MASALAH-MASALAH GIZI DI INDONESIA BESERTA INDIKATOR MASALAHMASALAH GIZI A. Masalah Gizi di Indonesia Masalah gizi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang belum pernah tuntas ditanggulangi di dunia. Selagi penanggulangan masalah gizi kurang belum dapat dietasi timbul era transisi gizi yang meningkatkan kejadian obesitas dan penyakit kronis sehingga masalah gizi menjadi makin rumit. Rasanya sudah umum diketahui bahwa penyebab masalah gizi adalah multifaktor, yang utamanya melibatkan faktor pendidikan, ekonomi, keamanan, pengendalian pertumbuhan penduduk, perbaikan sanitasi, keadilan sosial bagi perempuan dan anak-anak, kebijakan dan praktik yang benar terhadap lingkungan dan produktivitas pertanian. Sehubungan dengan itu, untuk dapat menuntaskan masalah gizi tentunya dibutuhkan satu program terintegrasi yang terkait dengan semua faktor tersebut (Bardosono,2009). Masalah gizi di Indonesia pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah anemia besi, masalah gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), masalah kurang vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar. Masalah kekurangan gizi di indonesia, masih lebih tinggi dari pada Negara ASEAN lainnya (Atmawkarta,2007).
1. KEP pada balita dan KEK pada WUS KEP total (BB < 80% median BB/U) pada balita turun dari 47.8% pada th 1989 41.7% th 1992 35% th 1995 (data SUSENAS) KEP nyata (BB <70% median BB/U) ada kecenderungan meningkat: 12.2% (1989) 11.8% (1992) 14.6% (1995) (data SUSENAS) KEK WUS menurun: 35.6% (1994, data SUSENAS) 24.0% (1995, data survei KIA) 2. GAKY Prevalensi GAKY turun: 37.2% (1980/82, data pemetaan GAKY) 27.7% (1988/90, data pemetaan GAKY) Pemetaan GAKY 6 propinsi: NTT dan Maluku endemis berat (TGR > 30%); Papua endemis ringan (TGR 12.2%); 3 propinsi lainnya non endemis (TGR < 5%). 3. Anemia Gizi Prevalensi anemia pada bumil dan balita turun tajam: anemia gizi bumil 70.0% (1986) 63.5% (1992) 51.9% (1995); anemia balita 55.5% (1992) 40.5% (1995) Pergeseran kelompok rawan: wanita sebelum hamil/remaja putri (50-60%, usia <15 thn data th 1995), pria usia produktif (58.3%; usia 15- 44 tahun, data th 1995), dan lansia (70.0%; usia >65 tahun, data th 1995) 4. Kekurangan Vitamin A Prevalensi xerophtalmia (X1b) turun tajam: 1.3% (1978) 0.33% (1992) Sudah bukan masalah kesmas (WHO X1b>5%)
Sulsel 2.9%; Maluku 0.8%; dan Sultra 0.6% Indikator sub klinis KVA masih menjadi masalah : 50% balita kadar vitamin A dalam darah <20 g/dL rawan infeksi dan mortalitas meningkat Indonesia saat ini memiliki beban ganda masalah gizi. Menurut data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, jumlah penderita berat kurang di kalangan anak balita mencapai 17,9% yang terdiri dari 4,9 % gizi buruk dan 13,0% gizi kurang, sementara prevalensi kegemukan pada anak balita secara nasional berdasarkan indikator berat badan menurut tinggi badan mencapai 14%. Beban ganda masalah gizi tersebut menciptakan berbagai persoalan gizi di Indonesia. Kekurangan gizi pada anak dapat menyebabkan pertumbuhan fisik dan otak anak tidak optimal, anak menjadi kurus dan sangat pendek (stunting). Bila hal ini tidak segera diatasi, dalam jangka panjang akan mengakibatkan hilangnya potensi generasi muda yang cerdas dan berkualitas (lost generation) sehingga anak menjadi tidak produktif dan tidak mampu bersaing di masa depan. Sementara itu, kelebihan gizi juga tidak baik bagi anak karena memicu munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterol dan penyakit jantung. B. Gizi Buruk Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umurnya, dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk. Gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor, di masyarakat lebih dikenal sebagai "busung lapar". Anak gizi kurang, berarti kekurangan gizi pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus. Berdasarkan data DEPKESSUSENAS, (1998) prevalensi gizi kurang balita sebesar 29,5% dan 10,1% diantaranya
menderita gizi buruk. Selanjutnya terjadi penurunan prevalensi gizi kurang menjadi 24,7% dan gizi buruk 7,5% pada tahun 2000 . Terjadi peningkatan pada tahun 2003 dimana prevalensi gizi kurang menjadi 27,5% dan 8,3% diantaranya gizi buruk kemudian pada tahun 2005 terjadi sedikit kenaikan prevalensi gizi kurang menjadi 28,0% dan 8,5% diantaranya gizi buruk (SUSENAS,2005). Tujuan Sejalan dengan sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Kesehatan (2005-2009), tujuan umum Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk adalah tercapainya sasaran penurunan prevalensi gizi kurang pada balita menjadi setinggi-tingginya 20% dan prevalensi gizi buruk menjadi setinggi-tingginya 5% pada tahun 2009. Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam 5 tujuan khusus sebagai berikut ; a. Meningkatnya cakupan deteksi dini gizi buruk melalui penimbangan balita bulanan di Posyandu, Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) dan jaringannya . b. Meningkatnya cakupan tatalaksana kasus gizi buruk di Rumah Sakit, Puskesmas dan Rumah Tangga. c. Meningkatnya kualitas tatalaksana kasus gizi buruk di Rumah Sakit, Puskesmas dan Rumah Tangga . d. Meningkatnya kemampuan serta ketrampilan keluarga dalam menerap-kan norma keluarga sadar gizi , e. Meningkatnya fungsi sistem kewas-padaan pangan dan gizi . Sasaran Sasaran 2005-2009 adalah sebagai berikut; 1 . Sasaran dampak ; a. Prevalensi gizi kurang turun menjadi setinggi-tingginya 20% b. Prevalensi gizi buruk turun menjadi setinggi-tingginya 5% 2. Sasaran : a. Semua balita ditimbang setiap bulan dan berat badannya naik b. Meningkatnya cakupan pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan c. Semua anak 6-24 bulan meng-konsumsi Makanan Penguat-Air Susu Ibu (MP-- ASI) yang bergizi
d. Semua keluarga mendapatkan penyuluhan makanan sehat dan bergizi seimbang e. Semua balita gizi kurang dari keluarga miskin mendapat makanan tambahan yang bergizi seimbang f. Meningkatnya cakupan distribusi kapsul vitamin A pada ibu nifas, bayi dan balita menjadi sekurangnya 80% Semua Puskesmas dan Rumah Sakit mampu melakukan tatalaksana penanggulangan gizi buruk dan faktor risikonya (penyakit infeksi) sesuai dengan standar h. Semua kabupaten maupun kota melaksanakan sistem kewaspadaan pangan dan gizi . Indikator keberhasilan Penerapan berbagai indikator keberhasilan untuk mengurangi gizi buruk pada balita, diantaranya adalah : 1 . Indikator dampak a. Prevalensi Gizi Kurang b. Prevalensi Gizi Buruk 2. Indikator keluaran a. Balita yang ada dan di data (S) b. Balita yang didaftar dan memiliki KMS (K) c. Balita yang datang dan ditimbang (D) d. Balita ditimbang dan berat badannya Naik (N) e. Balita berat badan 2 kali Tidak Naik dan Bawah Garis Merah (BGM) pada KMS dirujuk f. Balita gizi buruk dirawat sesuai dengan standar Keluarga yang menerapkan norma keluarga sadar gizi (KADARZI) ; Menimbang berat badan secara teratur terutama balita Memberikan ASI eksklusif kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan Menggunakan garam beryodium Mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang Memberikan suplementasi gizi kepada anggota keluarga yang memerlukan. 3. Indikator masukan a. Jumlah Posyandu Aktif.
Merujuk SE Mendagri No. 411.3/1116/SJ tanggal 13 Juni 2001 tentang Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu, maka Posyandu aktif minimal mampu melaksanakan pemantauan berat badan balita dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) dengan baik dan benar sehingga nilai SKDN dapat dimanfaatkan dengan maksimal . Selama masa krisis gizi buruk, fungsi Posyandu diutamakan untuk memantau pertumbuhan berat badan anak balita dengan baik dan benar. b. Jumlah Posyandu Binaan Adanya keberadaan Posyandu Binaan yang dilaksanakan dengan kerjasama antara pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat peduli kesehatan (LSM), pekerja sosial masyarakat (PSM) dan kelompok masyarakat. C. Masalah Gizi Buruk di Provinsi Kalimantan Timur Masalah gizi di Kalimantan Timur rentan dengan kemiskinan dan pola pengasuhan anak oleh keluarga termasuk asuh makan, kesehatan, kebersihan dan bermain. Hasil penelitian pada keluarga miskin di Kalimantan Timur menunjukkan persentase gizi buruk 5,8 persen, gizi kurang 10,8 persen, gizi baik 78,3 persen dan gizi lebih 2,5 persen (Saragih, 2009). Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Timur hingga akhir 2005 diperkirakan mencapai 760.000 jiwa yang terdiri dari 190.000 rumah tangga miskin (RTM) dan pada tahun 2008 berjumlah 324.000 orang (10,66%) (Bappeda, 2009). Keadaan ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pengasuhan orang tua terhadap anaknya. Keluarga dengan tingkat ekonomi rendah umumnya kurang memberi perhatian terhadap perilaku anak dan kurangnya latihan. Sedangkan pada keluarga dengan ekonomi cukup menyebabkan orang tua lebih punya waktu untuk membimbing anak karena tidak lagi memikirkan keadaan ekonomi yang kurang (Kasuma, 2001). Grantham- McGregor (1995) menyatakan bahwa keluarga dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah, kurang dalam memberikan stimulasi, sedikit alat permainan dan kurangnya partisipasi orang tua dalam aktivitas bermain anak. Untuk mengukur indikator pembangunan kesehatan ini pemerintah Kalimanatan Timur melalui dinas kesehatan membuat target capaian dalam MDGs sesuai dengan sasaran rencana strategi Pemprov Kaltim melalui Dinkes Kaltim pada 2009-2013 dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan indikator :
1. Meningkatnya umur harapan hidup (UHH) dari 70,4 tahun menjadi 73,35 tahun 2. Menurunnya angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dari 128 menjadi 110 3. Menurunnya angka kematian bayi dari 26 menjadi 20 per 1000 kelahiran hidup 4. Menurunnya prevalensi balita dengan gizi kurang dan gizi buruk dari 19,3 persen menjadi 15 persen 5. Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan bayi neonatus sesuai standar mencapai 90 persen 6. Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil sesuai standar (K4) mencapai 95 persen, serta meningkatnya jumlah Puskesmas 24 jam lengkap rawat inap dan unit gawat darurat (UGD/PONED) minimal satu buah di setiap kecamatan pada kabupaten dan kota se-Kaltim. Tentu saja pembangunan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah Kalimantan Timur dengan mengupayakan peningkatan jangkauan dan pelayanan kesehatan cost effective, kerjasama lintas pemerintah mapun sektoral, masyarakat, swasta serta mitra lainnya. Selain itu, pemberdayaan masyarakat terutama pemberdayaan perempuan dan keluarga.
REFERENSI 1. Atmawikarta, A. 2007. Strategi Penanggulangan Masalah Gizi Melalui Desa Siaga. Konferensi Bappenas. Surabaya 2. Bappeda, 2009. Kalimantan Timur Dalam Angka 2008, Bappeda Kalimantan Timur, Samarinda 3. Bardosono, Saptawati. Masalah Gizi di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 59, Nomor: l, Januari 2009. Departemen llmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :Jakarta. 4. Grantham-McGregor, S. 1995. A Review of Studies of The Effect of Severe Malnutrition On Mental Development. J. Nutr. (suppl) : 125: 85 5. Kasuma, N.O.K. 2001. Pola Asuh dan Tumbuh Kembang Anak Balita Pada Keluarga Etnik Timor dan Rote di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Skripsi yang Tidak Dipublikasikan. Jurusan Gizi Masyaraka dan Sumberdaya Keluarga, Faperta, IPB. Bogor. 6. Saragih, B, Suswatini, N dan Wisnuwardhana, R.W, 2009. Analisis Strategi Coping Ketahanan Pangan dan Penentuan Indikator Kelaparan Rumah Tangga Pada Keluarga Miskin di Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Strategi Nasional . Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman. Samarinda 7. SUSENAS. 2005 . Prevalensi gizi kurang dan buruk di Indonesia tahun 1998 - 2005 .