Anda di halaman 1dari 18

1

I.

PEMBAHASAN I

Informasi 1 Seorang perempuan berusia 34 tahun datang ke praktek dokter dengan keluhan gatal terusmenerus dan ruam di seluruh tubuhnya. Keluhan sudah dirasakan sejak 5 tahun yang lalu, disertai dengan baal dan kesemutan pada kedua lengan. Pasien juga mengeluh kedua kakinya terasa agak baal. A. Identifikasi Masalah Perempuan, 34 tahun Keluhan utama Lokasi Onset Frekuensi : gatal, ruam : seluruh tubuh : 5 tahun : terus menerus

Keluhan tambahan : baal, kesemutan kedua lengan, kedua kaki terasa baal Dikarenakan motorik. B. Daftar Hipotesis Berdasarkan informasi 1, dapat ditegakkan hipotesis berdasarkan temuan positif dari anamnesis. Temuan positif tersebut adalah: 1. Gatal sistemik 2. Ruam, atau urtika 3. Baal atau hipoestesi 4. Kesemutan atau parestesia Pembahasan yang akan diberikan adalah tentang gatal sistemik, hipoestesia, dan parestesia. Pembahasan tentang urtika telah dilakukan pada PBL sebelumnya. 1. Penyebab gatal sistemik adalah: a. Penyakit kronik, biasanya menyebabkan gatal neurologik. Penyakit yang dapat menyebabkan gatal adalah: 1) Penyakit hati, biasanya yang disertai manifestasi ikterik 2) Gagal ginjal 3) Limfoma 4) Leukemia b. Berbagai obat-obatan dapat menyebabkan gatal, yaitu barbiturat, aspirin dan obat lainnya yang menimbulkan reaksi alergi pada orang-orang tertentu c. Keadaan imunosupresan dapat menyebabkan tubuh rentan terhadap agen penyebab gatal, yang tersering adalah gatal karena jamur dan bakteri. Penyakit yang dapat menyebabkan keadaan menjadi imunosupresan adalah: informasi masih terbatas, diperlukan tambahan anamnesis dan

pemeriksaan fisik, meliputi pemeriksaan ujud kelainan kulit, pemeriksaan sensoris dan

1) HIV/ AIDS 2) Penggunaan kortikosteroid jangka panjang 3) Pasien dengan kemoterapi d. Systemic lupus eritematosus e. Morbus Hansen atau kusta 2. Hipoestesia Keadaan hipoestesia bisa dikarenakan gangguan pada sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer. Gangguan pada saraf pusat atau sentral dapat disebabkan adalah abnormalitas pada otak atau medulla spinalis, sedangkan pada saraf perifer bisa dikarenakan gangguan pada akson ataupun mielin saraf. Manifestasi baal pada kulit yang disertai bentuk kelainan kulit yang lain biasanya terjadi karena gangguan pada saraf perifer, seperti pada bekas luka yang membentuk parut, atau penyakit yang menyerang saraf, seperti Morbus Hansen. 3. Parestesia Parestesia biasanya disebabkan oleh keadaan iskemik dari saraf, yang sering menyebabkan parestesia adalah kelainan saraf perifer, seperti pada neuropati diabetika. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka diabetes banding yang mungkin dari informasi 1 adalah: 1. Neuropati perifer diabetic Neuropati perifer diabetik (NPD )sudah lama dijumpai pada penderita DM dan diperkenalkan oleh sarjana Rollo (1798), yang menggambarkan adanya nyeri dan paraestesi pada tungkai bawah penderita DM. Mohr dan Comi melaporkan angka kejadian NPD berkisar 50-60%, sedangkan Melton dan Dyck (1987) mengungkapkan bahwa insiden NPD bervariasi antara 5-80 % pada penderita DM, tergantung pada populasi penderita, terutama menyangkut umur dan lamanya DM, metode dan cara penelitian. Menurut Veves A dan Boulton AJM (1992) yang dikutip oleh Sutjahjo A menyatakan bahwa penegakan diagnosis NPD secara klinis cukup didapatkan 2 dari 4 kriteria sebagai berikut : a. Adanya gejala-gejala klinik b. Didapatkannya tanda-tanda kelainan sensoris, c. Didapatkannya tanda-tanda kelainan motoris, d. Pemeriksaan elektroneurofisiologi (EMNG). 2. Morbus Hansen atau kusta Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah mycobacterium tubercukosis yang bersifat inteseluler obligat. Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopi, dan histopatologis (Djuanda, 2008).

C. Patogenesis dan Patofisiogis Parestesia Paresthesia adalah manifestasi umum dari proses patologis dari sistem syaraf pusat dan perifer yang dikarenakan aktifitas impuls ektopik pada kutaneus aferen ataupun proyeksi sentral. Kutaneus aferen lebih sensitif dari akson motor dikarenakan perbedaan dalam biofisiknya. Perbedaan ini kemungkinan termasuk dalam lebih tahannya konduktansi Na+ dan perbaikan pada kutanus aferen, sifat yang memberikan perlindungan yang besar pada kegagalan konduksi impuls tapi menciptakan kecenderungan yang lebih besar untuk aktivitas ektopik. Pergeseran alkali yang dihasilkan oleh hiperventilasi secara selektif meningkatkan konduktansi Na + persisten, saat depolarisasi membran yang dihasilkan oleh iskemia Na + channel persisten dan sementara. Parestesia postiskemik dan posttetanik terjadi ketika hiperpolarisasi pompa Na+ / K secara menetap dicegah oleh peningkatan K + ekstraseluler. Gradien elektrokimia untuk K+ berbalik, dan masuknya K+ memicu depolarisasi regeneratif. Mekanisme umum paresthesia dapat menjelaskan parestesia pada subjek normal dan mungkin relevan dalam beberapa gangguan saraf perifer (Mogyoros, 2000).

II. PEMBAHASAN II

A. Informasi 2 Pemeriksaan fisik menunjukkan banyak lesi di seluruh tubuhnya, termasuk ruam yang di daerah jembatan hidung, pipi, perut, dan punggung. Lesi tampak sebagai makula, sebagian eritematosa dan sebagian hipopigmentasi. Tidak ada lesi meninggi. Tampak hipopigmentasi pada kedua kaki sampai setinggi lutut. Alis pasien tampak mulai tipis. Terjadi peningkatan reflek fisiologis. Terdapat anesthesia pada kedua lengan sesuai nervus ulnaris. Berdasarkan informasi tersebut, maka dapat dibuat diagnosis kerja, yaitu Morbus Hansen atau kusta. Alasannya: 1. Terdapat lesi berupa makula, eritematosa, dan hipopigmentasi. Pada neuropati diabetika tidak didapatkan lesi tersebut. 2. Anesthesia sesuai dengan nervus ulnaris, berarti kelainan ada pada struktur nervus sesuai dermatom, sedangkan pada neuropati diabetika yang diserang adalah nervus perifer yang tidak mengikuti perjalanan saraf. Diagnosis tersebut belum pasti, karena dalam menentukan diagnosis penyakit akibat infeksi, harus ditemukan mikroorganisme tersebut, sehingga perlu diajukan beberapa pemeriksaan tambahan, seperti: 1. Kerokan kulit untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis 2. Biopsi kulit 3. Tes serologis 4. PCR Diagnosis pasti adalah ketika pada pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit terdapat penampang bakteri tahan asam berbentuk basil, atau ditemukan M. leprae pada biopsi kulit. B. Informasi 3 Biopsi lesi kulit Pemeriksaan serologi Pemeriksaan PCR : BTA positif : seropositif :band positif setinggi 129 bp

Berdasarkan informasi tersebut, maka diagnosis pasti bisa ditegakkan, yaitu morbus Hansen atau lepra.

III. MORBUS HANSEN

A. Definisi Morbus Hansen atau kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis dan sendi-sendi. B. Etiologi Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil gram positif dengan ukuran 38 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol. Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan iskemia, fibrosis, dan kematian akson. Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung. C. Epidemiologi Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai dengan target resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi pada daerah tropis dan subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara, Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia, India, Indonesia, Nepal, Nogeria, Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak dimulai adanya MDT pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selaran, dan Irian Jaya.2,3 Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan 2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun, jarang terjadi pada bayi. Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik, memiliki kerentanan lepra dalam darah, kemiskinan (malnutrisi), dan kontak dengan affected armadillos. D. Predileksi dan Manifestasi Klinis Awitan lepra bersifat perlahan-lahan dan tersembunyi. Lesi timbul pada jaringan tubuh yang lebih dingin: kulit saraf superficial, hidung, faring, laring, mata, dan testis. Lesi kulit dapat muncul sebagai lesi macular anestetik, pucat, dan berdiameter 1-10 cm, eritema difus atau diskret, nodul infiltrasi berdiameter 1-5 cm, atau infiltrasi kulit difus. Gangguan neurologi terjadi karena infiltrasi dan penebalan saraf, yang berakibat anesthesia daerah yang terkena, neuritis, parestesia, ulkus tropic, dan resorpsi tulang,

serta pemendekan jari-jari. Gangguan bentuk anatomi badan yang terkena terjadi akibat adanya infiltrasi kulit dan keterlibatan saraf pada kasus-kasus yang tidak diobati dapat menjadi parah. Secara umum, penyakit ini dibagi menjadi dua tipe utama, lepromatosa dan tuberkuloid, dengan beberapa stadium intermedia. Pada tipe lepromatosa, perjalanan penyakitnya progresif dan ganas, dengan lesi kulit nodular, keterlibatan saraf simetrik lambat, terdapat banyak basil tahan-asam di lesi kulit, bakterimia yang terus menerus, dan uji kulit lepromin yang negative (ekstraksi jaringan lepromatosa). Pada lepra lepromatosa, imunitas seluler sangat menurun dan kulit diinfiltrasi oleh sel T supessor. Pada tipe tuberkuloid, perjalanan penyakitnya jinak dan tidak progresif, dengan lesi kulit macular, keterlibatan saraf asimetrik yang parah dengan awitan yang mendadak dan pada lesi, terdapat sedikit basil dan uji lepromin yang positif. Pada lepra tuberkuloid, imunitas selulernya utuh dan kulit diinfiltrasi dengan sel T helper. Gejala sistemik anemia dan limfodenopati juga dapat muncul. Keteribatan mata sering dijumpai. Dapat terjadi amiloidosis (Brooks dkk, 2007). Kerusakan kusta pada mata dapat primer dan sekunder. Primer dapat mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepratosoma dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infilrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis (Djuanda, 2007). Kelainan kulit pada kusta mirip dengan banyak penyakit lain, sehingga disebut dengan the greatest imitator dalam ilmu penyakit kulit. Penyakit kulit yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding, antara lain dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dermatitis seboroika, psoriasis, neurofibromatosis, granuloma anulare, xantomatosis, sklerodema, leukemia kutis, tuberculosis kutis verukosa, dan birth mark. Yang membedakan penyakit-penyakit tersebut dengan kusta adalah ada tidaknya anesthesia yang mengenai saraf perifer. Yang perlu diperhatikan pada kelainan saraf perifer yang disebabkan kusta adalah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, N. tibialis posterior. Gejala-gejala kerusakan saraf, antara lain: 1. N. ulnaris a. Anesthesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis b. Clawing kelingking dan jari manis c. Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial 2. N. medianus a. Anesthesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

b. Tidak mampu aduksi ibu jari c. Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah d. Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral 3. N. radialis a. Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk b. Tangan gantung (wrist drop) c. Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan 4. N. poplitea lateralis a. Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis b. Kaki gantung (foot drop) c. Kelemahan otot peroneus 5. N. tibialis posterior a. Anesthesia telapak kaki b. Claws toes c. Paralisis otot instrinsik kaki dan kolaps arkus pedis 6. N. facialis a. cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus b. cabang bukal, mandibular dan servical menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir 7. N. trigeminus Anesthesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata E. Pathogenesis Basil lepra menimbulkan respon hipersensitivitas tipe lambat yang melibatkan sel T dan makrofag. Pada awalnya,respon inflamasi dan imun local di tempat antigen asing berada akan meningkatkan ekspresi molekul adhesi sel endotel yang mendorong berkumpulnya leukosit di tempat tersebut. Antigen diolah oleh monosit makrofag dan disajikan kepada sel T yang mengekspresikan reseptor sel T spesifik untuk antigen tersebut. IL-1 dan IL-6 yang dikeluarkan oleh makrofag mendorong ekspansi klonal sel T spesifik antigen yang menghasilkan limfokin ( terutama IL-2,IFN dan limfotoksin) untuk menarik sel T dan makrofag lain untuk ikut serta dalam respon inflamasi. Kemudian IL-2 akan mengaktifkan sel T sitotoksik. Setelah ditarik, makrofag mengalami transformasi sel epiteloid dan membentuk sel raksasa karena pengaruh IL-4 dan IFN. Respon imun tersebut menimbulkan gejala klinis pada penyakit Morbus Hansens. Perbedaan respon imun pada tipe tuberkuloid dan lepramatosa adalah pada tipe tuberkuloid didominasi oleh Th-1 (CD4), sedangkan pada tipe lepramatosa didominasi oleh Th-2 (CD8). Manifestasi klinis berupa lesi kulit pada Morbus Hansen disebabkan infiltrasi sel Th pada kulit. Kerusakan saraf perifer pada pasien lepra diperkirakan disebabkan oleh sel T tipe 1. Reaksi dari sel T tipe 1 dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan saraf. Reaksi ini dicirikan dengan adanya peningkatan besar respon imun pada aliran darah perifer, disertai dengan kedatangan CD4 dan sitokin tipe 1. Reaksi ini mengakibatkan proses degenerasi myelin dan akson sehingga memunculkan granuloma tuberculoid dan reversal reaksi yang mengekspresikan dengan gejala pada saraf perifer.

F. Patofisiologi Pada pasien lepra tipe lepramatosa, basil dapat ditemukan pada kerokan kulit atau selaput mukosa (septum nasi). Basil banyak terdapat dalam sirkulasi darah dan seluruh system organ kecuali system saraf pusat dan paru-paru. Pada tipe lepramatosa perjalanan penyakitnya progesif dan ganas pada lesi-lesi noduler pada kulit. Saraf yang terserang pada tipe ini tidak simetris dan menjadi lambat. System imunitas pada lepramatosa tidak diperantarai respon cell mediated immune (CMI) dan acid-fast bacilli (AFB). G. Tipe-tipe lepra Ridley dan jepling memperkenalakan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu: TT : tuberkoloid polar, bentuk yang stabil Ti : tuberkuloid indefinite BT : borderline tuberculoid BB : mid borderline BI : borderline lepromatous Li : lepromatosa indefinete Sedangkan untuk kepentingan pengobatan, WHO mengelompokkannya menjadi dua kategori, yaitu multibasiler dan pausibasiler. LL : lepromatous polar, bentuk yang stabil bentuk yang tidak stabil

Tabel 1. Gambaran klinis , bakteriologik, dan imunologik kusta multibasiler SIFAT Lesi bentuk LEPRO-MATUSA (LL) Makula Infiltrat difus Papul Nodus Tidak terhitung , praktis tidak ada kulit sehat Simetris Halus berkilat Tidak jelas Biasanya tak jelas Banyak (ada globus) Banyak (ada glabus) Negatif BORDERLINE LEPROMATOSA (BL) Makula Plakat Papul Sukar dihitung, masihg ada kulit sehat Hampir simetris Halus berkilat Agak jelas Tak jelas Banyak Biasanya negatif Negatif MID BORDERLINE (BB) Plakat Dome- shaped Punched out Dapat hitung, kulit sehat jelas ada Asimetris agak kasar dan agak berkilat Agak jelas Lebih jelas Agak banyak Negatif Biasanya negatif

jumlah distribusi permukaan batas anaestesia BTA lesi kulit sekret hidung Tes lepromin

Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta pausibasiler SIFAT Lesi bentuk jumlah distribusi permukaan batas anestesia BTA lesi kulit Tes lepromin TUBERKULOID (TT) Makula saja, makula dibatasi infiltrat Satu, dapat beberapa Asismetris Kering bersisik Jelas Jelas Hampir selalu negatif Positif kuat 3+ BORDERLINE TUBERCULOID (BT) Makula dibatasi infiltrat Beberapa atau satu dengan satelit Masih asimetris Kering bersisik Jelas Jelas Negatif atau hanya 1+ Positif lemah INDETERMINATE (I) Hanya infiltrat Satu atau beberapa Variasi Halus, agak berkilat Dapat jelas atau dapat tidak jelas Tak ada sampai tidak jelas Biasanya negatif Dapat positif lemah atau negatif

10

Gambar 1. Kusta tipe tuberkuloid. Gejala klinis yang khas adalah adanya gangguan kulit hipopigmentasi, dan sifatnya non progresif (Kayser et al., 2005)

Gambar 2. Kusta tipe lepromatosa. Gejala klinis adalah adanya makula, plakat, dan papul. Menyebabkan pembesaran saraf yang simetris, serta dapat menyebabkan kecacatan pada alat gerak, sifatnya progresif (Kayser et al., 2005)

11

H. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan bakterioskopik Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dapat diamIBl dari kerokan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai engan pewarnaan terhadap basil tahan asam antara lain dengan Ziehl Nellsen. a. Sediaan Sediaan yang dapat digunakan adalah luka atau lesi di cuping telinga bawah dan di lesi yang paling eritem dan infiltratif pada bagian tubuh, dan mukosa hidung pada bagian septum nasi. Untuk kepentingan pemeriksaan bakterioskopik, Sampel yang dibutuhkan sebanyak 4-6 tempat dimana 2 sampel berasal dari cuping telinga bawah dan 24 sampel lainnya berasal dari lesi yang paling infiltrative. b. Cara pengambilan Jika sediaan yang dipergunakan adalah lesi/luka maka sebelum dilakukan kerokan pada lesi, lakukan desinfeksi di sekitar luka, kemudian jepit luka menggunakan jari telunjuk an ibu jari agar luka menjadi iskemik. Setelah itu dengan menggunakan scalpel steril, lakukan kerokan pada lesi sampai bagian dermis dengan tujuan untuk mencapai aringan yang banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya mengandung M.leprae. Hasil kerokan kemudian dioleskan di permukaan objek glass dn di fiksasi di atas api. Setelah di fiksasi lakukan pewarnaan dengan Ziehl Nellsen. Jika sediaan yang diamIBl adalah berasal dari mukosa hidung, maka dapat dilakukan dengan nose blows pagi hari atau dengan menggunakan scalpel di daerah septum nasi. Duh yang didapatkn dioleskan di permukaan objek glass dn di fiksasi di atas api. Setelah di fiksasi lakukan pewarnaan dengan Ziehl Nellsen. c. Hasil pemeriksaan Pada pewarnaan Ziehl Nellsen didapatkan M.leprae kan menunjukkan warna merah.Bentuk yang terdapat pada pengamatan adalah bentuk solid, fragmentes dan granular. Benuk solid adalah mycobacterium yang masih hidup dan bentuk fragmented dan granuler adalah mycobacterium yang sudah mati. Kepadatan BTA dinyatakan dalam Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0+ sampai 6+ yaitu : IB 0 IBla tidak ada BTA dalam 100 lp IB 1+ IBla 1-10 BTA dalam 100 LP IB 2+IBla 1-10 BTA dalam 10 LP IB 3+IBla 1-10 BTA dalam 1 LP IB 4+IBla 11-100 BTA rata rata dalam 1 LP IB 5+IBla 101-1000 BTA/LP IB 6+IBla > 1000 BTA dalam 1 LP

12

Sedangkan untuk mengetahui persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan nonsolid maka dipergunakan Indeks Morfologi (IM) dengan rumus : jumlah solid / (jumlah solid + non solid) x 100% Syarat perhitungan a. Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA b. IB 1+ tidak perlu dibuat IM nya karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapang pandang c. Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM nya sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapang pandang. 2. Pemeriksaan histopatologik Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian kecil kasus bila diagnosis masih meragukan, pemeriksaan histopatologis dapa membantu. Pemeriksaan ini sangat membantu khususnya pada anak-anak bila pemeriksaan saraf sensoris suli dilakukan, juga pada lesi dini contohnya pada tipe intermediate, serta untuk menentukan tipe yang tepat. Gambaran histopatologik tipe tuberkoloid adalah tuberkel dankerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit nonsolid. Pada tipe lepramatosa terdapat kelim sunyi sub epidermal yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapatkan sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borerline terdapat campuran unsur-unsur tersebut. 3. Pemeriksaan serologik Pemeriksaan serologik membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu, pemeriksaan serologik dapat menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada penularan serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta adalah : a. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination) b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) c. I. ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstic)

Penatalaksanaan Umum : Menjelaskan penyakit dan perjalanannya, termasuk terjadinya reaksi, tetapi harusdengan pertimbangan keadaan psikologis pasien (contoh: jangan langsung menjelaskan diagnosisnya Kusta) Mencari / melakukan pemeriksaan kontak

13

Khusus : 1. Pengobatan tipe PB Dosis dewasa : 6 dosis selama 6-9 bulan per dosis terdiri dari : Rifampisin 600 mg/bulan Dapson 100 mg/ hari

Dosis anak : Rifampisin 450 mg/ bulan Dapson 50 mg/ hari

2. Pengobatan tipe MB Dosis dewasa : 12 dosis dalam 18 bulan per dosis : Rifampisin 600 mg/bulan Lampren 300 mg/bulan Lampren 50 mg/ hari Dapson 100 mg/ hari

Dosis anak : Rifampisin 450 mg/ bulan Lampren 200 mg/ bulan Lampren 50 mg/2 hari Dapson 50 mg/ hari

3. Pengobatan alternatif Pemberian initial therapy berupa Rifampisin 600mg / hari selama 14 hari berturutturut, kemudian diteruskan seperti pengobatan WHO (terutama untuk MB) Pemberian Rifampisin 600mg, Ofloksasin 400mg dan Minosiklin 100mg sekaliminum setiap bulan dalam 24 bulan (untuk MB) Penatalaksanaan Reaksi 1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi anestesi, paralisis atau kontraktur 2. Mencegah kerusakan pada mata yang dapat menyebabkan kebutaan (iridosikiitis) 3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas 4. Mengatasi nyeri(analgetika, sedatif) Pengobatan Reaksi 1. Obat antikusta terus dilanjutkan 2. Istirahat atau imobilisasi 3. Pemberian obat anti reaksi : a. Reaksi ringan : a. Aspirin 600-1200 mg/hari atau analgetika lain (Paracetamol) Talidomid 400 mg/hari diturunkan sampai 50 mg/hari (kasus khusus)

Reaksi berat : Dirawat di Rumah Sakit

14

Reaksi tipe 1 harus segera diberikan kortikosteroid Reaksi tipe 2 dapat diberikan klofazimin, talidomid dan kortikosteroid sendirisendiri atau bersama-sama b. Pemberian kortikosteroid : Dosis dimulai antara 30-80 mg/hari, sebaiknya digunakan sebagai dosis tunggal dipagi hari Pengobatan prednison pada reaksi tipe 1: 2 minggu I 2 minggu II 2 minggu IV 2 minggu V : 30 mg/hari : 20 mg/hari : 10 mg/hari : 5 mg/hari

Pengobatan prednison pada reaksi tipe 2 : 2 minggu I 2 minggu II 1 minggu III 1 minggu IV 1 minggu V 1. Farmakologi a. DDS (Diaminodifenol Sulfon) 1) Sediaan 2) Dosis 3) Absorbsi 4) Waktu paruh 5) Ekskresi 6) Interaksi 8) Efek samping : tablet 25 mg, 100 mg : 1-2 mg/kg BB setiap hari : usus : 1-2 hari : empedu, urin : meningkatkan efek teofilin : nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, : 30 mg/hari : 20 mg/hari : 15 mg/hari : 10 mg/hari : 5 mg/hari

7) Kontraindikasi : gangguan hepar insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis, epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, methemoglobinemia b. Rifampisin 1) Sediaan 2) Dosis 3) Absorbsi 4) Kerja 5) Ekskresi 6) Interaksi : tablet 150 mg, 300 mg : 10 mg/kg BB diberikan setiap hari atau setiap bulan : saluran pencernaan : menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengikat RNA : empedu, feses, urin : meningkatkan ekskresi metadon, meningkatkan eleminasi

polimerase sehingga terjadi hambatan sintesis RNA bakteri

antikoagulan, meningkatkan eleminasi kontrasepsi, menurunkan kadar plasma ketokonazol, siklosporin, dan kloramfenikol 7) Kontraindikasi : hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, jaundice, bayi baru lahir, bayi prematur, kehamilan trisemester pertama

15

8) Efek samping c.

: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gangguan gastrointestinal,

flu-like syndrome, erupsi kulit Klofazimin (Lamprene) 1) Sediaan 2) Dosis 3) Absorbsi 4) Kerja 5) Waktu paruh 6) Ekskresi 7) Indikasi 8) Efek samping d. Ofloksasin 1) Sediaan 2) Dosis 3) Absorbsi 4) Kerja : tablet 200 mg, 300 mg, 400 mg, vial 200 mg dalam 50 mL : 400 mg dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis :saluran cerna : menghentikan sintesis DNA bakteri dengan menghambat : tablet 50 mg, 100 mg : 50 mg setiap hari, 100 mg selang satu hari, 3 x 100 mg : usus : bersifat sebagai anti inflamasi : 2 bulan : feses : Morbus Hansen : warna kecoklatan pada kulit, warna kuning pada sclera,

setiap minggu, 200-300 mg setiap hari untuk terapi ENL

nyeri abdomen, nausea, diare, anokresia, vomitus, penurunan berat badan

DNA girase sehingga mencegah relaksasi DNA superkoil yang dibutuhkan untuk transkripsi dan duplikasi 5) Waktu paruh 6) Kadar puncak 7) Ekskresi 8) Interaksi : 5-7 jam : 1-3 g/mL : ginjal : meningkatkan kadar teofilin, kerjanya menurun jika pasien

mengonsumsi antasida 9) Kontraindikasi : hipersensitivitas, hamil, menyusui, anak atau remaja sebelum akhir fase pertumbuhan 10) Efek samping e. Minosiklin 1) Sediaan 2) Dosis 3) Absorbsi 4) Kerja : tablet dan kapsul 50 mg, 100 mg, suspensi 50 mg/5 mL, : 100 mg setiap hari : saluran pencernaan : menghambat ikatan aminoasil-tRNA di RNA ribosom bubuk 100 mg per vial : gangguan saluran cerna (mual, diare), insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness, halusinasi

sehingga terjadi penurunan jumlah asam amino baru ke rantai peptida yang tumbuh sehingga terjadi penghambatan sintesis protein 5) Kadar puncak 6) Ekskresi 7) Interaksi 8) Efek samping f. Klaritromisin : 2-4 g/mL : feses, empedu, urin : absorbsi menurun jika pasien mengonsumsi antasida : warna gigi bayi dan anak, hiperpigmentasi kulit dan

membran mukosa, dizziness, unsteadiness

16

1) Sediaan 2) Dosis 3) Absorbsi 4) Kerja 5) Waktu paruh 6) Ekskresi 8) Efek samping 1997).

: tablet 250 mg, 500 mg : untuk Morbus Hansen 500 mg setiap hari dalam 28-56 hari : usus : menghambat sintesis protein : 5-7 jam : empedu, urin, feses : nausea, vomitus, diare, toksisitas hati (ISFI, 2006; Katzung,

7) Kontraindikasi : hipersensitivitas

Penggunaan untuk Morbus Hansen : MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT) terdiri dari rifampisin 600 mg setiap bulan dan DDS 100 mg setiap hari selama 6-9 bulan. Pemeriksaan klinis dilakukan setiap bulan dan pemerik saan bakterioskopik dilakukan setelah 6 bulan pengobatan. Kedua pemeriksaan tersebut dilanjutkan minimal setiap tahun selama 2 tahun. Masa pengobatan multibasilar selama 12-18 bulan yang terbagi menjadi 12 dosis dan pengobatan kasus pausibasilar dengan lesi kulit 2-5 buah adalah 6 dosis dalam 6-9 bulan. Pengobatan untuk pausibasilar dengan lesi kulit tunggal adalah rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal. Jika pasien mengalami resisten terhadap rifampisin dan DDS, dapat diganti dengan regimen pengobatan klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg per hari selama 6 bulan diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofoksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 8 bulan (Kosasih, Wisnu, Sjamsoe-Daili, Menaldi; 2006). 2. Non Farmakologi a. Pencegahan cacat 1) Melaksanakan diagnosis dini kusta 2) Pemberian MDT yang cepat dan tepat 3) Mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf 4) Memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin b. Rehabilitasi 1) Operasi 2) Fisioterapi 3) Memberi lapangan pekerjaan yang sesuai dengan cacat tubuhnya c. Terapi psikologik (Kosasih, Wisnu, Sjamsoe-Daili, Menaldi; 2006).

17

IV. KESIMPULAN

1. Kusta atau morbus Hansen adalah abnormalitas kulit yang disebabkan oleh bakteri Myvobacterium leprae, dengan manifestasi pada kulit dansistem saraf perifer, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis dan sendi-sendi. 2. Secara klinis, lepra dibagi menjadi tipe lepromatosa, tuberkuloid, dan borderline. Perbedaan tipe tersebut adalah karena respon imun individu. 3. Diagnosis kusta dilakukan dengan melakukan anmnesis, pemeriksaan fisik dengan melihat ujud kelainan kulit, dan melakukan pemeriksaan neurologis. Diagnosis pasti adalah dengan ditemukannya BTA pada kerokan kulit atau biopsi kulit. 4. Pengobatan kusta dilakukan dalam tempo 6 bulan-2 tahun dengan kombinasi beberapa regimen obat DDS, rifampisin, lamprene, ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin tergantung jenis tipe lepra.

18

DAFTAR PUSTAKA Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. 2005. Standar Pelayanan Medik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin . Bandung: RSHS. Bahri, H. A. Syaiful, Andreas H., J. M. F. Adam, H. Harsinen S. 2011. Sub Bagian Endokrin-Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Makassar: Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Unhas. Brooks, Geo F., Janet S. Butel, Stephen A. Morse. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. Jakarta: EGC. Deanna A. Hagge, Nashone A. Ray, James L. Krahenbuhl, and Linda B. Adams. 2004. An In Vitro Model for the Lepromatous Leprosy Granuloma. Fate of Mycobacterium Leprae from Target Macrophages After Interaction with Normal and Activated Effector Macrophages The Journal of Immunology, 172: 7771-9 Dennies L. Kasper et al. 2005. Leprosy. Dalam: Horrisons Principles of Internal Medicine. Sixteenth Edition. ISFI. 2006. ISO Indonesia. Volume 41. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: EGC. Kayser, F. H., K. A. Bienz, J. Eckert, R. M. Zinkernagel. 2005. Medical Microbiology. New York: Thieme Stuttgart. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. 2007. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Mogyoros, I., Bustock H., Burke D. 2000. Mechanisms of paresthesias arising from healthy axons. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10679707. Diakses pada 21 September 2011 pada pukul 03.51 WIB. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill. Halaman 1789-96. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick . 2007. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. Halaman 665-71.

Anda mungkin juga menyukai