Anda di halaman 1dari 6

EVALUASI POLA TOPOGRAFI PEWARNAAN DALAM UJI TETRAZOLIUM BENIH KEDELAI (Glycine max L)

Oleh : Dina, Ismiatun, Arumasih PH, Lisa Yuniar dan Umi Sri Rejeki. PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditi yang mendapat perhatian khusus dalam program peningkatan produksi pangan Indonesia. Menurut data dari Departemen Pertanian (2008), pada tahun 2008 ini target penanaman kedelai adalah 1.000 ribu Ha denga luas panen 760 ribu Ha untuk mencapai produksi 1,17 juta ton. Untuk memenuhi target tersebut pemerintah melaksanakan langkah operasional melalui bantuan benih (160 ribu Ha), optimalisasi (510 ribu Ha) dan perluasan areal tanam (330 ribu Ha). Dengan adanya

program tersebut, kebutuhan benih pun semakin meningkat. Salah satu upaya pemerintah mengatasi hal tersebut adalah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian No. 28 tahun 2007 yang membahas khusus tentang benih kedelai. Hal ini merupakan salah satu upaya pemenuhan kebutuhan benih kedelai. Viabilitas dan vigor benih merupakan salah satu parameter yang dibutuhkan sebelum benih disimpan, didistribusikan dan ditanam. Uji viabilitas benih memberikan informasi kemampuan berkecambah suatu benih pada suatu kondisi tertentu. Uji viabilitas yang paling umum di dunia adalah uji daya berkecambah (DB) dan uji viabilitas secara biokimia dengan uji tetrazolium (TZ).

UJI TETRAZOLIUM
Uji TZ telah dilakukan di laboratorium benih di Indonesia sejak tahun 1980-an. Paradigma yang dipahami oleh sebagian kalangan selama ini adalah benih viable (hidup) dari uji TZ merupakan kecambah normal dan abnormal dalam uji DB, sehingga persentase benih viable dalam uji TZ selalu lebih tinggi dibandingkan persentase daya berkecambah (yang merupakan persentase kecambah normal). Paradigma ini diterima karena definisi viable

(hidup) diartikan hanya sebagai kemampuan benih tersebut untuk berkecambah, dan tidak menjadi soal apakah berkecambah secara normal atau abnormal. Dengan paradigma

demikian, maka hasil uji TZ tidak diperkenankan menjadi data yang dicantumkan di label benih karena akan memberikan kesalahan positif (yaitu persentase benih viable yang lebih tinggi dibandingkan persentase daya berkecambah). Akan tetapi, apabila ditelusuri dari berbagai literatur internasional, maka akan diperoleh suatu kesimpulan bahwa paradigma tersebut di atas kurang tepat. ISTA sebagai organisasi pengujian benih internasional yang diakui kredibilitas dan metodenya digunakan di seluruh dunia mendefinisikan benih viable benih yang memperlihatkan potensi untuk menjadi kecambah normal, sedangkan benih non-viable adalah terdiri dari benih yang berkembang secara abnormal baik pada embrio maupun pada struktur penting lainnya dan menunjukkan jaringan yang mati (ISTA 2008). Oleh karena itu, seharusnya apabila semua spesifikasi dan

asumsi dalam pengujian dapat diterapkan maka persentase benih viable dalam uji TZ akan sama (dalam batas toleransi) dengan kecambah normal dalam uji DB untuk contoh benih yang sama. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam uji TZ adalah evaluasi pola topografi perwarnaan untuk menentukan benih viable dan non-viable. Melalui studi dari

berbagai literatur dan hasil pelatihan serta komunikasi dengan penyusun ISTA Handbook on TZ test (Prof. Norbert Leist) dan pakar lainnya, maka dilakukanlah percobaan untuk membandingkan antara uji TZ dan uji DB.

TUJUAN
Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperoleh pola topografi pewarnaan yang lebih detil dalam evaluasi uji TZ sehingga benih viable yang diperoleh dari uji ini sesuai dengan definisinya. Diharapkan, apabila data viabilitas benih harus segera diketahui, misalnya

karena benih harus segera didistribusikan, maka dapat dilakukan uji TZ sebagai uji cepat viabilitas benih. Benih kedelai dipilih karena masa berlakunya label sangat pendek (3 bulan), sehingga percepatan durasi pengujian akan mempercepat pula distribusi benih. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 28 tahun 2007 disebutkan pula bahwa uji TZ dapat digunakan sebagai uji viabilitas benih kedelai.

METODE
Percobaan dilakukan dengan membandingkan uji TZ dan uji DB. Setiap pola topografi dalam uji TZ dikelompokkan dan dikategorikan dalam viable atau non viable sesuai dengan literatur. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yaitu varietas yang terdiri dari 2 jenis (varietas Orba dan Anjasmara). Pengujian dilakukan dalam 8 ulangan dengan tolok ukur yang diamati adalah daya berkecambah dan pewarnaan tetrazolium. Ketiga varietas tersebut diiuji kadar airnya kemudian setiap varietas dikemas menjadi 8 kemasan @ 350 gram. Selain uji F dilakukan pula uji T untuk sample berpasangan (t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Uji viabilitas benih kedelai pada varietas Orba dan Anjasmara dengan menggunakan metode uji daya berkecambah (DB) dan uji TZ, menunjukkan hasil yang yang tidak berbeda nyata bila diuji dengan uji F dan uji T (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Uji Viabillitas Benih Kedelai dengan Berbagai Metode Varietas benih/ Pengujian Daya Berkecambah (DB) Tetrazolium (TZ) Nilai P (uji F) Nilai T (uji T) Varietas Orba 91 91 0.709 0.38 Varietas Anjasmara 95 96 0.06 - 2.03

DB: kecambah normal, TZ: viable Nilai F critical (1,14) = 4.6; Nilai T tabel (46, 0.05) = 2.144

Uji TZ pada benih kedelai membutuhkan waktu sekitar 24 jam yang terdiri dari 18 jam pelembaban dan 6 jam pewarnaan. Tidak diperlukan perlakukan pendahuluan sebelum pelembaban dan pewarnaan, benih dilembabkan di antara kertas lembab dan direndam dalam larutan TZ 1% dalam keadaan utuh. Sebelum evaluasi dilakukan, kulit benih dikupas terlebih dahulu. Pengamatan

pertama dilakukan secara keseluruhan pada pewarnaan di bagian luar benih dengan mengamati pola topografi pewarnaan. Daerah esensial pada benih kedelai adalah radikula dan kotiledon. Setelah pengamatan topografi bagian luar benih, maka dilakukan

pengamatan pada bagian dalam benih dengan membuka kotiledon menjadi dua bagian. Benih dikelompokkan dalam kategori viable dan non-viable sesuai dengan pola topografi pewarnaannya dengan form pengamatan seperti dalam Gambar 1. Menurut Spilde (1998), warna merah tua pada hasil uji TZ menunjukkan jaringan yang mulai melemah (hampir mati) dan warna putih (tidak berwarna) menunjukkan jaringan yang mati. Beberapa pola pewarnaan seperti dalam Gambar 2. HASIL UJI TETRAZOLIUM
Jenis Tanaman Varietas Pelembaban Pewarnaan : : : : Mulai Uji Selesai Uji Nama Analis Paraf Analis : : : :

No 1. 2. 3. 4.

Kategori Terwarnai seluruhnya Kerusakan kecil pada kotiledon Kerusakan kecil pada radikula Kerusakan kecil di kotiledon & radikula

1 2 Viable

Ulangan @ ...... 4 5 6

Jml

Jumlah Viable Persentase Non-Viable 5. 6. 7. 8. 9. 10. Sbgan besar kotiledon tidak terwarnai Sbgan besar radikula tidak terwarnai Sbgan besar kotiledon & radikula tidak terwarnai Tidak terwarnai seluruhnya Kerusakan lain (spt busuk) Benih hampa Jumlah Non-Viable Persentase

Gambar 1. Form pengamatan hasil uji tetrazolium yang digunakan analis Benih kedelai dikategorikan viable bila : 1. Terwarnai seluruhnya. 2. Kerusakan kecil (kurang dari 50%) pada kotiledon, tetapi bukan pada bagian penghubung antara kotiledon dan radikula dan bukan pada daerah satu sisi dengan hilum.

3. Kerusakan kecil (kurang dari 50%) pada radikula, tetapi bukan pada bagian ujung atau pada bagian penghubung antara kotiledon dan radikula. 4. Bagian dalam kotiledon berwarna merah atau bergradasi secara teratur dari merah di bagian tepi dan memudar di bagian tengah (suatu kondisi yang wajar akibat berkurangnya penetrasi larutan TZ di bagian dalam). Sedangkan, benih dikategorikan non-viable bila : 1. Tidak terwarnai seluruhnya. 2. Sebagian besar kotiledon tidak terwarnai. 3. Sebagian besar radikula tidak terwarnai. 4. Kerusakan lain (spt busuk). 5. Bagian luar berwarna merah, tetapi bagian dalam kotiledon terlihat adanya batas yang nyata daerah yang tidak terwarnai (spot putih).

Gambar 2. Pewarnaan pada Uji Tetrazolium. Benih viable dengan pewarnaan sempurna (A), benih viable dengan sedikit kerusakan pada kotiledon (B), benih nonviable dengan area tidak terwanai pada daerah sekitar hilum (C dan D), benih non-viable dengan radikula dan ujung yang tidak terwarnai (E dan F) dan bagian dalam yang tidak terwarnai membentuk spot dan busuk (G) Hasil uji TZ tidak selalu sama dengan hasil uji DB. Uji TZ merupakan pengujian yang berbeda dan unik pada benih yang dorman. Dalam ISTA (2008) disebutkan bahwa

pengujian viabilitas dengan uji TZ tidak berhubungan dengan uji DB, tetapi persentase benih
4

viable padal uji TZ akan tidak berbeda nyata dengan persentase kecambah normal pada uji DB hanya apabila : 1. benih tidak dalam keadaan dorman atau mengalami kekerasan benih atau telah dipatahkan dormansinya atau kekerasan benihnya; 2. benih tidak terinfeksi penyakit atau sudah didesinfektan; 3. benih tidak disemprot di lapangan atau diberi perlakuan coating dalam pengolahan atau difumigasi di gudang; 4. benih belum berkecambah; 5. benih belum mengalami deteriorasi lebih lanjut pada saat pengujian DB 6. benih dikecambahkan pada kondisi optimum 7. benih tidak disimpan dalam ruangan yang diberi penghambat perkecambahan (Burg 2008). Dengan banyaknya persyaratan agar hasil uji TZ sama dengan hasil uji DB, maka sebaiknya persentase viable pada uji TZ tidak perlu diterjemahkan atau diinterpretasikan dalam persentase kecambah normal uji DB. Benih viable adalah benih yang memiliki potensi menjadi kecambah normal bila ditumbuhkan pada kondisi lingkungan yang optimum.

KESIMPULAN
Hasil pengujian tetrazolium memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan uji daya berkecambah pada benih kedelai. Persentase benih viable pada uji TZ relatif sama dengan persentase kecambah normal pada uji DB. Evaluasi pola topografi pewarnaan pada benih kedelai tidak hanya melihat luasnya area yang berwarna merah tetapi juga harus memperhatikan bagian esensial benih yaitu radikula dan kotiledon beserta jaringan-jaringan penghubungnya. Selain itu evaluasi tidak hanya pada pola pewarnaan bagian luar benih saja tetapi juga pola pewarnaan di bagian dalam kotiledon benih. Untuk dikategorikan

viable, area yang harus berwarna merah cerah adalah ujung radikula, bagian penghubung antara radikula dan kotiledon, bagian penghubung antara radikula dan hilum, dan bagian dalam kotiledon yang tidak membentuk spot. Dengan pengamatan yang lebih terperinci

maka hasil uji TZ akan tidak berbeda nyata dengan uji DB. DAFTAR PUSTAKA [AOSA] Association of Seed Analyst. 2001. Tetrazolium Testing Handbook. 18. www.ucs.iastate.edu (17 April 2005). Halaman : 17-

Burg JvD. 2008. Tetrazolium Testing dalam Training Manual of HORTSYS Project. Jakarta 17 21 Novemver 2008. Copeland OL, McDonald MB. 1995. Seed Science and Technology. New York : Chapman & Hall,. 408 hal. Departemen Pertanian. 2008. Evaluasi P2BN tahun 2008. Widya Candra, 29 April 2008. Dina. 2006. Uji tetrazolium secara kualitatif dan kuantitatif sebagai tolok ukur vigor benih kedelai (Glycine max L. Merr) serta hubungannya dengan pertumbuhan tanaman dai lapang [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
5

[ISTA] International Seed Testing Association. 2003. ISTA Working Sheets on Tetrazolium Testing. Volume I Agricultural, Vegetable and Hortikultural Species. Zurich : International Seed Testing Association. [ISTA] International Seed Testing Association. 2008. Seed Science and Technology. International Rules for Seed Testing. Zurich: International Seed Testing Association. Pili-Sevilla E. 1987. Germination and tetrazolium testing. Technology 15 : 691 698. J. . Seed Science and

Spilde L. 1998. Laboratory Notes : Seed Viability Testing. Plant Science 330. www.ndsu.nodak.edu/instruct/spilde/ps330_98/viab_lan.html (14 November 2007)

Anda mungkin juga menyukai