Anda di halaman 1dari 9

Ascariasis, Respons IgE dan Upaya Penanggulangannya

oleh Yohandromeda Syamsu Program Studi Imunologi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga

1. PENDAHULUAN Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi cacing (Moersintowarti, 1992). Penyakit karena protozoa dan cacing mengenai jutaan masyarakat. Antibodi biasanya efektif terhadap bentuk yang ditularkan melalui darah. Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi cacing dan dapat menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh sel mastoid (Roitt, 2002). Kebanyakan parasit cenderung menyebabkan supresi imunologik nonspesifik pejamu. Antigen parasit yang bertahan menahun menyebabkan kerusakan jaringan imunopatologik seperti kompleks imun pada sindroma nefrotik, granulomatosa hati dan lesi autoimun pada jantung. Imunosupresi umum meningkatkan kepekaan terhadap infeksi bakteri dan virus (Roitt, 2002). Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau lebih dikenal dengan cacing gelang yang penularannya dengan perantaraan tanah (Soil Transmited Helminths). Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini disebut

Dalam tubuh sendiri, infeksi cacing Ascaris menimbulkan banyak gejala klinik, dimulai dengan rasa mual pada saluran pencernaan sampai ditemukan gejala diare. Infeksi inipun menimbulkan respon imunitas tubuh dengan produksi Imunoglobulin jenis E (IgE) dalam jumlah besar. Timbulnya gejala klinis dan respon berlebihan sel sistem imun dengan produksi IgE akibat infestasi cacing Ascaris di usus sampai saat ini belum diketahui secara luas hubungannya. Hal ini menyebabkan peneliti berkeinginan menelusuri hubungan antara ascariasis dan respon IgE ini melalui penelitian ilmiah. Bertolak dari fakta-fakta diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana hubungan antara ascariasis dan respon IgE. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengungkap hubungan antara kejadian askariasis dan timbulnya respons IgE dalam tubuh. Penulisan ini diharapkan mampu memberikan bahan diskusi dalam membahas hal-hal yang belum jelas dalam bidang imuno-parasitologi, yang dewasa ini berkembang cukup pesat.

2. ASCARIASIS Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya bersarang dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan.

Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruh dunia, lebih banyak di temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa daerah tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 10 tahun sebagai host (penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi (Haryanti, E, 1993). Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karena aktivitas otot-otot ini. Jika otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat antelmintik, cacing akan dikeluarkan dengan pergerakan peristaltik normal. Tantular, K (1980) yang dikutip oleh Moersintowarti. (1992) mengemukakan bahwa 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa didalam usus manusia mampu mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap hari. Dari hal tersebut dapat diperkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi).

3. Ascaris lumbricoides 3.1 Morfologi Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 -35 cm dan memiliki lebar 3 6 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan panjangnya 12 -13 cm dan lebarnya 2 -4 mm, juga mempunyai warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral.

Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan (Soedarto, 1991). Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang berdampingan dengan hipodermis dan menonjol kedalam rongga badan sebagai korda lateral. Sel otot somatik besar dan panjang dan terletak di hipodermis; gambaran histologinya merupakan sifat tipe polymyarincoelomyarin. Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung didalam rongga badan, cacing jantan mempunyai dua buah spekulum yang dapat keluar dari kloaka dan pada cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah, bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi. Telur yang di buahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 60-70 x 30-50 mikron. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi suatu membran vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu tahun. Di sekitar membran ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh lapisan albuminoid yang permukaanya tidak teratur atau berdungkul (mamillation). Lapisan albuminoid ini kadang-kadang dilepaskan atau hilang oleh zat kimia yang menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated). Didalam rongga usus, telur memperoleh warna kecoklatan dari pigmen empedu. Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) berada dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong dan mempunyai ukuran 88-94 x 40-44 mikron, memiliki dinding yang tipis, berwarna coklat dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur.

3.2 Siklus Hidup Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari. Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke osepagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglottis masuk kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus pphalus bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan. Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan 200.000 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif. Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup bertahuntahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak terkena infeksi secara terusmenerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang

lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimanamana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila makanan atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.

Fig 1. Life

Circle of Ascaris

lumbricoides. Adult worms

, depending to several weeks on the , the , invade environme larvae the warm, shaded soil).ntal After infective eggs arehatch swallowed intestinal conditions mucosa, . Between 2 and 3(optimum: months are required from ingestion of the and are . The moist, larvae carried via infective eggs to oviposition by the adult female. Adult worms the portal, mature then further in can live 1 to 2 years. systemic . Upon the lungs circulation (10 to 14 reaching to the days), the small 3.3 Caraintestine, lungs penetrate penularan the they alveolar Penularan Ascariasis dapat terjadi melalui bebrapa jalan develop into adult walls, yaitu ascend the masuknya telur yang infektif kedalammulut bersama worms bronchial makanan atau minumantree to the yang tercemar, tertelan telur melalui tangan yang kotor throat, and dan terhirupnya telurare infektif bersama debu udara dimana telur infektif swallowed tersebut akan menetas pada saluran pernapasan bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah dan memasuki aliran darah (Soedarto, 1991).

4. ASPEK KLINIS Kelianan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang kena infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar (hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi, selain itu cacing itu sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan . Unfertilize d eggs may be ingested but are not infective. Fertile eggs embryonat e and become infective after 18 days live in the lumen of the small intestine. A female may produce approxima tely 200,000 eggs per day, which are passed with the feces

tanda alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas. Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik seperti obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi cacing ke organ-organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung dan bronkus dapat menyumbat pernapasan penderita. Ada kalanya askariasis menimbulkan manifestasi berat dan gawat dalam beberapa keadaan sebagai berikut : 1 Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang menyumbat rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.

2 Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam apendiks, saluran empedu (duktus choledocus) dan ductus pankreatikus.
Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat disusul kolangitis supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi karena desintegrasi cacing yang terjebak dan infeksi sekunder. Desintegrasi betina menyebabkan dilepaskannya telur dalam jumlah yang besar yang dapat dikenali dalam pemeriksaan histologi. Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing dewasa dalam tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dengan bentuk yang khas dapat dijumpai dalam tinja atau didalam cairan empedu penderita melalui pemeriksaan mikroskopik (Soedarto, 1991).

5. EPIDEMIOLOGI ASCARIASIS Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun

mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides. Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi lingkungan sekitarnya. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik (Brown dan Harold, 1983). Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23 C sampai 30 C. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk
0 0

perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai