Anda di halaman 1dari 9

LINTAS Jurnal Forum Dialog (FORLOG) Antarkita Sulawesi Selatan Edisi 1, Maret 2003 "Treansformasi Agama dan Budaya

ya di Tengah-tengah Kekerasan Sosial Perkembangan Substansi dan Arah Kebudayaan Bangsa Kita (Sebuah Refleksi Kritis) oleh: Ishak Ngeljaratan 1. Acuan untuk Bertanya Tanah air Indonesia dapat dilukiskan sebagai pulau-pulau atau gugusan kepulauan yang (a) dikelilingi oleh lautan, (b) diikat atau direkat oleh lautan, dan (c) dipisahkan oleh lautan. Namun, tanah air Indonesia juga dapat digambarkan sebagai (d) lautan atau samudra yang ditaburi pulau atau gugusan kepulauan. Tanah air di dalam makna (d) mungkin semakin relevan saat ini karena tanah atau daratan sudah habis terkuras sehingga buntung oleh segelintir orang yang boleh dianggap sebagai kelompok yang beruntung. Rumusan fisik tanah air ini menunjukkan peta bumi dengan segenap isi yang dikandungnya. Kandungan isinya tidak sebatas kekayaan alam, melainkan terutama ditentukan oleh berbagai komunitas etnis dengan kekayaan budayanya masing-masing. Komunitas etnis senusantara hidup dan berkembang di atas tanah air dan hidup serta berkembang dari kandungan isi tanah air yang terus-menerus menjadi sumber suplai kebutuhan hidup bagi berbagai jenis komunitas etnis yang beragam-ragam budayanya itu. Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 menunjukkan sebuah puncak dari perwujudan kesadaran kebangsaan yang secara historis dan gradual menjadi komitmen para elite dan pemuda yang tergabung di dalam berbagai organisasi pemuda suku. Cita-cita kebangsaan yang di dalam wujud idealnya adalah sebuah negara merdeka menjadi sasaran dambaan para pemuda yang diwujudkan dalam ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Kesamaan ideal dari para elite dan pemuda Indonesia, yaitu sebuah Negara Indonesia Merdeka yang bertumpu dan berakar pada satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa tidak menegasi kehadiran dari kemajemukan etnis dan budaya yang mewarnai hidup para warga serta kelompok dari komunitas atau masyarakat nusantara yang hdiup di atas tanah daratan (pulau) yang bertaburan di atas samudra. Ideal yang diikrarkan oleh para pemuda para tahun 1928 mengalami pemenuhannya secara formal dan material pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemajemukan etnis dan budaya masyarakat nusantara yang beragam-ragam jenisnya itu pada akhirnya dipersatukan oleh suatu kesamaan dasar dan tujuan serta semangat, yaitu Pancasila/UUD 1945. Pancasila difungsikan sebagai dasar atau prinsip yang disadari sebagai kebenaran. Pada saat yang sama, Pancasila pun difungsikan sebagai ideal atau tujuan yang menjadi pilihan yang harus atau wajib diwujudkan. Pancasila difungsikan juga sebagai jiwa yang menyemangati seluruh proses kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu proses yang berangkat dari dasar atau prinsip menuju tujuan melalui berbagai sasaran antara. Kemajemukan komunitas nusantara bersama budaya etnis yang hidup dan berkembang di atas peta bumi yang mencerminkan keragaman pulau dan yang diikat oleh kesamaan dasar, tujuan, dan jiwa disimpulkan di dalam ungkapan budaya bhineka tunggal ika yang sama artinya dengan betapa indahnya persatuan justru karena adanya perbedaan. Berbagai jenis kepentingan dari komunitas suku yang berbeda-beda diabastraksikan dan menjadi substansi nilai di dalam rumusan makna Pancasila. Di dalam sila-sila Pancasila sudah tercakup kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda. Setiap warga dari komunitas yang berbeda-beda butuh menjunjung tinggi dan sekaligus membutuhkan keutamaan nilai seperti nilai kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan. Ikatan pada kesamaan nilai inilah yang melahirkan kebersatuan nasional yang juga difungsikan sebagai salah satu sila. Kebersatuan dijadikan dasar bersama untuk

mewujudkan nilai kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sebagai nilai yang bersangkutan dengan kepentingan setiap warga dan kelompok di dalam komunitas nusantara. Semakin nilai kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan terwujudkan, semakin kokohlah kebersatuan atau persatuan. Sebaliknya, semakin nilai kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan tak terwujud atau bahkan dibengkalaikan, semakin labil dan rapuhlah kebersatuan. Nilai-nilai yang di-sila-kan di dalam Pancasila adalah sebuah sistem, sehingga tidak terpisahkan. Dengan demikian, demokrasi tanpa keadilan bukanlah demokrasi, melainkan demokrasi semu atau pseudo-demokrasi. Nilai kemanusiaan hanya bisa ditegakkan melalui penegakan keadilan, demikian pula nilai keadilan harus ditegakkan secara manusiawi atau tanpa melanggar nilai kemanusiaan. Sesudah lebih setengah abad kita merdeka dan sesudah lebih tiga dekade masa orde baru serta sesudah empat tahun masa reformasi, ada kesan sangat kuat bahwa kebersatuan nasional semakin rapuh. Kenyataan demikian menunjukkan bahwa nilai moral ketuhanan, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan semakin gagal ditegakkan atau bahkan semakin diinjak-injak. Bencana kemanusiaan di berbagai daerah, munculnya gerakan separatisme, dan ramainya tindak kekerasan serta tindak kejahatan, termasuk kebiasaan main hakim sendiri menunjukkan secara terang-benderang lemahnya peesatuan atau kebersatuan sebagai akibat dari gagalnya penegakkan atau perwujudan Pancasila. 2. Yang Dipertanyakan Dasar dan tujuan nasional Indonesia belum berubah. Seluruh rakyat yang mempersatukan diri sebagai satu bangsa di dalam satu negara yang hidup dan berkembang di atas satu belahan bumi yang bernama tanah air Indonesia masih berjuang untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur atau masyarakat yang sejahtera sebagai tujuan. Masyarakat yang adil dan makmur dalam suatu wujud yang maksimal dan optimal hanyalah sebuah utopia atau masyarakat yang berada di dalam dunia mitos dan impian. Namun, daya tarik dari nilai utopis dan mitis inilah yang menarik, menggerakkan, dan mengarahkan masyarakat agar terus-menerus berusaha dan berjuang untuk semakin mencapainya atau untuk semakin dapat mendekati wujudnya yang maksimal dan optimal atau wujudnya yang utopis dan mitis. Semakin tujuan ini dicapai, lahir pulalah suatu masyarakat Indonesia yang semakin merefleksikan sistem nilai budaya bangsa, yaitu Pancasila, di dalam pandangan, sikap, dan perilakunya, baik perilaku verbal (bahasa), maupun perilaku non-verbal (perbuatan). Pancasila difungsikan sebagai dasar dan tujuan, sekaligus sebagai nilai yang menyemangati dan yang mendorong masyarakat di dalam proses yang tak boleh putus untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian, semakin tujuan nasional dicapai, maka masyarakat pun akan semakin bermoral, terutama bermoral dalam konteks nilai moral di dalam ajaran agama dan nilai budaya yang dianut masyarakat nusantara, juga semakin manusiawi, semakin demokratis, semakin adil, dan semakin berbudaya serta beradab. Masyarakat, yang berkualitas hidup demikian, secara otomatis akan semakin tangguh dan kokoh di dalam suatu ikatan persatuan dan keutuhan di antara sesama warga dan sesama komunitas nusantara, yang berbeda-beda secara etnis-kultural, di dalam masyarakat baru yang bernama bangsa. Dengan kata lain, pemenuhan sistem nilai utama inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia akan semakin memperoleh sifat atau kualitas hidup yang sejahtera di dalam suatu kebersamaan dan keutuhan nasional yang semakin kuat yang tetap bertumpu di atas kibinekaragaman etnis dan budaya yang menjadi corak spesifik dari kodrat masyarakat dengan ragam jenis budaya etnis nusantara yang majemuk. Sistem politik nasional yang hidup dan berkembang di tanah air tetap terikat pada Pancasila/UUD 1945 yang difungsikan sebagai dasar dan tujuan, sekaligus sebagai kekuatan pemberi dan pembangkit semangat bagi masyarakat agar berusaha serta berjuang untuk semakin menghadirkan masyarakat yang adil dan

makmur atau masyarakat sejahtera. Acuan pada dasar pikiran inilah yang menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apakah yang berubah di dalam politik Indonesia? Apakah Pancasila/UUD 1945, yang difungsikan sebagai dasar dan tujuan serta jiwa dan semangat, sedang berubah atau sudah berubah atau akan berubah atau sengaja diubah? Atau unsur apakah saja di dalam sistem nasional yang sedang berubah? Bagaimanakah wujud perubahan itu? Ke arah manakah pula perubahan itu terjadi? Selain sejumlah pertanyaan di atas, dapat juga diajukan pertanyaan lain. Apakah ada kecenderungan untuk mengubah Pancasila/UUD 1945 yang harus dipandang sebagai model konseptual essensial yang menyebabkan masyarakat nusantara dipandang sebagai rakyat dan bangsa Indonesia yang hidup dan berkembang di atas tanah air milik bersama? Atau apakah ada keinginan untuk membubarkan diri sebagai bangsa atau untuk berpecah belah menjadi kepingan-kepingan komunitas dengan entitas baru tanpa jatidiri sebagai bangsa Indonesia? Dengan kata lain, apakah sedang terjadi perubahan pada kebudayaan nasional secara substansial dengan sebuah tujuan baru yang berbeda dari tujuan nasional yang diperjuangkan selama ini? Apakah gejala-gejala perpecahan akhir-akhir yang antara lain atas nama SARA atau atas nama otonomi dan independensi wilayah menunjukkan indikasi tentang substansi dan arah (tujuan) budaya baru atau budaya alternatif yang sedang terbangun? Masih ada pertanyaan lain yang bisa diajukan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan apakah yang berubah atau tidak berubah dan ke arah manakah perubahan itu terjadi dalam konteks politik. 3. Mencari dan Menemukan Jawab 3.1 Sistem nasional Sistem nasional Indonesia mencakup sejumlah komponen penentu. Komponen utama ialah warga dan kelompok masyarakat dengan posisi dan fungsi serta peranannya yang berbeda-beda, baik di dalam struktur kemasyarakatan atau struktur sosial, maupun di dalam struktur pemerintahan di dalam negara sebagai suprastruktur. Komponen yang mengikat para warga dan kelompok masyarakat dengan berbagai kepentingan yang berbeda-beda ialah dasar dan tujuan atau prinsip dan ideal, yaitu Pancasila/UUD 1945. Selain itu, ada juga komponen lain yang sangat menentukan eksistensi sistem nasional, yaitu tanah air, kekayaan budaya, termasuk iptek, dan kekayaan lain di luar manusia yang menjadi pemilik, pemelihara atau perawat dan pengelolanya. Warga dan kelompok masyarakat di tanah air tidaklah homogenik, melainkan heterogenik, baik dalam konteks geografis, maupun dalam konteks budaya dan SARA. Para warga dan kelompok masyarakat menempati posisi masing-masing di dalam struktur sosial dan struktur pemerintahan. Karena berbeda posisi, maka fungsi dari setiap warga pun berbeda-beda, baik di dalam masyarakat, maupun di dalam negara, yaitu di dalam struktur pemerintahan. Aktualisasi dari ber bagai fungsi yang berbeda-beda melahirkan peranan atau perilaku dan perbuatan baik sebagai aliran yang mengalirkan nilai-nilai hulu (Pancasila/UUD 1945) ke dalam muara. Muara ialah masyarakat dengan kehidupannya yang nyata. Masyarakat inilah yang berubah dan berkembang dari hulu ke muara dengan membawa nilai-nilai hulu (sistem nilai nasional Pancasila/UUD 1945) itu lewat pandangan, sikap, dan perilakunya yang nyata ke dalam kehidupan nyata sehari-hari. Polusi atau pencemaran nilai hulu di dalam pandangan, sikap dan peranan dalam wujud perilaku atau perbuatan para warga dan kelompok menimbulkan kekeruhan dan pencemaran di dalam muara atau di dalam kehidupan nyata dari masyarakat. Namun, semakin bersih dan berkemampuan setiap warga untuk mengalirkan nilai-nilai hulu (moralitas ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan) lewat sikap dan peranannya masing-masing yang berbeda-beda di dalam kehidupan nyata sehari-hari, akan semakin bersih pula masyarakat dari nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai hulu atau akan semakin terwujud masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila/UUD 45.

3.2 Nilai penentu jatidiri Semboyan budaya bangsa Indonesia bhineka tunggal ika mencerminkan betapa majemuknya komunitas etnis nusantara dengan kebermacaman budayanya yang dipersatukan oleh kesamaan dasar dan tujuan yang dijadikan ideologi yang mempersatukan, sekaligus mengutuhkan kebinekaan ke dalam suatu persatuan baru yang bernama rakyat dan bangsa Indonesia dalam wujud organisasi baru yang bernama Negara Kesatuan RI. Semboyan budaya ini secara kreatif dan interpretatif dapat ditangkap dalam arti betapa indahnya persatuan justru karena adanya perbedaan. Kemajemukan atau kebinekaan geografis yang menjadi landasan pijak dan pacu bagi kehadiran komunitas etnis-kultural yang plural serta kebersatuan sebagai ideal baru adalah kodrat atau nilai essensial yang menentukan hakikat atau jatidiri bangsa Indonesia. Tegak dan kokohnya persatuan Indonesia justru bertumpu di atas tegak dan kokohnya kualitas kehidupan dari berbagai komunitas yang ada di atas belahan bumi nusantara. Sebaliknya, tegak dan kokohnya eksistensi dari berbagai jenis komunitas nusantara justru disangga serta dilindungi dan dijamin oleh kokohnya persatuan serta keutuhan bangsa. Ada interaksi fungsional yang dinamis, kreatif, dan perfektif yang saling meneguhkan dan menyempurnakan antara kekuatan dari realitas kemajemukan komunitas nusantara pada satu sisi, dan kekuatan ideal dari persatuan dan keutuhan bangsa pada sisi yang lain. Karena itu, kedua sisi kekuatan yang berbeda ini tidak boleh saling meniadakan karena harus mengacu pada kesamaan dasar dan tujuan atau selama komit serta setia pada dasar (prinsip) serta tujuan (ideal) bersama. Tetap berakarnya kedua kekuatan pada dasar dan tujuan yang samalah yang menentukan differentia specifica atau hakikat pembeda jatidiri bangsa kita dari bangsa-bangsa lain yang menghuni planet bumi yang sama ini. Di balik kedua sisi kekuatan yang berbeda, sesungguhnya hadir masyarakat Indonesia yang sama yang terbangun dari bineka komunitas etnis dengan budaya yang berbeda di atas lautan yang ditaburi ribuan pulau dan gugusan pulau atau kepulauan. Karena itu, interaksi fungsional yang dinamis, kreatif, dan perfektif secara adil dan berimbang di antara kedua sisi kekuatan atau antara sisi nusantara dan sisi nasional akan semakin memantulkan kualitas jatidiri bangsa yang selama ini disamakan dengan national characteristics atau kepribadian bangsa. Tinggi dan rendahnya atau naik dan turunnya nilai kepribadian bangsa sangat ditentukan oleh hasil interaksi antara kekuatan nusantara (bineka) dan kekuatan nasional (tunggal ika). Karena itu, peranan kekuatan nasional yang direpresentasikan oleh rakyat, bangsa, dan negara Indonesia yang dipimpin oleh pemerintah bukan saja amat bergantung pada pemerintah, melainkan juga pada seluruh rakyat atau masyarakat nusantara yang dipimpin oleh pemerintah. Kerja sama yang jujur, serius, dan yang penuh dengan rasa pengabdian, pelayanan, dan bahkan pengorbanan bukan saja bisa menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, melainkan juga semakin menegaskan atau memberi signifikasi yang berarti mengenai kemuliaan dan kehormatan kepribadian kita sebagai bangsa. 3.3 Perubahan atau perkembangan Rakyat dan bangsa Indonesia harus berubah dalam arti berkembang atau berubah secara positif. Namun, perubahan atau perkembangan itu tidak boleh meniadakan jatidiri bangsa. Rakyat dan bangsa Indonesia akan terus-menerus berkembang atau berubah secara positif namun bukan berubah dalam arti lain sehingga kehilangan jatidirinya sendiri. Justru rakyat dan bangsa Indonesia akan senantiasa berkembang agar semakin kokoh dan tangguh kepribadiannya. Namun, ketegaran kepribadian, yang terus-menerus bisa bertahan dan bahkan kualitasnya meningkat, ditentukan secara hakiki oleh kejujuran, kepatuhan, dan komitmen setia dari rakyat bersama pemerintah pada dasar dan tujuan bersama, yaitu Pancasila/UUD 1945 sebagai ideologi yang menjanjikan masyarakat adil dan makmur.

Tanpa sukses rakyat dan pemerintah Indonesia di dalam perjuangan tanpa henti untuk mengaktualisasikan ideologinya, maka tidak akan berhasil dibangun suatu masyarakat adil dan makmur yang mencerminkan kepribadian bangsa yang memiliki dignitas yang patut serta pantas dibanggakan. Kepribadian bangsa yang dimaksud ialah kualitas hidup sejahtera dari masyarakat majemuk nusantara yang kioan bersatu dan utuh yang mendiami seluruh daratan pulau yang bertebaran di atas lautan. Kualitas hidup sejahtera yang demikian diramu secara formal dan material atau secara substansial oleh hasil perwujudan kebenaran dan kebaikan yang dianjurkan oleh berbagai ajaran agama serta budaya masyarakat nusantara, oleh nilai kemanusiaan dan nilai demokrasi, serta oleh nilai keadilan dan oleh berbagai nilai baru yang diterima secara kritis dan selektif. Perubahan yang terjadi bukan tidak terbebas dari konflik dan kemelut yang mengancam persatuan dan keutuhan bangsa. Berbagai penyimpangan terhadap nilai hulu telah dilakukan oleh warga dan kelompok masyarakat, terutama oleh pengelola kekuasaan atau pemerintah. Penyimpangan terhadap nilai-nilai hulu (Pancasila/UUD 1945) telah mencemarkan muara, yaitu kehidupan masyarakat yang menjadi tujuan mengalirnya nilai-nilai hulu melalui peranan setiap warga, baik yang berada di dalam masyarakat, maupun yang berada di dalam struktur formal kekuasaan atau struktur pemerintahan. Berbagai penyimpangan yang menimbulkan konflik dan kemelut sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan keamanan telah menimbulkan disharmoni dan disintegrasi di dalam masyarakat yang mengancam persatuan dan keutuhan bangsa. Terjadi diskontinuitas dan disorientasi antara nilai hulu dan nilai di muara yang tercemar. Kondisi dan situasi demikian terasa selama lebih dari tiga dekade di masa rezim Orde Baru, dan bahkan berkelanjutan di era reformasi. Kondisi dan suasana keruh yang sarat dengan berbagai konflik mengundang dinamika warga dan kelompok yang ingin mengubah kondisi dan suasana keruh menjadi normal. Dinamika masyarakat yang ingin mengubah keadaan sama dengan usaha untuk meluruskan kembali diskontinuitas dan disorientasi antara nilai hulu dan nilai yang terbawa ke muara dari hulu. Semakin bersih nilai di muara sebagai cermin dari bersihnya nilai hulu, akan semakin terbukalah peluang dan kesempatan yang luas bagi pemerintah bersama masyarakat untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan bersama. Justru adanya kesadaran masyarakat terhadap diskontinuitas dan disorientasi antara nilai hulu dan kenyataan hidup di muara telah menimbulkan dinamika pemerintah bersama masyarakat dalam usaha bersama untuk memperbaiki kenyataan hari ini menjadi lebih baik. 3.4 Arah perubahan Arah perubahan, termasuk arah perubahan politik, tidak terlepas dari substansi yang berubah dan cara berubah ke arah yang dituju. Substansi yang berubah tidak sebatas perubahan substansi politik, melainkan perubahan seluruh isi (content) dari sistem nasional yang menjadi konteks bagi politik yang berubah. Semua perubahan yang terjadi berada di bawah judul atau label perubahan politik, namun yang berubah adalah berbagai komponen yang menjadi konteks bagi tumpuan politik. Arah yang dituju di dalam setiap perubahan atau setiap perkembangan ditentukan oleh sebuah garis lurus yang menghubungkan nilai hulu dan nilai yang tiba di muara melalui peranan setiap warga, baik di dalam masyarakat, maupun di dalam pemerintah. Pancasila/UUD 1945 yang diposisikan di hulu sebagai prinsip dialirkan ke muara melalui peranan setiap warga. Sebagai idiom politik, Pancasila/UUD 1945 tidak berubah. Namun, interpretasinya yang tertuang di dalam hasil amandemen terhadap UUD 1945 atau yang tertuang di dalam GBHN, TAP-TAP MPR, dan di dalam berbagai jenis produk undang-undang mengisyaratkan adanya perubahan. Garis bengkok atau putus-putus antara nilai hulu dan nilai yang tercermin dalam kehidupan nyata masyarakat disebabkan oleh penyimpangan, baik penyimpangan berupa interpretasi, maupun penyimpangan di dalam praktik atau di dalam sikap dan perilaku nyata.

Perkembangan nilai-nilai hulu ditentukan oleh hasil-hasil interpretasi yang berhasil membangun sikap sebagai sendi untuk berperilaku. Mutu dari setiap hasil interpretasi ditentukan oleh kualitas dunia pengetahuan dan pengalaman manusia dan masyarakat Indonesia yang digunakan sebagai kekuatan untuk menelaah nilai-nilai hulu dan berbagai nilai yang berderivasi dari nilai-nilai hulu milik masyarakat nusantara. Dunia pengetahuan dan pengalaman bangsa digunakan juga untuk mengkaji berbagai ketimpangan dan penyimpangan terhadap sistem nilai hulu secara kritis, sekaligus dimanfaatkan untuk menawarkan berbagai alternatif yang lebih opsional atau preferensial. 3.5 Berbagai dikhotomi dan kontradiksi Penyimpangan-penyimpangan dalam berbagai bidang yang mengacu pada nilai hulu menciptakan berbagai kesenjangan yang bercorak dikotomi dan bahkan kontradiksi di dalam berbagai bidang. Ada dikotomi yang menunjukkan adanya perbedaan yang wajar. Namun, ada dikotomi dalam bentuk kontradiksi menunjukkan perbedaan yang bercorak pertentangan antara yang adil dan tidak adil, antara yang demokratis dan yang otoriter, antara yang manusiawi dan yang anarkistis, premanistis, dan sadistis atau tidak manusiawi. Juga kontradiksi menunjukkan adanya pertentangan antara yang desentralis dan yang sentralistis, antara yang nasionalis dan yang etatistis, antara yang kaya dan yang miskin, antara pemilik modal dan yang serba tergantung pada modal orang lain, serta antara diversitas dan dominasi unitas di dalam perwujudan bineka tunggal ika. Juga kontradiksi antara birokrasi yang menuntut pelayanan dan yang seharusnya memberi pelayanan kepada masyarakat. Dikotomi dan kontradiksi di dalam kehidupan berpolitik telah menciptakan kedaulatan kekuasaan di masa orba dan kedaulatan partai di era reformasi. Di bidang penegakan hukum, tidak terjadi supremasi hukum, melainkan supremasi oleh yang kuat atas yang lemah di dalam keadilan yang telah dijadfikan komditas bisnis. Di dalam justice for sale atau pelelangan keadilan, yang kuatlah yang selalu tampil sebagai pemenang terakhir. Di dalam bidang ekonomi, terjadi jurang kesenjangan yang tidak berkeadilan antara yang kaya dan yang miskin, antara yang beruntung menikmati hasil pengerukan isi tanah air dan yang kehilangan sumber mafkah dari tanah air yang telah buntung. Juga kesenjangan terjadi antara wilayah timur dan barat dalam segala bidang, kecuali tidak dalam sumber daya alam sebagai potensi yang masih perawan di belahan timur tanah air. Terjadi pula pergeseran nilai di dalam peringkat nilai yang dianut oleh para warga dan kelompok masyarakat. Nilai materi dan kegunaan atau pragmatisme mendominasi nilai-nilai lain yang berdimensi moral dan spiritual. Masyarakat cenderung manjalani suatu kehidupan yang semakin materialistis, hedonistis, dan konsumeristis. Nilai kegunaan mengatasi nilai kebenaran dan kebaikan. Justru nilai moral serta spiritual tergeser ke pojok inferior sehingga makin melemah atau bahkan makin kehilangan daya transformasi dan bahkan makin kehilangan daya kendali atas sikap serta perilaku warga serta kelompok di dalam masyarakat. Supremasi hukum yang menjadi kata kunci di dalam gerakan reformasi yang bertujuan menciptakan masyarakat yang sejahtera karena menikmati kehidupan yang semakin adil masih jauh dari kenyataan getir. Rasa keadilan masyarakat tertindas oleh supremasi kekuasaan dan kekuatan yang berlindung di balik supremasi undang-undang atau konstitusi. Supremasi hukum seharusnya bisa ditegakkan untuk semakin memenuhi rasa keadilan masyarakat yang selama lebih tiga dekade haknya tak dipedulikan dan bahkan terinjak-injak. Namun, istilah atau ungkapan supremasi hukum lebih difungsikan sebagai retorika di dalam perdebatan publik oleh para elite dan tokoh yang ingin popularitas atau ingin memperoleh akses tertentu ke arena kekuasaan. Otonomi daerah dalam realisasinya cenderung mirip atau sama dengan desentralisasi karakter sentralisme dan otoriterianisme kekuasaan dari pusat ke daerah. Desentralisasi dalam konteks otonomisasi daerah

harus diikuti pula oleh proses demokratisasi, khususnya demokratisasi dalam bidang politik, dan sosialisasi keadilan, terutama sosialisasi keadilan dalam bidang ekonomi. Seharusnya otonomisasi membuka peluang, kesempatan, dan akses besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi di dalam berbagai bidang, termasuk bidang politik dan ekonomi, secara maksimal dan optimal. Sangat terasa bahwa gerakan reformasi kehilangan substansi yang ingin direformasi, dan sekaligus kehilangan cara yang ditempuh untuk dapat mencapai tujuan reformasi. Sebaliknya, yang terjadi ialah deformasi. Gerakan reformasi yang menjelma menjadi deformasi justru merusakkan apa yang masih baik atau menambah kerusakan pada apa yang ingin dipulihkan. Para pemimpin partai dan para tokoh sosial politik atau para tokoh publik kehilangan sense of crisis atau rasa krisis. Mereka lebih menyibukkan diri dengan hal ihwal politik yang hanya menyentuh atau menyangkut kepentingan mereka dalam partai dan kepentingan atau interesse mereka dalam percaturan politik momenter demi pencapaian target pemilu 2004. Penyibukan diri semacam ini menyedot enersi intelektual dan moral serta enersi dari skill mereka sehingga tampak anemis tanpa semangat serta daya ketika dituntut untuk memperjuangkan kepentingan paling mendasar dan urgen dari masyarakat yang terkena krisis berkepanjangan. Masyarakat yang kehilangan kepercayaan dan harapan pada pemerintah, juga pada reformasi, tampak bingung dan panik. Secara kejiwaan, mereka cenderung emosional dan temperamental atau mudah marah, bahkan ada pula yang frustrasi. Masyarakat dengan keadaan psikologis yang demikian dengan mudah dapat dipicu secara provokatif dan insinuatif sehingga mudah pula terlibat di dalam berbagai kerusuhan dan benturan fisik. Bentuk kejahatan dengan model main hakim sendiri yang tak jarang meminta korban manusia adalah bukti nyata dari kebingungan, kepanikan, putus asa, dan bahkan rasa frustrasi masyarakat. Unjuk rasa pun cenderung menjadi kebiasaan teatrikal yang sulit terbebas dari tindak kekerasan dan kekejaman yang diramu oleh adonan social jealousy dengan rasa benci serta dendam. Manusia sebagai manusia mengalami degradasi nilai secara sangat mencolok. Bencana kemanusiaan di Maluku, Aceh, Kalteng, Kalbar, Poso, Papua, dan di berbagai lokasi di Jawa dan di luar Jawa mengisyaratkan bahwa citra manusia di mata masyarakat yang sedang menderita karena krisis dan mernderita karena terkena akibat dari berbagai kerusuhan berdarah turun drastis. Berbagai atribut SARA yang menjadi pakaian manusia jauh lebih berharga daripada manusia yang memakainya. Seakan-akan manusialah untuk agama, dan bukan agamalah untuk manusia. Padahal, manusia berharga karena citra dirinya sebagai manusia yang diimani sebagai imago Dei atau rupa Allah dalam wujud fitrah Ilahi yang menyebabkan manusia adalah manusia yang berbeda secara hakiki dengan ciptaan Allah yang lain. Manusia terpanggil secara kodrati sebagai manusia melalui tujuan yang terpateri di dalam proses dan hasil dari proses penciptaannya. Karena itu, dalam proses menuju mautnya, manusia tetap harus memenuhi panggilan ini dengan berusaha untuk tetap dapat memelihara dirinya sebagai manusia yang memiliki sifat-sifat Ilahi secara sangat terbatas, dan sekaligus berjuang untuk semakin dapat menempatkan dirinya sebagai manusia yang memiliki kehormatan, kemuliaan, dan dignitas atau harga diri sebagai manusia yang mencirikan fitrah Ilahi di dalam dirinya. Dengan kata lain, humanisasi diri secara intensif dan terus-menerus adalah jawaban terhadap panggilan manusia sebagai manusia yang pada hakikatnya berbeda dari hewan dan ciptaan lain di atas planet bumi sejauh yang kita kenal. 3.6 Kaitan fungsional antara budaya dan agama Harus diberi catatan khusus tentang hubungan fungsional antara budaya dan agama yang cenderung dipisahkan atau bahkan dipertentangkan. Pemisahan ini tercermin pada sikap sebagian warga atau kelompok yang mungkin menganggap bahwa agama bisa hadir tanpa budaya. Agama hadir tanpa budaya sama dengan agama hadir tanpa manusia. Agama hadir tanpa manusia adalah suatu hal yang mustahil, padahal manusia hadir sebagai manusia justru melalui budayanya.

Jika budaya manusia masih rendah atau masih jauh dari sifat sempurna, maka cara hidup beragamanya pun akan kurang berbudaya dan kurang beradab. Karena itu, pembudayaan manusia melalui penerjemahan ajaran-ajaran agama ke dalam sikap dan perilakunya lambat laun dapat membersihkan budayanya dari hal-hal yang negatif, yang tidak berbudaya, dan tidak beradab. Sebaliknya, semakin tinggi mutu budayanya, akan semakin tinggi pula kualitas hidup beragama yang dipentaskan oleh individu dan kelompok lewat sikap serta perilaku yang benar dan baik berdasarkan kriteri kebenaran yqang diamanahkan agama. Hubungan budaya manusia dengan agamanya dapat dikiaskan sebagai hubungan roti dengan cairan manis. Betapapun manisnya sebuah cairan, rasa manisnya akan sangat ditentukan oleh kualitas roti yang menyerapnya. Jika rotinya sudah berjamur dan basi, maka cairan manis yang diresapnya larut pula di dalam rasa roti. Roti yang dimakan pun akan terasa racun. Dalam praksis sosial, masyarakat yang berbudaya bagaikan roti berjamur dan basi akan beragama pula secara tidak berbudaya. Cara beragama yang disosialisasikan akan terasa bagaikan roti berjamur yang beracun. Dengan kata lain, dengan budaya yang rendah, masyarakat akan beragama secara tidak berbudaya dan tidak beradab karena beragama adalah sebuah kegiatan budaya atau nilai-nilai kebenaran agama hanya dapat diungkapkan oleh manusia melalui sikap dan perilaku budayanya. Budaya di dalam sikap dan perilaku manusialah yang mengemas kebenaran dan kebaikan dari ajaran agama yang diwahyukan. Tanpa budaya, kebenaran dan kebaikan wahyu (agama) mustahil dapat diwujudkan oleh manusia sebagai subjek dari budaya, sekaligus sebagai objek sasaran dari pengembangan budayanya. 4. Jawaban Tentatif Dari catatan singkat ini dapat ditemukan sejumlah jawaban tentatif terhadap sebagian pertanyaan yang diajukan pada bagian awal catatan ini. (1) Perubahan politik hanyalah sebuah judul yang menandakan adanya perubahan seluruh komponen yang membentuk sistem nasional. (2) Pancasila/UUD 1945 (khususnya Pembukaan UUD 1945) sebagai penentu jatidiri bangsa tidak seharusnya diubah. Namun, secara rasional dan kritis serta objektif, nilai-nilai hulu ini harus tetap ditelaah untuk ditemukan modelmodel konseptual yang operasionabel di dalam sikap dan tindakan manusia Indonesia di dalam segala bidang. (3) Kita harus berubah sebagai manusia, sekaligus sebagai manusia Indonesia. Karena itu, kita harus berubah, namun berubah untuk menjadi semakin memiliki karakter keindonesiaan yang dibangun oleh nilai-nilai hulu, dan nilai-nilai baru yang relevan yang berdimensi moral dan spiritual, dan juga rasional, intelektual dan kultural. (4) Karakter keindonesiaan kita dibangun oleh nilai-nilai budaya bangsa yang bineka tunggal ika, namun tetap terbuka untuk menerima koreksi dan penyempurnaan oleh nilai lain dan nilai baru yang diterima secara kritis-selektif. Selain itu, (5) demokrasi harus ditegakkan di dalam segala bidang, khususnya di dalam bidang pendidikan dan politik; keadilan pun harus diwujudkan di dalam semua bidang, khususnya di dalam bidang ekonomi. (6) Rakyat harus diperkuat sehingga negara tidak menempati posisi tertinggi yang diwakili oleh pemerintah dan terutama oleh para birokrat kekuasaan dan kepemerintahan yang akhirnya mendominasi masyarakat. Dominasi pemerintah atas nama negara terhadap para warga dan kelompok masyarakat tercermin pada birokrasi yang tidak melayani masyarakat, melainkan yang justru menuntut pelayanan dari masyarakat yang seharusnya mereka abdi. Abdi negara seharusnya diubah menjadi abdi rakyat atau abdi masyarakat (civil serveant). Dapat juga dikemukakan bahwa (7) nilai keadilan sebagai nilai inti di dalam supremasdi hukum ditempatkan pada posisi paling tinggi di atas berbagai produk undang-undang atau konstitusi. Dengan demikian, supremasi hukum, bukanlah supremasi konstitusi, melainkan supremasi keadilan yang nyekrup dengan rasa keadilan masyarakat. (8) Demokrasi hanyalah istilah hampa, an empty term, jika isinya bukanlah keadilan. Demokratisasi di dalam semua bidang harus bermuatan substansi keadilan.

Some democracy acts very unjustly, ada demokrasi yang dalam realisasinya justru sangat tidak adil. (9) Masyarakat kewargaan (civil society: masyarakat kewargaan) sama dengan masyarakat yang hidup di dalam kondisi dan suasana yang memberi peluang dan kesempatan bagi supremasi sipil atas militer. Supremasi sipil adalah supremasi oleh nilai-nilai luhur yang dapat mengembangkan karakter manusia Indonesia yang berbudaya dan berkeadaban (civilization). (10) Masyarakat sejahteran adalah masyarakat yang berkeadilan yang pada akhirnya melahirkan kedamaian sebagai akibat langsung dari keadilan yang berhasil diwujudkan secara maksimal dan optimal. Indonesia adalah juga bagian dari bumi; jika keadilan dapat ditumbuhkan dan dikembangkan di tanah air untuk dinikmati oleh seluruh warga tanpa diskriminasi, maka hal ini menjadi kekuatan yang dapat menyebar ke seluruh umat manusia penghuni bumi. 11 Kita sudah terpanggil menjadi manusia untuk menghuni tanah air di belahan bumi yang diberi nama tanah air Indonesia. Selama kita dapat memelihara dan meningkatkan kualitas kemanusiaan kita sebagai manusia yang berkeadilan, maka selama itu kita berada di dalam civil society yang berkeadilan. (***)

Anda mungkin juga menyukai