Anda di halaman 1dari 9

3. 3.

Afasia Definisi Afasia Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan otak.

Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa (disebut juga disfasia), gangguan bicara motorik murni, ataupun gangguan berbahasa sekunder akibat gangguan pikiran primer, misalnya skizofrenia. Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun biasanya terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya. Tercakup di dalam afasia adalah gangguan yang lebih selektif, misalnya gangguan membaca (alexia) atau gangguan menulis (agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya apraksia (gangguan belajar atau ketrampilan), gangguan mengenal (agnosia), gangguan menghitung (akalkulias), serta defisit perilaku neurologis seperti demensia dan delirium. Ini semua bisa muncul bersama-sama dengan afasia atau muncul sendiri. 3.2 Etiologi Afasia dapat timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broa, Area Wernicke, dan jalur yang menghubungkan antara keduanya. Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat muncul perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis. 3.3 Patofisiologi Pada manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.

Gambar 2.3

Area pengaturan bahasa pada otak. Lesi pada area ini akan menyebabkan afasia

Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan. Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa. Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca dan area Wernicke. 3.4 Klasifikasi Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang mendasarkan kepada: a. Berdasarkan manifestasi klinik, afasia dapat dibedakan atas: Afasia tidak lancar atau non-fluent Afasia lancar atau fluent Sindrom afasia peri-silvian 1. Afasia Broca (motorik, ekspresif) 2. Afasia Wernicke (sensorik, reseptif) 3. Afasia konduksi

b. Berdasarkan lesi anatomik, afasia dapat dibedakan berdasarkan:

Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone) 1. Afasia transkortikal motorik 2. Afasia transkortikal sensorik 3. Afasia transkortikal campuran

Sindrom afasia subkortikal 1. Afasia talamik 2. Afasia striatal

Sindrom afasia non-lokalisasi 1. Afasian anomik 2. Afasia global Sebagai tambahan, ada yang disebut dengan parafasia. Parafasia ialah mensubstitusi

kata. Ada 2 jenis parafasia, yaitu parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonemik (literal). Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu kata dengan kata lain, misalnya kucing dengan anjing. Parafasia fonemik ialah mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi lain, misalnya bir dengan kir. 3.5 Diagnosis Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan tambahan lainnya dilakukan untuk mengetahui penyebab kerusakan otaknya. Manifestasi Klinik a. Afasia tidak lancar. Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas. Penderita menggunakan kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana. Sering disertai artikulasi dan irama bicara yang buruk. Gambaran klinisnya ialah: Pasien tampak sulit memulai bicara Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat) Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks Artikulasi umumnya terganggu Irama bicara terganggu

Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih kompleks Pengulanan (repetisi) buruk Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk

b. Afasia lancar. Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi bicara tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita tidak dapat mengerti bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali. Gambaran klinisnya ialah: Keluaran bicara yang lancar Panjang kalimat normal Artikulasi dan irama bicara baik Terdapat parafasia Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk Repetisis terganggu Menulis lancar tadi tidak ada arti Seorang afasia yang non-fluen mungkin akan mengatakan dengan tidak lancar dan tertegun-tegun: mana rokok beli. Sedangkan seorang afasia fluen mungkin akan mengatakan dengan lancar: rokok beli tembakau kemana situ tadi gimana dia toko jalan c. Afasia Broca (motorik, ekspresif). Disebabkan lesi di area Broca. Pemahaman auditif dan membaca tidak terganggu, tetapi sulit mengungkapkan isi pikiran. Gambaran klinis afasia Broca ialah bergaya afasia non-fluent. d. Afasia Wernicke (sensorik, reseptif). Disebabkan lesi di area Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Penderita tidak mampu memahami bahasa lisan dan tulisan sehingga ia juga tidak mampu menjawab dan tidak mengerti apa yang dia sendiri katakan. Gambaran klinis afasia Wernicke ialah bergaya afasia fluent. e. Afasia Konduksi. Disebabkan lesi di area fasciculus arcuatus yaitu penghubung antara area sensorik (wernicke) dan area motorik (broca). Lesi ini menyebabkan kemampuan berbahasa dan pemahaman yang baik tetapi didapati adanya gangguan repetisi atau pengulangan. f. Afasia transkortikal. Disebabkan lesi di sekitar pinggiran area pengaturan bahasa. Pada dasarnya afasia transkortikal ditandai oleh terganggunya fungsi berbahasa tetapi didapati repetisi bahasa yang baik dan terpelihara. g. Afasia transkortikal motorik, ditandai dengan tanda afasia Broca dengan bicara nonfluent, tetapi repetisi atau kemampuan mengulangnya baik dan terpelihara.

h. Afasia transkortikal sensorik, ditandai dengan tanda afasia Wernick dengan bicara fluent, tetapi repetisi atau kemampuan mengulangnya baik dan terpelihara. i. Afasia transkortikal campuran, ditandai dengan campuran tanda afasia Broca dan Wernicke. penderita bicara non-fluent atau tidak lancar, tetapi juga disertai kemampuan memahami bahasa yang buruk, sementara kemampuan mengulang atau repetisi tetap baik. j. Afasia talamik, disebabkan lesi pada talamus, dan afasia striatal disebabkan lesi pada capsular-striatal, yang keduanya juga berperan dalam pengaturan bahasa. Pada kedua afasia ini terdapat tanda afasia anomik k. Afasia anomik, merupakan suatu afasia dimana penderita kesulitan menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya. Bicara, gramatika dan irama lancar, tetapi sering tertegun ketika mencari kata dan mengenal nama objek. l. Afasia global, adalah bentuk afasia yang paling berat. Ini disebabkan lesi yang luas yang merusak sebagian besar atau semua area bahasa pada otak. Keadaan ini ditandai oleh tidak ada lagi atau berkurang sekali bahasa spontan dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara berulang-ulang, misalnya baaah, baaah, baaah atau maaa, maaa, maaa. atau hemiplegia. 3.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya, misalnya stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya. Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif dan terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk mengobati afasia adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara. Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering digunakan, seperti : Terapi kognitif linguistik. Bentuk terapi ini menekankan pada komponen-komponen emosional bahasa. Sebagai contoh, beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk menginterpretasikan karakteristik dari suara dengan nada emosi yang berbeda-beda. Ada juga yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata "gembira." Latihan-latihan seperti ini akan membantu pasien mempraktekkan kemampuan komprehensif sementara tetap fokus pada pemahaman komponen emosi dari bahasa. Pemahaman bahasa hilang atau berkurang. Repetisi, membaca dan menulis juga terganggu berat. Afasia global hampir selalu disertai dengan hemiparese

Program stimulus. Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori. Termasuk gambar-gambar dan musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat kesukaran yang meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit. Stimulation-Fascilitation Therapy. Jeni terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan sintaksis (sususan kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama terapi adalah stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan kemampuan berbahasa akan lebih baik jika dilakukan dengan pengulangan. Terapi kelompok (group therapy). Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks sosial untuk mempraktekkan kemampuan berkomunikasi yang telah mereka pelajari selama sesi pribadi. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para terapis dan pasien lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya akan sama sekaligus juga mempererat komunikasi pasien dengan orang-orang tercinta mereka. PACE (Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness) . Ini merupakan bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi afasia ini bertujuan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan percakapan sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien akan terlibat percakapan dengan terapis. Untuk menstimulus komunikasi yang spontan, jenis terapi ini akan menggunakan lukisan-lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-benda ini akan digunakan oleh pasien sebagai sumber ide untuk dikomunikasikan dalam percakapan. Pasien dan terapi secara bergiliran akan menyampaikan ide-ide mereka. Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). Terapi ini dilakukan dengan mendekatkan magnet langsung ke area otak yang diduga menghambat pemulihan kemampuan berbahasa setelah stroke. Dengan menekan fungsi dari bagian otak tersebut, maka pemulihan diharapakan akan semakin cepat. Beberapa studi telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tetapi, masih diperlukan studi yang lebih besar untuk membuktikan efektivitas terapi ini. 4. Atrial Fibrilasi Atrial fibrilasi (AF) merupakan irama jantung tidak teratur yang sering menyebabkan atrium, ruang atas jantung, berkontraksi secara abnormal. AF merupakan faktor resiko independen yang kuat terhadap kejadian stroke emboli. Kejadian stroke iskemik pada pasien AF non valvular ditemukan sebanyak 5% pertahun, 2-7 kali lebih banyak disbanding pasien tanpa AF. Etiologi aritmia jantung dalam garis besarnya dapat disebabkan oleh :

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard (miokarditis karena infeksi) Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri koroner), misalnya iskemia miokard, infark miokard. Karena obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin dan obat-obat anti aritmia lainnya Gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia) Gangguan pada pengaturan susunan saraf autonom yang mempengaruhi kerja dan irama jantung Ganggguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat. Gangguan metabolik (asidosis, alkalosis) Gangguan endokrin (hipertiroidisme, hipotiroidisme) Gangguan irama jantung karena kardiomiopati atau tumor jantung Gangguan irama jantung akibat penyakit degenerasi (fibrosis system konduksi jantung).

Gambar 2.4

Normal sinus ritme dan atrial fibrilasi

Beberapa keadaan yang berhubungan dengan risiko tinggi terjadinya stroke pada pasien dengan atrial fibrilasi, yaitu: Usia > 65 tahun Hipertensi Penyakit jantung reumatik Riwayat stroke sebelumnya atau TIA (Transient Ischemic Attack)

Diabetes Mellitus Gagal Jantung kongestif Karakteristik gambaran TEE (Trans esophago Echocardiography) Terdapat gambaran kontras echo spontan di atrium kiri Left atrial appendage velocity < 20 cm/dt Atheroma aortic kompleks

Pada AF aktifitas sistolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrial flow velocity yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan terjadinya thrombus. Pada pemeriksaan dengan TEE, thrombus pada atrium kiri lebih banyak dijumpai pada pasien AF dengan stroke emboli dibandingkan dengan AF tanpa stroke emboli. Kelainan- kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand (faktor VII), fibrinogen, D- dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Banyak laporan mengenai efektivitas anti trombotik dalam pencegahan komplikasi tromboemboli pada AF. Pada Atrial Fibrilation Investigator (AFI), didapatkan bahwa warfarin secara bermakna menurunkan resiko stroke dari 4,5 % per tahun menjadi 1,45%. Warfarin menurunkan risiko stroke pada wanita 89% dan pada laki-laki 60%. Pada studi AFASAK pemberian aspirin 75 mg akan menurunkan risiko 18% sedangkan pada SPAF pemberian aspirin 325 mg menurunkan risiko 44%. Kombinasi keduanya menurukan risiko stroke 36%. Warfarin dan aspirin menurunkan kejadian stroke pada pasien dengan AF dan warfarin jauh lebih efektif dibandingkan aspirin. Obat-obatan yang sering digunakan untuk mengontrol laju irama ventrikel adalah digoksin, antagonis kalsium (verapamil, diltiazem) dan penyekat beta. Laju irama yang dianggap terkontrol adalah 60 80 kali/ menit pada saat istirahat dan 90 115 kali/ menit pada saat aktivitas. 5. Hiperkalemia Hiperkalemia (kadar kalium darah yang tinggi) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium darah > 5 mEq/L darah. Konsentrasi kalium darah yang lebih dari 5,5 mEq/ L akan mempengaruhi konduksi listrik jantung. Bila konsentrasi yang tinggi ini terus berlanjut, irama jantung menjadi tidak normal dan jantung akan berhenti berdenyut.

Hiperkalemia biasa terjadi bila ginjal tidak mengeluarkan kalium dengan baik, dan penyebab paling sering adalah penggunaan obat yang menghalangi pembuangan kalium oleh ginjal, seperti spironolakton dan ACE inhibitor. Hiperkalemia juga dapat disebabkan oleh penyakit Addison, dimana kelenjar adrenal tidak dapat menghasilkan hormone yang merangsang pembuangan kalium oleh ginjal dalam jumlah yang cukup. Hiperkalemia juga terjadi pada pasien dengan gagal ginjal.

Anda mungkin juga menyukai