Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN Boleh jadi, ketika mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang akan terbayang alam yang

tandus, perilaku yang kasar dan arogan bahkan menakutkan. Citra negatif yang paling kentara adalah mengenai carok dan clurit. Carok, tradisi membela harga diri yang berbau kekerasan. Istilah carok sendiri saat ini sudah mulai akrab ditelinga kita, bahkan beberapa media cetak dan kaca telah mengadopsi kata-kata ini setara dengan bahasa Indonesia. Dibeberapa daerah yang rata-rata penduduknya mayoritas Madura pun menggunakan kata carok ini sebagai makna perkelahian biasa. Carok mulai ada pada zaman legenda Pak Sakera, yaitu mandor tebu dari Pasuruan yang hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya dengan carok?Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antar penduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahuntahun. Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat. Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu. Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu 1

pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit. Kondisi semacam itu akhirnya menjadi budaya carok yang masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, Pamekasan, maupun Sumenep. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda. Dari beberapa sumber dan pengalaman, pada saat ini carok biasanya hanya terjadi di kalangan masyarakat bawah atau dalam bahasa maduranya oreng kecil yang dalam hidup kesehariannya biasa memakai bahasa mapas (kasar). Sejak kecil warga Madura di pedesaan sudah menggunakan bahasa mapas, sebab dengan bahasa ini mereka lebih leluasa mengutarakan keinginan, termasuk melontarkan caci maki atau sumpah serapah sehingga dalam hubungannya itu bahasa mapas memiliki relasi cukup signifikan ikut melestarikan carok di Madura. Namun akhirakhir ini pula kegiatan carok mulai berkembang kekalangan menengah bahkan kalangan pejabat pemerintahan. Dalam hal carok orang Madura tidak peduli dengan proses bagaimana carok itu harus dilaksanakan, tetapi yang penting salah satu harus dikalahkan. Memang dalam tradisi carok dikenal dua cara ngonggai dan nyilep. Cara pertama biasa dilakukan orang yang merasa malu pergi mendatangi rumah lawan dan mengajak tarung sampai salah seorang cedera atau meninggal. Cara kedua nyilep dilakukan bila sang musuh yang telah membuat rasa malu dianggap lebih jago, sehingga carok harus dilakukan dengan mencari waktu lengahnya.

BAB II RUMUSAN MASALAH 1, Apakah itu celurit? 2. Mengapa celurit dan carok tidak bisa dipisahkan? 3. Apa yang dimaksud dengan budaya carok? 4. Untuk apa tujuan carok? 5. faktor apa yang menyebabkan carok terjadi? 6. apa saja syarat-syarat terjadinya carok? 7. bagaiman cara pelaksanannya?

BAB III PEMBAHASAN A. CELURIT SEBAGAI SIMBOL CAROK 1. Celurit Celurit merupakan senjata favorit dalam tindakan carok. Celurit sangat efektif untuk membunuh mengingat bentuknya yang melengkung laksana tubuh manusia. Jika celurit diayunkan maka seluruh bagian permukaannya yang tajam bisa memperparah efek sabetan pada bagian tubuh yang rentan kematian seperti perut, leher, dan kepala. Celurit yang kita kenal umumnya memiliki bentuk seperti arit yaitu seperti bulan sabit. Sebenarnya celurit memiliki bentuk yang bermacam-macam. Jenis celurit yang paling popular adalah are takabuwan. Senjata ini merupakan jenis celurit yang sangat diminati oleh banyak orang Madura, khususnya kawasan Madura Barat. Nama takabuwan diambil dari desa tempat dibuatnya yaitu Desa Takabu. Celurit jenis ini selain bentuknya cukup bagus, tingkat ketajamannya bisa diandalkan karena bahannya terbuat dari baja berkualitas baik. Badan celurit berbentuk melengkung mulai dari batas pegangan hingga ujung. Yang menjadi tampak menarik, lengkunagn celurit ini sangat serasi dengan panjangnya yang hanya sekitar 35 - 40 sentimeter. Pegangannya terbuat dari bahan kayu yang biasanya dicat warna hitam atau coklat tua yag panjangnya sekitar 7,5 - 10 sentimeter. Cukup pas untuk pegangan tangan orang dewasa. Biasanya orang memiliki celurit jenis ini bukan untuk tujuan dipakai sebagai alat rumah tangga atau penyabit rumput, melainkan sebagai sekep (senjata tajam yang selalu dibawa pergi untuk tujuan menjaga segala kemungkinan jika sewaktuwaktu terjadi carok). Celurit dengan kualitas khusus biasanya dibuat atas dasar pesanan, tidak diperjual belikan secara bebas di pasaran, kecuali celurit yang memang ditujukan sebagai hiasan. Hal ini terkait karena para pengrajin celurit tidak mau karyanya disalah-gunakan oleh orang yang memakainya. (Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005). Pembuatan celurit dilakukan oleh para pengrajin Madura secara tradisional dan melibatkan ritual-ritual khusus, sesuai dengan yang diajarkan oleh leluhur mereka secara turun-temurun. Salah satu basis pengrajin celurit yang terkenal di Pulau Madura yaitu di Desa Paterongan, Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kota Bangkalan. Di daerah ini sebagaian besar masyarakatnya menggantungkan hidup sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Celurit hasil buatan para pengrajin di Desa Paterongan terkenal akan kekuatan dan kehalusan pengerjaannya. (Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005). Dalam mengerjakan sebuah celurit, para pengrajin selalu melakukannya dengan penuh ketelitian. Sebuah celurit tidak bisa dipandang hanya sebagai sepotong besi yang ditempa berkali-kali, tetapi harus mencirikan sebuah karya seni serta memiiki arti dan makna khusus bagi pemiliknya. Karena itu dalam pembuatan celurit, biasanya para pegrajin berpuasa terlebih dahulu. Bahkan setiap tahun, tepatnya pada bulan Maulid, para pengrajin melakukan ritual khusus. Ritual khusus ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga, yang kemudian didoakan di musholla. Setelah didoakan, air bunga disiramkan pada bantalan tempat menempa besi. Karena itulah tombuk ini

kemudian dianggap keramat yaitu pantang untuk dilangkahi oleh orang. Para pandai besi di paterongan meyakini apabila ritual ini tidak dilakukan (dilanggar), maka akan dapat mendatangakan musibah bagi mereka. 2. Celurit dan carok tidak bisa dipisahkan Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Celurit yang telah digunakan dalam praktek carok biasanya disimpan oleh keluarganya sebagai benda kebanggaan keluarga. Lumuran darah yang menempel pada celurit tetap dibiarkan sebagai bukti eksistensi dan kapasitas leluhur mereka sebagai orang jago (blater) ketika masih hidup. Celurit ini nantinya akan diwariskan secara turun-temurun kepada anak laki-laki tertua. Hal ini menunjukkan bahwa celurit merupakan simbol dari proses sejarah peristiwa carok yang dialami leluhur mereka. Simbol ini mengandung makna bukan hanya sekedar penyimpanan memori melainkan lebih sebagai media untuk mentransfer kebanggan kepada anak cucu karena menang carok dan kebanggan sebagai keturunan blater. Keberadaan celurit bagi kaum blater sangat penting artinya baik sebagai sekep maupun sebagai pengkukuhan dirinya sebagai oreng jago. Nyekep merupakan kebiasaan yang sulit ditinggalkan oleh kebanyakan laki-laki Madura, khususnya di pedesaan. Pada segala kesempatan mereka tidak lupa untuk membawa senjata tajam terutama ketika sedang mempunyai musuh atau menghadiri acara remo. Cara orang Madura nyekep celurit biasanya berbeda dengan jenis senjata tajam lainnya. Celurit biasanya diselipkan di bagian belakang tubuh (punggung) dengan posisi pegangan berada di atas dengan maksud agar mudah dikeluarkan (digunakan). Senjata tajam sudah dinggap sebagai pelengkap tubuh atau telah menjadi bagian dari tubuh laki-laki madura khususnya kaum blater. Hal ini ditunjukkan dengan adanya anggapan dari kaum laki-laki Madura bahwa senjata tajam selalu dibawa kemana-mana untuk melengkapi tulang rusuk laki-laki bagian kiri yang kurang satu. Begitu berharganya keberadaan senjata tajam ditunjukkan juga melalui ungkapan orang Madura Are kancana shalawat (celurit merupakan teman sholawat). Bagi seorang muslim memang dianjurkan untuk selalu membaca sholawat pada setiap kesempatan tak terkecuali jika hendak bepergian. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada agama/Tuhan saja, sehingga dibutuhkan senjata tajam sebagai sarana melindungi dan mempertahankan diri. B. BUDAYA CAROK DALAM MASYARAKAT MADURA Di Indonesia, carok telah dianggap sebagai ciri khas kelompok etnik Madura. Hanya di dalam etnis Bugis saja yang dianggap mempunyai pola perilaku yang hampir menyerupai carok, yaitu fenomena yang disebut sebagai siri (Pelras 1996). A. Latief Wiyata menyatakan bahwa pengertian carok paling tidak harus mengandung lima unsur, yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antar laki-laki, pelecehan harga diri terutama berkaitan dengan kehormatan perempuan (istri), perasaan malu (malo), adanya dorongan, 5

dukungan, persetujuan sosial disertai perasaan puas, dan perasaan bangga bagi pemenangnya. Kasus-kasus carok, dari data yang diperoleh, terbanyak (60,4%) berlatar belakang gangguan terhadap istri. Selain itu juga ada yang berlatar belakang masalah salah paham (16,9%); masalah tanah/warisan (6,7%); masalah utang piutang (9,2%); dan masalah lain di luar itu, seperti melanggar kesopanan di jalan, dalam pergaulan, dan sebagainya (6,8%). 1. Tujuan Carok Carok senantiasa dilakukan sebagai ritus balas dendam terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap isteri, yang membuat lelaki Madura malo (malu) dan tada tajina (direndahkan martabatnya). Carok telah menjadi arena reproduksi kekerasan. Korban carok, tidak dikubur di pemakaman umum melainkan di halaman rumah. Pakaiannya yang berlumur darah disimpan di almari khusus agar pengalaman traumatik terus berkobar guna mewariskan balas dendam. Biasanya dendam ini berlanjut sampai tujuh turunan. Sasaran utama carok balasan adalah pemenang carok sebelumnya atau kerabat dekat (taretan dalem) sebagai representasi musuh. Pilihan sasaran jatuh pada orang yang dianggap kuat secara fisik maupun ekonomi agar keluarga musuh tidak mampu melakukan carok balasan. 2. Penyebab Eksistensi Carok Alam yang gersang. Teror eceran berbentuk carok merajalela akibat alam gersang, kemiskinan, dan ledakan demografis. Pelembagaan kekerasan carok terkait erat dengan mentalitas egolatri (pemujaan martabat secara berlebihan) sebagai akibat tidak langsung dari keterpurukan ekologis. Lingkungan sosial mengondisikan lelaki Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan. Konsekuensinya senjata tajam jadi atribut ke mana kaum lelaki bepergian yang ditunjukkan dengan kebiasaan nyekep. Senjata tajam dianggap sebagai kancana sholawat (teman shalawat). Persetujuan sosial melalui ungkapan ungakpan. Ungkapan-ungkapan Madura memberikan persetujuan sosial dan pembenaran kultur tradisi carok. Ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya : Mon lo bangal acarok ja ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake mate acarok, oreng bine mate arembi (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); angoan poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]. lokana daging bisa ejai, lokana ate tada tambana kajabana ngero dara (jika daging yang terluka masih bisa diobati atau dijahit, tapi jika hati yang terluka tidak ada obatnya kecuali minum darah). Proteksi berlebihan terhadap kaum wanita. Carok refleksi monopoli kekuasaan laki-laki. Ini ditandai perlindungan secara berlebihan terhadap kaum perempuan sebagaimana tampak dalam pola pemukiman kampong meji dan taneyan lanjang. Solidaritas internal antar penghuni kampong meji sangat kuat sedangkan dalam lingkup sosial lebih luas solidaritas cenderung rendah. Pelecehan atas salah satu anggota komunitas dimaknai sebagai perendahan

martabat seluruh warga kampong meji. Taneyan lanjang (halaman memanjang), memberikan proteksi khusus terhadap anak perempuan dari segala bentuk pelecehan seksual. Semua tamu laki-laki hanya diterima di surau yang terletak di ujung halaman bagian Barat. Martabat istri perwujudan dari kehormatan kaum laki-laki karena istri dianggap sebagai bantalla pate (alas kematian). Mengganggu istri merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura. Upaya meraih status sosial. Carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih status sosial di dunia blater. Kultur blater dekat dengan unsur-unsur religio-magis, kekebalan, bela diri, kekerasan, dunia hitam, poligami, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan harga diri. Blater, memiliki peran sentral sebagai pemimpin informal di pedesaan. Figur blater sejajar posisinya dengan figur kyai (Madura : keyae) sebagai sosok pemimpin informal di Madura Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi kepala desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan menaruh hormat, kepada kepala desa bekas blater itu, mengingat asalusulnya yang kelam. Tidak seperti figur kyai yang disegani dan dihormati karena kemampuannya dalam keagamaan. Yang menarik di sini, juga terdapatnya figur kyai yang mempunyai latar belakang blater atau sebaliknya. (Wiyata, 2002) Blater di Madura juga kerap dihubungkan dengan remo. Tradisi remo (arisan kaum blater) merupakan institusi budaya pendukung dan pelestari eksistensi carok. Remo berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi ekonomi, sekaligus penguatan status sosial. Juga merupakan sarana untuk membangun jaringan sosial di kalangan bromocorah. Remo bisa mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam tempo semalam. Lemahnya hukum. Kebiasaan para pemenang carok untuk nabang (memperoleh keringanan hukum melalui rekayasa peradilan) dengan menyuap polisi, hakim, dan jaksa juga turut berperan melembagakan kekerasan di Madura. Carok telah menjadi komoditas hukum bagi mafia peradilan guna mengutip rente ekonomi dengan memperdagangkan kriminalitas dan kekerasan. Ini salah satu sebab memberantas carok ibarat menegakkan benang basah. 3. Prasyarat carok Persiapan untuk melakukan carok, termasuk memenuhi 3 syarat utama, yaitu kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. (Wiyata, 2002). Kadigdajan (kapasitas diri) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan diri secara fisik dan mental. Prasyarat fisik dapat berupa penguasaan teknik bela diri. Prasyarat mental, pengertiannya lebih terkait dengan apakah orang tersebut punya nyali, angko (pemberani), ataupun juga jago. Tampeng sereng, menyangkut kepemilikan kekuatan yang diperoleh secara non-fisik, seperti membentengi diri sehingga kebal terhadap serangan musuh. Untuk maksud ini, pelaku carok meminta bantuan seorang kiai, yang akan melakukan pengisian mantra-mantra ke badan pelaku carok. 7

Aktifitas berkunjung ke seorang kiai ini disebut nyabis. Prasyarat ketiga adalah tersedianya dana (banda). Dalam konteks ini, carok mempunyai dimensi ekonomi, karena carok membutuhkan banyak biaya. Biaya diperlukan antara lain untuk melakukan persiapan mental dengan menebus mantra-mantra yang diperlukan, dan membeli celurit dengan kualitas nomor satu, dan juga diperlukan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku carok yang kemungkinan terbunuh (selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari sejak kematian). Selain itu, juga untuk biaya hidup sanak keluarga (istri dan anak) yang kemungkinan ditinggal mati atau ditinggal masuk penjara. Untuk pelaku carok yang masih hidup, maka dana dibutuhkan untuk nabang, yaitu merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum-oknum aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa carok dengan orang lain. 4. Tata Cara Pelaksanaan Carok Carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu), atau nyelep (menikam musuh dari belakang). Di zaman awal kemunculannya, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Semenjak dekade 1970-an carok lebih banyak dilakukan dengan cara nyelep. Dengan adanya kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep maka etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutalisme dan egoisme. Meskipun semua pelaku carok langsug menyerahkan diri kepada aparat kepolisian, hal ini bukan berarti suatu tindakan jantan (berani bertanggungjawab atas tindakannya) melainkan suatu upaya untuk hal mendapatkan perlindungan dari aparat kepolisian terhadap serangan balasan keluarga musuhnya. Dan itu kemudian tidak mencerminkan kejantanan sama sekali ketika proses rekayasa peradilan dilakukan melalui praktek nabang.

BAB IV PENUTUP KESIMPULAN Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagao berikut: 1. Carok terjadi akibat pelecehan terhadap kaum wanita. 2. Carok terjadi karena harga diri mereka direndahkan. 3. carok terjadi karena warisan dendam dari leluhurnya. SARAN 1. Agar tidak terjadi carok diharapkan agar jangan pernah menggangganggu ketenangan orang lain 2. Revisi ungkapan ungkapan yang dapat membuat carok terjadi 3. Perubahan Perilaku 4.Hentikan adanya dendam dari leluhur.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1993. Jawa Timur Membangun. Dokumentasi Hasil Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tingkat II se-Jawa Timur. Surabaya : Bappeda Provinsi Jawa Timur Abdurachman, 1979, Masalah Carok Di Madura, dalam Madura III, Kumpulan Makalah-Makalah Seminar 1979 dalam rangka Kerjasama Indonesia-Belanda Untuk Pengembangan Studi Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI. De Jonge. 1989. Madura Dalam Empat Zaman : Pedagang, Pekembangan Ekonomi dan Islam. Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Jakarta : PT. Gramedia Dinas Pariwisata, 1993. Jawa Timur, Madura Pulau Pesona. Surabaya : Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur Fakhruddin, dkk. 1991. Senjata Tradisional Lampung. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Inventarisasi Dan Pembendaharaan Nilai-Nilai Budaya Daerah Lampung. Kadarisman, Rekonstruksi Citra Budaya Madura, Jawa Pos, 24 Desember 2006 Maman Rachman, 2001, Reposisi, Re-Evaluasi Dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi Generasi Muda Bangsa, dalam www.depdiknas.go.id, dikunjungi : Maret 2007 Nurhajarini, dkk. 2005. Kerusuhan Sosial Di Madura, Kasus Waduk Nipah Dan Ladang Garam. Kementerian Kebudayan Dan Pariwisata. Pelras, C. 1996. The Bugis. Oxford : Blackwell dalam Sukimi, M. F. 2004. Carok Sebagai Elemen Identiti Masyarakat Madura. Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia. Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005, Clurit dan Memudarnya Makna Carok, dalam www.liputan6.com Subaharianto, A. 2004. Tantangan industrialisasi Madura : membentur kultur, menjunjung leluhur. Malang : Bayumedia. Wiyata, A., Latief. 2002. Carok : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. LKis : Yogyakarta. Wiyata, A., Latief, 2005, Budaya Madura Kian Termarjinalkan, Fisip Universitas Jember. Zulakrnain, dkk. 2003. Sejarah Sumenep. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep.

10

11

Anda mungkin juga menyukai