Anda di halaman 1dari 10

KAJIAN PRA-STABILITAS MEMPERGUNAKAN KAPUR TERHADAP STABILISASI TANAH LEMPUNG DENGAN SEMEN

Penulis : Ir. Rudatin Ruktiningsih Mahasiswa MSTT UGM Magister Sistem dan Teknik Transportasi (MSTT) Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM Jl. Grafika no. 2 Yogyakarta 55281 Telp. (0274) 902245, 902247, fax (0274) 524713. abstrak Pemilihan jenis konstruksi lapis keras dan tebal lapis keras dipengaruhi oleh kapasitas dukung tanah dasar. Untuk perencanaan tebal lapis keras lentur nilai kapasitas dukung tanah didekati dengan pengukuran nilai CBR. Makin besar nilai CBR tanah dasar tentunya makin tipis lapis keras yang dibuat diatasnya demikian pula sebaliknya. Mengingat lempung mempunyai nilai CBR yang rendah maka salah satu alternatif untuk menaikkan nilai CBR dan memperbaiki sifat-sifat indeks (index properties) dan sifat teknis (engineering properties) lempung adalah dengan stabilisasi tanah. Stabilisasi tanah menurut Ingles dan Metcalf (1972) adalah usaha untuk memperbaiki sifat-sifat tanah asli agar tanah tersebut sesuai atau memenuhi syarat untuk dipergunakan sesuai fungsinya. Penggunaan kapur padam sebagai bahan untuk pra-stabilisasi lempung sebelum dilakukan stabilisasi dengan semen adalah dengan pertimbangan bahwa harga kapur padam adalah relatif lebih murah dibandingkan dengan harga semen dan keamanan dalam pemakaian. Di dalam penelitian ini ingin diketahui pengaruh penggunaan kapur padam (hydrated lime) sebagai lime modification (pra-stabilisasi) terhadap salah satu jenis lempung yang ada di Indonesia. Karakteristik yang diteliti meliputi index properties lempung yaitu kadar air, spesific gravity, dan batas-batas atterberg serta engineering properties yaitu perilaku lempung asli dan campuran pada saat mendapatkan energi pemadatan, swelling dan CBR soaked. Dari pengujian-pengujian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa penggunaan kapur padam untuk usaha prastabilisasi (selama 7 hari) dapat menurunkan batas cair lempung asli dari 75 % menjadi 61,5 %, batas plastis dari 44,47 % menjadi 34,43 % dan indeks plastisitas dari 30,53 % menjadi 27,01 % pada kadar kapur 3 %. Selain itu penggunaan kapur padam untuk pra-stabilisasi (selama 7 hari) dapat menaikkan berat volume kering maksimum lempung asli dari 1,305 gr/cm3 kemudian 1,41 gr/cm3 pada lempung yang telah distabilisasi dengan semen 10 % menjadi 1,435 gr/cm3 pada kadar kapur 2 % dan kadar semen 10 %. Demikian pada kadar air optimum yaitu dari 28 % menjadi 24,5 % pada kadar kapur 2 % dan semen 10 %. Kemudian swelling akan turun dari 8,17 % pada lempung asli menjadi 1.97 % pada kadar kapur 3% dan semen 10 %. Dan nilai CBR akan meningkat dari 1,41 menjadi 70.8 pada kadar kapur 3% dan kadar semen 10 %. Hal ini terjadi karena adanya netralisasi permukaan lempung yang bermuatan negatif oleh kation-kation dari kapur padam sehingga keinginan untuk menarik molekul air yang bersifat dipolar yang ada disekelilingnya relatif berkurang dan terbentuknya kalsium silika gel dan kalsium alumina gel karena reaksi antara kation Ca dari kapur dengan Al dan Si dari lempung serta terbentuknya tobermorite oleh Ca, Si dan Al dari semen sendiri (peristiwa hidrasi, pozzolanic dan sementasi). Kata-kata kunci : lempung, pra-stabilitas, kapur, semen Pembimbing: Dr. Ir. H. Suryo Hapsoro TU Staf pengajar MSTT UGM Magister Sistem dan Teknik Transportasi (MSTT) JTS FT UGM Jl. Grafika no.2 Yogyakarta 55281 Telp. (0274) 902245,902247.

Simposium V FSTPT, Universitas Indonesia, 16-17 Oktober 2002

I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Konstruksi jalan adalah salah satu sarana pelengkap yang penting dalam rangka memenuhi kebutuhan fasilitas transportasi bagi Pembangunan Nasional (Ghani,1991). Permasalahan pembangunan jalan baru maupun peningkatan jalan yang ada pada ruasruas jalan di Indonesia adalah lebih dari setengahnya dibangun di atas tanah yang sulit yaitu tanah yang memerlukan perbaikan sebelum dapat dipergunakan sebagai pondasi konstruksi (Tanzil, 1991). Berdasarkan pengamatan secara visual, tanah di daerah Kasihan Bantul yang berwarna hitam kecoklatan mempunyai karakteristik yang spesifik yaitu pada saat kadar air tinggi (musim hujan) tanah tersebut sangat lembek dan pada saat kadar air rendah (musim kemarau) tanah tersebut sangat kering, keras dan retak-retak. Karakteristik tersebut sangat menarik untuk diteliti karena perbedaan kondisi fisik tanah jika kadar air berubah bagi pekerjaan teknik sipil merupakan masalah yang cukup serius dan perlu penanganan yang tepat. Bowles (1984) mengatakan bahwa jika tanah dalam kondisi sangat lepas, mudah tertekan, permeabilitas yang terlalu tinggi atau sifat lain yang tidak diinginkan untuk suatu proyek pembangunan maka tanah harus distabilisasi. Stabilisasi tanah menurut Ingles dan Metcalf (1972) adalah usaha untuk memperbaiki sifat-sifat tanah asli agar tanah tersebut sesuai atau memenuhi syarat untuk dipergunakan sesuai fungsinya.. Stabilisasi yang dikenal ada dua macam yaitu stabilisasi mekanis yang digunakan untuk fraksi kasar dan stabilisasi kimiawi untuk tanah yang berfraksi halus yaitu dengan menggunakan bahan kimia tertentu yaitu misalnya semen dan kapur. Stabilisasi mekanis bertujuan menambah kekuatan atau kapasitas dukung tanah dengan mengatur gradasi butir tanah, sedangkan stabilisasi kimiawi bertujuan untuk menambah kekuatan atau kapasitas dukung tanah dengan jalan mengurangi dan atau menghilangkan sifat-sifat teknis tanah yang kurang menguntungkan jika tanah akan dimanfaatkan (Soekoto,1984). Subgrade adalah permukaan terbawah suatu konstruksi perkerasan jalan raya dan landas pacu lapangan udara. Subgrade dapat berada pada daerah timbunan, galian dan permukaan tanah asli (Krebs dan Walker,1971). Di Indonesia kapasitas dukung subgrade untuk kebutuhan perencanaan tebal perkerasan lentur dinyatakan dengan nilai CBR (California Bearing Ratio). Semakin besar nilai CBR berarti semakin besar kapasitas dukung subgrade yang berakibat semakin tipis lapis keras yang harus dibuat diatasnya. I.2. Lempung Tanah lempung adalah tanah dengan diameter butiran lebih kecil dari 0,002 mm (ASSHTO,1998), Spesific Gravity (Gs) antara 2,58 dan 2,75 (Hardiyatmo,2000), dan mempunyai partikel-partikel mineral tertentu yang menghasilkan sifat-sifat plastis apabila tanah tersebut dicampur dengan air Grimm (1953) dalam DasMochtar dan Mochtar (1993), yang apabila dalam keadaan kering sangat keras, terjadi retak-retak di beberapa tempat sedangkan apabila dalam keadaan basah menjadi lunak dan lengket bahkan apabila kadar airnya berlebih berubah menjadi Lumpur yang tidak mempunyai kuat dukung sama sekali (Soekoto,1984). Besarnya spesific gravity dapat untuk mengetahui jenis mineral yang dominan pada tanah lempung tersebut. Menurut Mitchell (1993) spesific gravity dari beberapa mineral lempung terutama yang banyak dijumpai adalah tersaji dalam Tabel 1 di bawah ini : 82

Simposium V FSTPT, Universitas Indonesia, 16-17 Oktober 2002

Tabel 1 : Spesific gravity (Gs) berbagai jenis mineral No. 1. 2. 3. Jenis Mineral Kaollinite Illite Montmorillonite Gs 2,60 2,68 2,6 3,0 2,35 2,7

(Sumber: Mitchell, 1993)

Menurut Das- Mochtar dan Mochtar (1993) batas-batas atterberg (LL dan PL) dapat pula dipergunakan untuk menentukan jenis mineral lempung tersebut. Dan batas-batas Atterberg berbagai jenis mineral dapat dilihat pada Tabel.2 di bawah ini : Tabel 2: Harga Batas Atterberg pada mineral lempung No. Jenis Mineral Batas Cair (%) Batas plastis (%) 1. Montmorillonite 100-900 50-100 2. Illite 60-120 35-60 3. Kaolinite 30-110 25-40
(Sumber: Das- Mochtar dan Mochtar, 1993)

Skempton (1953) dalam Das- Mochtar dan Mochtar (1993) mendefinisikan bahwa aktifitas adalah hubungan antara plasticity index dan prosentasi butiran yang berdiameter lebih kecil dari 0,002 mm. Fungsi besaran aktifitas tersebut adalah sebagai indeks untuk mengidentifikasi kemampuan mengembang suatu jenis fraksi lempung. Nilai aktifitas berbagai mineral lempung disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini : Tabel 3 Nilai aktifitas berbagai mineral lempung (Mitchell,1976) No. Jenis mineral Activity 1. Kaolinite 0,3 0,5 2. Illite 0,5 1,3 3. Ca-Montmorillonite 1,5 4. Na-Montmorillonite 4,0 7,0
(Sumber : Day, 1999)

Luas permukaan spesifik mempengaruhi aktifitas, hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin kecil ukuran partikel berarti semakin besar luas permukaan spesifiknya dan semakin besar muatan negatif pada permukaannya (Das-Mochtar dan Mochtar,1993) yang berarti semakin besar pula aktifitas partikel tersebut karena aktifitas disini dihubungkan dengan potensial mengembang dari mineral lempung maka berarti semakin kecil ukuran partikel berarti semakin banyak menangkap air sehingga mempunyai potensi mengembang yang semakin besar (Holtz and Kovacs,1981). Untuk memperjelas pernyataan ini disajikan Tabel 4 sebagai berikut : Tabel.4.: Ukuran dan luas permukaan spesifik rata-rata beberapa mineral lempung No. Jenis Mineral Tebal Diameter Luas permukaan. (nm) (nm) Spesifik(km2/kg) 1. Montmorillonite 3 100-1000 0,8 2. Illite 30 10000 0,08 3. Kaolinite 50-2000 300-4000 0,015
(Sumber:Holtz&Kovacs,1981)

Tanah lempung terbentuk dari butiran-butiran mineral yang merupakan hasil pelapukan kimiawi batuan. Pelapukan kimiawi adalah suatu proses terurainya batuan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil akibat proses kimiawi. Pada proses ini batuan feldspar, ferromagnesium, orthoclase dan berjenis-jenis mika diubah menjadi mineralmineral baru yaitu mineral lempung (tipe utama adalah kaolinite, illite dan montmorillonite) melalui reaksi kimia yaitu dengan asam-asam karbonat (hasil reaksi air 83

Simposium V FSTPT, Universitas Indonesia, 16-17 Oktober 2002

dan karbon dioksida), garam-garam yang terlarut dalam air tanah dan asam-asam organik yang terbentuk dari proses pembusukan bahan-bahan organik (Das- Mochtar dan Mochtar,1993). Partikel lempung selalu dikelilingi oleh lapisan-lapisan molekul air yang disebut Adsorbed Water (Bowles ,1984) dan ikatan antara air pada permukaan lempung disebut adsorption (Derucher dkk,1998). Adsorbed Water mempunyai tebal tiga molekul dan mempunyai struktur yang berbeda dengan air normal (Sposito, 1984) dalam Mitchell (1993). Adsorbed water akan mempengaruhi struktur dan sifat lempung (Holtz dan Kovacs,1981). Secara umum partikel lempung mempunyai muatan negatif pada permukaannya.(Das-Mochtar dan Mochtar,1993) karena adanya Oksigen dan Hidroksida pada permukaannya. Air akan tertarik oleh permukaan lempung yang bersifat negatif karena molekul air (H2O) adalah molekul dipolar sehingga terbentuk adsorbed water, ikatan antara permukaan mineral lempung dan molekul air adalah ikatan hidrogen (Holtz dan Kovacs,1981). I.3. Kapur Kapur dapat dipergunakan untuk berbagai jenis tanah (Ingles and Metcalf, 1972). Selain itu kapur dapat mengurangi indeks plastisitas lempung, kohesi antar butiran lempung, sifat kembang susut lempung dan dapat menaikkan nilai CBR,hal ini disebabkan karena kapur mempunyai sifat pozzolan yaitu kemampuan mengeras (membatu) (Soekoto,1984). Kapur dapat berfungsi sebagai lime modification yaitu digunakan untuk membuat tanah menjadi pulverized sehingga memudahkan dalam pelaksanaan (Ingles dan Metcalf,1972). Rollings dan Rollings (1996) mengatakan bahwa penambahan kapur pada tanah lempung mulai menurunkan plastisitas dan teraglomerasi dalam waktu sangat cepat yaitu 1 jam setelah pencampuran, namun pada tanah lempung dengan plastisitas sangat tinggi, penurunan plastisitas memerlukan beberapa hari. Menurut Transportation Research Board Committee on lime (1987) pada pekerjaan in place mixing pencampuran kapur pada tanah lempung berat (heavy clay) selama periode maksimum 7 hari mampu melunakkan (mellowed) lempung berat sehingga memudahkan dalam memecah gumpalan lempung berat. I.4. Semen Menurut Ingles dan Metcalf (1972) usaha untuk memperbaiki sifat tanah asli dengan jalan mencampurkan semen (PC) pada tanah yang hendak distabilisasi. Fungsi semen apabila ditambahkan dalam tanah adalah menambah kekuatan tanah tersebut dan lebih tahan terhadap air. Namun metode stabilisasi tanah dengan semen adalah sebelum dilakukan penambahan semen tanah harus dalam kondisi pulverizing dan setelah dicampur semen dengan penambahan air kemudian dihampar dan dipadatkan. Semua semen dapat digunakan untuk usaha stabilisasi, namun ternyata yang sering digunakan adalah semen type I (Ordinary Portland Cement) (Ingles dan Metcalf,1972). I.5. Pengujian dan metode penelitian Pengujian yang dilakukan adalah meliputi pengujian terhadap sifat indeks (index properties) lempung yaitu kadar air, spesific gravity, batas-batas Atterberg ( batas cair dan batas plastis), analisis butiran, X-Ray difraction, dan kandungan Al,Si. Pengujian lainnya adalah pada sifat teknis (engineering properties) lempung yang dibatasi hanya pada uji proctor standar, pemeriksaan swelling dan nilai CBR.

84

Simposium V FSTPT, Universitas Indonesia, 16-17 Oktober 2002

Hasil pengujian tersebut akan dibahas dengan pendekatan teori yang telah dikemukakan oleh ahli-ahli geoteknik dan peneliti-peneliti sebelumnya tanpa membahas secara mendalam reaksi-reaksi kimia yang terjadi. II. PEMBAHASAN II.1. Identifikasi lempung Berdasarkan sistem Klasifikasi AASHTO fraksi tanah tersebut adalah termasuk golongan A-7-5 (37) dan tipe material yang dominan adalah lempung. Hardiyatmo (2000) mengatakan bahwa fraksi lempung mempunyai spesific gravity antara 2,58 2,75. Dan menurut hasil pemeriksaan diperoleh hasil bahwa spesific gravity adalah 2,64 yang ternyata berada diantara interval 2,58 2,75 berarti fraksi tanah tersebut adalah lempung. Derucher dkk (1998) mengemukakan bahwa ada tiga jenis mineral yang dominan dalam mineral lempung yaitu : kaolinite, iIllite dan montmorillinite. Ketiga mineral tersebut dapat diidentifikasi dengan nilai spesific gravity, batas- batas Atterberg dan aktifitasnya. Spesific gravity hasil pemeriksaan adalah 2,64, menurut Mitchell (1993) adalah mempunyai kemungkinan sebagai mineral kaolinite, illite maupun montmorillonite yang mendominasi fraksi lempung tersebut. Namun berdasarkan batas batas Atterberg ternyata kandungan mineral yang dominan adalah illite karena berdasarkan Das-Mochtar dan Mochtar (1993) mineral illite mempunyai batas cair antara 60 dan 120 serta batas plastis antara 35 60. Ditinjau dari nilai aktifitas maka ternyata fraksi lempung tersebut didominasi oleh mineral illite karena menurut Mitchell (1976) dalam Day (1999) mineral illite mempunyai aktifitas antara 0,5 dan 1,3. Selain tinjauan secara fisik diatas, maka dilakukan pula tinjauan secara kimiawi yaitu dengan analisis Difraksi Sinar-X. Dari hasil analisis diperoleh hasil bahwa puncak gelombang yang terkuat adalah pada sudut 29,440 dan panjang gelimbang sebesar 3,03 Angstrom yang berarti fraksi lempung tersebut mengandung karbonat, terkuat kedua adalah pada sudut 26,660 dengan panjang gelombang 3,34 Angstrom yang berarti fraksi lempung tersebut mengandung mineral quartz dan sudut terkuat ketiga 44,920 yang mempunyai panjang gelombang 2,02 Angstrom yang berarti bahwa mineral tersebut mengandung mineral illite (Mitchell,1993). Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa fraksi lempung mengandung mineral yang terlihat dominan adalah karbonat, quartz dan illite II.2. Stabilitasi lempung dengan semen tanpa usaha pra-stabilitasi
1,42 Berat volume kering maksimum(gr/cm3) 1,4 1,38 1,36 1,34 1,32 1,3 1,28 0 2 4 6 Kadar Semen (%) 8 10 12 1,305 1,375 1,39

1,41

Gambar 1 : Hubungan kadar semen dan kmax 85

Simposium V FSTPT, Universitas Indonesia, 16-17 Oktober 2002

28.5 Kadar air opt imum 28 27.5 27 26.5 26 25.5 25 24.5 0 2 4 6 Kadar Semen (%) 8 10 12 25 26 27 28

Gambar 2 : Hubungan antara kadar semen dan optimum


9 8 7 Swelling (%) 6 5 4 3 2 1 0 0 2 4 6 Kadar semen (%) 8 10 12 8,17 7,04 5,92 5,46

Gambar 3 : Hubungan kadar semen dengan swelling


60 55,7 50 CBR soaked (%) 40 35,28 30 20 10 0 0 1,41 2 4 6 Kadar semen (%) 8 10 12

37,15

Gambar 4 : Hubungan kadar semen dengan nilai CBR soaked Fenomena ini terjadi karena pada saat semen dicampurkan pada lempung kemudian dengan bantuan air yang ditambahkan maka terjadi proses hidrasi yaitu pembentukan tobermorite (Tjokrodimulyo,1996) oleh Al, Si dan Ca semen sendiri (Rollings dan Rollings, 1996), yang berfungsi sebagai perekat menyelubungi butiran mineral lempung yang kemudian mengalami proses pozzolanic(mengeras) menjadi struktur kerangka yang keras secara terus menerus dan akan tersementasi sehingga tidak terpengaruh lingkungan (Ghani, 1991). Semakin banyak semen ditambahkan berakibat semakin banyak air yang dibutuhkan untuk proses kimiawi tersebut, semakin tinggi nilai CBR dan semakin rendah swelling yang terjadi.. Meningkatnya CBR disebabkan oleh adanya tobermorite yang menyelubungi butiran mineral dan mengisi rongga antar butiran yang mengeras membentuk satu kesatuan struktur yang kompak.

86

Simposium V FSTPT, Universitas Indonesia, 16-17 Oktober 2002

II.3. Stabilitasi lempung mempergunakan semen dengan usaha pra-stabilitasi. Setelah dilakukan pra-stabilitasi selama 7 hari maka diperoleh suatu hasil bahwa terjadi peningkatan berat volume kering maksimum, penurunan kadar air optimum, penurunan nilai swelling dan peningkatan nilai CBR. Hal ini dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
1,44 Berat volume kering (gr/cm3) 1,43 1,42 1,41 1,4 1,39 1,38 1,37 0 1,39 1,375 1 1,38 2 Kadar kapur (%) 3 4 1,41 1,4 1,39 1,42 1,41 1,435 1,43 1,42 1,41 semen 6% semen 8% semen 10%

Gambar 5 : Hubungan kadar kapur dengan kmaks


27,5 27 Kadar air optimum (%) 26,5 26 25,5 25 24,5 24 0 1 2 Kadar kapur (%) 3 4 25 26 25,75 27 26,5 26 25,5 26,5 26,25 26 semen 6% Semen 8% semen 10%

24,85 24,5

Gambar 6 : Hubungan kadar kapur dengan optimum


8 7 6 Swelling (%) 5 4 3 2 1 0 0 1 2 Kadar kapur (%) 3 4 7,04 5,92 5,46

5,07 4,08 3,10

4,79 3,38 2,54

4,51 3,10 1,97

PC 6% PC 8% PC 10%

Gambar 7 : Hubungan kadar kapur dengan swelling

87

Simposium V FSTPT, Universitas Indonesia, 16-17 Oktober 2002

80 70 60 CBR soaked 50 40 30 20 10 0 0 1 2 Kadar kapur(%) 3 4 37,15 35,28

67,8
61,45

65,9

70,65

66

70,8

55,7 46,6 48,3 48,4


Semen 6% Semen 8% Semen 10%

Gambar 8 : Hubungan antara kadar kapur dan CBR soaked Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa dengan adanya kapur padam sebagai bahan prastabilitasi maka lempung menjadi lebih pulverized, terbentuk kalsium silika gel dan kalsium alumina gel yang berfungsi sebagai perekat. III. KESIMPULAN DAN SARAN III.1. KESIMPULAN Dari uraian bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa : 1. Tanah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah tanah lempung dengan jenis mineral yang dominan adalah illite 2. Dengan penambahan semen terjadi kenaikan batas cair dan batas plastis dari 75 dan 44,47 pada lempung murni menjadi 81,5 dan 58,47 pada semen 10%. Hal ini sebabkan luas permukaan spesifiknya semakin besar yang berakibat memerlukan air yang lebih banyak untuk memperbaiki lekatannya. 3. Penambahan kapur untuk pra-stabilisasi selama satu jam ternyata menaikkan batas cair dari 75 pada tanah lempung murni menjadi 76.5 pada kapur 3% dan batas plastis dari 44,47 menjadi 46,27 pada kapur 3 %, hal ini disebabkan karena peristiwa jerapan kation pada permukaan lempung belum sempurna. Sedangkan pra-stabilisasi selama 7 hari akan menurunkan batas cair dan batas plastis lempung murni menjadi 61,5 dan 34,5 untuk penambahan kapur 3%, hal ini karena proses jerapan kation Ca atau Mg dari kapur oleh permukaan lempung lebih sempurna. 4. Indeks plastisitas pada usaha pra-stabilisasi selama satu jam akan menurun dari 30,53 pada lempung murni menjadi 30,23 pada penambahan kapur 3 % dan untuk prastabilisasi selama 7 hari akan turun menjadi 27,07 pada penambahan 3% kapur, hal ini terjadi karena adanya kapur menyebabkan permukaan lempung menjadi relatif netral. 5. Kadar air optimum lempung murni akan mengalami penurunan jika dilakukan penambahan semen yaitu dari 28 % menjadi 25 % pada semen 10 %, hal ini terjadi karena terbentuknya tobermorite dan air berfungsi sebagai pelumas butiran. Sedangkan lempung yang telah dipra-stabilisasi dengan 2% kapur selama tujuh hari dan distabilisasi dengan semen 10 % kadar air optimum mencapai 24,5 % hal ini disebabkan karena permukaan lempung relatif menjadi netral. 6. Berat volume kering maksimum akan mengalami perubahan pada penambahan semen 10 % yaitu 1,41 gr.cm3 dari 1,305 gr/cm3 pada lempung murni,hal ini disebabkan karena terbentuknya tobermorite yang berfungsi sebagai perekat antar butiran dan kemampuan tobermorite mengisi pori antar butiran lempung. Dan dengan prastabilisasi dengan kapur selama 7 hari diperoleh hasil yang maksimum adalah pada 88

Simposium V FSTPT, Universitas Indonesia, 16-17 Oktober 2002

kapur 2 % dengan semen 10% sebesar 1,435 gr/cm3 hal ini karena penambahan kapur menyebabkan lempung menjadi pulverized. 7. Swelling lempung murni sebesar 8,17 %,kemudian setelah dicampur semen 10 % menjadi 5,46 %, hal ini disebabkan karena sifat tobermorite yang telah menyelimuti butiran tanah dan mengalami masa rawatan selama 28 hari (mengalami reaksi pozzolanic dan sementasi) sehingga menjadi lapisan yang kedap air. Dan setelah mengalami pra-stabilisasi dengan kapur 3 % selama tujuh hari kemudian dicampur semen 10 % swelling semakin menurun menjadi 1,97 % ,hal ini disebabkan adanya kalsium silika gel, aluminium silika gel dan tobermorite yang mengalami reaksi pozzolanic dan sementasi pada masa rawatan 28 hari bersifat kedap air.. 8. Nilai CBR rendaman lempung murni sebesar 1,41 menjadi 55,7 setelah dicampur semen 10 % dengan masa rawatan 28 hari yang disebabkan reaksi hidrasi, pozzolanic dan sementasi dari campuran lempung dan semen. Kemudian setelah dilakukan prastabilisasi dengan kapur 3 % selama tujuh hari dan distabilisasi dengan semen 10 % dengan rawatan 28 hari nilai CBR naik menjadi 70,8 hal ini disebab adanya reaksi hidrasi, pozzolanic dan sementasi dari campuran lempung, kapur dan semen . VII.2. SARAN Setelah melakukan penelitian ini terdapat beberapa saran yang disampaikan yaitu : 1. Perlu dilakukan pengujian parameter lain misalnya kohesi, kuat geser, permeabilitas, dan konsolidasi baik tanah lempung sendiri maupun lempung yang telah diprastabilisasi dengan kapur. 2. Karena pada penelitian ini belum ditinjau aspek ekonomi maka disarankan dilakukan kajian analisa biaya pada struktur yang mempergunakan penelitian ini. 3. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan mempergunakan tanah jenis lain, atau bahan pra-stabilisasi lainnya. 4. Penelitian ini perlu dilengkapi dengan kajian kimiawi. DAFTAR PUSTAKA AASHTO , 1998 , Standard Spesifications for Transportation Materials and Methods of Sampling and Testing Part II Test Nineteenth Edition, AASHTO, Washington, USA. Bowles, JE, 1984, Physical and Geotechnical Properties of Soils Second Edition, Mc Graw Hill Incc, New Jersey, USA Das , Mochtar dan Mochtar, 1993, Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta, Indonesia. Day RW, 1999, Geotechnical and Foundation Engineering Design and Construction, Mc. Graw Hill, New Jersey, USA. Derucher .N, Corfiatis,GP, Ezeldin AS,1998, Materials For Civil and Highway Engineers, Prentice Hall, New Jersey, USA Ghani, A. 1991. Perbandingan dari Efek Stabilisator Semen atau Kapur terhadap Tanah Pasir Kelanauan. Makalah Teknik pada Konferensi Regional Teknik Jalan ke- 1 wilayah barat, Palembang, Indonesia. 89

Simposium V FSTPT, Universitas Indonesia, 16-17 Oktober 2002

Hardiyatmo.HC, 2000, Mekanika Tanah jilid I, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Holtz RD dan Kovacs WD, 1981, An Introduction to Geotechnical Engineering, Prentice Hall, New Jersey, USA Ingles,O.G and Metcalf,J.B,1972, Soil Stabilization Principles and Practice, Butterworths Pty.Limited,Australia. Krebs, RD dan Walker, RD, 1971, Highway Materials, Mc Graw Hill, New York, USA. Mitchell JK, 1993, Fundamental of Soil Behavior, John Willey and Son, New York USA. Rollings MP, Rollings Jr, 1996, Geotechnical Materials in Construction, Mc Graw Hill, New York , USA. Soekoto, I.,1984, Mempersiapkan Lapis Dasar Konstruksi, Badan Penerbit PU, Jakarta. Tanzil ,A.P. 1991, Sifat - sifat lempung kembang dan permasalahannya, Makalah Teknik pada Konferensi Regional Teknik Jalan ke- 1 wilayah barat, Palembang, Indonesia. Tjokrodimulyo,K., 1996, Teknologi Beton, Nafiri Yogyakarta Indonesia

90

Anda mungkin juga menyukai