Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa . Hak asasi manusia meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Demikianlah rumusan hak asasi manusia sebagaimana tertuang pada pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia vide Tap MPR No.XVII/MPR/1998 .Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia yang isinya dikutip di atas dibuat di di tahun yang sama ketika pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah air. Kerusuhan 13-15 Mei 1998 meletus di beberapa kota. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Pada tanggal 13-14 November 1998 terjadi pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini dikenal sebagai tragedi Semanggi I . Prahara pada tahun 1998 tersebut menjadi peristiwa bersejarah yang membawa Indonesia pada babak baru perjalanan bangsa. Peristiwa ini tak dapat dipisahkan dari rangkaian krisis moneter yang telah berlangsung sejak juli 1997 yang dimulai dari Thailand dan menyebar kebeberapa negara lain termasuk di Indonesia dan Korea Selatan. Penjarahan dan pembakaran berbagai fasilitas umum terjadi dimana-mana. Pembunuhan yang disertai tindakan yang biadab seperti pemerkosaan terhadap etnis tertentu terjadi diberbagai daerah. Keadaan di ibukota negara Jakarta mencekam begitu juga yang terjadi di daerahdaerah seluruh Indonesia. Salah satu tuntutan yang kemudian muncul pada saat itu adalah turunkan Soeharto dan adili para kroni-kroninya yang dianggap telah bersalah kepada rakyat. Kerusuhan yang berlangsung beberapa hari tersebut telah banyak memakan korban jiwa dan materi. Bila dibandingkan dengan kerusuhan-kerusuhan sebelumnya kerusuhan Mei 1998 merupakan kerusuhan terburuk yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam kerusuhan tersebut, menurut TPGF, korban meninggal sebanyak 1.217 orang, luka-luka 91 orang, dan hilang 31 orang . untuk menghindari adanya korban jiwa dan materi yang semakin banyak, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 Presiden Soeharto membacakan pidato tentang pengunduran dirinya dan secara konstitusional memberikan jabatan presiden kepada Wakil Presiden BJ Habibie untuk melanjutkan tampuk kekuasaan di Indonesia. Dari pemerintahan Presiden Habibie inilah kemudian reformasi digulirkan dengan agenda-agenda perbaikan di berbagai bidang kehidupan beebangsa baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan maupun pertahanan dan keamanan. Masa pemerintahan Presiden BJ Habibie menjadi titik tonggak dimulainya reformasi. Reformasi tersebut menggenggam agenda besar untuk mengembalikan hak-hak rakyat yang telah lama dirampas pada masa Orde Baru. 1

Salah satu agenda utama reformasi adalah penegakkan HAM, yang meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan. Dalam agenda itulah reformasi digulirkan hingga saat ini . B. Tujuan Makalah Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui contoh contoh pelanggaran HAM yang terjadi di masa kemerdekaan sampai sekarang

BAB II PEMBAHASAN A. Pelanggaran HAM Pelanggaran HAM adalah sesuatu hal yang merugikan dan memandang rendah martabat seorang manusia.Saat orang sudah lahir, secara otomatis dia akan mendapat HAM. HAM ini berisikan untuk menghormati sesama. Biasanya orang orang yang melakukan pelanggaran HAM ini punya 3 aspek, yaitu: 1. 2. 3. Sadar (aspek ini biasanya dikarenakan iri, dendam, dll) Tidak sadar( contohnya berkata2 yang menyakitkan tanpa disadari) Tidak sadar tapi tahu(aspek ini biasanya dikarenakan dendam yang terpendam dan dia mengkonsumsi barang yang membuatnya kehilangan kesadaran diri) Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. B. Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) 1. Masa Kemerdekaan Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI. Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. Anggaplah kasus ini selesai, jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S. Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara. Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965. Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39 artikel 3

yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang. Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. Mereka menggunakan alat pisau atau golok, urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya, Kejadian itu biasanya malam. Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun. Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan masyarakat geram. Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa. Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan. Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. Atau militer setidaknya memberi contoh, ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian. Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah, secara tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini. Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan 4

masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup. Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan. Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. saya pernah mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh. Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan perintah yang berwajib. Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, Apakah Anda menyimpan dendam? Sang anak menjawab, Semula Ya. Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang. Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya. Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya. Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.
2. Beberapa Pelanggaran HAM pada Masa Reformasi

Sekalipun terdapat berbagai pembenahan, di masa reformasi masih terjadi banyak pelanggaran HAM. Dalam beberapa hal, HAM sudah cukup ditegakkan. Tetapi dalam beberapa hal lain, pelanggaran HAM justru semakin marak setelah masa reformasi berlangsung. Berikut ini adalah beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa reformasi. a. Kebijakan Yang Anti Rakyat Miskin Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi sosial dan budaya, kinerja pemerintah sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik di lembaga eksekutif termasuk aparat penegak hukum maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan utama bagi pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak asasi manusia, dan lemahnya komitmen untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak telah berdampak pada meluasnya pelanggaran HAM, khususnya terhadap warga yang lemah secara ekonomi, sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar yang pro-modal 5

kuat yang telah membawa dua dampak di bidang aturan hukum/perundangan. Pertama, aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum miskin; Kedua, diabaikannya/ tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara substansial berpihak pada kelompok miskin b. Meningkatnya Pengangguran dan Masalah Perburuhan Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga 2006, paling tidak ada tiga perundang-undangan yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika perburuhan. Perundang-undangan itu adalah UUNo 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun 2003, dan UU No. 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga Undang-undang itu kemudian menjadi roh sistem perburuhan di Indonesia. Melalui UU No 13 tahun 2003, pemerintah mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja dengan mengurangi perlindungan terhadap buruh. Tingkat upah yang tinggi di Indonesia sering dipandang membebani kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya tersebut ditekan.Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, justru PHK massa dilegalkan. Akibat PHK tersebut, ribuan buruh ikut menambah jumlah pengangguran. Berdasarkan survey yang dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,6 juta oarang atau 10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi 700.000 dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada Februari 2006 angka pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara itu, pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti tetap masih tinggi yaitu sekitar 10,55 juta dengan tingkat pengangguran terbukamencapai 9,75%. Hingga pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari seluruh kasus tersebut mencapai sekitar 500 milyar rupiah. Salah satu di antaranya adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Selama kasus belum terselesaikan, agar tetap hidup, puluhan ribu buruh tersebut kemudian bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada tahun 2007 buruh kembali diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut. Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). Singkatnya, paket-paket RPP tersebut mengandung arti melestarikan sistem kontrak dan outsorcing dan

mempertegas pelegalan PHK. Dengan demikian perjuangan kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan semakin jauh dari realitas. c. Terabaikannya hak-hak dasar rakyat Rubrik Fokus dalam Harian Kompas membuat deskripsi secara detail mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di negeri ini . Ulasan Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa malu! Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pendapatan,dan berbagai indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah. Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat faktor ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses masyarakat miskin ke pangan. Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak beres dengan kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.

BAB III KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat di buat kesimpulan bahwa: 1. HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM. 2. Pelanggaran HAM adalah sesuatu hal yang merugikan dan memandang rendah martabat seorang manusia. 3. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik.

DAFATAR PUSTAKA Kaelan, 2010, PENDIDIKAN PANCASILA. Edisi reformasi, PARADIGMA, 2010 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/367132-lagi--tki-diperkosa-di-malaysia http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia http://deniphantom.blogspot.com/2012/11/mengenai-pasal-31-uud45.html

Anda mungkin juga menyukai