kelompok yang mempunyai akibat secara menyeluruh. Munculnya budaya tersebut sebagai akibat dari massifikasi industrialisasi dan komersialisasi yang berorientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya. Budaya massa juga diartikan sebagai perilaku konsumerisme. Konsumerisme merupakan kesenangan universal yang bersifat sementara yang mengacu pada produk budaya seperti trend dan mode yang sedang diminati pasar. Dalam pembentukan budaya massa, komunikasi massa memiliki peranan yang penting dan efektif untuk mempengaruhi perilaku dan homogenitas budaya di dalam masyarakat. Komunikasi massa tersebut dijadikan sebagai tempat pemasaran dan sasaran iklan . tidak hanya itu, produk budaya semakin dipoles dan direkontruksi sesuai dengan selera dan citra rasa agar memunculkan minat masyarakat terhadapnya. Televisi, dibandingkan dengan media yang lain seperti radio maupun surat kabar, televisi menjadi media massa yang paling diminati. Dengan televisi, masyarakat lebih mudah untuk mengakses informasi nasional maupun Internasional, hiburan, hot issue dalam format audio visual. Berbagai program yang ditayangkan telah berhasil menarik minat masyarakat terhadap konsumsi televise. Tetapi kemudahan-kemudahan tersebut membuat masyarakat terlena untuk menyaring program-program yang ada, sehingga manfaat yang diberikan oleh program-program tersebut tidak terlihat. Masyarakat lebih tertarik untuk menikmatinya. Misalnya saja program tayangan reality show yang kini semakin menjamur. Reality show yang sebenarnya tidak layak dan kurang menunjukkan kesopanan justru mendapat rating tinggi di mata masyarakat. Contohnya acara "Empat Mata" yang kini berganti menjadi "Bukan Empat Mata". Acara ini memakai tutur kata yang kurang sopan bahkan terkadang kasar, juga ketika menghadirkan bintang tamu seksi justru menambah rating di masyarakat. Selain itu, acara infotainment seperti insert, cek dan ricek, silet, dan lain-lain juga turut meramaikan program-program televise yang sangat menarik minat masyarakat kita. Membicarakan tentang tren mode pakaian atau fashion. Mode pakaian saat ini dapat dikatakan luar biasa berkembang pesat. Model-model pakaian dari luar negeri sangat digemari oleh masyarakat kita, padahal budaya mereka kurang cocok bila disatukan dengan budaya Indonesia. Namun pesona itu mampu mengalahkan segalanya, sehingga tren fashion tersebut bisa memenangkan hati masyarakat dan sangat popular di semua kalangan di Indonesia. Contoh lain dari budaya massa adalah Menjamurnya barang-barang elektronik, seperti berbagai gadget terbaru. Pada umumnya, masyarakat saat ini lebih mengutamakan system penanda daripada system petanda, artinya lebih mengutamakan untuk memeunuhi keinginannya daripada memenuhi kebutuhannya. Hal ini terbukti dengan pembelian berbagai gadget elektronik, seperti handphone. Setiap ada model handphone terbaru, masyarakat cenderung ingin memilikinya tanpa memperhitungkan apakah barang itu ia butuhkan atau tidak. Semua itu dilakukan hanya untuk memuaskan diri atas trend yang ada saat ini. Maka, tidak jadi masalah apabila barang itu tidak terlalu berguna atau sebagai barang kebutuhan kedua karena yang terpenting adalah kepuasaan dan kesenangan pribadinya telah terpenuhi. Hal ini sejalan dengan adanya fenomena menjamurnya restoran fast-food yang bisa dikatakan sebagai budaya massa. Tidak dapat dipungkiri, adanya restoran fast-food yang menyediakan
makanan cepat saji ini menjadi sarana yang dibutuhkan oleh masyarakat, hal ini membuat makanan junk-food ini sangat digemari. Namun, tanpa disadari terdapat manipulasi publik yang berhubungan dengan kepentingan marketing penjualan. Di restoran fast-food ini, masyarakat tidak dapat memilih makanan sesuai selera sendiri, semuanya telah diatur dengan ditunjang strategi penjualan yang baik sehingga masyarakat mau mengkonsumsinya. Hal ini berbanding terbalik dengan restoran-restoran tradisional yang masyarakat boleh memilih makanan sesuai kebutuhan dan seleranya, tetapi tidak dapat menarik hati masyarakat.
Budaya Populer :
Budaya populer merupakan cermin dari budaya tradisional yang dihadirkan kembali oleh masyarakat dengan cara yang berbeda di era modern saat ini. Budaya populer ada kaitannya dengan budaya massa yang memiliki banyak pendukung yang sifatnya temporer. Seperti yang kita ketahui jika dalam budaya tradisional, terdapat suatu budaya yang hanya dapat dimiliki oleh kalangan tertentu saja, sehingga kalangan yang lain tidak mendapat kesempatan untuk menikmatinya, kali ini budaya populer justru memberikan kesempatan kepada seluruh elemen masyarakat untuk dapat menikmati dan menyaksikan budaya tersebut. Contoh konkret dari budaya populer adalah tayangan OVJ (Opera Van Java) di Trans 7 yang tergolong acara hiburan ringan dan mayoritas masyarakat juga menyukai acara tersebut. Sedikit menceritakan, acara ini merupakan contoh dari budaya tradisional yang diangkat kembali ke lingkup modern saat ini. Tema utama dari acara ini adalah pewayangan. Hal ini mengingatkan kita terhadap budaya wayang yang sudah mulai dilupakan orang saat ini. Unsur wayang dalam acara tersebut tidak ada yang dihilangkan. Mereka menyajikannya lengkap dengan dalang, sinden, pemain musik tradisional beserta alatnya yang komplit dan serba tradisional seperti gamelan, gong, serta para pemain juga mengenakan kostum yang serba tradisional juga. Namun, ada yang terlihat berbeda dalam penampilan wayang di acara OVJ tersebut. Mereka tak hanya menampilakan kesan wayang saja di dalamnya melainkan para pemain juga mampu menampilkan kesan kekocakkan dan keunikan sehingga acara tersebut semakin digandrungi oleh masyarakat. Dibilang kocak karena para pemainnya memang pinter mbanyol (suka bercanda). Salah satu tokoh dari OVJ yang gampang diingat karena suka berbuat hal-hal konyol adalah Sule. Dalam penampilannya, ia suka membuat kata-kata baru yang akhirnya menjadi trend dan ditiru oleh masyarakat. Contohnya seperti kata Loe, Gue End dengan memakai gaya khas yang ia ciptakan sendiri. Hal inilah yang menjadi cirri khas seorang Sule dalam acara OVJ tersebut. Selalu kocak, Namun tak hanya Sule saja yang menonjol dalam OVJ tersebut, pemain yang lainnya seperti Nunung, Aziz, Andre dan Parto juga mempunyai karakteristik humoris seperti Sule. Semua pemain OVJ berhasil mencairkan suasana panggung pewayangan dan membuat penonton merasa terhibur dengan acara tersebut. OVJ juga dikatakan unik karena dalam acara tersebut cerita disajikan tidak secara monoton berbau tradisional artinya dalam menampilkan sebuah cerita mereka juga menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Sehingga OVJ memberikan kesan pada penonton bahwa acara ini benar-benar ringan dan menghibur sekaligus dapat menambah wawasan bagi kita dalam mengetahui cerita-cerita dari daerah lainnya yang belum semuanya kita ketahui.
6. Budaya massa juga diproduksi secara eksklusif menggunakan simbo-simbol kelas sehingga terkesan diperuntukan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas dan tertutup. Syarat utama dari eksklusifitas budqaya massa ini adalah keterbukaan dan ketersediaan terlibat dalam perubahan budaya secara massal. Lalu budaya populer, budaya populer merupakan bentuk budaya yang lebih mengedepankan sisi pupularitas dan kedangkalan makna atau nilai-nilai. Menurut Ray B. Brownie budaya populer adalah budaya yang ada di dunia ini, disekeliling mita yang meliputi sikap kita, perilaku, tindakan, makanan, pakaian, bangunan, jalan perjalanan, hiburan, olah raga, politik, aktivitas serta bentuk dan cara mengontrolnya. Misalnya HP, jaringan sosial dan lainlain. Budaya ini lahir karena adanya hemegoni media masa dalam ruang-ruang budaya publik. Budaya populer berkembang diluar control budaya tinggi. Ide-ide budaya populer lahir dari segala budaya baik budaya rendah ataupun budaya tinggi. Ciri-ciri budaya populer diantaranya sebagai berikut: 1. Tren, sebuah budaya yang menjadi tren dan diikuti atau disukai banyak orang berpotensi menjadi budaya populer. 2. Keseragaman bentuk, sebuah ciptaan manusia yang menjadi tren akhirnya diikuti oleh banyak penjiplak. Karya tersebut dapat menjadi pionir bagi karya-karya lain yang berciri sama, sebagai contoh genre musik pop (diambil dari kata popular) adalah genre musik yang notasi nada tidak terlalu kompleks, lirik lagunya sederhana dan mudah diingat. 3. Adaptabilitas, sebuah budaya populer mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah pada tren. 4. Durabilitas, sebuah budaya populer akan dilihat berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir budaya populer yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan dirinya, akan bertahan-seperti merek Coca-cola yang sudah ada berpuluh-puluh tahun. 5. Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya populer berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi industri yang mendukungnya. Nah, implikasi dari adanya budaya massa dan budaya populer ini adalah adanya Globalisasi. Pengaruh media massa terhadap perubahan sosial masyarakat Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti media massa, menyebabkan terjadi perubahan secara cepat dimana-mana. Media massa sedikit demi sedikit membawa masuk masyarakat ke suatu pola budaya yang baru dan mulai menentukan pola pikir serta budaya perilaku masyarakat. Tanpa disadari media massa telah ikut mengatur jadwal hidup kita serta menciptakan sejumlah kebutuhan. Keberadaaan media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu perubahan serta banyak membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat. Beragam informasi yang disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud positif dan negatif. Secara perlahanlahan namun efektif, media membentuk pandangan masyarakat terhadap bagaimana seseorang
melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari. Media memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat menilai apakah lingkungan mereka sudah layak atau apakah ia telah memenuhi standar tersebut dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat, didengar dan dibaca dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media bisa jadi mendukung masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa senang akan diri mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan dirinya atau merasa rendah dari yang lain. Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda. Secara sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa kehidupan kita akan menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa, khususnya untuk anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi sedikit dipengaruhi oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari tahap perkembangan jiwa maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi bila taayangan atau informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa sempat ditonton oleh anak-anak (Amini, 1993). Dampak yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam diantaranya terjadinya perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial atau nilai-nilai budaya. Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal tersebut bukanlah hal yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend massa kini. Selain itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan dapat dinikmati dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir praktis. Dampak lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola hidup konsumerisme. Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya media massa elektronik (media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat senantiasa diliputi prerasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant Gaya hidup seperti ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam diri kita dikemudian hari. Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur. BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1. KESIMPULAN
Media massa pada umunya merupakan sektor pranata modern, yang sampai batas tertentu adalah asing untuk negara dan kebudayaan negara ketiga. Untuk memasukkannya diperlukan baik oleh alih teknologi maupun kemampuan adaptasinya terhadap kebutuhan dunia ketiga ( Tharpe, 1992). Secara umum media massa merupakan sarana penyampaian informasi dari sumber informasi (komunikator) kepada penerima informasi (komunikan). Masuknya informasi oleh media massa membawa dampak perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian Informasi memiliki kekuatan baik yang membangun dan merusak ( Wahyudi, 1992). Artinya media massa dalam hal ini berwajah ganda. Informasi yang sampai kemasyarakat dapat ditanggapi berbeda-beda oleh setiap individu tergantung pada kepentingannya masing-masing serta tergatung dari kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan informasi yang datang secara proporsional. Dampak yang paling kontras dirasakan dikalangan masyarakat ialah perubahan gaya hidup dan pola tingkah laku yang menuntut masyarakat bersikap serba instant sehingga menyebabkan terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. Media massa mempengaruhi gaya hidup masyarakat untuk menjadi serupa dengan apa yang disajikan oleh media. Sadar atau tidak masyarakat pun masuk kedalamnya bahkan menuntut lebih dari itu. Kehadiran media massa dirasakan lebih berpengaruh terhadap generasi muda yang sedang berada dalam tahap pencarian jati diri. Informasi-informasi yang diterima dari media tersebut mempengaruhi kehidupan sosial budaya suatu masyarakat baik dalam persepsi sikap serta perilaku hidupnya. Dari pejelasan-penjelasan diatas, secara tersirat kehadiran media massa telah memunculkan suatu budaya baru yang menginginkan masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap budaya tersebut. Budaya ini dikenal dengan sebagai budaya populer atau budaya pop (Sugihin, 1991). Penyesuaian sikap masyarakat terhadap budaya populer ini menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat dan menuntut masyarakat untuk beralih dari masyarkat tradisional menuju ke masyarakat dengan pola hidup modern.
Keberadaaan media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu perubahan serta banyak membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat. Beragam informasi yang disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud positif dan negatif. Secara perlahanlahan namun efektif, media membentuk pandangan masyarakat terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari. Media memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat menilai apakah lingkungan mereka
sudah layak atau apakah ia telah memenuhi standar tersebut dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat, didengar dan dibaca dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media bisa jadi mendukung masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa senang akan diri mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan dirinya atau merasa rendah dari yang lain.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Secara sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa kehidupan kita akan menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa, khususnya untuk anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi sedikit dipengaruhi oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari tahap perkembangan jiwa maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi bila taayangan atau informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa sempat ditonton oleh anak-anak (Amini, 1993).
Dampak yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam diantaranya terjadinya perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial atau nilai-nilai budaya. Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal tersebut bukanlah hal yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend massa kini. Selain itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan dapat dinikmati dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir praktis. Dampak lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola hidup konsumerisme. Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya media massa elektronik (media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat senantiasa diliputi prerasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant Gaya hidup seperti ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam diri kita dikemudian hari.
Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur kenikmatan
dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
Pemikiran utama Baudrillard adalah teori tentang hyper-reality dan simulation. Konsep ini sepenuhnya mengacu pada kondisi realitas budaya yang virtual ataupun artifisial di dalam era komunikasi massa dan konsumsi massa. Realitas-realitas itu mengungkung kita dengan berbagai bentuk simulasi (penggambaran deng an peniruan). Simulasi itulah yang mencitrakan sebuah realitas yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang tidak sesungguhnya tetapi dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran kita itulah yang disebut den gan realitas semu (hyperreality). Realitas ini tampil melalui media-media yang menjadi kiblat utama masyarakat massa. Melalui media realitas-realitas dikonstruk dan ditampilkan dengan simulators, dan pada gilirannya menggugus menjadi gugusan-gugusan imaji yang menuntun manusia modern pada kesadaran yang ditampilkan oleh simulator-simulator tersebut, inilah yang disebut gugusan simulacra. Simulator-simulator itu antara lain muncul dalam bentuk iklan, film, cybernetics, kuis, sinetron dan lain-lain yang tampil dalam TV atau media lain yang mengobral kepuasan fashion, food dan funs. Berkembangnya teknologi informasi seperti sekarang ini, yang diklaim sebagai wujud nyata dari modernitas, telah memposisikan realitas-realitas menjadi sebatas imaji yang dihasilkan oleh proses simulasi. Media, sekali lagi, telah menciptakan makna pesan yang dipublikasikan sebagai sesuatu yang terputus dari asal-usulnya, sehingga tidak salah kalau Baudrillard menyatakan bahwa konstruk budaya dewasa ini mengikuti pola-pola simulasi, yakni penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul (realitas), inilah yang disebutnya hyper-reality. Pada lapis pemahaman ini ada keterkaitan erat antara modernitas dan kapitalisme. Pola-pola perilaku modernitas berjalan paralel dengan proses ekonomi-politik (produksi, distribusi, dan konsumsi) yang merupakan ritual ideologi kapitalisme. Meskipun pandangan yang sedang didiskusikan ini juga konstruksi image yang dibangun oleh kapitalisme, tetapi sekali lagi, manusia modern tidak akan dapat terlepas oleh kepentingan-kepentingan kapitalisme. Di dalam proses ini produk kapitalisme melebur dalam imaji-imaji yang dikonstruk oleh media, terutama TV. Hadirnya TV dengan berbagai iklan terus mengakomodasi kepentingan-kepentingan produksi yang akan dialirkan ke konsumen melalui pencitraan-pencitraan. Produk-produk tersebut dicitrakan melalui simuasi-simulasi media dengan menciptakan model-model iklan yang akan menuntun kesadaran masyarakat massa (consumer) untuk mengikutinya. Pencitraan itu sangat menonjolkan model-model idola untuk menyedot kesadaran massa, sehingga artis-artis atau selebriti menjadi faktor utama proses simulasi. Peristiwa anugerah piala Oscar, misalnya, mampu menyedot jutaan orang di dunia untuk melihat model rambut, model pakaian, gaya jalan para bintang Hollywood itu untuk dijadikan model panutan. Tidak bisa dipungkiri di era 1990-an, model rambut Demi Moore telah menjadi panutan gaya rambut modern hanya melalui film Ghost yang ditayangkan TV, bukan bertemu langsung. Bagi para kritikus modernitas termasuk Baudrillard, TV tidak hanya menawarkan produk, tetapi sarat dengan muatan ideologi. Simulasi-simulasi yang dibangun TV mampu
mendoktrin pemirsa tanpa disadarinya dengan nilai-nilai yang dibawa oleh kepentingankepentingan tertentu. Baudrillard sendiri menyatakan bahwa TV merupakan faktor terpenting dalam proses massifikasi masyarakat konsumen melalui pencitraan- pencitraan itu, maka lebih lanjut imaji-imaji yang ditampilkan itu akan meluruhkan jati diri manusia sebagai individu, ia telanjang dari kemanusiaannya, ia berubah menjadi massa baik kesadaran atau perilakunya. Baudrillard menelaah lebih jauh bagaimana pencitraan itu menciptakan semakin jauhnya makna dari realitas. Simulasi yang telah menciptakan gugusan simulacrum serta merta menguasai kesadaran sehingga perilakunya diatur sepenuhnya oleh dorongan-dorongan simulasi itu. Di sinilah Baudrillard banyak menggunakan semiotika Ferdinand de Saussure, terutama dalam menghubungkan arbitrasi antara komoditi dan nilai tukar (harga) dengan sistem penanda (signifier) dan tinanda (signified). Strukturasi ini bila dikaitkan dengan teori awal Baudrillard tentang sistem obyek dan tanda, yang banyak diintrodusir dalam The System of Object, komoditas dan nilai tukar memberikan estetika tersendiri terhadap prestise sosial konsumen. Komoditas menciptakan strukturasi barang dan jasa dalam susunan hirarkhis yang memberikan imaji dalam membentuk prestise sosial dan posisi seseorang dalam sistem tersebut. Misalnya mobil, dengan nilai tukar pada jenis masing-masing menunjukkan posisi orang yang terlibat dalam struktur itu. BMW, Mercy, Roll Royce, Royal Saloon, dan Volvo akan memberi prestise dan hirarkhi elit terhadap konsumennya, sementara Suzuki Carry 1000, Espass, Mitsubishi T120ss dan lain sebagainya memberikan hirarkhi estetis kelas rendah bagi status sosial pengendaranya. Makna dan fungsi mobil sebagai alat transportasi dan kenyamanan berkendaraan berubah menjadi fungsi atributif dan predikatif bagi pemiliknya. Pencitraan-pencitraan terhadap komoditas itu membawa konsekuensi logis terhadap pembentukan karakter masyarakat ma ssa yang serba tergantung pada komunikasi massa melalui media massa. Kaitan dengan hal ini Baudrillard melihat proses pencitraanpencitraan komoditas itu telah diekskalasi oleh adanya media. Di dalam budaya massa itu, Baudrillard menunjukkan bagaimana proses transformasi nilai dari media ke dalam kesadaran masyarakat massa telah memanjakan kesadaran itu dalam memperturutkan keinginannya (desir, hawa nafsu) untuk mengikuti ritual-ritual ekonomi-konsumtif. Kondisi psikologis ini mengantarkan pada pemujaan (fetishisme) terhadap idola yang dipresentasikan oleh media. Pada saat yang sama budaya ini menjebak masyarakatnya pada silent majorities. Bagi Baudrillard proses ini meluruhkan segala struktur kelas ke dalam massa yang tidak ada kategori nilai selain nilai ekonomis. Dalam masyarakat seperti ini tidak ada lagi ikatan konvensional yang mempererat relasi antar individu, yang ada hanya ikatan semu yang hanya terbatas pada relasi ekonomis. Oleh karena itu satu-satunya kiblat adalah media, yang secara massif membentuk kesadaran individu-individu itu dalam ikatan massa.
c.
Hiperrealitas Budaya kontemporer pada saat ini juga dapat disebut sebagai budaya hiperrealitas atau hyperreality. Menurut Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman dan Jean Baudrillard, seorang filsuf, sosiolog, serta pakar kebudayaan asal Prancis, budaya kontemporer pada masa sekarang ini muncul karena adanya perkembangan yang sangat hebat dalam bidang teknologi informasi,
seperti televisi, telepon, handphone, dan internet yang menggeser konsepsi ruang dan waktu yang seharusnya serempak menjadi konsepsi ruang dan waktu yang tidak lagi sistematis. Contoh dari fenomena, di mana manusia telah dapat mengatasi ruang dan waktu, yaitu: Dengan adanya televisi, kita bisa melihat tempat-tempat yang jauh tanpa harus pergi ke tempat tersebut, serta dengan adanya siaran langsung di televisi, kita bisa menonton sebuah kejadian di tempat yang jauh dalam waktu yang bersamaan. Atas dasar gejala tersebut, muncullah dua pendapat: Heidegger: Menurutnya, fenomena budaya kontemporer ini adalah hyperreality, karena pada saat ini, muncul lautan informasi. Sehingga, budaya kontemporer merupakan budaya yang tidak memiliki center atau patokan. Misalnya, tidak ada lagi aturan-aturan dalam membuat suatu karya seni, contohnya dalam musik. Dalam masa kontemporer, setiap musisi memiliki kebebasan untuk membuat karyanya sendiri. Namun, karya yang diakui oleh masyarakat atau diafirmasi sosial lah yang akhirnya menjadi budaya. Sebagai contoh, Michael Jackson memiliki ciri khas sendiri dalam bernyanyi dan aksi panggungnya, sehingga ia memiliki massa yang menggemarinya. Karena ia telah diakui oleh massanya itu lah, Michael Jackson menciptakan sebuah kebudayaannya sendiri, yaitu kebudayaan pop. Baudrillard: Pada dasarnya, pendapat Baudrillard ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Heidegger mengenai budaya kontemporer, yaitu masa ini muncul setelah teknologi mulai berkembang dengan pesat. Perkembangan dalam bidang teknologi ini menimbulkan gejala hiperrealitas, di mana fakta dan fiksi atau rekayasa sudah berbaur. Namun, bukan hanya fakta dan fiksi atau rekayasa saja yang berbaur, tetapi juga sebuah kondisi, di mana kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, serta kebohongan yang berbaur dengan kebenaran. Misalnya, pada masa kontemporer ini banyak bermunculan iklan-iklan di media cetak, maupun elektronik. Pada iklan-iklan tersebut, bintang iklan selalu terlihat sempurna secara fisik, namun ternyata kenyataannya tidak demikian. Dengan kecanggihan teknologi, kekurangankekurangan pada bintang iklan tersebut sudah tidak terlihat lagi, sehingga gejala dalam budaya kontemporer pada saat ini adalah juga memudarnya batasan antara fiksi dengan fakta.
Contoh lain, dalam film-film yang beredar pada masa ini, misalnya 10.000 BC, kita dapat melihat langsung gambaran bumi di masa lalu, tepatnya beribu-ribu tahun sebelum masehi. Karena itu lah, dalam masa kontemporer ini, kita tidak lagi dituntut untuk berpikir secara sistematis. Sehingga, pada masa kontemporer saat ini, situasinya sangat bertentangan dengan Cartesian atau konsepsi dari Rene Descartes, yaitu untuk berpikir secara jernih dan terpilahpilah. Maka dari itu, seseorang tidak dapat lagi hanya memegang hanya satu makna, misalnya satu disiplin ilmu saja, melainkan harus dapat memegang beberapa makna. Contohnya, saat ini, kita merasa sangat mudah, jika ingin mencari informasi atau pengetahuan tertentu melalu internet. Hampir semua informasi yang kita butuhkan bisa dicari melalui internet. Sehingga, kita tidak hanya bisa memegang satu makna, misalnya satu situs tertentu saja, karena kita dipaparkan oleh berbagai sumber dengan informasi yang sangat beragam. d. Budaya Populer Dengan tidak adanya otoritas tunggal yang memberi aturan pada masa kontemporer ini, maka di sini yang berperan adalah logika massa yang cenderung silih-berganti. Sesuatu yang dikenal dan diakui oleh massa yang banyak, itulah yang menjadi kebudayaan pada masa ini. Dalam kata lain, sesuatu yang populer pada saat ini lah yang menjadi budaya, sehingga budaya kontemporer pada saat ini juga dihubungkan dengan budaya populer atau pop culture. Dalam aplikasi budaya populer, misalnya dalam musik pop, sudah tidak ada lagi pemisahan dalam genre-genrenya. Musik apapun yang digemari oleh banyak orang atau telah menjadi mainstream, itulah yang disebut musik pop. Pop culture cenderung disukai oleh banyak orang, karena pop culture merupakan kebudayaan yang pragmatis dan praktis, sehingga mudah dikonsumsi massa dan membuai indera. Misalnya, makanan cepat saji dan minuman dalam kemasan yang mudah penyajiannya sangat digemari pada saat ini, karena pada masa ini banyak bermunculan teknologi yang mempermudah hidup, sehingga orang-orang lebih menyukai segala sesuatu yang bersifat instan. Film Hollywood yang cenderung populer juga lebih banyak disukai oleh massa, karena bersifat praktis, yaitu durasinya relatif singkat dan isinya padat, serta jalan ceritanya divisualisasikan dengan sangat jelas, jika dibandingkan dengan film-film Eropa.
Contoh lainnya, saat ini orang-orang menyukai hal-hal yang serba cepat, karena konsepsi ruang dan waktu yang sudah bergeser tadi, sehingga buku-buku yang menawarkan pengetahuan, serta keterampilan yang bisa diperoleh dalam waktu singkat sangat digemari oleh masyarakat. Kita dapat melihat kecenderungan ini dari semakin banyaknya diterbitkan buku-buku yang bersifat pragmatis praktis (buku-buku mengenai how to atau buku-buku self-help) atau majalahmajalah yang berisi tips-tips praktis mengenai berbagai hal praktis. Dengan budaya populer yang serba instan ini, maka muncullah apa yang disebut dengan banalisme atau kedangkalan, yaitu seseorang jadi kehilangan makna sesungguhnya, karena adanya teknologi-teknologi yang menawarkan kemudahan hidup. Misalnya, pada saat ini banyak sekali remaja yang lebih senang bergaul lewat jejaring sosial yang bersifat semu, daripada berteman dengan ikut dalam suatu kegiatan yang konkret. Dalam dunia maya, mereka bisa jadi sangat lihai bergaul, tetapi pada kanyataannya tidak, padahal kita hidup dalam dunia yang nyata.
karena televisi mampu membuat pemirsanya tenggelam dalam citra simulacrumnya. Di dalam televisi, realitas, fantasi, halusinasi, illusi telah berbaur menjadi satu. Hiper-realitas merupakan kondisi di mana keadaan seakan telah melampaui realitas, suatu keadaan dimana fantasi/mimpi-mimpi berusaha untuk diwujudkan/ direpresentasikan sehingga batas antara keduanya nyaris tiada.
Cyber Law adalah aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber ataumaya. Cyber Crime adalah sebuah bentuk kriminal yang mana menggunakan internet dan komputer sebagai alat atau cara untuk melakukan tindakan kriminal. Masalah yang berkaitan dengan kejahatan jenis ini misalnya hacking, pelanggaran hak cipta, pornografi anak, eksploitasi anak, carding dan masih bnyak kejahatan dengan cara internet. Juga termasuk pelanggaran terhadap privasi ketika informasi rahasia hilang atau dicuri, dan lainnya. Dalam definisi lain, kejahatan dunia maya adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke dalam kejahatan dunia maya antara lain adalah penipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit, confidence fraud, penipuan identitas, pornografi anak, dll.
Pengertian internet Internet adalah suatu jaringan komputer yang satu dengan yang lain saling terhubung untuk keperluan komunikasi dan informasi. Sebuah komputer dalam satu jaringan internet dapat berada di mana saja atau bahkan di seluruh Indonesia. Sering juga internet diartikan sebagai jaringan komputer di seluruh dunia yang berisikan informasi dan sebagai sarana komunikasi data yang berupa suara, gambar, video dan juga teks. Informasi ini dibuat oleh penyelenggara atau pemilik jaringan komputer atau dibuat pemilik informasi yang menitipkan informasinya kepada penyedia layanan internet.
Pengertian intranet Intarnet adalah jaringan komputer-komputer yang saling tersambung digunakan suatu sistem organisasi. Misalnya: jaringan komputer-komputer PT. Telkom seluruh Indonesia. Jadi dibilang internet khusus. Intranet berfungsi mengkomunikasikan komputer satu dengan yang lain, persis seperti internet tatapi layanannya terbatas, tidak seluas dan seberagam di internet.
Kegunaan internet Bila kita melakukan akses di internet banyak sekali keuntungan yang dapat kita peroleh. Berikut beberapa kegunaan dari akses internet antara lain tercantum pada uraian di bawah ini: Khususnya dalam dunia bisnis sarana informasi dan komunikasi internet juga digunakan sebagai media komunikasi promosi. Contoh: untuk image company, pengenalan dan pemasaran produk. Dalam berbagai aktivitas bisnis dan administrasi pemerintahan, secara nyata sistem komunikasi menggunakan internet, ini terbukti dapat mengurangi biaya kertas dan biaya distribusi. Contoh: koran masuk ke dalam internet (online news), majalah, brosur dan juga jurnal. Internet sudah semakin popular digunakan sebagai media komunikasi interaktif oleh berbagai pihak dalam bentuk: e-mail, dukungan pelanggan dengan www, video conferencing, internet relay chat, internet phone. Pertukaran data dan informasi dengan sistem administrasi pemerintahan (e-goverment) atau sebagai resources discovery. Untuk kebutuhan sistem perdagangan (e-commerce) internet sangat banyak digunakan yaitu perdagangan lewat bisnis dengan internet. Internet juga semakin intensif dalam aktifitas perbankan, seperti untuk baking online yang memungkinkan nasabah bank melakukan transaksi secara online di depan komputer mereka (resourses sharing).
hyper reality / realitas super Hyper reality adalah keadaan dimana seseorang menganggap obyek yang semu itu sebagai sesuatu yang lebih nyata dibandingkan obyek yang nyata lainnya. Maksudnya adalah hyper reality itu keadaan manusia yang menganggap obyek yang merupakan imajinasi orang tersebut adalah sesuatu yang lebih nyata, dibandingkan sesuatu yang dianggap orang lebih nyata. Hyperreality adalah signifikan sebagai paradigma untuk menjelaskan kondisi budaya saat ini, yaitu kondisi budaya konsumerisme (Baudrillard,
1970: 47), masyarakat yang menjalankan logika sosial konsumsi, dimana kegunaan dan pelayanan bukanlah motif terakhir tindakan konsumsi. Melainkan lebih kepada produksi dan manipulasi penandapenanda sosial. Dibukunya The Simbolic Exchange and Death, Jean Baudrillard menggunakan konsep Lacan tentang simbolik, imajiner, dan nyata untuk mengembangkan konsep ini saat menyerang ortodoksi Kiri politik, dimulai dengan realitas diasumsikan kekuasaan, produksi, keinginan, masyarakat, dan legitimasi politik. Baudrillard berpendapat bahwa semua realitas telah menjadi simulasi, yaitu, tanda-tanda tanpa rujukan apapun, karena yang nyata dan imajiner telah diserap ke dalam simbolik (Lechte, 1994: 234). Simulasi adalah penciptaan kenyataan yang tidak bias dilihat kebenarannya di dalam kenyataan (Baudrillard, 1983: 32). Hal seperti seni, dan kebutuhan manusia lain ditayangkan kepada media melalui modelmodel yang ideal, hal inilah yang membuat masyarakat menjadi kaum konsumerisme, dan tidak bisa membedakan dimana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Dalam era simulasi ini, realitas tak lagi memiliki eksistensi. Era simulasi berawal dari proses penghancuran segala acuan referensi dan bahkan lebih buruk lagi. Era simulasi tidak lagi berkaitan dengan persoalan imitasi, reduplikasi atau bahkan parodi. Era simulasi lebih tertarik mempersoalkan proses penggantian tanda-tanda real, bagi realitas itu sendiri, yakni suatu proses untuk menghalangi setiap proses real dengan mekanisme operasi ganda, sebuah konsep metastabil, terprogram, sebagai sebuah mesin penggambaran yang sempurna yang menyediakan semua tanda real dan serangkaian kemungkinan perubahannya (Baudrillard, 1983: 4). Hyperrealitas dengan demikian berbeda sama sekali dari yang real maupun yang imajiner, yakni suatu tempat bagi pengulangan secara kontinyu model-model dan perbedaan. Dalam dunia simulasi seperti ini, prinsipprinsip representasi modernisme menjadi tidak lagi relevan. Pembedaan antara objek dan subjek, real dan semu, penanda dan petanda, dalam paradigma modernisme tidak bisa lagi dilakukan. Manusia kini hidup dalam ruang imajinasi yang nyata sebuah fiksi yang faktual. Realitas-realitas simulasi menjadi ruang kehidupan baru dimana manusia menemukan dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya. Lewat televisi, misalnya, dunia simulasi tampil secara sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi, reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam silang sengkarut tanda. Dengan televisi realitas tidak hanya diproduksi, disebarluaskan atau direproduksi, bahkan juga dimanipulasi. Dalam realitas simulasi seperti ini, manusia tak lebih sebagai sekumpulan massa mayoritas yang diam, yang menerima segala apa yang diberikan padanya. Bisa dikatakan bahwa kehidupan manusia yang konsumerisme sendiri itulah yang membuat hyper reality terus menerus menguasai manusia saat ini. Kita tidak bisa mengelak bahwa manusia lebih menyukai hal-hal yang sudah ada, walaupun itu sebenarnya tidak nyata. Kebudayaan memproduksi di dalam hidup manusia semakin lama semakin sempit, sehingga kaum-kaum kapitalis semakin menjadi untuk memberikan hal-hal yang semu bagi manusia lainnya. Jadi kebudayaan manusia saat ini adalah sesuatu yang membodohkan, maksudnya adalah keinginan manusia untuk lepas dari imajinasinya sudah sangat jarang. Televisi sebagai sesuatu yang bisa dikatakan sebagai tuhannya manusia saat ini sudah membuat manusia terhipnotis ke dalam dunia imajinasinya sendiri-sendiri.
Contoh budaya populer (budaya berbelanja merupakan budaya yang populer di Indonesia)doc.Pribadi Dalam arti sebenarnya, Budaya Massa adalah dianggap sebagai milik mayoritas masyarakat tak berbudaya dan tak berpendidikan. Dalam sosiologi, istilah massa mengandung pengertian kelompok manusia yang tak bisa dipilah-pilah, bahkan semacam kerumunan (crowd) yang bersifat sementara dan dapat dikatakan: segera mati. Dalam kelompok manusia yang seperti ini, identitas seseorang biasanya tenggelam. Masing-masing akan mudah sekali meniru tingkah laku orang-orang lain yang sekerumunan. Puncak dari tingkah laku mereka akan dilalui, katakanlah maksudnya selesai, apabila secara fisik mereka sudah lelah dan tujuan bersamanya tercapai. Banyak pengertian budaya massa dari berbagai ahli diantaranya : Menurut Bennet dan Tumin,Kebudayaan Massa adalah seperangkat ide bersama dan pola perilaku yang memintas garis sosio-ekonomi dan pengelompokan sub-kultural dalam suatu masyarakat yang kompleks. Sementara menurut aliran Frankfurt, budaya populer adalah budaya massa yang dihasilkan industri budaya untuk stabilitas maupun kesinambungan kapitalisme. Budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan industri produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan pada khalayak konsumen. Budaya massa adalah hasil budaya yang dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis, heterogen, lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera dangkal. Zaman dulu secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa budaya massa adalah simbol kedaulatan kultural dari orang-orang yang tidak terdidik. Dari asal katanya Budaya massa merupakan istilah untuk mass culture,istilah inggris yang berasal dari bahasa Jerman yaitu Masse dan kultur. Di Eropa budaya massa ditujukan kepada mayoritas masyarakat Eropa kelas menengah kebawah yang tak terpelajar,seperti kelas pekerja dan kaum miskin yang disebut mass atau masse. Karena itu istilah budaya massa di Eropa diidentikkan dengan ejekan atau merendahkan terhadap apa yang menjadi pilihan-pilihan kaum kelas menengah ke bawah ini. Pilihan-pilihan itu seperti pilihan produk,ide,perasaan,pikiran dan sikap masyarakat Eropa yang tidak terpelajar. Sementara istilah lain yang berlawanan dengan istilah masse kultur adalah istilah high cultureyang berarti kebudayaan tinggi atau kebudayaan elit. Disebut kebudayaan elit karena istilah ini digunakan untuk menyebut atau mengacu kepada kaum terpelajar dan kelas menengah ke atas di Eropa. Terkait dengan berbagai pilihan produk kesenian dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pikiran dan perasaan mereka yang menjatuhkan kepada pilihan atas jenis produk simbolik yang bernilai tinggi. Jika dibandingkan,pemakaian kedua istilah diatas untuk menyebutkan perbedaan selera berupa pilihan-pilihan produk antara kedua kelas sosial diatas. Yaitu antara kaum tidak terpelajar yang sebagian besar adalah kelas menengah ke bawah dan kaum terpelajar yang masuk dalam golongan kelas atas. Jelas bahwa pemakaian istilah masse kultur (budaya massa) mengandung ejekan atau sikap merendahkan terhadap apa yang menjadi pilihan produk,ide dan pemikiran mayoritas kelas menengah bawah.
*** Ciri-ciri Budaya massa (Burhan Bungin,2009: 77-78): 1. Nontradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya populer. acara-acara infotainment,seperti indonesian idol, Penghuni terakhir, dan sebagainya adalah salah satu contoh karakter budaya massa ini. 2. Budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak merucut di tingkat elite, namu apabila ada elite yang terlibat dalam proses ini makaitu bagian dari basis assa itu sendiri. 3. Budaya massa juga memproduklsi budaya massa seperti infotainment adalah produk pemberitaan yang diperuntukan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat memanfaatkannya sebagai hiburan umum. 4. Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa bukan popular kalau budaya massa artiya budaya tradisional daqpat menjadi budaya popular apabila menjadi budaya massa. Contohnya srimulat, ludruk, maupun campursari. Pada mulanya kesenian tradisional ini berkembang di masyarakat tradisioanal dengan karakter-karakter tradisional, namun ketika kesenian ini dikemas di media massamaka sntuhan popular mendominasi seluruh kesenian tradisional itubaik kostum, latar, dan sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat pedesaan namun secara massalmenjadi konsumsi semua lapisan masyarakat di pedesaan dan perkotaan. 5. Budaya massa, terutama yang diproduksi oleh media massa diproduksi dengan menggunakan biaya yang cukup besar, karena itu dana yang besar harus menghasilkan keuntungan untuk kontinuitas budaya massa itu sendiri, karena itu budaya massa diproduksi secara komersial agar tidak saja menjadi jaminan keberlangsungan sebuah kegiatan budaya massa namun juga menghasilkan keuntungan bagi capital yang diinvestasikan pada kegiatan tersebut. 6. Budaya massa juga diproduksi secara eksklusif menggunakan simbo-simbol kelas sehingga terkesan diperuntukan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas dan tertutup. Syarat utama dari eksklusifitas budqaya massa ini adalah keterbukaan dan ketersediaan terlibat dalam perubahan budaya secara massal. *** Contoh Budaya Massa 1. Baju Batik Dalam buku laporan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, tentang Jawa yang sudah bersifat kanonik (buku induk), The History of Java, batik diletakkan sebagai bagian dari cara penduduk Jawa memproduksi dan mengenakan pakaian, Ia menjelaskan prinsip cara hidup orang
Jawa yang ia sebut sederhana, yang bisa memenuhi sendiri semua kebutuhan domestik lingkungannya (sekampung), termasuk berpakaian dengan batik. Sehingga pekerjaan membatik ini sudahlah lama dibuat dan hingga sekarang masih terus berjalan, sehingga demikian, batik bisa disebut istimewa karena mampu bertahan sebagai subkebudayaan Jawa, meski cenderung dideskripsikan oleh Raffles sebagai budaya yang sederhana dan tidak menimbulkan daya tarik bagi orang Eropa Dan batik juga telah ditransformasikan bentuknya dalam hal barang apapun, seperti dijadikan jaket, baju, peralatan rumah tangga dan sebagainya, sehingga budaya yang tadinya primitive, menjadi budaya massa. 2. Mesin Uap dan Tenaga Listrik Sejak 1700, dengan ditemukannya mesin uap dan tenaga listrik, hingga 1940an, dianggap sebagai bagian awal perkembangan budaya industri. Masa ini disebut zaman modern. Revolusi industri adalah awal dari cepatnya perkembangan teknologi dalam kehidupan manusia. Perkembangan zaman pencerahan yaitu ilmu pengetahuan dan pandangan rasional di abad-19, tidak hanya ditandai oleh relativitas Einsten dan Psikoanalisa Freud, perkembangan dan penemuan-penemuan teknologi yang belum pernah terjadi telah menyebabkan priode baru: industrialisasi. Awal dimulainya era industrialisasi produksi. Kemudian di abad XX, Frankfurt School, dikenal juga sebagai Neo-Marxis, menyatakan masyarakat massa dihubungkan (diciptakan) ke suatu masyarakat individualis yang terasing dengan tetap menjaga kesatuan melalui budaya industri yang ditangani kapitalisme. Budaya ini terhasil melalui logika massification of product dan homogenization of taste. Sedikit terkesan sinis, Chaney berpendapat konsumerisme menjadi pusat perkembangan sosial modernitas. Dia berpendapat, priode setengah terakhir abad 19 dan dekade pertama abad 20, tema budaya dasar mengenai masyarakat massa abad ke 20 telah terbentuk, terutama keinginan dari orang-orang biasa untuk menginvestasikan sumber daya dalam memburu gaya. Dan sekarang dengan kecepatan dan kecanggihan teknologi, maka akses pada informasi bisa cepat didapat, pemanfaatan teknologi ini mengakibatkannya Saat ini dianggap sebagai membaurnya antara realitas dan ilusi (melalui bentukan simulasi, yang kemudian disebut hyper realitas), digital mendominasi berbagai citraan atau visual yang hadir. *** Pengertian Budaya Populer Williams (1983) mendefinisikan kata populermenjadi empat penegrtian yaitu (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Sedangkan pengertian budaya popular dijabarkan dalam berbagai definisi. Budaya pop oleh Antonio Gramsci (1971) dikaitkan dengan konsep hegemoninya, mengacu pada cara kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan dari kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan, intelektual, dan moral. Budaya pop adalah budaya massa, budaya yang diproduksi massa untuk konsumsi massa. Untuk itulah, ada relevansi antara popular culture dengan commercial
culture (kebudayaan komersil). Budaya yang dibutuhkan sifatnya massal (common people), tentu diproduksi berlandaskan keinginan pasar(komersil). Kebudayaan pop hanya akan terjadi manakala keinginan pasar menjadi perhatian sentral. Mendefinisikan budaya dan populer, yang pada dasarnya adalah konsep yang masih diperdebatkan, sangat rumit. Definisi itu bersaing dengan berbagai definisi budaya populer itu sendiri. John Storey, dalam Cultural Theory and Popular Culture, membahas enam definisi. Definisi kuantitatif, suatu budaya yang dibandingkan dengan budaya luhur (Misalnya: festivalfestival kesenian daerah) jauh lebih disukai. Budaya pop juga didefinisikan sebagai sesuatu yang diabaikan saat kita telah memutuskan yang disebut budaya luhur. Namun, banyak karya yang melompati atau melanggar batas-batas ini misalnya Shakespeare, Dickens, PucciniVerdi-Pavarotti-Nessun Dorma. Storey menekankan pada kekuatan dan relasi yang menopang perbedaan-perbedaan tersebut seperti misalnya sistem pendidikan. Definisi ketiga menyamakan budaya pop dengan Budaya Massa. Hal ini terlihat sebagai budaya komersial, diproduksi massal untuk konsumsi massa. Dari perspektif Eropa Barat, budaya pop dapat dianggap sebagai budaya Amerika. Atau, budaya pop dapat didefinisikan sebagai budaya autentik masyarakat. Namun, definisi ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan masyarakat. Storey berpendapat bahwa ada dimensi politik pada budaya populer; teori neoGramscian melihat budaya pop sebagai tempat perjuangan antara resistansi dari kelompok subordinat dalam masyarakat dan kekuatan persatuan yang beroperasi dalam kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat. Suatu pendekatan postmodernism pada budaya populer tidak lagi mengenali perbedaan antara budaya luhur dan budaya populer. Storey menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi akibat revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi budaya massa. Penelitian terhadap Shakespeare (oleh Weimann atau Barber Bristol, misalnya) menemukan banyak vitalitas karakteristik pada drama-drama Shakespeare dalam partisipasinya terhadap budaya populer Renaissance. Sedangkan, praktisi kontemporer, misalnya Dario Fo dan John McGrath, menggunakan budaya populer dalam rasa Gramscian yang meliputi tradisi masyarakat kebanyakan (Ludruk misalnya). Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu subkultur, yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop mainstream begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop sangat khas menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat. *** Ciri-ciri budaya populer: a. Tren, sebuah budaya yang menjadi trend dan diikuti atau disukai banyak orang berpotensi menjadi budaya populer;
b. Keseragaman bentuk, sebuah ciptaan manusia yang menjadi tren akhirnya diikuti oleh banyak penjiplak. Karya tersebut dapat menjadi pionir bagi karya-karya lain yang berciri sama, sebagai contoh genre musik pop (diambil dari kata popular) adalah genre musik yang notasi nada tidak terlalu kompleks, lirik lagunyasederhana dan mudah diingat; c. Adaptabilitas, sebuah budaya populer mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah pada tren; d. Durabilitas, sebuah budaya populer akan dilihat berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir budaya populer yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan dirinya, akan bertahan-seperti merek Coca-cola yang sudah ada berpuluh-puluh tahun; e. Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya populer berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi industri yang mendukungnya. (http://www.slideshare.net/andreyuda/media-danbudaya-populer) Menurut Ben Agger pemikiran tentang budaya popular dapat dikelompokan menjadi yaitu: 1. Budaya dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari. 2. 3. Kebudayaan popular menhancurkan kebudayaan tradisional. Kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi kapitalis Marx.
4. Kebudayaan popular merupakan budaya yang menetes dari atas (Burhan Bungin, 2009: 100). Kebudayaan popular berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh, dan sebagainya. Menurut Ben Agger Sebuah budaya yang akan masuk dunia hiburan maka budaya itu umumnya menempatkan unsure popular sebagai unsure utamanya. Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai penyebaran pengaruh di masyarakat (dalam Burhan Bungin,2009:100). *** Contoh Budaya Populer 1. Berbelanja Di Inggris dan Amerika, selain menonton televisi, berbelanja merupakan aktivitas pengisi waktu luang yang paling populer. Maka pada zaman ini menjamur banyak mal-mal, restoran, bioskop, persewaan atau penjualan video (VCD, DVD, dll), tempat makan cepat saji, tempat-tempat hiburan, butik, dan sebagainya. Walaupun gaya hidup berbelanja ini bagi beberapa orang muda
berarti berkumpul di pusat perbelanjaan lokal tanpa membeli apa yang sedang dijual, melainkan hanya menggunakan ruang publik mal, hanya untuk melihat-lihat atau dilihat-lihat. Di sisi lain, para produksen juga berusaha menciptakan barang yang semakin canggih (makin cepat, makin keren, dll) 2. Demam Korea (Korean wave) Demam Korea (Korean wave) Hal itu diakibatkan karena penyebaran dan pengaruh budaya Korea di Indonesia, terutama melalui produk-produk budaya populer1. Film, drama, musik dan pernak-pernik merupakan contoh dari produk budaya popular. Elemen-elemen budaya populer Korea ini menyebarkan pengaruhnya di negara-negara Asia salah satunya Indonesia. Di Indonesia, penyebaran budaya popular dari negeri gingseng ini dilihat sekitar tahun 2002 dengan tayangnya salah satu ikon budaya popular berbandrol drama seri berjudul Autumn in My Heart atau Autumn Tale yang lebih popular dengan judul Endless Love, ditayangkan stasiun TV Indosiar2. Keberhasilan drama seri Korea tersebut yang dikenal dengan Korean drama (K-drama) diikuti oleh Koean drama lainnya. Tercatat terdapat sekitar 50 judul K-drama tayang di tv swasta Indonesia. 3. Korean Pop (K Pop) Setelah keberhasilan menguasai pasar Indonesia dengan dramanya, Korea pun mulai menguasai Indonesia dengan tampilan musik Korea. Korean Pop (Musik Pop Korea) disingkat K-pop, adalah jenis musik populer yang berasal dari Korea Selatan. Banyak artis dan kelompok musik pop Korea sudah menembus batas dalam negeri dan populer di mancanegara. Musik pop Korea pra-modern muncul pertama kali pada tahun 1930-an yang dipengaruhi oleh masuknya musik pop Jepang. Tidak hanya budaya pop Jepang, pengaruh musik pop barat mulai menjajah Korea sekitar tahun 1950-an dan 1960-an. Awalnya berkembang musik bergenre oldies, kemudiantahun 1970-an, musik rock diperkenalkan dengan pionirnya adalah Cho Yong-pil. Muncul kemudian genre musik Trot yang dipengaruhi gaya musik enka dari Jepang. Tahun 1992 merupakan awal mula musik pop modern di Korea, yang ditandaidengan kesuksesan grup Seo Taiji and Boys diikuti grup musik lain seperti Panic,dan Deux. Tren musik ini turut melahirkan banyak grup musik dan musisi berkualitaslain hingga sekarang. Di tahun 2000-an mulai bermunculan artis dengan aliran musik yang berkiblat ke Amerika seperti aliran musik R&B serta Hip-Hop. Mereka adalah MC Mong, 1TYM, Rain, Big Bang yang cukup sukses di Korea dan luar negeri. Selain genre musik sebelumnya bertahan, lahir kembali jenis musik techno memberi nuansa modern.