Anda di halaman 1dari 28

HUBUNGAN ANTARA INFLAMASI, ADIPONEKTIN, DAN STRES OKSIDATIF DALAM SINDROM METABOLIK

Seminar 2 12 April 2013

Penyaji Pembimbing Pembahas

: Drs. Agus Jaya (Guru) : Dr. dr. Ani Retno Prijanti, M. Biomed. : 1. dr. Feriandi Utomo (Patologi) : 2. Drs. M. Misbakhul Munir (Guru) PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA, 2013

Pendahuluan
Kesmas Perubahan gaya hidup, - rendah aktivitas fisik - pola makan: tinggi energi, rendah serat Obesitas Prevalensi sindrom metabolik -

Prevalensi SM
The Third National Health and Nutrition Examination Survay (NHANES 1988-1994) 20% populasi dewasa di AS menderita SM NHANES (2003-2006), prevalensi SM adalah 35,1% pada pria dan 32,6% pada wanita. the Nutrition and Health Survey in Taiwan (NAHSIT) 19931996 prevalensi SM adalah 13,6% pada pria dan 26,4% pada wanita. NAHSIT (2005-2008) prevalensi SM mengalami peningkatan menjadi 25,5% pada pria dan 31,5% pada wanita3. Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) pada tahun 2006 tingkat prevalensi SM 13,3%

Keterkaitan gaya hidup dan SM

SINDROM METABOLIK
Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III), Sindrom Metabolik adalah seseorang dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); Peningkatan kadar trigliserida darah ( 150 mg/dL, atau 1,69 mmol/ L); Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L); Peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik 130 mmHg, tekanan darah diastolik 85 mmHg atau sedang memakai obat anti hipertensi); Peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa 110 mg/dL, atau 6,10 mmol/ L atau sedang memakai obat anti diabetes) (Adult Treatment Panel III, 2001)5.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik7

Sejarah
Konsep Sindrom Metabolik telah ada sejak 90 tahun yang lalu, pada tahun 1920, Kylin, seorang dokter Swedia, merupakan orang pertama yang menggambarkan sekumpulan dari gangguan metabolik, yang dapat menyebabkan resiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis yaitu hipertensi, hiperglikemi dan gout. Reaven (1988) menunjukkan berbagai faktor resiko: dislipidemi, hiperglikemi dan hipertensi secara bersamaan dikenal sebagai multiple risk factor untuk penyakit kardiovaskuler dan disebut dengan sindrom X. Selanjutnya sindrom X ini dikenal dengan sindrom resistensi insulin.

Sindroma metabolik muncul sebagai akibat dari interaksi antara kerentanan genetic dan pola hidup. obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi merupakan komponen SM. Sel adiposit tidak hanya berperan pasif sebagai tempat metabolisme dan penyimpanan energi dalam bentuk trigliserida tetapi juga berperan sebagai kelenjar endokrin yang mensekresikan berbagai sitokin dan neuropeptida yang berperan dalam metabolisme. Pada keadaan obesitas terjadi gangguan keseimbangan adipositokin yang dilepaskan. Sel adiposit berusaha mempertahankan keseimbangan energi dengan melepaskan interleukin 6 (IL-6), tumor necrosis factor - (TNF-) dan monocyte chemotatic protein-1 (MCP-1). Pelepasan sitokin tersebut menandai awal inflamasi.

Obesitas dapat dikatakan merupakan bentuk inflamasi kronik. Interleukin 6 dan TNF- dapat memicu pembentukan Creactiveprotein (CRP) di hati4. Protein ini jika diproduksi terus menerus dapat memperburuk kondisi inflamasi melalui aktivasi kronik terhadap sel endotel, akibatnya terjadi disfungsi endotel. Proses lipolisis yang tinggi menyebabkan jumlah stress oksidatif yang dihasilkan juga sangat tinggi. Terjadi peningkatan jumlah reactive oxygen species (ROS) akibat peningkatan aktivitas enzim oksidase dan disregulasi hormon adipositas. Peningkatan stress oksidatif menyebabkan gangguan metabolisme, baik asupan glukosa pada otot maupun pada jaringan adipose, penurunan sekresi insulin dan kerusakan sel sehingga terjadi disfungsi endotel, aterosklerosis sampai akhirnya terjadi penyakit vaskuler.

Both abdominal obesity and smoking are associated with insulin resistance, oxidative stress and increased levels of different (adipo)cytokines and inflammatory markers, all of which ultimately lead to endothelial dysfunction. Red arrows indicate an effect of smoking.

Figure 1 Domains and structure of adiponectin

Clinical Science (2006) 110, 267-278 www.clinsci.org

Figure 2 Role of adiponectin as an anti-atherogenic and anti-inflammatory molecule

Clinical Science (2006) 110, 267-278 www.clinsci.org

Figure 3 Adiponectin in the metabolic syndrome

Clinical Science (2006) 110, 267-278 www.clinsci.org

Pathophysiology of obesity and diabetes, and their associated factors.

Penelitian Chen, dkk3.

Figure 1. Concentrations of inflammatory makers (A, B) and adiponectin (C). *Values were significantly different between the case and control groups; p,0.05. hs-CRP, high sensitivity C-reactive protein; IL-6, interleukin-6. doi:10.1371/journal.pone.0045693.g001

Figure 2. Concentrations of lipid peroxidation marker (A) and antioxidant enzymes activities (B to D). *Values were significantly different between the case and control groups; p,0.05. CAT, catalase activity; GPx, glutathione peroxidase; MDA, malondialdehyde; SOD, superoxide dismutase. doi:10.1371/journal.pone.0045693.g002

Pembahasan
Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik antara tingkat petanda inflamasi, adiponektin, dan stres oksidatif dalam SM. Subyek dengan SM memiliki status inflamasi yang lebih tinggi (Gambar 1). Berbagai fitur dari sindrom metabolik berhubungan dengan respon inflamasi sistemik. Tingkat petanda inflamasi (hs- CRP dan IL-6) secara signifikan berkorelasi positif dengan komponen SM, sebaliknya, tingkat adiponektin berkorelasi terbalik dengan komponen SM (Tabel 2).

Perhitungan ORs SM sesuai dengan tingkat petanda inflamasi dan adiponektin (Tabel 4). Tingkat hs-CRP (1,0 mg/L) atau IL-6 (1,5 pg / mL) digunakan sebagai titik cut-off untuk menentukan status inflamasi lebih tinggi, yang merupakan faktor risiko rata-rata untuk penyakit arteri coroner. Subyek dengan status inflamasi yang lebih tinggi (hs-CRP 1,0 mg/L, IL-6 1,50 pg/mL atau adiponektin < 7,90 mg/mL) memiliki peningkatan risiko yang signifikan dari SM. Tampaknya inflamasi kronis adalah bagian dari SM dan petanda inflamasi (hs-CRP dan IL-6) serta adiponektin merupakan faktor risiko SM yang signifikan. Peneliti menyarankan tingkat petanda inflamasi (Hs-CRP dan IL-6) dan adiponektin dapat dimasukkan dalam diagnostik biomarker untuk SM.

Stres oksidatif diperkirakan memainkan peran penting dalam pengembangan SM . Meskipun tingkat MDA tidak berbeda secara signifikan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol, aktivitas CAT, SOD, dan GPx secara signifikan lebih rendah di kelompok kasus (Gambar 2). Dalam penelitian ini, dinilai juga korelasi antara petanda inflamasi dan petanda stres oksidatif. Terlihat bahwa petanda inflamasi secara signifikan berkorelasi dengan peningkatan stres oksidatif (Tabel 3). Secara khusus, subyek dengan status inflamasi yang lebih tinggi (hs-CRP 3,0 mg/L) memiliki tingkat signifikan lebih tinggi pada MDA dan lebih rendah pada aktivitas enzim antioksidan (data tidak ditampilkan). Terbukti secara signifikan adanya korelasi positif antara status inflamasi dan stres oksidatif, dan peneliti berasumsi bahwa subyek dengan SM mungkin memiliki status inflamasi lebih tinggi dan juga tingkat stres oksidatif yang lebih tinggi.

Enzim-enzim antioksidan merupakan garis pertahanan pertama melawan ROS dan menyebabkan penurunan aktivitas mereka. Selain itu, subyek SM pada umumnya memiliki tipe obesitas abdominal3. Penelitian ini mengamati bahwa nilai lingkar pinggang masing-masing secara signifikan berkorelasi dengan SOD (r = -0.25, p< 0,01) dan aktivitas GPx (r = -0.41, p< 0,01). Rasio pinggang ke pinggul masing-masing signifikan berkorelasi negatif dengan SOD (r = -0,22, p<0,01) dan aktivitas GPX (r = -0,30, p<0,01). Nilai-nilai indeks massa tubuh secara signifikan berkorelasi negatif dengan aktivitas GPx (r = -0.34, p<0,01). Nilai-nilai lingkar pinggang secara signifikan berkorelasi positif dengan tingkat MDA pada kelompok kasus (r = 0,24, p = 0,047). Obesitas merupakan beban oksidatif yang dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim antioksidan, dan induksi inflamasi memainkan peran patogenik dalam pengembangan dan kemajuan SM3.

Penutup
Penderita Sindroma Metabolik (SM) memiliki status inflamasi yang lebih tinggi dan tingkat stress oksidatif yang juga lebih tinggi. Status inflamasi yang lebih tinggi secara signifikan berkorelasi dengan tingkat enzimenzim antioksidan dan adiponektin yang lebih rendah, serta resiko tinggi SM.

Daftar Pustaka
1. Jafar N. Sindrom Metabolik. 1st ed. Makasar: Unhas; 2011. 2. Adrianjah H AJ. Sindroma Metabolik:Pengertian, Epidemiologi, dan Kriteria Diagnosis Jakarta: Informasi Laboratorium Prodia; 2006.

3. Chen S-J YCHHYCLBJHSLPT. Relationships between Inflammation, Adiponectin, and Oxidative Stress in Metabolic Syndrome. PloS ONE. 2012 September; 7(9).

4. Pusparini. Obesitas Sentral, Sindrom Metaolik, dan Diabetes Melitus Tipe 2. Universa Medicina. 2007 Oktober-Desember; 26(4).

5. Krentz AJ WN. Metabolic Syndrome and Cardiovascular Disease New York: Informa Healthcare; 2007. 6. Reaven GM LA. Insulin Resistance The Metabolic Syndrome X GM R, editor. New Jersey: Humana Press; 1999.

7. S M. The Metabolic Syndrome in Clinical Practise London: Springer; 2008.


8. Soares R CC. Oxidative Stress, Inflammation, and Angiogenesis in The Metabolic Syndrome London: Springer; 2009.

Terima kasih
Semoga perjuangan mencapai tubuh ideal yang sehat berhasil dengan pengendalian diri dan kesabaran.

Anda mungkin juga menyukai