Anda di halaman 1dari 15

Presentasi kasus PILIHAN METODE PERSALINAN KEHAMILAN DENGAN RIWAYAT CRANIOTOMI

oleh: dr. Ury Hardiantari Shinta Skenario kasus Seorang G2P1A0, 33 tahun UK: 39 minggu, kiriman bidan dengan keterangan: G2P1A0, hamil 39 munggu inpartu kala I fase aktif dengan riwayat craniotomi 5 bulan yang lalu. Pasien merasa hamil 9 bulan, kenceng-kenceng teratur sudah dirasakan sejak 5 jam yang lalu, gerakan janin masih dirasakan, air kawah belum dirasakan keluar, lendir darah sudah dirasakan keluar. Dari riwayat penyakit dahulu, riwayat hipertensi, sakit jantung, asma alergi, diabetes militus disangkal, Riwayat operasi craniotomi di RS Yarsis bualan juni (saat

kehamilan 4 bulan), dikarenakan perdarahan pada otak. Dari pemeriksaan fisik didapatkan: keadaan umum : baik, compos mentis dengan vital sign: TD:110/70 mmHg, RR:20x/mnt, N: 82x/menit. t: 36,5o C. Mata: conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-. Torak: Cor dan pulmo dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen: supel, NT (-), teraba jainin tunggal, IU, preskep, puka, kepala masuk panggul < 1/3 bagian, HIS: 3x/10 menit/40 detik/kuat, DJJ:12-12-13/1313-12/12-12-13/reguler. Pemeriksaan dalam vagina: VU tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak, mendatar didepan, pembukaan 5 cm, eff:75%, preskep, kepala turun di HII-III, KK (+), penunjuk UUK di jam 11, AK(-), STLD(+) Pemeriksaan USG : Tampak janin tunggal IU, preskep, DJJ (+), TBJ: 2700 gram, Placenta insersi di corpus kiri grade II, AK kesan cukup, Tak tampak jelas kelainan kongenital mayor, Kesan: saat ini janin dalam keadaan baik. LABORATORIUM: Hb: 11,8 Hct:34 AL:9 200

AT:247.000 GDS:97 Ur:9 DIAGNOSIS

AE: 3.48 Alb:3,4 Na/K/Cl:138/2,9/104

PT/APTT:12,0/32,0 Cr:0,4

Sekundigravida hamil aterm dalam persalinan kala I fase aktif persalinan berlangsung 5 jam dengan riwayat craniotomi 5 bulan yang lalu TERAPI Usul SCTP-emergency Lapor staf jaga: acc dx/tx

Permasalahan yang akan dibahas pada kasus ini metode persalinan yang tepat pada kehamilan dengan riwayat craniotomi.

PENDAHULUAN: Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Indikasi dilakukanya kraniotomi adalah: 1). Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan duramater. 2). Subdural hematoma (SDH) adalah suatu perdarahan yang terdapat pada rongga diantara lapisan duramater dengan araknoidea Penyakit cerebrovasculer pada ibu hamil Diperkirakan 5 10 %, kematian ibu karena stroke. Insidens stroke pada kehamilan sangat bervariasi dari 1 per 481 kelahiran sampai 0 / 26.099 lahir hidup. Di Parkland Hospital, 20 % penderita dengan stroke akut meninggal dan 40 % yang hidup dengan defisit neurologis. Dari The maternal Mortality Collaborative Report dilaporkan dari 601 kematian ibu dari tahun 1980 1985, 8,5 % diakibatkan oleh stroke. Angka kematian stroke iskemik dengan kehamilan adalah 30 % dibanding dengan kelompok stroke tanpa kehamilan hanya 10 %.
STROKE ISKEMIK

Oklusi arteri akuta terjadi pad 60 80 % stroke iskemik dalam periode kehamilan dan post partum. Stroke iskemik lebih sering terjadi pada trimester kedua, ketiga dan minggu pertama post partum, sebaliknya trombosis vena lebih sering pada awal postpartum. Faktor risiko untuk iskemik stroke meliputi hipertensi, diabetes mellitus, dan hiperlipidemia. Penyebab dari stroke iskemik belum dimengerti secara utuh, tetapi stroke iskemik dalam kehamilan dikaitkan dengan hiperkoagubilitas dan antibodi antiphospholipid diduga sebagai faktor yang turut berperan. Oklusi arteri serebral akuta berhubungan dengan arteriopati, kelainan darah emboli kardiogenik dari sumber nonkardiak dan kondisi lain seperti narkoba dan migren, kadang-kadang penyebabnya tidak diketahui. Hipotensi berat yang terjadi secara tiba tiba dapat menyebabkan stroke iskemik pada area watershed otak. Hal ini dapat juga menyebabkan nekrosis hipofise akut (Sheehans Syndrome), kadang kadang penyebabnya tidak diketahui. Trombosis vena serebral lebih sering pada masa nifas. Trombosis sinus sagitalis yang meluas secara sekunder ke vena kortikal dan trombosis primer pada vena kortikal merupakan bagian yang paling sering terjadi. Secara klinis sindroma trombosis vena timbul dengan nyeri kepala yang progressif disertai mual dan muntah, gangguan penglihatan, dan gangguan mental sekunder akibat tekanan intrakranial yang meningkat. Kejang fokal atau umum dapat terjadi. Infark vena cendrung mengalami perdarahan. Penyakit yang berpredisposisi pada
3

keadaan ini adalah polisitemia vera, kanker, leukemia, dehidrasi dan anemia cell sickle. Angka kematian trombosis vena serebral diperkirakan 25 %.
PENANGANAN

Antenatal, persalinan, pasca persalinan Adanya defisit neurologik fokal pada wanita hamil, yang bersifat sementara (< 24 jam) atau menetap, seharusnya memperkuat dugaan adanya iskemia serebral. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dapat memberikan informasi yang cukup untuk menegakkan diagnosis.2 Pencitraan (imaging) untuk menilai keadaan otak bukan merupakan suatu kontraindikasi. 2,3 Pemeriksaan darah termasuk hitung jenis, trombosit, elektrolit, glukosa serum, blood urea nitrogen, antikoagulan lupus dan antibodi antikardiolipin, faktor reumatik, VDRL dan pemeriksaan HIV harus dilakukan. Pemeriksaan darah lainnya seperti protein C dan S dan antitrombin, resistensi protein C aktif dan polymerase chain reaction untuk faktor V Leiden, bersama-sama dengan protein serum dan elektroporesis darah, juga dianjurkan. Pemeriksaan toksikologi urin dan darah juga harus dilakukan. Jika diduga penyebabnya berasal dari jantung, EKG, echocardiogram, monitor holter dan pemeriksaan tombosis venosus profunda diindikasikan. Pemeriksaan pungsi lumbal juga direkomendasikan. Jika etiologi tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan angiografi serebral.2 Pemberian antikoagulan baik berupa profilaktik ataupun terapeutik dibutuhkan pada keadaan-keadaan trombosis dan emboli. Bila diperlukan, heparin merupakan obat pilihan. Pilihan lain adalah warfarin, tetapi menimbulkan efek samping berupa embryopathy pada trimester pertama dan potensial untuk perdarahan janin. Heparin tidak melewati sawar plasenta dan kerjanya lebih singkat daripada warfarin.2 Pemberian warfarin bila heparin tidak memungkinkan adalah pada usia kehamilan 12 36 minggu, tetapi dengan konseling yang hati-hati.6 Penurunan risiko terhadap janin membuat penanganan peripatum menjadi lebih mudah dan lebih dapat diramalkan. Komplikasi dari pemberian heparin selain perdarahan adalah trombositopenia dan osteopeni.2,5,6 Dosis profilaktik untuk heparin cenderung meningkat selama kehamilan dan makin meningkat sehubungan dengan peningkatan usia kehamilan. Dosis tipikal adalah 7500 10.000 IU/ml subkutan tiap 12 jam, untuk mencapai kadar heparin plasma 0,2 0,4 Iu/mL atau partial thromboplastin time aktivasi (aPTT) rasio 1,5 kali dari nilai kontrol 6 jam setelah pemberian. Untuk profilaksis, Toglia dan Weg menganjurkan regimen yang sama sebab
4

hiperkoagulopati yang dihubungkan dengan kehamilan adalah 7500 10.000 IU 2 kali sehari untuk mencapai kadar heparin plasma dalam 6 jam adalah 0,1 0,2 IU/mL. 2,6 Pemeriksaan faktor anti-Xa merupakan alternatif untuk mengawasi pengobatan. Heparin harus dihentikan pada saat persalinan mulai, walaupun bukan merupakan suatu hal yang mutlak. Anestesia spinal dan epidural aman diberikan jika aPTT normal dan heparin sudah diihentikan 4 6 jam sebelumnya. 6 Akhir-akhir ini heparin dengan molekul berat rendah (LMWH) dipertimbangkan. 1,2,6 LMWH memberikan efek antitrombotik dengan menghambat faktor Xa. Efektif dalam mencegah dan mengatasi trombosis, dan tampaknya memiliki risiko yang kecil terhadap janin dan neonatal karena tidak melewati sawar plasenta. Risiko perdarahan juga kecil, walaupun diberikan selama dan setelah persalinan. Keuntungannya termasuk durasi kerja yang lebih lama, lebih memberikan efek antitrombotik dan diduga menurunkan risiko trombositopenia dan osteopenia. Data awal penggunaan selama kehamilan diduga aman dan efektif untuk mencegah komplikasi trombotik serebral. 6 Pengobatan stroke iskemia akut dengan heparin molekul rendah manfaatnya belum jelas. Penderita dengan trobofilia herediter membutuhkan antikogulan sebelum kehamilan dan memerlukan dosis terapeutik sebelum konsepsi atau bila kehamilan sudah ditegakkan.2,6 Pengobatan yang optimal untuk resistensi protein C aktif sampai saat ini belum diketahui. Heparin dapat digunakan dengan dosis profilaksis. Pengobatan yang optimal untuk sindrom antifosfolipid antibodi sampai saat ini masih diteliti. Bebarapa penulis merekomendasikan penggunaan aspirin dosis rendah (60-80 mg/hari) dan heparin selama kehamilan. Penggunanaan kotikosteroid, imunosupresi atau plasma exchange, gamma globulin intravena tidak direkomendasikan. Penderita kardiomiopati atau atrium fibrilasi dapat diberikan heparin dengan dosis profilaktik ataupun terapeutik. Terapi trombolitik untuk stoke iskemia akut diindikasikan secara hati-hati. Efek penggunaanya pada kehamilan dan pada saat menyusui belum diketahui.2 Pemberian aspirin dosis rendah menurunkan aktivitas penghambat plasminogen dan reaktivitas trombosit selama kehamilan dan masa nifas. Beberapa penelitian penggunaan aspirin 60 mg perhari selama kehamilan, secara umum ditemukan aman, walaupun terdapat peningkatan insidens solusio plasenta.6
STROKE HEMORAGIK

Stroke hemoragik terdiri dari perdarahan intra serebral (PIS) dan perdarahan sub arahknoid (PSA). PSA dilaporkan sebagai penyebab kematian ibu non obstetrik nomor tiga paling sering. PSA dapat disebabkan oleh rupturr aneurisma, AVM, eklampsia atau pemakai
5

kokain. PIS dapat terjadi akibat eklampsia, hipertensi yang tidak berhubungan dengan eklampsia, ruktur AVM, thrombosis vena serebral, vaskulitis dan choriocarcinomo. Aneurisme serebral sering ditemukan pada cabang-cabang utama arteri carotis interna. Diperkirakan 1 % perempuan umur reproduksi mempunyai aneurisme serebral, kemungkinan ruptur dihubungkan dengan ukuran aneurisme. Secara klinis gambaran khas dari ruptur aneurisme serebral adalah sakit kepala yang hebat, muntah, meningismus, photofobia, perubahan status mental sampai dengan koma. Koma merupakan tanda prognostik buruk. Sebanyak 50 % mengalami perdarahan yang ringan / sentinel yang terjadi beberapa minggu atau beberapa bulan sebelumnya. Risiko ruptur aneurisme selama kehamilan, pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa kehamilan mempunyai sedikit atau tidak ada efek pada insidens ruptur. Penelitian lain melaporkan bahwa risiko ruptur lima kali lebih banyak daripada penderita tidak hamil. Risiko terjadinya PSA pada kehamilan 85 % berbanding 10% pada kelompok tidak hamil, dan AVM sebagai penyebab perdarahan 50% pada kehamilan dan 10 % pada penderita tidak hamil. AVM cenderung ruptur pada kehamilan 20 minggu 6 minggu postpartum. Perdarahan oleh karena AVM selama kehamilan menyebabkan 20 % angka kematian dibanding 10 % pada penderita yang tidak hamil. Angka kematian keseluruhan penderita ruktur aneurisme 35 %. Dimana hampir sama dengan yang tidak hamil. Penting untuk membedakan eklampsia dengan perdarahan serebral dan ruptur aneurisme dan AVM karena penanganan berbeda.
PENANGANAN

Antenatal Kadang-kadang, sub arachnoid hemorhagic (SAH) sulit dibedakan dengan eklampsia, sehingga sering menyebabkan keterlambatan diagnosis dan lebih memperburuk hasil luaran. Adanya kelainan neurologis pada ibu hamil harus diperiksa dengan seksama. CT scan otak, pungsi lumbal (jika perlu) dan angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan. CT scan dapat menentukan lokasi dan tipe perdarahan dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Jika gambaran CT scan normal, pungsi lumbal dapat dilakukan untuk melihat adanya darah atau xanthochromia. Cairan serospinal yang mengandung darah mendukung diagnosis SAH, tapi dapat pula ditemukan pada keadaan lain seperti eklampsia. Angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang terbaik dalam menentukan adanya abnormalitas vaskuler. Angiografi saja mungkin saja dapat gagal menemukan adanya penyebab SAH pada

20% kasus, dan pada keadaan ini pemeriksaan perlu diulang untuk menghilangkan falsenegatif. MRI dapat membantu untuk mengidentifikasi lesi.2 Penanganan SAH didasarkan pada prinsip-prinsip neurologik dengan hanya sedikit perubahan selama kehamilan. Tujuan utama adalah mencegah dan mengobati komplikasi neurologis. Pemotongan aneurisma yang lebih awal (<4 hari) sekarang ini dianjurkan pada penderita post SAH yang sadar. Perbaikan hasil luaran janin dan ibu telah diperlihatkan pada intervensi awal dengan pembedahan pada penderita yang hamil.2 Penderita dengan defisit neurologis yang bermakna, kurang memungkinkan untuk dilakukan operasi pemotongan aneurisma sebab dapat meningkatkan mortalitas. Sejumlah pasien memerlukan terapi medikamentosa sampai keadaan membaik.2 Waktu yang tepat untuk melakukan reseksi AVM lebih kontroversial disebabkan karena jumlah kasus yang kecil. Alternatif lain yang lebih dapat diterima adalah melakukan embolisasi dari AVM dibawah kontrol angiografi.2 Terdapat dua pengobatan intraoperatif yaitu hipotensi dan hipotermi yang umum dilakukan untuk mengurangi komplikasi. Hipotensi dilakukan untuk menurunkan risiko ruptur aneurisma selama pembedahan. Walaupun hipotensi maternal mrupakan ancaman bagi janin, tetapi hal ini berhasil dengan pemberian sodium nitroprusside atau isoflurane pada sejumlah kasus. Berdasarkan penelitian, pemberian sodium nitroprusside dapat memberikan efek toksik sianida terhadap janin, sehingga pada pembedahan pemberian tidak melebihi 10 g/kg/min. Efek hipotensi ibu terhadap janin harus dievaluasi dengan electronic fetal hearth monitoring. Bila terjadi perubahan yang merugikan pada aktivitas jantung menunjukkan bahwa dibutuhkan tindakan untuk menaikkan tekanan darah ibu. Banyak obat-obat anestesia yang dapat menurunkan aktivitas jantung, oleh karena itu menyulitkan interpretasi fetal hearth monitoring. Hiperventilasi yang berlebihan selanjutnya menurunkan aliran darah uterus selama pemberian sodium nitroprusside dan harus dihindari. Oleh karena risiko terhadap janin, beberapa penulis menganjurkan seksio sesarea sebelum pembedahan jika janin sudah matur.2 Hipotermi dilakukan selama operasi aneurisme dimaksudkan untuk melindungi otak dari iskemia yang disebabkan oleh ruptur aneurisma, luka retraksi atau hipotensi. Stange dan Halldin menganjurkan hipotermi karena dapat ditoleransi dengan baik oleh ibu dan janin. Walaupun demikian penanganan dengan hipotermi dan hipotensi masih kontroversi.2 Terapi medikamentosa untuk SAH ditujukan untuk mengurangi risiko perdarahan ulang dan iskemia serebral yang disebabkan oleh vasospasme. Pasien ditempatkan pada ruangan yang gelap dan tenang. Diberikan pelunak feses, sedatif dan analgesia. Nimodipin
7

suatu dihydropyridine calcium channel blocker sering diberikan dan memperlihatkan perbaikan neurologik. Namun dianjurkan untuk berhati-hati pada pemberian untuk wanita hamil, karena keamanannya belum sepenuhnya diakui.2 -Aminocaproic acid (EACA) dan tranexamic acid digunakan untuk menghambat aktivasi plasminogen, suatu prekursor plasmin protein fibrinolitik utama dan menurunkan insiden perdarahan ulang. Tetapi pada penelitian klinik, tidak menunjukkan adanya perbaikan dalam mengurangi perdarahan ulang. Dan karena kurangnya keuntungan yang dapat diperoleh dan dapat mempengaruhi fibrinolisis janin yang dapat dihubungkan dengan perkembangan hyalin membrane disease, sehingga tidak digunakan lagi saat ini.2 Glukokortikoid yang paten seperti deksametason digunakan secara luas untuk mengobati edema serebral dan iskemia. Dukungan pada penggunaannya tidak hanya berdasarkan hasil penelitian, tetapi juga dari perbaikan klinis penderita tumor otak. 2 Edema serebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraserebral, sehingga harus diawasi. Jika terdapat peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh edema serebri, pemberian manitol suatu diuretik osmotik dapat dilakukan. Pemberiannya sekitar 12,5-50 gr secara intravena, diperlukan untuk tetap mempertahankan tekanan intrakranial dibawah 20 mmHg.2 Persalinan Pada penderita yang berhasil dilakukan perbaikan terhadap aneursima atau AVM, diajurkan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesarea. Jika AVM menjadi penyebab dari SAH, dianjurkan untuk melakukan sterilisasi.2

Searching evidance Pencarian data evidance base medicine dilakukan melalui sistemic reviw secara elektronik. Kata kunci yang digunakan adalah neurosurgery AND pregnancy Evidance

1. NEUROSURGICAL PROCEDURES IN PREGNANCY: Cirak B, Kiymaz N,


Kerman M, Tahta K. Neurosurgical procedures in pregnancy. Acta Cir Bras [serial online] 2003 Jan-Feb;18. Available from URL: http://www.scielo.br/acb. Suatu studi retrospektif yang bertujuan untuk mengevaluasi temuan radiologis, prosedur operasi cranial dan pengaruh persalinan terhadap ibu hamil dengan riwayat pembedahan neurologis. Penelitian dilakukan pada 9 pasien dengan kelainan saraf pusat yang dilakukan pembedahan serta metode persalinan dan pengaruhnya. Hasil utama yang diamati adalah komplikasi persalinan SC dengan persalinan pervaginam pada wanita hamil yang memiliki kelainan saraf pusat dan menjalani pembedahan. Hasil studi seperti pada tabel dibawah ini: Sebagian besar pasien menjalani persalinan pervaginam (5 kasus) dan 4 kasus menjalani seksiso sesarea. Outcome maternal umumnya tergantung dari penyebab kelainan neurologisnya. SC pada penelitian ini dilakukan atas indikasi adanya kontra indikasi umtuk mengedan pada ibu hamil karena berisiko terjadi peningkatan ekanan intra cranial (kasus Arteri Venous Malformation (AVM), sub aracnoid hemorhagic (SAH) dan intra cranial hemorhagik (ICH). Persalinan pervaginam masih direkomendasikan pada kasus pasca neurosurgical yang tidak berisiko terjadi peningkatan tekanan intra kranial, dan untuk menghindarinya kala II umumnya dipercepat dan diperingan dengan ekstraksi forcep. Pada penelitian ini, persalinan pervaginam dengan ekstraksi forcep menghasilkan outcome yang baik.

CRITICAL APPRAISAL: 1. VALIDITAS INTERNAL: A. Rekruitment : subjek diambil dari kasus kehamilan dengan riwayat operasi saraf pusat, dimana selama periode penelitian didapatkan 9 kasus wanita hamil dengan riwayat operasi saraf pusat. B. Alokasi : sampel penelitian dievaluasi secara retrospoctive mengenai pengaruh outcome maternal dihubungkan dengan riwayat operasi saraf pusat dan metode persalinan.
10

C. Maintenence : subyek dievaluasi dan diamati secara retrospective berdasarkan rekam medis mengenai komplikasi maternal yang berhubungan dengan riwayat operasi SSP dihubungkan dengan metode persalinan. D. Measurement/Pengukuran Binding/penyamaran : Pada penelitian ini subyek tidak dilakukan secara blinding karena kriteria sample dan kriteria hasil memiliki kriteria yang jelas. E. Objectivitas : pengukuran hasil sesuai dengan hasil pengamatan yang didapatkan dan dilakukan secara obyektive. F. Overall : penelitian ini memiliki kekurangan karena jumlah sampel yang terlalu kecil sehingga tidak menggambarkan hasil yang sebenarnya. G. Hasil : hasil belum dapat disimpulkan bermakna secara statistik karena sampel yang terlalu sedikit, namun dari hasil diatas, komplikasi maternal pada ibu hamil dengan riwayat operasi SSP dihubungkan dengan metode persalinan sangat tergantung penyakit yang mendasarinya. H. Kesimpulan : persalinan pervaginam masih memiliki tempat sebagai pilihan persalina pada ibu hamil dengan riwayat operasi SSP. 2. PICO: P: wanita hamil dengan riwayat operasi SSP. I: persalinan pervaginam C: seksio cesarea O: komplikasi metrnal 3. VALIDITAS PENELITIAN A. Apakah pada penelitian ini kriteria populasi didefinisiskan secara jelas? B. Apakah dilakukan follow up jangka panjang yang memadai pada populasi penelitian? C. Apakah kriteria hasil dari penelitin diterapkan secara blind? D. Jika sub kelompok dengan prognosis yang berbeda diidentifikasi, apakah ada penyesuaian untuk faktor prognostik penting? E. Apakah ada validasi dalam kelompok independen dari pasien? TIDAK TIDAK YA TIDAK YA

11

4. Manfaat penelitian/ tingkat kepentingan penelitian A. Apakah hasil penelitian ini dapat untuk memperkirakan prognosis selanjutnya? B. Apakah penelitian ini memiliki karakteristik sama dengan di daerah kita dan bisa diterapkan? YA YA

5. Kesimpulan Jurnal: Tidak Valid, Penting dan dapat diterapkan

12

REFERENCES
1. Naidoo K, Bhigjee Al. Multiple cerebellar haemangioblastomas symptomatic during pregnancy. Br J Neurosurg 1998;12:281-5. 2. Rosen MA. Anesthesia for neurosurgery during pregnancy. In: Shnider SM, Levinson G. Anesthesia for obstetrics. Baltimore: Williams and Wilkins; 1993. p. 551-61. 3. Magyar DM, Marshall JR. Pituitary tumors and pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1978;132:739-51. 4. Maniker AH, Krieger AJ. Rapid recurrence of craniopharyngioma during pregnancy with recovery of vision: a case report. Surg Neurol 1996;45:324-7. 5. Molins GN, Gargallo LMC, Castells AMV, Rubival AM, Segovia VD. Anesthesia for brain tumor surgery during pregnancy: presentation of a case. Rev Esp Anestesiol Reanim 1990;37:291-3. 6. Soutoul JH, Gouaze A, Gallier J, Santini JJ. Neurosurgery and pregnancy. Rev Fr Gynecol Obstet 1971;66:603-18. 7. Soutoul JH, Galler J, Gouaze A, Santini JJ. Neurosurgery in pregnancy: problems raised by exploratiosns, medical treatments, anesthesia and resuscitation. J Gynecol Obstet Boil Reprod 1972;1:33-46. 8. Cannell DE, Botterell EH. Subarachnoid hemorrhage and pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1956;72:844-55. 9. Cast MJ, Grubb RL, Strickler RC. Maternal hydrocephalus and pregnancy. Obstet Gynecol 1983;62:29-31. 10. D'Haese J, Christiaensens F, D'Haens J, Camu F. Combined cesarean section and clipping of a ruptured cerebral aneurysm: a case report. J Neurosurg Anesthesiol 1997;9:341-5. 11. Feigenbaum SL, Martin MC, Wilson CB, Jaffe RB. Lymphocytic adenohypophysitis: a pituitary mass lesion occurring in the pregnancy: proposal for medical treatment. Am J Obstet Gynecol 1991;164:1549-55.
13

12. Cusimano MD, Meffe FM, Gentili F, Sermer M. Ventriculoperitoneal shunt malfunction during pregnancy. Neurosurgery 1990;27:969-71. 13. Fujita K, Tsunoda H, Shigemitsu S, Kubo T. Clinical study on the intracranial arteriovenous malformation associated with pregnancy. Nippo sanka Fujinka Zasshi 1995;47:1359-65. 14. Kasarkis EJ, Tibbs PA, Lee C. Cerebellar hemangioblastoma symptomatic during pregnancy. Neurosurgery 1988;22:770-2. 15. Sharsar T, Lamy C, Mas JL. Incidence and causes of strokes associated with pregnancy and puerperium: a study in public hospitals of le De France. Stroke in pregnancy study group. Stroke 1995;26:930-6. 16. Rish BL. Treatment of intracranial aneurysms associated with other entities. South Med J 1978;71:553-7. 17. Dias MS, Sekhar LN. Intracranial hemorrhage from aneurysms and arteriovenous malformations during pregnancy and puerperium. Neurosurgery 1990;27:855-66. 18. Lin TK, Chang CN, Wai YY. Spontaneous intracerebral hematoma from occult carotidcavernous fistula during pregnancy and puerperium: case report. J Neurosurg 1992;76:7147. 19. Goldberg M, Rappaport ZH. Neurosurgical, obstetric and endocrine aspects of meningioma during pregnancy. Isr J Med Sci 1987;23:825-8. 20. Wilson F, Sedzimir CB. Hypothermia and hypotension during cranioyomy in a pregnant woman. Lancet 1959;2:947-9. 21. Matsuki A, Oyama T. Operation under hypothermia in pregnant woman with an intracranial arteriovenous malformation. Can Anaesth Soc J1972;19:184-91. 22. Pevehouse BC, Boldrey E. Hypothermia and hypotension for intracranial surgery during pregnancy. Am J Surg 1960;100:633-4.

14

23. Solomon RA, Fink ME, Lennihan L. Early aneurysm surgery and prophylactic hypervolemic hypertensive therapy for the treatment of aneurismal subarachnoid hemorrhage. Neurosurgery 1988;23:699-704.

15

Anda mungkin juga menyukai