Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang melingkupinya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah (alamiah), sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal (Rahmatan li al-Alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan dengan memberikan keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit. Terbukti, dalam kaidah ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang Muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Bila seorang Muslim dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya. Dalam penggalian Hukum Islam, kita mengenal kaidah Kesulitan itu mendatangkan kemudahan. Yang dikenal dengan nama:

Qaidah ini merupakan dasar penting sumber syariah. Mayoritas dispensasi syari didassari oleh kaidah ini, selain menjadi Qaidah fiqhiyah, Qaidah ini juga menjadi Qaidah ushuliyah ai-ammah. Bahkan menjadi Qaidah yang memiliki sifat qathy, karena dalil-dalil yang mendasari dan menjadi landasan tumpuannya sangant sempurna. Sesungguhnya syariah tidak menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu yang menjatuhkannya pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai

dengan karakter dan hati nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasar dari pemilik syariah yang bijaksana dalam memberlakukan syariah Islam. Kesulitan sesuatu bisa terjadi secara insidentil dan secara kontinyu. Orang yang menderita sakit-berdasarkan perkiraan medis-yang tidak memungkinkan sembuh secara biasa, akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan bebrapa kewajiban. Oleh karena itu, kesulitan tersebut diatasi dengan cara memberi dispensasi, mengganti, dan mengubahnya. Sedangkan orang yang berpergian jauh berdasarkan kebiasaan mengalami kelelahan dan karenanya berat dalam melaksanakan kewajiban. Itupun diatasi dengan cara memberikan keringanan. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah: 1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir? 2. Bagaimanakah tanggapan Al-Quran terhadap kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir? 3. Sebab-sebab apasaja yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi? C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun adalah untuk mengetahui: 1. Mengetahui maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir dan memahaminya. 2. Mengetahui tanggapan Al-Quran terhadap kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir. 3. Mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi.

BAB II PEMBAHASAN

1.1

Pengertian Kaidah Secara bahasa, al-masyaqqat berarti al-tab (kelelahan,kepenatan,

keletihan), Sedang arti terminology kata al-taysir adalah al-subulat (gampang, mudah, ringan), dan al-luyunat (lunak, halus, dan ramah).1 Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah :


Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syariat meringankannya sehingga bebab tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.2 Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.3 2.1 Sumber Hukum 2.1.1 Al Quran4 a. Surat Al Baqarah ayat 185 disebutkan:

Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 139. 2 Ibid., hlm 139. 3 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 55. 4 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 173-175

Artinya: Allah swt. mencintai terwujudnya kemudahan dan tidak mencintai kesulitan bagimu sekalian. b. Surat Al Hajj ayat 78 dinyatakan:


Artinya: Dan Dia tidak menjadikan atas kamu sekalian suatu kesempitan dalam urusan agama. c. Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:


Artinya: Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian. d. Ayat lain yang menjadi dasar kaidah ini adalah surat An Nisa ayat 28 dinyatakan:


Artinya: Allah mencintai kemudahan bagi kamu sekalian. 2.1.2 Al Hadits5 Banyak sekali hadits Nabi saw. yang menjadi dasar

terbentuknya kaidah ini, diantaranya adalah: a. Kalian semua ( kaum Muslimin dengan perantara Nabi saw) diutus untuk memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan. (H.R. Bukhari-Muslim) b. Hadits riwayat Imam Ahmad ra.: : Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya agama Allah adalah agama yang mudah. (kata-kata itu) diucapkan tiga kali. c. Hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim:
5

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 175-177

Tidaklah Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa. d. Hadits yang berbunyi: Permudahlah dan jangan menyulitkan. e. Hadits riwayat Imam Ahmad dari Jabir ra.: Aku (Nabi saw.) diutus untuk meninggalkan yang tidak berhak dan dengan membawa ajaran yang mudah. Selain itu, masih banyak hadits-hadits lain yang membincang seputar kemudahan dan keringanan syariat yang dibawa oleh Nabi saw. Namun kelima hadits diatas kiranya sudah cukup untuk dijadikan parameter, bahwa Islam bukanlah agama yang sulit. Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah disebutkan diatas, maka tercetuslah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib al-taysir yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besarnya apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum. Bahkan al-Syabi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu diantara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah swt. Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas tidak berlaku serampangan dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi agar kemudahan itu dapat diperoleh. 3.1 Masyaqqah 3.1.1 Definisi Masyaqqah

Lafazh masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat, dan yang searti dengannya. Dalam bahasa Arab, ketika dikatakan syaqqa alayhi al-syai berarti ada sesuatu yang telah memberatkan seseorang. Di dalam Al Quran terdapat lafazh yang berasal dari akar yang sama dengan masyaqqah, yakni syiqq al-anfus, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat tujuh.6 Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna. (1) Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah dalam pengertian pertama ini. (2) Masyaqqah dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja hal itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat berat.7 (3) Masyaqqah dalam pengertian kesulitan yang tidak sampai keluar dari kebiasaan umum. (4) Masyaqqah yang dimaknai sebagai melawan hawa nafsu.8 3.1.2 Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah Berdasarkan analisa al-Suyuthi, karakteristik kesulitan (masyaqqah) secara umum terbagi dalam dua pembagian pokok:9 1) Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah). Misalnya: rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban haji. 2) Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan:
6

Al-Syathibi: al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, II/119, ed. Abdullah Darraz. Dar al-Marifah, Beirut. 7 Bagian yang kedua ini oleh al-Syathibi dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, berupa sifat yang menetap pada sebuah pekerjaan. Artinya ketika pekerjaan itu dikerjakan untuk pertama kali akan langsung menimbulkan masyaqqah. Kedua, masyaqqah yang bukan merupakan sifat asli dari pekerjaan itu, dengan kata lain kesulitan dalam perbuatan semacam ini baru terasa setelah dilakukan berulang-ulang al-Muwafaqat, Ibid, II/ 120 8 Ibid, II/ 121 9 Periksa antara lain, Jalal al-Din al-Suyuthi: al-Asybah wa al-Nahzair, ed. Muhammad alMutashim Billah. Dar al-Kitab al-Arabi, cet.IV, 1998, hal. 168, dan Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Op.cit., hal. 234

a.

Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (ala). Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syariat memberlakukan keringanan hukum (rukhshah). Sebab, demikian tulis al-Suyuthi, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syariat lebih diutamakan daripada tidak melaksanakan sama sekali. Artinya, jika umat Islam masih dipaksa

melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada keselamatan jiwa maupun raganya. b. Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal, pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali legitimasi syariat untuk memberi rukhshah. Sebab kemaslahatan ibadah masih lebih penting daripada menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari

masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari hal-hal seperti ini masih sangat minim, sehingga

kemaslahatan ibadah yang nyata punya nilai lebih besar harus lebih diutamakan. c. Masyaqqah pertengahan (al-mutawassithah) yang berada pada titik interval diantara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada urusan yang tertinggi (ala). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat menyebabkan rukhshah. 3.1.3 Metode Taqribi10 Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif, dalam arti ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A
10

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 180

merasa berat mengerjakan, tapi si B tidak, padahal pekerjaannya sama). Hal ini terjadi pada jenis masyaqqah mutawassitah. Karena itulah fuqaha mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna mengukur berapa jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan hukum. Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran kadar masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak. Jika kadar masyaqqah masih dalam taraf rendah (adna), maka tidak ada pemberlakuan rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf rendah, baik telah mencapai kategori mutawassithah ataupun sampai level tertinggi (ala), maka ia akan mendapat rukhshah. Seseorang yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami masyaqqah, baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu dilakukan dalam keadaan sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya bertambah, yakni masyaqqah berpuasa ditambah masyaqqah sakit. Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu telah melewati batas minimal (adna) sehingga bisa mendapatkan rukhshah.11 Contoh lainnya adalah musafir yang mengerjakan puasa. Selain mengalami musyaqqah puasa, ia juga ditimpa masyaqqah berupa beratnya melakukan perjalanan.12 4.1 Rukhshah (Toleransi) 4.1.1 Definisi Rukhshah dan Azimah Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syariat bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai

11 12

Muhammad Yasin al-Fadani: Op.cit., hlm. 232-233 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 181

diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang melarang.13 Sebaliknya, jika formulasi hukum syariat tidak mengalami perubahan, maka ia dinamakan azimah. Atau dapat dikatakan, azimah adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar syariat yang bersifat umum dan tidak tidak terbatas pada obyek, situasi, kondisi, dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya, azimah adalah sebentuk kerangka hukum dasar (fundamental) yang belum mengalami perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.14 Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syariat masih seperti sedia kala, maka ia dinamakan azimah. Tapi bila telah berubah dan mengalami perubahan bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka ia dinamakan rukhshah.15 4.1.2 Hukum-hukum Rukhshah16 Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:17 a. Rukhshah wajib. Contohnya, memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan bangkai atau minum arak yang notabene haram merupakan satusatunya jalan yang diyakini bisa menyelamatkan jiwanya, maka hal itu wajib dilakukan. b. Rukhshah sunnah. Misalnya, shalat qashar bagi seorang musafir yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa. Demikian pula mengakhirkan shalat dhuhur, karena cuaca pada awal waktu dhuhur sangat panas. Atau seperti melihat muka dan dua telapak

13 14

Baca al-Syathibi, Op.cit., I/301 Ibid. 15 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 181 16 Ibid. 17 Jalal al-Din al-Suyuthi: op.cit., hlm. 171

tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh diatas merupakan rukhshah yang sunnah dikerjakan. c. Rukhshah mubah. Contohnya, seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa (ijarah). Dua jenis transaksi ini dikategorikan rukhshah yang mubah karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam pada permulaanya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak wujud (madum), dan manfaat dalam ijarah juga dinilai madum. d. Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), menjama shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli dengan nilai diatas harga standar, sementara dia sebenarnya memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua toleransi (rukhshah) dalam contoh diatas lebih utama untuk tidak dikerjakan. e. Rukhshah makruh. Contohnya mengqashar shalat dalam

perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan ini dimotivasi untuk menghindari khilaf Imam Hanafi yang tidak memperbolehkan qashar sebelum perjalanan mencapai tiga marhalah (142 km. Versi Hanafiyah). Sementara al-Syafii menilai dua marhalah cukup untuk melakukan qashar. 4.1.3 Bentuk-bentuk Rukhshah Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam:18 a. Takhfif Isqath (keringanan pengguguran). Yaitu: Keringanan dalam bentuk penghapusan, seperti tidak wajib Sholat bagi wanita yang mentruasi atau nifas. Tidak wajib Haji bagi yang tidak mampu (istithaah).19
18 19

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 183 Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit., hlm. 19

10

b. Takhfif Tanqish (keringanan pengurangan). Misalnya: Sholat qashar bagi orang berpergian yang telah mencukupi syarat, seperti disebut dimuka.20 c. Takhfif Ibdal (keringanan penggantian). Misalnya: Salah satu syarat untuk melakukan shalat adalah wudlu tetapi karena adanya halangan, maka orang dapat mengganti wudlu dengan tayamum.21 d. Takhfif Taqdim (keringanan mendahulukan). Misalnya: Melakukan sholat Ashar di waktu dhuhur, atau sholat Isya di dalam waktu Magrib bagi orang yang sedang berpergian (ini yang disebut jamaTaqdim).22 e. Takhfif takhir (keringanan mengakhirkan). Misalnya: kebalikan dari contoh no. 4, yakni jama takkhir, yaitu melakukan sholat Dhuhur di dalam waktu Ashar, atau mengerjakan sholat Magrib didalam waktu Isya.23 f. Takhfif Tarkhish (keringanan kemurahan). Misalnya: orang sedang sangat kehausan, kalau tidak cepat minum mungkin bisa mati, padahal yang ada hanyalah arak, maka orang itu di beri keringanan boleh meminum arak tersebut.24 4.1.4 Obyek-obyek Rukhshah25 a. Ikrah (terpaksa) Yaitu: Sesuatu keadaan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah.26 Seperti dalam surat al-Nahl: 106, Allah swt. berfirman:27


20 21

Ibid., Ibid., 22 Ibid., 23 Ibid., 24 Ibid., 25 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 185 26 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit., hlm. 56. 27 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 189

11

Arttinya: Barang siapa kafir kepada Allah setelah beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tenang... Misalnya: minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancaman akan dianiaya kalaua tidak mau minum, maka meminumnya menjadi tidak haram.28 b. Nis-yan (lupa) Secara terminologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat terhadap hal-hal yang sudah diketahui (malum). Untuk

mengingatnya kembali dibutuhkan usaha dari awal lagi. Berbeda dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang bersifat temporal (sementara). Sehingga dengan hanya sedikit diingatkan, maka otak akan mampu merekam kembali data dan memori yang sempat hilang.29 Misalnya: Seharusnya makan itu membatalkan puasa, tetapi kalau makannay karena lupa, maka puasanya tidak batal. c. Jahl (ketidaktahuan) Misalnya: Orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian memakan makanan yang diharamkan, maka ia tidak dikenai sanksi.30 d. Al-Usr (kesulitan) Yaitu: Suatu kondisi yang sulit dihindari. Misalnya: Debu di jalan yang bercampur dengan kotoran, pada hakekatnya adalah najis, tetapi karena sulitnya menghindar dari debu itu, maka hukumnya menjadi tidak apa-apa.31 e. Safar (bepergian)

28

Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, Kudus, Menara Kudus, 1977, hlm. 18. 29 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 189 30 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit. 31 Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit.

12

Misalnya: Sholat Dhuhur, Ashar, Isya, masing-masing mestinya empat rakaat, tetapi karena bepergian yang telah mencukupi syariat maka masing-masing bisa diqashar menjadi dua rakaat. f. Maradl (sakit) Contohnya, seorang yang sedang sakit diperbolehkan tayamum sebagai pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna (berdiri).32 g. Naqish (nilai minus) Yang termasuk dalam kategori ini adalah anak-anak, orang gila, idiot (safih), hamba sahaya.33 4.1.5 Sengaja Mencari Rukhshah (Tatabu al-Rukhas) Sengaja mencari rukhshah bisa diartikan sebagai usaha untuk melakukan sebab-sebab tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan rukhshah. Artinya, seseorang dengan sengaja memilih salah satu alternatif yang mungkin untuk dilakukan demi mendapatkan keringanan yang dia kehendaki. Usaha seperti ini tidak boleh dilakukan. Karenanya, apabila seorang musafir memiliki dua alternatif jalan, misalnya, dimana yang satu jaraknya mencapai batas yang diperbolehkan untuk meringkas sholat dan yang lain tidak, namun kemudian dia memilih jalan yang lebih panjang dengan tujuan sematamata untuk mendapatkan rukhshah, cara yang demikian ini justru membuatnya tidak bisa mendapatkan rukhshah.34

32 33

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 194 Ibid. 34 Abu al-Faydl Muhammad Yasin al-Fadani, Op.cit, hal . 474

13

BAB III ANALISIS KASUS

1.1

Rukhshah (Toleransi) dalam Muamalah35 Banyak aspek yang mendasari diterapkannya rukhshah dalam muamalah, diantaranya gharar (ketidakjelasan). Gharar secara

terminologis adalah sesuatu yang yang masih bersifat kabur dan tidak jelas akibatnya, sehingga bisa dan biasanya akan mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak yang melakukan transaksi. Dalam setiap muamalah, gharar sangat dilarang sebab akan menggiring salah seorang diantara pelaku transaksi menggunakan sesuatu dengan cara yang salah dan batil. Dalam hubungannya dengan keringanan yang terdapat dalam muamalah, gharar (ketidakjelasan) terbagi menjadi tiga tingkatan: a. Ketidakjelasan yang tidak sulit untuk dihindari dan karenanya tidak boleh dilakukan. Contohnya, penjualan janin binatang yang masih berada dalam kandungan induknya dan penjualan sperma hewan pejantan. b. Ketidakjelasan yang sulit dihindari dan karenanya terpaksa dilakukan. Contohnya, menjual telur, delima, semangka, kelapa, kacang tanah, dan barang-barang sejenis yang umumnya dijual beserta kulitnya. Penjualan barang-barang konsumsi diatas tidak diharuskan melalui pengelupasan kulit, walaupun ketika kulitnya masih ada, kualitas isinya sulit diketahui. Sebagaimana penjualan rumah yang tidak diharuskan melihat kualitas pondasinya, maka penjualan barang-barang konsumsi diatas juga tidak diharuskan setelah pengelupasan kulitnya. Hal semacam ini diperbolehkan karena termasuk kategori imasyaqqah (kesulitan). c. Ketidakjelasan tingkat antara maupun tingkat kedua. Ketidakjelasan (gharar) jenis ini terbagi menjadi dua:
35

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 196

14

1.

Masyaqqah-nya besar tapi tidak sulit dihindari, seperti buah pala yang tidak boleh dijual beserta kulitnya. Sebab rempah-rempah jenis ini walaupun kulitnya telah terkelupas, umumnya masih bisa bertahan lama (awet), sehingga harus dikelupas terlebih dahulu sebelum dijual. Contoh lain adalah penjualan barang yang tidak ditentukan secara pasti, seperti menjual salah satu diantara dua baju atau lebih. Juga seperti penjualan barang yang tidak berada di tempat transaksi.

2.

Transaksi yang tidak mengandung resiko besar, tapi jika tidak dilakukan akan menimbulkan masyaqqah. Contohnya, membeli biji-bijian dengan hanya melihat bagian luar tumpukannya. Contoh lain adalah membeli barang hanya dengan melihat contohnya (sample atau master), dimana contoh itu telah dianggap mewakili kualitas barang-barang lain yang sejenis.

1.2

Rukhshah (Toleransi) dalam Pernikahan36 a. Talak (perceraian). Disyariatkan karena untuk menghindari masyaqah yang timbul pada saat tali pernikahan tidak mungkin lagi untuk dipertahankan. b. Khulu dan setiap hal dimana sang istri diperbolehkan untuk memfasakh (membatalkan) nikah dihadapan qadli (penghulu agama). Toleransi ini adalah bentuk imbangan bagi wanita yang memang tidak punya kekuasaan untuk mentalak, sebagaimana seorang suami. c. Disyariatkannya ruju setelah terjadinya perceraian, karena

dimungkinkan perceraian terjadi bukan atas dasar pertimbangan yang matang. 1.3 Rukhshah (Toleransi) Bagi Mujtahid37 Contohnya, seorang hakim di pengadilan, yang juga termasuk mujtahid, juga mendapat keringanan. Dalam membuat keputusan hukum dia cukup berpegang pada persangkaan kuat yang didapatkan dari kesaksian para saksi
36 37

Ibid. Ibid.

15

yang adil dan terpercaya. Ia tidak diwajibkan memberi putusan hukum yang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada dan dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Walaupun demikian, dia tetap harus berusaha memutuskan hukum yang sesuai dengan kebenaran semaksimal mungkin. 1.4 Rukhshah (Toleransi) dalam Ibadah Contohnya, seorang yang sedang sakit diperbolehkan tayamum sebagai pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna.

16

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan: 1. Maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir adalah bahwa hokumhukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. Dikatakan pula bahwa dalam hukum-hukum syari tidak akan pernah didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-Nya. Dalil-dalil tersebut juga mengindikasikan bahwa Allah memberlakukan hokum-hukum-Nya (yang termuat dalam syariah Islam), pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada hambaNya. Seluruh amal ibadah, baik yang berhubungan dengan hati, atau yang berhubungan dengan anggota tubuh, tidak dibebankan oleh Allah, kecuali semua itu sudah sesuai (seukuran) dengan kadar kemampuan seorang mukallaf. 2. Menurut pandangan saya dalam Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan: Artinya: Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian. Secara etimologis (bahasa), lafadz haraj adalah sinonim dengan lafadz dlayq, yang sama-sama memiliki arti kesempitan atau kondisi sulit. Sehingga menurut musafirin, kalimat haraj pada ayat diatas mencakup berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya. 3. Setidaknya ada tujuh sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi. Seperti: Ikrah (terpaksa), Nis-yan (lupa), Jahl (ketidaktahuan), Al-Usr (kesulitan), Safar (bepergian), Maradl (sakit), Naqish (nilai minus).

17

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, al-Fawaid al-Janiyyah, Dar alFikr, Beirut, Libanon, cet. I, 1997 Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, Kudus: Menara Kudus, 1977. Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2007. Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Khalista, 2005 Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002. Sudirman Abbas, Ahmad, Dr, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Persepektif Fiqh, Jakarta: Anglo Media, 2004.

18

Anda mungkin juga menyukai