Anda di halaman 1dari 75

STANDAR PELAYANAN MEDIK

SMF ILMU PENYAKIT PARU


RUMAH SAKIT UMUM MATARAM 2006

DAFTAR ISI
BAB. I GAWAT PARU ...............................................................3 1. Batuk darah ........................................................................3 2. Edema Paru non Kardiogenik .............................................6 BAB. II INFEKSI............................................................................10 3. Tuberkulosis Paru ...............................................................10 4. Pneumoni Komuniti ...........................................................15 5. Pneumoni imunokompromi................................................21 6. Pneumoni Atipikal ............................................................25 7. Pneumoni Nosokomial ........................................................27 8. Abses Paru ........................................................................ .31 BAB. III PARU KERJA..................................................................34 9. Penyakit paru kerja.............................................................34 10. Asbestosis ..........................................................................38 11. Silikosis...............................................................................41 12. Inhalasi akut Gas Toksik...................................................44 13. Asma Kerja.........................................................................49 BAB. IV PENYAKIT PLEURA......................................................51 14. Efusi pleura........................................................................51 15. Pneumotoraks.................................................................... 55 16. Hemotoraks........................................................................58 17. Empiema toraksik..............................................................59 BAB. V SALURAN NAPAS...........................................................63 18. Asma Bronkial ...................................................................63 19. PPOK..................................................................................69 20. Bronkitis Kronik.................................................................76 21. Emfisema............................................................................79 22. Bronkiektasis......................................................................81 23. Bronkitis Akut....................................................................84 BAB. VI TUMOR ...........................................................................86 24. Karsinoma bronkogenik.....................................................86 25. Tumor Mediastinum...........................................................90 26. Tumor metastase di Paru....................................................93 27. Mesotelioma.......................................................................96
SPM PARU 2006 2

1. BATUK DARAH BATASAN Batuk darah adalah batuk yang disertai darah yang berasal dari saluran napas bawah atau

parenkim paru bukan berasal dari saluran napas atas. Batuk darah masif bila jumlah darah yang keluar > 600 ml dalam 24 jam. PENYEBAB Berubah-ubah sesuai dengan waktu.Di negara berkembang infeksi masih merupakan penyebab tersering,sedang di negara maju penyakit non infeksi yang mendominasi. Batuk darah masif sering disebabkan oleh: 1 Tumor paru 2 Bronkiektasis 3 Tuberkulosis paru 4 Abses paru Catatan rekam medik SMF Paru RSU Dr Soetomo menyebutkan penyebab batuk darah : 1 Tuberkulosis paru 2 Karsinoma bronkogenik 3 Bronkiektasis PEMBAGIAN 1 Batuk darah idiopatik atau esensial: penyebab tidak diketahui 2 Batuk darah sekunder:penyebab diketahui DIAGNOSIS 1 Riwayat penyakit Dengan anamnesis yang cermat meliputi karakter,jumlah darah yang keluar,lama keluhan dan penyakit paru yang mendasari maka diagnosis banding bisa diperoleh.Contoh : Batuk darah minimal sering dijumpai pada karsinoma bronkogenik.Batuk darah masif sering pada tuberkulosis dan bronkiektasis.Selain jumlah darah,pola batuk darah juga penting.Batuk darah dengan episode singkat yang terjadi beberapa tahun lebih cenderung bronkiektasis. Batuk darah harus dibedakan dari muntah darah. Batuk darah ( Hemoptysis ) Darah berbusa Warna merah segar Bersifat alkali Disertai batuk Muntah darah ( Hematemesis ) Darah campur makanan Warna kehitaman Bersifat asam Didahului mual BAB 1

GAWAT PARU
SPM PARU 2006 3

tambahan seperti wheezing dan ronki dapat timbul akibat penyempitan saluran napas oleh gumpalan darah. 3 Pemeriksaan darah Pemeriksaan awal meliputi hemogram,jumlah trombosit,protrombin time,partial thromplastin,analisa gas darah,BUN,serum kreatinin dan elektrolit.Juga pemeriksaan sputum BTA dan sitologi. 4 Foto toraks

Sangat bermanfaat.Dibuat dengan proyeksi PA dan lateral.Dari foto toraks dapat ditemukan lesi seperti: kavitas,massa,fungus ball atau air fluid level. Sarana diagnostik khusus 5 Bronkoskopi Sangat bermanfaat untuk diagnosis dan terapi batuk darah.Dengan bronkoskopi dapat diketahui lokasi perdarahan,mengetahui lesi yang menyebabkan perdarahan juga digunakan untuk mengambil material untuk pemeriksaan.Bila dengan pemeriksaan bronkoskopi tidak bisa mengetahui penyebabnya sering dibutuhkan pemeriksaan arteriografi bronkial dan pulmonal serta CT scan dada untuk sampai ke diagnosis. 6 Arteriografi bronkial Dengan pemeriksaan arteriografi bronkial mungkin dapat melokalisir pembuluh darah yang berkelok-kelok atau dilatasi yang dicurigai sebagai sumber perdarahan. 7 CT scan,aortografi Bila dicurigai aneurisma aorta pada kasus batuk darah,pemeriksaan aortografi dapat membantu membuat diagnosis aorto-bronchial communication.CT scan dada paling sering dikerjakan pada penderita dengan occult hemoptysis,sebab dapat mendeteksi ca paru yang masih kecil,bronchiolithiasis atau bronkiektasis.Sebagai contoh.Pada evaluasi 40 penderita batuk darah dengan foto toraks normal dan pada bronkoskopi tidak ditemukan kelainan ternyata 50 % didapatkan kelainan pada parenkim,saluran napas atau vaskuler. 2 Pemeriksaan fisik Pemeriksaan saluran napas atas harus dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan ditempat tersebut.Selain itu rongga mulut harus diperiksa dengan cermat. Suara napas
SPM PARU 2006 4

DAFTAR PUSTAKA 1 Bone RC.Massive hemoptysis:diagnosis and treatment.Critical care medicine.A concise review.1995:257-261. 2 Murray JF.History and physical examination.In: Textbook of respiratory medicine.Eds :Murray JF and Nadel JA. Philadelphia.WB Saunders Comp.2001: 3 Rekam Medik SMF Paru RSU Dr Soetomo TERAPI Terapi hemoptysis tergantung penyebab dan status pasien.Tujuan pengobatan adalah mencegah aspirasi,menghentikan perdarahan dan mengobati penyakit yang menyebabkan perdarahan. Batuk darah masif jarang menimbulkan kematian karena kehilangan darah namun lebih sering karena asfiksi/sufokasi.Sehingga proteksi saluran napas atas adalah sangat vital pada penanganan awal batuk darah. Jika batuk merupakan problem atau menambah perdarahan maka perlu diberikan antitusif seperti kodein.Hindari manipulasi dada berlebihan seperti perkusi dada dan pemeriksaan faal paru.Usahakan tirah baring.Setelah hemodinamika stabil,asidosis dan hipoksemi dikoreksi bronkoskopi harus dikerjakan untuk menentukan lokasi perdarahan. suction dan lavage harus dikerjakan untuk mengeluarkan bekuan darah. Dan diupayakan menghentikan perdarahan dengan denga ice saline dan epineprin ( 1:20.000 ) dilution.Sebagai alternatif perdarahan dapat juga dihentikan dengan kateter Forgaty yang mempunyai bola pada ujungnya.
SPM PARU 2006 5

2. EDEMA PARU NON KARDIOGENIK

BATASAN Edema paru atau sembab paru adalah keadaan di mana terjadi peningkatan jumlah cairan ekstravaskuler pada jaringan paru, baik di dalam jaringan interstisial maupun alveoli. PATOGENESIS DAN ETIOLOGI 1. Kelompok dengan ketidakseimbangan gaya Starling Qf = Kf [(Pmv - Ppmv) (mv pmv)] - Qlymph Qf : net transvascular fluid flow Kf : filtration coefficient Pmv : hydrostatic pressure in the lumen of the fluid-exchanging microvessels Ppmv : peri microvascular hydrostatic pressure : osmotic reflection coefficient of the barrier mv : microvascular plasma colloid osmotic/oncotic pressure pmv : peri microvascular plasma colloid osmotic/oncotic pressure Qlymph : lymphatic flow 1.1. Peningkatan tekanan hidrostatik mikrovaskuler paru Oleh karena peningkatan tekanan darah vena paru, misalnya mitral stenosis, gagal jantung kiri, overload cairan infus. 1.2. Penurunan tekanan hidrostatik perimikrovaskuler Pengosongan udara secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang besar pada pneumotoraks (unilateral) maupun pada efusi pleura. 1.3. Peningkatan negativiti tekanan interstisial Ekspansi terlalu cepat pada pneumotoraks, tekanan negatip yang besar akibat obstruksi jalan napas akut dengan peningkatan volume endexpiratory (asthma) 1.4. Penurunan tekanan onkotik mikrovaskuler Pada hipoalbuminemia 1.5. Peningkatan tekanan onkotik perimikrovaskuler Belum dijumpai kasus klinik maupun dalam laboratorium 2. Perubahan permeabilitas membran alveolo-kapiler (ARDS) Infeksi paru, inhalasi gas/uap/asap toksik. Adanya bahan asing racun ular dan endotoksin, aspirasi asam lambung, radiasi, reaksi imunologis, renjatan paru oleh karena trauma di luar toraks. 3. Gangguan sistim saluran limfatik Dijumpai pada pasca cangkok paru, karsinomatosis limfangitik dan limfangitis fibrosa. 4. Beberapa penyebab yang belum jelas mekanismenya Edema paru pada ketinggian, edema paru neurogenik, edema paru akibat narkotika, akibat eklamsia, sesudah konversi aritmi ke irama sinus, dan pasca anestesi maupun pasca bedah pintas kardiopulmoner.
SPM PARU 2006 6

PATOFISIOLOGI Ruang interstisial paru terisi cairan oleh karena beberapa sebab, antara lain kelainan jantung, kelainan ginjal maupun oleh karena perubahan permiabilitas kapiler paru sendiri. Pada kelainan jantung dan ginjal biasanya berupa cairan transudat, sedangkan pada kelainan paru dapat berupa plasma atau cairan koloid.

Timbulnya cairan di alveoli juga akan mengganggu fungsi surfaktan paru sehingga akan terjadi kolaps pada kantong-kantong udara ini. Dengan masuknya cairan ke dalam ruang interstisial atau alveoli akan berakibat terjadinya gangguan difusi dan ventilasi oleh karena terjadi perubahan sifat membrana alveolokapiler paru menjadi kaku dan compliance paru menurun. Pada analisis gas darah didapatkan hipoksemia dan normo atau hipokapnia, pada tingkat lanjut dapat terjadi asidosis metabolik. Bila keadaan ini berlangsung lama dapat terjadi penyulit berupa endapan jaringan fibrin dan hialin pada permukaan epitel alveoli yang akan memperburuk gangguan faal difusi yang sudah terganggu tersebut. STADIA EDEMA PARU Stadia edema paru ini merupakan suatu rangkaian proses terjadinya edema paru. STADIUM 1 Terjadi peningkatan jumlah cairan dan koloid di ruang interstisial yang berasal dari kapiler paru. Walaupun filtrasi meningkat sebenarnya peningkatan cairan di rongga interstisial tidak nampak oleh karena kapasitas limfatik untuk mengabsorbsi cairan juga meningkat. STADIUM 2 Pada stadium ini filtrasi dari pembuluh kapiler sudah melampaui kemampuan menyerap cairan oleh sistim limfatik. Cairan dan koloid mulai menumpuk di rongga selaput peribronkovaskuler (peribronchovascular sheath). STADIUM 3a Peningkatan cairan dan tekanan di ruang interstisial dan selaput peribronkovaskuler semakin meningkat dan menyebabkan adanya tight junction di epitel alveolus mulai melebar dan terjadi edema alveolar. Cairan tertimbun pada daerah sudut membrana alveolokapiler. STADIUM 3b Volume udara di alveoli dengan cepat diganti oleh cairan serta koloid. GEJALA KLINIK Penderita pada umumnya sesak napas dari yang paling ringan berupa dyspnoe deffort sampai pada sesak napas pada waktu istirahat. Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak dijumpai kelainan pada paru, terutama pada stadium 1 dan stadium 2, selain sesak napas dan adanya peningkatan frekuensi napas. Batuk-batuk yang refrakter dan sedikit memberi respons pada pengobatan dan kadangkadang disertai dengan dahak berbusa dan berwarna merah muda.
SPM PARU 2006 7

Tanda-tanda yang lain adalah adanya ronki basah yang halus / kasar dan dijumpai bila edema paru sudah masuk stadium 3. Penderita dapat jatuh ke dalam hipoksia dengan sianosis sentral, asidosis metabolik dan normo/hipokapnia. Keadaan umum bisa jelek disertai dengan gaduh gelisah, kesadaran menurun. Tampak juga tanda-tanda klinis lain yang diberikan oleh penyakit dasarnya (jantung, ginjal, gas toksik, infeksi dsb) GAMBARAN RADIOLOGIS EDEMA PARU Parameter radiologis Kelainan jantung Kelainan ginjal Kelainan

permeabilitas Besar jantung > > N Pangkal pemb. darah (vasc. pedicle) N/> >> N/< Distribusi aliran darah paru (corakan bronkovaskuler) Inversi ke apices Berimbang (meningkat) N/berimbang Volume darah paru N/> > N Garis-garis septal Jarang Jarang Tidak ada Penebalan peribronkial Sering Sering Jarang Bronkogram udara Jarang Jarang Sering Distribusi edema (sumbu horizontal) Merata Sentral Perifer Efusi pleura Sering Sering Jarang DIAGNOSIS BANDING Penyakit-penyakit interstisial paru yang lain. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan dibagi dalam 2 kelompok pengobatan edema paru, antara lain: 1. Pengobatan umum 1.1. Penderita dibaringkan dalam posisi Fowler 60-900 1.2. Pemberian O2 konsentrasi dan kecepatan tinggi, dapat dipakai nasal prong maupun masker. Kalau perlu dengan bantuan pernapasan mekanik 1.3. Perbaikan keseimbangan asam basa Alkalosis respiratorik tidak memerlukan pengobatan. Asidosis metabolik perlu diberikan natrium bikarbonat. Namun di sisi lain pemberian garam ini dapat memperburuk retensi cairan. Asidosis respiratorik dan keadaan tetap tidak membaik, maka perlu dimulai penggunaan alat bantu napas. Ventilasi dan hemodinamik juga perlu dikendalikan. 1.4. Diuretika Diberikan furosemide 40 mg, dapat diulang sampai klinis membaik.
SPM PARU 2006 8

2.2. Peningkatan permeabilitas kapiler Infeksi dapat diberikan antibiotika, kortikosteroid walaupun manfaat obat ini masih dipertentangkan. Juga dapat diberikan antidotumnya. (vide gas toksik) Pada kasus edema paru pada ketinggian, dapat dilakukan upaya membawa dengan segera penderita turun ke bawah. Tindakan profilaksis dengan minum asetasolamid maupun deksametason dan mendaki tidak terlalu cepat akan banyak membantu menekan angka kejadian edema paru. 2.3. Penurunan tekanan onkotik plasma

Evaluasi penyebabnya. Pada keadaan akut dapat diberikan osmotic agent berupa kristaloid baik kristaloid molekul kecil maupun besar, antara lain urea, manitol atau dekstran. Kristaloid molekul besar bertahan lebih lama, seperti albumin 25%. Pada kelainan ini dapat pula diberikan diuretika. PROGNOSIS Tergantung pada penyakit dasar dan derajatnya. Prognosis jelek biasanya dijumpai apabila sudah disertai renjatan (syok) , termasuk pada renjatan septik. DAFTAR PUSTAKA 1. Fraser RG, Pare JAP, Pare PD, Fraser RS, Genereux GP. Pulmonary Hypertension and Edema. In: Synopsis Diseases of the Chest, 2nd ed.Philadelphia.WB Saunders Co., 1994, pp. 574-621 2. Fraser RG, Pare JAP, Pare PD, Fraser RS, Genereux GP. Specific Form of Permeability Edema. High Altitude Pulmonary Edema. In: Diagnosis of Diseases of the Chest. Vol. III, 3rd ed.Philadelphia.WB Saunders Co. 1990, pp. 1950-52 3. Ingram RH, Braunwald E. Dyspnea and Pulmonary Edema. In : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. 1998, pp.190-4 4. Ingram RH, Braunwald E. Pulmonary Edema-Cardiogenic and Non Cardiogenic. In: Heart Diseases. 3rd ed. Editor: Braunwald E. 1988, p. 544 2. Pengobatan khusus Pengobatan ini lebih ditujukan pada kelainan yang mendasarinya, seperti : 2.1. Peningkatan tekanan hidrostatik Pengobatan penyakit jantung. Pada hidrasi berlebih dapat diberikan diuretika.
SPM PARU 2006 9

3. TUBERKULOSIS PARU BATASAN Infeksi paru yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Pada orang dewasa merupakan tuberkulosis paru pasca primer yang berarti infeksi tuberkulosis pada penderita yang telah mempunyai imunitas spesifik terhadap tuberkulosis. PATOGENESIS Proses penularan melalui inhalasi droplet nuclei yang berisi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru pasca primer dapat terjadi melalui salah satu dari mekanisme : 1. perkembangan langsung dari penyakit primer 2. reaktivasi penyakit primer yang tenang 3. penyebaran hematogen ke paru 4. reinfeksi eksogen PATOLOGI Lesi tuberkulosis dapat dalam bentuk empat lesi dasar : 1. Lesi eksudatif : merupakan reaksi hipersensitif. 2. Lesi proliferatif : merupakan kelanjutan dari lesi eksudatif yaitu timbul nekrosis pengejuan yang

dikelilingi oleh jaringan granulasi tuberkulosis. 3. Kavitas : bila jaringan keju dari proses proliferatif mencair, dan menembus bronkus, maka jaringan keju yang cair akan dikeluarkan, sehingga meninggalkan sisa kavitas. Kavitas ini lebih penting daripada proses tuberkulosisnya sendiri, karena merupakan sumber kuman dan sumber batuk darah profus. 4. Tuberkuloma : bila lesi proliferatif dibungkus oleh kapsul jaringan ikat, maka proses akan menjadi tidak aktif. Pada tuberkulosis paru pasca primer selalu terjadi remisi dan eksaserbasi, maka pada tempat proses selalu terdapat campuran lesi dasar ditambah dengan proses fibrotik (penyembuhan). Lokasi proses tuberkulosis paru pasca primer adalah : BAB ll

INFEKSI
Apikal atau segmen posterior lobus superior atau segmen superior lobus inferior dan jarang dijumpai di tempat lain. Pada penderita diabetes melitus sering dijumpai tuberkulosis pada paru lobus inferior (lower lung field).
SPM PARU 2006 10

3. ke saluran napas : menimbulkan endobronkial tuberkulosis 4. melalui pembuluh darah dan saluran limfe : menimbulkan penyebaran hematogen dan limfogen GEJALA KLINIK Keluhan : Umum (sistemik) : Panas badan (sumer), nafsu makan menurun, berkeringat malam, mual, muntah. Lokal paru : Batuk, batuk darah, nyeri dada/nyeri pleuritik, sesak napas bila lesi luas Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik tidak spesifik. Bila kelainan paru minimal atau sedang, pemeriksaan fisik mungkin normal. Bisa dijumpai tanda-tanda konsolidasi, deviasi trakea/mediastinum ke sisi paru dengan kerusakan terberat, efusi pleura (redup, suara napas menurun). PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium : Darah lengkap : LED meningkat, dapat anemia, lekosit normal atau sedikit meningkat, hitung jenis bergeser ke kanan (peningkatan mononuklear). Sputum : 1. Hapusan basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan ZN, atau fluoresens. 2. Kultur : untuk identifikasi basil dan uji resistensi obat anti tuberkulosis. Radiologis : Gambaran radiologis dapat berupa : - Ill define air space shadowing - Kavitas dengan dinding yang tebal dikelilingi konsolidasi

- millet seed like appearance/granuler pada tuberkulosis milier Lokasi lesi pada umumnya sesuai dengan lokasi lesi tuberkulosis pasca primer. Namun demikian kadang penampakkan lesi pada foto toraks tidak spesifik (seperti tumor), sehingga sering dikatakan bahwa tuberkulosis merupakan great imitator. Penyebaran / perluasan proses tuberkulosis : 1. ke parenkim paru sekitarnya 2. ke pleura : menyebabkan pleuritis atau efusi pleura dan empiema
SPM PARU 2006 11

DIAGNOSIS 1. Diagnosis klinik, ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik. 2. Diagnosis bakteriologik, ditemukannya basil tahan asam dalam sputum. Dalam kerangka DOTS (directly observed treatment short course) WHO, maka diagnosis bakteriologik merupakan komponen penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis, dengan cara 3 kali pemeriksaan hapusan basil tahan asam dari sputum (SPS = sewaktu, pagi, sewaktu). 3. Diagnosis radiologis Gambaran radiologis konsisten sebagai gambaran TB paru aktif. DIAGNOSIS BANDING 1. Pneumonia 2. Abses paru 3. Kanker paru 4. Bronkiektasis 5. Pneumonia aspirasi PENATALAKSANAAN 1. Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan cairan 2. Strategi penatalaksanaan menurut DOTS WHO meliputi : - komitmen pemerintah dalam mengontrol TB - deteksi kasus dengan pemeriksaan hapusan BTA sputum - kemoterapi standar jangka pendek (6-8 bulan) dengan pengawasan minum obat - kesinambungan ketersediaan obat anti tuberkulosis - sistem pencatatan dan pelaporan standar Untuk kepentingan klinik maka lesi tuberkulosis berdasarkan foto toraks dibagi menjadi 2 kategori: 1. lesi minimal (minimal lesion): bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak dijumpai kavitas. 2. lesi luas (far advanced lesion): bila proses lebih luas dari lesi minimal.
SPM PARU 2006 12

* Ethambutol dapat dihilangkan pada fase inisial pada penderita nonkavitas, TB paru BTA negatif dengan HIV negatif, penderita dengan basil suseptibel obat, anak muda dengan TB primer.

Obat anti tuberkulosis esensial Obat esensial Rekomendasi Dosis (dose range) mg/kgBB Setiap hari 3 x / minggu Isoniazid (H) Rifampicin (R) Pyrazinamide (Z) Streptomycin (S) Ethambutol (E) Thioacetazone (T) 5 (4-6) 10 (8-12) 25 (20-30) 15 (12-18) 15 (15-20) 2,5 10 (8-12) 10 (8-12) 35 (30-40) 15 (12-18) 30 (20-35) not applicable Rekomendasi regimen terapi Kategori Terapi TB Penderita TB Alternatif regimen terapi TB Fase inisial
(setiap hari atau 3 x/minggu)

Fase lanjutan
(setiap hari atau 3 x/minggu)

I -Kasus baru BTA positip -Kasus baru BTA negatip dengan lesi paru luas -Konkomintan HIV berat atau -TB ekstrapulmoner berat 2 RHZE (RHZS) 4 RH 6 HE II Sputum hapusan positip : -Kambuh -Gagal terapi -Putus berobat 2 RHZES+1 RHZE 2 RHZE* 5 R3H3E3 III -Kasus baru BTA negatip selain kategori I

-TB ekstrapulmoner tidak berat 4 RH 6 HE IV Kasus kronik Merujuk panduan WHO menggunakan second line drug
SPM PARU 2006 13

DAFTAR PUSTAKA 1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 256-63 2. Fraser RG, Pare JAP, Pare PD, et al. Post Primary Tuberculosis. Diagnosis of Diseases of the Chest. 3rd ed.Philadelphia. WB Saunders. 1989, pp. 897-932 3. Garay SM. Pulmonary Tuberculosis. In : Tuberculosis. Editors: Rom WN, Garay SM. Little, Brown and Company. 1996, pp 373-412 4. WHO. Treatment of Tuberculosis Guidelines for National Programmes. 3rd ed. 2003, pp. 11-60 5. Raviglione MC, OBrien RJ. Tuberculosis. In : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. 1998, pp.1004-14 KOMPLIKASI 1. Pleuritis sika 2. Efusi pleura 3. Empiema 4. Laringitis tuberkulosis 5. Tuberkulosis pada organ lain 6. Kor pulmonale PROGNOSIS Tergantung pada luasnya proses, saat mulainya pengobatan, patuh dan tidaknya penderita mengikuti aturan pemakaian dan cara pengobatan yang dipergunakan.
SPM PARU 2006 14

4. PNEUMONI KOMUNITI BATASAN Pneumoni adalah suatu keradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumoni komuniti adalah pneumoni yang didapat di masyarakat. KLASIFIKASI PNEUMONI 1. Berdasar klinis dan epidemiologis a. Pneumoni komuniti (community-acquired pneumonia) b. Pneumoni nosokomial (hospital-acquired pneumonia/nosocomial pneumonia) c. Pneumoni aspirasi d. Pneumoni pada penderita immunocompromised 2. Berdasar kuman penyebab a. Pneumoni bakterial/tipikal b. Pneumoni atipikal

c. Pneumoni virus d. Pneumoni jamur 3. Berdasar predileksi infeksi a. Pneumoni lobaris b. bronkopneumoni c. pneumoni interstisial ETIOLOGI PNEUMONI KOMUNITI Agen penyebab dapat diidentifikasi pada 50% kasus. Bakteri lebih sering teridentifikasi daripada virus. Golongan I : S. pneumonia, Mycoplasma pneumonia, Chlamidia pneumonia, H. influenza, Virus respirasi, Legionela spp, M. tuberkulosa, Fungi endemik. Golongan II : S. pneumonia, Mycoplasma pneumonia, Chlamidia pneumonia, Infeksi campuran, H. influenza, Enterik gram negatif, Virus respirasi, Legionela spp, M. tuberkulosa, M. kataralis, Jamur endemik.
SPM PARU 2006 15

S. pneumonia, H. influenza, Mycoplasma pneumonia, Chlamidia pneumonia, Infeksi campuran, Virus respirasi, Legionela spp, M. tuberkulosa, M. kataralis, Jamur endemik, P. carinii. Golongan IVA : S. pneumonia, Legionela spp, H. influenza, Enterik gram negatif, S. aureus, Mycoplasma pneumonia, Virus respirasi, Chlamidia pneumonia, M. tuberkulosa, M kataralis, Jamur endemik. Golongan IVB : Semua patogen di atas ditambah P. aeruginosa PATOGENESIS Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan saluran napas. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Mekanisme mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas melalui cara : 1. inokulasi langsung 2. penyebaran melalui pembuluh darah 3. inhalasi 4. kolonisasi di permukaan mukosa PATOLOGI Mikroorganisme yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PMN mendesak mikroorganisme ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian difagosit. Pada waktu terjadi interaksi antara host dan mikroorganisme, maka akan tampak 4 zona yaitu: Golongan IIIB : Golongan IIIA :

S. pneumonia, Mycoplasma pneumonia, Chlamidia pneumonia, Infeksi campuran, H. influenza, Enterik gram negatif, Virus respirasi, Legionela spp, M. tuberkulosa, Jamur endemik.
SPM PARU 2006 16

3. Pemeriksaan penunjang a. Foto toraks - penting untuk menegakkan diagnosis - gambaran infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik, dan interstisial - tidak khas untuk menentukan etiologi pneumoni - hanya petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya: pneumoni lobaris: S. pneumoni infiltrat bilateral/bronkopneumoni: P. aeruginosa konsolidasi lobus kanan atas dengan bulging fisura interlobaris: Klebsiela pneumoni b. Laboratorium - leukositosis (10.000-30.000/cmm) - hitung jenis : shift to the left - LED meningkat c. Pemeriksaan dahak, kultur darah, dan serologi - untuk menentukan diagnosis etiologi - kultur darah positip pada 20-25% penderita yang tidak diobati d. Analisa gas darah - hipoksemia dan hipokarbia - asidosis respiratorik pada stadium lanjut DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada : 1. Gambaran klinis - suhu tubuh meningkat > 400C - menggigil - batuk dengan dahak purulen dapat disertai darah - nyeri dada 2. Pemeriksaan fisik tanda-tanda konsolidasi 1. zona luar: alveoli yang terisi dengan mikroorganisme dan cairan edema 2. zona permulaan konsolidasi: terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah. 3. zona konsolidasi yang luas: daerah tempat terjadi fagositosis aktif dengan jumlah PMN yang banyak 4. zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak mikroorganisme yang mati, leukosit, dan makrofag alveolar.
SPM PARU 2006 17

- istirahat di tempat tidur - minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi - bila panas dikompres atau minum obat antipiretik - bila perlu diberikan mukolitik dan ekspektoran

b. Pemberian antibiotika 2. Penderita rawat inap biasa a. Pengobatan suportif - pemberian oksigen - infus rehidrasi dan nutrisi serta elektrolit - pemberian obat simtomatik antipiretik, mukolitik b. Pemberian antibiotika 3. Penderita rawat inap di ruang intensif sama seperti penderita di ruang rawat inap biasa, bila diperlukan dipasang ventilator mekanik. PENYULIT - Batuk darah - Efusi pleura - Empiema - Abses paru - Gagal napas - Kor-pulmonal akut - Syok septik PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan meliputi : - antibiotika (secara empirik) - pengobatan suportif Penatalaksanaan dibagi menjadi : 1. Penderita rawat jalan DIAGNOSIS BANDING - Tuberkulosis - Pneumonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat - Edema paru - Infark paru - Bronkiolitis obliterans
SPM PARU 2006 18

Rawat jalan = tanpa penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi (golongan I) * golongan beta laktam atau beta laktam + anti beta laktamase = dengan penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi (golongan II) * golongan beta laktam + anti beta laktamase atau * fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin) = bila dicurigai pneumonia atipik * + makrolid baru (klaritromisin, azitromisin, roksitromisin) Rawat inap = tanpa penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi (golongan IIIB) * golongan beta laktam + anti beta laktamase iv atau * sefalosporin g2, g3 iv atau

* flurokuinolon respirasi iv = dengan penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi (golongan IIIA) * sefalosporin g2, g3 iv atau * fluorokuinolon respirasi iv = bila dicurigai pneumonia atipik * + makrolid baru (klaritromisin, azitromisin, roksitromisin) Rawat ruang intensif = tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas (golongan IVA) * sefalosporin g3 iv nonpseudomonas + makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi iv = ada faktor risiko infeksi pseudomonas (golongan IVB) * sefalosporin antipseudomonas atau karbapenem iv + fluorokuinolon antipseudomonas iv atau aminoglikosida iv = bila dicurigai pneumonia atipik * + makrolid baru (klaritromisin, azitromisin, roksitromisin) Bila dengan antibiotika empirik tidak ada perbaikan/memburuk, terapi disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti Faktor modifikasi, antara lain: - Pneumokokus resisten terhadap penisilin : umur >65 th, memakai obat beta laktam selama 3 bulan terakhir, pecandu alkohol, kondisi imunosupresi, penyekit penyerta yang multipel. - Bakteri enterik gram negatif : penghuni rumah jompo, mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru, penyakit penyerta multipel, riwayat pengobatan antibiotika. - Pseudomonas aeruginosa : bronkiektasis, pengobatan kortikosteroid >10mg/hari, pengobatan antibiotika spektrum luas >7 hari pada bulan terakhir, malnutrisi. Pemilihan antibiotika empirik : sesuai dengan golongan kuman penyebab
SPM PARU 2006 19

PROGNOSIS Pada umumnya prognosis baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab, dan penggunaan antibiotika yang tepat serta adekuat. DAFTAR PUSTAKA 1. ATS. Guideline for the Management of Adults with CAP, Diagnosis, Assessment of Severity and Antimicrobial Therapy and Prevention. Am J Resp Crit Care Med 2001;163:1730-54 2. Bartlett JG et al. Practice Guideline for the Management of CAP in Adults. Clin Infect Dis, 2000;31:347 3. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 216-311 4. Fishman JA. Approach to the Patient with Pulmonary Infection. In: Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, p.676-8 5. Levison ME. Pneumonia, Including Necrotizing Pulmonary Infections (Lung Abscess). In : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. 1998, pp.1437-45

6. Niederman MS, Sarosi GA. Respiratory Tract Infections. In: George RB, Light RW, Matthay MA, Matthay RA (Eds). Chest Medicine. Essential of Pulmonary and Critical Care Medicine. 4th . Lippincott Williams and Wilkins. 2000:377-429 7. Niederman MS. Guidelines for the Management of Community Acquired Pneumonia Selection Issues. Med Clin North Am. 2001;85:1493-1509 8. PDPI. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2003, pp. 1-28
SPM PARU 2006 20

5. PNEUMONI IMUNOKOMPROMIS BATASAN Infeksi parenkim paru yang terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, antara lain pada penderita dengan infeksi HIV, transplantasi organ solid maupun sumsum tulang, penyakit jaringan ikat, defisiensi imun primer, kemoterapi kanker. ETIOLOGI 1. Menurunnya daya tahan tubuh 2. Adanya patogen oportunistik Adanya patogen oportunistik Penderita ini suseptibel terhadap infeksi dengan organisme yang pada individu normal kurang virulen. Secara epidemiologis paparan infeksi pada penderita imunokompromis dibagi 2 kategori : 1. paparan di komuniti : dipengaruhi faktor geografis dan status sosioekonomi 2. paparan di rumah sakit : paparan domiciliary (pada unit rumah sakit tempat penderita dirawat) dan nondomiciliary (paparan pada saat transpor antar unit di rumah sakit) PATOGENESIS Masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh imunokompromis melalui : 1. Saluran napas, yaitu melalui trakeostomi atau nebuliser 2. Kulit, melalui kateter iv atau suntikan 3. Saluran air seni, melalui kateter GEJALA KLINIS Terdiri dari gejala primer yang timbul karena penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan gejala yang berasal dari penyakit infeksinya sendiri. Gejala infeksi dapat berupa batuk, sesak napas, panas badan, dan kelainan paru yang dapat berupa konsolidasi atau bercak infiltrat yang tersebar atau kelainan yang difus. Pemeriksaan fisik Tidak semua kelainan ini dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik diagnostik, kecuali bila konsolidasi dan infiltrat cukup luas. Foto toraks Pemeriksaan foto toraks diperlukan untuk mendiagnosis adanya kelainan paru, terutama bila infiltrat kecil.
SPM PARU 2006 21

Splenektomi Komplemen Anatomik mieloma, ALL Pembedahan, penyakit sel

sabit, sirosis Defek kongenital / didapat Kateter iv / uretra, insisi, kebocoran anastomosis, ulserasi mukosa, insufisiensi vaskular S. pneumonia, H. influenza, E. coli, Salmonela, Capnocytophaga S. aureus, Neiseria spp, H. influenza, S. pneumonia Kolonisasi organisme, organisme nosokomial resisten HSV= Herpes Simplex Virus, VZV= Varicella Zoster Virus, CMV= Citomegalovirus, EBV= Epstein-Barr Virus, ALL= Acute Lymphocytic Leukemia Infeksi terkait dengan defek imun spesifik Defek Penyebab umumnya Infeksi terkait Granulositopeni Kemotaksis netrofil Neutrophil killing Defek sel T Defek sel B Leukemia, kemoterapi sitotoksik, AIDS, toksisitas obat, sindrom Felty Diabetes, alkoholism, uremia, penyakit Hodgkin, trauma (luka bakar), lazy leucocyte syndrome. Penyakit granulomatosis kronik, defisiensi mieloperoksidase AIDS, kongenital, limfoma, sarkoidosis, infeksi virus, transplan organ, steroid Agamaglobulinemia didapat / kongenital, luka bakar, enteropati, disfungsi lien, Batang Gram negatif enterik, Pseudomonas, S. aureus, S. epidermidis, Streptokoki, Aspergilus, Candida dan fungi lain. S. aureus, Candida, Streptokoki S. aureus, E. coli, Candida, Aspergilus, Torulopsis

Bakteri intraseluler (Legionela, Salmonella, Listeria, Mikobakteria), HSV, VZV, CMV, EBV, parasit (Strongiloides, P carinii, Toksoplasma), fungi (Candida, Criptokokus) S. pneumonia, H. influenza, Salmonela dan Campilobakter spp, Giardia lamblia ETIOLOGI 1. Menurunnya daya tahan tubuh 2. Adanya patogen oportunistik
SPM PARU 2006 22

4. Infeksi umumnya sudah meluas saat diketahui, oleh karena itu langkah-langkah diagnostik harus dikerjakan seperti kultur darah, cairan serebrospinal, dan lesi di tempat lain perlu dicari. 5. Karena infeksi dapat fatal, maka terapi harus segera diberikan secara empirik, dengan memepertimbangkan kemungkinan etiologinya berdasarkan atas penyakit dasar dan petunjuk lain yang ada. 6. Adanya suatu wabah infeksi di tempat penderita berada, memberi petunjuk kemungkinan etiologinya. 7. Infeksi sering lebih dari satu macam mikroorganisme. 8. Hasil terapi sangat tergantung pada : luas atau berat penyakit dasar, respons terhadap terapi dan derajat serta lamanya netropenia. Langkah-langkah diagnostik untuk menentukan etiologi harus dilakukan sebelum pemberian antibiotika. Diagnostik rutin 1. Pemeriksaan bakteriologi dari sputum, cairan pleura, dan darah. 2. Tes serologi untuk jamur, virus, dan bakteri. 3. Bila tindakan rutin belum mendapat hasil, maka dapat dilakukan tindakan diagnostik yang invasif, seperti : a. Aspirasi transtrakeal (untuk kandida dan aspergilosis hasil aspirasi transtrakeal masih meragukan oleh karena kolonisasi) b. Bronkoskopi serat optik c. Aspirasi paru transtorakal dan d. terakhir biopsi paru terbuka. DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis pneumoni pada penderita imunokompromis, maka perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Walaupun infeksi merupakan penyulit paru yang paling sering terjadi, tetapi kelainan non infeksi sering juga terjadi di paru yang menimbulkan gambaran klinik yang sama dengan infeksi ( lihat diagnosis banding ) 2. Walaupun semua mikroorganisme dapat menyebabkan pneumoni pada penderita immunocompromised, infeksi bakteri merupakan penyebab yang paling sering dan di antara bakteri penyebab maka Pseudomonas, Klebsiela, E. koli, Stafilokokus aureus yang

paling sering. 3. Walaupun infeksi paru merupakan tempat infeksi primer, tetapi tidaklah selalu demikian pada penderita imunokompromis, oleh karena itu upayakan mencari kemungkinan infeksi primer di tempat lain.
SPM PARU 2006 23

DAFTAR PUSTAKA 1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 256 2. Fishman JA. Pulmonary Infection in Immunocompromised Hosts. In : Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, pp. 941-51 3. Fraser RS, Pare JAP, Fraser RG, Pare PD. Synopsis of Diseases of The Chest. 2nd ed. WB Saunders. 1994, pp 705-38 4. Fraser RS, Pare JAP, Fraser RG, Pare PD, Genereux GP. The Immunocompromised Host. In: Diagnosis of Diseases of the Chest. 3rd ed. Book II.Philadelphia. WB Saunders. 1989, pp. 806-7 5. Gerberding JL. General Principles and Diagnostic Approach. In: Textbook of Respiratory Medicine. 3rd ed. Editors: Murray JF, Nadel JA. WB Saunders. 2000, p. 923-6 PENATALAKSANAAN - Terapi antibiotika empirik sesuai dengan perkiraan penyebab infeksi - Sebaiknya menggunakan antibiotika sinergistik - Tidak cukup hanya antibiotika, perlu perbaikan respons imun host - menurunkan imunosupresan eksogen - mengkoreksi netropenia dengan growth factor - terapi simultan infeksi yang merupakan predisposisi superinfeksi (misal respiratory syncytial virus, CMV) - Bila mungkin diberikan vaksin (dimatikan/konjugat) sebelum imunosupresi atau splenektomi. PROGNOSIS Prognosis tergantung jenis dan berat penyakit dasar, jenis dan berat infeksi paru. DIAGNOSIS BANDING Penyakit keganasan paru, infark paru, perdarahan intrapulmoner, penyakit paru akibat obat-obatan, pneumoni radiasi, edema paru kardiogenik maupun non kardiogenik dan pneumonitis interstisial yang tidak spesifik.
SPM PARU 2006 24

6. PNEUMONI ATIPIKAL BATASAN Pneumoni atipik adalah pnumoni yang disebabkan oleh bakteri atipik. ETIOLOGI Mycoplasma pneumonia, chlamidia pneumonia, Legionela spp. (paling sering). Lainnya : Chlamidia psittasi, Coxiela burnetii, virus Influenza tipe A & B, Adenovirus, Respiratory Syncitial Virus. PATOGENESIS

Infeksi menyebar melalui saluran napas. Infeksi ini dapat berjalan asimtomatik. Timbulnya penyakit perlahan. Kelainan dapat terjadi pada saluran napas atas sampai ke alveoli. DIAGNOSIS - Gejala saluran napas: demam, batuk nonproduktif, dan gejala sistemik berupa nyeri kepala, mialgia, dermatitis (ruam makulopapular). - Pemeriksaan fisik : ronki basah tersebar, jarang terjadi konsolidasi. - Foto toraks: infiltrat interstisial - Laboratorium: leukositosis ringan, pewarnaan gram, biakan dahak atau darah tidak ditemukan adanya bakteri Tes diagnostik : - isolasi biakan sensitivitinya rendah - deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA) - Polymerase Chain Reaction (PCR) - Uji serologi * cold agglutinin * uji fiksasi komplemen merupakan standar untuk diagnosis M. peumonia * micro immunofluoresence (MIF) standar serologi untuk C. pneumonia * antigen dari urin untuk Legionella
SPM PARU 2006 25

- Radiologis - Laboratorium - Gangguan fungsi hati patchy atau normal leukosit normal / kadang rendah sering konsolidasi lobar lebih tinggi jarang PENATALAKSANAAN Antibiotika masih tetap merupakan pengobatan utama, selain obat simtomatik. Pilihan antibiotika : Makrolid : eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin Fluorokuinolon respirasi Tetrasiklin, doksisiklin PROGNOSIS Pada umumnya baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Fishman JA. Approach to the Patient with Pulmonary Infection. In: Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, p.678-80 2. Goetz MB, Finegold SM. Pyogenic Bacterial Pneumonia, Lung Abscess, and Empyema. In: Textbook of Respiratory Medicine. 3rd ed. Editors: Murray JF, Nadel JA. WB Saunders. 2000, pp. 1031-2

3. Gupta SK, Sadosi GA. The Role of Atypical Pathogens in Community-Acquired Pneumonia. Med Clin North Am 2001;85:1349-65 4. Levison ME. Pneumonia, Including Necrotizing Pulmonary Infections (Lung Abscess). In : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. 1998, pp.1437-45 5. PDPI. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2003, pp. 1-28 Tanda dan gejala Pneumoni atipik Pneumoni tipikal - Onset - Suhu - Batuk - Dahak - Gejala lain - Gejala di luar paru - Pewarnaan Gram gradual kurang tinggi nonproduktif mukoid nyeri kepala, mialgia, sakit tenggorok, parau, nyeri telinga sering flora normal atau spesifik Akut tinggi, menggigil produktif purulen jarang lebih jarang kokus gram + atau Perbedaan gambaran klinik pneumonia atipik dengan pneumonia tipik
SPM PARU 2006 26

7. PNEUMONI NOSOKOMIAL BATASAN Infeksi pada parenkim paru yang terjadi lebih dari 48 jam setelah rawat inap di rumah sakit dan tidak dijumpai infeksi paru saat penderita masuk rumah sakit. PATOGENESIS Bakteri dapat menyerang traktus respiratorius bagian bawah melalui 3 jalan : 1. aspirasi flora orofaringeal 2. inhalasi aerosol terinfeksi 3. penyebaran hematogen dari fokus infeksi di tempat lain Kemungkinan lain dapat diakibatkan translokasi bakteri dari traktus gastrointestinal. FAKTOR RISIKO 1. faktor intrinsik host : umur, penyakit dasar, status nutrisi 2. faktor RS : operasi toraks atau abdomen, penggunaan antibiotika, imunosupresi,

perawatan di ICU 3. penggunaan alat : intubasi dengan ventilasi mekanik 4. faktor yang meningkatkan risiko aspirasi : kesadaran menurun DIAGNOSIS Biasanya ditandai panas, batuk, sputum purulen. Pemeriksaan fisik dijumpai konsolidasi. Foto toraks : dapat dijumpai infiltrat baru atau progresif. Laboratorium : leukositosis, sputum Gram, kultur, kultur darah, aspirat trakea, maupun dengan bronchoalveolar lavage melalui bronkoskopi. PENATALAKSANAAN Berat Faktor risiko Tidak Ya Tidak Ya
Onset kapanpun Onset kapanpun Onset dini Onset lanjut Onset kapanpun

Tabel 1 Tabel 2 Tabel 1 Tabel 3 Tabel 3 Ringan sampai sedang Faktor risiko Derajat berat pneumoni
SPM PARU 2006 27

Tabel 1. Etiologi dan terapi pada penderita dengan pneumoni nosokomial ringan sampai sedang, tanpa faktor risiko, onset kapanpun, atau pneumoni nosokomial berat onset dini Organisme inti Antibiotika inti -Basil gram negatif (nonpseudomonas) Enterobakter spp., Escherichia coli, Klebsiela spp, Proteus spp, Serratia marcescens, H. influenzae -Kokus gram positif S. aureus sensitif metisilin Streptokokus pneumonia Piperasilin-tazobaktam 3,375g iv/4jam atau Piperasilin-tazobaktam 4,5g iv/6 jam atau Sefotaksim 1-2 g iv / 8 jam atau Seftriakson 1 g iv / 12 jam atau Bila alergi penisilin/sefalosporin : Klindamisin atau Vankomisin + Siprofloksasin iv atau Aztreonam Tabel 2. Etiologi dan terapi pada penderita dengan pneumoni nosokomial ringan sampai sedang dengan faktor risiko, onset kapanpun Organisme inti + Antibiotika inti + Anaerob (baru operasi abdomen, diketahui aspirasi) S. aureus (koma, trauma kepala, diabetes melitus, gagal ginjal) Legionela spp P. aeruginosa (rawat ICU lama, steroid

dosis tinggi, antibiotika, penyakit struktural paru) Klindamisin 600mg iv/8 jam atau Piperasilin-tazobaktam 3,375g iv/4 jam +/- vankomisin (sampai S aureus resisten metisilin dieksklusi) Eritromisin 1g/6 jam +/- rifampin Terapi sebagai pneumonia nosokomial berat Tabel 3. Etiologi dan terapi pada penderita dengan pneumoni nosokomial berat dengan faktor risiko, onset dini, atau pneumoni nosokomial berat onset lanjut Organisme inti + Antibiotika inti P. aeruginosa Acinetobacter spp. Pertimbangkan S. aureus resisten metisilin Aminoglikosida (gentamisin, tobramisin, amikasin) atau Siprofloksasin 400 mg iv/12 jam + salah satu berikut : Piperasilin-tazobaktam 3,375g iv/4jam atau Piperasilin-tazobaktam 4,5g iv/6 jam atau Imipenem 500 mg iv/6 jam atau Meropenem 1 g iv/8 jam atau Seftazidim 2 g iv/8 jam atau Sefepim 1-2 g iv/12 jam atau Sefpirom 2 g/12 jam + Vankomisin 1 g iv/12 jam jika curiga MRSA
SPM PARU 2006 28

Onset dini : pneumoni terjadi < 4 hari setelah rawat inap RS Onset lanjut : pneumoni terjadi > 5 hari setelah rawat inap RS Pneumoni nosokomial berat : - perawatan di ruang rawat intensif (ICU) - gagal napas, membutuhkan ventilasi mekanik atau membutuhkan O2 >35% untuk memenuhi saturasi >90% - foto toraks progresif cepat, pneumoni multilobar atau kavitasi pada infiltrat paru - bukti sepsis berat dengan hipotensi dan/atau disfungsi organ: syok (sistolik <90 mmHg atau diastolik <60 mmHg memerlukan vasopresor untuk > 4 jam produksi urine <20 mL/jam atau total <80 mL dalam 4 jam gagal ginjal akut memerlukan dialisis PENCEGAHAN Pencegahan merupakan upaya penting, antara lain universal precautions, mencuci tangan yang baik, institusi isolasi, desinfeksi dan sterilisasi alat, dan lain-lain. PROGNOSIS Faktor risiko mortalitas penderita pneumoni nosokomial :

- patogen gram negatif aerob, terutama P. aeruginosa - beratnya penyakit dasar - terapi antibiotika yang tidak tepat - usia lanjut - syok - infiltrat bilateral - terapi antibiotika sebelumnya - neoplasma - durasi rawat inap sebelumnya - posisi berbaring pada penderita dengan ventilasi mekanik DAFTAR PUSTAKA 1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 295-7 2. Fishman JA, Weber DJ, Rutala WA, Mayhall CG. Nosocomial Respiratory Tract Infections and Gram-Negative Pneumonia. In : Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, pp.734-62 3. Zaleznik DF. Hospital-Acquired and Intravascular Device-Related Infections. In : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. pp.846-9
SPM PARU 2006 29

PENCEGAHAN Pencegahan merupakan upaya penting, antara lain universal precautions, mencuci tangan yang baik, institusi isolasi, desinfeksi dan sterilisasi alat, dan lain-lain. PROGNOSIS Faktor risiko mortalitas penderita pneumoni nosokomial : - patogen gram negatif aerob, terutama P. aeruginosa - beratnya penyakit dasar - terapi antibiotika yang tidak tepat - usia lanjut - syok - infiltrat bilateral - terapi antibiotika sebelumnya - neoplasma - durasi rawat inap sebelumnya - posisi berbaring pada penderita dengan ventilasi mekanik DAFTAR PUSTAKA 1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 295-7 2. Fishman JA, Weber DJ, Rutala WA, Mayhall CG. Nosocomial Respiratory Tract Infections and Gram-Negative Pneumonia. In : Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, pp.734-62 3. Zaleznik DF. Hospital-Acquired and Intravascular Device-Related Infections. In :

Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. pp.846-9
SPM PARU 2006 30

8. ABSES PARU BATASAN Abses paru adalah lesi paru supuratif yang disertai dengan nekrosis jaringan di dalamnya. Dikenal pula dengan istilah necrotizing pneumonia bila lesi supuratif nekrosis (kavitas) multipel. ETIOLOGI Kuman penyebab biasanya terdiri dari campuran kuman aerob dan anaerob (Peptokokus, Peptostreptokokus, Fusobakterium spp., Bakteroides spp.) yang merupakan flora normal di orofaring. Penyebab paling sering bakteri piogenik terutama mikroba anaerob. Abses dapat terjadi karena : 1. aspirasi 2. penyulit pneumonia 3. trauma paru yang terinfeksi 4. infark paru yang terinfeksi atau berasal dari empiema Dalam pembicaraan selanjutnya hanya abses paru yang disebabkan oleh aspirasi yang akan diuraikan lebih lanjut. PATOGENESIS Infeksi akan mudah timbul bila ada faktor predisposisi, seperti: 1. Ada sumber infeksi dari saluran napas yaitu infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronkiektasis yang terinfeksi, dan tumor paru yang terinfeksi 2. Daya tahan saluran napas yang menurun, karena ada gangguan seperti paralisis laring, kesadaran menurun, akalasia, karsinoma esofagus, dan gangguan ekspektorasi. 3. Obstruksi mekanik saluran napas oleh karena aspirasi bekuan darah, pus, gigi, muntahan, tumor bronkus. Bahan yang terhisap akan masuk ke dalam paru yang letaknya lebih rendah (gravity dependent segment). Pada posisi tegak aspirat akan menuju segmen basal dari lobus inferior, terutama paru kanan, tetapi bila aspirasi terjadi pada waktu tidur terlentang, aspiratnya akan menuju ke segmen posterior lobus superior dan segmen superior lobus inferior. Proses dimulai sebagai suatu pneumonia dan bila tidak mendapat terapi yang adekuat, maka proses akan berkembang manjadi necrotizing pneumonia atau abses paru. PATOLOGI Kavitas yang terjadi akibat nekrosis jaringan, dikelilingi dinding tebal dan radang paru sekitarnya. Biasanya kavitas mempunyai hubungan dengan bronkus.
SPM PARU 2006 31

DIAGNOSIS Diagnosis abses paru akibat aspirasi ditegakkan dengan : 1. Adanya riwayat aspirasi terutama pada penderita-penderita dengan gangguan kesadaran, gangguan menelan. Pada keadaan tidur sering terjadi aspirasi yang tidak disadari. Keadaan predisposisi lain untuk infeksi anaerob. 2. Gejala klinik yang khas: perjalanan penyakit yang kronis dan indolen. Batuk dengan dahak purulen berbau busuk. 3. Kelainan di satu tempat di paru sesuai dengan posisi penderita pada waktu terjadi

aspirasi. Pemeriksaan penunjang Laboratorium - darah tepi : lekosit meningkat sedang 12.000-20.000/ml, LED meningkat, anemia - dahak : Pengecatan gram, didapatkan banyak PMN, serta bakteri dari berbagai jenis. Foto toraks Rongga soliter berdinding tebal yang dikelilingi konsolidasi biasanya disertai air fluid level. Diagnosis biasanya didasarkan pada radiologi toraks. DIAGNOSIS BANDING 1. Tuberkulosis paru : biasanya tidak disertai air fluid level 2. Karsinoma bronkogenik yang mengalami nekrosis. Dinding kavitas tebal, tidak rata 3. Bula atau kista yang terinfeksi dengan dinding tipis, di sekitarnya tidak ada reaksi radang. 4. Hematom paru ditandai dengan riwayat trauma, tidak ada gejala infeksi. 5. Sekuester paru yang mengalami abses. Tidak ada hubungan dengan bronkus (bronkografi). 6. Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi dan ditandai ada simple pneumoconiosis di sekitarnya PENYULIT 1. Batuk darah profus 2. Empiema atau piopneumotoraks 3. Abses otak 4. Anemia, kakeksi dan amiloidosis dapat timbul pada penyakit yang kronik GEJALA KLINIS Batuk, dahak berbau busuk (foetor ex ore), panas badan, nyeri pleuritik, badan tambah kurus, berkeringat malam. Perjalanan penyakit yang khas adalah kronik dan lamban (chronic and indolent) yang berpotensi untuk terjadinya penyulit yang mendadak dan gawat seperti abses otak, batuk darah profus, piopneumotoraks.
SPM PARU 2006 32

- amoxicilin 500 mg/8jam atau penisilin G 1-2juta unit iv/4-6 jam, ditambah metronidazol 500 mg po/iv tiap 8-12 jam - penisilin G 1,2 juta unit im/12 jam + kloramfenikol 500 mg/6jam Antibiotika sebaiknya diberikan sampai foto toraks membaik. b. Drainase postural dan fisioterapi Posisi tubuh diatur sedemikian rupa sehingga pus dapat keluar dengan sendirinya (akibat gaya berat) atau dengan bantuan fisioterapis. 2. Penatalaksanaan khusus a. Bronkoskopi Bila pus sukar keluar, maka perlu dilakukan bronkoskopi untuk membersihkan jalan napas dan menghisap pus. b. Pembedahan Bila antibiotika gagal. Abses menjadi kronik, kavitas tetap ada dan produksi dahak tetap ada sedangkan gejala klinis masih ada setelah terapi yang memadai selama 6 minggu atau adanya sisa jaringan parut yang luas sehingga dapat

mengganggu faal paru. Hal ini semuanya merupakan indikasi tindakan bedah. PROGNOSIS Bila pengobatan tepat, tidak terlambat maka prognosisnya baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 216-311 2. Fishman JA. Approach to the Patient with Pulmonary Infection. In: Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, p.672 3. Fraser RG, et al. Pneumonia. In: Diagnosis of Diseases of the Chest. Book II. 3rd ed. Philadelphia.WB Saunders. 1989, pp 807-27 4. Gerberding JL. General Principles and Diagnostic Approach. In: Textbook of Respiratory Medicine. 3rd ed. Editors: Murray JF, Nadel JA. WB Saunders. USA, 2000, p. 921 5. Goetz MB, Finegold SM. Pyogenic Bacterial Pneumonia, Lung Abscess, and Empyema. In: Textbook of Respiratory Medicine. 3rd ed. Editors: Murray JF, Nadel JA. WB Saunders. USA, 2000, pp. 1030-1 PENATALAKSANAAN 1. Penatalaksanaan umum Memperbaiki keadaan umum penderita dengan diit TKTP dan minum banyak. a. Antibiotika - klindamisin 600 mg iv/8 jam, membaik dilanjutkan 300 mg po/6jam - amoxicilin-clavulanate 875 mg po/12 jam
SPM PARU 2006 33

9 PENYAKIT PARU KERJA BATASAN Penyakit paru kerja adalah semua kelainan atau penyakit paru yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Penyakit paru kerja dapat berupa peradangan, penimbunan debu, fibrosis, tumor dan sebagainya. Noksa adalah bahan yang bisa merusak struktur anatomis organ tubuh dan sekaligus menimbulkan perubahan fungsi. Noksa di lingkungan kerja : 1. debu organik : nabati, hewani debu kapas (byssinosis), debu padi-padian (grain disease), debu kayu 2. debu inorganik : pertambangan, industri logam, keramik silikosis, asbestosis 3. gas iritan : industri petrokimia, farmasi SO2, NO2 Pneumokoniosis adalah kelainan paru akibat inhalasi debu partikel inorganik dengan manifestasi patologisnya. MEKANISME PENIMBUNAN NOKSA DI PARU 1. Impaksi inertia (kelambanan): - partikel ukuran 2 100 um - partikel relatif besar sulit mengikuti aliran udara yang berkelok-kelok,

sehingga mudah membentur selaput lendir dan terperangkap percabangan bronkus besar 2. Sedimentasi (gravitasi) : - partikel ukuran 0,5 2 um - mengendap di percabangan bronkus kecil & bronkioli. Gravitasi pengendapan dimungkinkan karena aliran udara lamban 3. Gerakan Brown (difusi): - partikel ukuran + 1 um - akibat gerakan Brown maka partikel akan membentur permukaan alveoli dan mengendap BAB lll

PENYAKIT PARU
BA

KERJA
SPM PARU 2006 34

MEKANISME PERTAHANAN PARU TERHADAP NOKSA 1. arsitektur saluran napas 2. lapisan cairan dan silia (mucociliary escalator) 3. mekanisme pertahanan spesifiik (humoral dan seluler) KELAINAN ANATOMIS PARU AKIBAT NOKSA 1. iritasi mukosa saluran napas berakibat sembab mukosa, hipersekresi lendir 2. hipereaktiviti bronkus 3. bronkospasme 4. radang granuler yang biasanya difus pada parenkim paru 5. pembentukan jaringan fibrosis 6. terjadi neoplasma pada paru maupun pleura PERUBAHAN FAAL PARU 1. kelainan ventilasi : restriksi, obstruksi, campuran 2. kelainan difusi 3. kelainan perfusi 4. gabungan ketiganya Kelainan anatomis maupun faal paru yang terjadi dapat reversibel atau menetap. 4. Intersepsi : - partikel berbentuk serat (fiber), dengan perbandingan panjang : diameter = 3:1 - karena bentuknya, mudah tersangkut mukosa saluran napas 5. Elektrostatik - daya tarik elektrostatik antara partikel mukosa saluran napas, berperan pula dalam pengendapan noksa Debu respirable ukuran 1-3 um tertahan dan tertimbun di saluran napas kecil yaitu bronkiolus terminalis hingga alveoli.
SPM PARU 2006 35

ABNORMALITAS FOTO TORAKS Klasifikasi kelainan parenkim paru didasarkan pada klasifikasi ILO sbb : Klasifikasi Diameter & Deskripsi

Opasitas kecil -Opasitas bulat p q r -Opasitas ireguler s t u Diameter < 1,5 mm Diameter 1,5-3,0 mm Diameter 3,0-10,0 mm Diameter < 1,5 mm Diameter 1,5-3,0 mm Diameter 3,0-10,0 mm Opasitas besar A B C Diameter 10-50 mm atau opasitas multipel, masing-masing diameter > 10 mm dengan diameter gabungan < 50 mm Diameter > 50 mm atau opasitas multipel dengan diameter gabungan < area lobus atas kanan Opasitas tunggal atau beberapa opasitas besar > area lobus atas kanan Profusi opasitas kecil Kategori : 0 1 2 Opasitas kecil tidak ada atau kurang profus dibandingkan kategori 1 Opasitas kecil ada tapi sedikit, lung marking normal tidak tertutup 3 Skala profusi : 12 Opasitas kecil banyak, lung marking normal biasanya sebagian tertutup Opasitas kecil sangat banyak, lung marking normal lebih tertutup 0/-, 0/0, 0/1, 1/0, 1/1, 1/2, 2/1, 2/2, 2/3, 3/2, 3/3, 3/+ angka I : menunjukkan kategori terpilih angka II : menunjukkan kategori alternatif yang perlu dipertimbangkan secara serius
SPM PARU 2006 36

DAFTAR PUSTAKA 1. Balmes JR. Clinical and Epidemiologic Methods. In : Occupational and

Environmental Respiratory Disease. Editors: Harber P, Schenker MB, Balmes JR. Mosby. 1996, pp.12-139 2. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 295-7 3. Fraser RS, Pare JAP, Fraser RG, Pare PD. Synopsis of Diseases of The Chest. 2nd ed. WB Saunders. 1994, pp 705-38 4. Speizer FE. Environmental Lung Disease. In : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. pp.1429-31 5. Tanoue LT. Occupational Lung Disorders: General Principles and Approaches. In : Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, pp.217-29
SPM PARU 2006 37

10 ASBESTOSIS BATASAN Asbestosis adalah pneumonitis interstisial dan fibrosis difus yang disebabkan oleh paparan debu/serat asbestos. Asbestos adalah serat (fibrus) terhidrasi magnesium silikat yang tidak terhancurkan oleh alam, tahan api, dapat dipintal. Asbestos dibagi 2 kelompok : kelompok serpentine (chrysotile) & kelompok amphibole (crocidolite, amosite, anthophyllite, tremolite, actinolite) EPIDEMIOLOGI Asbestosis dapat mengenai karyawan yang bekerja di lingkungan terpapar asbestos dan juga keluarganya, oleh karena debu asbestos dapat terbawa pulang lewat baju terkontaminasi. Konsumsi asbestos dunia mencapai puncaknya tahun 1973. Konsumsi menurun kurang lebih 50% sejak 1990-an. Risiko untuk mengalami gangguan fungsional dan radiologis abnormal sekitar 1% pada paparan 200 serat-tahun/cc. Asbestosis banyak dialami pada pekerja tambang asbestos, pekerja industri yang banyak menggunakan bahan asbestos, industri pipa, penduduk sekitar tambang/industri, penduduk urban di mana bahan rumah mengandung asbestos. PATOFISIOLOGI Serat asbestos terdeposit di bronkiolus respiratorius dan alveoli dengan impaksi, sedimentasi, intersepsi. Klirens inkomplit serat oleh makrofag dapat berakibat fibrosis paru. Derajat fibrosis pada asbestosis terkait muatan debu asbestos. Bila muatan debu sedikit, reaksi jaringan mungkin terbatas, penyakit dapat ringan dan tidak berkembang. Bila muatan debu besar, reaksi jaringan dan alveolitis lebih intens, terjadi jejas yang lebih berat, kronik dan dapat berkembang progresif. Terbukti adanya hubungan dose-response pada pekerja asbestos. Prevalensi asbestosis meningkat dengan meningkatnya intensitas dan durasi paparan. Awalnya paparan serat asbestos akan menimbulkan fibrosis pada dinding bronkiolus respiratorius utamanya cabang pertama, berlanjut mengenai cabang kedua, ketiga. Pada peribronkiolus dapat timbul reaksi seluler yang mengakibatkan penyempitan dan obstruksi lumen jalan napas. Perjalanan penyakit, fibrosis menjadi difus, arsitektur paru mengalami remodeling ekstensif, dan berbentuk sarang tawon.

SPM PARU 2006 38

GEJALA KLINIS Keluhan yang timbul adalah sesak napas pada waktu latihan dan keluhan ini baru timbul setelah fibrosis yang progresif dalam beberapa tahun. Sesak napas bersifat progresif. Keluhan ini akan terus berlanjut meskipun penderita dikeluarkan dari paparan asbestos, sampai penderita meninggal 15 tahun kemudian. Asbestosis biasanya akan timbul setelah terkena paparan selama 15-20 tahun, namun demikian juga tergantung dari tingginya kadar asbes. Apabila kadarnya tinggi bisa timbul dalam waktu hanya 3 tahun setelah mulai terkena paparan. Sesak napas dapat disertai batuk persisten, produksi sputum, dada sesak, dan wheezing. PEMERIKSAAN FISIK Tidak spesifik. Yang pertama kali didapatkan suara napas seperti ronki basah pada akhir inspirasi di daerah bagian bawah paru, sebagai tanda mulai adanya fibrosis di daerah tersebut. Apabila penyakit berlanjut akan timbul takipnea, sianosis, dan clubbing finger. Gerakan dinding dada akan berkurang dan timbul tanda-tanda adanya kor pulmonal berupa gelombang a yang tinggi pada arteri jugularis, ventrikel kanan prominen, dan didapat suara jantung III dan IV di daerah epigastrium. FOTO TORAKS Asbestosis dapat terjadi di paru mapun pleura. Paru : Pada tahap awal akan tampak kesuraman yang berbentuk garis dengan ketebalan antara 1 sampai 3 mm, terutama di bagaian bawah. Dengan bertambahnya kesuraman tersebut akan timbul kekaburan vascular pattern dan batas antara diafragma dan jantung. Meski jarang bisa tampak gambaran noduler. Volume paru akan berkurang disertai dengan timbulnya kista dan gambaran honey comb, pembesaran jantung dan arteri pulmonalis sebagai tanda adanya kor pulmonal. Jarang sekali didapatkan massa. Pleura : Timbul penebalan dan kalsifikasi, seringkali berupa obliterasi pada kedua sinus disertai dengan kalsifikasi di daerah diafragma dan plak yang menutup kosta bagian posterior. Tes faal paru Penurunan kapasitas vital yang progresif, penurunan volume total paru, volume residu normal atau sedikit meningkat, dan penurunan kapasitas difusi terhadap CO, peningkatan tekanan statik recoil serta penurunan compliance paru.
SPM PARU 2006 39

DIAGNOSIS Anamnesis : lingkungan yang terkena paparan debu asbes. Didapatkan opasitas kecil ireguler, dengan atau tanpa penebalan pleura, biasanya terkait dispnea, ronki, perubahan faal paru. PA dari biopsi jaringan: didapatkan asbestos body atau uncoated asbestos PENATALAKSANAAN Tidak ada obat yang dapat mempengaruhi perjalanan klinik asbestosis. Pengobatan hanya bersifat simtomatis. PENYULIT

1. Kanker paru dan mesotelioma maligna 2. Kor pulmonal kronik kompensata/dekompensata PROGNOSIS Jelek. DAFTAR PUSTAKA 1. Begin R, Samet JM, Shaikh RA. Asbestos. In : Occupational and Environmental Respiratory Disease. Editors: Harber P, Schenker MB, Balmes JR. Mosby. 1996, pp.293-21 2. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 295-7 3. Pare & Fraser. Synopsis of Diseases of The Chest. 2nd ed. WB Saunders. 1994, pp 705-38 4. Seaton A. Asbestosis. In : Occupational Lung Diseases. 2nd ed. Editors: Morgan WKC, Seaton A. Philadelphia.WB Saunders. 1984, pp 323-76 5. Speizer FE. Environmental Lung Disease. In : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. pp.1429-31 6. Tanoue LT. Asbestos-Related Lung Disease. In : Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, pp.217-29
SPM PARU 2006 40

11 SILIKOSIS BATASAN Penyakit paru akibat inhalasi jangka panjang debu silika kristalin bebas (silikon dioksid=SiO2). BENTUK SILIKA Silika kristalin (quartz, cristobalite, trydamite, stishovite, coesite), mikrokristalin, dan amorf (nonkristalin). FAKTOR RISIKO Pekerja tambang batubara/ batu mineral, pengecoran besi, kerajinan tanah liat, sandblasting, tungku pengecoran dengan bata tahan api, dan lain-lain. Silikosis tergantung : diameter & bentuk partikel bebas, konsentrasi dalam udara, lama paparan, efek tambahan debu, adanya penyakit lain, kerentanan individu. PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI Silika akan difagosit oleh makrofag, dengan akibat timbulnya kematian sel dan disertai dengan keluarnya enzim yang akan merangsang timbulnya fibrosis. Silika dengan struktur tetrahedral (quartz, cristobalite, trydamite, coesite) merupakan bahan fibrogenik, sedang silika dengan struktur oktahedral (stishovite, amorf) tidak fibrogenik. Diperkirakan ada faktor autoimun (artritis rematoid) seperti pada Caplans syndrome. GEJALA KLINIS Bentuk silikosis : - silikosis kronik (klasik) - silikosis terakselerasi (accelerated silicosis) - silikosis akut Pada silikosis akut kelainan akan timbul apabila kadar silika bebas amat tinggi

dan keluhan berupa sesak napas yang progresif disertai panas badan, batuk, dan penurunan berat badan yang timbul beberapa bulan sampai 5 tahun setelah terkena paparan silika. Kematian akan timbul pada penderita ini oleh karena hypoxic respiratory failure, dan perjalanan klinis ini tidak respons dengan pemberian steroid atau pengobatan lain. Sering terjadi infeksi oleh mikobakterium, nokardia, dan jamur. Pemeriksaan patologi pada silikosis akut akan didapatkan paru yang mengeras dan membengkak serta rongga pleura terisi jaringan fibrin. Mikroskopis didapatkan infiltrasi sel plasma, limfosit serta fibroblas dengan kolagen pada dinding alveoli. Sedang alveoli terisi dengan endapan eosinofil yang bisa dicat dengan pengecatan Schiff.
SPM PARU 2006 41

massive fibrosis atau silkosis konglomerat terjadi bila satu atau lebih gabungan nodul kecil pada paru penderita dengan silikosis kronik menyatu membentuk gambaran lebih besar (>10 mm) pada foto toraks. Pada pekerja dengan paparan silika yang tinggi (sandblasting, produksi tepung silika) perjalanan penyakit lebih progresif dan akan timbul fibrosis yang lebih hebat. Keadaan ini disebut accelerated silicosis dan timbul setelah paparan paling sedikit 10 tahun. Kondisi penderita bertambah buruk yang akhirnya jatuh dalam hypoxic respiratory failure. Pemeriksaan patologi pada silikosis kronik dan terakselerasi didapatkan nodul di daerah bronkus respiratorius sekitar arterioles dan di paraseptal serta jaringan subpleura. Struktur nodul ini konsentris dengan pusatnya merupakan jaringan kolagen yang mengalami hialinisasi yang di pinggirnya terdapat jaringan retikulin. Sedangkan pada nodul yang baru terdapat fibroblas di pinggirnya. DIAGNOSIS Anamnesis : lingkungan yang tercemar dengan silika Radiologis : kelainan foto toraks sesuai dengan kriteria ILO Pada silikosis terakselerasi kelainan radiologis sama dengan silikosis kronik, namun timbulnya lebih cepat, dan ada tendensi kelainan timbul di lapangan paru atas dengan komplikasi infeksi atau pneumotoraks. Pada silikosis akut tidak didapatkan kelainan noduler, tetapi berupa ground glass appearance seperti pada edema paru. Kelainan radiologis ini tidak khas untuk silikosis, tetapi sama dengan pneumokoniosis yang lain dan kadang mirip dengan tuberkulosis, tumor paru, edema paru atau penyakit paru kronis yang lain. Tes faal paru : pada silikosis terakselerasi akan menimbulkan kelainan restriksi dan obstruks, sedang pada silikosis akut akan timbul restriksi yang progresif. Kelainan faal paru ini juga tidak khas untuk silikosis. Bila ada riwayat paparan dan perubahan radiologis, diagnosis tidak sulit. Pada kasus dengan riwayat paparan tidak jelas, radiologis tidak khas, perlu BAL, biopsi paru (transbronkial, transtorakal, atau terbuka). DIAGNOSIS BANDING Kelainan paru yang menimbulkan kelainan paru difus serta kelainan faal paru restriksi dan gangguan difusi seperti sarkoidosis, cryptogenic fibrosing alveolitis, rhematoid lung, karsinomatus limfangitis, edema paru, tuberkulosis. Pada silikosis kronik keluhan penderita biasanya berupa batuk produktif disertai sesak napas yang progresif sesuai dengan luasnya fibrosis yang timbul serta didapatkan distorsi bronkus dan timbulnya emfisema. Pada tahap akhir penderita akan mengalami

gagal napas. Apabila kelainan utamanya restriktif penderita akan jatuh dalam korpulmonal. Pada pemeriksaan fisik biasanya tak dijumpai kelainan. Progressive
SPM PARU 2006 42

PROGNOSIS Jelek DAFTAR PUSTAKA 1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 295-7 2. Davis GS. Silica. In : Occupational and Environmental Respiratory Disease. Editors: Harber P, Schenker MB, Balmes JR. Mosby. 1996, pp.373-99 3. Pare & Fraser. Synopsis of Diseases of The Chest. 2nd ed. WB Saunders. 1994, pp 705-38 4. Seaton A. Silicosis. In : Occupational Lung Diseases. 2nd ed. Editors: Morgan WKC, Seaton A. Philadelphia.WB Saunders. 1984, pp. 250-94 5. Speizer FE. Environmental Lung Disease. In : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. pp.1429-31 6. Tanoue LT. Coal Workers Lung Disease and Silicosis. In : Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, pp.238-49 PENATALAKSANAAN Tidak ada terapi khusus untuk silikosis. Terapi hanya ditujukan pada simtomatis dan penyulitnya. Yang penting adalah pencegahan dengan jalan mengurangi atau kalau mungkin menghilangkan debu silika. PENYULIT - infeksi oportunistik , tuberkulosis - pneumotoraks - rematoid atau penyakit kolagen lain - kor pulmonale
SPM PARU 2006 43

12 INHALASI AKUT GAS TOKSIK BATASAN Gas toksik atau gas beracun merupakan suatu noksa bagi paru, karena merupakan bahan yang dapat menyebabkan perubahan struktural, fungsional, maupun gabungan keduanya secara bersama-sama. Selain mengenai paru dapat pula mengenai organ lain sekaligus. Tetapi dapat juga hanya mengenai organ di luar paru, sedangkan paru tetap normal. PATOFISIOLOGI Reaksi paru terhadap paparan gas toksik dipengaruhi oleh : - faktor toksikan sifat fisik dan kimia gas : bau gas, kelarutan dalam air intensitas ( konsentrasi / durasi ) paparan - faktor host mekanisme pertahanan

parameter ventilasi status kesehatan sebelumnya Klasifikasi kelainan paru pada paparan gas toksik Golongan gas Kelainan struktural Kelainan fungsional Organ lain I Tidak ada Tidak ada Ada II Ada Ada Tidak ada III Ada Ada Ada Kelainan pada saluran napas berupa kelainan struktural dari yang tidak berarti sampai dengan kelainan yang memberikan perubahan fungsional, seperti faringitis, laringitis ringan, sedang, maupun berat, trakeitis, trakeobronkitis, bronkiolitis, bronkiolitis obliterans. Kelainan fungsional dimulai dari yang tidak ada sama sekali hingga berupa kelainan obstruksi ringan sampai berat. Kelainan ini dapat disertai hipersekresi kelenjar mukosa dan hipereaktiviti yang dapat menimbulkan bronkospasme. Kelainan yang ditimbulkan dapat mengenai saluran napas atau parenkim paru, dapat pula pada seluruh organ paru. Klasifikasi lain I. Toksikan respirasi A. Bahan tunggal : 1. asfiksian : - sederhana - kimia : yang menurunkan kapasitas angkut O2 (CO, H2S, oksida nitrogen) yang menghambat penggunaan O2 jaringan ( HCN, H2S, acrylonitrile) 2. iritan -gas dengan solubiliti tinggi (amonia, SO2, formaldehid, klorin (intermediet)) -gas dengan solubiliti rendah (oksida nitrogen, fosgen, ozon)
SPM PARU 2006 44

B. Bahan campuran : inhalasi asap (smoke), dll II.Toksikan sistemik A. Sistem saraf B. Sistem lain GEJALA KLINIS / KELUHAN Secara umum keluhan atau gejala yang timbul tergantung pada jenis gas : Gas toksik golongan I (CO, HCN, H2S, CH3Cl, N2, CO2, O2) Paru hanya sebagai pintu masuk karena itu tidak didapatkan kelainan struktural maupun fungsional. Sedangkan efek toksiknya sendiri tampak pada organ lain, misalnya hipoksia pada otak yang disertai konvulsi dan kehilangan kesadaran. Kecelakaan dengan gas karbon monoksida dalam industri menduduki tempat teratas. Kejadian lain adalah percobaan bunuh diri. Gas ini sama sekali tidak berbau. Kesadaran penderita menghilang, terjadi hipoksia karena meningkatnya ikatan Hb-CO. Hal yang sama dapat terjadi pada keracunan dengan gas HCN maupun gas H2S. Kecelakaan ini sering dijumpai di daerah gunung berapi, dan lebih berbahaya lagi bila ada keletihan olfatorik, karena korban tidak menyadari adanya bahaya. Kelompok gas ini juga disebut gas asfiksian kimiawi, karena dalam jumlah relatif sangat sedikit dapat menimbulkan bahaya maupun kematian. Sedangkan pada paparan akut dalam jumlah

besar, korban dapat langsung kehilangan kesadaran dan meninggal. Gas toksik golongan II - gas yang larut dalam air (NH3, HCHO, SO2) Gas ini mudah dikenali, bau tajam dan menyengat, sangat iritatif. Jarang terjadi kelainan pada paru karena orang cepat menghindar. Kelainan dapat terjadi pada kulit muka, tangan dan bagian badan yang tidak terlindung, berupa luka bakar, iritasi pada konjungtiva maupun saluran napas bagian atas. Kelainan pada mata dapat berakibat dengan kebutaan. Kelainan pada saluran napas dapat berupa faringitis, laringitis ringan, sedang maupun berat, trakeitis, trakeobronkitis maupun bronkiolitis/bronkiolitis obliterans. Kelainan fungsional berupa obstruksi ringan sampai berat, dengan hipersekresi mukosa bronkus. Pada hipereaktiviti bronkus, dapat terjadi bronkospasme menimbulkan serangan seperti asma. Keluhan batuk-batuk, dapat disertai sesak napas, napas berbunyi maupun dada terasa sakit atau panas, adakalanya terasa seperti tercekik (edema glotis). Paparan dalam jumlah besar akan menimbulkan reaksi akut edema paru. Kelainan ini dengan mudah dan cepat dikenali sehingga tindakan pertolongan pertama dapat diberikan dengan segera.
SPM PARU 2006 45

Gas toksik golongan III (CH3Br, CH3Cl, S(CH2-CH2Cl)2 Kelainan yang ditimbulkan selain banyak yang mirip atau sama dengan gas toksik golongan II, disertai pula dengan perubahan di tempat lain atau organ lain. Kelainan ini kebanyakan bersifat fatal oleh karena terjadi kegagalan ganda beberapa organ sekaligus. Selain dalam industri, beberapa dari gas golongan ini juga dipergunakan dalam peperangan oleh karena mempunyai kemampuan membunuh lawan dalam jumlah besar. Pada faal paru sering dijumpai dyspneu deffort dan cacat seumur hidup. Banyak dijumpai dalam industri kimia sebagai bahan baku, produk antara, produk sampingan maupun sebagai bahan pelarut. Gas asfiksian sederhana (simple asphyxiant gases) merupakan gas yang dalam keadaan normal (suhu 250C dan 1 atmosfir) tidak berbahaya bagi mahluk hidup dan manusia, namun dalam konsentrasi tinggi dan tekanan hiperbarik menimbulkan bahaya, karena gas ini akan mendesak atau menurunkan konsentrasi O2 dalam udara pernapasan. Contoh gas ini adalah gas He, N2, CO2 (kecelakaan pada penyelaman). Juga terjadi apabila 100% O2 1 ATA dihirup selama 24 jam dan dalam 6 jam sudah dapat terjadi kerusakan tersebut apabila tekanan 2 ATA. Kelainan ini dikenal sebagai efek Lorraine-Smith, reaksi awal edema paru, mikroatelektasis, dan mikrohemoragi pada tahap sedang dan penyulit berupa fibrosis paru. Juga dapat terjadi fibrosis retrolental pada mata. DIAGNOSIS Diagnosis didasarkan adanya kelainan yang sesuai dengan kelainan yang disebabkan gas ditambah dengan riwayat adanya kemungkinan inhalasi dengan gas tertentu. DIAGNOSIS BANDING Perlu dibedakan antara kelainan struktural dan fungsional yang disebabkan oleh inhalasi gas dengan kelainan yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri dll. PENATALAKSANAAN 1. Pencegahan 2. Pengobatan Gas asfiksian sederhana

1. Pencegahan 1.1. Pencegahan primer Untuk calon karyawan, menghindari reaksi fatal yang mungkin terjadi karena paparan gas toksik terutama pada orang yang mempunyai kelainan paru atau faal paru yang sudah marginal, dan organ lain yang juga peka terhadap gas toksik tersebut. 1.2. Pencegahan sekunder Dilakukan terhadap karyawan yang sudah bekerja serta pengendalian kadar gas toksik di lingkungan kerja, dengan cara :
SPM PARU 2006 46

- pemeriksaan berkala secara teratur, organ paru dan organ lain yang juga menjadi sasaran kelainan gas toksik - kepatuhan pemakaian alat pelindung - selalu ada pendamping atau orang lain yang berada di luar - membiasakan untuk mandi setelah melakukan pekerjaan, mencuci tangan sebelum makan, minum maupun merokok. - tersedia brosur mengenai tindakan pengamanan/pencegahan/pertolongan pertama yang harus segera dilakukan dan antidotum yang dapat segera diberikan - terdapat prosedur tetap bagi tiap jenis pekerjaan yang menggunakan bahan B3, mulai dari semua tindak pencegahan sampai dengan prosedur penggunaan bahan itu sendiri, cara penyediaan sampai dengan penyimpanan - pengendalian konsentrasi gas noksa, mengacu pada harga NAB (Nilai Ambang Batas) dan harga NAS (Nilai Ambang Sesaat yang diperkenankan), pengendalian sirkulasi udara lingkungan kerja dan adanya alat pembersih udara. 2. Pengobatan 2.1. di luar Rumah Sakit a. tindakan terhadap keracunan akut hampir semua gas toksik yang ada tidak ada antidotumnya. Minimal di semua tempat kerja yang menggunakan B3 (bahan berbahaya dan beracun) selalu tersedia tabung oksigen, ambu bag (alat respirator manual), obatobatan terutama antidotum serta stimulan pernapasan dan kardiovaskuler, cairan, dan infus set. b. paparan akut terhadap gas toksik yang tidak memberikan reaksi segera, dilakukan obserbasi untuk menghadang terjadinya reaksi paru atau SSP dan organ lain yang timbul kemudian serta membahayakan jiwa. Korban segera dipindahkan dari lingkungannya, mandi, dan ganti pakaian. Tidak diperbolehkan pulang dahulu, berlaku bagi gas golongan II yang sulit larut dalam air maupun gas golognan III. Kelainan baru muncul 6-8 jam setelah paparan, bahkan ada yang baru muncul setelah 2-3 x 24 jam (gas fosfin & fosgen). c. keracunan dengan keadaan klinis akut -lakukan penilaian tingkat derajat kegawatan untuk dipergunakan sebagai

data dasar, catat semua parameter vital -pindahkan korban dari lingkungan kerjanya, basuh dan bersihkan dengan air bersih dan gantilah pakaiannya -berikan oksigen dengan nasal prong atau masker apabila terdapat kesulitan bernapas (sianosis, hiperventilasi, hipoventilasi) -pasang infus dan berikan antidotum bila ada, serta segera larikan ke RS
SPM PARU 2006 47

2.2. di Rumah Sakit a. Umum - upayakan bahwa oksigen tetap diberikan dan oksigenasi berjalan dengan baik, harus adekuat dan dipantau gas darahnya. Apabila kadar O2 tidak juga membaik dipertimbangkan pemakaian respirator, penggunaan PEEP pada edema paru yang luas dan disertai renjatan (mencegah kebocoran plasma yang berlanjut) - bila paparan dengan gas toksik tergolong gas dengan sifat iritasi yangkuat, berikan kortikosteroid intravena, yang terbaik adalah hidrokortison dalam larutan aqua : dosis berkisar antara 200-400 mg/ 6-8 jam - kalau klinis dijumpai tanda-tanda bronkospasme, dapat diberikan bronkodilator golongan beta2 agonis : terbutaline sulfat 0,25 mg sc/iv atau yang lain. Kalau tidak ada sementara dapat diberikan larutan adrenalin 1/1000 0,3-0,5 ml sc. - antibiotika terutama dari golongan penisilin, makrolid maupun sefalosporin apabila dalam pengamatan dicurigai ada infeksi sekunder. Pada kehilangan kesadaran, waspadai adanya pneumonia aspirasi (vide terapi pneumonia) - cairan ringer laktat, perlu diberikan pada penderita yang jatuh ke dalam renjatan akibat adanya kebocoran di pembuluh darah kapiler paru (permeabilitas meningkat). Pemberian plasma ekspander dapat pula dipertimbangkan dengan pemantauan yang baik terhadap kemungkinan terjadinya hipervolemia. - pemantauan yang ketat dari waktu ke waktu semua fungsi organ vital baik kesadaran, tensi dan nadi, perfusi jaringan, frekuensi napas, refleks fisiologis, balans cairan dan elektrolit, disesuaikan dengan jenis gas noksa serta sifat kelainan yang ditimbulkan. b. Khusus Ditujukan pada gas toksik yang ada antidotumnya - atropinisasi. Khusus untuk gas toksik dengan efek kolinergik seperti golongan organofosfat dan karbamat. (vide keracunan dengan organofosfat) - amil nitrit atau Na-nitrit, Na-tiofulfat. Khusus bagi keracunan gas sianida atau senyawa sianida yang terdapat dalam makanan. (vide keracunan dengan sianida) PENYULIT 1. Bronkitis kronis 2. Bronkiektasis 3. Fibrosis paru PROGNOSIS Jelek DAFTAR PUSTAKA 1. Delclos GL, Carson AI. Acute Gaseous Exposure. In: Occupational and Environmental Respiratory Disease. Editors: Harber P, Schenker MB, Balmes JR. Mosby. 1996, pp.514-34

2. Parmeggiani L. Encyclopedia of Occupational Healths and Safety. ILO-United Nations International Labour Organization. Geneve, 1983.
SPM PARU 2006 48

13 ASMA KERJA BATASAN Asma kerja adalah penyakit yang ditandai adanya hambatan aliran udara dan/atau hiperesponsivitas jalan napas yang dikaitkan dengan penyebab atau kondisi lingkungan kerja dan tidak terstimuli di luar lingkungan kerja. INCITING AGENT Banyak sekali agent penyebab yang dijumpai di tempat kerja sebagai inciting agent asma. Pada umumnya dibedakan dalam 2 grup berdasarkan berat molekul : a. High molecular weight (HMW) / berat molekul tinggi Yang termasuk agent ini antara lain protein, polisakarida, dan peptida yang akan merangsang terjadinya respons alergi dengan memproduksi antibodi spesifik IgE dan kadang-kadang IgG. Penderita biasanya atopi dengan riwayat rhinitis alergika, atau eksema. Tes provokasi inhalasi dengan alergen HMW di tempat kerja merangsang timbulnya reaksi asma segera atau reaksi bifasik (biasanya reaksi tipe segera dan tipe lambat), dan jarang merangsang timbulnya reaksi asma tipe lambat. b. Low molecular weight (LMW) / berat molekul rendah Banyak sekali agent dengan berat molekul rendah yang dapat menyebabkan asma akibat kerja. Agent tersebut berasal dari hewan, tumbuhan, enzim, obat-obatan, logam dan garam. Dalam beberapa kondisi berbentuk gabungan sebagai hapten dan kombinasi dengan protein membentuk alergen. GEJALA KLINIS Gejala klinik akan timbul setelah periode laten tertentu yang bervariasi pada setiap individu, antara beberapa minggu hingga beberapa tahun. Gejala batuk, wheezing, dada terasa berat, dapat terjadi setelah kontak beberapa menit dengan alergen. Atau gejala ini mengalami penundaan hingga baru muncul pada malam harinya. Penderita bisa mengalami gejala akut atau delayed. Biasanya hal ini merupakan tanda bahwa penyakitnya akan memberat pada minggu berikutnya. Sebagian besar penderita dengan asma kerja juga menderita rinitis alergika atau konjungtivitis. Terdapat 2 bentuk asma kerja : 1. Asma kerja dengan periode laten Asma kerja terjadi setelah periode waktu paparan dengan inciting agent di tempat kerja, biasanya low molecular weight, di samping high molecular weight. 2. Asma kerja tanpa periode laten Disebut juga irritant induced asthma/Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS) Lebih jarang terjadi. Gejala muncul dalam beberapa jam setelah paparan. Biasanya disebabkan oleh gas iritan, seperti klorin, amonia.
SPM PARU 2006 49

PATOFISIOLOGI Karakteristik patofisiologi asma kerja adalah inflamasi jalan napas. Asma kerja akibat LMW agent menyerupai asma intrinsik, sedangkan akibat HMW agent menyerupai asma

ekstrinsik. Asma kerja akibat HMW merupakan IgE dependent. Sedangkan asma kerja akibat LMW masih kontroversial, dapat merupakan reaksi alergik maupun non alergik, yang diduga melibatkan sel limfosit T (CD8). DIAGNOSIS Dalam pendekatan penderita dengan kecurigaan asma menentukan : 1. diagnosis asma 2. asma berhubungan dengan kerja. Ada 5 langkah diagnostik yang dapat dikerjakan : 1. riwayat yang mendukung adanya reaksi 2. bukti adanya penyakit obstruksi jalan napas kerja yang penting adalah 3. konfirmasi bronkokonstriksi di tempat kerja 4. dokumentasi sensitisasi bronkus terhadap agent yang diduga 5. menentukan hubungan kausal dengan tes provokasi bronkus dengan agent tersebut. Laboratorium : IgE spesifik, RAST, tes kulit khususnya pada asma kerja akibat HMW Faal paru : adanya perbaikan gejala obstruksi setelah pemberian bronkodilator dan steroid. Bila faal paru normal sebaiknya dilakukan tes provokasi bronkus. PENATALAKSANAAN Sekali penderita didiagnosis menderita asma kerja maka sebaiknya penderita dipindahkan dari tempat kerja terpapar. Sekali individu tersensitisasi, konsentrasi sangat kecil dari agent spesifik dapat menginduksi bronkospasme. Bila tidak ada pekerjaan lain sehingga pekerja harus tetap di tempat pekerjaan tersebut, maka diupayakan mengurangi derajat paparan semaksimal mungkin, misalnya dengan membuat ventilasi di tempat kerja, memakai alat pelindung di tempat kerja. Pengobatan asma kerja tidak berbeda dengan asma bronkial pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 297 2. Malo JL, Cartier A. Occupational Asthma. In: Occupational and Environmental Respiratory Disease. Editors: Harber P, Schenker MB, Balmes JR. Mosby. 1996, pp.420-32 3. National Institute of Health National Heart, Lung, and Blood Institute. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Bethesda, 2002,
SPM PARU 2006 50

14 EFUSI PLEURA BATASAN Kumpulan cairan di rongga pleura. PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI Transudat Merupakan cairan ekstraseluler yang timbul dalam kavum pleura secara pasif. Berat jenis cairan < 1,015, dengan protein < 2 3 g/dl. Terjadi sebagai akibat perubahan faktor sistemik yang mempengaruhi pergerakan

cairan pleura. Contoh: - peningkatan cairan interstisial pulmonal dan peningkatan tekanan kapiler pleura viseral pada gagal jantung kiri - penurunan tekanan onkotik Eksudat Terjadi akibat perubahan faktor lokal sehingga terjadi akumulasi cairan pleura. Cairan dalam rongga pleura yang disebabkan oleh penyakit infeksi atau neoplasma. Umumnya kadar protein > 3 g / dl, dapat berwarna kuning, purulen ataupun kemerahan, dengan atau tanpa sel-sel atau bakteri. Secara umum dapat disebabkan oleh inflamasi, infeksi, neoplasma. GEJALA KLINIS - Sesak napas merupakan gejala utama, kadang-kadang disertai perasaan tidak enak di dada. Bila cairan pleura sedikit, maka tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan klinik, tetapi dapat dideteksi dengan radiografi. BAB IV

PENYAKIT PLEURA
- Kadang-kadang disertai nyeri pleuritik atau batuk nonproduktif. Tetapi efusi pleura lebih sering merupakan komplikasi dari pneumonia (efusi parapneumonia). Pemeriksaan fisik - Pada inspeksi : gerak napas tertinggal pada sisi efusi, sela iga nampak melebar dan menonjol. - Pada perkusi : suara ketok terdengar redup sesuai dengan luasnya efusi, dapat membentuk garis Ellys damoiciere, tanda pendorongan mediastinum. - Pada palpasi : fremitus raba menurun. - Pada auskultasi : suara napas menurun atau menghilang. Suara bronkial dan egofoni sering dijumpai tepat di atas efusi.
SPM PARU 2006 51

Makroskopis - Aspirasi cairan dan biopsi pleura dapat dipergunakan untuk mendiagnosis penyakit dan sebagai bahan biakan. - Kadang diperlukan pemeriksaan torakoskopi untuk membantu diagnosis. - Makroskopis cairan efusi pleura transudat berwarna bening atau kuning, cairan eksudat berwarna kuning jernih, purulen, kemerahan, kecoklatan. Bila berwarna putih seperti susu, menunjukkan adanya cairan chylous. Mikroskopis - Cairan pleura dapat dipakai untuk pemeriksaan sitologi dan hitung jenis. - Efusi yang banyak mengandung sel darah merah, kemungkinan karena keganasan atau infark paru. Bila banyak mengandung sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakterial. Limfosit yang ada dalam cairan pleura tidak khas untuk tuberkulosis. Eosinofil dalam jumlah banyak, kemungkinan ada penyakit pada jaringan ikat atau efusi pleura eosinofilik. Laboratorium - Protein > 3 g/dl : eksudat, < 3 g/dl : transudat - Rasio protein efusi : serum > 0,5 : eksudat, rasio protein efusi : serum < 0,5 : transudat - Glukosa < 60 g/dl : tuberkulosis, efusi pleura rematoid

- Rasio LDH efusi : serum > 0,6 : eksudat, rasio LDH efusi : serum < 0,6 : transudat Foto toraks - Foto toraks PA atau AP duduk, untuk melihat permukaan cairan pleura. Cairan cenderung menuju ke tempat rendah. Tanda awal radiologi adalah sinus frenikokostalis tumpul. Jumlah cairan pleura > 300 cc tampak pada foto toraks. Bila jumlah cairan sedikit dapat terlihat pada foto toraks dalam posisi dekubitus. - Efusi pleura yang terlihat pada foto toraks berbentuk kantong (pocketed/loculated) masih perlu dibedakan dengan gambaran penyakit lain, mungkin diperlukan pemeriksaan penunjang lain seperti USG toraks atau CT scan toraks. - Pada efusi minimal tampak sinus kostofrenikus tumpul. - Efusi dalam jumlah banyak menyebabkan pendorongan mediastinum / pergeseran mediastinum ke arah yang sehat. Tetapi bila tidak ada pergeseran mediastinum, kemungkinan efusi disertai kolaps paru. - Kolesterol, trigliserida : chylothorax - PCR (Polimerase chain reaction) dan ADA (adenosine deaminase) untuk tuberkulosis - Kultur dan tes sensitivitas cairan pleura untuk kecurigaan infeksi bakterial. - Sitologi cairan pleura untuk keganasan.
SPM PARU 2006 52

Efusi pleura lainnya Chylothorax adalah efusi pleura yang disebabkan karena adanya kebocoran dari duktus torasikus. Kebocoran ini dapat disebabkan trauma, keganasan (limfoma maligna), atau penyumbatan oleh filariasis di daerah tropik. DIAGNOSIS Anamnesis biasanya dijumpai keluhan sesak napas. Pemeriksaan fisik adanya gerakan asimetris sisi sakit tertinggal, sela iga melebar, keredupan pada sisi sakit, fremitus raba menurun pada sisi sakit, suara napas menurun pada sisi sakit. Foto toraks tampak gambaran cairan efusi pleura. Aspirasi cairan pleura memastikan adanya efusi pleura. Bila diperlukan dapat dibantu USG toraks atau CT scan toraks. DIAGNOSIS BANDING - konsolidasi paru karena pneumonia - neoplasma paru dengan kolaps paru - fibrosis pleura PENATALAKSANAAN - Aspirasi cairan pleura untuk mengurangi keluhan sesak napas. Dianjurkan untuk melakukan aspirasi sedikit demi sedikit, sebanyak 500-1000 cc, untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengambilan cairan yang banyak dan cepat. - Dapat dilakukan pemasangan chest tube dan pleurodesis pada efusi keganasan atau efusi yang sering kambuh, dengan menggunakan serbuk tetrasiklin HCl dosis 20 mg/kgBB yang dilarutkan dalam 50 cc cairan fisiologis (garam faali). Penderita diupayakan berubah posisi atau digoyang supaya merata, kemudian cairan dikeluarkan setelah diklem selama 24 jam. Bahan pleurodesis yang lain seperti talk, dekstrosa 40%, dll. - Dapat pula memasukkan kemoterapi intrapleura pada proses keganasan seperti bleomisin, 5 flurourasil, cisplatin. PENYULIT

Empiema PROGNOSIS Prognosis tergantung penyakit dasarnya. Biasanya sembuh setelah diberi pengobatan adekuat terhadap penyakit dasar.
SPM PARU 2006 53

2. Fraser RS, et al. Synopsis of Diseases of The Chest. 2nd ed. WB Saunders. 1994, pp 868-95 3. Light RW. Clinical Manifestations and Useful Tests. In: Pleural Diseases. 4th ed. Philadelphia.Lippincott Williams & Wilkins. 2001, pp. 42-86 4. Light RW. Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In: Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. pp.1472-5 5. Rosenbluth DB. Pleural Effusions: Nonmalignant and Malignant. In: Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies.2002, pp.487-506 DAFTAR PUSTAKA 1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 216-311.
SPM PARU 2006 54

15 PNEUMOTORAKS BATASAN Pneumotoraks adalah akumulasi udara pada kavum pleura disertai kolaps paru. PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI Tekanan intrapleura adalah negatif, tekanan alveoli adalah positif. Bila terjadi hubungan antara kavum pleura dengan alveoli, udara akan bergerak dari alveoli ke dalam kavum pleura sampai terjadi keseimbangan tekanan atau hubungan tertutup. Kejadian yang sama pada hubungan antara dinding dada dan kavum pleura. Pneumotoraks dibagi menjadi 3 : 1. pneumotoraks spontan : primer : bila tidak dijumpai penyakit primer, biasanya pada laki-laki muda, tinggi, kurus, merokok. sekunder : bila terdapat penyakit primer di paru, seperti PPOK, asma, sarkoidosis, tuberkulosis, fibrosis paru idiopatik, dll. 2. pneumotoraks traumatik 3. pneumotoraks iatrogenik Pembagian pneumotoraks berdasarkan jenis fistel bronkopleura : 1. pneumotoraks terbuka : bila robekan pleura viseralis tetapi terbuka sehingga tekanan di dalam kavum pleura sama dengan tekanan udara luar. 2. pneumotoraks tertutup : bila robekan menutup setelah udara yang masuk cukup banyak. 3. pneumotoraks ventil / tension pneumothorax : bila terjadi mekanisme check valve di mana udara dapat masuk ke kavum pleura tetapi tidak dapat keluar lagi. Akibatnya akan terjadi pergeseran mediastinum ke sisi sehat.

Hemopneumotoraks, hidropneumotoraks, piopneumotoraks bila kavum pleura berisi udara dengan darah, cairan pleura jernih atau nanah. GEJALA KLINIS - sesak napas ringan sampai berat - nyeri dada ringan sampai berat - gagal napas dan mungkin disertai sianosis
SPM PARU 2006 55

Foto toraks - tampak garis kolaps paru. Pada pneumotoraks parsial yang lokasinya di anterior atau posterior, batas garis kolaps mungkin tidak terlihat. Bila diperlukan dapat dilakukan foto toraks lateral. - Mediastinal shift dapat terlihat pada foto toraks atau fluoroskopi pada saat inspirasi atau ekspirasi, terutama dapat terjadi pada pneumotoraks ventil. DIAGNOSIS BANDING 1. pleurisi dan perikarditis 2. infark miokard dan emboli paru 3. bronkitis kronis dan emfisema 4. hernia diafragmatika 5. dissecting aneurysmae aortae PENATALAKSANAAN Terapi tergantung berat ringan pneumotoraks dan penyakit dasar. Pneumotoraks spontan primer stabil Kolaps paru kecil (<15-20%): observasi, suplemen O2 untuk mempercepat reabsorbsi. Kolaps luas dan ada keluhan : aspirasi, kateter toraks. Pneumotoraks spontan sekunder Kateter toraks Torakoskopi dengan stapling bleb & abrasi pleura atau pleurodesis dengan scleroting agent untuk mencegah relaps. Pneumotoraks ventil Dekompresi dengan jarum besar yang dimasukkan ke rongga pleura midklavikula ruang antar iga 2 depan, dilanjutkan pemasangan kateter toraks Setelah kateter toraks 5-7 hari paru masih kolaps atau bronkopleura fistula menetap, dianjurkan torakoskopi / VATS Analgetika untuk mengobati nyeri. GEJALA KLINIS - sesak napas ringan sampai berat - nyeri dada ringan sampai berat - gagal napas dan mungkin disertai sianosis Pemeriksaan fisik - pada pneumotoraks ventil sering terjadi kolaps sirkulasi akibat pergeseran mediastinum. - pada inspeksi didapatkan gerak napas asimetris, sisi sakit tertinggal - pada perkusi didapatkan suara hipersonor - pada auskultasi didapatkan suara napas menurun sampai menghilang pada sisi sakit
SPM PARU 2006 56

DAFTAR PUSTAKA

1. Baumann MH, Stranger C, Heffner JE, et al. Management to spontaneous pneumothorax. An American College of Chest Physicians Delphi Consensus Statement. Chest 2001;119:590-601 2. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 216-311 3. Light RW. Pneumothorax. In: Pleural Diseases. 4th ed. Philadelphia.Lippincott Williams & Wilkins. 2001, pp. 284-319 4. Rosenbluth DB. Pneumothorax. In: Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, pp.507-12 PENYULIT - pneumotoraks ventil dapat berakhir fatal bila terjadi kolaps sirkulasi - gagal napas - hemopneumotoraks - empiema - atelektasis - pneumotoraks berulang/rekuren - emfisema subkutis atau mediastinum - edema paru reekspansi PROGNOSIS - baik, apabila segera dilakukan pertolongan dan pengobatan intensif, terutama yang mengenai penderita muda yang sehat. - tergantung penyakit dasar
SPM PARU 2006 57

16 HEMOTORAKS BATASAN Adanya darah di dalam rongga pleura PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI 1Trauma tajam maupun tumpul ( penetrating and non penetrating trauma ) Pada trauma tumpul dapat timbul fraktur kosta yang dapat mengakibatkan robekan pembuluh darah interkostalis dan juga menimbulkan robekan pada jaringan paru. Trauma tajam seperti keadaan iatrogenik pada pemasangan kateter vena sentral,komplikasi pada operasi toraks. 2Non trauma.Berkaitan dengan keganasan,komplikasi karena pemberian obat anti koagulansia misal:terapi emboli paru,penderita dengan haemorrhagic diathesis ( hemo filia,trombositopeni ) penyulit pneumotoraks spontan,ruptur aneurisma aorta. GEJALA KLINIS Gejala dan keluhan hemotoraks tergantung berat ringan trauma.Penderita bisa mengeluh sesak napas,nyeri dada dan anemi sampai syok. DIAGNOSIS Anamnesis: ada riwayat trauma dada atau setelah tindakan pembedahan. Pemeriksaan fisik : didapatkan tanda-tanda seperti efusi pleura.Pada hemitoraks yang sakit pergerakan berkurang.Perkusi pada sisi sakit redup dan pada auskultasi suara napas terdengar menurun atau menghilang sama sekali. Gambaran radiologi : seperti efusi pleura.

Setelah dilakukan aspirasi percobaan,cairan tersebut dilakukan pemeriksaan kadar hematokrit atau hemoglobin ( Hb ). Dikatakan hemotoraks bila kadar hematokrit atau Hb Cairan pleura setengah nilai hematokrit atau kadar Hb darah perifer . PENATALAKSANAAN Pemasangan kateter toraks Torakotomi bila perdarahan > 200 ml / jam dan tidak ada tanda-tanda perdarahan berkurang. PENYULIT Syok hipovolemik Gagal napas DAFTAR PUSTAKA 1 Fraser RS et al. Synopsis of diseases of the chest. 2nd ed WB Saunders Comp.1994: pp868-895. 2 Light RW.Disorder of the pleura,mediastinum, and diafragma.In:Harrison,s Principle of Internal medicine. 14 th ed.Eds : Fauci AS,Braunwald E,Isselbacher KJ et al.McGrawHill.1998:pp1472-1475.
SPM PARU 2006 58

17 EMPIEMA TORAKSIK BATASAN Empiema toraks adalah adanya pus/nanah dalam rongga pleura. ETIOLOGI A. Berasal dari paru: 1. Pneumonia 2. Abses paru 3. Fistel bronkopleura 4. Bronkiektasis 5. Tuberkulosis paru 6. Jamur paru B. Infeksi dari luar paru 1. Trauma dari otak 2. Pembedahan otak 3. Torasentesis 4. Abses subfrenik 5. Abses hati karena amuba Penyebab 1. Bakteria gram negatif ( Pseudomonas aeruginosa, Klebsiela, Bakteroides, E coli, Proteus mirabilis ) 20-30% 2. Stafilokokus aureus 25-35% 3. Streptokokus piogenes 5-15% 4. Bakteria anaerob 30-70% 5. Kultur (-) 3-30% 6. Polimikroba 30-70% PATOFISIOLOGI Perjalanan efusi parapneumonia dapat dibagi 3: 1. fase eksudatif. Cairan pleura steril. Karakteristik: lekosit rendah, LDH rendah, pH dan glukosa normal.

2. fase fibropurulen. Karakteristik: jumlah cairan pleura meningkat dengan banyak PMN, bakteri, debris seluler terjadi endapan fibrin pada pleura. Bila lanjut terjadi lokulasi. Tanda : pH dan glukosa rendah, LDH meningkat. 3. fase organisasi. Fibroblas tumbuh dan membentuk pleural peel. Biasanya terjadi >2-3 minggu.
SPM PARU 2006 59

GEJALA KLINIS Perjalanan klinis dibagi menjadi 2 stadium, yaitu akut dan kronis Empiema akut Gejala mirip dengan pneumonia, panas tinggi, nyeri pleuritik apabila stadium ini dibiarkan dalam beberapa minggu akan timbul toksemia, anemia dan jari tabuh. Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura dan empyema necessitatis. Empiema kronis Batas yang tegas antara akut dan kronis sukar ditentukan, disebut kronis apabila berjalan lebih dari 3 bulan. Penderita mengeluh badannya lemah, kesehatan penderita tampak mundur, pucat, dan ada jari tabuh. DIAGNOSIS Pemeriksaan fisik Didapatkan adanya tanda-tanda cairan, disertai pergerakan sisi hemitoraks yang sakit berkurang. Perkusi didapatkan keredupan. Auskultasi suara napas menurun sampai menghilang di sisi hemitoraks yang sakit. Foto toraks PA dan lateral Didapatkan gambaran opasitas yang menunjukkan adanya cairan dengan atau tanpa kelainan paru. Apabila terjadi fibrotoraks, trakea dan mediastinum tertarik ke sisi yang sakit dan juga tampak penebalan pleura. DIAGNOSIS PASTI Aspirasi pleura akan menunjukkan adanya nanah/pus dalam kavum pleura. Selanjutnya nanah akan dipakai sebagai bahan untuk pemeriksaan : bakteriologi, amuba, jamur, kultur dan tes kepekaan antibiotika. PENATALAKSANAAN Prinsip pengobatan pada empiema 1. Pengosongan kavum pleura dari nanah 2. Pemberian antibiotika 3. Penutupan rongga pleura 4. Pengobatan kausal 5. Pengobatan tambahan
SPM PARU 2006 60

1.Pengosongan kavum pleura a.Drainase tertutup Pemasangan tube thoracostomy + closed drainage (WSD) Indikasi pemasangan drain ini apabila nanah sangat kental, nanah terbentuk sesudah 2 minggu, atau telah terjadi piopneumotoraks. Bila ada lokulasi, pemasangan kateter toraks + fibrinolitik intrapleura dan/atau

torakoskopi b. Drainase terbuka Tindakan ini dikerjakan pada empiema kronis dengan memotong sepenggal iga untuk membuat jendela. Cara ini dipilih bila dekortikasi tidak memungkinkan dan harus dikerjakan dalam kondisi steril. 2. Antibiotika Mengingat sebab kematian utama karena sepsis, maka pemberian antibiotika memegang peranan yang penting. Antibiotika harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan dosis yang adekuat. Pemilihan antibiotika didasarkan pada hasil pengecatan gram dari hapusan nanah. Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan tes kepekaan antibiotika. 3. Penutupan rongga pleura Bila empiema kronis gagal menunjukkan respons terhadap drainase selang, maka dilakukan dekortikasi atau torakoplasti. Jika tidak tertangani dengan baik akan menambah lama rawat inap. 4. Pengobatan kausal Tergantung penyebabnya, misalnya : amubiasis, tuberkulosis, aktinomikosis. Diberikan obat spesifik untuk masing-masing penyakit. 5. Pengobatan tambahan dan fisioterapi Bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum. PENYULIT Komplikasi yang sering timbul adalah fistula bronkopleura. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah: sepsis, syok, gagal jantung kongestif, dan otitis media.
SPM PARU 2006 61

DAFTAR PUSTAKA 1 Fraser RS, et al. Synopsis of Diseases of The Chest. 2nd ed. WB Saunders. 1994, pp 868-95 2 Goetz M B, Finegold S M. Pyogenic Bacterial Pneumonia, Lung Abscess, and Empyema. In: Textbook of Respiratory Medicine. 3rd ed. Editors: Murray JF, Nadel JA. WB Saunders. 2000, pp. 1031-2 3 Light R W. Parapneumonic Effusions and Empyema. In: Pleural Diseases. 4th ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 2001, pp. 151-81 4 Light RW. Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In: Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. 1998, pp.1472-5
SPM PARU 2006 62

18. ASMA BRONKIAL BATASAN Asma bronkial adalah keradangan kronis saluran napas di mana banyak sel dan elemen sel yang berperan, yang menyebabkan hambatan aliran udara dan peningkatan airway hyperresponsiveness, yang menimbulkan episode berulang dari wheezing, sesak napas, BAB V

SALURAN NAPAS
dada terasa sesak, dan batuk, terutama pada malam hari atau pada pagi dini hari. Episode

gejala respirasi tersebut biasanya terkait adanya obstruksi jalan napas yang menyeluruh yang seringkali reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. FAKTOR RISIKO 1. Faktor genetik 2. Faktor atopi 3. Airway hyperresponsiveness 4. Alergen indoor 5. Alergen outdoor 6. Occupational sensitizer 7. Asap rokok 8. Polusi udara 9. Infeksi pernapasan 10. Infeksi parasit 11. Status sosioekonomi 12. Besar keluarga 13. Diet dan obat-obatan 14. Obesitas FAKTOR PRESIPITASI EKSASERBASI ATAU PERSISTENSI ASMA 1. Alergen 2. Polusi udara 3. Infeksi saluran napas 4. Latihan fisik dan hiperventilasi 5. Perubahan cuaca 6. Sulfur dioxide 7. Makanan, zat aditif, dan obat-obatan .
SPM PARU 2006 63

8. Ekspresi emosi yang ekstrem 9. Faktor lain : rhinitis, sinusitis, polip, refluks gastroesofageal, menstruasi, hamil. 10. Alergen 11. Polusi udara 12. Infeksi saluran napas 13. Latihan fisik dan hiperventilasi 14. Perubahan cuaca 15. Sulfur dioxide 16. Makanan, zat aditif, dan obat-obatan 17. Ekspresi emosi yang ekstrem 18. Faktor lain : rhinitis, sinusitis, polip, refluks gastroesofageal, menstruasi, kehamilan PATOGENESIS Konsep yang dianut saat ini adalah proses inflamasi kronis yang kompleks, melibatkan dinding saluran napas yang mengakibatkan hambatan aliran udara dan peningkatan airway responsiveness, yang selanjutnya merupakan predisposisi penyempitan saluran napas sebagai respon terhadap berbagai stimuli. Karakteristik inflamasi saluran napas ditandai adanya

peningkatan jumlah eosinofil teraktivasi, sel mast, makrofag, dan limfosit T (terutama subtipe Th2) pada mukosa saluran napas, yang disebut conductor of inflammation orchestra. Proses ini terus berlangsung bahkan saat asma asimtomatik. Bersamaan dengan proses inflamasi kronis, jejas pada epitel bronkus merangsang proses perbaikan yang berakibat pada perubahan struktur dan fungsi yang dikenal dengan remodeling.Inflamasi, remodeling, dan perubahan kontrol saraf saluran napas berperan dalam eksaserbasi asma dan lebih permanennya obstruksi aliran udara. PATOLOGI Makroskopis dijumpai paru overinflation dengan saluran napas besar dan kecil terisi plug yang terdiri dari campuran mukus, protein serum, sel-sel inflamasi dan sel debris. Mikroskopis didapatkan infiltrasi ekstensif lumen dan dinding saluran napas dengan eosinofil dan limfosit disertai vasodilatasi, kebocoran mikrovaskuler, dan kerusakan epitel. Ditemukan pula hipertrofi otot polos, pembentukan pembuluh darah baru, peningkatan jumlah sel goblet, dan deposisi kolagen interstisial di bawah epitel (penebalan membran basal), sebagai akibat jejas dan mengarah terjadinya remodeling.
SPM PARU 2006 64

GEJALA KLINIS Bersifat episodik, dengan napas berbunyi ngik-ngik (wheezing), kesulitan bernapas, dada sesak, dan batuk . Gejala dapat terjadi spontan atau dipresipitasi atau eksaserbasi dengan berbagai triger yang berbeda, seperti tersebut di atas. Gejala biasanya sering memberat saat malam, akibat variasi sirkadian tonus bronkomotor dan reaktiviti bronkus mencapai titik nadir antara pukul 3 dan 4 pagi, meningkatkan gejala bronkokonstriksi. Pemeriksaan fisik Kelainan nasal berupa edema mukosa, hipersekresi, polip, dan kelainan kulit ekzema, dermatitis atopik, sering dijumpai pada asma alergi. Peningkatan kerja napas ditandai dengan penggunaan otot bantu napas. Pada auskultasi berupa wheezing atau adanya fase ekspirasi yang memanjang. Bila tidak eksaserbasi bisa tidak dijumpai kelainan. Pemeriksaan penunjang 1. Laboratorium : - darah : eosinofilia, IgE spesifik - sputum : eosinofil, spiral Curschmann dan kristal Charcoat-Leyden - analisa gas darah : bila curiga gagal napas - tinja : telur cacing 2. Radiologis - normal atau hiperinflasi - untuk mencari penyulit : pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia

- menyingkirkan penyakit lain 3. Faal paru - untuk dx dan monitor : FEV1 (Forced Expiratory Volume 1 second) atau VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa 1 detik ) dan PEF(R) (Peak Expiratory Flow (Rate)), variabiliti PEF 4. Uji provokasi bronkus - untuk menilai airway hyperresponsiveness dengan bahan alergen, histamin, metakolin, salin hipertonis atau latihan fisik, dengan parameter PC20 5. Uji kulit - untuk asma alergi
SPM PARU 2006 65

DIAGNOSIS 1. Anamnesis : keluhan sesak napas, ngik-ngik, kesulitan bernapas, dada sesak yang episodik. Adanya variabiliti gejala sesuai cuaca, riwayat atopi, riwayat keluarga dengan asma. 2. Pemeriksaan fisik : wheezing menyeluruh atau ekspirasi memanjang, peningkatan kerja napas dengan otot bantu napas aktif (retraksi). 3. Faal paru : obstruksi saluran napas (PEF atau FEV1 /VEP1 ) : reversibel 4. Uji provokasi bronkus : PC20 < 8 mg/ml 5. Laboratorium : sputum : kristal Charcoat-Leyden, spiral Curschmann darah : peningkatan eosinofil, IgE spesifik 6. Uji kulit DIAGNOSIS BANDING 1. Kelainan saluran napas atas : paralisis corda vocalis, sindrom disfungsi corda vocalis, aspirasi benda asing, massa laringotrakeal, penyempitan trakea, tracheomalacia, edema saluran napas akibat jejas inhalasi atau angioedema 2. Kelainan saluran napas bawah : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), bronkiektasis, allergic bronchopulmonary mycosis, cystic fibrosis, pneumonia eosinofilik, bronkiolitis obliterans 3. Gagal jantung kongestif (asma kardial), emboli paru, batuk akibat obat ( ACE inhibitor ) 4. Gangguan psikiatri (konversi) PENYULIT Kelelahan, dehidrasi, infeksi saluran napas, kor pulmonale, tussive syncope, pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema kutis, atelektasis, gagal napas, aritmia (terutama bila sebelumnya ada kelainan jantung) PENATALAKSANAAN 1. Edukasi penderita dan keluarga agar timbul kerjasama yang baik dalam penanganan asma 2. Penilaian dan pemantauan derajat berat asma dengan menilai gejala dan faal paru 3. Menghindari paparan faktor risiko 4. Menyusun rencana pengobatan untuk penatalaksanaan asma jangka panjang 5. Menyusun rencana pengobatan untuk penatalaksanaan eksaserbasi 6. Mengupayakan kontrol teratur
SPM PARU 2006 66

Klasifikasi derajat berat asma


Gejala Faal paru

STEP 1. Intermittent Gejala <1 kali / minggu Jarang eksaserbasi Gejala nokturnal < 2 kali / bulan FEV1 >80% predicted atau PEF >80% personal best Variabiliti PEF <20% STEP 2. Mild persistent Gejala > 1 kali / minggu tetapi <1 kali / hari Eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas dan tidur Gejala nokturnal >2 kali / bulan FEV1 >80% predicted atau PEF >80% personal best Variabiliti PEF 20-30% STEP 3. Moderate persistent Gejala setiap hari Eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas dan tidur Gejala nokturnal >1 kali minggu Setiap hari memakai beta2 agonis kerja pendek inhalasi FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% personal best Variabiliti PEF >30% STEP 4. Severe persistent Gejala setiap hari Eksaserbasi sering Gejala nokturnal asma sering Keterbatasan aktivitas fisik FEV1 <60% predicted atau PEF <60% personal best Variabiliti PEF >30%

Modalitas terapi farmakologis 1. antiinflamasi : glukokortikosteroid : inhalasi (MDI, nebulisasi), oral, parenteral inhalasi : beclomethasone dipropionate : 2 x 2-3 puff (40ug) atau 2 x 1-2 puff (80ug) budesonide : 2 x 1 puff (200ug), nebulisasi fluticasone : 2 x 2 puff (110ug), nebulisasi flunisolide : 2 x 2-4 puff (250ug) oral : metilprednisolon : 40-60 mg/hari prednisolon : 40-60 mg/hari prednison : 40-60 mg/hari injeksi : metilprednisolon : 1-2 mg/kgBB/6 jam
SPM PARU 2006

67

2. bronkodilator : a. beta2 agonist : inhalasi (MDI, DPI, nebulisasi), oral, parenteral Salbutamol MDI, dry powder, nebulisasi, tablet (2-4 mg/6-8 jam) Terbutaline tablet (3 x 2,5-5 mg), injeksi (4 x 0,25 mg sk), drip infus Fenoterol MDI Formoterol DPI (+ budesonide DPI) Salmeterol MDI (+ fluticasone MDI) b. metilxantin : oral, parenteral aminofilin tablet, injeksi (bolus 5 mg/kgbb, drip infus 0,9 mg/kgBB/jam) teofilin tablet, tablet lepas lambat c. antikolinergik : inhalasi (MDI, nebulisasi) ipratropium bromide MDI, nebulisasi 3. lain-lain : leukotrien modifier (montelukast, zafirlukast, zileuton), antihistamin generasi 2, obat anti alergi oral lainnya, imunoterapi alergen spesifik. ASMA DAN KEHAMILAN Asma yang tidak terkontrol pengobatannya dapat membahayakan kesehatan ibu dan janin. Komplikasi akan menjadi lebih berat. - Fokus penatalaksanaan asma adalah kontrol gejala dan mempertahankan faal paru normal - Inhalasi steroid dapat mencegah eksaserbasi asma pada kehamilan . - Terapi eksaserbasi akut sebaiknya agresif untuk menghindari hipoksia fetus, meliputi : nebulisasi beta2 agonis kerja cepat dan oksigen, bila perlu glukokortikosteroid sistemik. PROGNOSIS Pada umumnya baik, bila diagnosis, penanganan dan pencegahan dibuat sedini mungkin disertai pengobatan yang adekuat. DAFTAR PUSTAKA 1. Boushey HA et al. Asthma. In : Textbook of Respiratory Disease. 3rd ed. Editors: Murray JF and Nadel JA.Philadelphia. WB Saunders. 2000, pp.1247-89 2. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 216311 3. Kuvuru MS, Wiederman HP. Asthma. In : Chest Medicine. Essential of Pulmonary and Critical Care. Philadelphia.Lippincot Williams and Wilkins. 2000, pp. 133-73 4. McFadden ER,Jr. Asthma. In : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. 1998, pp.1419-26 5. National Institute of Health National Heart, Lung, and Blood Institute. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Bethesda, 2002, pp. 1141.
SPM PARU 2006 68

19 PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) BATASAN PPOK adalah penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak reversibel total .

Hambatan aliran udara biasanya progresif dan dihubungkan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya atau gas-gas. FAKTOR RISIKO Faktor host: - Genetik : Defisiensi alfa 1 antitripsin. Suatu kelainan heriditer. - Hipereaktivitas bronkus - Gender : Pria lebih berisiko dari wanita - Atopi dan asma : Atopi sendiri bukan faktor risisko - Penyakit anak-anak : Infeksi sal napas dan asma anak Faktor eksternal - Rokok sigaret,faktor risiko paling penting.Cerutu,rokok pipa dan berbagai jenis rokok juga faktor risiko. - Occupational dust and chemicals - Polusi udara ( indoor & outdoor ) PATEGENESIS Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas, parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T ( terutama CD 8+ ) dan neutrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan menghasilkan berbagai mediator seperti leukotrien B4, IL 8, TNF alfa, dll yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu ketidak seimbangan protease dan anti protease di paru dan stres oksidatif. PATOLOGI Perubahan patologi yang khas PPOK dijumpai di saluran napas besar ( central airway ), saluran napas kecil ( peripheral airway ), parenkim paru dan vaskuler pulmonal. - Saluran napas besar Infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel.Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel Goblet meningkat. - Saluran napas kecil Inflamasi kronis menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair akan menghasilkan structural remodeling dari dinding saluran napas dengan peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi saluran napas permanen
SPM PARU 2006 69

- Parenkim paru Destruksi parenkim paru secara khas berupa emfisema sentrilobuler. Kelainan tersebut lebih sering di bagian atas pada kasus ringan. Namun bila lanjut bisa terjadi di seluruh bagian paru dan juga terjadi destruksi pada pulmonary capillary bed. - Perubahan vaskuler pulmonal Perubahan struktur yang pertama kali adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos

dan infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos, proteoglikans dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal. + Batuk kronis Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu pagi. Dahak biasanya mukoid tetapi berubah purulen bila eksaserbasi. + Batuk darah Dijumpai terutama waktu eksaserbasi.Asal darah diduga dari saluran napas yang radang dan karakteristik : blood-streaked purulen sputum. + Nyeri dada Nyeri dada biasanya bukan oleh karena PPOK. + Anoreksi dan berat badan menurun Karakteristik PPOK adalah ada eksaserbasi. Bila penyakit progresif, interval diantara eksaserbasi akut makin dekat. - Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung derajat hambatan aliran udara, berat ringan hiperinflasi paru dan bentuk tubuh. Awalnya hanya ekspirasi memanjang dan wheezing pada ekspirasi paksa. Bila obstruksi berlanjut tampak hiperinflasi dan barrel chest. Suara napas menurun, ekspirasi memanjang, suara jantung terdengar jauh, ronki basah basal. Penggunaan otot napas tambahan atau pursed-lips breathing menunjukkan ada hambatan aliran udara berat. Edema tungkai. Juguler venous pressure ( JVP ) meningkat, hepar teraba dan hipertensi pulmonal adalah tanda kor pulmonale kronikum dekompensata..
SPM PARU 2006 70

DIAGNOSIS Dibuat atas dasar - Gambaran klinis: riwayat penyakit dan faktor risiko serta pemeriksaan fisik. - Pemeriksaan penunjang: PPOK harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan batuk dengan dahak atau sesak napas dan atau riwayat terpapar faktor risiko. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan obyektif ada hambatan aliran udara ( dengan spirometri ). * Faal paru: spirometeri merupakan pemeriksaan gold standard Parameter VEP1,VEP1/KVP ( Kapasitas Vital Paksa ) Hasil tes post bronkodilator VEP1 < 80% prediksi dan VEP1/KVP < 70 % menunjukkan obstruksi yang tidak reversibel penuh.Bila spirometri tidak tersedia dapat menggunakan PEF atau APE ( arus puncak ekspirasi ) DIAGNOSIS BANDING - Asma bronkial - Gagal jantung kongestif - Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain seperti : bronkiektasis.

- Tuberkulosis PENATALAKSANAAN Modalitas terapi terdiri dari: - Edukasi - Obat-obatan - Oksigen - Ventilator mekanik - Nutrisi - Rehabilitasi Penatalaksanaan PPOK stabil Karakteristik: intensitas terapi ditingkatkan berdasarkan berat penyakit 1. Edukasi Tidak memperbaiki exercise performance atau faal paru tetapi dapat: + Memperbaiki skill, kemampuan untuk menanggulangi penyakit dan status kesehatan + Efektif untuk mencapai tujuan khusus seperti berhenti merokok.
SPM PARU 2006 71

2. Obat-obatan Terdiri dari : a Bronkodilator: agonis beta 2 : salbutamol,terbutalin,fenoterol antikolinergis : ipratropium bromide,tiotropium derivat santin : aminofilin,teofilin -Terapi inhalasi lebih dianjurkan -Diberikan kalau perlu atau kontinyu untuk mencegah atau mengurangi gejala. -Obat kombinasi dapat meningkatkan efikasi dan menurunkan risiko efek samping obat dibanding peningkatan dosis tunggal. b Kortikosteroid Terapi rutin kortikosteroid inhalasi hanya diberikan : -bila terbukti ada respon, yang diukur dengan faal paru atau -PPOK dengan FEV1 < 50 % prediksi atau -eksaserbasi berulang yang memerlukan antibiotika atau kortikosteroid oral. -dose-response relationship dan keamanan jangka panjang kortikosteroid untuk PPOK tidak diketahui. -kortikosteroid oral jangka panjang tidak dianjurkan. c Mukolitik Sampai saat ini penggunaan secara luas tidak dianjurkan. d Antioksidan : N asetil sistein Menurunkan frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan mempunyai peran dalam terapi pada penderita dengan eksaserbasi berulang. Perlu penilaian lebih lanjut sebelum direkomen dasikan untuk digunakan secara rutin. 3 Oksigen Indikasi : PaO2 < 55 mmHg ( 7,3 kPA ) atau SaO2 < 88 % dengan atau tanpa hiperkapni atau PaO2 antara 55 mmHg ( 7,3 kPA ) dan 60 mmHg ( 8,0 kPA ) atau SaO2 89 % tetapi ada hipertensi pulmonal, edema perifer yang dicurigai karena congestive heart failure atau polisitemia ( Hct > 55 % ). 4 Ventilator mekanik

5 Rehabilitasi medik Rehabilitasi paru komprehensif terdiri dari: exercise training konsultasi nutrisi edukasi 6 Operasi -Bulektomi -Transplantasi paru
SPM PARU 2006 72

Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut Eksaserbasi akut berarti perburukan gejala dibanding sebelumnya Gejala : 1 Sesak napas bertambah 2 Produksi sputum meningkat 3 Perubahan warna sputum ( sputum berubah purulen ) Derajat eksaserbasi I ( berat ) memiliki 3 gejala II ( sedang ) memiliki 2 gejala III ( ringan ) memiliki 1 gejala dan 1 dari berikut :- infeksi saluran napas atas 5 hari -demam tanpa sebab yang lain -wheezing meningkat -batuk meningkat -RR/nadi meningkat 20% base line Penyebab -Terbanyak disebabkan infeksi saluran napas. Terapi 1 Oksigen terkontrol Cara: Nasal 1-4 L/menit Venturi mask FIO2 24-28 % ( fraction inspiration oxygen ) Sasaran: PaO2 60-65 mmHg atau SaO2 > 90 % 2 Bronkodilator Agonis beta 2 + antikolinergi diberikan 3-4 x/hari dengan nebuliser atau MDI ( metered dose inhaler ) dengan spacer. Jika tidak ada fasilitas agonis beta 2 dapat diberikan subkutan. Dosis Obat MDI ( mcg ) Nebuliser ( mg ) Agonis beta 2 -Fenoterol 150-200 0,5-2,0 -Terbutalin 250-500 5-10 Antikolinergik -Ipratropium bromide 40-80 0,25-0,5 Jika terapi inhalasi belum adequat ditambah: teofilin; loading dose: 2,5 mg/kgBB maintenance: 0,5-1,0 mg/kgBB/jam 3 Antibiotika Indikasi: eksaserbasi karena infeksi bakteri Pilih antibiotika yang masih sensitif terhadap S pneumoni, H influenza, M catarrhalis Pilihan antibiotika: amoksisilin, kotrimoksasol, eritromisin, doksisiklin Alternatif: ko amoksiklav, sefaklor, klaritromisin, azitromisin.

SPM PARU 2006 73

4 Mukolitik Saat eksaserbasi mukolitik seperti N asetil sistein tidak menunjukkan manfaat. 5 Kortikosteroid Indikasi:eksaserbasi berat Dosis: exact dose belum diketahui. Prednisolon 30-40 mg/hari selama 10-14 hari optimal bila ditinjau dari sudut efikasi dan keamanan. Kortikosteroid dapat diberikan IV atau oral. 6 Cairan dan elektrolit. Perlu dimonitor. 7 Nutrisi Tatalaksana:tinggi protein rendah karbohidrat. protein > 1,5 mg/kgBB/hari PENYULIT 1 Gagal napas 2 Infeksi berulang 3 Kor pulmonale PENCEGAHAN - Mencegah terjadinya PPOK: + hindari asap rokok + hindari polusi udara + hindari infeksi saluran napas berulang - Mencegah perburukan PPOK: + berhenti merokok + gunakan obat-obatan adequat + mencegah eksaserbasi berulang PROGNOSIS Faktor-faktor yang terkait dengan penurunan survival adalah: - Umur lanjut - Terus merokok - FEV1 awal < 50 % prediksi - Penurunan FEV1 meningkat - Hipoksemi berat yang tidak diterapi - Kor pulmonale dan kapasitas fungsional jelek.
SPM PARU 2006 74

DAFTAR PUSTAKA 1 ATS .Standart fot the diagnosis and care of patients with chronic obstructive pulmo nary disease.Am J Respir Crit Care Med.1995;152:S77-S120 2 Barnes P and Godfrey S.Chronic obstructive pulmonary disease. London.Martin Dunitz Ltd.London.1997:1-70. 3 Braman S S.Chronic obstructive pulmonary disease. ACCP Pulmonary Board Review 2003.Course Syllabus.Am College of Chest Phycisian. 2003:59-75. 4 George RG,SanPedro GS and Stoller JK.C hronic obstructive pulmonary disease,bron chiectasis and cystic fibrosis. In:George RB et al. Chest medicine. Essential of pulmo nary and critical care medicine. Philadelphia.Lippincott-Williams and Wilkins. 4 th.2000: 174:196. 5 Georgopoulos D and Anthonisen NR. Symptoms and sign of COPD.In:Cherniack NS ( Ed ). Chronic obstructive pulmonary disease.1 st Ed .Philadelphia.W B Saunders Comp. 1991:357-363.

6 N H L B I.Global initiative for chronic obstructive lung disease.2003:1-27. 7 P D P I .Penyakit paru obstruktif kronik. Pedoman diagnosis dan penatalaksaan di In donesia.2001:1-57. 8 Rennard SI.COPD. Overview of definitions, epidemiology and factor influencing its development.Chest.1998;113:235s-241s. 9 Sherman CB et al.Acute exacerbation in COPD patients.In:Cherniack NS. ( Ed ). Chro nic obstructive pulmonary disease.Philadelphia.WB Saunders Comp. 1 st Ed .1991: 443-456. 10 Siafakas N M et al. ERS consensus statement .optimal assessment management of COPD.Eur Respir J.1995;8:1389-1420
SPM PARU 2006 75

20 BRONKITIS KRONIK BATASAN Batuk kronis produktif minimal 3 bulan dalam setahun 2 tahun berturut-turut, yang tidak disebabkan oleh M tuberkulosis, karsinoma paru, bronkiektasis, kistik fibrosis dan dekompensasio kordis kronis. FAKTOR RISIKO Paparan asap tembakau, occupational dust, polutan atmosfer, infeksi saluran napas berulang terutama waktu bayi. PATOLOGI Bronkus -Kelenjar submukosa: duktus dilatasi, hipertropi dan hiperplasi elemen-elemen kelenjar. -Sel Goblet meningkat -Dinding saluran napas: dijumpai infiltrasi sel-sel radang yang didominasi: monosit, limfosit dan limfosit CD8+ -Jumlah otot polos saluran napas meningkat. Bronkioli -Bronkioli respiratorius pada perokok menunjukkan gambaran inflamasi yang didominasi sel-sel mononuklear. -Bronkioli dg diameter < 2 mm dijumpai sumbatan mukus, metaplasi sel Goblet, keradangan otot polos meningkat, distorsi oleh karena fibrosis dan kehilangan perlekatan alveoli / alveoli kurang erat melekat. PATOGENESIS -Stimuli menimbulkan jejas epitel saluran napas dan terjadi inflamasi. Mediator inflamasi merekrut neutropil. Neutropil menghasilkan protease ( elastase ) dan spesies-spesies oksidan toksik yang dapat menimbulkan jejas epitel saluran napas. Neutropil intraluminal merupakan gambaran khas bronkitis kronik. Pada penyakit paru kronis dinding saluran napas terinfiltrasi sel-sel radang mononuklear: limfosit dan limfosit CD8+ -Jejas epitel saluran napas menimbulkan deskuamasi sel, selanjutnya terjadi repair. Proses repair melibatkan interaksi sel-sel epitel, mediator-mediator lokal dan komposisi matriks ekstraseluler lokal. Repair tidak hanya diperankan oleh sel-sel epitel yang melapisi saluran napas tapi juga sel epitel kelenjar saluran napas, sel-sel mesenkimal ( fibroblast dan otot polos) dan pembuluh darah. Hasil interaksi tersebut akan timbul hipertrofi otot polos dan

kelenjar, fibrosis peribronkial, neovaskularisasi yang juga merupakan karakteristik bronkitis kronik.
SPM PARU 2006 76

GAMBARAN KLINIS Karakteristik: batuk dengan dahak banyak, mukoid bertambah banyak dan purulen waktu eksaserbasi. Batuk darah bisa dijumpai waktu eksaserbasi. Sesak bersifat progresif, karakteristiknya berhubungan dengan aktivitas ( dyspneu on effort ), beberapa penderita mendengar suara mengi. Pada auskultasi terdengar suara suara inspirasi kasar ( terkait sekresi di saluran napas besar ). DIAGNOSIS Didasarkan atas : kriteria klinis ( sesuai dengan definisi ) Pemeriksaan fisik tidak khas, bisa dijumpai ronki basah, wheezing. Radiologi :bronkitis kronik tidak pernah didiagnosis dengan foto toraks, tetapi ada tandatanda radiologi yang dapat mengarahkan ke diagnosis. Pulmonary marking( bronchovascular pattern ) prominen merupakan petunjuk bronkitis kronik. -Faal paru.bisa normal atau ada obstruksi saluran napas. KV ( kapasitas vital ) normal / turun VEP1 ( volume ekspirasi paksa 1 detik ) normal / turun VEP1/KVP ( kapasitas vital paksa ) turun FEF 25-75% ( forced midexpiratory flow ) turun KPT ( kapasitas paru total ) normal/meningkat VR/KPT ( volume residu/kapasitas paru total ) meningkat -Elektrokardiografi. untuk mengetahui ada hipertrofi ventrikel kanan -Analisa gas darah. DIAGNOSIS BANDING Tuberkulosis paru Asma bronkial Tumor paru Bronkiektasis
SPM PARU 2006 77

PENATALAKSANAAN -Edukasi -Berhenti merokok ,hindari paparan faktor-faktor iritan -Rehabilitasi medik -Terapi oksigen -Bronkodilator -Mukolitik masih kontroversi. N asetil sistein selain sebagai mukolitik juga antioksidan populer di negara-negara Eropa. -Antibiotika. Patogen yang sering dijumpai waktu eksaserbasi: H. influenza, S. pneumonia, M. catarrhalis. Pilihan pertama : Golongan penisilin :ampisilin,amoksisilin.Tetrasiklin.Kotrimoksasol Pilihan kedua: Sefalosporin generasi II : sefaklor. Sefalosporin generasi III : sefiksim. Ko amoksiklaf. Makrolid baru : azitromisin, klaritromisin. Fluorokuinolon : siprofloksasin

PENYULIT Kor Pulmonale Gagal napas DAFTAR PUSTAKA 1 Ball P. Epidemiology and treatment of chronic bronchitis and its exacerbations.Chest. 1995;108:43S-52S. 2 Balter MS et al.Recommandations on the management of bronchitis chronis.A practical guide for Canadian physicians.Can Med Assoc J.1994;151:1-19. 3 Barnes P and Godfrey S. Chronic obstructive pulmonary disease. London .Martin Dunitz Ltd.1997:51-53. 4 George R B, San Pedro GS,Stoller JK.Chronic obstructive pulmonary disease,bronchi ectasis and cystic fibrosis. In: George RB et al ( Eds ).Chest medicine.Essentials of pul monary and critical care medicine.Philadelphia .Lippincort Williams and Wilkins. 4 rd. 2000:174-207. 5 Piquette CA, Rennard SI and Snider GL. Chronic bronchitis and emphisema. In:J F Murray and Nadel J A ( Eds ).Textbook of respiratory medicine.Philadelphia.WB Saunders Comp. 2000:1187-1245. 6 Thurlbeck WM.Pathology of chronic airflow obstructive.In:Cherniack N S ( Ed ): Chro nic obstructive pulmonary disease.Philadelphia.WB Saunders Comp. 1st.1991:3-20.
SPM PARU 2006 78

21 EMFISEMA BATASAN Kelainan paru yang ditandai oleh pelebaran permanen yang abnormal dari saluran napas distal bronkioli terminalis disertai destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang jelas. Destruksi didefinisikan sebagai pelebaran saluran napas yang tidak uniform sehingga gambaran asinus dan komponennya yang tersusun rapi terganggu dan mungkin hilang. FAKTOR RISIKO Paparan asap tembakau, occupational dust, defisiensi alfa 1 anti tripsin KLASIFIKASI 1 Emfisema asiner proksimal ( emfisema sentriasiner ) 2 Emfisema panasiner 3 Emfisema asiner distal PATOLOGI Emfisema sentriasiner Proses dimulai di proksimal asinus ( bronkioli respiratorius ). Terbentuk parut ( scar ) dan dilatasi fokal bronkioli dan struktur sekitar ( duktus dan sakus alveoli ) menghasilkan pelebaran saluran napas di pusat asinus. Ada 2 bentuk yaitu; -Emfisema fokal. Emfisema yang dijumpai pada individu yang terpapar debu inert seperti: debu batubara. -Emfisema sentrilobuler.Emfisema sentriasiner yang sering dihubungkan dengan perokok sigaret. Emfisema panasiner. Pelebaran seluruh asinus. Bisa fokal dan difus. Emfisema asiner distal. Emfisema yang terjadi dibagian distal asinus yaitu: duktus dan sakus alveolaris. Kelainan ini mengenai lobus bagian perifer dan berbatasan dg pleura

(subpleura), septa interlobuler dan bundel bronkovaskuler. Emfisema ini sering dihubungkan dg pneumotoraks spontan primer pada usia muda. PATOGENESIS Ada beberapa hipotesa yang dikemukakan :antara lain elastase-antielastase ( proteaseantiprotease ) dan oksidan antioksidan. Paru dilindungi oleh antiprotease ( alfa 1 antitripsin, alfa 2 makroglobulin dan secretory macroglobuline ) dari elastase yang bersifat elastolitik. Elastase merupakan produk utama neutrofil dan sel-sel lain seperti makrofag.Ketidak seimbangan protease-antiprotease menyebabkan destruksi parenkim paru. Oksidan yang berasal dari neutrofil, makrofag atau asap rokok sigaret menginaktivasi alfa 1 antitripsin dan mengganggu repair matriks paru. Antioksidan endogen: superoxide dismutase, glutathion dan katalase melindungi paru dari jejas oksidan.
SPM PARU 2006 79

KLINIS Sesak napas dengan karakteristik berhubungan dengan aktivitas ( dispneu on effort ),bila penyakit tambah berat sudah terasa sesak walau hanya aktivitas ringan.Batuk dengan dahak tidak banyak. Pada pemeriksaan fisik dijumpai toraks hiperinflasi . Harus diwaspadai sebab bisa dijumpai pada asma bronkial. Hiperinflasi menimbulkan barrel chest, suara ketok hipersonor dan suara napas menurun. DIAGNOSIS Didasarkan atas anamnesa,pemeriksaan fisik dan ditambah pemeriksaan penunjang: -Radiologi: Foto toraks : hiperinflasi ( diafragma datar dan letak rendah,sinus preniko kostalis tumpul, ruang retrosternal melebar,volume paru bertambah besar ), -penipisan vaskuler dan hiperlusen -Faal paru. Ada obstruksi,yang ditandai oleh penurunanVEP1,VEP1/KVP,APE( arus puncak ekspirasi ) . Hiperinflasi ditunjukkan dengan VR/KPT meningkat, DLco menurun -Pemeriksaan alfa 1 antitripsin PENATALAKSANAAN - Edukasi untuk penderita dan keluarga - Berhenti merokok, hindari paparan faktor iritan - Rehabilitasi - Terapi oksigen - Bronkodilator: antikolinergik ( ipratropium bromide ) golongan santin ( aminofilin/teofilin ) agonis beta 2 - Nutrisi PENYULIT - Pneumotoraks - Kor Pulmonale - Gagal napas - Malnutrisi
SPM PARU 2006 80

22 BRONKIEKTASIS BATASAN Bronkiektasis adalah pelebaran dan distorsi bronkus ukuran sedang yang bersifat permanen dan ireversibel. PATOGENESIS DAN ETIOLOGI Etiologi Fokal: sekunder dari obstruksi bronkus karena benda asing, karsinoma, limfadenitis sekitar dan sekret kental. Difua: pneumonia, penyakit granulomatus kronis, kelainan hipersensitivitas dan imunodefisiensi, kelainan genetik dan penyakit rematik. Saat ini penyebab tersering adalah: penyakit granulomatus seperti: TB, sarkoidosis, histoplasmosis, coccidioidomycosis. . Patogenesis Belum diketahui secara sempurna, nampaknya yang menjadi penyebab utama adalah keradangan dengan destruksi otot, jaringan elastik dan tulang rawan dinding bronkus. Oleh mukopus yang terinfeksi yang kontak lama dan erat dengan dinding bronkus. Mukopus mengandung produk-produk netrofil yang bisa merusak jaringan paru (protease serin, elastase, kolagenase), Oksida nitrit, sitokin inflamasi (IL8) dan substansi yang menghambat gerakan silia dan mucociliary clearance. Terjadilah mukokel yang terinfeksi setelah dilatasi mekanik bronkus yang telah lunak oleh pengaruh proteolitik. Inflammatory insult yang pertama akan diikuti oleh kolonisasi bakteri, yang akan menyebabkan kerusakan bronkus lebih lanjut dan predisposisi untuk kolonisasi lagi dan ini merupakan lingkaran yang tidak terputus. Pada akhirnya terjadi fibrosis dinding bronkus dan jaringan paru sekitarnya menyebabkan penarikan dinding bronkus yang sudah lemah sehingga terjadi distorsi. Distensi juga bisa diperberat oleh atelektasis paru sekitar bronkus yang menyebabkan bronkus mendapat tekanan intratorakal yang lebih besar. Klasifikasi menurut Reid (atas dasar hubungan patologi dan bronkografi): 1. Bronkiektasis silindris 2. Bronkiektasis varikose 3. Bronkiektasis sakuler atau kistik
SPM PARU 2006 81

GEJALA KLINIK Batuk kronik berdahak mukopurulen/purulen dalam jumlah banyak (wet bronchiectasis). Volume sputum 24 jam dapat digunakan sebagai indikator berat ringan penyakit. Menurut Ellis dan kawan-kawan, volume sputum <10 ml/hari diklasifikasikan sebagai ringan, 10150 ml/hari sedang, dan > 150 ml/hari berat. Batuk berulang tanpa dahak, kadang disertai batuk darah (dry bronchiectasis). Batuk darah bisa mengancam jiwa karena berasal dari arteri bronkialis dengan tekanan sistemik. Batuk darah dijumpai + 50% kasus. Sesak napas dan wheezing bisa dijumpai dan lebih persisten bila penyakitnya bertambah

progresif. Pemeriksaan fisik Dijumpai ronki basah kasar, halus persisten Ada periode eksaserbasi yang ditandai panas, peningkatan batuk dan jumlah sputum. DIAGNOSIS Diagnosis bronkiektasis ditegakkan atas dasar : - gejala klinis: batuk berdahak banyak, bila diendapkan ada 3 lapis: atas : lapisan cairan dengan busa tengah : keruh dan mukopurulen bawah : purulen dan putih padat - Radiologis : Foto toraks : - dapat normal. Dikatakan 7-20% normal pada yang terdiagnosis bronkiektasis. Gambaran yang menyokong bronkiektasis adalah: - tram track / tram line pada bronkiektasis silindris - tooth paste line pada bronkiektasis varikose - kiste terisolasi/menggerombol dengan air fluid level pada bronkiektasis sakuler. CT scan toraks. Untuk tujuan praktis dapat menggantikan bronkografi. HR (high resolution) CT scan merupakan alat diagnostik yang akurat untuk diagnosis. Bronkografi. Secara tradisional merupakan gold standard namun saat ini tidak dikerjakan karena kontras tidak tersedia. DIAGNOSIS BANDING 1. Bronkitis kronik 2. Karsinoma bronkogenik 3. Kistik fibrosis 4. Tuberkulosis paru
SPM PARU 2006 82

PENATALAKSANAAN a. Terapi medis Fisioterapi dada: postural drainase, perkusi dada, latihan batuk. Hidrasi Bronkodilator Kortikosteroid bila diperlukan Antibiotika. Umumnya diberikan pada saat eksaserbasi. Pemilihan didasarkan hasil pemeriksaan kultur sputum dan bronchoalveolar lavage (BAL). Jika kumannya campuran berikan spektrum luas seperti amoksisilin, tetrasiklin atau kotrimoksasol. Pada infeksi oleh Pseudomonas, pilihannya: ticarcillin, gentamisin, tobramisin, dan siprofloksasin. b. Pembedahan Indikasi : Gejala klinis berulang dan refrakter karena lesi lokal. Hemoptisis masif dan lokasi perdarahan diketahui/dicurigai. Bila tidak mungkin untuk operasi dilakukan embolisasi arteri bronkialis. PENYULIT 1. Batuk darah 2. Pneumonia

3. Abses paru 4. Kor pulmonale 5. Gagal napas DAFTAR PUSTAKA 1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 242-3 2. Luce JM. Bronchiectasis. In: Textbook of Respiratory Medicine. 3rd ed. Editors: Murray JF, Nadel JA. Philadelphia.WB Saunders Comp. 2000, pp. 1325-41
SPM PARU 2006 83

23 BRONKITIS AKUT BATASAN Infeksi dan inflamasi akut saluran napas besar ETIOLOGI 1. Virus (minimal 40%) : Influenza A & B, Adenovirus, Rhinovirus, Coronavirus, Parainfluensa virus, Respiratory synsitial virus, Herpes simpleks 2. Bakteri : Micoplasma pneumonia, Moraxella catarhalis, Chlamydia, Streptokokus pneumonia GEJALA KLINIK Keluhan 1. batuk dengan atau tanpa dahak 2. demam ringan / sumer-sumer 3. rasa tidak enak substernal 4. sesak napas 5. batuk darah Pemeriksaan fisik: auskultasi dijumpai ronki basah, krepitasi, dan wheezing. PEMERIKSAAN PENUNJANG - Laboratorium : sputum cat gram: lekosit PMN dan kemungkinan bakteri patogen DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dengan foto toraks tidak dijumpai infiltrat. DIAGNOSIS BANDING - Pneumonia - Asma bronkial PENYULIT Bronkospasme pasca infeksi yang ditandai dengan batuk tanpa dahak dan wheezing sampai 4-6 minggu setelah infeksi reda. Pneumonia
SPM PARU 2006 84

PENATALAKSANAAN 1. Simtomatis Antitusif : DMP, codein, doveri Antipiretika : parasetamol 2. Tidak perlu antibiotika 3. Terapi terhadap penyulit : bronkodilator, antibiotika

DAFTAR PUSTAKA 1. Niederman MS, Sarosi GA. Respiratory Tract Infections. In: George RB, Light RW, Matthay MA, Matthay RA (Eds). Chest Medicine. Essential of Pulmonary and Critical Care Medicine. 4th . Lippincott Williams and Wilkins. 2000:377-429 2. Pennington JE. Community Acquired Pneumonia and Acute Bronchitis. In: Penington JE (Ed). Respiratory Infection. Diagnosis and Management. 3rd. New York.Raven Press. . 1994:193-206
SPM PARU 2006 85

24 KARSINOMA BRONKOGENIK BATASAN Tumor ganas paru primer yang berasal dari epitel bronkus. PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI Etiologi pasti karsinoma bronkogenik belum diketahui, diperkirakan multifaktor. Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh : - genetik : ketidakseimbangan protoonkogen dan gen tumor supresor, perubahan kromosom hiperekspresi protoonkogen : gen famili myc, gen famili ras kurang/hilang fungsi gen tumor supresor : gen p53, gen rb perubahan kromosom : lokasi 1p, 3p, 9p GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN 1. Gejala intrapulmoner : Batuk, batuk darah, sesak napas, suara serak, nyeri dada, sulit/sakit menelan, benjolan di leher, sembab muka dan leher 2. Gejala ekstrapulmoner intratorakal : Nervus frenikus : paresis/paralisis diafragma Nervus rekuren : paresis/paralisis korda vokalis Nervus simpatikus : sindroma Horner Esofagus : disfagi Vena kava superior : sindroma vena kava superior Trakea & bronkus : atelektasis atau sesak napas Jantung : gangguan fungsional, efusi perikard 3. Gejala ekstratorakal non metastatik Neuromuskuler : menyebabkan neuropati karsinomatosis Gangguan endokrin / metabolik : sindroma Cushing, SIADH, hiperparatiroid (hiperkalsemia), hiperglikemia, ginekomasti, hiperpigmentasi. Gangguan pada jaringan ikat/tulang : hypertrophy pulmonary osteoarthropathy Gangguan pada vaskuler dan hematologis : thrombophlebitis migrans, anemia, purpura. 4. Gejala ekstratorakal metastatik Metastasis ke otak, hepar, tulang Di samping itu sering pula didapatkan gejala penyerta yang tidak khas seperti anoreksia, berat badan menurun, demam hilang timbul, BAB VI

TUMOR
SPM PARU 2006 86

DIAGNOSIS Ditujukan untuk menentukan jenis histopatologi kanker, lokasi tumor serta penderajatannya

dan tampilan (performance status) penderita yang selanjutnya diperlukan untuk menetapkan kebijakan pengobatan. Diagnosis berdasarkan gejala klinis yang ditemukan disertai dengan pemeriksaan penunjang yang mendukung karsinoma bronkogenik. Pemeriksaan penunjang : - foto toraks, sitologi sputum atau bahan lainnya (cairan pleura, perikard) - petanda tumor : CEA, Cyfra21-1, NSE - pemeriksaan biologi molekuler : protein p53, bcl2 - bronkoskopi : dapat dilakukan biopsi aspirasi, forceps biopsi, washing, brushing - biopsi terbuka kelenjar limfe, fine needle aspiration biopsi (FNAB) paru transtorakal maupun kelenjar limfe. - CT scan toraks, - Untukn melihat metastasis : CT scan kepala, bone scan/bone survey, USG abdomen - Bedah eksploratif Untuk kepentingan klinis jenis histopatologis dibagi menjadi 4 : 1. karsinoma sel kecil (small cell carcinoma) 2. karsinoma skuamosa (epidermoid/squamous cell carcinoma) 3. karsinoma kelenjar (adenocarcinoma) 4. karsinoma sel besar (large cell carcinoma) Namun untuk kepentingan pemilihan jenis terapi, minimal dapat dibagi 2 : 1. karsinoma sel kecil (small cell lung cancer / SCLC) 2. karsinoma bukan sel kecil (non small cell lung cancer / NSCLC) DIAGNOSIS BANDING - benda asing - tuberkulosis/tuberkuloma - hamartoma - tumor metastatik - jamur - penyakit autoimun
SPM PARU 2006 87

PENATALAKSANAAN 1. Karsinoma bukan sel kecil (NSCLC) Tergantung klasifikasi stadium TNM dan tampilan penderita Bila masih operabel (biasanya stadium I-II) maka dilakukan operasi Untuk tujuan kuratif dapat pula dilakukan kemoterapi induksi. Untuk kasus nonoperabel dapat dilakukan kemoterapi dan/atau radioterapi paliatif dengan memperhatikan tampilan (skala Karnoffsky >70, skala WHO >2). Dapat pula dilakukan kemoterapi neoajuvan dengan harapan stadium yang nonoperabel (stadium IIIA) dapat berubah menjadi operabel. 2. Karsinoma sel kecil (SCLC) Pada umumnya tidak operabel, oleh karena biasanya telah menyebar pada saat didiagnosis. Klasifikasi stadium tidak berdasarkan TNM, melainkan : - limited disease : tumor terbatas pada hemitoraks dan kelenjar ipsilateral

- extensive disease : penyebaran tumor melampaui limited disease Modalitas terapi karsinoma sel kecil berupa khemoterapi dan/atau radioterapi Prinsip pemilihan regimen kemoterapi : - platinum based therapy - respons obyektif satu obat antikanker >15% - toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO - harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 siklus respons tumor progresif Evaluasi dilakukan terhadap : - respons subyektif : penurunan keluhan awal - respons semisubyektif : perbaikan tampilan, bertambahnya berat badan - respons obyektif : respons komplit, parsial, menetap, progresif - efek samping obat PENCEGAHAN Pencegahan utama : berhenti merokok. Menghentikan seorang perokok aktif sekaligus menyelematkan lebih dari seorang perokok pasif. Deteksi dini : terutama pada subyek resiko tinggi (laki-laki, usia > 40 tahun, perokok, dan paparan industri tertentu) dengan satu atau lebih gejala : batuk darah, batuk kronis, sesak napas, nyeri dada, berat badan menurun. Golongan lain adalah wanita perokok pasif dengan salah satu gejala tersebut atau seseorang dengan gejala tersebut tanpa penyakit yang jelas. Riwayat keluarga dengan kanker paru juga perlu menjadi pertimbangan.
SPM PARU 2006 88

PROGNOSIS NSCLC : 5 years survival rate setelah reseksi Stadium Stadium klinis Stadium bedah IA (T1N0M0) 60% 74% IB (T2N0M0) 38% 61% IIA (T1N1M0) 34% 55% IIB (T2N1M0,T3N0M0) 23% 39% IIIA 9-13% 22% IIIB 3-7% IV 1% SCLC : 2 years survival rate setelah kemoterapi Stadium Rata-rata Median Limited 15-20% 14-20 bulan Extensive <3% 8-13 bulan DAFTAR PUSTAKA 1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 216-311. 2. Ginsberg RJ, Vokes EE, Rosenzweig K. Non Small Cell Lung Cancer. In : Cancer Principles & Practice of Oncology. 6thed. Editors: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA. Lippincott Williams & Wilkins. 2001, www.LWWoncology.com 3. Minna JD. Neoplasms of the Lung. In : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. 1998, pp.1419-26

4. Murren J, Glatstein E, Pass HI. Small Cell Lung Cancer. In : Cancer Principles & Practice of Oncology. 6thed. Editors: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA. Lippincott Williams & Wilkins. 2001, www.LWWoncology.com 5. PDPI. Kanker Paru Pedoman Diagnosis & Penalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2002, pp. 1-26.
SPM PARU 2006 89

25 TUMOR MEDIASTINUM BATASAN Tumor yang terdapat dalam rongga mediastinum dan berasal dari salah satu organ mediastinum. PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI Pada umumnya merupakan kelainan kongenital (teratoid, kista bronkogenik, tiroid intratorakal dan lain-lain), namun biasanya baru menimbulkan gejala menjelang dewasa atau dewasa muda. Hal ini antara lain berhubungan dengan fakta bahwa ruang mediastinum yang relatif sempit, terisi dengan tumor tersebut, sehingga pembesaran tumor baik jinak maupun ganas akan menekan organ-organ mediastinum lainnya seperti jantung, pembuluh darah besar, kelenjar dan saluran getah bening, esofagus, trakea, dan bronkus serta ganglion dan saraf otonom). Gejala klinis yang kemudian timbul adalah akibat dari penekanan pada organorgan vital ini. GEJALA KLINIS Tumor mediastinumnya sendiri biasanya tidak memberikan gejala, kecuali timoma yang sering disertai miastenia gravis (50%), red cell aplasia, dan sebagainya yang dikenal dengan sindroma paraneoplastik. Gejala akibat penekanan tumor ke organ mediastinum sekitarnya antara lain : Penekanan pada organ sekitarnya Gejala Trakea dan bronkus Nervus rekurens Esofagus Vena kava superior Jantung dan pembuluh darah Batuk, sesak napas Disfoni Disfagi Sindroma vena kava superior Gangguan hemodinamik Foto toraks PA dan lateral Tampak ada bayangan bulat/lonjong di daerah mediastinum atau ada pelebaran bayangan mediastinum, yang mempunyai batas tegas, tanpa disertai kelainan yang berhubungan dengan parenkim paru. Suatu tanda radiologik yang mencurigakan keganasan, apabila tumor tersebut menyebar ke kanan dan ke kiri mediastinum. Tanda ini menunjukkan fiksasi tumor yang

kemungkinan besar disebabkan infiltrasi tumor ganas ke jaringan sekitarnya. Bila tumor hanya berada di satu sisi berarti tidak ada fiksasi. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin sering tidak memberikan informasi yang berkaitan dengan tumor. Pada malignant germ cell tumor terdapat peningkatan kadar alfa fetoprotein dan beta human chorionic gonadotropin (HCG).Pada tumor tiroid perlu diperiksa kadar T3, T4 serum.
SPM PARU 2006 90

DIAGNOSIS 1. Anamnesis adanya keluhan / gejala akibat penekanan tumor mediastinum, maupun manifestasi sindroma paraneoplastik. 2. Pemeriksaan fisik dapat dijumpai manifestasi sesak napas, sindroma vena kava superior, gangguan hemodinamik. Dapat pula dijumpai pembesaran kelenjar limfe di tempat lain. 3. Teknik imaging (foto toraks, CT scan, MRI, pemeriksaan radionuklir, pemeriksaan barium). Foto toraks tampak bayangan bulat/lonjong di daerah mediastinum dengan batas tegas. CT scan toraks mampu menentukan lokasi anatomik serta hubungannya dengan organ-organ di sekitarnya dan memungkinkan pula dilakukannya pengukuran densitas tumor, sehingga dapat ditentukan apabila suatu kista atau tumor padat. Dengan dipandu CT scan dapat pula dilakukan fine needle aspiration biopsy untuk diagnosis patologi anatomi. Bronkoskopi dapat memberikan informasi tentang pendorongan, penekanan atau invasi tumor terhadap saluran napas dan lokasinya. 4. Pemeriksaan untuk memperoleh sampel jaringan: FNA, torakoskopi, mediastinoskopi. Umumnya diagnosis definitif diperoleh dari FNA dengan tuntunan radiologi. Mediastinoskopi mempunyai nilai dalam mempertimbangkan operabilitas suatu tumor. Bila dijumpai adanya metastasis ke kelenjar atau suatu limfoma, maka operasi tidak dapat dikerjakan. Torakotomi eksplorasi untuk diagnostik bila semua upaya diagnostik tidak berhasil memberikan diagnosis histologis. DIAGNOSIS BANDING Untuk keperluan ini, rongga mediastinum dibagi menjadi 3 bagian : 1. mediastinum anterior: timoma, timolipoma, tumor karsinoid, thymic cyst, tiroid aberan, germ cell tumor, limfoma maligna, giant lymph node hyperplasia, teratoma, adenoma dan karsinoma paratiroid, tumor mesenkim dan sarkoma jaringan ikat longgar, tumor limfovaskular 2. mediastinum medius: kista kongenital (bronkogenik, perikardial,dll), tumor primer kardiak/vaskular, limfadenopati, aneurisma aorta atau arteri inominata, pembesaran arteri pulmonalis, limfoma, neural crest tumor, paraganglioma, hernia foramen Morgagni. 3. mediastinum posterior: tumor neurogenik (asal dari saraf perifer, ganglia simpatis, paraganglia/reseptor), limfoma, tumor mesenkim/sarkoma jaringan ikat longgar, hernia foramen Bochdalek.
SPM PARU 2006 91

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan untuk tumor mediastinum yang jinak adalah pembedahan, sedangkan untuk tumor ganas tindakan berdasarkan jenis sel kanker. Pada limfoma maligna diberikan kemoterapi dengan/tanpa radioterapi. PENCEGAHAN Tidak ada tindakan pencegahan khusus untuk tumor mediastinum. DAFTAR PUSTAKA 1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003, pp. 216311 2. Fraser RG, Pare JAP, Pare PD, Fraser RS, Genereux GP. Diseases of the Mediastinum. In: Synopsis Diseases of the Chest, 2nd ed. Philadelphia.WB Saunders Co. 1994, pp. 896-42 3. Kaiser LR, Putnam JB. The Mediastinum: Overview, Anatomy, and Diagnostic Approach. In: Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, p.521-34 4. PDPI. Tumor Mediastinum (Tumor Mediastinum Nonlimfoma). Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta, 2003, pp. 1-16 5. Rosenberg JC. Neoplasms of the Mediastinum. In: Cancer. Principles and Practice of Oncology. 4th ed. Editors: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg JC.Philadelphia.Lippincott. 1993, pp 759-74
SPM PARU 2006 92

26 TUMOR METASTASE PARU PENDAHULUAN Paru merupakan tempat penyebaran keganasan dengan kekerapan 30 40% pada penderita kanker PATOGENESIS DAN ETIOLOGI Penyebaran ke paru lewat cara: - hematogen - limfogen - penyebaran langsung (direct spread) - penyebaran intrabronkial Hematogen Karsinoma mampu menghasilkan pembuluh-pembuluh darah baru dan sebagai konsekuensinya tumor dapat menginvasi rongga vaskuler. Sekali masuk sirkulasi vena, selsel ganas secara pasif beredar sebagai mikroemboli dan menyangkut di kapiler pulmonal. Tumor yang sering menyebar ke paru: sarkoma dari soft tissue dan tulang, karsinoma tertentu, renal cell, neoplasma gestational trophoblastic, karsinoma tiroid, paru dan payudara. Limfogen Sel-sel ganas sampai ke paru lewat 2 jalur: - sel ganas menyebar ke saluran limfe besar kemudian ke duktus torasikus, vena kava superior, dan pembuluh darah pulmonal. Contoh: germ cell tumor terutama karsinoma testis.

- kelenjar limfe hilus atau mediastinum yang terlibat karsinoma menyebabkan penyebaran retrogred ke saluran limfe pulmonal. Contoh: limfoma, karsinoma paru, karsinoma payudara. Penyebaran langsung Dari : - dinding dada : soft tissue, jaringan, sarkoma - mediastinum : karsinoma esofagus, timoma, germ cell tumor - visera abdomen : karsinoma kardia gaster, hepar - retroperitoneal sarkoma
SPM PARU 2006 93

Tiroid Melanoma Testis Koriokarsinoma 65 66-80 70-80 70-100 Penyebaran intrabronkial Keganasan dari upper aerodigestive tract dapat menyebar secara implantasi langsung dari satu area saluran napas ke saluran napas lain. Teori ini masih kontroversi. Frekuensi metastasis paru pada otopsi dari keganasan di berbagai organ Keganasan primer Frekuensi (%) Ovarium Penis Mulut dan laring Prostat Vulva Hepatoma Serviks Lambung Esofagus Paru Buli-buli Kolon dan rektum Pankreas Limfoma non Hodgkin Uterus Limfoma Hodgkin Ginjal Payudara 10 10 13-40 13-53 20

20 20-30 20-30 20-35 20-40 25-30 25-40 25-40 30-40 30-40 50-70 50-75 60
SPM PARU 2006 94

GEJALA KLINIS Keluhan Saluran napas: batuk, hemoptisis, obstruksi saluran napas dengan wheezing atau stridor, sesak. Sering berasal dari karsinoma payudara, melanoma. Parenkim paru: asimtomatis. Bila lanjut sesak, batuk. Pemeriksaan fisik: bisa dijumpai tanda-tanda efusi pleura, perikard, obstruksi saluran napas, sindroma vena kava superior. Harus dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis, payudara. RADIOLOGI Penyebaran limfangitis ditandai dengan gambaran linier interstisial atau gambaran garis yang memancar dari kelenjar hilus / medistinum besar. Metastasis parenkim: nodul atau massa halus dan berbatas tidak jelas, massa berkavitas, massa dengan kalsifikasi. Pneumonia obstruksi atau kolaps lobus atau segmental. DIAGNOSIS Tergantung temuan klinis dan laboratorium abnormal perlu dievaluasi. Didasarkan pemeriksaan sputum sitologi, FNA, FOB, torakotomi. DIAGNOSIS BANDING Penyebaran limfangitis: gagal jantung kongestif, proses inflamasi interstisial terutama akibat obat. Penyebaran hematogen: tuberkulosis, septik emboli, proses infeksi lain. TERAPI Medik. Umumnya paliatif. Metastasis dari curable carcinoma harus diterapi adekuat. Contoh : germ cell tumor testis dan ovarium, neuroblastoma, LNH, LH. Operasi. Reseksi dianjurkan pada isolated pulmonary metastasis. DAFTAR PUSTAKA 1. Carr D and Holoye PY. Metastatis Malignant Tumors. In : Textbook of Respiratory Disease. Editors: Murray JF and Nadel JA. Philadelphia.WB Saunders. 1988, pp.1267-70 2. Luce JA. Metastatic Malignant Tumors. In : Textbook of Respiratory Disease. 3rd ed.

Editors: Murray JF and Nadel JA.Philadelphia. WB Saunders.2000, pp.1469-76


SPM PARU 2006 95

27 MESOTELIOMA BATASAN Tumor yang berasal dari sel mesotel yang melapisi rongga pleura Dikenal 2 macam Mesotelioma: 1. localized fibrous mesothelioma : umumnya jinak, etiologi belum jelas. 2. diffuse malignant mesothelioma (DMM) : merupakan tumor pleura ganas dengan pertumbuhan lambat, namun resisten terhadap pengobatan. ETIOLOGI Etiologi dihubungkan dengan paparan asbestos. GEJALA KLINIS Secara umum penderita mengeluh nyeri dada, sesak napas, batuk, berat badan menurun, nyeri bahu, dan pada DMM keluhan tersebut sering disertai dengan efusi pleura masif rekuren. Sering dijumpai hypertrophic pulmonary osteoarthropathy. Gejala ini dapat menghilang, bila tumor primernya dibedah. Umumnya tumor ini didapatkan pada penderita berumur > 40 tahun. Sedangkan metastasis ke kelenjar mediastinum dan hilus terjadi pada 50% kasus. Foto toraks Pada foto toraks didapatkan kelainan yang gambarannya mulai dari coin lesion sampai opasitas padat yang berbatas tegas dan jelas serta dapat mengisi seluruh hemitoraks. Laboratorium Dari sitologi cairan pleura atau histopatologi hasil biopsi pleura parietalis atau biopsi terbuka yang dilakukan lewat torakotomi, bila tumor diffuse malignant mesothelioma, maka hasilnya bisa berupa : 1. tubulopapillary 2. mixed type 3. sarcomateous 4. undifferentiated poligonal DIAGNOSIS Bila suatu neoplasma menunjukkan invasi difus yang berasal dari rongga pleura dan menyelimuti paru, bila tidak ditemukan tumor primer yang lain, dan bila tumor yang dimaksud mempunyai susunan yang khas berupa campuran epitel dan fibroblas, maka diagnosis mesotelioma dapat ditegakkan.
SPM PARU 2006 96

PROGNOSIS Pada tumor pleura tidak ada terapi spesifik. Karena itu pada tumor yang ganas kemungkinan hidup atau life expectancy hanya 1-2 tahun (median 22,5 bulan). DAFTAR PUSTAKA 1 Fraser RS, et al. Synopsis of Diseases of The Chest. 2nd ed. WB Saunders. 1994, pp 884 91

2 Light R W. Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm . In : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. 1998, pp.1472-5 3 Light R W. Malignant and Benign Mesotheliomas. In : Pleural Diseases. 4th ed. Philadelphia.Lippincott Williams & Wilkins. 2001, pp. 117-28 4 Rosenbluth D B. Malignant Mesothelioma and Other Primary Pleural Tumors. In : Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, pp.513-7 DIAGNOSIS BANDING Tumor pleura sebagai akibat metastasis: bila didapatkan pada pria umumnya berasal dari karsinoma bronkogenik, sedangkan pada wanita tumor pleura karena metastasis yang berasal dari karsinoma mamma. Secara histopatologis seringkali sulit membedakan DMM tipe tubulopapiler dari adeno karsinoma yang merupakan metastasis dari tumor paru, prostat, lambung atau tumor ovarium. Bila ditemukan debu atau karbon dalam sel mesotel maka diagnosis lebih diarahkan ke DMM. PENATALAKSANAAN Kausal : Terhadap efusi dilakukan aspirasi dan pleurodesis. Pencegahan : Menghindari paparan asbestos, bahkan di beberapa negara pemakaian asbes sebagai bahan bangunan tidak diperbolehkan.
SPM PARU 2006 97

Anda mungkin juga menyukai