Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) dalam makanan terutama
makanan olahan merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi (Zuraidah,
2007). Sejak pertengahan abad ke-20, BTP khususnya bahan pengawet
semakin sering digunakan dalam produksi pangan. Hal ini seiring dengan
kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintesis (Cahyadi,
2009). Yang dimaksud dengan Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan
yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun
bentuk makanan, bisa memiliki nilai gizi tetapi bisa pula tidak. Adapun jenis-
jenis BTP yaitu pengawet, pewarna, penyedap, pemanis, pemutih, pengental,
dan lain-lain (Yuliarti, 2007).
Akan tetapi, dalam praktek penggunaannya BTP sering tidak digunakan
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Ada dua permasalahan yang
berkaitan dengan penggunaan BTP ini. Pertama, produsen menggunakan BTP
yang diizinkan pengunaannya tetapi digunakan melebihi dosis yang telah
ditetapkan. Kedua, produsen menggunakan BTP yang dilarang
penggunaannya untuk digunakan dalam makanan (Zuraidah, 2007).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Repubrik Indonesia Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 tanggal 22 September 1988 dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999 terdapat beberapa jenis bahan
tambahan pangan yang dilarang penggunaannya. Beberapa BTP yang
dimaksud yaitu: asam borat dan senyawanya, asam salisilat dan garamnya,
dietilpilokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang
dibrominasi, nitrofurazon, dan formalin (Saparinto & Hidayati, 2006).
Diantara BTP yang dilarang tersebut, salah satu BTP yang sering digunakan
adalah formalin.
Formalin merupakan zat kimia yang berbahaya terhadap kesehatan.
Adapun dampak formalin terhadap kesehatan dapat berupa dampak akut
maupun kronik. Efek jangka pendeknya antara lain berupa iritasi pada saluran
pernapasan, muntah-muntah, pusing, dan rasa terbakar pada tenggorokan. Jika
dikonsumsi secara terus-menerus dalam jangka waktu lama, dapat
menyebabkan kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan
saraf pusat, dan ginjal.
Formalin banyak disalahgunakan untuk mengawetkan makanan seperti
tahu, mie basah, dan ikan asin. Formalin sebenarnya merupakan bahan untuk
mengawetkan mayat atau organ tubuh dan sangat berbahaya bagi kesehatan,
oleh karena itu dalam peraturan Menteri Kesehatan RI No.
722/Menkes/Per/IX/88 menyatakan bahwa formalin merupakan salah satu
bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan makanan.
Tahu merupakan salah satu makanan yang digemari oleh hampir semua
kalangan masyarakat Indonesia. Seperti kita ketahui, tahu memiliki kandungan
protein yang sangat tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
daging. Ada beberapa produsen tahu yang menambahkan larutan formalin
pada air yang dipakai untuk membuat tahu dengan maksud mengawetkan tahu.
Dalam proses produksi sampai penjualan, tahu tidak melalui pengeringan
maka dengan kadar air yang tinggi merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan kapang atau perkembangan bakteri. Oleh karena itu, untuk
mengawetkan banyak produsen tahu yang menggunakan bahan pengawet
seperti formalin.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengidentifikasi adanya formalin dalam sampel makananan yaitu tahu dengan
metode Spektrofotometri,UV-Vis sehingga dapat diketahui keamanan dari
sampel yang diuji yaitu tahu.

1.2 Tujuan




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tahu
Kata tahu berasal dari bahasa Cina yaitu tao-hu, teu-hu/tokwa. Kata
tao/teu berarti kacang untuk membuat tahu, orang menggunakan kacang
kedelai kuning (putih) yang disebut wong-teu (wong = kuning). Hu/kwa itu
artinya rusak, lumat, hancur, menjadi bubur. Kedua istilah itu digabungkan
menjadi tahu. Pengertian tahu adalah makanan yang terbuat dari kedelai yang
dilumatkan atau dihancurkan menjadi bubur (Kastyanto 1999).
Tahu adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat
melalui proses pengolahan kedelai (Glycne species) dengan prinsip
pengendapan protein, dengan atau tidak ditambah bahan lain yang diizinkan
(SNI,1998). Sedangkan menurut Shurtleff dan Aoyagi (2001), tahu adalah
gumpalan protein dari susu kedelai yang telah dipisahkan dari bagian yang
tidak menggumpal (whey) dengan cara pengepresan.
Komposisi zat gizi dalam tahu cukup baik. Tahu mempunyai kadar
protein sebesar 8-12%, sedangkan mutu proteinnya yang dinyatakan sebagai
NPU sebesar 65% (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Tahu juga mempunyai daya
cerna yang sangat tinggi karena serat dan karbohidrat yang bersifat larut dalam
air sebagian besar terbuang pada proses pembuatannya. Dengan daya cerna
sekitar 95%, tahu dapat dikonsumsi dengan aman oleh semua golongan umur
dari bayi hingga orang dewasa, termasuk orang yang mengalami gangguan
pencernaan (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Komposisi kimia pada tahu dapat
dilihat pada Tabel 1, sedangkan syarat mutu tahu berdasarkan Standar
Nasional Indonesia 01-3142-1998 dapat dilihat pada Tabel 2.




2.2 Formalin
Menurut Hart (1983), formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan
baunya sangat menusuk. Di dalam larutan formalin terkandung 30-50% gas
formaldehid dan ditambahkan metanol sebanyak 10-15% untuk mencegah
terjadinya polimerisasi formaldehid. Formalin merupakan cairan jernih tidak
berwarna atau hampir tidak berwarna, bau menusuk, uap merangsang selaput
lendir hidung dan tenggorokan. Formalin larut dalam air dan dengan etanol
95% (Ditjen POM, 1979).
Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling sederhana.
Formaldehid bersifat mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, dan
mudah dipolimerisasi pada suhu ruang. Formadehid bersifat larut di dalam air,
aseton, benzene, dietil eter, kloroform, dan etanol (IARC, 1982). Pada suhu
150C, formaldehid mudah terdekomposisi menjadi metanol dan karbon
monoksida. Formaldehid mudah dioksidasi oleh oksigen di atmosfer membentuk
asam format, yang kemudian diubah menjadi karbondioksida oleh sinar matahari
(WHO, 2002).
Formalin merupakan suatu bahan kimia dengan berat molekul 30,03 yang
pada suhu normal dan tekanan atmosfer berbentuk gas tidak berwarna, berbau
pedas (menusuk) dan sangat reaktif (mudah terbakar). Bahan ini larut dalam air
dan sangat mudah larut dalam etanol dan eter (Moffat, 1986). Larutan formalin
pada pendingin membentuk kristal trimer siklik sebagai trioksimetilen (1,3,5-
trioxan) yang larut dalam air (Schunack, Mayer & Haake, 1990). Penyimpanan
dilakukan pada wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya dan sebaiknya pada
suhu diatas 20C (Ditjen POM, 1979).
Karakteristik fisiko kimia formaldehid dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel. 1 Karakteristik Formaldehid

(WHO, 2002)
Formaldehid merupakan produk metabolisme normal yang penting bagi
biosintesis beberapa asam amino di dalam tubuh. Level formaldehid pada
jaringan endogenous yang secara metabolik membentuk formaldehid adalah 3- 12
mg/g jaringan. Formaldehid endogenous berasal dari proses inhalasi, asupan oral,
dan melalui kulit. Formaldehid yang diasup secara oral akan diserap oleh saluran
gastrointestinal. Formaldehid yang diinhalasi akan diserap oleh saluran
pernafasan bagian atas tetapi tidak didistribusikan ke seluruh tubuh karena
metabolismenya yang cepat (Heck et al., 1985).
Menurut Owen et al (1990), Hati manusia mampu mengubah 22 mg
formaldehid menjadi CO2/menit, penyerapan formaldehid melalui darah tidak
menyebabkan akumulasi formaldehid di dalam tubuh karena proses konversi
menjadi asam format cepat terjadi. Namun kandungan asam format yang tinggi
dapat meningkatkan keasaman darah (Owen et al,1990).
Formalin adalah bahan yang sangat diperlukan dalam industri. Dalam
bidang industri, formalin digunakan dalam produksi pupuk, bahan fotografi,
parfum, kosmetika, pencegahan korosi, perekat kayu lapis, bahan pembersih,
insektisida, plastik, cermin, serta kaca (Widyaningsih, 2006). Formalin juga
diaplikasikan dalam bidang medis untuk sterilisasi dan desinfektan yang dapat
membunuh algae, protozoa, dan organisme uniseluler lain dengan konsentrasi
akut letal berkisar 0.3-22 mg/L (WHO, 1989).
Bahan pangan secara alami mengandung formaldehid, dengan level 1
mg/kg sampai 90 mg/kg. Kontaminasi terhadap pangan bisa terjadi melalui
fumigasi, bahan tambahan pangan, atau pemasakan. Asupan dari makanan
tergantung komposisi makanan itu sendiri. Bagi orang dewasa, jumlahnya
berkisar 1.5-14 mg/hari (Trezl et al., 1996).
Menurut WHO (2002), formaldehid terdapat dalam produk makanan
karena kegunaannya sebagai zat bakteriostatik yaitu dapat menghambat
pertumbuhan mikroba dalam produk pangan sehingga umur simpan produk
tersebut meningkat. Larutan formaldehid adalah desinfektan yang efektif
melawan bakteri vegetatif, jamur, atau virus, tetapi kurang efektif melawan spora
bakteri. Formaldehid bereakdi dengan protein, dan hal tersebut mengurangi
aktivitas mikroorganisme. Efek sporosidnya yang meningkat tajam dengan
adanya kenaikan suhu. Larutan formaldehid 0,5% dalam waktu 6-12 jam dapat
membunuh bakteri dan dalam waktu 2-4 hari dapat membunuh spora, sedangkan
larutan formaldehid 8% dapat membunuh spora dalam waktu 18 jam (WHO,
2002).
Formalin merupakan bahan kimia yang biasa dipakai untuk membasmi
bakteri atau berfungsi sebagai disinfektan. Zat ini termasuk dalam golongan
kelompok desinfektan kuat, dapat membasmi berbagai jenis bakteri pembusuk,
penyakit, cendawan atau kapang. Disamping itu, juga dapat mengeraskan jaringan
tubuh (Winarno, 2004). Sifat antimikrobial dari formaldehid merupakan hasil dari
kemampuannya menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan
asam amino bebas dalam protein menjadi hidrokoloid. Kemampuan dari
formaldehid meningkat seiring dengan peningkatan suhu (Cahyadi, 2006).
Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi
dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang
berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein mengeras dan tidak dapat larut
(Barnen and Davidson, 1983).

2.3 Pereaksi Nash
2.4 Analisis Formalin pada Makanan
Formalin dengan adanya asam kromatropat dalam asam sulfat disertai
pemanasan beberapa menit akan terjadi pewarnaan violet (Herlich, 1990).
Reaksi asam kromatropat mengikuti prinsip kondensasi senyawa fenol dengan
formaldehida membentuk senyawa berwarna (3,4,5,6-dibenzoxanthylium).
Pewarnaan disebabkan terbentuknya ion karbenium- oksonium yang stabil
karena mesomeri (Schunack, Mayer & Haake, 1990). Reaksi formalin dengan
asam kromatropat dapat dilihat pada gambar berikut.


Gambar 2. Reaksi Formalin dengan asam kromatropat (Schunack, 1990)
Senyawa Fluoral P juga dapat digunakan untuk menguji adanya formalin
dengan menetesi bahan yang diduga mengandung formalin yang akan
menghasilkan suatu senyawa kompleks yang berwarna ungu. (Widyaningsih
& Murtini, 2006).
Formalin dapat ditentukan kadarnya secara titrasi asam basa dengan
menambahkan hidrogen peroksida dan NaOH 1 N dan pemanasan hingga
pembuihan berhenti, dan dititrasi dengan HCl 1 N menggunakan indikator
fenolftalein (Ditjen POM, 1979). Reaksi :
HCHO + H2O2 HCOOH + H2O
HCOOH + NaOH HCOONa + H2O
NaOH + HCl NaCl + H2O
`1 ml natrium hidroksida 1 N setara dengan 30, 03 mg formalin
Formalin dengan penambahan pereaksi Nash dan pemanasan 30 menit
menghasikan warna kuning yang mantap, yang kemudian diukur pada panjang
gelombang 415 nm (Herlich, 1990). Reaksi formalin dengan pereaksi Nash
dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar. Reaksi Formalin dengan Pereaksi Nash

2.5 Spektrofotometri
Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara
radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suaatu zat kimia. Teknik
yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektrofotometri
ultraviolet, cahaya tampak, infra merah, dan serapan atom. Jangkauan panjang
gelombang untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm, daerah cahaya
tampak 380-780 nm, daerah infra merah dekat 780-3000 nm, dan daerah infra
merah 2,5-40 mikrometer atau 4000-250 cm
-1
(Tahir, 2008).
Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorbsi oleh molekul organik
aromatik, molekul yang mengandung electron phi terkonjugasi dan atau atom
yang mengandung elekron, menyebabkan transisi electron di orbital terluarnya
dari tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi tereksitasi tinggi, Besarnya
serapan radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit yang
mengabsorpsi sehingga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif
(Satiadarma, 2004)
Spektra UV-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan
sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.
1. Aspek Kualitatif
Data spektra UV-Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk
identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung
dengan cara lain seperti spektrofotometri inframerah, resonansi magnet
inti, dan spektroskopi massa, maka dapat digunakan untuk maksud
identifikasi atau analisis kualitatif suatu senyawa tersebut. Data yang
diperoleh dari spektroskopi UV dan Vis adalah panjang gelombang
maksimal, intensitas, efek, pH dan pelarut yang kesemuanya itu dapat
diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasi. Dari spektra yang
diperoleh dapat dilihat, misalnya :
- Serapan (absorbansi) berubah atau tidak karena perubahan pH.
Jika berubah, bagaimana perubahannya apakah dari batokromik
ke hipsokromik dan sebaliknya atau dari hipokromik ke
hiperkromik, dan sebagainya.
- Obat-obat yang netral misalnya kafein, kloramfenikol; atau
obat-obat yang berisi auksokrom yang tidak terkonjugasi seperti
amfetamin, siklizin, dan penisiklidin
2. Aspek Kuantitatif
Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan
(larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur
besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan
membandingkan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies
penyerap lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding
dengan jumlah foton yang melalui satu satuan luas penampang per detik.
Serapan dapat terjadi jika foton atau radiasi yang mengenai cuplikan
memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk
menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga
mengalami penurunan dengan adanya penghamburan dan pemantulan
cahaya, akan tetapi penurunan karena hal ini sangat kecil dibandingkan
dengan proses penyerapan
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup
besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih
banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif (Widjaja
dkk., 2007).
Absorbsi sinar oleh larutan mengikuti hukum Lambert-Beer, yaitu :
A = log ( 1 / T ) = b c
T = It / Io = 10
b c
sehingga
A = log (Io/ It) = b c

Keterangan :
T= Persen transmitan
Io = Intensitas sinar datang
It = Intensitas sinar yang diteruskan
= Absorptivitas
b = Panjang sel/kuvet
c = konsentrasi (g/l)
A = Absorban
Gambar 1. Skema absorpsi

Adapun instrumentasi spektrofotometri UV-Vis:
1. Sistem Optik
Pada umumnya konfigurasi dasar setiap spektrofotometer UV-Vis
berupa susunan peralatan optik terkontruksi sebagai berikut:

Keterangan:
SR : Sumber radiasi
M : Monokromator
SK : Sampel Kompartemen
D : Detektor
A : Amplifier atau penguat
VD : Visual display atau meter
Setiap bagian peralatan optik spektrofotometer UV-Vis memegang
fungsi dan peranan masing-masing dan saling terkait. Fungsi dan
peranan tersebut dituntut ketelitian dan ketepatan optimal, sehingga akan
diperoleh hasil pengukuran dan tingkat ketelitian dan ketepatan yang
tinggi (Widjaja dkk., 2008).
2. Instrumentasi
a. Sumber radiasi
Lampu deuterium untuk daerah UV dari 190 sampai 350 nm dan
lampu halogen kuartz atau lampu tungsten untuk daerah visibel dari
350 sampai 900 nm (Watson, 2005).
b. Monokromator
Monokromator digunakan untuk menghamburkan cahaya ke dalam
panjang gelombang unsur-unsurnya, yang diseleksi lebih lanjut
dengan celah. Monokromator berotasi sehingga rentang panjang
gelombang dilewatkan melalui sampel ketika instrument tersebut
memindai sepanjang spectrum (Watson, 2005).
c. Sel atau Kuvet
SRMSKDAVD
Kebanyakan wadah sampel adalah sel untuk menaruh cairan ke
dalam berkas cahaya spektrofotometer. Sel tersebut harus
meneruskan energi radiasi dalam daerah spectral yang diminati, jadi
sel kaca melayani daerah tampak dan kaca silika atau kuarsa untuk
daerah ultraviolet (Day dan Underwood, 2002).
d. Detektor
Detektor merupakan bagian spektrofotometer yang penting karena
berfungsi untuk merubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal
elektonik. Syarat detektor yang baik diantaranya:
- Kepekaan yang tinggi terhadap radiasi yang diteriama, dengan
derau yang minimal.
- Mampu memberikan respon terhadap radiasi pada rentang panjang
gelombang yang lebar (UV-Vis).
- Respon terhadap radiasi harus serempak.
- Respon harus kuantitatif dan sinyal elektronik yang keluar
berbanding lurus dengan radiasi elektromagnetik yang diterima.
- Sinyal elektronik yang dihasilkan harus dapat diamplifikasikan
oleh penguat (amplifier) ke rekorder (pencatat).
(Widjaja dkk., 2008)
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan
spektrofotometri UV-Vis terutama untuk senyawa yang semula tidak berwarna
yang akan dianalisis dengan spektrofotometri visibel karena senyawa tersebut
harus diubah terlebih dahulu menjadi senyawa yang berwarna. Berikut adalah
tahapan-tahapan yang harus diperhatikan :
- Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis
Hal ini perlu dilakukan jika senyawa yang dianalisis tidak menyerap pada
daerah tersebut. Cara yang digunakan adalah dengan merubah menjadi
senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu. Pereaksi yang
digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu :
1. Reaksinya selektif dan sensitif.
2. Reaksinya cepat, kuantitatif, dan reprodusibel.
3. Hasil reaksi stabil dalam jangka waktu yang lama.
4. Waktu operasional
Cara ini biasa digunakan untuk pengukuran hasil reaksi atau pembentukan
warna. Tujuannya adalah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil.
Waktu operasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu
pengukuran dengan absorbansi larutan.

- Pemilihan panjang gelombang
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang
gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Ada beberapa alasan
mengapa harus menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu :
1. Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena pada
panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap
satuan konsentrasi adalah yang paling besar.
2. Disekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan
pada kondisi tersebut hukum lambert-beer akan terpenuhi.
3. Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh
pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan
panjang gelombang maksimal
(Gandjar dan Rohman, 2007).

Keuntungan dari spektrofotometer adalah :
1. Penggunaannya luas, dapat digunakan untuk senyawa anorganik, organik dan
biokimia yang diabsorpsi di daerah ultra lembayung atau daerah tampak.
2. Sensitivitasnya tinggi, batas deteksi untuk mengabsorpsi pada jarak 10
-4

sampai 10
-5
M. Jarak ini dapat diperpanjang menjadi 10
-6
sampai 10
-7
M
dengan prosedur modifikasi yang pasti.
3. Selektivitasnya sedang sampai tinggi, jika panjang gelombang dapat
ditemukan dimana analit mengabsorpsi sendiri, persiapan pemisahan menjadi
tidak perlu.
4. Ketelitiannya baik, kesalahan relatif pada konsentrasi yang ditemui dengan
tipe spektrofotometer UV-Vis ada pada jarak dari 1% sampai 5%. Kesalahan
tersebut dapat diperkecil hingga beberapa puluh persen dengan perlakuan yang
khusus.
5. Mudah, spektrofotometer mengukur dengan mudah dan kinerjanya cepat
dengan instrumen modern, daerah pembacaannya otomatis

2.6 Validasi Metode Analisis
Menurut Harmita (2004), validasi metode analisis adalah suatu tindakan
penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium,
untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk
penggunaannya. Beberapa kriteria validasi metode adalah:
a. Keseksamaan (Presisi)
Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian
antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari
rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang
diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan diukur sebagai
simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Keseksamaan
dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan
(reproducibility). Keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan
berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval
waktu yang pendek. Ketertiruan adalah keseksamaan metode jika dikerjakan
pada kondisi yang berbeda (Harmita, 2004). Jika hasil analisis adalah x1, x2,
x3, x4,......xn, maka nilai simpangan bakunya (SD) dapat dihitung sesuai
dengan persamaan 2.1 berikut ini:
1
2

|
|
.
|

\
|
|
.
|

\
|

=


n
x x
SD
................................................................................(2.1)
Keterangan:
SD = simpangan baku
n = jumlah sampel

Sedangkan nilai simpangan baku relatif/koefisien variasi (KV) dapat
dihitung sesuai dengan persamaan 2.2 sebagai berikut:
% 100 =

x
SD
KV
.......................................................................................(2.2)
Keterangan:
KV = koefisien variasi
= rata-rata hasil analisis
Suatu data dikatakan memenuhi keseksamaan bila nilai KV < 2%
(Harmita, 2004).

b. Ketepatan (Akurasi)
Akurasi merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai
terukur dengan nilai yang diterimabaik nilai konvensi, nilai sebenarnya, atau
nilai rujukan. Akurasi diukur sebagai banyaknya analit yang diperoleh
kembali pada suatu pengukuran dengan melakukan spiking pada suatu sampel.
Untuk pengujian senyawa obat, akurasi diperoleh dengan membandingkan
hasil pengukuran dengan bahan rujukan standar. Untuk mendokumentasikan
akurasi, ICH merekomendasikan pengumpulan data dari 9 kali penetapan
kadar dengan 3 konsentrasi yang berbeda (misal 3 konsentrasi dengan 3 kali
replikasi). Data harus dilaporkan sebagai persentase perolehan kembali
(Gandjar dan Rohman, 2007).

c. Linearitas dan Rentang
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon
yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik,
proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode
adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan
dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan dan linieritas yang dapat
diterima. Parameter yang diamati adalah nilai r dari persamaan linier dan
simpangan baku residual (Sy). suatu data dikatakan linier apabila nilai r = 1
atau -1 (Harmita, 2004). Untuk menghitung nilai Sy digunakan persamaan 2.3.

2
2
1 1

|
.
|

\
|

=

.
N
y y
Sy
...................................................................................(2.3)

Keterangan:
y
1
= AUC senyawa yang terukur alat (respon detektor)

1
= AUC hasil perhitungan berdasarkan persamaan garis lurus
(
1
=a+bx)
N = jumlah standar yang diukur
d. LOD dan LOQ
Batas deteksi (LOD) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang
dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan
dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi
(LOQ) merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai
kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria
cermat dan seksama. LOD dan LOQ dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
LOD=
slope
Sy 3
.......................................................................................(2.4)
LOQ=
slope
Sy 10
........................................................................................(2.5)
Keterangan: Sy = simpangan baku residual
(Harmita, 2004).

e. Spesifitas
Spesifitas adalah kemampuan untuk menngukur analit yang dituju secara
tepat dan spesifik denagn adanya komponen-komponen lain dalam matriks
sampel seperti ketidakmurnian, produk degradasi, dan komponen matriks
(Harmita, 2004). ICH membagi spesifitas dalam 2 kategori, yakni uji
identifikasi dan uji kemurnian atau pengukuran. Untuk tujuan identifikasi,
spesifitas ditujukan dengan kemampuan suatu metode analisis untuk
membedakan antar senyawa yang mempunyai struktur molekul yang hampir
sama. Untuk tujuan kemurnian dan tujuan pengukuran kadar, spesifitas
ditujukan oleh daya pisah 2 senyawa berdekatan (sebagaimana dalam
kromatografi). Penentuan spesifitas ada2 jalan. Yang pertama adalah dengan
melakukan optimasi sehingga diperoleh senyawa yang dituju terpisah secara
sempurna dari senyawa-senyawa lain (resolusi senyawa yang dituju lebih
besar sama dengan 2). Cara kedua dengan menggunakan detektor selektif,
terutama untuk senyawa-senyawa yang terelusi secara bersamaan (Gandjar
dan Rohman, 2007).
f. Kekasaran
Kekasaran merupakan tingkat reprodusibilitas hasil yang diperoleh di
bawah kondisi yang bermacam-macam yang diekspresikan sebagai persen
standar deviasi relatif (%RSD). Kondisi-kondisi ini meliputi laboratorium,
analisis, alat, reagen, dan waktu percobaan. Kekasaran suatu metode tidak
akan diketahui suatau metode dikembangkan pertama kali., akan tetapi
kekasaran suatu metode akan kelihatan jika digunakan berulang kali (Gandjar
dan Rohman, 2007).
g. Ketahanan
Ketahanan merupakan kapasitas metode untuk tetap tidak terpengaruh
oleh adanya variasi parameter metode yang kecil. Ketahanan dievaluasi
dengan melakukan variasi parameter-parameter metode seperti: persentase
pelarut organik, pH, kekuatan ionik, suhu, dan sebagainya (Gandjar dan
Rohman, 2007).


Winarno, FG. 2004. Keamanan Pangan 2. M Brio Press. Bogor

Anda mungkin juga menyukai