praktis, rasional, dan efisien; pelaksanaannya dapat saja dilakukan secara kolektif pada komunitas pengguna dengan kebutuhan jenis teknologi, bidang usaha, dan skala usaha yang setara. Memahami karateristik masing-masing pengguna teknologi yang berbeda (antara industri, lembaga pemerintah, dan individu masyarakat), dibutuhkan pendekatan dan strategi yang berbeda untuk masing-masing kelompok pengguna tersebut, walaupun tujuannya adalah sama, yakni untuk meningkatkan kapasitas adopsi teknologi. Ada empat faktor eksternal yang secara langsung mempengaruhi kapasitas adopsi teknologi. Dua faktor bersifat mendorong (pushing factors) lembaga pengguna untuk meningkatkan kapasitas adopsinya, yakni regulasi dan

106

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

adanya kompetisi antara lembaga pengguna; sedangkan dua faktor lagi bersifat menarik (pulling factors), yakni adanya permintaan pasar dan ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan (Gambar 10).

Gambar 10. Faktor eksternal yang mempengaruhi kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi

Regulasi yang tepat akan mendorong lembaga pengguna untuk meningkatkan kemampuan internalnya yang berkaitan langsung dengan kapasitas adopsi teknologi, misalnya peningkatan kualitas sumberdaya manusia; sedangkan adanya kompetitor tentu akan menjadi faktor pendorong lainnya bagi lembaga pengguna untuk antara lain meningkatkan aktivitas serta fasilitas riset in-house. Prinsip dasarnya dalam era informasi terbuka ini, semua pihak bisa mendapatkan informasi tentang ketersediaan teknologi dan berpeluang untuk mengadopsinya, tetapi hanya lembaga pengguna yang siap yang mampu melakukan proses adopsi tersebut secara efektif dan efisien, serta mampu mengadaptasi teknologi tersebut agar lebih sesuai dengan kebutuhannya dan mampu memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dari adopsi teknologi tersebut. Adanya permintaan pasar yang nyata dan signifikan, serta ketersediaan sumberdaya (bahan baku, tenaga kerja, kepakaran, fasilitas dan infrastruktur pendukung) akan menumbuhkan motivasi dan menjadi pemicu untuk meningkatkan kapasitas adopsi teknologi yang dibutuhkan lembaga pengguna untuk mengelola sumberdaya tersebut. Secara ringkas, potret kapasitas

107

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

adopsi yang ideal untuk lembaga pengguna teknologi adalah jika memiliki kemampuan untuk mengenali teknologi sesuai dengan kebutuhannya, menyerap dan mengasimilasikan teknologi tersebut, memformulasikan teknologi yang aplikatif sesuai kemampuan dan kebutuhannya, serta mengaplikasikannya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang diembannya, atau sesuai dengan core business-nya. Ada beberapa catatan penting terkait dengan kapasitas adopsi yang ideal bagi lembaga pengguna teknologi, yakni: [1] Kapasitas internal lembaga sangat krusial untuk dibangun, oleh sebab itu perlu melakukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, terutama tetapi tidak terbatas pada sumberdaya manusia yang ditugaskan pada atau terkait langsung dengan unit yang menangani adopsi, adaptasi, dan pengembangan teknologi; [2] Perlu dukungan yang optimal untuk aktivitas dan penyediaan fasilitas riset in-house, karena akan secara nyata berdampak positif pada kapasitas adopsi, adaptasi, dan pengembangan teknologi; [3] Regulasi dan kompetisi menjadi faktor pendorong (pushing factors) yang efektif; sedangkan permintaan pasar dan potensi sumberdaya dapat menjadi faktor penarik (pulling factors) yang atraktif bagi lembaga pengguna untuk meningkatkan kapasitas adopsinya; [4] Perlu regulasi dan kebijakan yang kondusif untuk membuka peluang mobilisasi sumberdaya manusia antar-lembaga inovasi, sehingga dapat memperbesar peluang untuk terjadinya aliran atau limpasan (spillover) teknologi yang diserap oleh lembaga pengguna; [5] Keberadaan lembaga pengguna dalam suatu klaster inovasi tidak menjamin akan efektif dalam mengadopsi teknologi yang tersedia, namun jika kapasitas adopsinya sudah berada pada jenjang yang ideal maka keberadaannya dalam klaster inovasi akan memperbesar peluangnya untuk mengadopsi teknologi tersedia yang sesuai dengan kebutuhannya; dan [6] Kapasitas adopsi lembaga pengguna perlu secara paralel dibangun bersama dengan kemampuan lembaga pengembang untuk menghasilkan teknologi yang relevan dalam rangka mewujudkan sistem inovasi, baik pada tingkat nasional maupun pada jenjang yang lebih terbatas wilayah cakupannya.

5.1.4. Peningkatan Peran Lembaga Intermediasi Ketidakpaduan antara teknologi yang dihasilkan lembaga pengembang dengan kebutuhan pengguna dan rendahnya kebutuhan serta kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna merupakan kenyataan yang menjadi justifikasi: [1] kebutuhan akan lembaga intermediasi, tetapi juga sekaligus [2] menjadikan lembaga intermediasi yang sudah ada sulit untuk menjalankan perannya.

108

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lembaga intermediasi yang ada saat ini masih terlalu fokus pada upaya memasarkan teknologi yang dihasilkan oleh lembaga pengembang, belum banyak berperan dalam membantu mengidentifikasi kebutuhan atau persoalan yang dihadapi pengguna dan mengalirkan informasi tersebut kepada lembaga pengembang teknologi. Oleh sebab itu, peran lembaga intermediasi perlu didorong agar dapat berperan ganda tersebut, memasarkan teknologi yang dihasilkan pengembang dan sekaligus menjadi perpanjangan tangan pengembang untuk memahami kebutuhan dan persoalan teknologi yang dihadapi pengguna (Gambar 11).

Gambar 11. Peran Ganda Lembaga Intermediasi

Peran intermediasi ini dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga nonpemerintah. Pada saat ini, lembaga intermediasi yang ada pada dasarnya diinisiasi oleh pemerintah tetapi kemudian dikelola oleh lembaga pemerintah itu sendiri atau personel yang bukan pegawai pemerintah. Minat pihak swasta untuk berperan sebagai intermediator masih rendah dan belum akan tumbuh jika teknologi yang dihasilkan pengembang belum mempunyai nilai jual yang baik atau jika relevansi antara teknologi yang dikembangkan masih senjang dengan kebutuhan pengguna. Sebagai contoh lembaga mediasi adalah Sentra HKI dan Business Innovation Center (BIC). Menurut UU No. 18 Tahun 2002, Sentra HKI adalah unit kerja yang berfungsi mengelola dan mendayagunakan kekayaan intelektual, sekaligus sebagai pusat informasi dan pelayanan HKI. Dengan adanya Sentra HKI diharapkan perguruan tinggi dan lembaga litbang dapat mengembangkan unit organisasi dan prosedur untuk mengelola semua kekayaan intelektual dan informasi iptek yang dimilikinya. Jumlah Sentra HKI saat ini mencapai 79 buah, sejak digagas Kementerian Riset dan Teknologi pada 1999. Namun sebagian besar menghadapi permasalahan lemahnya kemampuan di bidang manajemen HKI, termasuk kemampuan menyelenggarakan kegiatan komersialisasi secara profesional yang didukung aspek legal.

109

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Padahal Sentra HKI harus mampu menjadi marketer atau sebagai intermediator antara pemilik dan pengguna HKI. Business Innovation Center atau yang disingkat BIC didirikan dengan tujuan mengoptimalkan pemberdayaan Inovasi di Indonesia dengan tujuan meningkatkan pembangunan nasional. Misi lembaga ini adalah mendorong inovasi business di Indonesia, melalui kegiatan intermediasi antara inovator pengembangan teknologi dengan dunia bisnis. BIC diharapkan menjadi lembaga intermediasi proses inovasi bisnis, untuk menciptakan nilai tambah ekonomi dan bisnis dan daya saing nasional Indonesia. BIC memberikan beberapa jenis layanan yaitu layanan umum, swasta, akademisi dan pemerintah yang sesuai dengan fungsi dan tujuan BIC. Layanan umum mencakup kunjungan ke perusahaan-perusahaan; menganalisa dan mengoptimalkan rangkaian nilai proses kerja, perusahaan, pemasok, membantu mencarikan mitra kerjasama yang tepat dari kalangan iptek; mengadakan gathering dan seminar dalam hal menjembatani ABG; memberikan secara terusmenerus informasi tentang perkembangan teknologi baru dan proses produksi; mengidentifikasikan risiko dan mengenali potensinya; memberikan pendampingan pada perusahaan-perusahaan yang inovatif; membuat database yang menampung informasi mengenai proses-proses inovasi; mengatur pertukaran para pakar yang dibutuhkan dengan keahlian tertentu; dan, mengatur pertemuan para pakar untuk dapat menjalin kerjasama. Layanan untuk swasta/bisnis yang dilakukan BIC mencakup mempermudah proses pencarian informasi mengenai inovasi; mempermudah pengembangan bisnis dengan penerapan inovasi; memperluas hubungan dengan pemerintah dan akademisi; menghubungkan para pelaku bisnis dalm hal mendapatkan insentif yang diberikan oleh pemerintah; memberikan informasi mengenai kajian-kajian teknologi yang sedang berlangsung; dan, menyusun agenda dan pengaturan pertemuan dengan pusat-pusat kajian teknologi. Sedangkan layanan untuk akademisi/teknisi adalah membantu mengembangkan produk inovasi yang sudah ada untuk di komersialkan; membantu dalam hal finansial yang akan dibantu oleh pihak swasta/pelaku bisnis; memberikan jaringan/network pelaku bisnis dalam hal kerjasama terhadap pihak akademisi; memberikan pengetahuan mengenai pasar dan trend yang ada di pasar; membantu menghubungkan kepada pihak dunia usaha dalam hal kerjasama; dan membantu melakukan analisi terhadap pihak dunia usaha yang memiliki interest untuk berinvestasi terhadap riset yang dilakukan. Layanan untuk pemerintah mencakup upaya mempererat hubungan pemerintah dengan pihak swasta/bisnis dan akademisi/teknisi; memberikan dukungan terhadap program-program pemerintah dalam hal inovasi; memajukan pengembangan teknologi inovasi dalam skala nasional; memfasilitasi pemerintah dengan pihak swasta/bisnis dan akademisi/teknisi; dan memfasilitasi program incentif yang dibuat oleh pemerintah. 5.1.5. Penyiapan Science and Technology Park Kedekatan fisik atau lokasi antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi masih dianggap penting dalam upaya menumbuhkan interaksi yang lebih intensif dan produktif, walaupun saat ini teknologi informasi dan komunikasi sudah sangat berkembang dan juga

110

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

menjadi lebih murah untuk sarana berkomunikasi antara personel maupun lembaga. Oleh sebab itu, banyak negara membangun Science and Technology Park (STP) sebagai wahana untuk mendekatkan secara fisik antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi. Indonesia merencanakan untuk membangun Indonesian STP, yang disingkat sebagai I-STP. Upaya membangun I-STP ini sudah mulai digarap, yakni dengan merevitalisasi kawasan Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) di Serpong. Persoalan utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah rendahnya hasil riset dan teknologi yang dikembangkan di dalam negeri yang diadopsi oleh industri atau pengguna teknologi lainnya. Kapasitas lembaga pengembang teknologi Indonesia sesungguhnya cukup baik, terbukti dengan posisi indeks inovasi Indonesia dalam peringkat World Economic Forum (WEF) tahun 2010 yang berada pada posisi ke 36. Kemampuan inovasi Indonesia ini sudah setara dengan negara-negara yang perekonomiannya sudah berbasis inovasi. Berdasarkan survei WEF tersebut, dilaporkan bahwa kapasitas pengembangan teknologi ini ternyata belum diimbangi dengan kesiapan pengguna teknologi untuk mengadopsinya, terbukti dengan peringkat kesiapan teknologi (technological readiness) yang masih relatif rendah, yakni pada peringkat ke 91. Ketidak-siapan lembaga pengguna Indonesia untuk mengadopsi teknologi ini tidak sepenuhnya merupakan resultan dari rendahnya kapasitas adopsi teknologinya, tetapi juga merupakan akibat dari teknologi yang dikembangkan tidak relevan dengan kebutuhan lembaga pengguna tersebut. Pembangunan I-STP (melalui revitalisasi Puspiptek Serpong) merupakan salah satu upaya untuk menyediakan wahana untuk meningkatan frekuensi dan intensitas interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi. Upaya ini diharapkan akan meningkatkan relevansi teknologi yang dikembangkan (karena semakin memahami kebutuhan pengguna) dan sekaligus meningkatkan kapasitas adopsi pengguna (karena peningkatan kapasitas SDM-nya dalam mengenali dan mengaplikasikan teknologi). Peran lembaga intermediasi diharapkan dapat mengakselerasi proses adopsi teknologi tersebut. Secara kolektif, upaya-upaya ini diharapkan dapat mendongkrak status kesiapan teknologi Indonesia. Aset pengetahuan (stock of knowledge) yang secara kolektif telah terakumulasi pada komunitas pengembang teknologi di kawasan Puspiptek Serpong perlu dikelola dan dipasarkan. Untuk tujuan ini, Kementerian Riset dan Teknologi perlu merevitalisasi lembaga-lembaga intermedia yang sudah terbentuk, yakni Business Technology Center (BTC) dan Business Innovation Center (BIC). Lembaga intermediasi diharapkan menjadi gerbang untuk partisipasi lembaga pengguna teknologi, terutama industri-industri berbasis teknologi (Gambar 12). Dinamika interaksi pengembang-intermediator-pengguna teknologi yang intensif dan produktif akan dengan sendirinya mengundang partisipasi lembaga-lembaga penunjang lainnya, termasuk lembaga keuangan dan lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi dan kejuruan. Wahana I-STP diproyeksikan akan menjadi model SINas dalam rangka membangun ekonomi Indonesia yang berbasis ilmu pengetahuan atau knowledge based economy (KBE). Dengan demikian, I-STP menjadi saluran efektif bagi teknologi untuk memberikan kontribusi

111

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

nyata terhadap peningkatan ekonomi nasional, yang jika dibangun bersama rakyat, maka akan diyakini mampu menyejahterakan rakyat sebagaimana yang amanahkan oleh konstitusi.

Gambar 12. Metamorfosis Puspiptek Menjadi I-STP

Menurut UU No. 18 Tahun 2002, pemerintah maupun swasta dapat mengembangkan sarana dan prasarana iptek, seperti kawasan iptek. Kawasan ini diharapkan dapat memfasilitasi sinergi, pertumbuhan, dan interaksi antara perguruan tinggi, lembaga litbang, maupun badan usaha, serta pusat peragaan iptek untuk dapat menumbuhkan budaya iptek. Untuk kondisi Indonesia, kawasan Puspiptek Serpong, sebagai kawasan iptek sangat mungkin untuk ditransformasi secara fisik dan fungsional menjadi STP, dengan memanfaatkan lembaga dan fasilitas pengembangan teknologi yang sudah ada sebagai modal dasarnya. Transformasi tersebut dapat dilakukan dengan menghadirkan lembaga intermediasi ke dalam kawasan dan menghadirkan industri ke dalam dan/atau membangun kawasan Industrial Park (IP) yang posisinya berdampingan dengan lahan Puspiptek. Gabungan dua kawasan ini akan membentuk Innovation Park (STP+IP = InnoPark). Menghadirkan lembaga pendidikan tinggi, politeknik, dan sekolah menengah kejuruan di kawasan InnoPark ini, dilengkapi dengan lembaga dan fasilitas pendukungnya yang sepadan, akan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan inovasi mandiri yang dapat menjadi model SINas Indonesia yang membanggakan.

5.1.6. Membangun Pusat Unggulan Inovasi Pusat Unggulan merupakan padanan kata untuk Center of Excellence yang sudah sangat dikenal dan digunakan tidak hanya dalam bidang iptek, tetapi juga digunakan di dunia bisnis maupun bidang-bidang lainnya. Definisi umum tentang Pusat Unggulan adalah: an organization which is

112

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

recognized as being successful and having an excellent reputation in its field . Dengan demikian, Pusat Unggulan harus dikenal oleh komunitasnya, dianggap berhasil dan mempunyai reputasi yang sangat baik di bidangnya. Tersirat dalam definisi ini adalah: [1] keberhasilan dan reputasi tersebut bersifat relatif (dibandingkan dengan lembaga-lembaga serupa di bidang tertentu), dan [2] keunggulan tersebut khusus pada bidangnya, dimana [3] bidang keunggulan tersebut bersifat terbuka untuk kompetensi atau spesifikasi fungsi tertentu. Dalam konteks pilihan ini, maka sangat tepat jika Pusat Unggulan yang difasilitasi perkembangannya oleh Kementerian Riset dan Teknologi adalah keunggulan dalam membangun sistem inovasi. Oleh sebab itu, tepat jika disebut sebagai Pusat Unggulan Inovasi atau Center of Excellence on Innovation. Pusat unggulan yang akan didorong untuk tumbuh dan berkembang adalah lembaga atau konsorsium yang konsisten dengan amanah konstitusi, kebijakan nasional, kebijakan sektoral, dan program Kementerian Riset dan Teknologi (Gambar 13). Penciri lain yang digunakan untuk mendeskripsikan pusat unggulan adalah: a place where there are very high standards of work. Maknanya, dalam melaksanakan fungsinya, sebuat pusat unggulan harus menetapkan standar kinerja yang sangat tinggi. Untuk mencapai standar ini, sesuai dengan kondisi awal dan sasaran yang ingin dicapai, maka ada dua opsi dalam membangun pusat unggulan inovasi, yakni dengan format pengembangan lembaga tunggal tapi dengan memperkaya tugas dan fungsinya, sehingga dapat secara nyata mampu mewujudkan sistem inovasi, atau dengan membentuk konsorsium yang terdiri dari paling tidak lembaga pengembang dan pengguna teknologi (Gambar 14).

Gambar 13. Pengembangan Pusat Unggulan Inovasi yang Konsisten dengan Amanah Konstitusi

113

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 14. Pilihan Alternatif Organisasi Pusat Unggulan Inovasi

5.1.7. Mendorong Pembentukan Konsorsium Inovasi Interaksi dan komunikasi antara pengembang dan pengguna teknologi menjadi lebih baik apabila ada wahana untuk berinteraksi, antara lain berupa konsorsium. Pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya diharapkan berperan aktif dalam membentuk konsorsium ini, terutama pada fase inisiasinya. Peran pemerintah sebagai fasilitator, intermediator, dan regulator sewajarnya akan semakin berkurang jika komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi dalam wadah konsorsium ini telah berlangsung secara intensif dan produktif. Secara umum terdapat tiga asas penting dalam membangun konsorsium, yakni: [1] mempunyai kepentingan atau tujuan bersama (shared goal atau core issue) yang jelas dan disepakati oleh semua anggota; [2] hubungan yang dibangun harus bersifat mutualistik sebagai modal dasar untuk memotivasi semua anggota untuk memperjuangkan kepentingan bersama; dan [3] semua anggota sepakat untuk sharing sumberdaya sepadan dengan fungsi dan kapasitasnya masing-masing. Setiap konsorsium yang dibentuk mempunyai tujuan bersama yang jelas, karena ini yang menjadi komitmen awal dan mendasar bagi setiap lembaga untuk memutuskan apakah akan ikut bergabung dalam konsorsium tersebut atau tidak. Tentu dengan memperhatikan tugas dan fungsi lembaganya masing-masing, kapasitas lembaga sebagai bentuk share yang dapat dikontribusikan, dan benefits yang diharapkan dapat diperoleh dengan bergabung dalam konsorsium tersebut. Tujuan bersama dimaksud perlu disepakati dari awal pembentukan konsorsium, karena ini merupakan dasar komitmen bersama yang penting

114

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

untuk kelangsungan eksistensi konsorsium. Kesepakatan ini sangat penting karena tujuan bersama tersebut mungkin baru akan dicapai dalam jangka menengah atau panjang. Hubungan antar-anggota konsorsium harus bersifat mutualistik, yakni saling menguntungkan. Oleh sebab itu, agar sifat mutualistik ini selalu terpelihara, maka konsorsium harus dikelola secara profesional berlandaskan asas-asas good governance, terutama harus transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan taat hukum. Keterjaminan sifat mutualistik tersebut akan memotivasi semua anggota untuk memberikan kemampuannya yang terbaik dan ikut berusaha keras untuk mencapai tujuan bersama. Salah satu alasan pembentukan konsorsium adalah agar penggunaan sumberdaya (manusia, sarana dan prasarana, dan pembiayaan) dapat dilakukan secara lebih efisien dan juga untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Dalam konteks ini, budaya sharing perlu dibangun, karena ia menjadi jiwa dari sebuah konsorsium. Setiap konsorsium tentu memiliki beberapa anggota. Namun jumlah anggota yang pas tentu tergantung dengan tujuan bersama yang ingin dicapai, serta juga dipengaruhi oleh beban kegiatan dan target waktu untuk pencapaian tujuan dimaksud. Kapasitas dan jenis kompetensi lembaga yang dibutuhkan, juga perlu masuk dalam formula untuk penetapan jumlah anggota yang ideal. Sedangkan jumlah anggota yang terlalu sedikit mengandung risiko akan kekurangan kapasitas dan kompetensi untuk mencapai tujuan; sebaliknya jumlah anggota yang terlalu banyak juga dapat menyebabkan ketidak-efisienan dalam pelaksanaan pekerjaan, atau malah berpotensi kontra-produktif dan dapat saja ada free rider yang kontribusinya tidak signifikan terhadap kinerja konsorsium. Secara formal, anggota konsorsium minimal dua lembaga. Dalam konteks sistem inovasi, maka paling tidak satu lembaga mewakili pengembang teknologi dan lembaga lainnya mewakili pengguna teknologi. Lebih bagus jika ditambah satu lembaga lagi yang menjadi representasi unsur pemerintah. Disamping itu, setiap konsorsium harus ada anggota yang disepakati sebagai koordinator. Ada dua opsi dalam menghimpun anggota konsorsium, yakni: [1] dilakukan secara terbuka dan dinamis, semua lembaga yang relevan dapat bergabung dalam konsorsium atas persetujuan inisiator dan semua anggota yang telah bergabung (existing members); atau [2] dilakukan secara tertutup dan bersifat statis, dimana anggota disepakati dari awal dan tidak berubah sampai tujuan bersama dicapai. Konsorsium merupakan sarana bersama dan bukan tujuan akhir bagi para pihak yang terlibat sebagai anggotanya. Oleh sebab itu, walaupun mungkin butuh waktu yang relatif lama untuk mencapai tujuan bersama, namun konsorsium pada hakikinya bersifat tidak-permanen. Konsorsium lebih berorientasi fungsional dan terfokus pada upaya mencapai tujuan bersama yang disepakati sejak awal pembentukannya. Sinergi fungsional merupakan asas yang menjiwai tata kerja organisasi konsorsium. Oleh sebab itu, pola hubungan antar-anggota yang bersifat horizontal akan lebih dominan, dimana, semua anggota diposisikan secara sejajar, sama kedudukan, hak, serta kewajibannya (Gambar 15).

115

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 15. Model Konsorsium Inovasi (Lakitan, 2011b)

116

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Keberhasilan suatu konsorsium ditentukan beberapa faktor, yaitu: [1] mempunyai tujuan/sasaran bersama yang jelas dan disepakati semua anggota (clear shared goal) serta sesuai dengan realita kebutuhan atau persoalan publik (demand-driven); [2] sinergi anggota mampu membangun kapasitas kolektif yang cukup (adequate collective capacity) untuk mencapai tujuan/sasaran bersama; [3] mempunyai strategi pelaksanaan yang tepat dan implementatif (implementable strategy); [4] dikoordinir oleh figur kepemimpinan yang kuat (strong leadership) , terutama pada fase awal; dan [5] secara konsisten dikelola berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance)(Gambar 16).

Gambar 16. Kunci Sukses Konsorsium (Lakitan, 2011b)

Sejalan dengan ini, pendekatan konsorsium juga direkomendasikan oleh Malherbe dan Stanway (2010) sebagai bentuk kolaborasi yang tepat, jika anggotanya mempunyai kompetensi inti yang beragam. Jika ada dua atau lebih anggota konsorsium dengan jenis kompetensi yang sama, maka sangat mungkin terjadi sibling rivalry antar-anggota tersebut. Konsorsium, seperti berbagai bentuk kolaborasi yang lainnya, perlu menyusun strategi operasional yang terencana dengan baik, sistematis, dengan pentahapan yang logis, serta berbasis pada kapasitas kolektif yang dimiliki, sehingga dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Konsorsium memang bertumpu pada inter-dependensi antar-anggota, tetapi secara kolektif sebuah konsorsium harus punya kemandirian untuk mencapai tujuan bersama. Keberlanjutan integrasi dan viabilitas dari sebuah konsorsium selain bertumpu pada tujuan bersama yang jelas, pola

117

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Tujuan dan target/sasaran bersama merupakan perekat utama antar-anggota dari sebuah konsorsium. Target ini dapat saja terdiri dari beberapa sub-target, tetapi semua sub-target tersebut harus berada dalam lingkup payung target utamanya atau berada dalam satu klaster. Konsorsium dengan multi-sasaran, apalagi multi-tujuan, akan mudah terancam bubar. Akan tetapi anggota suatu konsorsium dapat saja juga menjadi anggota konsorsium lain dengan tujuan/sasaran yang berbeda. Sebaiknya suatu konsorsium terbangun dari anggota dengan core business yang berbeda atau mempunyai jenis kompetensi yang berbeda, tetapi bersifat komplementatif satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membangun sinergi yang secara kolektif akan menghasilkan konsorsium dengan kapasitas lebih besar dan dengan ragam kompetensi yang lebih banyak, sehingga mampu menjalankan misinya dengan lebih baik dan komprehensif.

hubungan antar-anggota yang bersifat mutualistik, juga sangat membutuhkan figur pemimpin yang kuat dan secara de facto mampu mengelola konsorsium secara bijak. Pada fase awal terbentuknya konsorsium, peran figur yang kuat akan sangat krusial dalam rangka membangun chemistry yang harmonis antar-anggota dengan keragaman latar belakang kompetensi dan budaya kerja. Namun demikian, setiap pemimpin memiliki style of leadership masing-masing, yang sangat mungkin akan berbeda satu sama lain. Dalam jangka panjang, tentu akan perlu dilakukan pergantian pemimpin, atau lebih tepatnya koordinator konsorsium. Pergantian ini seharusnya tidak mempengaruhi kinerja konsorsium secara drastis. Sebagai langkah antisipasi maka perlu disiapkan stabilisator yang ampuh, yakni berupa peraturan internal tentang tata kelola yang disepakati semua anggota. Tata kelola yang baik tentu harus dibangun berbasis pada prinsipprinsip good governance. Konsorsium dapat memberikan manfaat antara lain: [1] meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, serta biaya dalam upaya mencapai tujuan; [2] membuka peluang untuk mendapatkan capaian yang lebih besar/signifikan, yang tidak mungkin dicapai masing-masing anggota secara individual; [3] meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara aktor inovasi yang menjadi modal dasar untuk mewujudkan/memperkuat sistem inovasi. Efisiensi pemanfaatan sumberdaya akan lebih maksimal jika konsorsium terdiri dari anggotaanggota dengan kompetensi yang beragam dan bersifat komplementer; sebaliknya akan sedikit dampaknya jika kompetensi anggota relatif homogen. Apabila kompetensi anggotanya sama, maka yang terjadi bukan sinergi fungsional yang mutualistik, tetapi hanya akan merupakan proses scale-up (memperbesar volume output) saja. Selain itu, tidak cukup kuat faktor pendorong bagi anggota untuk berinteraksi secara lebih intensif, karena tidak ada rasa saling membutuhkan yang kuat apabila kompetensi anggota konsorsiumnya sama. Kompetensi lembaga yang beragam sebagai anggota konsorsium juga membuka peluang untuk membangun kapasitas kolektif yang lebih besar dan komprehensif. Dengan demikian, akan lebih mampu untuk mengeksekusi aktivitas dengan lingkup yang lebih luas dan/atau tingkat kompleksitas yang lebih tinggi. Selayaknya, konsorsium memang dirancang untuk menjawab tantangan yang lebih berat, yang butuh kontribusi dari berbagai kompetensi, dan mungkin hanya dapat diselesaikan melalui paket solusi multi-dimensi yang komprehensif. Konsorsium sebagai wadah komunikasi dan interaksi antar-lembaga yang menjadi anggotanya, pada dasarnya merupakan bentuk miniatur dari sistem inovasi, jika terdapat anggotanya yang mewakili komunitas pengembang teknologi dan juga ada yang mewakili komunitas pengguna teknologi. Dalam konteks ini, konsorsium dapat dipandang sebagai mikro-ekosistem yang kondusif untuk mengalirkan informasi kebutuhan dari pengguna ke pengembang teknologi dan sebaliknya aliran paket teknologi dari pengembang ke pengguna teknologi. Apabila proses komunikasi dan interaksi antar aktor inovasi yang bernaung dalam suatu konsorsium berfungsi sebagai ekosistem kondusif ini dapat dipertahankan selama kurun waktu yang lama, maka secara langsung juga akan penting kontribusinya dalam mengakselerasi upaya membangun

118

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

budaya inovasi. Budaya inovasi nasional tidak dapat dibangun secara instan, tetapi akan melalui proses panjang. Proses panjang ini harus diawali dengan membangun budaya inovasi pada jenjang yang paling mikro, yakni pada lingkup sebuah konsorsium. 5.1.8. Revitalisasi Dewan Riset Nasional Dewan Riset Nasional (DRN) merupakan lembaga non-struktural yang berfungsi memberikan masukan kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi terutama dalam menetapkan Agenda Riset Nasional (ARN). ARN diharapkan menjadi petunjuk pelaksanaan arah dan prioritas kegiatan riset secara nasional. Namun demikian, ARN pada saat ini belum secara penuh diacu oleh lembaga-lembaga riset, baik perguruan tinggi maupun lembaga litbang kementerian, maupun lembaga pemerintah non-kementerian yang melaksanakan kegiatan riset. Saat ini DRN memiliki kewenangan yang terbatas dan dukungan sumberdaya yang juga belum memadai, sehingga peran dan kontribusi DRN secara nyata dalam pembangunan iptek masih belum optimal. Untuk meningkatkan peran dan kontribusi DRN tersebut, maka perlu dilakukan revitalisasi lembaga DRN. Secara realistis, revitalisasi DRN perlu dilakukan dalam dua fase, yakni Fase Pertama dilakukan segera selama periode 2009-2011 untuk diimplementasikan pada periode tugas selanjutnya (2012-2014). Revitalisasi dilakukan berbasis pada peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku dengan tanpa memerlukan revisi produk legislasi yang ada, dan difokuskan pada upaya restrukturisasi dan penyesuaian komposisi keanggotaan. Fase Kedua diawali dengan penyesuaian produk regulasi untuk landasan bagi pembentukan DRN dengan tugas pokok dan fungsi yang lebih vital (revitalized DRN), difokuskan pada upaya membentuk DRN dengan peran yang lebih signifikan dan proyeksi kontribusi yang lebih nyata terhadap pembangunan iptek, yang memerlukan revisi peraturan perundang-undangan, termasuk kemungkinan reposisi organisasi DRN untuk langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Pada Fase Pertama, restrukturisasi lebih terarah pada upaya penyesuaian pembagian Komisi Teknis agar dapat mengakomodir perkembangan dan prioritas bidang teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nasional. Sedangkan penyesuaian komposisi anggota selain untuk menyeimbangkan antara perwakilan dari komunitas pengembang dengan pengguna teknologi, juga diarahkan agar aktor-aktor utama dari sektor pembangunan (yang sesuai dengan pembagian komisi teknis DRN) dapat lebih efektif berperan. Komisi Teknis DRN mengikuti tujuh bidang fokus prioritas pembangunan iptek sesuai dengan RPJPN 2005-2025, namun demikian pada masing-masing komisi teknis tersebut perlu didukung oleh anggota-anggota yang akan mendalami tentang lima unsur strategis untuk penguatan inovasi nasional. Matrik bidang dan kompetensi anggota DRN yang diusulkan disajikan pada Tabel 8. Selain itu, masing-masing komisi teknis juga perlu memperhatikan cross-cutting issues, termasuk upaya meningkatkan kapasitas teknologi untuk pengelolaan sumberdaya kemaritiman, pengembangan industri, teknologi berwawasan ekologis (green technology), dan mengurangi kemiskinan (pro-poor technology); serta dengan terus mendukung pengembangan sains dasar dan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, terutama yang terkait langsung dengan tujuh bidang fokus pembangunan.

119

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Anggota DRN yang diangkat berjumlah 50 orang, dengan formula sebagai berikut:
Jumlah anggota DRN = 1 Ketua + 7 Komtek [ 5 Isu SINas + 2 Unsur Penguat ]

Formula keanggotaan DRN ini dapat dirinci sebagai berikut: Satu orang ketua yang lebih fokus sebagai pimpinan puncak yang tidak perlu terlibat langsung dalam kegiatan teknis pada tingkat komisi, sehingga ketua ini dapat dipilih dari prominent figure yang dengan ketokohannya dapat meningkatkan kewibawaan lembaga DRN dan sekaligus dapat memimpin anggota DRN secara efektif agar dapat berkinerja dengan baik. Anggota yang mewakili unsur regulator dan pembuat kebijakan publik dapat ditunjuk dari para Kepala Badan Litbang Kementerian Teknis terkait sesuai dengan bidang fokus masing-masing, yang sekaligus dapat ditetapkan sebagai Ketua Komisi Teknis. Anggota yang mewakili pihak yang memahami kebutuhan riset dan teknologi sesuai skenario penguatan inovasi nasional yang berorientasi demand-driven, sepatutnya dipilih dari unsur komunitas masyarakat, asosiasi industri, dan lembaga pemerintah pengguna teknologi. Misalnya dari wakil asosiasi petani untuk komisi teknis pangan, asosiasi industri untuk komisi teknis transportasi, dan kementerian hankam untuk komisi teknis pertahanan dan keamanan.

Anggota yang diyakini akan memahami kapasitas adopsi pengguna teknologi adalah para pengguna teknologi itu sendiri, yakni para pelaku produksi barang/jasa baik dari unsur masyarakat, industri kecil dan menengah, industri besar, industri kreatif, dan pengguna langsung teknologi hankam (TNI dan Polri), serta pengguna teknologi untuk tujuan nonkomersial lainnya.
Tabel 8. Pembagian komisi teknis DRN dan kompetensi anggotanya terkait upaya penguatan SINas.

KOMISI TEKNIS

PENGUATAN SINAS

120

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Anggota yang harus mengawal relevansi teknologi sudah sepatutnya berasal dari komunitas pengembang teknologi, yakni dari lembaga riset pemerintah, lembaga riset swasta/industri, dan perguruan tinggi.

Relevansi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Kapasitas Adopsi Pengguna Teknologi

Intermediasi & Penunjang Sistem Inovasi

Regulasi dan Kebijakan Publik

Kebutuhan Riset dan Teknologi Teknologi Pangan Teknologi Energi Teknologi Informasi dan Komunikasi Teknologi Transportasi Teknologi Pertahanan dan Keamanan Teknologi Kesehatan Teknologi Material Maju

Anggota yang mewakili lembaga intermediasi dan lembaga penunjang lainnya juga diyakini sangat krusial perannya untuk peningkatan kinerja DRN, sehingga sangat penting keterwakilannya dalam lembaga DRN, termasuk perwakilan dari kementerian terkait, yakni kementerian keuangan, pendidikan nasional, perindustrian, perencanaan pembangunan nasional/Bappenas, dan lembaga intermediasi non-pemerintah. Dua anggota untuk penguat ditentukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing komisi teknis, misalnya komisi teknis pangan dapat menambah satu anggota dari pakar kemaritiman untuk mendukung isu strategis pembangunan ketahanan pangan dan satu anggota dari pakar ilmu sosial karena berdasarkan realita, banyak teknologi pangan yang tidak diadopsi petani, peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan karena belum mengintegrasikan pemahaman dimensi sosial, ekonomi, dan kultural dalam pengembangan teknologi tersebut; sedangkan Anggota DRN yang mewakili DRD Provinsi (ex officio) tidak harus dimasukkan secara tetap dalam komisi teknis, tetapi sangat perlu terlibat secara langsung dalam pembahasan pada tingkat pleno sebagai penyampai aspirasi daerah yang diwakilinya. Pada Fase Kedua, revitalisasi diharapkan mampu memposisikan DRN untuk melaksanakan tugas pokok yang mencakup: [a] membangun basis data iptek yang akurat dan komprehensif, serta jejaring lembaga iptek yang mantap dalam rangka menjamin pemutakhiran data iptek yang berkesinambungan; [b] membangun kemampuan/kapasitas dalam mengidentifikasi kebutuhan dan persoalan teknologi di dalam negeri dan sekaligus juga menyediakan sistem

121

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

informasi perkembangan dan ketersediaan teknologi nasional; [c] membangun kapasitas dan kewenangan untuk menetapkan prioritas riset nasional sesuai dengan kebutuhan ( demanddriven) dan berbasis potensi sumberdaya nasional; dan [d] membantu mengawal investasi pemerintah untuk pembangunan iptek, agar secara konsisten fokus pada prioritas yang telah ditetapkan. Untuk dapat melaksanakan tugas-tugas ini, diperlukan penyesuaian kembali produk-produk regulasi agar ekosistem yang kondisif bisa terbangun dan reposisi organisasi DRN dalam tata organisasi pemerintah.

5.1.9. Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi Semua aksi yang akan dilakukan dalam rangka mewujudkan penguatan inovasi nasional memerlukan dukungan regulasi dan/atau kebijakan yang tepat dan menyeluruh. Oleh sebab itu, sangat diperlukan upaya untuk menerbitkan regulasi baru atau sinkronisasi produk perundang-undangan yang telah ada dengan langkah aksi penguatan inovasi nasional yang akan ditempuh. Secara operasional, sangat mungkin upaya untuk melengkapi undang-undang terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih sesuai. Peraturan perundang-undangan yang dilengkapi dengan pedoman teknis pelaksanaannya, agar semua regulasi yang diharapkan dapat diimplementasikan secara utuh, atau dapat juga dilakukan amandemen/revisi terhadap produk hukum yang ada agar lebih sesuai dan/atau lengkap. Produk perundang-undangan yang menjadi basis legal untuk pengembangan SINas di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 (UU No. 18/2002) tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lampiran 1). UU No. 18/2002 ini disusun dalam nuansa pengembangan iptek yang masih sangat dominan bersifat supply-push, oleh sebab itu secara umum UU No. 18/2002 ini masih belum sepenuhnya selaras dengan orientasi pengembangan teknologi yang bersifat demand-driven. Beberapa pemahaman dasar terkait upaya penguatan inovasi dirasakan masih perlu disinkronisasikan ulang. Apabila UU No. 18/2002 akan digunakan sebagai landasan legal utama untuk membangun inovasi nasional, maka diperlukan upaya revisi atau melakukan amandemen terhadap undang-undang ini agar lebih selaras dengan upaya penguatan inovasi nasional yang lebih bersifat demand-driven. Selain itu, kecenderungan global saat ini juga secara kentara telah menggeser orientasi pengembangan teknologi dari yang bersifat supply-push menjadi demand-driven. Walaupun banyak ragam terminologi yang digunakan, namun esensinya sama, yakni pengembangan teknologi harus lebih diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan atau persoalan nyata yang tengah dihadapi. Selanjutnya, untuk melaksanakan ketentuan UU No. 18/2002, khususnya Pasal 28 ayat (3), telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 (PP No. 35/2007) tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi (Lampiran 2). Substansi pokok dari PP No. 35/2007 ini adalah memberikan kesempatan bagi badan usaha untuk mengalokasikan dana dalam rangka mendukung kegiatan inovasi nasional. Sebagai kompensasinya, badan usaha tersebut

122

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

mendapatkan insentif untuk mendukung kegiatan bisnisnya. Secara jelas pada Pasal 6 ayat (1) PP No. 35/2007, dinyatakan bahwa badan usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif. Selanjutnya pada ayat (2), dinyatakan bahwa insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan. Bantuan teknis ini, sesuai Pasal 7 ayat (1) dapat berupa penempatan tenaga ahli dan/atau pemanfaatan fasilitas laboratorium di lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah. Sebagai pelaksanaan dari pasal ini, Kementerian Riset dan Teknologi telah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Riset dan Teknologi No. 1 Tahun 2012 tentang Bantuan Teknis Penelitian dan Pengembangan. Dengan dikeluarkannya peraturan ini, diharapkan akan mendorong kolaborasi riset, sekaligus peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Walaupun PP No. 35/2007 ini sangat favorable bagi upaya pengembangan dan penguatan inovasi nasional, namun pelaksanaan peraturan ini sampai sekarang belum optimal. Hal ini disebabkan adanya ganjalan untuk implementasinya, yakni belum adanya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan yang mengakomodisasi pemberian insentif sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 35/2007 tersebut. Pasal 6 ayat (3) PP No. 35/2007 menyatakan bahwa besar dan jenis insentif perpajakan dan kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sepanjang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Agar insentif bagi pelaku bisnis/industri untuk lebih terlibat dalam pembiayaan kegiatan riset dapat terlaksana, perlu dilakukan sinkronisasi dari sisi legal formal pendukungnya, terutama antara PP No. 35/2007 dengan peraturan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Kekhawatiran yang berlebihan tentang kemungkinan penurunan penerimaan pendapatan pemerintah dari pajak dan kepabeanan akibat pemberlakuan kebijakan ini perlu dihilangkan, mengingat jika penguatan inovasi nasional dapat berlangsung secara produktif, dampaknya kegiatan produksi barang dan jasa juga akan meningkat dan penerimaan pajak juga akan ikut meningkat. Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) telah mengagendakan untuk meninjau ulang peraturan perundang-undangan yang menjadi bottleneck pembangunan perekonomian Indonesia, termasuk diantaranya implementasi PP No. 35/2007 ini. Arah yang akan ditempuh agar PP No. 35/2007 ini dapat diimplementasikan adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur pedoman teknis untuk pemberian insentif tersebut. Secara garis besar PP No. 35 Tahun 2007 sejalan dengan Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Upaya percepatan dan perluasan pembangunan dilakukan melalui penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven economy. Oleh karena itu, keberhasilan implementasi MP3EI antara lain ditentukan adanya penguatan inovasi di sektor usaha.

123

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Namun demikian dalam pelaksanaannya, diperlukan dukungan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur kriteria teknis dan tata kelola dalam pemberian insentif riset di badan usaha. Selain itu untuk memperkuat insentif non fiskal, diperlukan dukungan terutama dari lembaga litbang yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian untuk implementasi insentif bantuan teknis litbang. Saat ini telah dikeluarkan Peraturan Menteri Riset dan Teknologi No. 1 Tahun 2012 tentang Bantuan Teknis Penelitian dan Pengembangan sebagai pelaksanaan Pasal 7 ayat (3) PP No. 35 Tahun 2007. Upaya pemberian insentif kepada pihak pengguna teknologi (terutama industri) sekarang mempunyai landasan hukum lain yang baru, yakni Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian Dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (selanjutnya disingkat PP No. 93/2010; Lampiran 3). Adanya PP No. 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, sebagaimana kebijakan pemberian fasilitas insentif kepada badan usaha tentunya dapat lebih mendorong kegiatan litbang di badan usaha. Meskipun sumbangan ini ditujukan untuk kegiatan litbang, namun setidaknya akan mencakup juga upaya untuk peningkatan kapasitas perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi.

124

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

PP No. 93/2010 ini mengatur bahwa sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak, termasuk sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan (Pasal 1 butir b). Besarnya nilai sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya (Pasal 3). Sumbangan dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang (Pasal 5 ayat 1). Secara teknis dan psikologis, PP No. 93/2010 lebih berpeluang untuk diimplementasikan dibandingkan dengan PP No. 35/2007, karena PP No. 93/2010 merupakan turunan langsung dari UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; berbeda dengan PP No. 35/2007 yang merupakan turunan UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dukungan regulasi ini diharapkan akan mengintensifkan interaksi dan komunikasi antara lembaga pengguna, terutama industri, dengan lembaga pengembang teknologi yang mendukung kebutuhan teknologi untuk industri. Interaksi yang lebih intensif diyakini akan berpengaruh langsung dan positif terhadap proses adopsi teknologi, baik karena teknologi yang dihasilkan oleh pengembang menjadi lebih relevan (karena pengembang menjadi lebih

memahami kebutuhan), juga karena peningkatan kapasitas adopsi dari pihak pengguna (karena meningkatkan pemahaman pengguna atas teknologi yang ditawarkan). Insentif non-finansial untuk mendorong kegiatan riset dalam negeri juga telah dilakukan, antara lain melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2006 tentang kebijakan penetapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan (BMP). Selain itu, dengan Peraturan Menteri Negara Riset dan Teknologi No. 1 Tahun 2012 tentang Bantuan Teknis Penelitian dan Pengembangan, badan usaha dimungkinkan mendapatkan akses kapasitas litbang melalui penempatan tenaga ahli atau pemanfaatan fasilitas laboratorium di lembaga litbang pemerintah. Regulasi dan kebijakan pemerintah diperlukan untuk mengawal implementasi penguatan inovasi dapat berjalan konsisten mengarah pada upaya: [1] menyediakan solusi teknologi bagi permasalahan nyata yang dihadapi rakyat; [2] menyeimbangkan posisi psikologis dan peran aktif antara pihak pengembang teknologi dengan pihak pengguna teknologi sehingga interaksi antara keduanya terjadi dalam kerangka kemitraan yang setara harkatnya, proporsional kontribusinya, dan saling complementary ruang kiprahnya; dan [3] memberdayakan sumberdaya manusia Indonesia sesuai dengan kapasitasnya masing-masing agar dapat secara langsung berperan aktif dalam pengembangan dan implementasi SINas. Bentuk kebijakan pemerintah yang lain adalah untuk mendukung kolaborasi riset dengan pembiayaan bersama (sharing funding) oleh pemerintah dan pihak industri. Porsi pemerintah disalurkan melalui lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi. Kegiatan riset kolaborasi dalam format ini sudah mulai dilaksanakan, tetapi belum optimal menunjukkan kemanfaatan hasilnya. Hal ini terutama karena substansi riset masih dominan ditentukan oleh pihak pengembang teknologi, bukan atas usulan pihak pengguna. Dalam beberapa kasus, industri hanya pada posisi memenuhi kelengkapan administratif agar dana pemerintah bisa dialirkan ke lembaga riset atau perguruan tinggi. Bentuk riset kolaborasi yang lain tidak harus dalam bentuk pembiayaan bersama, tetapi dalam bentuk riset yang diawaki oleh personel dari pihak pengembang dan pengguna teknologi serta memanfaatkan fasilitas dan sarana riset yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Akan tetapi yang selalu perlu diperhatikan adalah apapun bentuk atau format riset kolaborasi tersebut, ia akan memberikan kemanfaatan pada publik jika substansi masalah yang diteliti memang merupakan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, bukan masalah hipotetik yang diilhami oleh berbagai referensi asing. Memahami bahwa keberhasilan perkuatan inovasi tidak hanya tergantung pada kinerja masingmasing aktor inovasi (lembaga pengembang dan pengguna teknologi, serta lembaga intermediasi), tetapi juga sangat tergantung pada berbagai pihak yang ikut mewujudkan ekosistem inovasi yang lebih kondusif, maka pengembangan legislasi sebagai bagian penting dari ekosistem SINas perlu mendapat perhatian serius. Perlu dilakukan telaah secara cermat terhadap semua produk hukum yang terkait dengan upaya penguatan inovasi, baik langsung maupun tidak langsung. Identifikasi untuk hal-hal yang perlu disinkronisasi, direvisi, atau bahkan perlu dicabut, serta untuk hal-hal yang masih perlu pengaturan secara legal formal.

125

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

5.1.10. Berbasis Sumberdaya dan Memenuhi Kebutuhan Nasional Untuk mewujudkan SINas Indonesia yang workable, harus secara seksama mempertimbangkan potensi sumberdaya nasional, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ketersediaan infrastruktur ekonomi dan sosial, kemampuan permodalan domestik (plus modal asing secara selektif), dan kapasitas pengembangan teknologi saat ini. Selain itu juga perlu diselaraskan dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku, kebijakan publik, budaya kerja, keragaman sosio kultural dan tradisi, serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lainnya.28 Pilihan landasan sumberdaya dan budaya sendiri dalam membangun inovasi nasional akan membuka peluang yang lebih luas bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berpartisipasi aktif. Perlu dipahami bahwa upaya memajukan bangsa tidak dapat dilakukan dengan memilih jalan pintas, dengan mengabaikan pentingnya fondasi yang kokoh agar pengembangan dan keberlanjutan inovasi lebih terjamin. Pembangunan nasional tidak hanya dilakukan untuk rakyat tetapi juga harus dilakukan bersama rakyat. Indonesia sering dikategorikan sebagai negara yang sangat kaya akan sumberdaya alamnya. Provokasi ini menyebabkan Indonesia terlalu mengandalkan kekayaan sumberdaya alam tersebut sebagai modal utama pembangunan nasional, seolah sumberdaya alam tersebut akan selalu tersedia selamanya. Eksploitasi sumberdaya alam yang tidak terkelola secara bijak dibarengi dengan pembangunan yang tidak terprogram dengan baik, telah membawa Indonesia pada kondisi saat ini: tetap menjadi negara berkembang dengan penguasaan dan penerapan teknologi yang terbatas. Indonesia terkena fenomena resource curse29 dimana kemajuan pembangunannya tak sebanding dengan nilai eksploitasi sumberdaya alamnya. Pengelolaan sumberdaya alam yang bijak bukan hanya terbatas pada penggunaan dana hasil eksploitasi yang diarahkan untuk peningkatan kualitas layanan publik dan investasi untuk infrastruktur sosial, tetapi juga perlu diarahkan untuk mendukung pengembangan teknologi yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan produktivitas industri barang dan/atau jasa, sehingga memberikan nilai tambah bagi setiap produk nasional. Produk ekspor Indonesia tidak boleh selamanya dibiarkan hanya dalam bentuk komoditas bahan baku industri atau hanya sampai produk setengah-jadi (intermediate products). Produk ekspor Indonesia harus secara maksimal diupayakan sudah dalam bentuk akhir yang dibutuhkan konsumen (consumer goods). Indonesia adalah negara maritim, tak ada yang bisa memungkiri kenyataan ini. Telah sering didengungkan bahwa Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas. Berdasarkan Deklarasi Juanda 1957, wilayah laut NKRI adalah sekitar 3 juta kilometer persegi. Setelah diterimanya
28

29

Sebagai bandingan, negara maju seperti Jepang juga membangun SINas-nya di atas landasan environment, culture, tradition, and national character bangsanya sendiri. Hasil kajian Komarulzaman dan Alisjahbana (2008) untuk kasus Indonesia menunjukkan bahwa There appears to be resource curse when we estimate the resource rent in its three components. Forest, oil and gas sector rent have positive effect on regional economic growth. But the resource curse may occur if these resources revenues are not invested properly in public sector, either for the provision of public services or in public investment. Meanwhile, mining sector has persistently negative effect on regional economic growth. The existence of this curse will be lessened if the mining sector rent revenues are reinvested in public sector investment.

126

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, wilayah laut NKRI bertambah luasnya dua kali lipat, menjadi sekitar 6 juta kilometer persegi. Hal yang perlu digarisbawahi, berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia mendapatkan hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis pangkal lurus Nusantara atau sampai ke batas continental margin jika masih ada kelanjutan alamiah pulau-pulau Indonesia di dasar samudera. Masalah pokoknya, apakah setelah berhasil mengklaim teritori wilayah laut ini kita telah melakukan langkah-langkah konkret untuk mengelolanya, sebagaimana amanah konstitusi -UUD 1945 pasal 33 ayat (3)- bahwa kekayaan sumberdaya alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah laut Indonesia juga belum diinventarisasi secara baik. Banyak potensi sumberdaya kelautan yang kita miliki, tetapi sesungguhnya belum mampu kita pahami nilai kemanfaatan ekonomi dan ekologinya. Lebih parah lagi, justru sebagian mungkin belum kita ketahui eksistensi keberadaannya di wilayah laut Nusantara. Ketidakmampuan tersebut terkait langsung dengan tingkat penguasaan teknologi kelautan yang belum berkembang di Indonesia. Ironis memang, sebuah negara maritim seperti Indonesia tidak memprioritaskan pengembangan teknologi kelautan. Ketertinggalan dalam penguasaan teknologi kelautan tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Indonesia perlu segera meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi kelautan yang menjadi modal nasional untuk mampu mengelola sumberdaya dan wilayah laut Nusantara. Pengelolaan kelautan yang dimaksud adalah memanfaatkan kekayaan sumberdaya yang dimiliki untuk menyejahterakan rakyat yang diimbangi dengan upaya menjaga keberlanjutannya dengan mematuhi kaidahkaidah ekologis. Teknologi yang dikembangkan perlu menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dengan kearifan ekologi. Ragam teknologi berasas keseimbangan ekonomi-ekologi yang perlu dikuasai mencakup: pertama, teknologi penangkapan ikan, budidaya ikan dan biota laut, serta teknologi pengolahannya; kedua, (bio)teknologi untuk memanfaatkan biodiversitas sebagai sumber bahan baku industri dan sumber tetua untuk program pemuliaan tanaman dan ikan atau biota laut lainnya; ketiga, teknologi eksplorasi dan eksploitasi migas, bahan tambang lainnya dan sumberdaya energi terbarukan; dan keempat, teknologi konservasi sumberdaya kelautan, yang dapat juga dilebarkan cakupannya pada potensi pengelolaannya untuk pariwisata bahari. Keunikan geografis dan kekayaan biodiversitas ekosistem laut Indonesia merupakan modal untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) dalam menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak asing. Modal alamiah ini perlu dilengkapi dengan modal kecerdasan intelektual, yakni penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi kelautan oleh pakar dalam negeri sangat krusial. Tanpa penguasaan teknologi ini, maka kita tidak akan pernah mengetahui secara tepat dan komprehensif tentang apa dan berapa banyak sumberdaya yang dimilikinya di wilayah laut. Ketidakpahaman ini jelas akan menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah dalam setiap dispute internasional di wilayah laut. Argumen yang baik tidak akan mampu dibangun di atas fondasi iptek yang rapuh. Diplomasi untuk memperjuangkan harkat martabat bangsa juga tak akan dapat dimenangkan jika tanpa amunisi pemahaman tentang potensi sumberdaya

127

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

seluruh wilayah Indonesia dan potensi manusianya. Indonesia sebagai negara maritim segera mulai secara sungguh-sungguh berupaya untuk meningkatkan penguasaan tekno-ekologinomi laut. Tentu saja potensi sumberdaya alam Indonesia tidak hanya di laut. Potensi sumberdaya lahan untuk mendukung produksi pertanian dan beragam bahan tambang (termasuk minyak dan gas walaupun mulai menipis) yang terkandung di dalamnya juga cukup penting untuk dikelola sebagai modal pembangunan perekonomian nasional. Teknologi dibutuhkan untuk mengolah sumberdaya alam menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi, memacu pertumbuhan ekonomi, dan secara nyata memperbaiki tingkat kesejahteraan rakyat, diiringi dengan kebijakan ekonomi yang tepat. Namun demikian, teknologi yang dimaksud adalah teknologi yang relevan dan sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna potensialnya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pencermatan dua arah, yakni menyediakan dukungan pembiayaan yang memadai untuk pengembangan teknologi nasional30 dan juga mengawal pengembangan teknologi agar fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan nyata. Penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa (BPS, 2010) merupakan kekuatan besar untuk membangun bangsa ini, jika semua (atau paling tidak mayoritas) secara aktif ikut berpartisipasi. Sebaliknya dapat menjadi beban yang maha berat jika harus dipikul oleh sebagian kecil dari populasi tersebut, misalnya hanya dibebankan pada sekelompok elit (politik, ekonomi, dan/atau sosial) tertentu saja. Kebijakan pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment31 sudah sangat tepat, selama awalan pro tersebut tidak sekedar bermakna keberpihakan dalam konteks pembangunan untuk rakyat, tetapi lebih dimaknai sebagai keberpihakan yang memberi peluang bagi seluruh rakyat untuk ikut berperan aktif membangun bangsa dan negara ini. Pendidikan menjadi faktor yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas dan relevansi kompetensi sumberdaya manusia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu meningkatkan intensitas upayanya dalam meningkatkan relevansi pendidikan agar permasalahan pengangguran terdidik yang mulai meningkat signifikan selama dasawarsa 2000an ini tidak menjadi lebih buruk. Beberapa penyesuaian perlu segera dilakukan, terutama pada jenjang pendidikan tinggi. Penyesuaian yang dirasakan perlu dilakukan adalah: [1] proporsi antara pendidikan akademik dengan pendidikan profesional, [2] muatan kurikulum dan program studi yang ditawarkan, dan [3] tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja saat ini dan perediksi kebutuhan di masa yang akan datang, maka proporsi kapasitas tampung jenjang pendidikan tinggi perlu digeser dari dominan jenis pendidikan akademik (lebih mengutamakan pengkayaan pengetahuan) yang terjadi saat ini menjadi dominan pendidikan profesional (lebih mengutamakan ketrampilan teknis untuk menghadapi permasalahan nyata). Perlu digarisbawahi bahwa untuk penguasaan ketrampilan teknis tetap saja selalu membutuhkan pengetahuan dasar yang relevan.
30

31

Jika mengacu pada Barcelona Target, maka idealnya tiga persen dari Produk Domestik Bruto dialokasikan untuk pengembangan teknologi. Four Track Strategy yang sering disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, antara lain pada pidato berjudul Pertumbuhan Harus Berkeadilan pada Pembukaan Pe rdagangan Perdana Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 3 Januari 2011.

128

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Penyesuaian muatan kurikulum dan program studi tidak perlu diartikan sebagai perubahan mendasar dari kurikulum dan program studi yang ada. Penyesuaian tersebut lebih ditekankan pada upaya meningkatkan relevansi substansi materinya sehingga lebih padu dengan permasalah aktual. Program-program studi yang sudah kurang diminati perlu dievaluasi faktor penyebabnya. Faktor penyebabnya bisa dipilah menjadi: [1] penyelenggara pendidikan yang menawarkan program studi tersebut lebih besar kapasitasnya dibandingkan dengan kebutuhan dunia kerja; [2] keahlian yang dihasilkan dari program studi tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan dunia kerja, atau [3] masih ada kebutuhan aktual dari dunia kerja tetapi imbalan (finansial) yang didapatkan dari jenis pekerjaan ini tidak kompetitif dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain. Faktor penyebab [1] terkait dengan kemudahan sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan (juga berarti biaya operasional penyelenggaraan pendidikannya lebih mudah) sehingga banyak instutusi pendidikan (terutama swasta) yang ikut menyelenggarakannya. Faktor penyebab [2] terkait dengan bidang keilmuan yang relatif statis perkembangannya dan kebutuhan keahliannya juga terbatas, sehingga pasar dunia kerjanya cepat menjadi jenuh. Faktor penyebab [3] karena bidang pekerjaan tersebut tidak menjanjikan secara ekonomi, misalnya pekerjaan di sektor pertanian. Tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang terlalu berkiblat pada produktivitas selayaknya ditinjau kembali, karena sering mengakibatkan kelembagaan pendidikan pengorbankan kualitas untuk mengejar kuantitas. Akibatnya kelembagaan pendidikan lebih berfungsi sebagai mesin produksi untuk menghasilkan penyandang gelar semata dan tidak menjadi pengemban amanah konstitusi untuk mencerdaskan bangsa. Pendidikan adalah untuk mencerdaskan bangsa. Pencerdasan hanya dapat dicapai dengan pendidikan yang bermutu. Kontribusi nyata tenaga terdidik terhadap pembangunan nasional hanya mungkin terjadi jika keahlian dan ketrampilan yang diasah adalah relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Pendidikan formal rakyat Indonesia saat ini mayoritas masih relatif rendah. Selanjutnya, mayoritas rakyat bekerja disektor produksi pangan (tanaman, ternak, dan ikan). Dengan demikian, jika diniatkan pengembangan inovasi adalah untuk melibatkan mayoritas rakyat Indonesia sebagai pelaku pembangunan, maka teknologi yang sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas pangan sudah sepatutnya diprioritaskan. Pangan yang dimaksud adalah pangan dalam arti luas, mencakup pangan asal tanaman, ternak, ikan, dan hasil hutan. Dengan demikian, jelas bahwa nelayan juga perlu mendapat perhatian. Teknologi yang dibutuhkan mungkin saja hanya merupakan teknologi sederhana. Akan tetapi, adalah jauh lebih baik menyediakan teknologi sederhana yang sesuai, yang dapat dikembangkan dan digunakan oleh masyarakat dan/atau IKM dalam proses produksi pangan untuk pemenuhan konsumsi 237 juta penduduk Indonesia. Jika surplus tidak akan menjadi persoalan karena dengan mudah bisa diekspor karena permintaan pasar global semakin tinggi dengan pertambahan penduduk dunia. Pengembangan teknologi sederhana tetapi bermanfaat akan jauh lebih baik dari pada mengembangkan teknologi super-canggih yang hanya berakhir di ruang pajang. Pembiayaan untuk pengembangan teknologi harus diposisikan sebagai investasi bukan sebagai belanja rutin. Inovasi adalah tentang mengkonversi ide menjadi uang. Oleh

129

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

sebab itu, relevansi menjadi isu pokok. Teknologi yang sesuai dengan potensi sumberdaya alam lokal/nasional akan lebih terjamin keberlanjutannya dan sekaligus dapat mewujudkan kemandirian bangsa. Teknologi yang sesuai dengan kapasitas adopsi mayoritas penduduk akan membuka peluang untuk berdampak lebih massal, memperbesar porsi sumberdaya manusia yang menjadi penggerak pembangunan dan sekaligus mengurangi porsi yang hanya menjadi beban pembanguan, serta memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan sekaligus pemerataan kesejahteraan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Perindustrian perlu meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksinya dengan pihak industri. Ide hibridisasi kegiatan pendidikan dengan aktivitas bisnis/industri memang bukan merupakan sesuatu yang baru. Kegiatan pemagangan (internship) telah dilakukan sejak lama di Indonesia. Hanya saja kualitas dan intensitasnya terus perlu ditingkatkan. Idealnya kegiatan ini dilandasi oleh asas saling membutuhkan dan saling menguntungkan atau bersifat mutualistik. Ukuran keberhasilan program pemagangan tergantung pada kualitas pembelajaran yang berlangsung selama peserta didik ditempatkan di lingkungan dunia kerja. Padu silang pendidikan-bisnis ini perlu dilakukan secara dua arah. Selain pemagangan peserta didik di lingkungan kerja, juga perlu dibarengi dengan mengundang pelaku bisnis dan industri untuk menularkan pengetahuan dan/atau ketrampilan di lingkungan akademis. Saat ini, pelaku bisnis/industri umumnya hanya diundang sesekali ke lingkungan akademis dalam rangka kegiatan spesifik tertentu. Akan lebih intensif, jika pelaku bisnis/industri tersebut menjadi mitra penuh dari tenaga pengajar di perguruan tinggi, terutama untuk mata kuliah tertentu yang kental kaitannya dengan kebutuhan implementasinya di dunia kerja. Upaya mewujudkan inovasi nasional yang lebih produktif dan efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, perlu mempertimbangkan potensi sosial masyarakat, selain potensi sumberdaya alam dan manusia sebagaimana telah diuraikan di atas. Potensi sosial budaya dapat dikategorikan sebagai potensi non-ekonomi ini umumnya bersifat intangible. Sulit diukur secara kuantitatif dan divisualisasikan, tetapi jelas dampaknya dapat dirasakan. Penyesuaian terhadap tradisi, budaya, norma, etika, dan nilai-nilai karakter bangsa lainnya merupakan faktor yang akan ikut mempengaruhi tingkat keberhasilan inovasi nasional, walaupun unsur-unsur ini bersifat tak-berwujud dan sulit diukur secara objektif. Hal itu berbeda dengan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang jelas wujudnya dan dapat dikuantifikasi besaran potensinya. Kearifan tradisional (tradisional wisdom) dapat menjadi inspirasi dalam pengembangan sistem inovasi. Karena sifatnya sering sangat spesifik dan lokal, maka mungkin tidak dapat menjadi acuan dalam pengembangan SINas, tetapi sangat potensial diacu untuk membangun Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Kearifan tradisional merupakan akumulasi pengetahuan selama periode yang panjang. Walaupun kadang sulit dijelaskan secara ilmiah, namun probabilitas kebenarannya relatif tinggi dan sudah teruji. Namun demikian dengan kecermatan akademis, banyak pula kearifan lokal yang dapat dijelaskan secara ilmiah dengan sistematis dan logis, sehingga dapat dilakukan pengembangan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensinya. Di

130

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

era modern ini, kualitas sosial budaya yang selaras dengan prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan atau pengelolaan lembaga pemerintah, bisnis, maupun masyarakat merupakan modal keberhasilan pengembangan suatu SINas. Beberapa contoh di atas cukup untuk justifikasi tentang pentingnya dimensi sosial dalam mewujudkan inovasi nasional yang lebih komprehensif. Oleh sebab itu, perlu juga secara sungguh-sungguh diintegrasikan ke dalam suatu formula kebijakan sebagai upaya membangun SINas.

5.2. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Perubahan UU No. 18 Tahun 2002
5.2.1. Urgensi Penguatan Inovasi UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan untuk memperkuat daya dukung iptek untuk mempercepat pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional. Tujuan diundangkannya UU No. 18 Tahun 2002 ini sesuai dengan pemandangan umum fraksi-fraksi DPR terhadap urgensi sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek menjadi undang-undang. Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi DPR dalam Rapat Paripurna DPR-RI, tanggal 11 September 2001 terhadap RUU Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek adalah: 1. Menjadi landasan hukum yang kokoh dalam memberikan peluang dan kesempatan yang lebih luas pada masyarakat, lembaga usaha, lembaga riset dan teknologi, lembaga pendidikan dan pemerintah untuk mengembangkan iptek secara optimal. 2. Menunjukan adanya komitmen yang lebih tegas dari pemerintah untuk menetapkan kebijakan yang lebih komprehensif dalam membangun dan mengembangkan iptek. 3. Menunjukan perlunya keterkaitan antara pengembangan iptek dengan upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia secara langsung dalam rangka memperoleh kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera. 4. Keharusan untuk mengembangkan iptek yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara profesional dan melibatkan publik (adanya audit iptek). 5. Negara Indonesia perlu segera memiliki suatu peraturan perundang-undangan yang komprehensif di bidang iptek; maka penting dibuat Undang-Undang tentang iptek guna

131

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

memberi landasan hukum bagi unsur-unsur pembentuk kemampuan Iptek serta sebagai koridor dan frame pengembangan Iptek di Tanah air kita. Menurut UU No. 18 Tahun 2002 pembangunan sistem inovasi nasional dilakukan melalui penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). UU No. 18 Tahun 2002 diharapkan menjadi wadah untuk menampung dan menjadi alat pemecah kesulitan segala hal yang terkait dengan inovasi, yaitu penelitian, pengembangan dan penerapan iptek. Hal ini tidak mudah karena Indonesia menghadapi berbagai kendala dan penghambat dari sisi kelembagaan, program, sumber daya, dan sebagainya. Di Indonesia, kenyataannya upaya penguatan inovasi nasional yang dicirikan dengan interaksi elemenelemen atau aktor penghasil teknologi masih kurang baik. Kurangnya komunikasi dan interaksi antar elemen penghasil dan pengguna teknologi memberikan dampak terhadap penerapan berbagai hasil penelitian dan pengembangan yang dihasilkan oleh aktor/lembaga penghasil penghasil teknologi. Hal ini menjadikan hasil penelitian dan pengembangan belum didayagunakan sepenuhnya menjadi berbagai inovasi. Padahal dalam pengembangan ekonomi yang berbasis pengetahuan, komunikasi dan interaksi yang intens antara lembaga penelitian, perguruan tinggi, industri dan pihak terkait lainnya sebagai aktor/lembaga idealnya menjadi kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pengembangan iptek seharusnya tidak terpisahkan dalam input dan output ekonomi nasional. Selain itu, beberapa kebijakan pemerintah juga menekankan perlunya penguatan inovasi dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam Bab IV Buku II RPJM 2010-2014, menyebutkan untuk mencapainya diperlukan adanya insitusi yg kuat dari sisi legalitas dan otoritas; adanya tagline negara sebagai dasar penguatan SINas; serta perlunya konsensus nasional tentang SINas. Selain itu untuk mendukung penguatan inovasi nasional diperlukan efektifitas dan efisiensi regulasi dan sistem insentif yang mendukung inovasi nasional, serta adanya sistem aliran pengetahuan dan mobilitas human capital antara perguruan tinggi dan lembaga riset dengan perguruan tinggi. Untuk itu, RPJM 2010-2014 menekankan adanya skema pembiayaan venture capital dan iklim investasi yang memperkuat inovasi nasional. Sebagai upaya mencapai tujuan sebagaimana disebutkan dalam Bab IV Buku II RPJM 20102014, Jakstranas Iptek 2010 2014 menekankan perlunya penguatan kelembagaan dari sisi penghasil iptek dan pengguna iptek; interaksi antara penghasil dan pengguna iptek; dan meningkatkan kontribusi iptek dalam aktivitas perekonomian dengan meningkatkan Total Factor Productivity (TFP). Selain itu lembaga litbang dan perguruan tinggi perlu meningkatkan produktivitas penelitian dan pengembangan melalui pengembangan dan pemanfaatan kelembagaan iptek, sumberdaya, dan jaringan iptek secara lebih effektif. Sedangkan di sisi industri, peningkatan pemanfaatan teknologi dalam negeri masih diperlukan, selain mengurangi ketergantungan teknologi asing. Upaya-upaya tersebut perlu diiringi dengan peningkatan kuantitas, kualitas, produktivitas, dan kesejahteraan peneliti, perekayasa, teknisi maupun SDM yang terlibat di dalam kegiatan litbang. Termasuk perlunya mengembangkan budaya kreatif inovatif di masyarakat.

132

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya pada Acara Silaturrahim dengan AIPI dan Masyarakat Ilmiah, di Serpong pada tanggal 20 Januari 2010 juga menekankan perlunya upaya-upaya untuk penguatan inovasi nasional. Upaya ini mencakup pengaturan kelembagaan secara lebih sistemik, dengan memperhatikan capaian jangka panjang untuk mendorong, mendukung menyebarkan dan menerapkan inovasi-inovasi di berbagai sektor dalam skala nasional. Presiden menekankan agar penguatan inovasi nasional disesuaikan dengan corak yang khas dari berbagai daerah di Indonesia, dan sesuai kebutuhan dan kondisi. Untuk itu, penguatan SINas agar didasarkan pada kemitraan pemerintah, komunitas ilmuwan dan swasta, dan meningkatkan kolaborasi dengan dunia internasional. Peraturan perundang-undangan yang ada bahkan secara jelas menyebutkan pengertian dari SINas. Menurut Perpres No. 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional, SINas adalah:
suatu jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor swasta dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka panjang dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikan kegiatan untuk menghasilkan, mendayagunakan, merekayasa inovasiinovasi di berbagai sektor, dan menerapkan serta mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaat nyata temuan dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat.

a. kegiatan yang dicakup adalah pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi; b. pelakunya terdiri dari beberapa kelembagaan baik pemerintah maupun swasta yang berinteraksi satu sama lain secara sinergis; c. produk yang dihasilkan adalah teknologi baru yang mempunyai nilai ekonomi; dan d. ruang lingkup dalam melaksanakan kegiatan inovasi ini adalah negara.

5.2.2. Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Perubahan UU No. 18 Tahun 2002 Muatan rancangan undang-undang perubahan UU No. 18 Tahun 2002, setidaknya memuat materi kebijakan penguatan inovasi yang telah dirumuskan dalam Perpres No. 32 Tahun 2011 dan Kepmenristek No. 246 /M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional. Perpres No. 32 Tahun 2011, menyebut strategi penguatan inovasi nasional dengan usulan inisiatif inovasi 1-747. Hal yang perlu dicatat dalam usulan ini adalah penguatan inovasi dapat dilakukan melalui tujuh langkah perbaikan ekosistemnya (Gambar 17). Tujuh langkah perbaikan ekosistem inovasi ini mencakup: 1) Sistem insentif dan regulasi yang mendukung inovasi dan budaya penggunaan produk dalam negeri.

133

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Sejalan dengan pengertian SINas dalam Perpres No. 32 Tahun 2010, Kementerian Riset dan Teknologi mengeluarkan Keputusan Menristek No. 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional. Menurut Keputusan Menristek No. 246/M/Kp/IX/2011, pengertian dasar berkaitan dengan SINas mencakup:

2) Peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumberdaya manusia. 3) Pembangunan pusat-pusat inovasi untuk mendukung IKM. 4) Pembangunan klaster inovasi daerah. 5) Sistem remunerasi peneliti. 6) Revitalisasi infrastruktur R&D. 7) Sistem dan manajemen pendanaan riset yang mendukung inovasi.

Gambar 17. Usulan Inisiatif Inovasi 1-747 (Perpres No. 32/2011 ttg MP3EI)

Kepmenristek No. 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa dalam upaya mewujudkan SINas yang efektif dan produktif memerlukan peranan pemerintah dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh kembang SINas. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan panggung untuk pengembangan SINas agar para aktor inovasi secara nyaman dapat memainkan peranannya masing-masing. Panggung yang ideal tidak mungkin dapat disiapkan oleh pemerintah tanpa didahului dengan formulasi kebijakan di berbagai sektor pendukung inovasi nasional yang tepat. Tugas pemerintah yang paling krusial di sini adalah mensinkronisasikan antara potensi ekonomi dan non-ekonomi yang dimiliki Indonesia dalam rangka menyiapkan panggung inovasi nasional yang nyaman bagi para aktor untuk unjuk kinerja melalui kebijakan dan regulasi yang kondusif. Kinerja aktor-aktor

134

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

pelaku inovasi pada akhirnya akan terindikasi dari kemampuan nasional dalam memenuhi permintaan pasar (utamanya pasar domestik), baik berupa barang maupun jasa. Peran pemerintah tidak hanya penting dalam rangka menyiapkan panggung inovasi, tetapi juga penting perannya dalam mengawal agar pengembangan teknologi dan aplikasinya oleh industri (sebagai pihak penggunanya) lebih berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar domestik.32 Oleh karena itu upaya strategi pengembangan dan penguatan inovasi agar ditekankan pada: 1) Pengembangan teknologi yang difokuskan untuk pemenuhan realita kebutuhan atau menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh pengguna teknologi. 2) Revitalisasi kapasitas lembaga pengembang teknologi . 3) Peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi . 4) Optimalisasi peran lembaga intermediasi, tidak hanya memasarkan teknologi tetapi juga membantu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalah yang dihadapi pengguna teknologi. 5) Regulasi dan kebijakan yang kondusif, terutama di sektor ristek, keuangan, pendidikan, ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan agar para aktor inovasi dapat berinteraksi secara intensif dan produktif. 6) Pembangunan Science and Technology Park (STP) untuk mendorong interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang-intermediasi-pengguna teknologi. 7) Pengembangan pusat unggulan inovasi (center of excellence on innovation) untuk mendukung implementasi strategi pokok ketiga MP3EI. 8) Pembentukan konsorsium inovasi . 9) Revitalisasi peran Dewan Riset Nasional (DRN). 10) Sinkronisasi dan optimalisasi UU No 18 Tahun 2002 serta peraturan pelaksanaannya. Implementasi PP No. 35 Tahun 2007 secara efektif dan utuh. 11) Pengembangan SINas harus berbasis sumberdaya nasional dan unt pemenuhan kebutuhan domestik. Kedua peraturan tersebut dapat dikatakan merupakan dasar kebijakan bagi upaya-upaya penguatan inovasi nasional. Kebijakan strategi penguatan inovasi melalui usulan inisiatif inovasi 1-747 maupun penentuan arah penguatan SINas untuk peningkatan kontribusi Iptek terhadap pembangunan nasional seharusnya telah dapat menjadi acuan untuk mendorong inovasi nasional. Namun demikian, sebagaimana telah diuraikan dalam kebijakan arah penguatan SINas, perlu dilakukan perubahan terhadap UU No. 18 Tahun 2002. Nuansa pengembangan iptek yang masih bersifat supply-push, agar diubah agar selaras dengan orientasi
32

Sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada beberapa kesempatan. Berbagai negara, juga melihat populasi Indonesia yang besar, lebih dari 237 juta jiwa (BPS, 2010) juga merupakan pasar yang sangat potensial.

135

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

pengembangan teknologi yang bersifat demand-driven. Kecenderungan global saat ini juga lebih diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan atau persoalan nyata yang relevan dihadapi masyarakat. Selain dua kebijakan tersebut di atas, kebijakan-kebijakan lain yang terkait adalah dokumen RPJM 2010-2014, dan Kebijakan Strategis Nasional Iptek 2010-2014, serta arahan Presiden RI. Dokumen tersebut menekankan beberapa hal terkait dengan upaya penguatan inovasi nasional (Tabel 9.).

Tabel 9. Kebijakan Penguatan Inovasi Fokus Buku II RPJM 20102014, Bab IV Materi Pengaturan Penguatan insitusi Jakstranas sebagai konsensus nasional dalam upaya penguatan SINas. Identifikasi dan penetapan sistem insentif yang mendukung SINas. Penguatan aliran pengetahuan dan mobilitas human capital. Pembiayaan venture capital dan iklim investasi yang memperkuat SINas. Jakstranas Iptek 2010 2014 Penguatan interaksi penghasil dan pengguna iptek Peningkatan pemanfaatan teknologi dalam sektor industri Mendorong investasi industri untuk litbang Iptek masih sangat terbatas Mendorong produktivitas litbang Meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kesejahteraan SDM Mengembangkan budaya kreatif inovatif di masyarakat Sambutan Presiden SBY, dlm Acara Silaturrahim dengan AIPI dan Masy Ilmiah, Serpong, 20 Januari 2010. Komite Inovasi Nasional (KIN) Mendorong inovasi-inovasi di berbagai sektor dalam skala nasional. Pengembangan SINas sesuai kebutuhan dan kondisi. Pengembangan kemitraan dan kolaborasi dengan dunia internasional.

Pengembangan pusat inovasi untuk mendorong industri kecil dan menengah Pengembangan klaster inovasi daerah Revitalisasi infrastruktur R&D Sistem dan manajemen pendanaan riset Sistem remunerasi peneliti Peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumberdaya manusia Sistem insentif dan regulasi yang mendukung.

Kebijakan inisiatif inovasi 1-747, maupun penentuan arah penguatan SINas merupakan upaya untuk mendorong kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi yang lebih bersifat demand-driven. Dua kebijakan tersebut, secara garis besar menekankan pada empat hal, yaitu:

136

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Mengurangi ketergantungan teknologi asing

5. penguatan jaringan rantai (interaksi sinergis) institusi publik, lembaga ristek, universitas, dan swasta; 6. peningkatan hasil, pendayagunaan, rekayasa inovasi - pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi; 7. peningkatan penerapan dan diseminasi hasil penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek (temuan/teknologi baru dan produk inovatif yang mempunyai nilai ekonomi) agar dapat dirasakan masyarakat; dan 8. penguatan inovasi nasional agar diprioritaskan untuk dilakukan di wilayah NKRI. Keempat hal tersebut di atas telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2002. Pengaturan tersebut mencakup antara lain perlunya adanya keterkaitan unsur iptek dalam pola hubungan tertentu, penguatan jalinan kemitraan unsur kelembagaan iptek, penguatan daya dukung iptek, pendayagunaan manfaat keluaran perguruan tinggi dan lembaga litbang, dan penguatan audit teknologi (Tabel 9.). Perubahan ketentuan UU No. 18 Tahun 2002 di atas, tentunya agar diarahkan untuk mengakomodir upaya penguatan inovasi. Perubahan ini juga diarahkan untuk memperkuat usulan inisiatif inovasi 1-747, serta penentuan arah penguatan SINas (Tabel 10.).

Tabel 9. Fokus Perubahan dalam UU No. 18 Tahun 2002.

Penguatan jaringan rantai (interaksi sinergis) institusi publik, lembaga ristek, universitas, dan swasta.

Pasal 5 ayat (1) keterkaitan unsur iptek dalam pola hubungan tertentu Pasal 10 ayat (2) peran lembaga penunjang dalam mendorong sinergi dan pertumbuhan perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha Pasal 13 jaringan informasi iptek Pasal 15 ayat (1) jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur kelembagaan iptek Pasal 17 ayat (1) kerjasama internasional Pasal 28 ayat (2) jalinan kemitraan unsur kelembagaan iptek

Peningkatan hasil, pendayagunaan, rekayasa inovasi pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi.

Pasal 4 penguatan daya dukung iptek Pasal 6 ayat (2) fungsi kelembagaan dalam penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek Pasal 9 ayat (1) fungsi badan usaha dalam perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi Pasal 16 ayat (1) alih teknologi kekayaan intelektual dan hasil litbang Pasal 27 ayat (3) dukungan dana bagi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek

Peningkatan penerapan dan diseminasi hasil litbangrap (temuan/teknologi baru dan produk inovatif yg mempunyai

Pasal 8 ayat (2) - invensi di bidang iptek Pasal 9 ayat (2) pendayagunaan manfaat keluaran perguruan tinggi dan lembaga litbang Pasal 13 ayat (4) pengelolaan, pemanfaatan kekayaan intelektual dan

137

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Fokus

UU No. 18 Tahun 2002

Fokus nilai ekonomi) agar dapat dirasakan masyarakat. Ruang lingkup kegiatan inovasi adalah NKRI.

UU No. 18 Tahun 2002 hasil litbang

Pasal 19 ayat (3) penguatan tarikan pasar bagi hasil litbang, dan audit teknologi dan SNI

Tabel 10. Usulan Perubahan dalam UU No. 18 Tahun 2002. Pasal Pasal 3 Usulan Perubahan Ditambahkan 2 ayat unt mengakomodir amandemen keempat UUD 1945 Ditambahkan satu pasal setelah Pasal 6, untuk pemenfaatan hasil litbang, perekayasaan, dan inovasi dalam negeri Ditambahkan satu pasal setelah Pasal 9, pemerintah/pemerintah daerah dimungkinkan memberikan stimulan dan fasilitas untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Pasal 12 Ditambahkan 2 ayat, mengenai perlunya menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 13 Ditambahkan ayat baru. Penambahan ayat unt penyebaran informasi hasil litbang dan kekayaan intelektual, serta peningkatan pengelolaan kekayaan intelektual dan hasil litbang. Pasal 15 Pasal 17 Pasal 18 Penambahan pada ketentuan yang ada dg penekanan pada kemitraan. Setelah Pasal 17 ditambahkan mengenai pengaturan MTA Setelah Pasal 18 ditambahkan penekanan pada Jakstranas Iptek sebagai acuan pengembangan iptek. Setelah Pasal 19 ditambahkan satu pasal, yang menekankan penyusunan Jakstranas Iptek ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Pasal 6

Pasal 9

Pasal 19

138

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Bab 6 Rangkuman dan Rekomendasi


6.1. Rangkuman Kepentingan nasional dan kecenderungan global membutuhkan perubahan yang mendasar tentang arah pembangunan iptek. Arah pembangunan iptek perlu diupayakan menuju peningkatan kontribusi teknologi terhadap pembangunan berbagai sektor, terutama sektorsektor perekonomian. Dengan demikian, aktivitas riset di masa yang akan datang perlu lebih diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan dan/atau menyediakan solusi bagi persoalan nyata yang dihadapi para pengguna teknologi, baik industri, masyarakat, ataupun pemerintah. Dari sisi lain, konstitusi Indonesia juga secara jelas dan tegas mengamanahkan bahwa pembangunan iptek ditujukan untuk meningkatkan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Dalam konteks ini, tentu dimaksudkan bahwa pengembangan teknologi harus diarahkan untuk menyejahterakan rakyat dan peningkatan peradaban bangsa Indonesia. Kecenderungan global saat ini dan kepentingan nasional dalam rangka menunaikan amanah konstitusi sebetulnya berjalan paralel dan menuju satu muara, yakni mewujudkan inovasi nasional yang lebih efektif dan produktif. Eksistensi inovasi tidak secara langsung dapat dijamin oleh keberadaan lembaga pengembang teknologi yang maju dan lembaga pengguna teknologi dengan kapasitas produksi yang besar, karena yang akan menentukan adalah kualitas interaksi dan komunikasi antar-aktor inovasi tersebut yang dibuktikan dengan terjadinya: [1] aliran informasi kebutuhan dan/atau persoalan teknologis yang dihadapi oleh para pengguna yang sampai ke pengembang teknologi; dan [2] aliran teknologi yang relevan dan sesuai kapasitas adopsi pengguna, yang dihasilkan oleh pengembang dan diimplementasikan oleh pengguna dalam proses produksi barang/jasa sesuai kebutuhan konsumen atau permintaan pasar, terutama pasar domestik.

139

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dalam rangka mendayagunakan secara optimal kapasitas lembaga pengembang teknologi yang sudah baik, maka perlu dilakukan refocusing agar kapasitas tersebut dapat diarahkan sesuai dengan prioritas untuk menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan pengguna. Revitalisasi lembaga pengembang teknologi ini diarahkan agar lembaga ini tidak hanya handal dalam mendukung aktivitas riset dan pengembangan (R&D capacity) semata, tetapi juga dapat ditingkatkan kapasitasnya untuk mengakses infromasi, mitra kerja potensial, dan sumber pembiayaan eksternal (sourcing capacity) serta kapasitasnya dalam mendifusikan hasil riset dan teknologi kepada pengguna potensialnya (disseminating capacity). Revitalisasi lembaga pengembang teknologi perlu diimbangi dengan upaya peningkatan kapasitas adopsi teknologi pada lembaga pengguna. Upaya ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan kompetensi sumberdaya manusia pada lembaga pengguna (industri dan pemerintah) atau pengguna individual dalam masyarakat. Pembentukan unit kerja dalam struktur organisasi lembaga pengguna dan/atau peningkatan aktivitas in-house research pada lembaga pengguna terbukti dapat mendorong peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi. Pengembang dan pengguna teknologi sebagai aktor utama dalam penguatan inovasi nasional sering masih membutuhkan dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan kebijakan yang memotivasi dan berkesesuaian, serta juga peran intermediasi dan fasilitasi agar interaksi dan komunikasi antar-aktor inovasi tersebut dapat lebih diintensifkan. Untuk peran intermediasi dapat juga dimainkan oleh lembaga non-pemerintah. Interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi membutuhkan panggung yang yang mantab dan nyaman. Mantab dalam makna mendapat dukungan dari berbagai regulasi dan kebijakan dari sektor-sektor yang terkait langsung dan berpengaruh nyata terhadap proses mewujudkan dan perkuatan inovasi nasional, termasuk regulasi dan kebijakan riset dan teknologi, keuangan, pendidikan, ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan. Nyaman dalam pengertian kebijakan-kebijakan sektoral tersebut bermuara pada kondisi ekosistem yang kondusif untuk tumbuh-kembang inovasi. Fasilitasi pemerintah untuk mendorong interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembangintermediasi-pengguna teknologi dapat juga dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada aktor-aktor inovasi tersebut untuk berinteraksi dalam satu kawasan. Ide ini diimplementasikan dengan membangun Science and Technology Park (STP). Untuk kondisi Indonesia, kawasan Puspiptek Serpong sangat mungkin untuk ditransformasi secara fisik dan fungsional menjadi STP, dengan memanfaatkan lembaga dan fasilitas pengembangan teknologi yang sudah ada sebagai modal dasarnya. Transformasi tersebut dapat dilakukan dengan menghadirkan lembaga intermediasi ke dalam kawasan dan menghadirkan industri ke dalam dan/atau membangun kawasan Industrial Park (IP) yang posisinya berdampingan dengan lahan Puspiptek. Gabungan antara STP dan IP ini akan dapat menjadi model SINas Indonesia yang handal, disarankan dinamakan sebagai Indonesian InnoPark. Sejalan dengan pengembangan MP3EI, diperlukan upaya pengembangan pusat unggulan inovasi (center of excellence on innovation) pada seluruh koridor pembangunan perekonomian nasional, yang masing-masing fokus pada isu-isu ekonomi strategis sesuai dengan potensi

140

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

ekonomi masing-masing wilayah koridor. Memahami bahwa satu koridor ekonomi masih dapat dijumpai keragaman potensi ekonominya, maka sangat mungkin pada masing-masing koridor dikembangkan beberapa pusat unggulan sesuai dengan realita kebutuhannya. Alternatif lain yang dapat didorong adalah membangun konsorsium inovasi berdasarkan isu spesifik yang menjadi sasaran bersama (common goal) dari anggota konsorsium. Dalam konteks penguatan inovasi nasional, anggota konsorsium merupakan representasi dari pengembang teknologi, pengguna teknologi, lembaga intermediasi, dan dapat juga jika dianggap strategis melibatkan lembaga penunjang tertentu, yang terkait langsung dengan upaya mencapai sasaran bersama yang telah disepakati. Dewan Riset Nasional (DRN) sebagai lembaga non-struktural yang terkait langsung dengan upaya membangun inovasi nasional perlu lebih dioptimalkan perannya, terutama dalam mengidentifikasi kebutuhan dan persoalan iptek, merekomendasikan arah dan prioritas riset nasional, serta koordinasi antara lembaga pengembang teknologi. Untuk revitalisasi peran DRN ini, maka keanggotaan DRN perlu disesuaikan agar secara seimbang mewakili komunitas pengembang dan pengguna teknologi, serta dari unsur pemerintah. Kemungkinan untuk reposisi DRN juga perlu mendapat pertimbangan agar peran koordinasi lebih efektif dapat dilaksanakan. Regulasi dan kebijakan yang ada saat ini dirasakan masih perlu disinkronisasikan, diperbaiki, atau bahkan dilengkapi sehingga bisa diimplementasikan secara efektif dan utuh, termasuk pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 dan PP No. 35 Tahun 2007. Kemungkinan penerbitan Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional juga merupakan salah satu alternatif yang perlu diekplorasi lebih lanjut. Semua langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka mewujudkan atau perkuatan inovasi nasional yang telah diuraikan di atas tetap secara konsisten berbasis pada potensi sumberdaya nasional, termasuk sumberdaya alam, manusia, dan konsisi sosio-kultural serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Selanjutnya langkah ini juga harus fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan nasional, termasuk permintaan pasar domestik, dan untuk menyediakan solusi teknologi bagi persoalan yang dihadapi masyarakat, industri, dan pemerintah sebagai pengguna teknologi. Orientasi pengembangan inovasi nasional yang berbasis sumberdaya nasional dan lebih diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan domestik ini diharapkan akan mampu meningkatkan kemandirian, harkat, dan martabat bangsa Indonesia.

6.2. Rekomendasi Berdasarkan telaah yang telah dilakukan secara komprehensif ini, maka beberapa butir rekomendasi yang dapat disampaikan adalah: (1) Pengembangan teknologi Indonesia perlu difokuskan untuk memenuhi realita kebutuhan dan/atau menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh pengguna

141

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

teknologi, termasuk masyarakat, industri, dan lembaga pemerintah sesuai dengan konsepsi penguatan SINas; (2) Kapasitas lembaga pengembang teknologi perlu direvitalisasi agar mempunyai tiga kapasitas yang dibutuhkan dalam menopang penguatan inovasi nasional, yakni kapasitas riset dan pengembangan, kapasitas sourcing, dan kapasitas difusinya; (3) Kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi perlu ditingkatkan agar proses difusi teknologi dalam rangka mewujudkan inovasi nasional dapat lebih berpeluang untuk terlaksana, sehingga teknologi dapat secara nyata berkontribusi terhadap pembangunan nasional; (4) Peran lembaga intermediasi perlu lebih dioptimalkan sehingga interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi dapat lebih intensif dan produktif, dengan demikian maka upaya penguatan inovasi dapat mengalami akselerasi. Peran lembaga intermediasi perlu diperluas sehingga tidak hanya memasarkan teknologi tetapi juga membantu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalah yang dihadapi para pengguna teknologi. Partisipasi pihak non-pemerintah perlu dirangsang untuk berperan dalam intermediasi ini; (5) Pemerintah menyiapkan panggung bagi para aktor inovasi agar dapat berinteraksi secara intensif dan produktif, melalui pemberlakukan regulasi dan kebijakan yang kondusif, terutama di sektor riset dan teknologi, keuangan, pendidikan, ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan; (6) Pembangunan Science and Technology Park (STP) perlu disegerakan agar tersedia wahana untuk mendorong interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembangintermediasi-pengguna teknologi, dimana kawasan Puspiptek Serpong dapat diprioritaskan untuk ditransformasi secara fisik dan fungsional menjadi STP; (7) Pengembangan pusat unggulan inovasi (center of excellence on innovation) perlu segera diinisiasi dalam rangka memberikan dukungan terhadap implementasi strategi pokok ketiga MP3EI, yakni meningkatkan kontribusi teknologi terhadap percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia; (8) Pembentukan konsorsium inovasi berdasarkan isu spesifik yang menjadi sasaran bersama (common goal) dan memiliki nilai strategis nasional perlu didorong karena akan menjadi vehicle yang efektif sebagai model implementasi SINas; (9) Peran Dewan Riset Nasional (DRN) perlu direvitalisasi, antara lain melalui perbaikan komposisi keanggotaannya agar secara lebih seimbang mewakili komunitas pengembang dan pengguna teknologi, serta dari unsur pemerintah. Kemungkinan reposisi DRN juga perlu dipertimbangkan agar peran koordinasi DRN menjadi lebih efektif; (10) UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta turunannya PP No. 35 Tahun 2007

142

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi perlu disinkronisasikan, diperbaiki, atau bahkan dilengkapi dengan produk turunannya sehingga bisa diimplementasikan secara efektif dan utuh; (11) Orientasi pengembangan inovasi nasional harus berbasis sumberdaya nasional dan lebih diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan domestik sehingga diharapkan akan mampu meningkatkan kemandirian, harkat, dan martabat bangsa Indonesia.

143

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Referensi
Abramovitz, M. 1994. Catch-up and convergence in the postwar growth boom and after. In: W.J. Baumol, R.R. Nelson, and E.N. Wolf (eds), Convergence of Productivity: Crossnational studies and historical evidence. Oxford University Press, Oxford (UK). Asheim, B.T. and L. Coenen. 2005. Knowledge bases and regional innovation systems: comparing Nordic clusters. Research Policy 34(8):1173-1190 Bathelt, H. 2003. Geographies of Production: growth regimes in spatial perspective innovation, institutions, and social systems. Progress in Human geography 27(6):763778
Boardman, P.C. 2009. Government centrality to universityindustry interactions: University research centers and the industry involvement of academic researchers. Research Policy 38:15051516

BPS. 2010. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta Casey, S. 2005. Establishing Standards for Social Infrastructure. University Of Queensland, Ipswich. Fagerberg, J. and M. Srholec. 2008. National Innovation Systems, Capabilities and Economic Development. Research Policy 37:1417-1435 Firdausy, C.M. 2009a. Jadikan Iptek sebagai HAM. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Firdausy, C.M. 2009b. Iptek sebagai Keharusan untuk Pertumbuhan Ekonomi. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Freeman, C. 1987. Technology and Economic Performance: lessons from Japan. Pinter, London. Freeman, C. And L. Soete. 2009. Developing science, technology and innovation indicators: What we can learn from the past. Research Policy 38:583589 Gerschenkron, A. 1962. Economic Backwardness in Historical Perspective. The Belknap Press, Cambridge (USA). Haagedoorn, J. 1996. Trends and Patterns in Strategic Technology Partnering since the Early Seventies. Review of Industrial Organization 11:601-616 Haryoto, E. 2008. Regulasi/Deregulasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Hasta, L. 2009. Membangun Iptek yang Memihak Rakyat. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hertog, P. 1995. Assessing the Distributional Power of National Innovation System: pilot study of the Netherland. Center for Technology and Policy Studies, Apeldoorn, Netherland.

144

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Hicks, D. And S. Katz. 1996. Systemic Bibliometric Indicators for the Knowledge-based Economy. Paper presented at the OECD Workshop on New Indicators for the Knowledge-based Economy, Paris, 19-21 June. Hidayat, D. 2010. Revitalisasi (Reformasi) Lembaga Litbang untuk Mendukung Sistem Inovasi Nasional. Seminar Nasional Revitalisasi Lembaga Litbang, Universitas Sahid Jakarta, 23 November 2010. Ibrahim, H.D. 2008. Perencanaan Lintas-Sektor. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Kadiman, K. 2008. Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Kadiman, K. 2009. Membangun Relasi Akademisi-Bisnis-Pemerintah. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Komarulzaman, A. and Armida S. Alisjahbana. 2006. Testing the Natural Resource Curse Hypothesis in Indonesia: Evidence at the Regional Level. Working Paper in Economics and Development Studies No. 200602. Universitas Padjadjaran, Bandung. Lakitan, B. 2010. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung Sistem Inovasi Nasional. Keynote speech pada Seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang. Universitas Sahid, Jakarta, 23 November 2010. Lakitan, B. 2011a. Indikator Kinerja Lembaga Litbang di Era Informasi Terbuka. Makalah pengarahan pada Temu Peneliti Badan Litbang dan Diklat VIII Kementerian Agama, Makassar, 12-15 April 2011. Lakitan, B. 2011b. Membangun Agroindustri dan Mewujudkan Sistem Inovasi: agar teknologi berkontribusi pada kesejahteraan rakyat. Keynote speech pada Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Agroindustri Kalimantan Selatan: prospek, peluang, dan potensi, serta kendala. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 23 Juni 2011. Laranja, M., E. Uyarra, and K. Flanagan. 2008. Policies for science, technology and innovation: Translating rationales into regional policies in a multi-level setting. Research Policy 37:823-835 Leydesdorff, L. dan M. Meyer. 2006. Triple Helix indicators of knowledge-based innovation systems: Introduction to the special issue. Research Policy 35:14411449 Lipsey, R.G. and K.I. Carlaw. 2004. Total Factor Productivity and the Measurement of Technological Change. Canadian Journal of Economics 37(4):1118-1150 Liu, X. and S. White. 2001. Comparing innovation system: a framework and applications to Chinas transitional context. Research Policy 30(7):1091-1114 Loikkanen, T., T. Ahlqvist and, P. Pellinen. 2009. The role of the technology barometer in assessing the performance of the national innovation system. Technological Forecasting & Social Change 76:11771186 Lundvall, B.A. 1992. National System Innovation: towards a theory of innovation and interactive learning. Pinter, London.

145

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Malerba, F. 1996. Industry Studies of Innovation Using CIS Data: computer and office machinery. Paper presented at the Eurostat Conference on Innovation Measurement and Policies. Malherbe G. and G. Stanway. 2010. Corporate Innovation at Work: Defining the innovation consortium, Virtual Consulting International Ltd., New York. Metcalfe, S. 1995. The Economic Foundations of Technology Policy: equilibrium and evolutionary perspective. In: P. Stoneman (ed), Handbook of the Economic of Innovation and Technological Change. Blackwell Publishers, Oxford. MEXT. 2002. Annual Report on the Promotion of Science and Technology. Ministry of Education, Culture, Sport, Science and Technology, Tokyo. Mingers, J. And L. White. 2010. A review of the recent contribution of systems thinking to operational research and management science. European Journal of Operational Research 207:11471161 Mulatsih, Sri,. dan Prakoso Bhairawa Putera. 2009. Analisis Undang-undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Bingkai Ekonomi Berlandaskan Iptek (Knowledge Based Economy). LIPI Press: Jakarta Nelson, R. 1993. National Innovation System: a comparative analysis. Oxford University Press, Oxford. OECD. 1996. The Knowledge-Based Economy. Organisation for Economic Cooperation and Development, Paris, France. OECD. 1997. National Innovation Systems. Organisation for Economic Cooperation and Development, Paris, France. OECD. 2002. Frascati Manual: The Proposed Standard Practice for Surveys of Research and Experimental Development. Sixth edition. Organisation for Economic Co-Operation and Development, Paris OECD. 2005. Oslo Manual: guidelines for collecting and interpreting innovation data. Third edition. Organisation for Economic Co-Operation and Development, Paris OECD. 2008a. Strategic Priorities for Science, Technology, and Innovation Policy. Organisation for Economic Cooperation and Development, Paris, France. OECD. 2008b. Innovation Strategies: scoping document. Cooperation and Development, Paris, France. Organisation for Economic

Oey-Gardiner, M. 2008. Teknologi dan Tanggung Jawab Sosial. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Panigoro, H. 2008. Konsistensi Regulasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Patel, P. and K. Pavitt. 1994. The Nature and Economic Importance of National Innovation Systems. Science Technology and Innovation Review No.14. OECD, Paris. Prihandana, R. 2008. Industri, bukan Pabrik. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.

146

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Rosenberg, N. and R.R. Nelson. 1994. American Universities and Technical Advance in Industry. Research Policy 23(3):323-348 Santoso, B. 2008. Embargo sebagai Pemicu. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Schumpeter, J. 1934. The Theory of Economic Development. Harvard University Press, Cambridge. Setiawan, B. 2008. Peran Badan Intermediasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Setiawan, S. 2008. Kesinambungan Milestone. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Sharif. 2010. Governance of Innovation Systems in the Current Global Setting. Bahan Ceramah di LIPI,
Jakarta

Suhardi, I. 2009. Inovasi untuk Pemberdayaan Industri. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Thee Kian Wie. 2008. Nalar Ekonomi versus Nalar Teknologi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. UNCTAD. 2009. World Investment Prospects Survey 2008-2011. United Nations Conference on Trade and Development, New York Wang, T.Y. dan S.C. Chien. 2007. The influences of technology development on economic performanceThe example of ASEAN countries. Technovation 27:471488

WEF. 2010. The Global Competitiveness Report 2010-2011. World Economic Forum, Geneva World Bank. 2010. Innovation Policy: a guide for developing countries. The World Bank, Washington DC

147

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Warsono, S.Y. 2009. Peran Intermediasi dalam Membangun Kolaborasi Lembaga Litbang dan Industri. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Lampiran
Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan Nasional 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahun dan Teknologi. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. 4. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional (KIN). 5. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). 6. Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 03/M/Kp/I/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014

8. Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional Untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Pembangunan Nasional 9. Sambutan Presiden Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono, dalam Acara Silaturrahim dengan AIPI dan Masyarakat Ilmiah, Serpong, 20 Januari 2010.

148

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

7. Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 193/M/Kp/IV/2010 tentang Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Iptek 2010- 2014.

Lampiran 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk kepentingan umat manusia yang dalam pengelolaan dan pendayagunaannya diperlukan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab; b. bahwa penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pencapaian tujuan negara sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menyerasikan tata kehidupan manusia beserta kelestarian fungsi lingkungan hidupnya berdasarkan Pancasila; c. bahwa untuk menumbuhkembangkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengandung dan membentuk keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, serta jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh di lingkungan Negara Republik Indonesia; d. bahwa penumbuhkembangan sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah tugas dan tanggung jawab negara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada butir a, b, c, dan d perlu dibentuk Undang-Undang tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), Undang- Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945; Dengan persetujuan : DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI.

149

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejala alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu. 2. Teknologi adalah cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia. 3. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang strategis adalah berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki keterkaitan yang luas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara menyeluruh, atau berpotensi memberikan dukungan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat, kemajuan bangsa, keamanan dan ketahanan bagi perlindungan negara, pelestarian fungsi lingkungan hidup, pelestarian nilai luhur budaya bangsa, serta peningkatan kehidupan kemanusiaan. 4. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

6. Invensi adalah suatu ciptaan atau perancangan baru yang belum ada sebelumnya yang memperkaya khazanah serta dapat dipergunakan untuk menyempurnakan atau memperbarui ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada. 7. Penerapan adalah pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan, dan/atau ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam kegiatan perekayasaan, inovasi, serta difusi teknologi. 8. Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika. 9. Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. 10. Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya. 11. Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya.

150

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

5. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru.

12. Lembaga penelitian dan pengembangan yang selanjutnya disebut lembaga litbang adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan penelitian dan/atau pengembangan. 13. Badan usaha adalah badan atau lembaga berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 14. Organisasi profesi adalah wadah masyarakat ilmiah dalam suatu cabang atau lintas disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi, atau suatu bidang kegiatan profesi, yang dijamin oleh negara untuk mengembangkan profesionalisme dan etika profesi dalam masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 15. Hak kekayaan intelektual yang selanjutnya disebut HKI adalah hak memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 16. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri. 17. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. 18. Menteri adalah menteri yang membidangi penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 2 Pengertian peristilahan dalam Pasal 1 yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berpikir, kebebasan akademis, dan tanggung jawab akademis.

Pasal 3 Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dikembangkan berdasarkan asas iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, asas tanggung jawab negara, asas kesisteman dan percepatan, asas kebenaran ilmiah, asas kebebasan berpikir, asas kebebasan akademis, serta asas tanggung jawab akademis. Pasal 4 Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan memperkuat daya dukung ilmu pengetahuan dan teknologi bagi keperluan mempercepat pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional. BAB III FUNGSI, KELEMBAGAAN, SUMBER DAYA, DAN JARINGAN Bagian Pertama Fungsi Pasal 5 (1) Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk pola hubungan yang saling memperkuat antara unsur penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

151

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

BAB II ASAS DAN TUJUAN

(2) Unsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur kelembagaan, unsur sumber daya, dan unsur jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagian Kedua Kelembagaan Pasal 6 (1) Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang. (2) Kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi : a. mengorganisasikan pembentukan sumber perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi; daya manusia, penelitian, pengembangan,

b. membentuk iklim dan memberikan dukungan yang diperlukan bagi penyelenggaraan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 7 (1) Perguruan tinggi sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perguruan tinggi bertanggung jawab meningkatkan kemampuan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian pada masyarakat sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 8

(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lembaga litbang bertanggung jawab mencari berbagai invensi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menggali potensi pendayagunaannya. (3) Lembaga litbang dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari organisasi pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, badan usaha, lembaga penunjang, dan organisasi masyarakat. Pasal 9 (1) Badan usaha sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi menumbuhkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi untuk menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), badan usaha bertanggung jawab mengusahakan pendayagunaan manfaat keluaran yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang. Pasal 10 (1) Lembaga penunjang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi memberikan dukungan dan membentuk iklim yang kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

152

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(1) Lembaga litbang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi menumbuhkan kemampuan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lembaga penunjang bertanggung jawab mengatasi permasalahan atau kesenjangan yang menghambat sinergi dan pertumbuhan perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha. Bagian Ketiga Sumber Daya Pasal 11 (1) Sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Setiap unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab meningkatkan secara terus menerus daya guna dan nilai guna sumber daya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 12 (1) Dalam meningkatkan keahlian, kepakaran, serta kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, setiap unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab mengembangkan struktur dan strata keahlian, jenjang karier sumber daya manusia, serta menerapkan sistem penghargaan dan sanksi yang adil di lingkungannya sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi. Pasal 13

(2) Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan penyebaran informasi hasil-hasil kegiatan penelitian dan pengembangan serta kekayaan yang dimiliki selama tidak mengurangi kepentingan perlindungan kekayaan intelektual. (3) Dalam meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. (4) Setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan, dan inovasi yang dibiayai pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha yang melaksanakannya. Pasal 14 Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha dapat membangun kawasan, pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain untuk memfasilitasi sinergi dan pertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat. Bagian Keempat Jaringan Pasal 15 (1) Jaringan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur-unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih

153

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(1) Pemerintah mendorong kerja sama antara semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan jaringan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

besar dari keseluruhan yang dapat dihasilkan oleh masing-masing unsur kelembagaan secara sendirisendiri. (2) Untuk mengembangkan jaringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang, wajib mengusahakan kemitraan dalam hubungan yang saling mengisi, melengkapi, memperkuat, dan menghindarkan terjadinya tumpang tindih yang merupakan pemborosan. Pasal 16 (1) Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, yang dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, sejauh tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan. (2) Apabila sebagian biaya kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibiayai oleh pihak lain, selain pemerintah dan/atau pemerintah daerah, pengalihan teknologi dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang telah diatur sebelumnya dengan pihak lain tersebut. (3) Perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 17 (1) Kerja sama internasional dapat diusahakan oleh semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan alih teknologi dari negara-negara lain serta meningkatkan partisipasi dalam kehidupan masyarakat ilmiah internasional. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilaksanakan atas dasar persamaan kedudukan yang saling menguntungkan dengan tidak merugikan kepentingan nasional, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (3) Pemerintah bertanggung jawab memberikan dukungan bagi perguruan tinggi dan lembaga litbang dalam rangka kerja sama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Perguruan tinggi asing, lembaga litbang asing, badan usaha asing, dan orang asing yang tidak berdomisili di Indonesia yang akan melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia harus mendapatkan izin tertulis dari instansi pemerintah yang berwenang. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. BAB IV FUNGSI DAN PERAN PEMERINTAH Bagian Pertama Fungsi Pemerintah Pasal 18 (1) Pemerintah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia. (2) Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.

154

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 19 (1) Menteri wajib mengoordinasikan perumusan kebijakan strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dengan mempertimbangkan segala masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Untuk mendukung Menteri dalam merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah membentuk Dewan Riset Nasional yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Dalam menetapkan prioritas utama dan mengembangkan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri wajib memperhatikan pentingnya upaya : a. penguatan penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu pengetahuan dan teknologi yang strategis, dan peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan yang merupakan tulang punggung perkembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penguatan penguasaan ilmu-ilmu sosial dan budaya yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan; c. penguatan kemampuan audit teknologi impor yang dikaitkan dengan penguatan Standar Nasional Indonesia untuk melindungi konsumen dan memfasilitasi pertumbuhan industri dalam negeri. Pasal 20

(2) Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah daerah wajib merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya. (3) Dalam merumuskan kebijakan strategis yang dimaksud dalam ayat (2), pemerintah daerah harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Untuk mendukung perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah daerah membentuk Dewan Riset Daerah yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya.

Bagian Kedua Peran Pemerintah Pasal 21 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah berperan mengembangkan instrumen kebijakan untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1).

155

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(1) Pemerintah daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan serta sinergi unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(2) Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sebagai bentuk kemudahan dan dukungan yang dapat mendorong pertumbuhan dan sinergi semua unsur Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (3) Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk dukungan sumber daya, dukungan dana, pemberian insentif, penyelenggaraan program ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pembentukan lembaga. (4) Lembaga yang dimaksud dalam ayat (3) dapat meliputi lembaga litbang dan lembaga penunjang, baik yang berdiri sendiri sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen maupun sebagai unit kerja departemen atau pemerintah daerah tertentu. (5) Pelaksanaan instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diselenggarakan secara adil, demokratis, transparan, dan akuntabel. Pasal 22 (1) Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah mengatur perizinan bagi pelaksanaan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berisiko tinggi dan berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan ketentuan yang berlaku secara internasional. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 23 (1) Pemerintah menjamin perlindungan bagi HKI yang dimiliki oleh perseorangan atau lembaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah menjamin perlindungan bagi pengetahuan dan kearifan lokal, nilai budaya asli masyarakat, serta kekayaan hayati dan non hayati di Indonesia. (3) Pemerintah menjamin perlindungan bagi masyarakat sebagai konsumen, terhadap penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB V PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 24 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk berperan serta dalam melaksanakan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap warga negara yang melakukan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai hak memperoleh penghargaan yang layak dari pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan kinerja yang dihasilkan. (3) Setiap orang mempunyai hak untuk menggunakan dan mengendalikan kekayaan intelektual yang dimiliki sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (4) Setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh informasi secara mudah dengan biaya murah tentang HKI yang sedang didaftarkan dan telah dipublikasikan secara resmi oleh pihak yang berwenang atau yang telah memperoleh perlindungan hukum di Indonesia. Pasal 25

156

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(1) Masyarakat wajib memberikan dukungan serta turut membentuk iklim yang dapat mendorong perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (2) Masyarakat ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab untuk berperan serta mengembangkan profesionalisme dan etika profesi melalui organisasi profesi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Setiap organisasi profesi wajib membentuk dewan kehormatan kode etik sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (2). BAB VI PEMBIAYAAN Pasal 26 Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah. Pasal 27 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Anggaran yang dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk membiayai pelaksanaan fungsi dan peran pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1).

Pasal 28 (1) Badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan. (2) Anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan dalam lingkungan sendiri dan dapat pula digunakan untuk membentuk jalinan kemitraan dengan unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi lain. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII KETENTUAN SANKSI Bagian Pertama Sanksi Administratif Pasal 29 Pelanggaran ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dijatuhi sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan, pemberhentian sementara kegiatan, sampai dengan pembatalan atau pencabutan izin oleh instansi pemberi izin.

157

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(3) Perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, lembaga penunjang, organisasi masyarakat dan inventor mandiri berhak atas dukungan dana dari anggaran pemerintah dan pemerintah daerah untuk meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Sanksi Pidana Pasal 30 (1) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin diancam pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan/atau penjara paling lama 6 (enam) bulan. (2) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) yang mengakibatkan bahaya bagi keselamatan manusia, kesehatan masyarakat, kelestarian fungsi lingkungan hidup, kerukunan bermasyarakat, keselamatan bangsa, dan merugikan negara, dijatuhi sanksi pidana penjara dan/atau denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 31 Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak sesuai dengan undangundang ini dinyatakan tidak berlaku. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 84

158

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lampiran 2. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2007 TENTANG PENGALOKASIAN SEBAGIAN PENDAPATAN BADAN USAHA UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN, INOVASI, DAN DIFUSI TEKNOLOGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi;

Mengingat

: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219); MEMUTUSKAN

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksudkan dengan : 1. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. 3. Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk disain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika. 4. Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru

159

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGALOKASIAN SEBAGIAN PENDAPATAN BADAN USAHA UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN, INOVASI, DAN DIFUSI TEKNOLOGI.

untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. 5. Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya. 6. Badan Usaha adalah badan atau lembaga berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 7. Insentif adalah pemberian kemudahan/keringanan yang diberikan kepada Badan Usaha dalam rangka upaya peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. 8. Pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh dari penjualan barang dan jasa yang berhubungan dengan kegiatan utama badan usaha. 9. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB II ALOKASI SEBAGIAN PENDAPATAN BADAN USAHA Pasal 2 (1) Badan Usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan/atau daya saing barang dan/atau jasa yang dihasilkan. (2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Koperasi.

Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mengalokasikan sebagian pendapatan sesuai dengan kemampuannya. BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN, INOVASI, DAN DIFUSI TEKNOLOGI Pasal 4 Peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dilakukan melalui kegiatan: a. penelitian, pengembangan dan/atau penerapan teknologi; dan/atau b. pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan. Pasal 5 (1) Dalam melakukan kegiatan peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi, Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat melakukan kemitraan dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, dan badan usaha lain. (2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk lisensi, kerjasama, dan pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB IV

160

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 3

INSENTIF Bagian Kesatu Umum Pasal 6 (1) Badan Usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif. (2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan. (3) Besar dan jenis insentif perpajakan dan kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sepanjang diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Pasal 7 (1) Bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dapat berupa penempatan tenaga ahli dan/atau pemanfaatan fasilitas laboratorium di lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah. (2) Bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan untuk kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. kegiatan yang dilakukan di luar negeri; b. kegiatan pengawasan dan/atau pengujian rutin terhadap kualitas produk, bahan, peralatan, produk dan/atau proses;

d. survei efisiensi atau studi manajemen; e. riset pasar dan/atau promosi penjualan; dan f. pembelian dan/atau pembayaran royalti teknologi dari entitas lain di luar negeri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Tata Cara Permohonan, Penghentian, dan Perpanjangan Insentif Pasal 8 (1) Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengajukan permohonan untuk mendapatkan rekomendasi insentif secara tertulis kepada Menteri. (2) Pengajuan permohonan rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan proposal kegiatan dan bentuk insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 9 (1) Menteri membentuk Tim Pengkajian dan Penilaian, guna melakukan pengkajian dan penilaian terhadap permohonan insentif. (2) Hasil pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri dalam bentuk saran dan pertimbangan.

161

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

c. pengumpulan data;

(3) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut: a. kegiatan peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. potensi peningkatan kinerja produksi dan/atau daya saing barang dan/atau jasa; c. pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan di dalam negeri; dan d. penggunaan sumber daya dalam negeri. (4) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh. (5) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan insentif diterima secara lengkap. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Tim Pengkajian dan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 10 (1) Menteri dapat memberikan atau tidak memberikan rekomendasi insentif dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Tim Pengkajian dan Penilaian. (2) Menteri menyampaikan pemberitahuan persetujuan atau penolakan pemberian rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak penerimaan saran dan pertimbangan Tim Pengkajian dan Penilaian. Pasal 11

(2) Badan Usaha mengajukan permohonan insentif kepada instansi pemerintah yang berwenang disertai dengan rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Tata cara pengajuan permohonan insentif perpajakan dan kepabeanan dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Pasal 12 Dalam hal Menteri tidak memberikan rekomendasi insentif, pemberitahuan disampaikan kepada Badan Usaha disertai dengan alasannya. Pasal 13 (1) Dalam hal pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) berupa bantuan teknis penelitian dan pengembangan, instansi pemerintah yang berwenang dapat menghentikan atau memperpanjang pemberian insentif. (2) Penetapan penghentian atau perpanjangan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemerintah yang berwenang setelah meminta saran dan pertimbangan Menteri. (3) Menteri menyampaikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada instansi pemerintah yang berwenang dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Tim Pengkajian dan Penilaian. (4) Penghentian atau perpanjangan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan pimpinan instansi pemerintah yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

162

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(1) Dalam hal Menteri memberikan rekomendasi insentif, rekomendasi disampaikan kepada Badan Usaha dengan tembusan kepada instansi pemerintah yang berwenang dalam pemberian insentif.

Bagian Ketiga Pelaporan Pasal 14 (1) Pada setiap akhir tahun dan akhir kegiatan, Badan Usaha yang mendapat insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) wajib menyerahkan laporan kegiatan peningkatan kemampuan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi kepada Menteri. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat pencapaian kegiatan yang telah dilakukan dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3). (3) Menteri dapat melakukan verifikasi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) guna memberikan saran dan pertimbangan penghentian atau perpanjangan insentif kepada instansi pemerintah yang berwenang. (4) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

pada tanggal 22 Juni 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 78

163

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Ditetapkan di Jakarta

Lampiran 3.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2010 TENTANG SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

Mengingat

: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.

Pasal 1 Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak terdiri atas: a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;

164

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan; c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan; d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba. Pasal 2 Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat: a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya; b. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan; c. didukung oleh bukti yang sah; dan d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya. Pasal 4 Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. Pasal 5 (1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat diberikan dalambentuk uang dan/atau barang. (2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana. Pasal 6 (1) Nilai sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan berdasarkan: a. nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan; b. nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau c. harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan barang produksi sendiri.

165

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 3

(2) Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana. Pasal 7 Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dicatat sesuai dengan peruntukannya oleh pemberi sumbangan. Pasal 8 (1) Badan penanggulangan bencana dan lembaga atau pihak yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a harus menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk setiap triwulan. (2) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau biaya. (3) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak melaporkan sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai lampiran laporan keuangan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak diterimanya sumbangan. Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan dan/atau biaya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 160

166

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lampiran 4. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2010 TENTANG KOMITE INOVASI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa kebijakan inovasi nasional di Indonesia perlu dilaksanakan secara terencana, terpadu, terintegrasi, dan terkoordinasi dalam satu kesatuan sistem inovasi nasional guna meningkatkan produktifitas nasional dan mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa; b. bahwa dalam rangka implementasi pelaksanaan sitem inovasi nasional secara efektif dan efisien, perlu dilakukan melalui institusi yang efektif dan berhasil-guna baik dari sisi legalitas dan otoritas; c. bahwa sehubungan dengan hal sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b serta dalam rangka pelaksanaan dan pengendalian sistem inovasi nasional, perlu membentuk Komite Inovasi Nasional dengan Peraturan Presiden; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sitem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG KOMITE INOVASI NASIONAL

Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan Sistem Inovasi Nasional adalah suatu jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor swasta dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka panjang dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikan kegiatan untuk menghasilkan, mendayagunakan, merekayasa inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan menerapkan serta mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaat nyata temuan dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat. Pasal 2 Dalam rangka penguatan sistem Inovasi Nasional, dibentuk Komite Inovasi Nasional yang selanjutnya disebut KIN. Pasal 3 (1) KIN bertugas untuk: a. membantu Presiden dalam rangka memperkuat sistem inovasi nasional dan mengembangkan budaya inovasi nasional;

167

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

b. memberi masukan dan pertimbangan mengenai prioritas program dan rencana aksi, termasuk alokasi pembiayaan dan fasilitas untuk penguatan sistem inovasi nasional yang menghsilkan produkproduk inovatif; c. melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan dan program pengutan sistem inovasi nasional. (2) Penguatan sistem inovasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan meliputi inovasi-inovasi di bidang ketahanan pangan, ketahanan energi, bioteknologi, industri manufaktur, Industri infrastruktur, transportasi dan industri pertahanan, teknologi pemrosesan pertanian dan pemrosesan ikan laut dalam, manajemen bencana alam, serta inovasi lainnya yang berbasis ilmu pengetahuan (knowledge). (3) Dalam rangka melaksanakan tugasnya, KIN melakukan konsultasi, koordinasi, dan kerja sama dengan lembaga pemerintahan dan non pemerintahan, wakil-wakil kelompok masyarakat, serta komunitas ilmiah dan universitas, periset, pakar teknologi dan inovator dalam rangka keterpaduan penguatan sistem inovasi nasional. Pasal 4 Keanggotaan KIN terdiri dari: Ketua Wakil Ketua Sekretaris Anggota : Prof. Dr. Ir., Zuhal, M.Sc.E,E; : Rektor Institut Pertanian Bogor : Prof. Drs. Freddy Permana Zen, M.S., M.Sc. D.Sc : 1. Prof. Dr. Sangkot Marzuki, D. Sc; 2. Prof. Dr. Sahari Besari;

4. Prof. Drs. Umar A. Jenie, M.Sc., Apt. Ph.D; 5. Dr. Ir. Marzan A. Iskandar, M.Sc; 6. Dr. Ir. Idwan Suhardi 7. Dr. Lukman Hakim, M.Sc., Ph.D; 8. Prof. Bustanul Arifin, MS., Ph.D; 9. Ir. Amir Sambodo, MBA; 10. Rachmat Gobel; 11. Dr. Ing. Ilham A. Habibie; 12. Prof. Dr. IR. Tien Muchtadi, M.S.; 13. Dr. Ir. Anton Apriantono, M.S.; 14. Prof. Dr. Arief Rahman, M.Pd; 15. Ir. Jusman Syafii Djamal; 16. Dr. Bambang Kesowo, S.H.,LL.M; 17. Betti Setiastuti Alisjahbana; 18. Tri Mumpuni Wiyanto; 19. Rektor Universitas Indonesia; 20. Rektor Institut Teknologi Bandung;

168

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

3. Dr. Ninok Leksono, MA;

21. Rektor Universitas Gajah Mada; 22. Rektor Institut Teknologi Surabaya; 23. Rektor Universitas Hasanudin; 24. Rektor Universitas Syiah Kuala; 25. Rektor Universitas Cenderawasih; 26. Rektor Universitas Pattimura; 27. Rektor Universitas Udayana.

Pasal 5 (1) Dalam melaksanakan tugasnya, KIN memeperhatikan arahan dari pengarah. (2) Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: Ketua Anggota : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian : 1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; 2. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 3. Menteri Sekretaris Negara; 4. Menteri Keuangan; 5. Menteri Riset dan Teknologi; 6. Sekretaris Kabinet

KIN melaksanakan tugasnya sejak ditetapkan Peraturan Presiden ini sampai berakhirnya masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu II. Pasal 7 (1) KIN melaksanakan tugasnya sejak berkoordinasi dengan Menteri Riset dan Teknologi. (2) KIN melakukan rapat koordinasi secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. (3) KIN dapat mengundang pimpinan instansi terkait dan pihak lain yang dipandang perlu pada rapat koordinasi KIN. Pasal 8 Hasil rapat koordinasi KIN oleh masing-masing anggota KIN dilaksanakan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 Mekanisme dan tata kerja Komite Inovasi Nasional diatur lebih lanjut oleh Ketua Komite Inovasi Nasional. Pasal 10 Ketua KIN melaporkan kepada presiden setiap perkembangan dan permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan sistem inovasi nasional agar segera dapat diambil keputusan untuk penyelesaian masalahnya.

169

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 6

Pasal 11 KIN dalam pelaksanaan tugasnya dibantu sebuah Sekretariat yang secara fungsional dilakukan oleh salah satu unit kerja di lingkungan Kementerian Riset dan Teknologi. Pasal 12 Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi KIN dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara c.q. anggaran Kementerian Riset dan Teknologi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 13 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Politik, Keamanan, Pertanahan, Ratifikasi, dan Permasalahan Hukum Bistok Simbolon.

170

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lampiran 5. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 201 1-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 2025 dan untuk melengkapi dokumen perencanaan guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional yang lebih solid, diperlukan adanya suatu masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia yang memiliki arah yang jelas, strategi yang tepat, fokus dan terukur; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pr es iden tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 2025;

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 201 1-2025.

Pasal 1 (1) Menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 -2025, yang selanjutnya disebut MP3EI. (2) MP3EI merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode 15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2025 dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 2025 dan melengkapi dokumen perencanaan. (3) MP3EI terdiri atas 4 (empat) bagian, meliputi: a. Pendahuluan; b. Prasyarat dan Strategi MP3EI; c. Koridor Ekonomi Indonesia; dan d. Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi MP3EI. (4) MP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

171

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 2 MP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, berfungsi sebagai: a. acuan bagi menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian untuk menetapkan kebijakan sektoral dalam rangka pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia di bidang tugas masing-masing, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis masing-masing kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sebagai bagian dari dokumen perencanaan pembangunan; dan b. acuan untuk penyusunan kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait. Pasal 3 MP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dapat menjadi acuan bagi badan usaha dalam menanamkan modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 (1) Koordinasi pelaksanaan MP3EI dilakukan oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, yang selanjutnya disebut KP3EI. (2) KP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas: a. melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan MP3EI; b. melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan MP3EI; dan c. menetapkan langkah-langkah dan kebijakan dalam rangka penyelesaian permasalahan dan hambatan pelaksanaan MP3EI. Pasal 5 (1) KP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terdiri dari: Ketua Wakil Ketua Ketua Harian : Presiden Republik Indonesia; : Wakil Presiden Republik Indonesia; : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;

Wakil Ketua Harian I : Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Wakil Ketua Harian II : Ketua Komite Ekonomi Nasional; Anggota : 1. Menteri Dalam Negeri; 2. Menteri Keuangan; 3. Menteri Perindustrian; 4. Menteri Perdagangan; 5. Menteri Sekretaris Negara; 6. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; 7. Menteri Pertahanan; 8. Menteri Pertanian; 9. Menteri Pekerjaan Umum; 10. Menteri Perhubungan;

172

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

11. Menteri Kehutanan; 12. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; 13. Menteri Kelautan dan Perikanan; 14. Menteri Komunikasi dan Informatika; 15. Menteri Riset dan Teknologi; 16. Menteri Lingkungan Hidup; 17. Menteri Badan Usaha Milik Negara; 18. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 19. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 20. Menteri Pendidikan Nasional; 21. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal; 22. Sekretaris Kabinet; 23. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 24. Kepala Badan Pertanahan Nasional; 25. Ketua Komite Inovasi Nasional; 26. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia. (2) Pelaksanaan tugas KP3EI sehari-hari dipimpin oleh Ketua Harian. Pasal 6

Pasal 7 Mekanisme dan tata kerja KP3EI, susunan organisasi, keanggotaan serta tata kerja Tim Kerja, ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Harian KP3EI. Pasal 8 (1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, KP3EI didukung oleh Sekretariat KP3EI, yang secara administrasi berkedudukan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2) Sekretariat KP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipimpin oleh Sekretaris KP3EI. (3) Susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat KP3EI ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Harian KP3EI. Pasal 9 Sekretaris KP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), diangkat dan diberhent ikan oleh Menter i Koordinator Bidang Perekonomian. Pasal 10 (1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Sekretariat KP3EI, Sekretaris KP3EI mengangkat tenaga profesional pada Sekretariat KP3EI. (2) Tenaga profesional pada Sekretar iat KP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berasal dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan non-PNS. Pasal 11 (1) PNS yang ditempatkan pada Sekretariat KP3EI berstatus dipekerjakan.

173

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Untuk membantu pelaksanaan tugas KP3EI, dibentuk Tim Kerja.

(2) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat jenjang pangkat, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan dari jabatan organik di instansi induk yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhenti atau telah berakhir masa baktinya, kembali kepada instansi induknya apabila belum mencapai usia pensiun. (5) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai PNS apabila telah mencapai batas usia pensiun dan diberi hak-hak kepegawaian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 12 Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Sekretaris KP3EI dan tenaga profesional pada Sekretariat KP3EI, ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian setelah mendapat pertimbangan dar i menteri yang menangani urusan pemerintah di bidang keuangan dan menteri yang menangani urusan pemerintah di bidang aparatur negara. Pasal 13 Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas KP3EI, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasal 14 Peraturan Presiden ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

174

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lampiran 6. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 243b /M/Kp/IX/2011 TENTANG PERUBAHAN RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI TAHUN 2010-2014 MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka revitalisasi serta penajaman program dan kegiatan Kementerian Riset dan Teknologi yang mendukung penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas), perlu dilakukan perubahan Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 20102014;

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4219); 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014; 5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Tahun 2011-2025; 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Bersatu II; 7. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP); 8. Peraturan Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 03/M/PER/VI/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Riset dan Teknologi; 9. Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 03/M/Kp/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014;

MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI TAHUN 20102014.

175

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4402);

PERTAMA

: Menetapkan Perubahan Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014, yang selanjutnya disebut Renstra Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014 sebagaimana terdapat dalam Lampiran Keputusan ini dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini. : Renstra Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014 merupakan panduan dalam melaksanakan penyusunan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan Kementerian Riset dan Teknologi. : Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Nomor 03/M/Kp/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 September 2011 MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA, TTD. SUHARNA SURAPRANATA

KEDUA

KETIGA

KEEMPAT

176

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lampiran 8.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 246 /M/Kp/IX/2011 TENTANG ARAH PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL UNTUK MENINGKATKAN KONTRIBUSI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa strategi pembangunan iptek dilaksanakan melalui dua prioritas pembangunan, yaitu penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas), peningkatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek; b. bahwa penguatan SINas diarahkan untuk penciptaan ruang bagi interaksi dan kolaborasi pelaku inovasi, percepatan koordinasi dan intermediasi antara penyedia dan pengguna teknologi, serta mendorong pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan pengembangan; c. bahwa arah penguatan SINas diperlukan sebagai pedoman untuk refocusing dan sinergi dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan riset dan teknologi secara efektif dan efisien, dalam upaya meningkatkan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional;

Mengingat

: 1. Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219); 3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014; 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II; 5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI TENTANG ARAH PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL UNTUK MENINGKATKAN KONTRIBUSI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL. PERTAMA : Menetapkan Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional, yang selanjutnya

177

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, maka perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional;

disebut Arah Penguatan SINas sebagaimana terdapat dalam Lampiran Keputusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini. KEDUA : Arah Penguatan SINas sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA adalah dokumen kebijakan untuk refocusing dan sinergi dalam upaya meningkatkan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional. : Arah Penguatan SINas sebagaimana dimaksud pada diktum KEDUA merupakan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan riset dan teknologi secara lebih efektif dan efisien dalam upaya meningkatkan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional. : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 September 2011 MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA, TTD. SUHARNA SURAPRANATA

KETIGA

KEEMPAT

178

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lampiran 9. SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA SILATURRAHIM DENGAN AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (AIPI) DAN MASYARAKAT ILMIAH Serpong, 20 Januari 2010

Bismillah Hirrahmanirrahim, Assalamualaikum Wr Wb Salam sejahtera untuk kita semua, Yang saya hormati, Presiden Republik Indonesia ketiga, Bapak Prof. Dr. Baharudin Jusuf Habibie, Yang saya hormati Menteri Riset dan Teknologi dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, Yang Mulia Ambassador Cameron Hume, Yang saya hormati Gubernur Banten, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Para Ilmuwan yang tergabung dalam AIPI, LIPI, dan asosiasi-asosiasi ilmu pengetahuan di Indonesia,

Hadirin sekalian yang saya muliakan, Marilah kita bersama-sama, memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita tetap diberi kekuatan, dan insya Allah kesehatan, sehingga kita dapat bertatap muka dalam kesempatan yang membahagiakan ini. Melalui kesempatan ini pula, saya ingin menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada para ilmuwan terkemuka Indonesia yang tergabung dalam Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), atas pemikiran, kajian, dan penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Kemajuan yang kita capai hingga hari ini, tentu tidak terlepas dari kontribusi saudara semua. Saya juga menyampaikan penghargaan yang tinggi atas pernyataan Presiden Barack Obama, yang baru saja dibacakan oleh Duta Besar Cameron Hume. Pandangan yang konstruktif dan ajakan positif Presiden Obama untuk meningkatkan kerjasama bilateral di bidang Iptek, pendidikan, energi dan perubahan iklim patut kita sambut dengan baik. Namun kita semua juga merasa prihatin bahwa US Science and Technology Special Envoy, Mr. Bruce Alberts, yang semula akan hadir di sini mengalami musibah kecelakaan. Mari kita doakan, agar Mr. Bruce Alberts dapat lekas pulih kembali seperti sediakala. Saudara-saudara, Kita sungguh berharap, pertemuan ini dapat merintis jalan ke arah peningkatan kerja sama antara Indonesia-Amerika Serikat, di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Indonesia dan Amerika Serikat kini sedang aktif menggarap suatu Kemitraan Strategis baru: yaitu suatu kemitraan komprehensif, yang mencakup kerja sama dalam berbagai sektor penting bagi kedua negara. Dalam kaitan ini, kerja sama di bidang pendidikan dan teknologi menjadi bagian penting dari kemitraan strategis kedua negara. Insya Allah, Kemitraan Komprehensif ini dapat diresmikan dalam kunjungan Presiden Barack Obama ke Indonesia yang direncanakan tahun ini. Saya juga menyambut baik pernyataan Presiden Obama di Kairo bulan Juni tahun lalu, bahwa Amerika Serikat kini berkomitmen untuk membangun kemitraan barua new beginningdengan dunia Islam, yang di antaranya mencakup kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

179

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Hal ini penting karena beberapa hal : PERTAMA, memang, kalau kita ingin membangun suatu peradaban dunia (global civilization), kita perlu terus membangun jembatan antar-peradaban, terutama di antara dunia Barat dan dunia Islam. Semua pihak harus berperan aktif menyebarkan soft power, yang akan memperkokoh landasan bagi perdamaian dunia. KEDUA, Islam tidak pernah bertolak belakang atau memusuhi ilmu pengetahuanbahkan Islam selalu selaras dengan ilmu pengetahuan. Bahkan, puncak kejayaan Islam sebagai peradaban dunia yang paling maju di Abad ke-13 justru terjadi, karena umat Islam membuka diri dan mengejar ilmu pengetahuan di manapun. Dengan pusat peradaban di Baghdad, umat Islam mencatat berbagai kemajuan dan penemuan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sampai sekarang kita rasakan manfaatnya: kompas, anestesi, aljabar, optik, astrologi, irigasi, navigasi, kimia, teknik sipil, rumah sakit pertama, dan kapal-kapal perdagangan. Pesan dan pelajaran sejarah ini masih tetap relevanbahkan semakin relevansekarang: siapa yang mau maju, harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan KETIGA, tidak akan pernah ada the second Islamic renaissance di Abad ke-21, tanpa penguasaan umat Islam di bidang iptek. Meskipun terdapat kemajuan di beberapa komunitas Islam, sebagian besar umat Islam saat ini masih tertinggal dalam pencapaian Millenium Development Goals, dan Human Development Index, masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, serta masih termarginalisasi dalam era globalisasi. Masih banyak umat Islam yang terlalu bernostalgia terhadap kejayaan di masa lalu, tanpa memahami bahwa peluang untuk maju dan berkarya di depan mata justru jauh lebih besar. Sewaktu saya berpidato di Harvard University akhir tahun lalu, dan juga dalam artikel The Economists yang saya tulis, saya menekankan bahwa Abad ke-21 tidak harus mengikuti skenario clash of civilizations. Abad ke-21 justru dapat kita wujudkan menjadi suatu confluence of civilizations, di mana seluruh peradaban duniaapakah Barat, Islam, Timurdapat hidup berdampingan secara damai, dan dapat saling memperkaya dan melengkapi. Kita yakini bahwa hal ini bukan sebuah utopia, tetapi suatu visi yang realistisan achieveable vision. Hadirin yang saya hormati, Mari kita memulai dengan suatu preposisi: Abad ke-21 akan menjadi abad paling inovatif dalam sejarah umat manusia. Disadari atau tidak, kita sedang berada dalam arus perubahan sejarah yang sangat dahsyat. Ada yang menyatakan bahwa arus perubahan dalam 10 tahun mendatang, akan lebih deras daripada perubahan dalam 100 tahun terakhir. Kita lihat saja komputer, internet dan telepon selular. Di awal tahun 1990an, email, komputer dan handphone hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kini, 20 tahun kemudian, di seluruh dunia, 1,4 milyar orang telah mempunyai e-mail, ada 1 miliar komputer, dan 3,3 miliar pengguna handphonesekitar separuh dari jumlah penduduk dunia. Proses ini akan terus berkembang. Kita meyakini bahwa di paruh kedua Abad-21, sebagian besar umat manusia akan terjamah oleh komputer, internet dan handphone. Peradaban manusia juga sering berubah karena ide-ide dan penemuan-penemuan baru. Penemuan bubuk mesiu menimbulkan transformasi militer dengan segala implikasi politiknya. Penemuan mesin uap memulai revolusi industri dan mengubah sejarah Eropa. Penemuan vaksin di abad ke-18 mengubah ilmu kodokteran dan menyelamatkan jutaan umat manusia. Penemuan reaksi fisi nuklir menghasilkan bom atom dan senjata nuklir yang dapat memusnahkan umat manusia. Berbeda dari abad-abad sebelumnya, perubahan yang kita alami di Abad ke-21 akan bergerak sangat pesat. Misalnya: dalam kurun waktu hanya sekitar 100 tahun, manusia dapat bergerak dari kecepatan kuda, ke kecepatan mobil, ke kecepatan jet, ke kecepatan suara, dan bahkan sudah mendarat di bulan.

180

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Sejumlah negarabaik besar maupun kecilyang dulu dikenal sebagai negara miskin kini telah melejit menjadi ekonomi yang unggul. Indonesia sendiri, yang dulu pernah menjadi salah satu bangsa paling miskin di Asia, kini telah menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G-20. Kita juga melihat perubahan pesat ini di bidang lingkungan, khususnya perubahan iklim. Semenjak revolusi industri di Eropa 200 tahun lalu, karena ulah manusia, terutama di negara-negara industri maju, suhu dunia telah naik sekitar 0,6 derajat celcius. Konsentrasi karbondioksida meningkat 36%, dan lapisan ozon semakin menipis. Kalau kita tidak cepat meng-atasinya, suhu dunia bisa naik 4 derajat Celsius dan membawa malapetaka bagi umat manusia dan bagi planet bumirumah kita satu-satunya. Dalam menghadapi arus sejarah yang dahsyat ini, saya yakin sekali bahwa dalam Abad ke-21 yang akan menjadi the most powerful driver of change adalah teknologi. Apakah itu bangsa, perusahaan, komunitas, atau individu, the biggest driver for change adalah teknologi. Dewasa ini, kita semua telah melihat dan merasakan: porsi teknologi dalam PDB kita semakin besar. Porsi Teknologi dan know-how semakin menonjol, apakah itu untuk pertanian, industri, perdagangan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertahanan, jasa, dan lain-lain. Makin nyata, pertumbuhan ekonomi dan daya saing sebuah bangsa sangat disumbang oleh penguasaan teknologi. Inilah yang sering disebut sebagai intangible intellectual resources, atau knowledge capital. Kecenderungan ini akan terus menguat, karena proses pengembangan teknologi tidak akan pernah berhenti. Dalam abad yang sangat progresif ini, kita tidak bisa lagi hanya mengutuk masa lalu atau menyalahkan orang lain. Kalau kita gagal, itu adalah kesalahan kita sendiri, karena kita tidak mampu membaca tanda-tanda zaman. Kalau kita kelak tampil unggul di depan yang lain, itu terjadi karena kerja keras dan kemampuan kita dalam beradaptasi.

Abad ke-20 adalah abad kebangkitan nasional, abad kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Kunci sukses kita untuk mencapai itu tiada lain adalah persatuan. Kita mutlak membutuhkan persatuan untuk melawan penjajah, untuk mempertahankan kemerdekaan, untuk menangkal separatisme, untuk menjaga keutuhan wilayah, untuk membangun perekonomian, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan untuk mengembangkan jati diri bangsa. Itulah perjuangan kita di Abad ke-20. Di Abad ke-21, situasinya telah berbeda: Hakikatnya, Indonesia tidak punya musuh, dan tidak ada negara lain yang memusuhi Indonesia. Politik bebas aktif Indonesia kini diabdikan untuk mewujudkan a million friends, zero enemy. Abad ke-21 adalah abad keunggulan, dan kunci sukses untuk mencapai itu adalah inovasi. Kita memerlukan inovasi untuk memerangi kebodohan, untuk mengentaskan kemiskinan, untuk memacu pertumbuhan dan produktivitas, dan untuk menjadi bangsa yang terhormat, maju dan kompetitif.

Saudara-saudara, Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa adalah hasil dari suatu kerja besar yang terencana dan berkesinam-bungan. Sesungguhnya pula merupakan bagian integral yang dinamis dari sebuah peradaban (civilization). Teknologi tidak bisa dimimpikan dan didatangkan begitu sajabukan

181

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Saudara-saudara, Karena itulah, kunci dari keunggulan Indonesia di Abad ke-21 adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu penyebab bangsa kita terbelakang selama ratusan tahun adalah, karena nenek moyang kita tidak mendapatkan akses terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari belahan dunia lain. Sebelum kebangkitan nasional tahun 1908, pada saat Eropa mendominasi dunia, Jepang mengalami Restorasi Meiji, Amerika Latin menikmati masa kemakmuran, Amerika Utara tumbuh pesat, dan Kerajaan Islam Otoman berjaya, bangsa Indonesia masih terisolasi dalam penindasan kolonialisme, dan rakyat kita tenggelam dalam kebodohan dan kemiskinan.

seperti membeli barang di supermarket. Mungkin satu dua teknologi bisa dibeli seperti itunamun tidak untuk mencapai technological society, dan juga knowledge society. Untuk menjadi bangsa yang menguasai iptek, kita harus bisa menempatkan inovasi sebagai urat nadi kehidupan bangsa Indonesia. Kita harus bisa menjadi Innovation Nation bangsa inovasi! Rumah bagi manusia-manusia yang kreatif dan inovatif. Untuk mencapai kondisi seperti itu ada sejumlah hal penting yang harus kita bangun dan lakukan. Pertama, adalah mengubah mindset. Ingatlah, innovation is a state of mind. Inovasi itu adalah suatu semangat, suatu energi, dan suatu etos. Semua fenomena sejarahapakah itu peradaban Islam, Renaissance di Eropa, Restorasi Meiji di Jepang, tampilnya Amerika sebagai superpower, the rise of Cina dan Indiasemuanya dimulai dengan suatu semangat, dan terbangunnya mindset baru, yang kemudian menghasilkan berbagai inovasi baru, dan yang akhirnya mengakibatkan transformasi besarbesaran. Karena itulah, kita di Indonesia harus bisa mengembangkan budaya unggula culture of excellence baik di birokrasi, di universitas, maupun di sektor swasta. Sistem dan lingkungan nasional kita harus bisa melahirkan inovator-inovator yang kreatif. Ini semua akan terwujud jika masyarakat kita, kita semua, benar-benar menghargai kerja keras kaum peneliti, ilmuwan, dan inventor. Mereka harus bisa menjadi ikon masyarakat, dan bukan menjadi catatan pinggir, apalagi hidup tanpa penghormatan, tanpa apresiasi, dan tidak sejahtera. Ilmuwan, peneliti dan inovator harus berada di garis terdepan perubahan nasib bangsa, dan menjadi pendekar keunggulan. Inovasi juga menuntut sikap open-mind dan risk-taking, bukan sikap yang kaku dan dogmatis. Komunitas iptek Indonesia harus berwawasan jauh lebih terbuka dan lebih progresif dari masanya, dan dari masyarakat, untuk mengembangkan ilmu dan teknologi. Dalam era globalisasi dewasa ini, Nasionalisme kita dicerminkan bukan dalam tindakan melawan atau menutup diri dari dunia, namun dalam kemampuan untuk menyerap ilmu dan teknologi dari manapun untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Saudara-saudara faktor kedua adalah, selain didukung mindset yang tepat, inovasi juga memerlukan Investasi dan Insentif. Inovasi tidak datang dari langit, namun memerlukan inkubator-inkubatordi lingkungan pemerintah, universitas, perusahaan, dan lain-lain. Mau tidak mau, harus ada sumberdaya dan dana yang cukup, serta program yang berkesinambungan. Pada awal saya mengemban amanah rakyat, saya menyadari bahwa alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D-research and development) di Indonesia pada tahun 2005 masih rendah yaitu sekitar Rp 1 trilyun. Karena itulah, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan porsi itu menjadi lebih memadai, dan syukur alhamdullilah pada tahun 2010 dapat kita tingkatkan menjadi Rp 1,9 triliun. Tentu saja jumlah inipun masih harus terus kita tingkatkan. Namun, perlu diingat, sumberdaya dan dana penelitian dan pengembangan tidak hanya berasal dari APBN, tetapi juga mesti dianggarkan oleh dunia usaha yang juga memerlukan inovasi di perusahaannya masing-masing. Pendanaan dari kerjasama internasional juga merupakan alternatif yang makin terbuka. Sementara itu saya berpandangan, bahwa cara penting untuk membangun inovasi adalah melalui pengembangan enterpreneurship. Kita semua tahu bahwa enterpreneurship identik dengan inovasi, risk-taking, peluang, dan dinamisme. Di Amerika, Cina, India, Jepang, Korea, dan Singapura, kita melihat bahwa inovasi tumbuh pesat sejalan dengan merebaknya enterpreneurship.

182

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Karena itulah, kita bercita-cita agar Indonesia menjadi bagian integral dari komunitas ilmuwan dunia. Kita berharap sebanyak mungkin ilmuwan Indonesia mengadakan riset, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Saya ingin ilmuwan Indonesia bahu membahu dengan ilmuwan internasional, dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan umat manusia. Kita harus aktif bukan saja menyerap ilmu dari dunia, namun juga menyumbang ilmu untuk dunia. Itulah mindset yang akan mengantarkan kita menjadi Innovation Nation.

Yang juga penting diingat: kita tidak harus selalu menjadi inventor teknologi baru. Namun kita harus cerdik mencari, menyerap dan mengembangkan teknologi baru untuk pembangunan Indonesia. Bahkan, sering terjadi, pihak yang lebih cerdik mendayagunakan teknologi bisa lebih maju dari pihak yang menemukan teknologi itu sendiri. Faktor ketiga adalah, kebijakan pemerintah dan kolaborasi. Kalau kita lihat dari bukti-bukti empiris, hampir semua inovasi teknologi merupakan hasil dari suatu kolaborasi, apakah itu kolaborasi antarpemerintah, antar-universitas, antar-perusahaan, antar-ilmuwan, atau kombinasi dari semuanya. Karena itulah, networking antara inkubator menjadi sangat penting. Saya mendorong ilmuwan Indonesia untuk menjalin networking dan kolaborasi yang seluas-luasnya dengan lembaga penelitian, lembaga kajian dan universitas manapun di dunia, karena ini adalah kunci sukses bagi masa depan kita. Salah satu ciri Era Globalisasi dewasa ini adalah keniscayaan untuk sebuah knowledge-sharing antar bangsa.

Hadirin sekalian yang saya hormati, Dunia kini boleh dikatakan sedang panen teknologi. Namun perlu diingat, teknologi yang kita cari dan pilih haruslah tetap relevan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang dan ke depan. Tantangan itu antara lain adalah : pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan dan energi, pemeliharaan lingkungan hidup, peningkatan industri, ketangguhan pertahanan dan keamanan negara, serta penguasaan teknologi yang menjemput masa depan. Karena itulah, ke depan, bangsa Indonesia harus makin menguasai teknologi, yang dapat menjawab tantangan-tantangan pokok itu. Pertama, teknologi untuk mengentaskan kemiskinanpro-poor technology. Teknologi sering disalahpersepsikan seolah hanya untuk kepentingan industri besar yang canggih saja. Padahal untuk negeri kita juga diperlukan teknologi yang dapat memberdayakan rakyat miskin. Misalnya: telekomunikasi murah untuk desa terpencil, bibit unggul, teknologi air bersih, hidroenergi dan Rumah Sederhana Tahan Gempa. Kedua, teknologi hijau green technology. Kita sudah menetapkan target penurunan emisi 26% untuk tahun 2020 dari business as usual, dan target ini bisa ditingkatkan menjadi 41% apabila ada bantuan internasional yang memadai. Untuk itu, kita harus menerapkan pembangunan yang hemat energi (low carbon footprint), meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan seperti geothermal, angin, dan surya, serta meningkatkan teknologi pengawasan hutan, misalnya melalui satelit, untuk mendeteksi hotspot kebakaran hutan. Saya juga bangga bahwa seorang inovator energi kita, Saudari Tri Mumpuni, telah merintis pembangunan energi mikro-hidro di desa-desa, dan telah mendapatkan pengakuan internasional. Inovasi segar seperti ini harus terus dikembangkan dan disebarkan. Ketiga, teknologi pangan, yang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat kita (food security). Kita memerlukan teknologi pertanian baru untuk mencari bibit unggul, meningkatkan hasil panen, dan melipat-gandakan produktifitas pangan guna mencapai kondisi swasembada, bahkan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Saya ingin, pada saatnya nanti Indonesia menjadi major food producer di dunia internasional. Keempat, teknologi industri. Produk-produk industri Indonesia harus bisa menunjang pencapaian 2 aspek penting, yaitu padat teknologi dan padat karya. Kita harus bisa membuat industri kita lebih efisien, lebih produktif dan lebih mempunyai nilai tambah. Kita juga harus mulai mencapai high-end products, menciptakan branding yang dikenal dunia internasional, dan bahkan bisa bersaing dalam aspek desain yang selama ini cenderung didominasi industri negara-negara maju. Hal ini penting karena pada saat ini dan ke depan, industri akan tetap menjadi tulang panggung ekonomi Indonesia. Kelima, teknologi kesehatan. Kita harus mencari teknologi terkini untuk memerangi penyakit-penyakit menular : apakah itu H5N1, H1N1 dan virus-virus berbahaya lainnya, yang pasti akan terus bermutasi

183

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

mengancam keluarga kita dan bahkan umat manusia. Virus berbahaya, sama seperti bencana alam, akan menjadi salah satu ancaman paling riil bagi bangsa kita di abad ke-21. Seperti yang kita alami dalam kasus epidemi H1N1 (Swine Flu), Indonesia tidak bisa menangani ancaman ini sendiri, apalagi kalau menyangkut virus yang datang dari luar yang kita tidak mempunyai vaksinnya. Karena itulah, kita harus bekerja-sama dua arah : kita berbagi ilmu dan penemuan dengan dunia kesehatan internasional, sebagaimana kita terus mengharapkan dunia luar berbagi dengan kita. Keenam, teknologi maritim. Sebagai negara Nusantara, kita harus membangun teknologi kelautan, misalnya untuk konversi air minum atau teknologi perkapalan. Kita juga harus mendapatkan teknologi canggih untuk bisa mengeksplorasi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, baik perikanan, hydrocarbon dan mineral. Saat ini, misalnya, kita belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk melakukan offshore drilling apalagi deep sea drilling. Indonesia secara fisik adalah negara Kepulauan terbesar di dunia, tapi kita belum menjadi negara maritim yang kuat. Ketujuh, teknologi pertahanan. Disini, TNI harus terus meningkatkan postur dan kapabilitasnya, termasuk penguasaan revolution in military affairs (RMA). Kita harus bisa meningkatkan kualitas dan tingkat teknologi industri pertahanan kita termasuk melalui joint production dengan industri militer negara-negara lain, serta bentuk kerjasama yang lain. TNI harus meningkatkan kapasitas untuk melakukan military operations other than war (MOOTW), serta kemampuan peace-keeping operation di wilayah-wilayah konflik di dunia. TNI juga harus mempunyai kemampuan untuk melakukan surveillance dan menjaga pulau-pulau terpencil, wilayah perbatasan dan lautan Nusantara yang terbentang luas. Sementara itu, Polri dan aparat intelijen juga harus terus meningkatkan kemampuan operasionalnya untuk melawan kejahatan trans-nasional, termasuk kelompok teroris yang juga memanfaatkan teknologi yang canggih. Dan, kedelapan adalah, teknologi masa depan: yaitu nano technology, bio-engineering, genomics, robotics, dan lain-lain. Teknologi-teknologi revolusioner ini tentu tidak sepatutnya hanya didominasi dan dimonopoli negara-negara maju saja. Banyak emerging economies --seperti Cina, India, dan Brazil - yang kini mulai merintis teknologi-teknologi baru ini. Indonesia tidak boleh tertinggal. Saya senang sekali bahwa Universitas Pelita Harapan (UPH) sudah mulai membangun pusat riset untuk nano-technology. Hadirin sekalian yang saya hormati, Untuk mengembangkan semua ini, dibutuhkan suatu Sistim Inovasi Nasional, yaitu suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka-panjang dapat mendorong, mendukung, menyebarkan dan menerapkan inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan dalam skala nasional. Konsep seperti ini relatif baru, meskipun sudah mulai diterapkan di beberapa negara yang mengalami transformasi. Setiap negara mempunyai Sistim Inovasi Nasional dengan corak yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing. Saya berpendapat, di Indonesia, kita juga harus mengembangkan Sistem Inovasi Nasional, yang didasarkan pada suatu kemitraan antara pemerintah, komunitas ilmuwan dan swasta, dan dengan berkolaborasi dengan dunia internasional. Oleh karena itu, berkaitan dengan pandangan ini, dalam waktu dekat saya akan membentuk Komite Inovasi Nasional, yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden, untuk ikut memastikan bahwa Sistem Inovasi Nasional dapat berkembang dan berjalan dengan baik. Semua ini penting kalau kita sungguh ingin Indonesia menjadi knowledge society. Kita dikaruniai wilayah yang sangat luas, yang terbentang dari Sabang ke Marauke, dari Miangas ke Pulau Rote. Kita mempunyai sumber daya alam yang berlimpah. Kita memiliki sumberdaya manusia yang tangguh, yang terus dapat ditingkatkan keunggulan dan daya saingnya. Dan kita mempunyai hubungan yang baik dengan semua pihakbaik dunia Barat, dunia Islam, negara-negara berkembang, emerging economies, dan lain-lainyang semuanya dapat menjadi mitra pembangunan Indonesia.

184

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Karenanya, dengan semua ini, ke depan, Indonesia mempunyai peluang emas untuk memajukan kehidupan bangsa kita. Strategi yang kita tempuh untuk menjadi negara maju, developed country, adalah dengan memadukan pendekatan sumberdaya alam, iptek dan budaya, atau knowledge-based, resource-based and culture-based development. Kalau visi ini kelak tercapai, bangsa kita akan mengalami transformasi yang fundamental, menjadi bangsa yang maju dan jaya di Abad ke-21. Mari kita songsong era itu dengan kepercayaan sebagai sebuah bangsa yang penuh inovasi. Insya Allah, dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, serta dengan persatuan, kebersamaan dan kerja keras kita, masa gemilang itu akan datang.

Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

185

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Anda mungkin juga menyukai